Palembang Emas Cerita Sejarah Peradaban

Artikel Kesejarahan Dimuat di Ampera.co Online 5 November 2017
Link : http://www.ampera.co/baca/palembang--emas-cerita-sejarah-peradaban-kota-kita/

Palembang & Emas, Cerita Sejarah Peradaban Kota Kita
Oleh :
Arafah Pramasto,S.Pd* & Rifkhi Firnando,S.Pd.**
“Palembang EMAS” adalah sebuah sebuah slogan yang kini diusung oleh pemerintah
kota Palembang. Kata “Emas” yang dimaksud merupakan singkatan dari (E)lok, (M)adani,
(A)man, dan (S)ejahtera. Kata ‘Elok’ memiliki padanan kata ‘molek’ atau ‘indah’ yang dalam
bahasa Sansekerta disebut Anglep. Sedangkan kata ‘Madani’ berasal dari bahasa Arab
Maddaniyah memiliki arti ‘Peradaban’ yang berakar pada sebuah fakta sejarah Kota Madinah
– sebelumnya bernama Yatsrib – sebagai tempat ditandatanganinya sebuah konstitusi tertua
yang disebut Piagam Madinah. Intisari yang terdapat dari kata Madani itu adalah pengakuan
atas eksistensi pemeluk agama-agama selain Islam seperti Yahudi, Kristiani (dalam
Amandemen I), serta Majusi (dalam Amandemen II) dalam Piagam Madinah. Maka esensi
dari Elok dan Madani tak jauh beda dengan ‘manunggal’-nya masyarakat dalam keragaman
sehingga tercipta rasa ‘Aman’ serta berkemampuan untuk hidup ‘Sejahtera.’
Namun, di balik singkatan EMAS itu, sesungguhnya kota Palembang telah lama
memiliki keterkaitan dengan komoditas emas dalam arti yang sebenarnya. Uniknya, emas
telah menjadi adjektiva yang prominen dari waktu ke waktu untuk kota Palembang. Bahkan
ada kepercayaan bahwa nama ‘Palembang’ itu berasal dari kata melembang yang artinya

adalah kegiatan mendulang emas di sungai. Meskipun masyarakat secara umum dapat dengan
mudah mengartikan kata ‘Swarnadwipa’ yang berarti ‘Pulau Emas’ sebagai nama kuno untuk
Pulau Sumatera secara umum, namun masih sedikit sekali di antaranya yang mengerti
akarnya secara historis. Demikianlah hal ini sangat baik untuk dapat dikaji.
Kerajaan Sriwijaya yang didirikan sekitar abad ke-7 M merupakan sebuah kesatuan
politik bersifat maritim. Kuasa hegemoninya yang turut mencakup wiayah Melayu
Semenanjung menunjukkan kemampuan militer unggul, hingga kerajaan ini pun sempat
berhadapan dengan kekuatan politik yang kuat di Jawa yakni Kerajaan Medang seperti yang
terungkap dari Prasasti Anjuk Ladang bertarikh 937 M ; perseteruan ini disebabkan
persaingan menguasai jalur perdagangan di Asia Tenggara. Lebih luas dari lingkup Nusantara
maupun Asia Tenggara, Kerajaan Sriwijaya turut menjalin hubungan dengan Kekhalifahan
Islam di Timur Tengah yakni Bani Umayyah. Surat pertama yang dikirimkan oleh Sriwijaya
*

Penulis Lepas & History Blogger
Operator DAPODIK SDN 10 Sumber Marga Telang (Banyuasin)

**

Artikel Kesejarahan Dimuat di Ampera.co Online 5 November 2017

Link : http://www.ampera.co/baca/palembang--emas-cerita-sejarah-peradaban-kota-kita/
kepada Khalifah Muawiyah (661-680 M) terdapat dalam sebuah diwan (arsip) kerajaan oleh
Abd Al-Malik Ibn Umayr. Isi dari pembukaannya berbunyi, “Dari Raja Al-Hind yang
kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) istananya terbuat dari emas dan
perak.....” Sriwijaya kemudian dikenal sebagai Sribuza atau Zabag dalam sumber Arab.
Tradisi surat-menyurat dalam dunia kerajaan memang kerap ditemukan penggunaan
bahasa yang hiperbola (dibesar-besarkan). Tujuan dari pemakaian bahasa seperti itu tidak lain
adalah untuk menimbulkan rasa kagum dari negara sahabat atas apa yang dimiliki oleh
kerajaan itu sendiri. Sederhananya, belum tentu Khalifah Muawiyah akan memeriksa
langsung keadaan di Sriwijaya mengenai “Istananya (Raja Sriwijaya) yang Terbuat dari
Emas.” Sriwijaya yang kaya akan emas akhirnya dicatatkan oleh seorang pedagang Arab
bernama Sulaiman sekitar tahun 851 M. Sulaiman mencatatkan “....Maharaja Zabag yang
istananya menghadap talag (kata talag mengacu kepada “Muara Sungai” sebagaimana yang
ada di Tigris, sungai yang mengalir antara Baghdad dan Bashrah di Irak), talag itu memiliki
sebuah danau kecil sebagai tempat dimana para pelayan raja akan melemparkan batanganbatangan emas setiap paginya. Pada saat air pasang, air danau akan menutupi batangan emas
yang ada di talag, sedangkan saat sungai surut, batangan emas itu akan muncul dan
berkilauan oleh sinar matahari. Saat raja mangkat, batangan emas itu akan dihitung dan
dilebur, untuk kemudian dibagikan kepada para keluarga kerajaan laki-laki dan perempuan,
kepada para pejabat sesuai pangkatnya, sisanya akan dibagikan kepada orang-orang miskin
dan yang kurang beruntung.” Anthony Reid dalam bukunya yang berjudul Witnesses to

Sumatra, A Travellers’ Anthology menjelaskan bahwa emas yang dimaksud oleh Sulaiman itu
berasal dari pegunungan Bukit Barisan.
Walau catatan Sulayman dapat menimbulkan sikap skeptis karena kesan yang
“hiperbola” dalam menceritakan kekayaan emas Kerajaan Sriwijaya, namun hal tersebut
bukan berarti tidak memiliki sintesa dengan kajian kesejarahan modern. Kenedi Nurhan
dalam laporan jurnalistik berbentuk buku dengan judul Jelajah Musi : Eksotika Sungai di
Ujung Senja mencatatkan pendapat dari arkeolog Sumatera Selatan yang telah cukup kesohor
akan perannya dalam bidang ini yakni Retno Purwanti. Retno menerangkan bahwa melalui
identifikasi yang ia lakukan atas benda-benda peninggalan Sriwijaya seperti botol merkuri,
uang timah, uang tembaga, arca, dan perhiasan emas-perak ; semuanya menunjukkan
kemajuan perdagangan Sriwijaya sebagai penghasil emas. “Emas tersebut mungkin saja
diperdagangkan secara lintas wilayah. Beberapa mungkin tenggelam di dasar Sungai Musi
karena (kapal) karam atau ada alasan lain”, ujar Retno.Maka, kisah Sulaiman sedikit banyak

Artikel Kesejarahan Dimuat di Ampera.co Online 5 November 2017
Link : http://www.ampera.co/baca/palembang--emas-cerita-sejarah-peradaban-kota-kita/
dapat dibuktikan kebenarannya karena ia mencatatkan hubungan seputar emas dan peradaban
sungai di Sribuza (Sriwijaya).
Selepas dari masa Kerajaan Sriwijaya, berangsur-angsur Palembang jatuh ke tangan
penguasa-penguasa lainnya seperti Colamandala (India), Singasari, Majapahit, hingga

akhirnya di bawah kekuasaan Demak. Palembang berada di posisi strategis perdagangan
internasional. Jelasnya keberadaan Palembang yang sebagai sebuah kota dengan transportasi
sungainya dan terletak dekat dengan pantai timur Sumatera dapat mempermudah menuju
perdagangan laut yang utamanya ialah ke Malaka. Pada sekitar abad ke-16 jaringan
perdagangan secara unik menempatkan Malaka dapat berhubungan dengan pulau-pulau di
Nusantara. Tome Pires seperti dikutip oleh Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern
mencatatkan trayek-trayek utama dalam perdagangan dari dan ke Malaka salah satunya
adalah Malaka-Pantai Timur Sumatera ialah dengan hasil utamanya merupakan emas. Saat
Sultan Agung dari Kesultanan Mataram Islam berkuasa dan meminta ketundukan Palembang
pada

otoritas

Jawa,

dalam

Ensiklopedia

Raja-Raja


Tanah

Jawa

karangan

Ki

Sabdacarakatama, konon Mataram mewajibkan upeti emas selain juga persembahan berupa
gajah dari Palembang setiap tahunnya. Syarat yang dibebankan kepada Palembang itu
memperkuat surat yang dikirimkan pada Khalifah Umayyah sekitar 10 abad sebelumnya
bahwa wilayah ini memiliki sumber daya emas yang banyak termasuk satwa seperti gajah
yang saat itu lumrah dipakai sebagai tunggangan kehormatan raja maupun untuk perang.
Kesultanan Palembang yang didirikan sejak 1659 akhirnya dihapuskan oleh
pemerintah Hindia Belanda sejak 1823 menyusul kekalahan Sultan Mahmud Badaruddin II
dalam pertempuran melawan Belanda dua tahun sebelumnya. Keputusan Belanda untuk
menghilangkan Kesultanan Palembang tidak hanya memiliki arti berdirinya kuasa kolonialisimperialis Belanda namun juga menjadi kesempatan besar untuk dapat mengeksploitasi
kekayaan alam maupun manusia di Sumatera Selatan. Palembang selanjutnya merupakan
salah satu wilayah kekuasaan Hindia Belanda yang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke20 semakin terasa nilai strategisnya.Sumber-sumber daya baru di Palembang pun

bermunculan seperti hasil pertanian karet dan kopi. Selain itu pertambangan seperti minyak
bumi dan batu bara mulai dikenal luas dan terbuka lebar untuk digarap. Memasuki dasawarsa
kedua abad ke-20 menjadi salah satu kawasan wingewesten (daerah untung), sebutan untuk
daerah-daerah yang diekspoitasi secara ekonomi di Hindia Belanda. Bagi kaum Bumiputra
setempat, para pedagang, perantau, kaum profesional, dan pencari kerja, Palembang disebut
“Oedjan Mas”(“Hujan Emas”). Dampak dari Hujan Emas ini salah satunya ialah masyarakat

Artikel Kesejarahan Dimuat di Ampera.co Online 5 November 2017
Link : http://www.ampera.co/baca/palembang--emas-cerita-sejarah-peradaban-kota-kita/
pedalaman dapat menikmatinya dengan mampu mampu membeli oto atau mobil. Pada tahun
1920, jumlah oto pribadi belum mencapai 300 buah dan itupun dimiliki oleh beberapa
perusahaan ataupun pejabat. Namun pada 1927 jumlahnya sudah mencapai 3.750 oto dengan
berbagai tipe dan ukuran serta tersebar hingga ke pedalaman. “Emas” di masa kolonial tidak
hanya berupa logam mulia, namun merujuk kepada bermacam kekayaan alam yang dapat
memberi untung.
Emas adalah sebuah komoditas yang tinggi harganya dan cenderung dipilih oleh
orang-orang untuk berinvestasi. Beberapa tahun silam seorang Professor asal Spanyol
bernama Umar Ibrahim Vadillo menggagaskan dikembalikannya fungsi emas dinar sebagai
mata uang dunia karena menurutnya uang kertas yang dicetak terus menerus akan terus
menurun nilainya sebagaimana sebuah produk yang harganya akan turun bila diproduksi

massal. Di luar konteks kebendaan, emas bisa juga menjadi sebuah kata sifat yang
menunjukkan kegemilangan contohnya ialah istilah “Zaman Keemasan” ataupun untuk
menandai sesuatu yang benilai lebih seperti istilah “Anak Emas”. Dari berbagai kisah lintas
zaman Palembang yang dituliskan sebelumnya, kita menyadari bahwa Sumatera Selatan yang
kaya akan emas itu secara silih berganti di kuasai oleh pihak-pihak lain. Oedjan Mas di masa
kolonial pun sebenarnya tidak seberapa menguntungkan pribumi setempat jika dibandingan
dengan apa yang telah dikeruk oleh Hindia Belanda. “Emas” Palembang saat ini adalah
manusianya yang kian hari mendapat tantangan dalam kopleksitas kehidupan bermasyarakat
hingga berbangsa seperti ancaman intoleransi, degradasi moral, maupun lemahnya ekonomi.
Dengan semangat Palembang EMAS yang ingin dicapai 2018 nanti, hendaknya segenap
komponen masyarakat termasuk pemerintah dapat memajukan pembangunan manusia dari
segi karakter maupun intelektual tidak sebatas pada pembangunan fisik saja, agar
keemasansepenuhnya menjadi milik seluruh warga Palembang.
Sumber
Nurhan, Kennedi (Ed.), Jelajah Musi : Eksotika Sungai di Ujung Senja, Jakarta : Penerbit
Buku Kompas, 2010.
Reid, Anthony, Sumatera Tempo Doeloe, Depok : Komunitas Bambu, 2014.
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press,
2011.
Sabdacarakatama, Ki, Ensiklopedia Raja-Raja Tanah Jawa, Yogyakarta : Narasi, 2010.


Artikel Kesejarahan Dimuat di Ampera.co Online 5 November 2017
Link : http://www.ampera.co/baca/palembang--emas-cerita-sejarah-peradaban-kota-kita/