ASPEK HUKUM TANDA TANGAN ELEKTRONIK DIGI

ASPEK HUKUM TANDA TANGAN ELEKTRONIK (DIGITAL
SIGNATURE) DALAM KONTRAK TRANSAKSI ELEKTRONIK (ECOMMERCE)
DWI RATNA NINGSIH
URI: http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/19513
Date: 2014-01-21

Abstract:
Kemajuan teknologi membawa perubahan yang cukup signifikan dari pemanfaatan Internet dalam
kehidupan manusia yaitu adanya perubahan pola hubungan dari yang semula menggunakan kertas
(paper) menjadi nirkertas (paperless). Oleh karena itu, terjadi perubahan pula pada berbagai
transaksi yaitu transaksi konvensional menuju transaksi elektronik (e-commerce). Berpindahnya pola
hubungan tersebut menimbulkan masalah hukum seperti keabsahan suatu dokumen elektronik yang
bersifat paperless, kekuatan pembuktian dokumen elektronik tersebut, serta upaya hukum apa yang
dapat ditempuh apabila terjadi sengketa tanda tangan elektronik. Tujuan penulisan skripsi ini adalah :
(1) untuk mengetahui dan memahami keabsahan suatu dokumen akibat tiadanya tanda tangan dalam
paperless transaction, (2) untuk mengetahui dan memahami kekuatan hukum tanda tangan elektronik
sebagai alat bukti, (3) untuk mengetahui dan memahami upaya hukum yang dapat ditempuh jika ada
sengketa tanda tangan elektronik. Tipe penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini bersifat
yuridis normatif. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan
undang-undang (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum
yang digunakan dalam penulisan skripsi ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,

dan bahan hukum tersier. Analisa yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah deskriptif
kualitatif. Setelah dilakukan pembahasan atas rumusan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya
dengan menggunakan metodologi tersebut maka hasilnya adalah : (1) tiadanya tanda tangan pada
kontrak transaksi elektronik (e-commerce) yang bersifat paperless transaction telah memenuhi syarat
sahnya perjanjian atau dokumen yang sah, karena pada kontrak transaksi elektronik (e-commerce)
yang bersifat paperless transaction terdapat tanda tangan elektronik (digital signature) yang memiliki
fungsi dan tujuan yang sama dengan tanda tangan pada kontrak transaksi konvensional, yaitu
sebagai otentikasi dan tanda persetujuan atau kesepakatan. Pemenuhan syarat-syarat perjanjian
dalam transaksi konvensional, berlaku pula pada pembuatan perjanjian dokumen elektronik
sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata jo pasal 1338 KUHPerdata, (2) tanda tangan
elektronik (digital signature) pada dokumen elektronik memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti
menurut hukum acara perdata, yang merupakan perluasan dari alat bukti surat dan bahkan dapat
berupa surat otentik karena penggunaan tanda tangan elektronik (digital signature) didukung dengan
keberadaan lembaga Certification Authority (CA) yang merupakan pihak ketiga yang independen dan
bertindak sebagai otoritas, serta keberadaan dari Lembaga Sertifikasi Keandalan. Akan tetapi karena
peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan informasi dan transaksi elektronik masih dalam bentuk
rancangannya dan belum disahkan maka kekuatan hukum sebagai alat bukti surat yaitu tulisan
dibawah tangan, (3) upaya hukum yang dapat ditempuh apabila terdapat sengketa adalah melalui
Litigasi atau Non Litigasi. Pelaku bisnis mayoritas lebih memilih upaya hukum Non Litigasi yaitu
penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution) untuk menyelesaikan setiap

persoalan yang timbul dalam aktivitas bisnis karena sistem penyelesaiannya lebih efektif, adil, tidak
menyita waktu, serta biaya relatif lebih murah. Sebaliknya jalur litigasi, penyelesaian sengketa lambat,
biaya perkara mahal, putusan terkadang tidak menyelesaikan masalah. Pemerintah hendaknya
segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah Penyelenggaraan Informasi dan Transaksi
Elektronik (RPP PITE) yang merupakan aturan hukum lebih lanjut dari Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, agar transasksi elektronik lebih mendapatkan
kepastian hukum. Hendaknya kekuatan hukum pembuktian tanda tangan elektronik dapat disamakan
dengan tanda tangan konvensional dalam pembuatan dokumen-dokumen penting lainnya karena
dewasa ini kekuatan hukum pembuktian tanda tangan elektronik (digital signature) telah diakui
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik

tanyaan :

Bagaimana Pembuatan Kontrak yang Benar Secara Hukum?
Pertanyaan-pertanyaan ini adalah seputar kontrak dan permasalahannya. a. bagaimanakah
format perjanjian tertulis (kontrak) yang standar? b. hal-hal apa sajakah yang minimal diatur di
dalam suatu perjanjian (kontrak)? c. bagaimanakah suatu perjanjian (kontrak) dikategorikan
cacat hukum? d. kiat-kiat apa sajakah yang diperlukan di dalam membuat suatu perjanjian
(kontrak) agar menghindari konflik atau perselishan? e. apakah hukumonline mempunyai contoh
kontrak atau apabila tidak ada di dalam situs manakah saya dapat melihat contoh-contoh

kontrak? Demikian pertanyaan kami; terima kasih.Pertanyaan ini adalah seputar kontrak dan
permasalahannya. a. Bagaimanakah format perjanjian tertulis (kontrak) yang standar? b. Hal-hal
apa sajakah yang minimal diatur di dalam suatu perjanjian (kontrak)? c. Bagaimanakah suatu
perjanjian (kontrak)dikategorikan cacat hukum? d. Kiat-kiat apa sajakah yang diperlukan di
dalam membuat suatu perjanjian (kontrak) agar menghindari konflik atau perselishan? e. Apakah
hukum2000 ini mempunyai contoh kontrak atau apabila tidak ada di dalam situs manakah saya
dapat melihat contoh-contoh kontrak? Demikian pertanyaan kami; terima kasih.

Jawaban :
a. Format perjanjian tertulis
Pada dasarnya, tidak ada format baku atau standar tertentu yang ditentukan dalam pembuatan
suatu perjanjian/kontrak karena Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak (lihat Pasal
1338KUHPerda). Namun, pembuatan perjanjian tentunya harus memenuhi syarat sahnya
perjanjian. Lebih jauh simak artikel kami Batalnya Suatu Perjanjian.

Ricardo Simanjuntak dalam bukunya “Teknik Perancangan Kontrak Bisnis” (hal. 60)
menyatakan bahwa bila bentuk kontrak lisan saja mempunyai kekuatan hukum yang sah dan
harus dipatuhi oleh para pihak yang terikat padanya, maka prinsip tersebut menunjukkan bahwa
pada dasarnya kontrak tidak mempunyai suatu bentuk yang baku.


Jadi, tidak ada standar yang baku yang ditetapkan untuk membuat suatu perjanjian.
b. Hal-hal yang minimal diatur dalam suatu perjanjian
Pada dasarnya suatu perjanjian dapat dibuat secara bebas di antara para pihak yang
mengikatkan

diri. Dalam

membuat

perjanjian

di

Indonesia

berlaku asas

kebebasan

berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata sebagaimana kami sebutkan

di atas. Namun, untuk hal-hal yang penting dicantumkan dalam perjanjian, simak artikel
kami Poin-poin dalam Perjanjian.
c.

Perjanjian cacat hukum
Menurut advokat David M.L. Tobing dari Adams & Co. suatu perjanjian dikatakan cacat apabila
tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu:

SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian
3. Suatu hal tertentu

Syarat SUBJEKTIF

Syarat OBJEKTIF

4. Sebab yang halal

Sehingga, apabila suatu perjanjian itu tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut

dapat dimintakan pembatalannya. Sedangkan apabila suatu perjanjian tidak memenuhi syarat
objektif, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum.

d. Kiat-kiat menghindari konflik atau perselisihan dalam membuat perjanjian.
Lebih lanjut David M.L. Tobing menjelaskan bahwa dalam suatu perjanjian, pada umumnya ada
pihak yang memiliki posisi lebih dominan, ada yang lebih lemah. Hal inilah yang kemudian
mengakibatkan seperti dalam praktik perbankan adanya klausula eksonerasi.

Klausula eksonerasi (pengecualian) ini pada suatu perjanjian kredit bank, mencantumkan
syarat sepihak. Klausula ini menyatakan bahwa Bank sewaktu-waktu diperkenankan untuk
mengubah (menaikan/menurunkan) suku bunga pinjaman (kredit) yang diterima oleh Debitur,
tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari debitur terlebih dahulu. Dengan kata lain, ada
kesepakatan bahwa debitur setuju terhadap segala keputusan sepihak yang diambil oleh Bank
untuk mengubah suku bunga Kredit, yang telah diterima oleh Debitur pada masa/jangka waktu
perjanjian kredit berlangsung.

Dengan adanya klausula eksonerasi tersebut, bank diposisikan lebih tinggi daripada nasabah.
Menurut David, hal-hal seperti inilah yang harus dihindari. Untuk menghindari konflik atau
perselisihan dalam pembuatan suatu perjanjian, posisi setiap pihak harus seimbang sehingga
potensi timbulnya sengketa di kemudian hari dapat diminimalkan.


e.

Hukumonline sampai saat ini belum menyediakan contoh-contoh kontrak. Anda dapat mencari
contoh-contoh kontrak di internet atau berbagai buku.

Catatan: Klinik Hukum menemui dan meminta pendapat David. M.L. Tobing pada 28 April 2011.
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)