Ergonomi analisis Partisipatori Pemahamannya dala

Ergonomi Partisipatori : Pemahamannya dalam Dunia Industri di Indonesia
Intaglia Harsanti
Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma
J1. Margonda Raya No.100 Depok, Jawa Barat
E-mail : harsanti_intaglia@yahoo.com

Intisari
Penerapan ergonomisasi saat ini merambah pada hal-hal yang lebih bersifat
psikologis, tidak hanya bersifat fisik. beberapa perusahaan saat ini
memberikan kesempatan kepada para karyawannya untuk ikut terlibat dalam
perencanaan dan pengawasan atas aktivitas kerja yang mereka lakukan
sendiri dengan pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi
baik itu proses maupun keputusan-keputusan yang memiliki potensi untuk
meningkatkan kepercayaan diri, kompetensi dan kebebasan karyawan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh metode ini dikenal
oleh para pelaku industri di Indonesia pada khususnya. Sejauh ini, bagaimana
perusahaan menunjang kinerja karyawan dalam rangka meningkatkan dan
menjaga produktivitas kerja.
Dalam penelitian ini peneliti mengambil data dari tiga perusahaan yang
bergerak di bidang manufaktur yang berlokasi di Cikarang, Jawa Barat dan
Cakung, Jakarta Timur. Menggunakan metode kualitatif dengan teknik

pengambilan data menggunakan wawancara terstruktur dan observasi non
partisipan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ergonomi partisipatori belum
dikenal dalam dunia industri di Indonesia. Pemahaman mengenai ergonomi
yang lebih dikenal adalah penerapan ergonomi yang berfungsi untuk
memberikan kenyamanan dalam melaksanakan kerja dari segi fisik. Namun
terdapat perusahaan yang telah menerapkan sebagian metode ergonomi
partisipatori dan ternyata memang pada perusahaan itu terlihat iklim kerja
yang lebih sehat, memberikan rasa nyaman pada karyawan dalam
melaksanakan kerja, memelihara loyalitas terhadap perusahaan dan dapat
menimbulkan perasaan puas terhadap pekerjaan.
Kata kunci: ergonomi, ergonomi partisipatori, produktivitas, makalah, Seminar
Nasional, UGM

Pendahuluan
Saat ini banyak perusahaan yang mencoba untuk membuat karyawan merasa
nyaman dengan kondisi kerja yang mereka hadapi setiap hari di perusahaan. Salah satu
caranya adalah dengan menerapkan prinsip ergonomi. Ergonomi pada dasarnya adalah
suatu prinsip ilmu yang menekankan kenyamanan dalam bekerja. Misalnya bagaimana
memanfaatkan ruang agar lebih nyaman dan mendukung kebutuhan kerja karyawan tanpa

membuat si karyawan tersebut mengalami situasi atau suasana yang menyakitkan.
Bagaimana mendesain meja kerja agar dapat berfungsi optimal,hal ini dipertimbangkan
dari hal-hal kecil hingga besar. Misalnya tinggi meja, lebar meja, bentuk meja, panjang
tangan pengguna, tinggi duduknya, postur tubuh, jenis pekerjaan yang akan diterapkan di
ruang tersebut dan sebagainya.
Penerapan ergonomisasi saat ini merambah pada hal-hal yang lebih bersifat
psikologis, tidak hanya bersifat fisik. Misalnya, beberapa perusahaan saat ini memberikan
kesempatan kepada para karyawannya untuk ikut terlibat dalam perencanaan dan
pengawasan atas aktivitas kerja yang mereka lakukan sendiri dengan pengetahuan dan
kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi baik itu proses maupun keputusan-keputusan

yang memiliki potensi untuk meningkatkan kepercayaan diri, kompetensi dan kebebasan
karyawan. Strategi ini dikenal dengan istilah participatory ergonomics (Mambrey, et.al
dalam Theberge, et.al., 2006).
Ergonomi partisipatori (EP) merupakan salah satu cara yang dapat digunakan
untuk menumbuhkan semangat kerja, kreativitas karyawan untuk menghasilkan kinerja
yang produktif. Hal ini disebabkan karena seringkali pengawasan yang diberikan oleh
pihak perusahaan baik pengawasan yang dilakukan oleh manusia maupun pengawasan
yang dibantu oleh mesin hasilnya tidak membuat produktivitas naik tetapi kebalikannya
akan menimbulkan rasa tertekan dan stres akan muncul.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Irving, dkk.(dalam
Greenberg & Barling, 1999) bahwa pekerja yang di awasi oleh baik itu atasannya atau
oleh mesin yang berfungsi untuk mengawasi pekerja, akan mengalami peningkatan stres,
menurunkan interaksi sosial baik dengan rekan kerja maupun penyelia, merugikan
kesehatan, menumbuhkan rasa bosan, tegang, cemas, depresi, kemarahan, dan kelelahan
(Smith et.al., dalam Greenberg & Barling, 1999).
Wilson & Heines (dalam Theberge, 2006) menyatakan bahwa ergonomi
partisipatori (EP) adalah keterlibatan individu dalam perencanaan dan pengawasan
terhadap sejumlah aktivitas kerjanya sendiri yang signifikan dengan pengetahuan dan
kekuasaan yang cukup terhadap proses dan keputusan-keputusan yang memiliki potensi
untuk meningkatkan rasa percaya diri, kompetensi dan kebebasan pekerja.
Pada dasarnya pendekatan pada EP adalah seluruh peserta diharapkan memiliki
keterlibatan langsung dalam perencanaan dan pelaksanaan tugas-tugas mereka, seperti
dengan diadakannya rapat atau pertemuan-pertemuan yang bertujuan untuk saling tukar
pikiran atau menyumbangkan ide-ide yang dapat digunakan untuk menyelesaikan tugas
dengan baik dan sempurna (de Jong & Vink, 2002).
Menurut Cole, dkk. (2000), EP adalah keterlibatan dari individu-individu dalam
perencanaan dan pengawasan sejumlah aktifitas kerja mereka dengan pengetahuan yang
cukup dan kekuasaan untuk mempengaruhi proses dan hasil dengan tujuan untuk
mencapai tujuan yang diinginkan.

Sebagian tempat kerja yang menggunakan intervensi EP membentuk “tim”
ergonomi yang mengarahkan proses intervensi tersebut. Kelompok ini biasanya terdiri
dari karyawan, manajer, ahli ergonomi, anggota divisi kesehatan dan keselamatan kerja
dan peneliti. Tim ini biasanya membuat pelatihan untuk memperkenalkan mereka yang
masih awam dengan prinsip-prinsip ergonomi. Menggabungkan ilmu dari luar dengan
pengalaman organisasi yang unik membuat pemberian intervensi ergonomi yang sesuai
dengan kebutuhan dari suatu tempat kerja menjadi mungkin. Hal ini dapat meningkatkan
kemungkinan bahwa intervensi yang diberikan akan berhasil ( Cole, dkk. 2000).
Tantangan Penyelenggaraan Intervensi Ergonomi
Menyelenggarakan penelitian dengan intervensi ergonomi adalah suatu usaha
keras yang memiliki tantangan. Skeptisisme dari pihak manajemen, keengganan dari
karyawan tingkat bawah dan pemahaman umum mengenai sulitnya berubah merupakan
tantangan yang seringkali menghalangi solusi ergonomis untuk bisa muncul.
Penolakan untuk suatu perubahan adalah hal yang biasa terjadi dalam intervensi
ergonomi. Seringkali intervensi yang diberikan menghasilkan konsekuensi negatif ketika
efektifitasnya diteliti. Intervensi ergonomi adalah komponen kunci dalam proses ini yang
bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi penghadapan pekerja terhadap sumber
stres fisik. Di dalam proses ini seringkali terjadi penurunan singkat pada produktivitas
saat intervensi diperkenalkan dan karyawan mulai berpikir ulang mengenai teknik kerja
untuk membangun ide-ide baru ke dalam proses kerja mereka. Proses ini seringkali segera

menghasilkan respon negatif dari banyak pekerja dan dapat menyebabkan penarikan diri

mereka dari proses intervensi sebelum proses tersebut betul-betul dimulai (Bradenburg &
Mirka, 2005).
Hal senada juga diungkapkan oleh Held & Krueger (2000), yaitu pengguna
intervensi dapat bertindak tidak kooperatif dalam proses perancangan sistem tanpa
pemahaman mengenai masalah yang kuat atau konsensus apapun dalam pemahaman
masalah dengan pemikiran sang ahli. Disini pengguna adalah objek tes dan memiliki
partisipasi bayangan (pseudo participation) dalam perubahan sistem. Mereka tidak tahu
kebutuhannya ataupun memahami bahwa perubahan itu akan membantunya.
Pseudo participation dapat diartikan bila peserta tidak melaksanakan proses
intervensi secara utuh, setengah-setengah dan bisa diartikan pula tidak serius dalam
menjalankan intervensi. Hal ini dijelaskan dalam penelitian Held & Krueger (2000)
sebagai suatu bencana besar dalam berjalannya suatu intervensi ergonomi.
Pendekatan EP terlihat sebagai alat yang efektif untuk meningkatkan penerimaan
terhadap intervensi pada pekerja yang berpartisipasi dalam menggambarkan bahwa disana
terdapat aspek-aspek psikologis dan sosial yang membutuhkan banyak pertimbangan
(Bradenburg & Mirka, 2005). Bertukarpikiran dalam kelompok kerja terbukti merupakan
cara yang efektif dalam menemukan solusi yang harus muncul dan untuk menjaga
sejumlah besar ide-ide tersebut untuk ditransformasikan pada situasi kerja. Adanya ergo

grup dan dilengkapi oleh anggotanya yang dibuat untuk membuat ide-ide yang relevan
merupakan jalan keluar dari masalah yang ada (Montreuil, Bellemare, & Prevost. 2000).
Dalam kesempatan peneltian ini peneliti ingin mengetahui bagaimana
pemahaman ataupun penerapan metode ini di Indonesia. Mengingat saat ini di Indonesia
telah menjamur berbagai jenis perusahaan yang menaungi ribuan karyawan dan dapat
berjalan hingga saat ini. Pertanyaan penelitian yang dicoba untuk dijawab dalam
penelitian kali ini adalah:
1. Apakah istilah ergonomi partisipatori (EP) telah dikenal oleh pelaku industri di
Indonesia?
2. Apakah metodenya telah digunakan untuk meningkatkan kualitas kerja karyawan
dalam perusahaan tersebut?
3. Seberapa jauh mereka menerapkan metode ini?
4. Bila belum, metode apa yang mereka gunakan saat ini?
5. Bagaimana pendapat mereka mengenai metode yang dijalankan sekarang dan
bagaimana penilaian mereka terhadap metode EP?
Metode
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif dengan teknik pengambilan data wawancara dan observasi.
Wawancara dan observasi yang dilakukan berpedoman pada faktor-faktor yang terdapat
dalam ergonomi partisipatori.

Subjek dalam penelitian ini adalah 6 orang staf manajemen pada 3 perusahaan
industri yang bergerak di bidang manufaktur dan otomotif. Perusahaan A berlokasi di
Jakarta Timur dan perusahaan B dan C bertempat di Cikarang, Jawa Barat. Ketiganya
merupakan perusahaan yang dimiliki oleh investor asing, yaitu Jepang dan Korea.
Teknik analisis data dilakukan dengan melakukan koding atau pengelompokkan
data berdasar tema yang tersedia. Untuk menjaga kredibilitas penelitian, peneliti
mengedepankan trustworthiness, antara peneliti dengan narasumber. Hal ini dilakukan
agar data yang diterima dapat diandalkan kebenarannya.
Hasil Penelitian
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada staf dari perusahaan A.
Ancangan kerja (job description) telah mengatur tugas dan kewajiban dari masing-masing
karyawan. Sebagian besar dari itu merupakan hasil adopsi dari Jepang. Namun

perusahaan tidak menutup mata akan adanya kemungkinan perubahan yang disesuaikan
dengan kondisi di Indonesia. Salah satu contoh kembangan system dari manajemen di
Indonesia adalah terbitnya ISO.
“Untuk merancang sistem kerja, dibuat sesuai kebutuhan, digunakan teknik trial error,
kalau dirasa nyaman dilanjutkan bila perlu perbaikan dievaluasi lalu dicari solusi
berdasarkan hasil rapat. Saya harus bicarakan dengan rekan-rekan, sub ordinate saya,
setelah itu kita cari mana pola yang tepat dan efektif untuk diambil. Masing-masing divisi

disini memiliki keleluasaan untuk memilih ataupun mencoba membuat pola kerja yang
sesuai dengan kebutuhan, kenyamanan kerja untuk mendapatkan hasil kerja yang
diharapkan.”
Selain itu sistem pendelegasian tugas telah dirancang sedemikian rupa agar garis
keputusan tidak terlalu jauh di atas. Siapa yang memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan masalah pada divisi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk
menyelesaikan masalah yang ada. Sehingga tidak perlu semua masalah di bawa ke
pimpinan tertinggi. Sehingga masalah dapat segera ditangani, kecuali memang masalah
yang ada rumit dan berkaitan dengan perusahaan secara umum dan para pejabat di divisi
tersebut merasa tidak sanggup barulah masalah tersebut dibawa ke pimpinan.
“siapa saja boleh mbak…kalo kira-kira sama supervisor bisa diselesaiin ya sudah selesai.
Kalo dia gak bisa, dia bawa ke asisten manajer, kalo asisten gak bisa baru ke manajer
kalo gak bisa juga limpahkan lagi ke pimpinan perusahaan atau kalau disini disebut
department head.”
Setiap bulan mereka menyerahkan laporan kepada pimpinan pabrik mengenai apa
saja yang telah dilaksanakan berkaitan dengan rencana kerja yang ditetapkan sebelumnya.
Untuk dapat dievaluasi dan diketahui apa yang menjadi masalah dalam perusahaan juga
sudah sejauh mana mereka sudah berhasil.Setiap harinya dilakukan rapat koordinasi oleh
tiap-tiap kelompok kerja.
“Meeting atau laporan bulanan ke pimpinan 1 bulan sekali. Tetapi masing2 divisi atau

bahkan seksi (kelompok terkecil) hamper setiap hari selalu ada meeting atau rapat
koordinasi.”
“waah, kalo yang namanya rapat itu udah makanan sehari-hari mbak. Jadi setiap hari
yang namanya ruang meeting pasti dipakai tuh mbak..”
Hal tersebut sesuai dengan prinsip ergonomi partisipatori sebagai alat yang
efektif untuk meningkatkan penerimaan terhadap intervensi pada pekerja yang
berpartisipasi dalam menggambarkan bahwa disana terdapat aspek-aspek psikologis dan
sosial yang membutuhkan banyak pertimbangan (Bradenburg & Mirka, 2005).
Bertukarpikiran dalam kelompok kerja terbukti merupakan cara yang efektif dalam
menemukan solusi yang harus muncul dan untuk menjaga sejumlah besar ide-ide tersebut
untuk ditransformasikan pada situasi kerja.
Perusahaan ini juga memberikan kesempatan training kepada karyawannya
dengan asumsi bahwa setiap orang harus memiliki kemampuan ataupun keterampilan
tertentu. Semua itu bisa didapat dengan pendidikan, training adalah salah satu sarana
untuk mencapainya.
“Training biasanya dilakukan berkala, dengan alasan setiap karyawan harus punya
kompetensi. Mereka harus mendapatkan pendidikan yang salah satunya didapat melalui
training. Disini sudah ada bagian khusus yang menangani untuk mengembangkan
training.”
Namun seperti yang diakui oleh staff tersebut bahwa ia merasa bahwa dirinya

sebagai karyawan merasa tidak mendapatkan masalah apapun dengan system kerja yang
ia miliki sekarang. Ia merasa dengan seringnya mengadakan rapat koordinasi,

komunikasinya dengan rekan kerja dan atasan menjadi lebih baik, bahkan ia merasa
terakomodir dalam melaksanakan tugasnya.
“sistem komunikasi kami rasakan sangat baik, kami dapat berkomunikasi dengan lancar
dan baik kepada karyawan bawah maupun ke pihak manajemen, saya sendiri yang
berada di level manajemen sebagai staff merasa sangat terakomodir dalam menjalankan
tugas saya ”.
Berikut ini adalah hasil wawancara yang didapat dari staf perusahaan B dan C.
Bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri ini yang menjadi tolok ukur
adalah jumlah produksi. Hal ini berkaitan dengan pencapaian pesanan produk yang
diminta oleh customer atau pasar. Sehingga bila pesanan tidak terpenuhi akan menjadi
suatu masalah besar yang harus segera ditangani, lain halnya bila yang harus ditangani
adalah kesejahteraan karyawan.
Yang memprihatinkan adalah tidak adanya penilaian kinerja dari pihak
manajemen terhadap seluruh karyawan. Sehingga hampir tidak terlihat perkembangan
karir dari keryawan yang bekerja diperusahaan tersebut. Hal ini tentu saja sangat
mengganggu atau bisa dikatakan sebagai faktor yang menekan timbulnya motivasi untuk
berprestasi dalam bekerja.

”Kalau untuk karyawan sih setahu saya nggak pernah ada kecuali kayak untuk foreman
kalau kosong baru cari ganti, kalo gak ada baru cari dari luar. Tetapi kalau untuk
penilaian rutin nggak pernah ada ”.
Terlebih lagi ketika perusahaan tersebut masih menggunakan faktor senioritas
atau unsur kekerabatan dalam manajemenisasi karyawan. Hal ini merupakan faktor yang
cukup kuat dalam menimbulkan ketidaknyaman, konflik dan ketidakpuasan dalam
bekerja.
”saya ngerasa disini tuh masalah organisasinya sangat tidak mendukung kinerja yang
baik. Saya sudah pernah beberapakali mengajukan masalah ini ke pimpinan tapi tidak
pernah ada tanggapan. Jadi ya rada kecewa juga. ”
Hirarki organisasi yang terlampau tinggi serta sentralisasi kekuasaan pun
merupakan hal yang sangat tidak mendukung dalam perusahaan. Hampir semua masalah
menunggu keputusan dari owner untuk dapat dipecahkan, padahal sebetulnya masalah
tersebut mungkin dapat diselesaikan pada level supervisor saja atau paling tidak manajer
“misalnya aja 2 orang yang dibawah saya ini, kalo ada yang tidak sesuai dengan
pekerjaan mereka saya harus mengajukan proposal ke pihak manajemen untuk diberi
tindakan. Saya tidak bisa melakukan tindakan apa-apa, ini kan makan waktu”
Semua ini menggambarkan bahwa karyawan dalam perusahaan sama sekali tidak
dilibatkan dalam pengambilan keputusan apapun. Baik yang berkaitan dengan system
kerja, peraturan yang berlaku, penanganan masalah organisasi, dan sebagainya. Otoritas
dari manajemen atas merupakan faktor utama yang menyebabkan hal ini terjadi, sehingga
dapat berdampak pada ketidakpusan kerja dari para karyawan.
Kesimpulan
Pada perusahaan A sudah mulai mengembangkan prinsip ergonomi partisipatori
walaupun tidak secara keseluruhan. Pada perusahaan ini masing-masing jabatan memiliki
tanggung jawab yang disepakati bersama lewat rapat koordinasi yang dilakukan secara
periodik untuk menjaga koordinasi dari masing-masing seksi dalam divisi-divisi kerja
yang ada. Mereka menerapkan sistem organisasi yang dibuat melebar sehingga keputusan
tidak diambil secara sentral. Masing-masing manajer memiliki tugas dan tanggung jawab
untuk dapat menyelesaikan masalah yang terjadi dalam divisinya masing-masing, bahkan

sampai ke level supervisor pun bisa, dengan syarat dapat mempertanggungjawabkan
keputusan tersebut kepada pimpinan.
Komitmen kerja pun dapat terlihat lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari
pengakuan karyawan yang menyatakan tidak memiliki masalah dengan organisasi dan
merasa terpuaskan menjadi karyawan di perusahaan tersebut. Didukung pula dengan
pencapaian sertifikasi ISO (International Sertification Organization) yaitu ISO 9000
untuk kualitas produk dan ISO 14000 untuk lingkungan kerja.
Sedangkan pada perusahaan B dan C sama sekali tidak menyentuh ranah
ergonomi partisipatori. Semua ancangan kerja, peraturan, tata tertib, pemecahan masalah
ditentukan oleh pimpinan. Hampir tidak ada kesempatan bagi karyawan untuk sumbang
saran. Bahkan membuat karyawan merasa tertekan dan tidak bisa bergerak sehingga
menimbulkan ketidakpuasan terhadap perusahaan. Hal ini juga membuat karyawan tidak
merasa memiliki perusahaan, tidak memiliki keinginan untuk memajukan perusahaan
apalagi merasakan bangga sebagai anggota keluarga besar perusahaan.
Seluruh subjek menyatakan bahwa mereka tidak mengenal sama sekali dengan
istilah ergonomi partisipatori, bahkan tidak pernah mendengar istilah ini. Hal ini
membuktikan bahwa di Indonesia ternyata metode ergonomi partisipatori belum dikenal
oleh para pelaku dibidang industri. Namun begitu terdapat beberapa teknik yang
digunakan dalam manajemen perusahaan yang sebenarnya merupakan teknik ergonomi
partisipatori. Saat ini mereka lebih berpegang pada peraturan ataupun teknik yang sudah
ada di perusahaan. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dapat diketahui bahwa
karyawan sangat membutuhkan sistem perencanaan kerja serta penilaian kinerja yang adil
dan membangun. Metode ergonomi partisipatori sangat baik diterapkan dalam suatu
organisasi karena dapat memberikan rasa nyaman dan penghargaan bagi karyawan dalam
melakukan unjuk kerja. Sehingga dapat tercipta iklim kerja yang sehat dalam suatu
perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Allard, D., Bellemare, M., Montreuil, S., Marier, M.,&Prevost, J. (2000). Implementation
evaluation of participatory ergonomics program. Proceedings of the Human
Factors and Ergonomics Society, Annual Meeting 2, 688-691.
Bradenburg, D. L & Mirka, G. A. (2005). Assessing the effects of positive feedback and
reinforcement in the introduction phase of an ergonomic intervention. Human
Factors, 47, 526 – 535.
Cole, D; Rivilis, I; Van Eerd, D; Cullen, K; Irvin, E; Kramer, D. (2005). Effectiveness of
participatory ergonomic interventions: A systematic review. Toronto: Institute
for Work & Health
de Jong, A. M., & Vink, P. (2002). Participatory ergonomics applied in installation work.
Applied Ergonomics, 33, 439-448.
Greenberg, L., & Barling, J. (1999). Predicting employee aggression against coworkers,
subordinates and supervisors: The roles of person behaviors and perceived
workplace factors. Journal of Organizational Behavior, 20, 897-913.
Held, J & Krueger, H. (2000). In the beginning…Principles and the B-fore model for EP
and design. Proceedings of the Human Factors and Ergonomics Society,
Annual Meeting 2, 145-148.
Montreuil, S; Bellemare, M; Prevost, J. (2000). From training in ergonomics diagnosis to
finding solutions: Assesment of ergo groups that used participatory
ergonomics. Proceedings of the Human Factors and Ergonomics Society,
Annual Meeting 2, 720-723.