Apresiasi dan Refleksi Buku Cerita Orang

Apresiasi dan Refleksi Buku Cerita Orang Basudara
Ikhtisar buku
Buku yang berjudul Carita Orang Basudara adalah buku pertama yang ditulis setelah 15 tahun
konflik horizontal Maluku (1999-2014), yang mana para penulisnya adalah para aktor baik yang
terlibat langsung di dalam konflik maupun yang terlibat saat melakukan upaya perdamaian. Pada
tahun 1999, di tengah deraan konflik yang menyengsarakan, ketika banyak orang terjebak dan
“terpaksa” terlibat langsung/tidak langsung dalam amuk kekerasan, tak sedikit anak Maluku
yang dengan caranya masing-masing mengambil jarak dan bersikap kritis terhadap konflik.
Bersamaan dengan itu, mereka mulai berusaha memperjuangkan perdamaian. Buku Carita
Orang Basudara berisi kisah-kisah mereka.
Buku ini diterbitkan oleh salah satu lembaga yang peduli pada soal-soal kemanusiaan antar-iman,
Lembaga Antar Iman Maluku (LAIM). Mereka merasa terpanggil untuk merekam dan
mendokumentasikan aneka pengalaman memperjuangkan perdamaian dan menegakkan nilainilai kemanusiaan di Maluku. Mereka percaya, pengalaman- pengalaman yang dituliskan di sini
akan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Bagi mereka, buku ini menjadi semacam dokumen
historis dari mereka yang selama ini terkesan tidak bersuara (voice of the voiceless) (hlm.viii).
Mereka juga percaya bahwa pengalaman Maluku bisa menjadi cermin yang darinya bisa diambil
pelajaran bagi pencegahan konflik kekerasan atau penguatan upaya-upaya perdamaian di tempattempat lain di seluruh dunia.
Selain sebagai penghargaan atas upaya mereka dalam memperjuangakan perdamaian,
pendokumentasian ini juga dimaksudkan agar setiap pengalaman dan kesaksian mereka tidak
begitu saja menguap di udara dan menjadi cerita. Kesaksian mereka juga mengandung pelajaran
sangat berharga yang bisa dipetik bukan saja oleh masyarakat Maluku, tetapi juga manusia

secara keseluruhan.
Sudah saatnya cerita-cerita baik, berisi suara-suara perdamaian (bukan konflik kekerasan), lebih
banyak didengar dari Maluku. Buku ini penting dibaca bukan saja oleh masyarakat Maluku, atau
masyarakat lain di Indonesia yang pernah mengalami konflik kekerasan, tapi juga oleh mereka
yang ingin terhindar dari konflik kekerasan sejenis. Para pengambil kebijakan, seperti pemimpin

agama dan masyarakat sipil perlu mendengar Carita Orang Basudara, karena dari sana banyak
pelajaran bisa dipetik.

Apresiasi dan Refleksi terhadap Buku
Ada 30 orang (termasuk 4 orang editor) yang terlibat dalam penulis buku Carita Orang
Basudara (COB), saya singkat COB. Cerita dalam buku COB, bercerita mengenai hal-hal nyata
yang dialami penulis baik langsung maupun tidak langsung. Gerry van Klinken, yang menulis
pembuka pada buku COB menegaskan bahwa cerita-cerita ini layak menjadi bagian dari cerita
(narasi) sejarah. Orang Maluku mesti berani bercerita tentang kerusuhan 19 Januari 1999 yang
mereka alami. Ketika kisah-kisah nyata yang ditulis dalam buku COB diresapi, menurut van
Klinken layak jadi peringatan tentang perasaan rasa sedih, rasa nostalgia, rasa syukur, rasa malu,
bahkan rasa manis (hlm.9). Tujuan bercerita, menurut van Klinken agar anak-anak Maluku di
masa kini dan masa depan, baik mereka yang mengalami dan tidak mengalami kerusuhan 1999,
mengetahui seperti itulah masyarakatnya. Mereka harus tahu sejarah yang paling pahit sekali

pun, agar mereka mengenal identitas diri mereka sendiri. Sebab itu, van Klinken menyebut cerita
ini sebagai cerita pribadi yang disampaikan dengan kejujuran yang luar biasa (hlm.11).
Bagian 1
Saya mengangkat sebuah cerita pada bagian pertama buku COB oleh Rudy bahwa orang tuanya
(Papa Ulen dan Mama Titi Lawalata), menyelamatkan Daeng Batako sekeluarga dari ancaman
pembunuhan di hari kerusuhan itu. Padahal

Daeng Batako, pernah terlibat sengketa tanah

dengan Papa Ulen, dan Daeng Batako yang menang sebidang tanah yang dimiliki Papa Ulen
sejak masa orang tuanya (hlm.20-21). Dalam kerusuhan itu, dendam yang terjadi di masa lampau
pun menjadi sirna, sebab jiwa Maluku itu selalu mendahulukan sudara dari siapa pun dan dalam
situasi apa pun (salam-sarane). Yang mampu melakukannya hanya mereka yang tahu dan
memiliki “rasa Maluku”. Ini sudah menjadi lapisan identitas orang Maluku.
Cerita-cerita lain dalam bagian pertama buku COB selebihnya mengisahkan pengalaman pribadi
hidup bersama dalam perbedaan. Cerita-cerita itu ada yang terjadi di saat kerusuhan, atau dalam
waktu 1999-2000. Masa ketika ale bakar, beta bakar (kamu bakar, saya bakar) masih menjadi

slogan yang mewarnai watak dan perilaku masyarakat. Tetapi kerita di masa sesudah kerusuhan,
masa ketika trauma massal masih mengendap dan belum mencair. Tingkat kecurigaan masih

tinggi, hidup bersama masih sulit diwujudkan. Pemukiman warga masyarakat terpisah-pisah.
Terbentuk pemisahan-pemisahan masyarakat menurut kelompok agama.
Namun ada perjumpaan yang luar biasa dialami para penulis dalam buku ini. Sebuah fakta unik
yang menjadi lapisan sejarah masyarakat Maluku. Mereka bersyukur sebab bagian sejarah yang
di kemudian waktu akan hilang itu, telah terkonstruksi dalam data baku, sebuah tulisan, arsip
baku, yang saatnya dapat dibaca oleh semua orang.
Bagian 2
Bagian kedua dalam buku COB berisi cerita dari 6 orang dari keseluruhan penulis yang
mencuatkan pengalaman dan isi hati (kritik) mereka (M.J. Papilaya, M. Noor Tawainela, Steve
Gaspersz, Theofransus Litaay, Almudatsir Z. Sangadji, Thamrin Ely). Dalam kerusuhan semua
orang berharap gereja dan masjid berbicara, dan jangan diam. Sebab ketika gereja dan masjid
diam, maka persaudaraan akan menjadi kemustahilan. Sebaliknya jika berbicara, maka
perdamaian akan menjadi anugerah di tengah-tengah konflik yang terjadi.
Kritik oleh beberapa penulis terhadap negara adalah negara cenderung tidak mau berpihak pada
kemanusiaan yang terjadi dan bersikap lambat dalam penanganan konflik di Maluku. Meskipun
begitu maksud dan tujuan penerbitan buku COB ini bukan dalam rangka menuduh, melainkan
untuk menjadi bahan perenungan tentang peran sejati negara terhadap rakyat dan bangsa (M.J.
Papilaya).
Nurani dan rasa malu juga tidak bisa diabaikan dalam buku COB. Sebuah renungan yang
mengantar kita mempertegas jati diri bahwa bersaudara adalah bagian paling pokok dari jati diri

dan identitas Maluku. Nurani berbicara, dan rasa malu agar jangan kita dan generasi di masa
depan terpuruk lagi, menjadi pesan moral yang berharga dari COB (Noor Tawainela dan Steve
Gaspersz).
Catatan kritik lainnya terhadap negara bahwa negara tidak bertindak menghentikan kekerasan
dan membiarkannya menjadi “konflik horizontal” yang terbuka (Theoransus Litaay), dan hal itu
ternyata berdampak serius. Konflik dibiarkan sebagai “isu menganga”, sehingga berbagai isu dan

fakta pun masuk dan bercampur menjadi satu. Memisahkan diri dari NKRI menjadi salah satu
fakta dan isu yang dihembuskan ke dalam konflik. Pemilu 1999 dan 2004 pun merupakan
momentum yang selalu dikaitkan dengan berbagai bentuk kekerasan massal di Ambon
(Almudatsir Z. Sangadji dan Thamrin Ely). Saya tidak menceritakan cerita mereka kembali, pada
intinya, cerita pada bagian kedua ini melengkapi wawasan kita tentang deskriptif konflik
Maluku.
Bagian 3
Bagian ketiga buku COB menjadi menarik sebab diwarnai oleh cuatan pengalaman 6 orang
penulis perempuan (Hilary Syaranamual, Sandra Lakembe, Inggrid Silitonga, Tiara Melinda A.S,
Helena M. Rijoly, Nancy Souisa) dan satu saja laki-laki yaitu Jacky Manuputty. Saya tidak
menceritakan carita perempuan-perempuan tangguh itu di sini. Saya memilih membahas
beberapa foto dalam bagian ini.
Ada sebuah foto yang menarik di halaman 359, Ustaz Abidin

Wakanno dan Pdt. Jacky Manuputty dilatari beberapa orang
Bule, pukul tifa damai Maluku, sebagai bukti bahwa damai
Maluku itu laksana notasi yang berbunyi dalam harmoni
kehidupan. Agama dan jabatan agama mereka terlebur dalam
irama tifa damai. Dan gambar ini menjadi salah satu seni
dalam perwujudan perdamaian. Gambar ini juga menjadi fakta
sejarah yang akan terus menghias gerak para pejuang
perdamaian.

Foto berikut pada halaman 331 dan 332, memperlihatkan bahwa hal perdamaian yang terjadi di
Maluku itu menembus sekat agama yang sakral. Tiang alif Masjid Raya Batumerah, yang
diusung di depan semua rombongan, melibatkan masyarakat adat Negeri Ema dan Negeri Passo.
Masyarakat serta raja Negeri Ema dan Negeri Passo yang Kristen berbaur dengan masyarakat
serta raja negeri yang Muslim dari Negeri Batumerah.

Dua foto lain adalah pada halaman 282 dan 362. Dua foto ini merupakan sisi baru dalam
perjuangan damai Maluku. Segmen seni, fotografi, musik, dan wujud kesenian material lainnya,
merupakan unsur-unsur baru yang perlu dijadikan sebagai media provokasi perdamaian. Pada
sisi itu, buku COB adalah sebuah media yang sudah memaparkan kepada kita sisi lain dalam
sejarah kerusuhan Maluku 1999, yang jika tidak ditulis, mungkin akan menjadi memori yang

suatu waktu tidak diingat lagi. Maka di masa depan, anak-anak Maluku akan sulit mempelajari
event-event sejarah yang membentuk identitas mereka.

Apresiasi dan refleksi saya terhadap buku Carita Orang Basudara, akan saya tutup dengan dua
ulasan dari editor tentang buku COB yaitu:
Cerita pribadi dalam buku ini semuanya disampaikan dengan kejujuran yang luar biasa. Tidak
gampang, memperlihatkan perasaan paling pribadi di depan publik. Lebih luar biasa lagi,
seluruh penulis berasal dari komunitas yang dulu saling berhadapan dengan muka geram. Hal
ini saja cukup untuk menjadikan buku ini sebuah monumen sejarah
Gerry Van Klinken
Jika buku ini sengaja diterbitkan dalam rangka mengenangnya (konflik 1999), maka
semangatnya adalah emansipasi: Bagaimana supaya hal itu tidak terulang lagi? Apa bekal yang
tersedia supaya masyarakat majemuk bisa bekerjasama dan melangkah ke depan dengan penuh
percaya diri?
Rizal Panggabean