MAKALAH HUBUNGAN CERITA RAKYAT MALIN KUN

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pepatah mengatakan tak kenal maka tak sayang yang berarti besarnya bahwa untuk
menyayangi sesuatu kita harus mengenalinya terlebih dahulu. Sebelum kita menceritakan cerita
rakyat yaitu Malin Kundang ada baiknya lebih mengenal dulu sejarah Sumatera Barat dan kota
Padang.
Sumatera Barat memiliki sejarah yang sangat beragam dari zaman prasejarah sampai

kedatangan orang Barat, sejarah Sumatera Barat dapat dikatakan identik dengan
sejarah Minangkabau. Walaupun masyarakat Mentawai diduga telah ada pada masa itu,
tetapi bukti-bukti tentang keberadaan mereka masih sangat sedikit. Mulai dari masa
prasejarah, Masuknya bangsa Eropa,

Dari Perang Padri sampai Perang Belasting ,

Gerakan Islam Modernis di Minangkabau , Gerakan Partai Komunis di Indonesia,hingga
kependudukan Jepang.
Kota Padang Tercinta juga memiliki sejarah yang beragam dengan kita mengenal
asal usul kota padang terlebih dahulu kita pasti lebih mengenalnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”Padang” berarti suatu tanah yang

datar dan luas, atau lapangan luas. Kondisi tersebut menjadi inspirasi bagi lahirnya nama
kota Padang. Secara topografi kota Padang merupakan dataran rendah yang dikelilingi
bukit-bukit yang tidak begitu tinggi. Di kota ini bermuara dua buah sungai yaitu Batang
Kuranji dan Batang Arau.

Pertumbuhan dan perkembangan Kota Padang pada tahun 2006 ini kota Padang
telah berusia 337 tahun, persisnya tanggal 7 Agustus 1669 - 7 Agustus 2006. Berbagai
bentuk pembangunan dilaksanakan. Derap langkah pembangunan terus dilakukan untuk
mewujudkan kesejahteraan warga. Padang sedang berbenah diri untuk menjadi kota
industri, kota perdagangan dan kota pariwisata.
Pemerintahan Kota Padang dalam perjalanan seja-rahnya mengalami pasang
surut. Hal ini dimulai dari zaman Belanda, Jepang dan Pro-klamasi kemerdekaan RI. Di
za-man Belanda (VOC) di samping sebagai sebuah kam-pung nelayan Padang juga
sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan. Waktu itu Batang Arau merupakan
pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera.
Dan yang selanjutnya yang harus kita kenal adalah cerita rakyat di Kota Padang
yaitu Malin Kundang.
Malin Kundang adalah salah satu cerita rakyat terpopuler bukan hanya di
Indonesia tapi juga dimata dunia. Cerita Malin Kundang menceritakan seorang anak
yang merantau ke negeri seberang untuk mengubah ekonomi keluarganya dan

meninggalkan ibunya tapi setelah ia berhasil dan kembali ke kampung halamannya
bukannya membanggakan ibunya malah sebaliknya ia berpura-pura tidak mengenal
ibunya lagi karna ia malu mengakui ibu yang sudah tua dan miskin hingga ibunya
marah dan mengutuknya menjadi batu.
Dari semua saya jelas diatas akan lebih jelas setelah kita membaca makalah ini.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah Sumatera Barat?
2. Bagaimana sejarah kota Padang?
3. Bagaimana cerita rakyat “Malin Kundang”?
4. Apa hubungan Pancasila dengan cerita rakyat “ Malin Kundang”?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Sumatera Barat
Dari zaman prasejarah sampai kedatangan orang Barat, sejarah Sumatera
Barat dapat dikatakan identik dengan sejarah Minangkabau. Walaupun
masyarakat Mentawai diduga telah ada pada masa itu, tetapi bukti-bukti tentang
keberadaan mereka masih sangat sedikit.


1. Masa Prasejarah
Di pelosok desa Mahat, Suliki Gunung Mas, Kabupaten Lima Puluh Kota banyak
ditemukan peninggalan kebudayaan megalitikum. Bukti arkeologis yang ditemukan di
atas bisa memberi indikasi bahwa daerah Lima Puluh Kota dan sekitarnya merupakan
daerah pertama yang dihuni oleh nenek moyang orang Minangkabau. Penafsiran ini beralasan, karena dari luhak Lima Puluh Kota ini mengalir beberapa sungai besar yang

bermuara di pantai timur pulau Sumatera. Sungai-sungai ini dapat dilayari dan memang
menjadi sarana transportasi yang penting dari zaman dahulu hingga akhir abad yang lalu.
Nenek moyang orang Minangkabau diduga datang melalui rute ini. Mereka
berlayar dari daratan Asia (Indochina) mengarungi Laut Cina Selatan,
menyeberangi Selat Malaka dan kemudian melayari sungai Kampar, sungai Siak,
dan sungai Inderagiri. Setelah melakukan perjalanan panjang, mereka tinggal dan
mengembangkan kebudayaan serta peradaban di wilayah Luhak Nan Tigo (Lima Puluh
Kota, Agam, Tanah Datar) sekarang.
Percampuran dengan para pendatang pada masa-masa berikutnya menyebabkan
tingkat kebudayaan mereka jadi berubah dan jumlah mereka jadi bertambah. Lokasi
pemukiman mereka menjadi semakin sempit dan akhirnya mereka merantau ke berbagai
bagian Sumatera Barat yang lainnya. Sebagian pergi ke utara, menuju Lubuk
Sikaping, Rao, dan Ophir. Sebagian lain pergi ke arah selatan menuju Solok, Sijunjung

dan Dharmasraya. Banyak pula di antara mereka yang menyebar ke bagian barat, terutama ke daerah pesisir, seperti Tiku, Pariaman, dan Painan.
a. Kerajaan-kerajaan di Minangkabau
Menurut tambo Minangkabau, pada periode abad ke-1 hingga abad ke-16, banyak
berdiri kerajaan-kerajaan kecil di selingkaran Sumatera Barat. Kerajaan-kerajaan itu
antara lain Kesultanan Kuntu, Kerajaan Kandis, Kerajaan Siguntur, Kerajaan Pasumayan
Koto Batu, Bukit Batu Patah, Kerajaan Sungai Pagu, Kerajaan Inderapura, Kerajaan
Jambu Lipo, Kerajaan Taraguang,Kerajaan Dusun Tuo, Kerajaan Bungo

Setangkai, Kerajaan Talu, Kerajaan Kinali, Kerajaan Parit Batu, Kerajaan Pulau
Punjung dan Kerajaan Pagaruyung. Kerajaan-kerajaan ini tidak pernah berumur panjang,
dan biasanya berada dibawah pengaruh kerajaan-kerajaan besar, Malayu dan Pagaruyung.
b. Kerajaan Malayu
Kerajaan Malayu diperkirakan pernah muncul pada tahun 645 yang diperkirakan
terletak di hulu sungai Batang Hari. Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, kerajaan ini
ditaklukan oleh Sriwijayapada tahun 682. Dan kemudian tahun 1183 muncul lagi
berdasarkan Prasasti Grahi di Kamboja, dan
kemudian Negarakertagama dan Pararaton mencatat adanya Kerajaan Malayu yang
beribukota di Dharmasraya. Sehingga muncullah Ekspedisi Pamalayu pada tahun 12751293 di bawah pimpinan Kebo Anabrang dari Kerajaan Singasari. Dan setelah
penyerahan Arca Amonghapasa yang dipahatkan di Prasasti Padang Roco, tim Ekpedisi
Pamalayu kembali ke Jawa dengan membawa serta dua putri Raja Dharmasraya

yaitu Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Petak dinikahkan oleh Raden
Wijaya raja Majapahit pewaris kerajaan Singasari, sedangkan Dara
Jingga dengan Adwaya Brahman. Dari kedua putri ini lahirlah Jayanagara, yang menjadi
raja kedua Majapahit dan Adityawarman kemudian hari menjadi raja Pagaruyung.
c. Kerajaan Pagaruyung
Sejarah propinsi Sumatera Barat menjadi lebih terbuka sejak masa pemerintahan
Adityawarman. Raja ini cukup banyak meninggalkan prasasti mengenai dirinya,
walaupun dia tidak pernah mengatakan dirinya sebagai Raja Minangkabau. Aditya-

warman memang pernah memerintah di Pagaruyung, suatu negeri yang dipercayai warga
Minangkabau sebagai pusat kerajaannya.
Adityawarman adalah tokoh penting dalam sejarah Minangkabau. Di samping
memperkenalkan sistem pemerintahan dalam bentuk kerajaan, dia juga membawa suatu
sumbangan yang besar bagi alam Minangkabau. Kontribusinya yang cukup penting itu
adalah penyebaran agama Buddha. Agama ini pernah punya pengaruh yang cukup kuat di
Minangkabau. Terbukti dari nama beberapa nagari di Sumatera Barat dewasa ini yang
berbau Budaya atau Jawa seperti Saruaso, Pariangan, Padang Barhalo, Candi, Biaro, Sumpur, dan Selo.
Sejarah Sumatera Barat sepeninggal Adityawarman hingga pertengahan abad ke17 terlihat semakin kompleks. Pada masa ini hubungan Sumatera Barat dengan dunia
luar, terutama Aceh semakin intensif. Sumatera Barat waktu itu berada dalam dominasi
politik Aceh yang juga memonopoli kegiatan perekonomian di daerah ini. Seiring dengan

semakin intensifnya hubungan tersebut, suatu nilai baru mulai dimasukkan ke Sumatera
Barat. Nilai baru itu akhimya menjadi suatu fundamen yang begitu kukuh melandasi
kehidupan sosial-budaya masyarakat Sumatera Barat. Nilai baru tersebut adalah agama
Islam.
Syekh Burhanuddin dianggap sebagai penyebar pertama Islam di Sumatera Barat.
Sebelum mengembangkan agama Islam di Sumatera Barat, ulama ini pernah menuntut
ilmu di Aceh.

d. Kerajaan Inderapura
Jauh sebelum Kerajaan Pagaruyung berdiri, di bagian selatan Sumatera Barat
sudah berdiri kerajaan Inderapura yang berpusat di Inderapura (kecamatan Pancung Soal,
Pesisir Selatan sekarang ini) sekitar awal abad 12. Setelah munculnya Kerajaan
Pagaruyung, Inderapura pun bersama Kerajaan Sungai Pagu akhirnya menjadi vazal
kerajan Pagaruyung.
Setelah Indonesia merdeka sebagian besar wilayah Inderapura dimasukkan
kedalam bagian wilayah provinsi Sumatera Barat dan sebagian ke wilayah Provinsi
Bengkulu yaitu kabupaten Pesisir Selatan sekarang ini.

2. Masuknya bangsa Eropa
Pengaruh politik dan ekonomi Aceh yang demikian dominan membuat warga

Sumatera Barat tidak senang kepada Aceh. Rasa ketidakpuasan ini akhirnya diungkapkan
dengan menerima kedatangan orang Belanda. Namun kehadiran Belanda ini juga
membuka lembaran baru sejarah Sumatera Barat. Kedatangan Belanda ke daerah ini
menjadikan Sumatera Barat memasuki era kolonialisme dalam arti yang sesungguhnya.
Orang Barat pertama yang datang ke Sumatera Barat adalah seorang pelancong
berkebangsaan Perancis yang bernama Jean Parmentier yang datang sekitar tahun 1529.
Namun bangsa Barat yang pertama datang dengan tujuan ekonomis dan politis adalah
bangsa Belanda. Armada-armada dagang Belanda telah mulai kelihatan di pantai barat
Sumatera Barat sejak tahun 1595-1598, di samping bangsa Belanda, bangsa Eropa

lainnya yang datang ke Sumatera Barat pada waktu itu juga terdiri dari
bangsa Portugis dan Inggris.
Perang Padri
Perang Paderi meletus di Minangkabau antara sejak tahun 1821 hingga 1837.
Kaum Paderi dipimpin Tuanku Imam Bonjol melawan penjajah Hindia Belanda.
Gerakan Paderi menentang perbuatan-perbuatan yang marak waktu itu di
masyarakat Minang, seperti perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat (opium),
minuman keras, tembakau, sirih, juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan
dan umumnya pelaksanaan longgar kewajiban ritual formal agama Islam.
Perang ini dipicu oleh perpecahan antara kaum Paderi pimpinan Datuk Bandaro

dan Kaum Adat pimpinan Datuk Sati. Pihak Belanda kemudian membantu kaum adat
menindas kaum Padri. Datuk Bandaro kemudian diganti Tuanku Imam Bonjol.
Perang melawan Belanda baru berhenti tahun 1838 setelah seluruh bumi Minang
ditawan oleh Belanda dan setahun sebelumnya, 1837, Imam Bonjol ditangkap.
Meskipun secara resmi Perang Paderi berakhir pada tahun kejatuhan benteng
Bonjol, tetapi benteng terakhir Paderi, Dalu-Dalu, di bawah pimpinan Tuanku Tambusai,
barulah jatuh pada tahun 1838.

3. Dari Perang Padri sampai Perang Belasting
Berakhirnya perang Padri menandai perubahan besar di Minangkabau. Kerajaan
Pagaruyung runtuh dan di tempatnya berdiri pemerintahan Hindia Belanda.

Belanda memerintah diatur oleh perjanjian Plakat Panjang (1833). Di dalamnya
Belanda berjanji untuk tidak mencampuri masalah adat dan agama nagari-nagari di
Minangkabau. Belanda juga menyatakan tidak akan memungut pajak langsung. Hal ini
menyebabkan para pemimpin Minangkabau membayangkan dirinya sebagai mitra
bukannya bawahan Belanda.
Sebagaimana di daerah lain di Hindia Belanda pemerintah kolonial
memberlakukan Tanam Paksa (cultuurstelsel) di Sumatera Barat. Sistem ini menjadikan
para pemimpin adat sebagai agen kolonial Belanda.

Penjajahan Belanda berpengaruh besar pada tatanan tradisional masyarakat
Minangkabau. Di Sumatera Barat Belanda membuat jabatan baru, seperti penghulu rodi.
Kerapatan Nagari dijadikan sebagai lembaga pemerintahan terendah, dan kepemimpinan
kolektif para penghulu ditekan dengan keharusan memilih salah seorang penghulu
menjadi Kepala Nagari. Serikat nagari-nagari (laras, Bahasa Minang: lareh) yang
sebenarnya merupakan persekutuan longgar atas asas saling menguntungkan, dijadikan
sebagai lembaga pemerintahan yang setara dengan kecamatan.
Belanda juga berusaha mematikan jalur perdagangan tradisional Minangkabau ke
pantai timur Sumatera yang menyusuri sungai-sungai besar yang bermuara di Selat
Malaka, dan mengalihkannya ke pelabuhan di pantai Barat seperti Pariaman dan Padang.
Pada tahun 1908 Belanda menghapus sistem Tanam Paksa dan memberlakukan pajak
langsung. Perang Belastingpun meletus.

4. Gerakan Islam Modernis di Minangkabau
Perlawanan terhadap Belanda di Sumatera Barat pada awal abad ke-20 memiliki
warna Islam yang pekat. Dalam hal ini gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal
sebagai Kaum Mudasangat besar peranannya.
Ulama-ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam
di Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior
mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik, namun

karena pengaruh Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi guru ulama
Kaum Muda generasi pertama mereka umumnya hanya memusatkan perhatian pada
dakwah dan pendidikan. Abdullah Ahmad mendirikan majalah Al-Munir (1911-1916),
dan beberapa ulama kaum Muda lain seperti H. Abdul Karim Amrullah(Haji Rasul) dan
Muhammad Thaib ikut menulis di dalamnya.
Dari majalah ini pemikiran kaum muda semakin disebarkan. Ulama Kaum Muda
menantang konsep agama tradisional yang sudah mapan, menentang taqlid buta, dan
merangsang sikap kebebasan berpikir. Tulisan dan pidato mereka memicu pertentangan
dan perdebatan sengit di ranah Minang.
Tahun 1918 sebagai kelanjutan perguruan agama tradisional Surau Jembatan Besi
berdirilah sekolah Sumatera Thawalib. Selain pendirinya H. Abdul Karim Amrullah guru
lain yang berpengaruh di sekolah ini adalah Zainuddin Labai el-Yunusiah yang juga
mendirikan sekolah Diniyah. Berbeda dengan Sumatera Thawalib yang terutama adalah
perguruan agama sekolah Diniyah menekankan pada pengetahuan umum, seperti

matematika, ilmu falak, ilmu bumi, kesehatan dan pendidikan. Kedua sekolah ini
berhubungan erat.
Banyak tokoh pergerakan atau ulama seperti Ahmad Rasyid Sutan
Mansur, Djamaluddin Tamin, H. Dt. Batuah, H.R. Rasuna Said dan Hamka merupakan
murid atau pernah mengajar di perguruan di Padang Panjang ini.

Di kedua perguruan ini berkembang berbagai gagasan radikal. Pada dasawarsa
1920-an sebuah gagasan baru mulai menarik hati para murid sekolah Padang
Panjang: komunisme. Di Padang Panjang pentolan komunis ini terutama Djamaluddin
Tamin dan H. Datuk Batuah. Gagasan baru ini ditentang habis-habisan Haji Rasul yang
saat itu menjadi guru besar Sumatera Thawalib.
Gerakan Islam Modernis ini tidak didiamkan saja oleh ulama tradisional. Tahun
1930 ulama tradisional mendirikan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) untuk
mewadahi sekolah Islam Tradisional.

5. Gerakan Partai Komunis di Indonesia
Djamaluddin Tamin sudah bergabung dengan PKI pada 1922. Dalam perjalanan
singkat ke Aceh dan Jawa pada tahun 1923 Datuk Batuah bertemu dengan Natar
Zainuddin dan Haji Misbach. Agaknya ia terkesan dengan pendapat Haji Misbach yang
menyatakan komunisme sesuai dengan Islam. Bersama Djamaluddin Tamin ia
menyebarkan pandangan ini dalam koran Pemandangan Islam. Natar Zainuddin
kemudian kembali dari Aceh dan menerbitkan koran sendiri bernama Djago-djago. Akhir
tahun itu juga Djamaluddin Tamin, Natar Zainuddin dan Dt. Batuah ditangkap Belanda.

Setelah penangkapan tersebut pergerakan komunis malah menjadi-jadi.
Tahun 1924 Sekolah Rakyat didirikan di Padang Panjang, meniru model sekolah Tan
Malaka di Semarang. Organisasi pemuda Sarikat Rakyat, Barisan Muda, menyebar ke
seluruh Sumatera Barat. Dua pusat gerakan komunis lain adalah Silungkang dan Padang.
Bila di Padang Panjang gerakan berakar dari sekolah-sekolah di Silungkang pendukung
komunis berasal dari kalangan saudagar dan buruh tambang.
Sulaiman Labai, seorang saudagar, mendirikan cabang Sarekat
Islam di Silungkang, Sawahlunto pada 1915. Pada tahun 1924 cabang ini diubah
menjadi Sarekat Rakyat. Selain itu berdiri juga cabang organisasi pemuda komunis, IPO.
Di Padang basis PKI berasal dari saudagar besar pribumi. Salah satu pendiri PKI
cabang Padang adalah Sutan Said Ali, yang sebelumnya menjadi pengurus Sarikat Usaha
Padang. Di bawah kepemimpinannya mulai tahun 1923 PKI seksi padang meningkat
anggotanya dari hanya 20 orang menjadi 200 orang pada akhir 1925.
Pertumbuhan gerakan komunisme terhenti setelah pemberontakan di
Silungkang 1927. Para aktivis komunis ditangkap, baik yang terlibat pemberontakan
ataupun tidak. Banyak di antaranya yang dibuang ke Digul.

6. Sumatera Barat : 1930-an
Merebaknya partai-partai politik

HR Rasuna Said, aktivis Permi
Meskipun komunisme menjadi sangat populer pada dasawarsa 1920-an kaum
agama yang tak setuju dengan ideologi baru itu pun tetap berkembang. Awal tahun 1920
berdiri PGAI (Persatuan Guru Agama Islam) dengan tujuan mengumpulkan ulama-ulama
di Sumatera Barat. Atas prakarsa H. Abdullah Ahmad tahun 1924 berdirilah sekolah
Normal Islam di Padang. Sekolah ini dimaksudkan sebagai sekolah lanjutan, lebih tinggi
daripada Sumatera Thawalib yang merupakan sekolah rendah.
Setelah melawat ke Jawa tahun 1925 dan bertemu pemimpinpemimpin Muhammadiyah di sana Haji Rasul turut mendirikan cabang Muhammadiyah.
Pertama di Sungai Batang dan kemudian di Padang Panjang. Organisasi ini dengan cepat
menjalar ke seluruh Sumatera Barat.
Muhammadiyah berperan penting dalam menentang pemberlakuan Ordonansi
Guru di Sumatera Barat tahun 1928. Dengan ordonansi ini guru agama diwajibkan
melapor kepada pemerintah sebelum mengajar. Peraturan ini dipandang mengancam

kemerdekaan menyiarkan agama. Sebelumnya Muhammadiyah di Jawa sudah
memutuskan meminta ordonansi ini dicabut. Pada tanggal 18 Agustus 1928 diadakanlah
rapat umum yang kemudian memutuskan menolak pemberlakuan ordonansi guru.
Meskipun terlibat dalam penolakan Ordonansi Guru, berbeda dengan organisasi
komunis seperti Sarikat Rakyat, pada umumnya Muhammadiyah menghindari kegiatan
politik. Penumpasan gerakan komunis tahun 1927 menyebabkan banyak anggota Sarekat
Rakyat atau simpatisannya berpaling ke Muhammadiyah mencari perlindungan. Para
anggota yang lebih radikal ini tidak puas dan kemudian banyak yang keluar untuk aktif
dalam Persatuan Sumatra Thawalib. Organisasi ini pada tahun 1930 menjelma menjadi
partai politik bernama Persatuan Muslim Indonesia, disingkat Permi. Dengan asas Islam
dan kebangsaan (nasionalisme) Permi dengan cepat menjadi partai politik terkuat di
Sumatera Barat, dan menyebar ke Aceh, Tapanuli, Riau, Jambi dan Bengkulu. Partai ini
menjadi wadah utama paham Islam modernis. Tokoh-tokoh Permi yang terkenal antara
lain Rasuna Said, Iljas Jacub, Muchtar Lutfi dan Djalaluddin Thaib.
Partai lain yang juga penting adalah PSII cabang Sumatera Barat yang berdiri
tahun 1928, dan PNI Baru. PSII Sumatera Barat seperti Permi sangat kuat sikap antipenjajahannya. Namun tidak seperti Permi yang berakar dari perguruan agama tokohtokoh PSII umumnya berasal dari pemimpin adat.
Cabang PNI Baru di Bukittinggi diresmikan Hatta tak lama setelah
kepulangannya dari Belanda tahun 1932. Sebelumnya cabang Padang Panjang sudah
didirikan oleh Khatib Sulaiman.

PARI pimpinan Tan Malaka (didirikan di Bangkok 1929) punya pengaruh cukup
besar, meskipun anggotanya sendiri tidak banyak. Pengaruh PARI terutama lewat tulisan
Tan Malaka yang disebarkan sampai tahun 1936.
Penumpasan
Pada pertengahan 1933 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan larangan
berkumpul. Yang menjadi sasaran utama di Sumatera Barat adalah Permi dan PSII.
Sementara itu Rasuna Said sudah ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Jawa. Tokohtokoh Permi dan PSII awalnya dilarang bepergian, kemudian kedua partai dikenai
larangan terbatas dalam mengadakan rapat umum. Pada akhirnya tokoh-tokoh Permi dan
PSII ditangkap dan dibuang ke Digul. Permi akhirnya bubar pada 18 Oktober 1937.
Pada saat yang sama di Batavia tokoh-tokoh Partindo dan PNI Baru juga
ditangkap. Sukarno diasingkan ke Flores, Hatta dan Sjahrir ke Digul. Pimpinan PNI Baru
cabang Sumatera Barat sendiri dibiarkan bebas karena mereka membatasi kegiatan politik
partai. Sementara itu tokoh-tokoh PARI berhasil ditahan Belanda yang bekerja sama
dengan dinas Intelijen Inggris. Tan Malaka, pimpinannya, lolos.

7. Pendudukan Jepang
Jepang memasuki Padang pada 17 Maret 1942. Sukarno yang pada saat itu berada
di Padang berhasil meyakinkan sebagian besar tokoh-tokoh nasionalis di Sumatera Barat
agar mau bekerja sama dengan Jepang.
Tahun 1943 Jepang memerintahkan pendirian Gyu Gun untuk membantu
pertahanan. Gyu Gun di Sumatera Barat dipimpin oleh Chatib Sulaiman yang memilih

dan merekrut calon perwira dari Sumatera Barat, Riau dan Jambi. Gyu Gun merupakan
satu-satunya satuan ketentaraan yang dibentuk Jepang di Sumatera Barat. Tentara
Sukarela ini kemudian menjadi inti Divisi Banteng.

B. SEJARAH KOTA PADANG
a. Asal Usul Kota Padang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”Padang” berarti suatu tanah yang
datar dan luas, atau lapangan luas. Kondisi tersebut menjadi inspirasi bagi lahirnya nama
kota Padang. Secara topografi kota Padang merupakan dataran rendah yang dikelilingi
bukit-bukit yang tidak begitu tinggi. Di kota ini bermuara dua buah sungai yaitu Batang
Kuranji dan Batang Arau.
Pada Abad ke-14 (1340—1375) di Minangkabau ada sebuah kerajaan dibawah
pemerintahan Adityawarman. Pada masa itu wilayah Padang cuma dikenal sebagai
kampung nelayan, orang menyebutnya Kampung Batung. Ke-tika itu Padang diperintah
oleh Penghulu Delapan Suku dengan sistim pemerintahan nagari.
Sekitar abad ke-15 dan 16 kerajaan Aceh dibawah pemerintahan Iskandar Muda
meluaskan wilayah ke-kuasaan dan perdagangannya sampai ke pesisir pantai barat
Minangkabau seperti Tiku, Pariaman, dan Indrapura. Padang sebagai daerah pantai
masa itu telah disinggahi oleh pedagang–pedagang dari daerah lain yang akan terus ke
Aceh.
Akhir abad ke-16 masa jaya Kerajaan Aceh mulai turun, daerah-daerah yang
dikuasai kerajaan Aceh mulai melepaskan diri, dan pada waktu bersamaan di nusantara

ini mulai beroperasi perusahaan dagang Belanda, di-kenal dengan nama VOC
(Verenigde Ost Indisehe Company). VOC menerapkan politik devide at impera (pecah
belah) dalam perluasan perdagangan dan kekuasaannya. Akibatnya timbul ketegangan
masyarakat di kota-kota pesisir pantai Sumatera. Kerajaan Aceh dipropaganda oleh
VOC seolah akan menguasai Padang. VOC berdalih membantu masyarakat menghadapi
Aceh.
VOC menyadari dan melihat Padang sangat strategis dan dijadikan pusat
perdagangan dan pe-merintahan. Pulau Cingkuak, dan Batang Arau lebih baik dijadikan
sebagai daerah pelabuhan. Melalui penghulu terkemuka Padang yang bernama Orang
Kayo Kaciak VOC dapat izin mendirikan loji pertama pada tahun 1667 di kota Padang.
Inilah titik awal Padang tumbuh se-bagai sebuah kota. Tidak cuma sebagai
pelabuhan tetapi ju-ga sebagai pusat perdagangan. Gudang-gudang besar mulai
dibangun untuk tempat pengumpulan barang. Pelabuhan Muara begitu sibuk melayani
arus perdagangan, sehingga wilayah ini tumbuh menjadi pusat pemukiman.
Belanda tidak saja meluaskan perdagangannya melalui VOC, tetapi mulai dapat
memerintah masyarakat. Dari Muara Padang ini pusat pemerintahan dan per-dagangan
Belanda digerakkan ke seluruh pelosok Sumatera bagian tengah.
Kondisi ini menimbulkan ketidakpuasan dikalangan rakyat. Rakyat merasakan
bahwa Belanda tidak lagi berdagang, tetapi sudah menjajah. Rakyat mulai melakukan
perlawanan. Puncaknya terjadi pada tanggal 7 Agustus tahun 1669 di mana masyarakat
Pauh dan Koto Tangah berhasil menguasai loji-loji Belanda di Muara serta banyaknya

Belanda yang dibunuh. Peristiwa ini kemudian diabadikan sebagai tahun kelahiran Kota
Padang. Setiap tahunnya diperingati sebagai hari jadi kota Padang.
7 Agustus 1669
Puncak pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan Belanda dengan
menguasai Loji-Loji Belanda di Muaro, Padang. Peristiwa tersebut diabadikan sebagai
tahun lahir kota Padang.
20 Mei 1784
Belanda menetapkan Padang sebagai pusat kedudukan dan perdagangannya di Sumatera
Barat. Padang menjadi lebih ramai setelah adanya Pelabuhan Teluk Bayur.
31 Desember 1799.
Seluruh kekuasaan VOC diambil alih pemerintah Belanda dengan membentuk
pemerintah kolonial dan Padang dijadikan pusat kedudukan Residen.
1 Maret 1906.
Lahir ordonansi yang menetapkan Padang sebagai daerah Cremente (STAL 1906
No.151) yang berlaku 1 April 1906.

9 Maret 1950.
Padang dikembalikan ke tangan RI yang merupakan negara bagian melalui SK. Presiden
RI Serikat (RIS), No.111 tanggal 9 Maret 1950.
15 Agustus 1950.
SK. Gubernur Sumatera Tengah No. 65/GP-50, tanggal 15 Agustus 1950 menetapkan
Pemerintahan Kota Padang sebagai suatu daerah otonom sementara menunggu

penetapannya sesuai UU No. 225 tahun 1948. Saat itu kota Padang diperluas,
kewedanaan Padang dihapus dan urusannya pindah ke Walikota Padang.
29 Mei 1958.
SK. Gubernur Sumatera Barat No. 1/g/PD/1958, tanggal 29 Mai 1958 secara de facto
menetapkan kota Padang menjadi ibukota propinsi Sumatera Barat.
Tahun 1975
Secara de jure Padang menjadi ibukota Sumatera Barat, yang ditandai dengan keluarnya
UU No.5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dengan Kotamadya
Padang dijadikan daerah otonom dan wilayah administratif yang dikepalai oleh seorang
Walikota.*
Pada awalnya luas Kota Padang adalah 33 Km2, yang terdiri dari 3 Kecamatan dan 13
buah Kampung, yaitu Kecamatan Padang Barat, Padang Selatan dan Padang Timur.
Dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1980 tanggal 21 Maret 1980 wilayah Kota Padang menjadi 694,96 Km2, yang
terdiri dari 11 Kecamatan dan 193 Kelurahan. Dengan dicanangkannya pelaksanaan
otonomi daerah sejak Tanggal 1 Januari 2001, maka wilayah administratif Kota Padang
dibagi dalam 11 Kecamatan dan 103 Kelurahan. Dengan Keluarnya Peraturan Daerah
Kota Padang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pembentukan organisasi Kelurahan Maka
jumlah Kelurahan di Kota Padang menjadi 104 Kelurahan.
b. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota
Pada tahun 2006 ini kota Padang telah berusia 337 tahun, persisnya tanggal 7
Agustus 1669 - 7 Agustus 2006. Berbagai bentuk pembangunan dilaksanakan. Derap

langkah pembangunan terus dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan warga. Padang
sedang berbenah diri untuk menjadi kota industri, kota perdagangan dan kota pariwisata.
Saat ini Padang sudah termasuk kota besar. Potensi dan letaknya yang strategis
menjadikan Padang sebagai pintu gerbang wilayah barat pulau Sumatera. Posisi yang
strategis itu mengakibatkan pertumbuhan dan perkem-bangan kota berlangsung cepat.
Tidak berlebihan kiranya kalau dikatakan Padang sebagai ”titik simpul” bagi pertumbuhan dan perkembangan Indonesia di wilayah Barat Sumatera, apalagi sarana dan
prasarana lalu lintas darat, laut dan udara semakin memadai.
Visi Kota Padang yaitu ”Terwujudnya Kota Padang sebagai pusat perekonomian
dan pintu gerbang per-dagangan terpenting di Indonesia bagian Barat tahun 2008”. Hal
ini dapat diwujudkan karena Padang memiliki cukup banyak sumber daya alam dan
sumber daya manusia.
Faktor yang mendorong Kota Padang sebagai pusat perdagangan adalah karena
di daerah sekitarnya ter-dapat hasil bumi dan hasil tambang yang strategis yang
diharapkan dapat dipasarkan melalui kota Padang, ter-utama wilayah bagian barat pulau
Sumatera.
Dalam lima tahun terakhir perdagangan berskala besar, menengah dan kecil
menunjukkan perkembangan yang megembirakan. Hal ini dapat dilihat dari fakta yang
ada dengan meningkatnya jumlah perusahaan per-dagangan dari 24.500 tahun 2002
menjadi 27.132 pada tahun 2005. Hal ini juga didukung dengan dibangunnya pusatpusat perdagangan serta terus dikembangkannya pasar-pasar yang telah ada.

c. Pemerintahan
Dalam perjalanan seja-rahnya, pemerintahan di Kota Padang mengalami pasang
surut. Hal ini dimulai dari zaman Belanda, Jepang dan Pro-klamasi kemerdekaan RI. Di
za-man Belanda (VOC) di samping sebagai sebuah kam-pung nelayan Padang juga
sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan. Waktu itu Batang Arau merupakan
pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera.
Pada masa VOC daerah ini berada dalam Onmder afde link Conterliur Van
Padang dibawah lingkungan kekuasaan Pejabat Bumi Putra Regen Padang. Sehingga
Padang memiliki dua fungsi, sebagai pusat perdagangan dan pusat kegiatan penjajah
Belanda. Padang bahkan dijadikan daerah kedudukan residen atau kepala pemerintahan
untuk daerah Sumatera barat.
Setelah kemerdekaan diproklamirkan, Padang seba-gai sebuah wilayah tetap
setia berada dibawah pe-merintahan RI. Melalui ketetapan Gubernur Sumatera Barat
tanggal 17 Mei 1946 No 103 Padang ditetapkan menjadi kota besar.
Walikota Padang pertama adalah, Mr.Abubakar Ja’ar (1945—1946), menjabat
beberapa bulan saja. Mr Abubakar Ja’ar dipindahkan menjadi residen di Sumatera
Timur. Selanjutnya Padang dipimpin oleh Bagindo Aziz Chan (1946-1947) yang dikenal
sebagai Walikota Pejuang. Beliau gugur tanggal 17 Juli 1947 di tangan penjajah
Belanda.
Setelah Bagindo Aziz Chan gugur, Belanda me-lakukan agresi I, akibatnya
secara de fakto Belanda menguasai Padang. Untuk itu pemerintahan kota Padang

dipindahkan ke Padangpanjang dengan walikotanya Said Rasyad (1947). Pemerintahan
Said Rasyad berlangsung tidak lama karena timbulnya agresi ke II. Walikota berikutnya
adalah Dr.A.Hakim (1947—1949) dan me-merintah tidak terlalu lama. Setelah
pemulihan kedaulatan RI tahun 1949 Padang dipimpin oleh Dr. Rasyiddin sebagai
walikota yang ke lima (1949-1956 )
Melalui surat keputusan Gubernur Sumatera Tengah tanggal 15 Agustus 1950
No 65/GP-50 ditetapkan pemerintahan kota Padang sebagai suatu daerah otonom.
Walikota keenam (1956—1958), Pada tahun 1958-1966 Padang dipimpin oleh
Z.A.St.Pangeran sebagai walikota ke tujuh. Berikunya walikota Padang adalah Drs.
Azhari sebagai walikota ke delapan dan pada tahun 1967-1971 Padang dipimpin oleh
Drs.Achirul Yahya yang merupakan Walikota ke sembilan
Dengan keluarnya UU No 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah di daerah,
kota Padang di samping daerah otonom ,juga merupakan wilayah administratif
dikepalai oleh seorang walikota dan waktu itu diangkat sebagai walikota Padang ke
sepuluh adalah Drs. Hasan Basri Durin (1971—1983). Sesuai dengan PP No. 17 Tahun
1980 Padang diperluas menjadi 694,96 Km2 terdiri dari 11 kecamatan dengan 193
kelurahan.
Setelah Drs. Hasan Basri Durin selesai melaksanakan tugasnya sebagai walikota
Padang, maka diangkatlah Syahrul Ujud,SH sebagai Walikota Kota Padang kesebelas
dengan

kepemimpinannya

selama

sepuluh

tahun

(1983—1993).

Berakhirnya

kepemimpinan Syahrul Ujud, SH tongkat estafet kepemimpinan kota Padang diserahkan

kepada Drs. Zuiyen Rais, MS (1993—2003) yang merupakan Walikota Padang ke dua
belas. Sejak 2003 sampai sekarang, dua kali periode, Walikota Padang adalah Drs. Fauzi
Bahar, Msi, walikota ke-13 dan ke-14. (MR. ADAZ)
C. CERITA RAKYAT “MALIN KUNDANG”
Dahulu kala di Padang Sumatera Barat tepatnya di Perkampungan Pantai Air
Manis ada seorang janda bernama Mande Rubayah. Ia mempunyai seorang anak lakilaki bernama Malin Kundang. Malin sangat disayang oleh ibunya, karena sejak kecil
Malin Kundang sudah ditinggal mati oleh ayahnya.
Malin dan ibunya tinggal di perkampungan nalayan. Ibunya suah tua ia hanya bekerja
sebagai penjual kue. Pada suatu hari Malin jatuh sakit. Tubuhnya mendadak panas
sekali. Mande Rubayah tentu saja sangat bingung. Tidak pernah Malin jatuh sakit seperti
ini. Mande Rubayah berusaha sekuatnya unuk mengabobati Malin dengan
mendatangkan tabib.
Nyawa Malin yang hampir melayang itu akhirnya dapat diselamatkan berkat usaha keras
ibunya. Setelah sembuh dari sakitnya ia makin disayang. Demikianlah Mande Rubayah
sangat menyayangi anaknya. Sebaliknya Malin juga amat sayang kepada ibunya.
Ketika sudah dewasa, Malin berpamitan kepada ibunya untuk pergi merantau. Pada saat
itu memang ada kapal besar yang merapat di Pantai Air Manis.
“Bu, ini kesempatan yang baik bagi saya,” kata Malin. “Belum tentu setahun sekali ada
kapal besar merapat di pantai ini. Saya berjanji akan merubah nasib kita sehingga kita
akan menjadi kaya raya.”
Meski dengan berat hati akhirnya Mande Rubayah mengijinkan anaknya pergi. Malin

dibekali dengan nasi berbungkus daun pisang sebanyak tujuh bungkus.
Hari-hari berlalu terasa lambat bagi Mande Rubayah. Setiap pagi dan sore Mande
Rubayah memandang ke laut. Ia bertanya-tanya dalam hati, sampai di manakah anaknya
kini? Jika ada ombak dan badai besar menghempas ke pantai, dadanya berdebar-debar.
Ia mengadahkan kedua tangannya ke aas sembari berdo’a agar anaknya selamat dalam
pelayaran. Jika ada kapal yang datang merapat ia selalu menanyakan kabar tentang
anaknya. Tetapi semua awak kapal atau nahkoda tidak pernah memberikan jawaban
yang memuaskan. Malin tidak pernah menitipkan barang atau pesan apapun kepada
ibunya.
Itulah yang dilakukan Mande Rubayah setiap hari selama bertahun-tahun. Tubuhnya
semakin tua dimakan usia. Jika berjalan ia mulai terbungkuk-bungkuk.
Pada suatu hari Mande Rubayah mendapat kabar dari nakhoda yang dulu membawa
Malin bahwa sekarang malin telah menikah dengan seorang gadis cantik putri seorang
bangsawan kaya raya. Ia turut gembira mendengar kabar itu. Ia selalu berdo’a agar
anaknya selamat dan segera kembali menjenguknya.
“Ibu sudah tua Malin, kapan kau pulang...” rintih MANDE RUBAYAH tiap malam.
Namun hingga berbulan – bulan semenjak ia menerima kabar malin belum juga datang
menengoknya. Namun ia yakin bahwa pada suatu saat Malin pasti akan kembali.
Harapannya terkabul. Pada suatu hari yang cerah dari kejauhan tampak sebuah kapal
yang indah berlayar menuju pantai. Kapal itu megah dan bertingkat – tingkat. Orang
kampung mengira kapal itu milik seorang sultan atau seorang pangeran. Mereka
menyambutnya dengan gembira.

Ketika kapal itu mulai merapat, tampak sepasang muda mudi berdiri di anjungan.
Pakaian mereka berkilauan terkena sinar matahari. Wajah mereka cerah dihiasi senyum.
Mereka nampak bahagia karena disambut dengan meriah.
Mande Rubayah ikut berdesakan melihat dan mendekati kapal. Jantungnya berdebar
keras. Dia sangat yakin sekali bahwa lelaki muda itu adalah anak kesayangannya si
Malin Kundang.
Belum lagi tetua desa sempat menyambut, Ibu Malin terlebih dahulu menghampiri
Malin. Ia langsung memeluk malin erat – erat. Seolah takut kehilangan anaknya lagi.
“Malin, anakku,” katanya menahan isak tangis karena gembira.
“Mengapa begitu lamanya kau tidak memberi kabar?”
Malin terpana karena dipeluk wanita tua renta yang berpakaian compang – camping itu.
Ia tak percaya bahwa wanita itu adalah ibunya. Seingat Malin, ibunya adalah seorang
wanita berbadan tegar yang kuat menggendongnya kemana saja. Sebelum dia sempat
berpikir dengan tenang, istrinya yang cantik itu meludah sambil berkata, “Cuih! Wanita
buruk inikah ibumu? Mengapa kau membohongi aku?”
lalu dia meludah lagi. “Bukankah dulu kau katakan ibumu adalah seorang bangsawan
sederajad dengan kami?”
Mendengar kata – kata istrinya, Malin Kundang mendorong wanita itu hingga terguling
ke pasir. Mande Rubayah hampir tidak percaya pada perikau anaknya, ia jatuh terduduk
sambil berkata, “Malin, Malin, anakku. Aku ini ibumu, nak!”
Malin Kundang tidak menghiraukan perkataan ibunya. Pikirannya kacau karena ucapan

istrinya. Seandainya wanita itu benar ibunya, dia tidak akan mengakuinya. Ia malu
kepada istrinya. Melihat wanita itu beringsut hendak memeluk kakinya, Malin
menendangnya sambil berkata, “Hai, perempuan tua! Ibuku tidak seperti engkau!
Melarat dan dekil!”
Wanita tua itu terkapar di pasir. Orang banyak terpana dan kemudian pulang ke rumah
masing-masing. Tak disangka Malin yang dulu disayangi tega berbuat demikian. Mande
Rubayah pingsan dan terbaring sendiri. Ketika ia sadar, Pantai Air Manis sudah sepi.
Dilaut dilihatnya kapal Malin semakin menjauh. Hatinya perih seperti ditusuk-tusuk.
Tangannya ditadahkannya ke langit. Ia kemudian berseru dengan hatinya yang pilu, “Ya,
Allah Yang Maha Kuasa, kalau dia bukan anakku, aku maafkan perbuatannya tadi. Tapi
kalau memang dia benar anakku, Malin Kundang, aku mohon keadilan-Mu, Ya
Tuhan ...!”
Tidak lama kemudian cuaca di tengah laut yang tadinya cerah, mendadak berubah
menjadi gelap. Hujan tiba-tiba turun dengan teramat lebatnya. Entah bagaimana awalnya
tiba-tiba datanglah badai besar. Menghantam kapal malin kundang. Disusul sambaran
petir yang menggelegar. Seketika kapal itu hancur berkeping-keping. Kemudian
terhempas ombak hingga ke pantai.
Ketika mathari pagi memancarkan sinarnya, badai telah reda. Di kaki bukit terlihat
kepingan kapal yang telah menjadi batu. Itulah kapal Malin Kundang. Tak jauh dari
tempat itu nampak sebongkah batu yang menyerupai tubuh manusia. Konon itulah tubuh
Malin Kundang anak durhaka yang kena kutuk ibunya menjadi batu. Disela-sela batu itu
berenang-renang ikan teri, ikan belanak dan ikan tengiri. Konon, ikan itu berasal dari
serpihan tubuh sang istri yang terus mencari Malin Kundang.
Demikianlah sampai sekarang jika ada ombak besar menghantam batu-batu yang mirip
kapal dan manusia itu, terdengar bunyi seperti lolongan jeritan manusia. Sungguh

memilukan kedengarannya. Kadang-kadang bunyinya seperti orang meratap menyesali
diri. “Ampuuuun, Bu ... ! Ampuuuun... Buuuuu ... !” konon itulah suara si Malin
Kundang.
Orang yang durhaka kepada orang tuanya terutama kepada ibunya, orang tersebut tidak
akan bisa masuk surga kecuali setelah mendapat pengampunan dari ibunya.

D. HUBUNGAN CERITA MALIN KUNDANG DENGAN
PANCASILA
Makna yang terkandung sebagai seorang anak, jangan pernah melupakan semua jasa
orangtua terutama kepada seorang Ibu yang telah mengandung dan membesarkan
anaknya, apalagi jika sampai menjadi seorang anak yang durhaka. Durhaka kepada
orangtua merupakan satu dosa besar yang nantinya akan ditanggung sendiri oleh
anak.
Jadi, hubungannya dengan pancasila adalah sesama manusia harusa saling
menghargai sesuai dengan sila ke dua yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
yang isinya :
a. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
b. Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap
manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis
kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
c. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.

d. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
e. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
f. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
g. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
h. Berani membela kebenaran dan keadilan.
i. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
j. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa
lain.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sumatera Barat memiliki sejarah yang sangat beragam dari zaman prasejarah sampai

kedatangan orang Barat, sejarah Sumatera Barat dapat dikatakan identik dengan
sejarah Minangkabau. Walaupun masyarakat Mentawai diduga telah ada pada masa itu,
tetapi bukti-bukti tentang keberadaan mereka masih sangat sedikit. Mulai dari masa
prasejarah, Masuknya bangsa Eropa,

Dari Perang Padri sampai Perang Belasting ,

Gerakan Islam Modernis di Minangkabau , Gerakan Partai Komunis di Indonesia,hingga
kependudukan Jepang.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”Padang” berarti suatu tanah yang
datar dan luas, atau lapangan luas. Kondisi tersebut menjadi inspirasi bagi lahirnya nama

kota Padang. Secara topografi kota Padang merupakan dataran rendah yang dikelilingi
bukit-bukit yang tidak begitu tinggi. Di kota ini bermuara dua buah sungai yaitu Batang
Kuranji dan Batang Arau.
Malin Kundang adalah salah satu cerita rakyat terpopuler bukan hanya di
Indonesia tapi juga dimata dunia. Cerita Malin Kundang menceritakan seorang anak yang
merantau ke negeri seberang untuk mengubah ekonomi keluarganya dan meninggalkan
ibunya tapi setelah ia berhasil dan

kembali ke kampung halamannya bukannya

membanggakan ibunya malah sebaliknya ia berpura-pura tidak mengenal ibunya lagi
karna ia malu mengakui ibu yang sudah tua dan miskin hingga ibunya marah dan
mengutuknya menjadi batu.
Hubungannya dengan Pancasila adalah sesama manusia harus saling menghargai
sesuai dengan sila ke dua yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

DAFTAR PUSTAKA
Kahin, Audrey . 2005. Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan
Politik Indonesia 1926-1998. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461519-6.
A.A. Navis. 1984. Buku Alam Takambang jadi Guru.
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. Sejarah Sumatera Barat.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Sumatera_Barat. Diakses
tanggal 7 oktober pukul 08.30)
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.Sejarah Kota Padang.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Padang. Diakses tanggal 7
oktober pukul 08.35)
Eposlima blogspot.2013.Cerita rakyat Malin Kundang.
(http://eposlima.blogspot.com/2013/06/cerita-rakyat-nusantaramalin-kundang.html. Diakses tanggal 7 oktober pukul 08.45)