Kebijakan Intervensi Amerika Serikat ter

KEBIJAKAN INTERVENSI AMERIKA SERIKAT TERHADAP
KUBU LOYALIS QADDAFI PADA MASA PERANG SIPIL
LIBYA 2011
Untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Analisa Politik Luar
Negeri
Dosen pengampu : Achmad Fathoni Kurniawan, S.IP, MA.

Disusun oleh :
Safira Nur Muchlisina (135120401111021)

HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Politik luar negeri merupakan salah satu bidang kajian studi Hubungan Internasional.
Politik Luar Negeri merupakan suatu studi yang kompleks karena tidak saja melibatkan
aspek-aspek eksternal akan tetapi juga aspek-aspek internal suatu negara.1 Dalam
mempelajari ha tersebut, pengertian dasar yang harus kita ketahui bahwa politik luar
negeri adalah“action theory”, atau kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan kepada
negara lain untuk mencapai kepentingan tertentu. Secara pengertian umum, politik luar
negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran
untuk mempertahankan, mengamankan dan memajukan kepentingan nasional di dalam
percaturan dunia internasional. Suatu komitmen yang pada dasarnya merupakan strategi
dadar untuk mencapai suatu tujuan baik dalam konteks dalam negeri dan luar negeri serta
sekaligus menentukan keterlibatan suatu negara di dalam isu-isu internasional atau
lingkungan sekitarnya. 2
Sedangkan kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang
dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit
politik internasional lainnya, dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik
yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional.3
Howard Lentner mengklasifikasikan faktor-faktor dalam pengambilan suatu kebijakan
luar negeri ke dalam dua kelompok, yaitu determinan

luar negeri dan determinan


domestik.4
Determinan luar negeri mengacu pada keadaan sistem internasional dan situasi pada
suatu waktu tertentu. Sistem internasional didefinisikan sebagai pola interaksi diantara
negara-negara yang terbentuk/dibentuk oleh struktur interaksi diantara pelaku-pelaku
yang paling kuat (most powerful actors). Sistem internasional setelah periode Perang
Dunia II yang dikenal sebagai bipolaritas (dua kutub) adalah contoh dari sistem
1 James N.Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An
Introduction. New
York: The Free Press, hal. 15.
2 Yanyan Mochamad Yani. 2000. Politik Luar Negeri. Bandung : Unpad hal. 1.
3 Jack C. Plano dan Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Bandung: Abardin,
hal. 5.
4 Howard Lentner. 1974. Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual
Approach. Ohio: Bill
and Howell Co., hal. 105-171.

2

internasional yang pernah berlaku dalam politik global. Sedangkan konsep situasi

diartikan sebagai pola-pola interaksi yang tidak tercakup/ mencakup keseluruhan sistem
internasional. Sebagai contoh pola hubungan diantara negara-negara di Asia Tenggara
yang terlibat dalam ASEAN akan dibahas sebagai suatu situasi.5
Determinan domestik menunjuk pada keadaaan di dalam negeri yang terbagi ke dalam
tiga kategori berdasarkan waktu untuk berubah, yaitu:
 Highly stable determinants; terdiri atas luas geografi, lokasi, bentuk daratan, iklim,



populasi, serta sumber daya alam.
Moderately stable determinants; terdiri atas budaya politik, gaya politik, kepemimpinan
politik, dan proses politik.
Unstable determinants; yaitu sikap dan persepsi jangka panjang serta faktor-faktor
ketidaksengajaan6
Jika dilihat melalui asumsi Howard Lentner dalam memandang tema pembahasan
yang diambil oleh penulis, makalah ini lebih cenderung mengambil asumsi determinan
luar negeri karena Amerika Serikat sebagai most powerful actors tidak ingin mengalami
kekurangan pasokan energi minyak dan gas dunia bagi kepentingan negaranya. Disini
sangat terlihat sekali bagaimana Amerika Serikat begitu memperjuangkan Libya sebagai
negara yang memiliki peranan amat penting bagi keamanan dunia, karena di sisi lain

Amerika Serikat juga sangat bergantung kepada Libya atas sumber daya alam yang
Libya miliki. Kepentingan Amerika Serikat untuk tetap mempertahankan Libya sebagai
negara yang menjadi salah satu pondasi pertahanan Amerika direalisasikan melalui
kebijakan “Humanitarian Intervention” dengan alasan pemerintahan Qaddafi yang
sudah melebihi batas dalam melakukan kejahatan terhadap warga sipil Libya yang mana
perang ini disebut Perang Sipil Libya. Perang Sipil Libya ini terjadi karena pemerintahan
Qaddafi selama 41 tahun dianggap tidak bisa mengayomi dan mensejahterakan warga
sipil Libya, malah justru hanya memberikan kerugian bagi rakyatnya dan seluruh
keuntungan negara masuk ke dalam pundi-pundi Pemerintah Qaddafi sendiri. Dari
kecurangan-kecurangan Qaddafi inilah, memunculkan kaum pemberontak yang ingin
menggulingkan pemerintahan Qaddafi dan mereka menyebut dirinya sebagai National
Transition Council (NTC).
Adanya serangan pemerintah Qaddafi terhadap warga sipil yang tidak bersenjata
tersebut dinilai sebagai bentuk kejahatan atas kemanusiaan. PBB pun mengeluarkan
resolusi 1973 yang mengizinkan negara anggota PBB untuk menjalankan langkah
apapun yang diperlukan dalam upaya melindungi warga sipil di Libya dari kekerasan

5 Ibid, hal. 51-70.
6 Ibid, hal. 135-172.


3

pasukan pemerintah Qaddafi (Azra, 2011). Humanitarian intervention yang dilakukan
oleh Amerika Serikat di Libya sangat menekankan norma Responsibility to Protect
(RtoP) yang dikaitkan dengan pelanggaran HAM dan kejahatan-kejahatan yang terjadi
selama kepemimpinan Qaddafi.7 Selain itu, Amerika Serikat menggunakan strategi
intervensi militer di Libya dengan dalih kemanusiaan, yakni Operation Odyssey Dawn.8
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Model Kepemimpinan Qaddafi sehingga terjadi Perang Sipil Libya pada
tahun 2011?
2. Bagaimana Kebijakan “Humanitarian Intervention” dan “Operation Odyssey Dawn”
Amerika Serikat mempengaruhi Libya pada masa kepemimpinan Qaddafi?
3. Bagaimana teori Leadership memandang Pemerintahan Qaddafi menjadi penyebab
Perang Sipil Libya pada tahun 2011?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah terjadinya Perang Sipil Libya pada tahun 2011.
2. Untuk mengetahui Intervensi Amerika Serikat terhadap Perang Sipil Libya pada tahun
2011.
3. Untuk mengetahui pemahaman tentang kebijakan Humanitarian Intervention dan
Operation Odyssey Dawn Amerika Serikat terhadap pemerintahan Qaddafi.

4. Untuk mengetahui bagaimana teori Leadership memandang Pemerintahan Qaddafi
yang menjadi penyebab Perang Sipil Libya pada tahun 2011.
1.4 Manfaat
1. Sebagai sarana informasi mengenai Politik Luar Negeri dan Kebijakan Luar Negeri.
2. Sebagai sarana untuk mengetahui sejarah terjadinya Perang Sipil Libya pada tahun
2011.
3. Sebagai sarana untuk mengetahui intervensi Amerika Serikat terhadap Perang Sipil
Libya pada tahun 2011.
4. Sebagai sarana untuk mengetahui pemahaman tentang kebijakan Humanitarian
Intervention dan Operation Odyssey Dawn Amerika Serikat terhadap pemerintahan
Qaddafi.
5. Sebagai sarana untuk mengetahui bagaimana teori Leadership memandang
Pemerintahan Qaddafi yang menjadi penyebab Perang Sipil Libya pada tahun 2011.
6. Sebagai sarana untuk para pembaca agar lebih kritis dan solutif dalam memandang
kebijakan luar negeri yang dikeluarkan suatu negara.

7 Andriana AF. 2014. “Kebijakan Luar Negeri AS terkait Intervensi di Libya”. Diakses
melalui http://andraina_af-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-116702-Perbandingan
%20Politik%20Luar%20Negeri.html pada tanggal 3 Januari 2014
8 Ibid.,


4

5

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perang Sipil Libya 2011
Sejak Kolonel Muammar Al-Qaddafi (atau Gaddafi) naik menjadi pemimpin baru
Libya di tahun 1969 lewat kudeta yang juga mengakhiri era kerajaan, Libya menjadi salah
satu negara Timur Tengah yang kondisi sosial politiknya amat tertutup. Sebagai gambaran
singkat, rakyat Libya dilarang mengkritik kinerja pemerintah Libya & dilarang mendirikan
partai politik. Qaddafi juga mendesain sistem perpolitikan Libya sedemikian rupa sehingga ia
tetap memiliki kekuatan untuk mempengaruhi aneka kebijakan dari pemimpin berkuasa
Libya kendati secara konstitusional, Qaddafi tidak lagi menjadi pemimpin tertinggi dari
negara berbendera hijau tersebut. Di luar negeri, Qaddafi dikenal kerap menjalankan aneka
kebijakan yang kontroversial dengan dalih menyokong revolusi di luar negeri. Sebagai
contoh, secara tidak langsung ia ikut mengobarkan konflik-konflik di negara lain dengan cara
mendanai & melatih aneka kelompok pemberontak seperti IRA (Irlandia Utara), Brigade
Merah (Jerman), FARC (Kolombia), serta MILF (Filipina). Libya juga beberapa kali

mengirimkan agen rahasianya ke luar negeri untuk melakukan aksi-aksi pemboman di tanah
Eropa & membunuh para perantauan Libya yang mengkritik rezim Qaddafi. Sebagai
akibatnya, Libya pun dimusuhi oleh negara-negara Barat. AS bahkan bertindak lebih jauh
dengan melancarkan serangan udara ke Libya pada tahun 1986, namun serangan tersebut
gagal membunuh Qaddafi.9
Seperti yang dipaparkan diatas tentang track record Qaddafi dan pemerintahannya
dalam memimpin Libya begitu sangat menyiksa warga sipil Libya. Qaddafi justru tidak
mengedepankan kemauan rakyatnya, tidak mensejahterakan rakyatnya, pendapatan negara
yang seharusnya diperuntukkan warga sipil Libya malah masuk ke dalam pundi-pundi
Qaddafi, keluarga dan kerabat dekatnya. Selain dalam bidang ekonomi, warga sipil Libya pun
dalam berpendapat sangat dibatasi oleh pemerintahan Qaddafi.
Model pemerintahan Qaddafi yang seperti ini justru membuat kondisi Libya
memburuk. Mulai munculnya gerakan pemberontak yang ingin menggulingkan pemerintahan
9 Republik Eusosialis Tawon. 2012. “Perang Sipil Libya yang Mengakhiri Rezim panjang
Qadhafi”. Diakses melalui http://republik-tawon.blogspot.com/2012/02/perang-sipil-libyayang-mengakhiri.html pada tanggal 3 Januari 2014

6

Qaddafi, yang telah memerintah selama 41 tahun dan membatasi seluruh hak berpendapat
para warga sipil sehingga Qaddafi bisa melanggengkan kekuasaannya dalam memimpin

Libya sesuai dengan kepentingan kelompoknya. Gerakan pemberontak ini menamakan
dirinya sebagai National Transition Council (NTC). Dengan adanya gerakan ini membuat
Libya menjadi krisis politik dan terbelah menjadi dua kubu yang saling berseteru yaitu kubu
loyalis Qaddafi dan kubu oposisi yang dimobilisasi oleh NTC. Kedua kubu ini memiliki
kepentingan yang berbeda, di satu sisi kubu loyalis Qaddafi ingin tetap melanggengkan
kekuasaannya dalam memerintah Libya, sementara kubu NTC menginginkan Qaddafi turun
dari jabatannya. Kubu NTC pun mengklaim bahwa dirinya adalah badan pemerintahan yang
berdaulat di Libya. Kemunculan NTC sekaligus membuka fase baru dalam konflik sipil di
Libya dari yang awalnya hanya sebatas kerusuhan sipil menjadi perang berskala nasional.
Sejak tanggal 15 Februari 2011, timbul aksi demonstrasi di sejumlah kota di Libya
seperti di Benghazi, Bayda, & Zintan menuntut mundurnya Qaddafi. Dalam aksi demonstrasi
di kota-kota tertentu semisal Bayda, para demonstran juga dilaporkan melakukan aneka
tindakan vandalisme seperti penyerangan & pembakaran gedung-gedung perkantoran milik
pemerintah.10 Tidak hanya berhenti sampai disitu saja, kubu NTC juga semakin terus-menerus
menentang pemerintahan Qaddafi. Aksi-aksi yang mereka lakukan semakin lama semakin
membesar dan mengkhawatirkan. Pemerintah pun tidak mau kalah garang dengan kubu
pemberontak. Sejak tanggal 21 Februari pesawat tempur sampai dikerahkan untuk
membombardir para demonstran di Tripoli, ibukota Libya. Tak hanya itu, pemerintah Libya
juga mematikan sambungan telepon di seantero Libya untuk memblokir informasi yang
keluar masuk Libya.


11

Kemudian semakin hari semakin banyak warga sipil yang tidak

berdosa menjadi korban dalam peperangan ini.Kondisi Libya semakin mengkhawatirkan dan
memburuk. Perang ini terus berlanjut, kedua kubu yaitu kubu loyalis Qaddafi dan kubu NTC
terus menyerang satu sama lain, terus berebut daerah kekuasaan di seluruh Libya, mulai dari
kota-kota kecil hingga kota-kota terbesar dan menguntungkan bagi Libya. Ketika kubu NTC
bisa menguasai daerah timur Libya, kubu loyalis Qaddafi berusaha merebut daerah barat
Libya dan hal ini terus-menerus terjadi hingga pada akhirnya, kubu loyalis Qaddafi nyaris
membuat kubu NTC babak belur karena berhasil menguasai daerah-daerah yang mana
sebelumnya diblokade oleh kubu NTC. Dari segi kemiliteran memang kubu loyalis Qaddafi
lebih kuat karena memiliki senjata-senjata negara untuk digunakan dalam berperang. Tetapi,
intervensi dari pihak luar negara Libya mulai memasuki wilayah Libya, pihak eksternal ini
10 Ibid.,
11 Ibid.,

7


berusaha untuk menyerang kubu loyalis Qaddafi yang mana sebagai pemerintahan suatu
negara, pemerintahan Qaddafi dianggap buruk karena menjadi salah satu pihak yang bertikai,
tidak mampu menengahi atau menahan dirinya. Selain itu, apa yang dilakukan pemerintahan
Qaddafi dirasa sudah sangat keterlaluan, karena diperkirakan korban jiwa yang tewas
sebanyak 1.000-4.000 korban jiwa.12
Pada 20 Oktober 201113, kubu NTC berhasil menguasai kota Sirte sepenuhnya dan
beberapa kota besar lainnya atas bantuan pihak eksternal juga seperti NATO (AS), Inggris,
Perancis. Qaddafi dalam pengawalan kubu loyalisnya berusaha melarikan diri dari kota
tersebut tetapi gagal karena berhasil diendus oleh pesawat NATO yang kemudian
melancarkan serangan ke arah mereka tetapi Qaddafi berhasil kabur dan masuk ke dalam
gorong-gorong, namun ia akhirnya berhasil ditemukan & diseret keluar oleh sejumlah
anggota pemberontak. Pada saat inilah, Qaddafi yang saat itu dikepung oleh orang-orang
yang menangkapnya tewas ditembak di bagian kepala. Mayatnya lalu dibawa &
"dipamerkan" di sebuah toko daging di kota Misrata. Dengan tewasnya Qaddafi, maka perang
sipil di Libya yang sudah berlangsung selama 9 bulan pun oleh pihak NTC dinyatakan
berakhir. Berakhirnya perang sipil di Libya lantas diikuti dengan keputusan NATO untuk
menghentikan seluruh operasi militernya di Libya pada akhir bulan Oktober 2011.
2.2 Kebijakan Amerika Serikat kepada Pemerintahan Qaddafi
Ketika masa Perang Sipil Libya pada tahun 2011 lalu, terdapat intervensi dari pihak
luar yang turut memberikan kontribusinya kepada Libya dengan berbagai cara. Contohnya
saja, negara super power Amerika Serikat. Amerika Serikat memberikan kontribusinya
dengan memberikan 2 kebijakan luar negerinya bagi Libya.
Pertama adalah kebijakan “Humanitarian Intervention”. Menanggapi krisis Libya
tersebut, Amerika Serikat yang dipimpin oleh Presiden Barrack Obama menyusun strategi,
yakni menggunakan kekuatan militer sebagai last resort dan berkoalisi dengan pihak yang
lebih luas, serta mendapat legitimasi dari Dewan Keamanan PBB (Patrick, 2011). Dengan
strategi tersebut, Amerika Serikat memiliki tujuan jangka pendek yakni untuk menghentikan
kejahatan yang dilakukan oleh Muammar Qaddafi terhadap rakyat sipil Libya, serta tujuan
jangka panjang untuk melengserkan Qaddafi dari kepememimpinan di Libya. Amerika
12 Republik Eusosialis Tawon. 2012. “Perang Sipil Libya yang Mengakhiri Rezim panjang
Qadhafi”. Diakses melalui http://republik-tawon.blogspot.com/2012/02/perang-sipil-libyayang-mengakhiri.html pada tanggal 3 Januari 2014
13 Ibid.,

8

Serikat pun berhasil mencapai kedua tujuan tersebut melalui kebijakan humanitarian
intervention. Humanitarian intervention yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Libya
sangat menekankan norma Responsibility to Protect (RtoP) yang dikaitkan dengan
pelanggaran HAM dan kejahatan-kejahatan yang terjadi selama kepemimpinan Qadhafi.
Kemudian pada 4 Agustus 2011, pemerintahan Obama mengeluarkan Presidential Study
Directive on Mass Atrocities (PSD-10). PSD-10 mendefinisikan mass atrocities sebagai inti
kepentingan akan keamanan nasional dan inti tanggung jawab moral dari Amerika Serikat.
PSD-10 ini mencakup beberapa tindakan dalam menghadapi mass atrocities seperti tidak
bertindak sama sekali, diplomasi preventif, sanksi ekonomi dan finansial, embargo senjata
dan tindakan pemaksaan (Patrick, 2011).
Kedua adalah kebijakan “Operation Odyssey Dawn” yang merupakan strategi
intervensi militer Amerika Serikat di Libya dengan dalih kemanusiaan. Operasi militer ini
dilaksanakan sebagai bentuk enforcement dari resolusi PBB 1973, yang diadopsi pada 17
Maret 2011, yakni Bab VII dari Piagam PBB yang mengesahkan penggunaan kekuatan
militer, termasuk penegakan aturan no-fly zone and untuk melindungi rakyat sipil di Libya.
Operasi militer AS di Libya juga disebut dengan Operation Odyssey Dawn (OOD) yang
didefinisikan oleh James G. Foggo dan Michael Beer (2013: 92) sebagai respon yang
dikeluarkan oleh AS atas Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973 yang menyerukan adanya
pembentukan sebuah no-fly zone di atas Libya dan perlindungan warga sipil dari ancaman
dan kekrasan yang dilakukan oleh militer yang digerakan oleh rezim Qaddafi. OOD ini secara
bertahap mengintegrasikan lebih banyak elemen dari intervensi militer multinasional dalam
menanggapi Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973. Sehingga pada perkembanganya semakin
banyak negara yang tergabung dalam operasi ini, namun meskipun begitu operasi ini masih
dianggap operasi militer AS semata, mengingat AS menjadi komando utamanya. Kelemahan
dari Operation Odyssey Dawn (OOD) ini dijelaskan oleh Quartararo et al. (n.d: 145) sebagai:
“U.S. solo intervention in Libya could be perceived by some in the Muslim world community
as another U.S. attack on Islam. Hal ini mengingat AS disini dianggap oleh dunia
internasional sebagai satu-satunya aktor dalam operasi yang dijalankanya tersebut.
Resolusi tersebut secara khusus berisi: (1) menyerukan gencatan senjata dan
mengakhiri semua tindakan penyerangan melawan rakyat sipil; (2) memberi otoritas bagi
negara-negara anggota PBB untuk melakukan tindakan, baik secara nasional maupun melalui
organisasi dan perjanjian regional, untuk melindungi rakyat sipil dari ancaman penyerangan,
9

termasuk di Benghazi; (3) resolusi khusus tidak termasuk pembentukan pendudukan kekuatan
asing dalam bentuk apapun di seluruh bagian wilayah Libya; (4) menyerukan negara-negara
anggota Liga Arab untuk bekerjasama dalam implementasi resolusi PBB ini; (5) memberi
otoritas pembentukan no-fly zone di wilayah udara Libya, namun tidak termasuk larangan
penerbangan dengan tujuan bantuan kemanusiaan dan evakuasi warga negara asing (Taylor &
Smith, 2011). Sistem kerja dari Operation Odyssey Dawn sendiri menurut Gretler (2011: 11)
adalah “operations in Operation Odyssey Dawn included strikes on “mechanized forces,
artillery...those mobile surface-to-air missile sites, interdicting their lines of communications
which supply their beans and their bullets, their command and control and any opportunities
for sustainment of that activity” when forces were “attacking civilian populations and cities.
Dua kebijakan ini diaplikasikan di Libya pada masa Perang Sipil Libya. Amerika
Serikat melakukan ini bukan semata-mata karena ingin membantu tetapi Amerika Serikat
juga memiliki kepentingan di dalamnya. Libya merupakan negara pemasok energi minyak
dan gas dunia yang cukup besar. Amerika Serikat adalah salah satu negara yang bergantung
pada minyak dan gas Libya. Semenjak, Qaddafi memimpin Libya dan pemerintahan Qaddafi
membuat Libya menjadi negara yang tertutup serta membatasi hak warga sipilnya untuk
berpendapat. Hal ini tentu membuat Amerika Serikat menjadi kesusahan, karena pada
pemerintahan Libya sebelum Qaddafi, hubungan Amerika Serikat dengan Libya terbilang
berjalan dengan baik, AS bisa membawa kepentingan operasional pangkalan militer dan
kepentingan minyak di Libya. Namun, semenjak Qaddafi berhasil menggulingkan
pemerintahan sebelumnya dan dipegang oleh rezim Qaddafi pada tahun 1969, hubungan
Amerika Serikat dan Libya semakin memburuk. Rezim Qaddafi pun dianggap sebagai
ancaman bagi kepentingan-kepentingan Amerika Serikat tersebut, sehingga concern
pembuatan kebijakan luar negeri Amerika Serikat didominasi oleh isu-isu terkait Libya.14

2.3 Teori Leadership
Berdasarkan catatan perkuliahan yang diberikan oleh salah satu dosen FISIP,
Universitas Brawijaya (Achmad Fathoni, 2014). Seorang Leader atau pemimpin memang
sosok yang paling menonjol dalam suatu kebijakan. Namun, pemimpin tersebut sejatinya
14 Andriana AF. 2014. “Kebijakan Luar Negeri AS terkait Intervensi di Libya”. Diakses
melalui http://andraina_af-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-116702-Perbandingan
%20Politik%20Luar%20Negeri.html pada tanggal 3 Januari 2014

10

memiliki bawahan-bawahan seperti menteri yang telah membuat kebijakan terlebih dahulu
secara signifikan, akan lebih baik jika seorang pemimpin memiliki rekan bawahan yang
selaras pemikirannya. Seorang pemimpin juga merupakan penanggung jawab sebuah
organisasi dan kebijakan. Negara adalah bagian dari organisasi. Pada dasarnya, seorang
leader tidak dapat berdiri-sendiri, dia pasti membutuhkan bantuan dan nasehat dari para
advisornya. Dalam teori ini, advisor dibagi menjadi 3 dalam Ice Berg Theory, antara lain ;

1
2

a. Eksekutif
3
Keterangan pada level eksekutif :
1.Formalistik yaitu melihat kedudukan pemimpin tersebut seperti apa. Misal, pada
sistem parlementer, yang memiliki andil besar dalam kebijakan bukan presiden
melainkan seorang perdana menteri.
2.Kompetitif yaitu mengatakan sistem itu tumpang tindih sehingga semua memiliki
hak untuk membuat kebijakan atau mengusulkan kebijakan. Memungkinkan
terjadinya konflik karena adanya persaingan.
3.Kolega yaitu memiliki interpersonal relations dengan salah satu orang eksekutif
karena hubungan kekerabatan atau lainnya.
b. Birokrasi
Keterangan pada level birokrasi :
1.Rational Model yaitu harus memiliki pemahaman dalam mencari kebijakan yang
bersifat rasional.
2.Organizational Model yaitu ciri utamanya struktur. Jika ada anggota maka akan
dapat membuat tujuan, biasa disebut dengan Operasional Prosedur/Aturan.
3. Bureaucracy Approach yaitu adanya tarik-menarik kepentingan (political
bargaining) karena setiap birokrat yang ada adalah orang-orang yang ahli pada
bidangnya.
c. Small Group
Keterangan pada level small group :
1. Think Tank yaitu wadah bagi para pemikir (non-eksekutif, birokrat, profesional)
untuk membahas isu sampai muncul rekomendasi dan diserahkan pada eksekutif
karena para pemikir tersebut tidak memiliki kewenangan.
2. Command Centre yaitu mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang ada dan
bagaimana cara untuk menyampaikan aspirasi masyarakat.
Jadi, seorang pemimpin membutuhkan nasehat-nasehat dari advisornya yaitu
eksekutif, birokrasi dan small group untuk menentukan sebuah kebijakan.
11

2.3 Analisa
Terjadinya Perang Sipil Libya 2011 yang disebabkan karena adanya kelompok
pemberontak yang ingin menggulingkan Qaddafi selaku kepala pemerintahan Libya, yang
mana selama menjabat sebagai kepala pemerintahan, Qaddafi dianggap tidak mementingkan
kepentingan rakyat Libya, malah pendapatan negara yang sejatinya merupakan wewenang
bagi kesejahteraan rakyat Libya justru disalahgunakan pada pemerintahn Qaddafi, selain itu
Qaddafi selalu terus-menerus berusaha melanggengkan kekuasaannya dengan cara membuat
Libya menjadi negara yang tertutup.
Dalam hal ini, penulis mencoba menganalisis fenomena ini dengan Teori Leadership
– Small Group – Command Centre yang mana, para rakyat mulai berani menyuarakan
pendapatnya terhadap pemimpin negara yaitu Qaddafi. Melalui Command Centre, rakyat
mulai melakukan aksi demonstrasi terhadap pemerintahan Qaddafi namun pemerintah yang
ada justru tidak mau mendengar keinginin para rakyatnya. Sehingga karena “pengabaian”
yang terjadi, rakyat mulai membentuk kubu penentang Qaddafi yang berusaha
mengakomodasi kepentingan rakyat yaitu melalui National Transition Council (NTC). NTC
sendiri beranggotakan kubu oposisi Qaddafi, aparat Qadaffi yang kemudian berbalik
menentang pemimpinnya dan rakyat anti-Qaddafi.
Kemudian apabila dilihat dalam kacamata Teori Leadership – Birokrasi. Fenomena
tersebut termasuk dalam Bureaucracy Approach karena adanya tarik-menarik kepentingan
antara kubu loyalis Qaddafi dan kubu NTC yang mana keduanya memiliki kepentingan yang
sama untuk mengambil alih kepemimpinan Libya.
Jika melihat tentang keterlibatan atau intervensi Amerika Serikat dalam Libya, apabila
dianalisis melalui Teori Leadership – Eksekutif – Formalistik yang mana dalam sistem
pemerintahan AS yang menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan adalah
Presiden. Seperti yang disebutkan pada pembahasan sebelumnya bahwasanya Presiden
Barrack Obama menyusun sebuah strategi untuk tetap menjaga keamanan dan keselamatan
warga sipil Libya dalam peperangan tersebut karena AS sendiri memiliki beberapa
kepentingan. Disini terlihat sekali, bagaimana teori formalistik berjalan, karena Presiden
Barrack Obama sudah menentukan sikap untuk menjaga hubungan baik dengan Libya yaitu
dengan cara membantu Libya yang sedang krisis. Keputusan ini diambil langsung oleh orang
yang memiliki andil besar dalam AS yaitu presiden.

12

Sedangkan apabila intervensi AS dilihat melalui kacamata Teori Leadership –
Birokrasi. Fenomena tersebut dikategorikan ke dalam Rational Model karena AS dalam hal
ini berusaha menjaga hubungan baik dengan Libya karena AS membutuhkan pasokan minyak
dari Libya sehingga dalam keadaan krisis karena peperangan tersebut, Libya pasti
membutuhkan bantuan dari negara lain untuk bisa kembali memperbaiki fasilitas yang ada,
mengatasi kerugian yang diakibatkan pasca perang, membangun kembali infrastruktur Libya
yang rusak pasca perang. Dalam hal ini, pilihan yang diambil AS sangatlah rasional agar
Libya tetap memberikan kepercayaan terhadap AS jika Libya sudah mulai kembali bangkit
dari keterpurukannya.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Melalui pembahasan pada makalah ini, dapat ditarik beberapa poin penting yang bisa
menjadi kesimpulan, antara lain :
1. Model pemerintahan Qaddafi membuat kondisi Libya memburuk. Adanya National
Transition

Council

(NTC)

merupakan

gerakan

pemberontak

yang

ingin

menggulingkan pemerintahan Qaddafi, yang telah memerintah selama 41 tahun dan
membatasi seluruh hak berpendapat para warga sipil sehingga Qaddafi bisa
13

melanggengkan kekuasaannya dalam memimpin Libya sesuai dengan kepentingan
kelompoknya. Dengan adanya gerakan ini membuat Libya menjadi krisis politik dan
terbelah menjadi dua kubu yang saling berseteru yaitu kubu loyalis Qaddafi dan kubu
oposisi yang dimobilisasi oleh NTC. Kedua kubu ini memiliki kepentingan yang
berbeda, di satu sisi kubu loyalis Qaddafi ingin tetap melanggengkan kekuasaannya
dalam memerintah Libya, sementara kubu NTC menginginkan Qaddafi turun dari
jabatannya. Kubu NTC pun mengklaim bahwa dirinya adalah badan pemerintahan
yang berdaulat di Libya. Kemunculan NTC sekaligus membuka fase baru dalam
konflik sipil di Libya dari yang awalnya hanya sebatas kerusuhan sipil menjadi perang
berskala nasional.
2. AS melakukan intervensi pada Perang Sipil Libya yang terjadi pada tahun 2011
dengan mengeluarkan dua kebijakan, yaitu :
a. Humanitarian Intervention
Kebijakan ini menekankan pada norma Responsibility to Protect (RtoP) yang
dikaitkan dengan pelanggaran HAM dan kejahatan-kejahatan yang terjadi selama
kepemimpinan Qaddafi. Selain itu, AS juga mengeluarkan PSD-10 sebagai
aplikasi kebijakan tersebut.
b. Operation Odyssey Dawn
Kebijakan ini merupakan strategi intervensi militer Amerika Serikat di Libya
dengan dalih kemanusiaan. Kebijakan ini sebagai respon yang dikeluarkan oleh
AS atas Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973 yang menyerukan adanya
pembentukan sebuah no-fly zone di atas Libya dan perlindungan warga sipil dari
ancaman dan kekrasan yang dilakukan oleh militer yang digerakan oleh rezim
Qaddafi.
3. Kronologi terjadinya Perang Sipil Libya dianalisis melalui Teori Leadership : Small
Group – Command Centre dan Birokrasi : Bureaucracy

Approach. Sedangkan

intervensi AS dalam Perang Sipil Libya dianalisis melalui Teori Leadership :
Eksekutif – Formalistik dan Birokrasi : Rational Model.
3.2 Saran

14

Setelah intervensi-intervensi positif yang dilakukan oleh Amerika Serikat diharapkan
ketika Libya sudah bisa bangun dari keterpurukannya untuk berhati-hati terhadap Amerika
Serikat karena keputusan Amerika Serikat untuk melakukan intervensi dan operasi militer di
Libya tidak terlepas dari situasi domestik dan internasional, yakni adanya krisis politik di
wilayah Timur Tengah yang menjadi ancaman bagi Amerika Serikat dalam mencapai
kepentingan-kepentingannya disana. Kepentingan Amerika Serikat adalah untuk menguasai
sumber cadangan minyak yang dimiliki oleh Libya yang notabene Libya merupakan negara
yang memiliki sumber cadangan minyak terbesar ketiga di dunia. Sehingga apabila Amerika
Serikat mampu menguasai Libya, Amerika akan mendapatkan legitimasi internasional karena
telah membantu pelaksanaan resolusi PBB 1973, serta menanamkan kekuatan dan
pengaruhnya di Libya untuk mendapatkan akses penguasaan sumber daya minyak di Libya
dengan menumbangkan rezim Qaddafi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Lentner, Howard. 1974. Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual
Approach. Ohio: Bill and Howell Co
Plano, Jack C. & Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Bandung: Abardin
Rosenau, James N, etc. 1976. World Politics: An Introduction. New York: The Free Press
Yani, Yanyan Mochamad. 2000. Politik Luar Negeri. Bandung : Universitas Padjadjaran

15

Andriana AF. 2014. “Kebijakan Luar Negeri AS terkait Intervensi di Libya”. Diakses
melalui
http://andraina_af-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-116702-Perbandingan
%20Politik%20Luar%20Negeri.html pada tanggal 3 Januari 2014
Azra, A, 2011. “Anatomi Krisis Libya, Yaman, Bahrain” [online]. dalam
http://internasional.kompas.com/read/2011/02/25/03120395/Anatomi.Krisis.Libya.Yaman.Ba
hrain [diakses pada 7 Januari 2015].
Foggo, James G. Dan Beer, Michael. 2013. “The New Operational Paradigm: Operation
Odyssey
Dawn
and
The
Maritime
Operation
Center”
[pdf].
dalam
http://ndupress.ndu.edu/Portals/68/Documents/jfq/jfq-70/JFQ-70_91-93_Foggo-Beer.pdf
[diunduh pada 7 Januari 2015].
Gertler, Jeremiah, 2011. “Operation Odyssey Dawn (Libya): Background and Issues for
Congress” [pdf]. dalam http://fas.org/sgp/crs/natsec/R41725.pdf [diunduh pada 25 November
2014].
Patrick, S, 2011. “Libya and the Future f Humanitarian Intervention” [online]. dalam
http://www.foreignaffairs.com/articles/68233/stewart-patrick/libya-and-the-future-ofhumanitarian-intervention?page=2 [diakses pada 7 Januari 2015].
Quartararo, Joe et all. N.d. “Libya’s Operation Odyssey Dawn Command and Control”
[pdf]. Dalam http://cco.dodlive.mil/files/2014/02/prism141-156_quartararo-all.pdf. [diunduh
pada 7 Januari 2015].
Republik Eusosialis Tawon. 2012. “Perang Sipil Libya yang Mengakhiri Rezim panjang
Qadhafi”. Diakses melalui http://republik-tawon.blogspot.com/2012/02/perang-sipil-libyayang-mengakhiri.html pada tanggal 3 Januari 2014

16

Dokumen yang terkait

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Evaluasi Kebijakan Pedagang Kaki Lima Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Jember Nomor 6 Tahun 2008 Bab IV Dan Bab VI (Studi Kasus PKL Jl. Untung Suropati)

0 50 15

Pengaruh Kebijakan Alokasi Aset dan Pemilihan Sekuritas terhadap Kinerja Reksadana Campuran Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK)

0 54 101

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Implementasi Kebijakan Sistem Informasi Manajemen Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (SIMYANDU-PPTSP) (Studi Kasus Dalam Pembuatan Izin Usaha (ITU) Pada Kantor PPTSP Kabupaten Garut)

1 55 179

Pengaruh Kebijakan Hutang Dan Struktur Kepemilikan Manajerial Terhadap Kebijakan Deviden Pada PT. Indosat

8 108 124

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 25 157

Pengaruh Efektivitas E-Commerce Dan Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Terhadap Perilaku Konsumen (Survey Pada Konsumen Kota Bandung)

8 39 37

Pengaruh Kepemilikan Institusional Dan FreeCash Flow Terhadap Kebijakan Hutang

7 97 68

Pengaruh Implementasi Kebijakan Tentang Sistem Komputerisasi Kantor Pertahanan (KKP) Terhadap Kualitas Pelayanan Sertifikasi Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Cimahi

24 81 167