Makalah Sosiologi Pembangunan Pembanguna (1)

PEMBANGUNAN BERBASIS EROPASENTRISME

Tugas
Sosiologi Pembangunan

oleh:
Dinda Sayuda Tara Shintia 130910302008
Satya Marendra A.

130910302015

Fathan Fadillah

130910302024

SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
DESEMBER
2015
Kata Pengantar


Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini. Makalah ini membahas tentang pembangunan berbasis
eropasentrisme, yaitu sebuah paradigma historis tentang pembangunan global dengan
mengacu pada perkembangan ekonomi dan perkembangan pembangunan di eropa
serta Negara adidaya lainnya. Di dalam makalah ini kemudian di jelaskan mengenai
tahapan historis tentang perkembangan pembangunan di Eropa, tanggapan para ahli
serta kaum strukturalis tentang tahapan pembangunan berbasis Eropasentrisme, dan
dampak modernisasi bagi Negara dunia ketiga menurut kaum strukturalis
Dalam penyusunan makalah ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang
Maha Esa. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Jember, Desember 2015
Penulis


Daftar Isi

2

Kata Pengantar............................................................................................

2

Daftar Isi.....................................................................................................

3

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan.....................................................................

4

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................


7

1.3 Tujuan Penulisan...................................................................................

7

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Tahapan Historis Pembangunan Di Eropa……….................................. 8
2.1.1 Era Merkantilisme………………………………………….... 8
2.1.2 Mazhab Fisiokratis…………………………………………... 9
2.1.3 Revolusi Agraria…………………………………………….. 11
2.1.4 Revolusi Industri……………………………………………. 13
2.1.5 Depresi ekonomi Global 1930………………………………. 15
2.1.6 Ekonomi setelah Perang Dunia II…………………………… 17
2.2 W.W. Rostow: Lima Tahap Pembangunan…………………………… 20
2.3 Bert F. Hoselitz : Faktor-Faktor Non Ekonomi
Dalam Pembangunan………………………………………………..... 21
2.4 Pandangan Kaum Strukturalis Tentang Eropasentrisme
Pembangunan Pada Negara-negara Dunia ke-3……………………… 23
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan............................................................................................. 27
Daftar Pustaka............................................................................................. 29
BAB I

3

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang penulisan
Dalam pemahaman sederhana pembangunan diartikan sebagai proses
perubahan kearah yang lebih baik, melalui upaya yang dilakukan secara terencana.
Pembangunan dalam sebuah negara sering dikaitkan dengan pembangunan ekonomi
(economic development). Focus pembangunan dalam ekonomi inilah yang kemudian
menjadi cikal bakal paradigma pembangunan yang lebih luas secara nasional maupun
global. Pembangunan ekonomi mendorong terciptanya suatu tindakan dalam usaha
untuk mencapainya baik dari segi politik dalam negeri maupun politik luar negeri
serta penciptaan iklim dan sistem ekonomi serta industri yang mendukung
pertumbuhan dan percepatan pembangunan. Negara-negara di benua barat dalam hal
ini eropa yang terlebih dahulu memulai serta menciptakan cikal bakal paradigma
pembangunan yang berpengaruh luas secara global dan telah dimulai sejak abad ke

17 hingga abad ke 18 melalui gerakan merkantilisme dan kolonialisme yang di
pelopori oleh Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis. Berbagai fenomena politik
yang terjadi dalam sistem pembangunan dunia barat yang kian berkembang dan maju
kemudian menjadi tolak ukur yang kuat bagi pandangan tentang bagaimana
pembangunan suatu Negara harus dilakukan, pembangunan eropa kemudian menjadi
role model secara global sehingga menciptakan istilah westernisasi yang dalam hal ini
erat kaitannya dengan modernisasi dalam paradigma pembangunan sebagai acuan
kemajuan ekonomi dan transformasi menuju Negara modern baru.
Modernisasi berarti proses menuju masa kini atau proses menuju masyarakat
yang modern. Modernisasi bukan lagi merupakan suatu istilah asing bagi masyarakat.
Hampir disetiap Negara dalam pergantian abad dan masa ke masa telah mengalami
era modernisasi sebagai respon untuk mengikuti kemajuan pembangunan Eropa.
Modernisasi dapat pula berarti perubahan dari masyarakat tradisional menuju
masyarakat yang modern. Jadi, modernisasi merupakan suatu proses perubahan di

4

mana masyarakat yang sedang memperbaharui dirinya berusaha mendapatkan ciri-ciri
atau karakteristik yang dimiliki masyarakat suatu Negara yang modern. Tidak heran
hal tersebut kemudian memunculkan analogi bahwa modernisasi adalah westernisasi.

Paham Westernisasi telah menjadi konstreuksi sosio cultural tentang paradigma
kemajuan suatu bangsa berdasarkan tahap historis pembangunan di eropa seperti
zaman merkantilis, fisiokratis, revolusi agraria, dan revolusi industri di Inggris, pasca
perang dunia II, dan zaman liberal kapitalis.
Dalam perkembangan pembangunan modern sejak era merkantilis, teori
Modernisasi sendiri baru muncul dan dipahami secara luas sekitar tahun 1950-an di
Amerika Serikat sebagai wujud respon kaum intelektual atas Perang Dunia II yang
telah menyebabkan munculnya negara-negara Dunia Ketiga. Kelompok negara
miskin yang ada dalam istilah Dunia Ketiga adalah negara bekas jajahan perang yang
menjadi bahan rebutan pelaku Perang Dunia II. Sebagai negara yang telah
mendapatkan pengalaman sekian waktu sebagai negara jajahan, kelompok Dunia
Ketiga berupaya melakukan pembangunan untuk menjawab pekerjaan rumah mereka
yaitu kemiskinan, pengangguran, gangguan kesehatan, pendidikan rendah, rusaknya
lingkungan, kebodohan, dan beberapa problem lain. Beberapa teori sosial yang
muncul waktu itu secara eksplisit berhubungan dengan pembangunan. Pembangunan
diteorikan sebagai proses di mana masyarakat terbelakang Dunia Ketiga akan
mencapai kemajuan sebagaimana di Barat melalui proses modernisasi. Sehingga,
modernisasi dan pembangunan dua hal yang berkaitan erat.
Teori ini didasarkan pada dikotomi antara apa yang disebut modern dan apa
yang disebut tradisional. Yang modern merupakan simbol dari kemajuan, pemikiran

yang rasional, dan cara kerja yang efisien. Masyarakat modern dianggap sebagai ciri
dari masyarakat di negara-negara industri maju. Sebaliknya yang tradisional
merupakan masyarakat yang belum maju, ditandai oleh cara berpikir yang irrasional
serta cara kerja yang tidak efisien. Ini merupakan ciri masyarakat pedesaan yang
didasarkan pada usaha pertanian di negara-negara miskin.

5

Oleh karena adanya kepentingan tersebut, maka negara adidaya, khususnya
Amerika

Serikat

mendorong

kepada

ilmuwan

sosial


untuk

mempelajari

permasalahan-permasalahan yang terjadi di negara dunia ke tiga tersebut. Maka
muncullah beberapa teori-teori pembangunan dengan berbagai istilahnya dan
berbagai alirannya dalam perspektif beberapa ahli yang mengemukakannnya.
Permasalahan di dunia ketiga tersebut salah satunya di kaji melalui Teori
Modernisasi. Teori modernisasi di bahas oleh beberapa sosiolog dengan perspektif
yang berbeda-berbeda.
Pembangunan berlandaskan westernisasi atau eropasentrisme kemudian secara
makro meniscayakan transformasi struktural dalam segala aspek kehidupan, baik
perubahan kultural, politik, sosial, ekonomi, maupun yang lainnya. Teori-teori yang
dibangun terkait dengan pembangunan sangat terkait erat dengan strategi
pembangunan. Teori pembangunan memuat berbagai pendekatan ilmu sosial yang
berusaha menangani masalah keterbelakangan dan mengalami perubahan besar dalam
proses tersebut. Konsep modernisasi dan pembangunan menjadi penuh kontroversial
dalam teori-teori sosial dan poskolonial kontemporer. Masalah yang muncul adalah
pada bayangan kaum strukturalis tentang negara berkembang tentang masa depan

mereka yang mengacu pada modernisasi Barat/Eropa. Mereka berpandangan
mengenai proses modernisasi sebagai penyebab kegagalan dalam pembangunan di
Dunia Ketiga yang merupakan dampak dari tindakan negara-negara maju. Teori
sistem dunia dan negara terbelakang juga memiliki persoalan, di mana asal-usul
pembagian antara pusat dan pinggiran tidak dijelaskan dengan baik. Sebaliknya,
ketika teori-teori tersebut membicarakan persoalan pusat dan pinggiran, pembahasan
selalu mengarah pada persoalan ekonomi-politik dan eksploitasi terhadap negara
berkembang serta pemusatan konsentrasi perdagangan dan investasi di negara maju
yang berdampak pada marginalisasi negara-negara pinggiran. Mereka pesimis bahwa
modernisasi dan pembangunan memperlihatkan kemajuan. Beberapa ahli melihat
bahwa modernisasi memunculkan Eropasentrisme dalam pembangunan dan ilmu
pengetahuan.

6

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah pada penulisan makalah
ini adalah.
1.


Mengapa Westernisasi atau Eropasentrisme disebut sebagai modernisasi?

2.

Apa sajakah dan bagaimana tahapan historis tentang perkembangan
pembangunan di Eropa?

3. Bagaimanakah tanggapan para ahli serta kaum strukturalis tentang tahapan
pembangunan berbasis Eropasentrisme?
4. Bagaimanakah Dampak modernisasi bagi Negara dunia ketiga menurut kaum
strukturalis?
.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan seperti apa
dan bagaimana yang dimaksud dengan pembangunan berbasis Eropasentrisme dan
tahapan-tahapan historisnya beserta tanggapan para ahli tentang hal tersebut.

7

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tahapan Historis Pembangunan Di Eropa
2.1.1 Era Merkantilisme

Merkantilisme berasal dari kata merchant yang berarti pedagang. Aliran
merkantilis adalah suatu aliran yang mempunyai keyakinan bahwa suatu negara akan
maju, jika melakukan perdagangan dengan negara lain. Melalui perdagangan luar
negeri tersebut, negara akan memperoleh surplus perdagangan luar negeri yang
berarti dana akan masuk ke dalam negeri, baik dalam bentuk emas atau perak.
Munculnya paham merkantilisme oleh para kaum aliran merkantilis pada dasarnya
menitikberatkan kepada bidang ekonomi seperti masalah-masalah keduniawian. Oleh
karena pemahaman merkantilisme yang terbatas pada masalah keduniawian, sehingga
banyak bermunculan pendapat-pendapat yang muncul hanya saja memikirkan aspek
ekonomis, bukan pada etika dan moral semata. Dengan kata lain merkantilis
merupakan perintis kearah pemikiran ekonomi yang hanya memandang berdasarkan
masalah-masalah ekonomi yang bersifat keduniawian.
Berbagai konsep yang dikemukakan oleh kaum merkantilis hanya diperoleh
dari semua Negara barat yang perekonomian pada saat itu sedang berkembang
(Teguh Sihono, 2008). Negara-negara tersebut adalah inggris dan perancis. Sehingga
konsep-konsep ekonomi dalam Negara tersebut mampu memberikan warna terhadap
ajaran kaum merkantilisme, sehingga kebijaksanaan pada waktu itu adalah
merangsang ekspor dan membatasi aktifitas impor. Negara-negara yang menganut
paham merkantilisme pada waktu itu antara lain, Portugis, Spanyol, Inggris, Perancis,
dan Belanda.
Paham merkantilisme yang dianut oleh beberapa Negara tersebut pada abad
ke XVI pada dasarnya terjadi berdasarkan perdagangan antara Negara-negara eropa
hingga akhirnya sampailah ke perdagangan jalur Hindia-Belanda (Indonesia pada

8

waktu itu). Pada jaman merkantilisme, bukan hanya bidang perekonomian dan
perdagangan saja yang mengalami kemajuan yang sangat pesat, akan tetapi kemajuan
literature juga sangat pesat. Kemajuan dalm tulisan-tulisan ekonomi maju baik dari
segi kuantitas dan kualitas. Pada jaman tersebut masing-masing orang menjadi
penulis bagi dirinya sendiri. Sehingga banyak sekali bermunculan pendapat-pendapat
yang didasarkan dari diri si penulis. Karena banyaknya tulisan-tulisan tersebut, sulit
sekali untuk di generalisasikan menjadi pengertian yang bersifat pokok dan umum.
Penyebabnya adalah banyak diantara penulis tersebut yang bukan berasal dari latar
belakang pendidikan di universitas yang berdasarkan oleh penelitian ilmiah, akan
tetapi tulisan tersebut berdasarkan persoalan-persoalan ekonomi yang riil terjadi
hubungannya dengan bisnis mereka. Tulisan mereka masih berserakan , untuk itulah
Adam Smith menggunakan tulisan tersebut sebagai sumber penulisan bukunya yang
berjudul The Wealth of Nations.
Namun Adam Smith (1723-1790) menolak pandangan paham merkantilisme.
Dalam bukunya Wealth of Nations Smith merevisi secara radikal peran Negara secara
langsung dalam ekonomi. Bagi Smith, pemerintah tidak perlu memonopoli,
mengontrol, atau melakukan diskriminasi terhadsap industry tertentu. Harusnya
Negara membiarkan kekuasaan membuat keputusan berada di tangtan agen-agen
ekonomi itu sendiri. Negara tidak mengatur tetapi memberi kuasa pada pewrusahaan
dan agen komersial untuk mengatur diri mereka sendiri, dan keseimbangan
perekonomian diatur otomatis oleh invisible hand (tangan tidak terlihat).
2.1.2 Mazhab Fisiokratis

Kaum Merkantilis menganggap sumber kekayaan suatu Negara adalah
perdagangan luar negeri. Berbeda dengan itu, kaum fisiokrat menganggap bahwa
sumber kekayaan yang senyata-nyatanya adalah sumber daya alam. Fisiokratis secara
etimologis terdiri dari kata physic (alam) dan cratos (kekuasaan), yang berarti mereka
percaya akan adanya hukum alam. Hukum alam yang penuh dengan keselarasan dan
keharmonisan ini berlaku kapan saja, di mana saja, dan dalam situasi apapun (bersifat

9

kosmopolit). Kaum fisiokrat percaya bahwa sistem perekonomian juga mirip dengan
alam yang penuh harmoni. Dengan demikian, etiap tindakan manusia dalam
memenuhi kebutuhannya ,asing-masing juga akan selaras dengan kemakmuran
masyarakat banyak. Beri manusia kebebasan, dan biarkan mereka melakukan yang
terbaik bagi dirinya masing-masing. Pemerintah tidak perlu campur tangan, dan alam
akan mengatur semua pihak untuk senang dan bahagia. Inilah yang menjadi cikal
bakal doktrin laisszess faire-laiszess passer yang kira-kira berarti: biarkan semua
terjadi, biarkan semua berlalu.
Menurut pendapat F. Quesnay (1694-1774) dan pemikir fisiokrat yang lain
mengenai tatanan masyarakat pada umumnya dan tatanan ekonomi pada khususnya
diatur menurut kekuatan hukum alam. Kehidupan masyarakat harus berlangsung
sesuai dengan hukum kekuatan-kekuatan alamiah. Bahwa sumber kemakmuran
masyarakat adalah alam, yang dimaksud alam dalam hal ini adalah sektor pertanian.
Quesnay membagi masyarakat ke dalam 4 golongan, yaitu (1) kelas masyarakat
produktif yaitu yang aktif mengolah tanah seperti pertanian dan pertambangan, (2)
kelas tuan tanah, (3) kelas yang tidak produktif atau steril yang terdiri dari saudagar
dan pengrajin, dan (4) kelas masyarakat buruh yang menerima gaji dan upah dari
tenaganya.
Bagi Quesnay hukum ekonomi yang bersesuaian dengan hukum alam ini
menjadikan alam dalam hal ini tanah sebagai satu-satunya sumber kemakmuran
rakyat.

Termasuk

pula

didalamnya

kegiatan

pertanian,

peternakan,

dan

pertambangan. Kelas tuan tanah dianggap sebagai pengisap belaka sebab memperoleh
hasil tidak melalui kerja. Kegiatan industri dan perdagangan dinilai tidak produktif
karena kegiatan industri hanya mengubah bentuk atau sifat barang. Kegiatan
perdagangan pun dianggap tidak produktif. Hal ini ia melihat para pedagang hanya
memindahkan barang dari suatu tempat ke tempat lain. Karena kaum petani yang
paling produktif diantara keempat golongan tersebut, Quesnay menganjurkan agar
kebijksanaan-kebijaksanaan yang diambil oleh pemerintah harus ditujukan untuk
meningkatan taraf hidup petani. Bukan sebaliknya, memberi hak-hak khusus kepada

10

pemilik tanah dan para saudagar seperti yang selama ini dinikmati dibawah
pemeritahan yang mengagungkan markantilisme.
Dengan dasar pandangan diatas, kaum markantilisme yang menganggap
bahwa sumber utama kemakmuran negara adalah dari surplus yang diperoleh dari
perdagangan luar negeri dianggap sebagai suatu pandangan keliru oleh kaum
fisiokrat. Kaum fisiokrat juga mengkritik kaum markantilis yang menciptakan
berbagi rergulasi perdagangan ketika seharusnya dibebaskan dari control. Kaum
markantilis dituduh telah membuat barang-barang menjadi lebih mahal dengan
menetapkan pajak yang tinggi.
2.1.3 Revolusi Agraria

Revolusi agraria pertama kali terjadi di Inggris. Sebelum terjadi Revolusi
Industri, masyarakat Eropa (khususnya Inggris) hidup dalam tatanan system ekonomi
agraris. Dalam bidang sosial, masyarakat hidup dalam system feodalis yang mana
golongan bangsawan, tuan tanah dan gereja sebagai orang berkuasa dengan hak
istimewa. Sedangkan patani sebagai penggarap tanah milik penguasa. Seiring dengan
munculnya gerakan renaissance yang melahirkan paham rasionalisme, yaitu paham
yang menjunjung tinggi pikiran / rasio manusia, maka perlahan-lahan masyarakat
mulai melepaskan diri dari dogma-dogma gereja yang selama itu membelenggu
mereka. Paham rasionalisme ini memunculkan banyak ide pemikiran dan penemuan
penting yang tergolong baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dari berbagai ide dan penemuan di bidang mesin, transportasi, listrik dan
bidang lainnya, ada ide yang akhirnya mendorong terjadinya revolusi Agraria. Ide
T.R. Malthus yang mengemukakan bahwa masalah kemiskinan dan kemelaratan
adalah masalah yang tidak dapat dihindari. Ini terjadi karena pertumbuhan penduduk
dan peningkatan produksi pangan tidak seimbang. Pertumbuhan penduduk berjalan
lebih cepat dibandingkan peningkatan produksi pangan. Menurut Malthus,
pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, sedangkan peningkatan produksi
pangan mengikuti deret hitung.

11

Tulisan Robert Malthus ini menimbulkan pengaruh di Eropa yang
memunculkan gerakan pengendalian pertumbuhan penduduk dengan mengontrol
angka kelahiran serta usaha pencarian dan penelitian bibit unggul dalam bidang
pertanian.
Namun bidang pertanian pada saat itu sedang menghadapi tantangan. Salah
satu alasan terjadinya revolusi agraria karena kerusakan lahan pertanian akibat perang
dunia. Alasan lainnya adalah untuk meningkatkan produksi pangan di Inggris. Karena
lahan pertanian terbatas akibat kerusakan lahan pertanian, sedangkan laju
pertumbuhan penduduk tinggi, membawa perubahan mendasar sistem kehidupan
masyarakat pada saat itu yang mendorong terjadinya revolusi agraria dimana terjadi
peningkatan permintaan wol di pasar eropa, wol merupakan komoditas yang cukup
berharga dan mempunyai prospek industri yang tinggi pada masa itu. Sebagai respon
atas tren komoditas wol yang laris di pasar eropa, golongan bangsawan pemilik tanah
kemudian mengemukakan ide dengan cara mengubah lahan pertanian dan perkebunan
gandum menjadi peternakan domba untuk di ambil wolnya. Akibatnya terjadi
perubahan sistem undang-undang tanah. Dengan kebijakan tentang tanah yang baru
tersebut, membawa dampak yang meluas dalam tatanan masyarakat Inggris. Pada saat
itu, permintaan bahan baku untuk kain wol dan laken sangat meningkat, baik dari
Itali maupun dari dalam negeri sendiri.
Revolusi agraria ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh david
Ricardo mengenai hukum keunggulan komparatif dalam bukunya Principles of
Political Economy and Taxation (1817). Menurut hukum keunggulan komparatif,
meskipun sebuah negara kurang efisien dibanding negara lain dalam memproduksi
kedua jenis komoditi yang dihasilkan, namun masih tetap terdapat dasar untuk
melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak. Negara A misalnya
harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditi yang
memiliki kerugian absolut lebih kecil (yang merupakan komoditi yang memiliki
keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditi yang memiliki kerugian absolut
cukup besar (komoditi yang memiliki kerugian komparatif). Dalam hal ini Komoditas

12

wol merupakan komoditi yang memiliki keunggulan komparatif dan kerugian absolut
lebih kecil karena permintan pasar eropa untuk wol sangat besar pada masa itu. Inggris
melalui Revolusi Agraria ingin memanfaatkan keunggulan komparatif tersebut dengan
memulai melakukan spesialisasi di bidang industry wol.
Namun Tentu saja revolusi agraria memiliki akibat yang dapat mengubah atau
bahkan merusak tatanan masyarakat. Salah satu akibat dari revolusi agraria adalah
para petani yang kehilangan pekerjaan melakukan urbanisasi ke kota dan bekerja
menjadi buruh industri. Pada saat itu, lahan pertanian sudah beralih fungsi menjadi
peternakan yang mengakibatkan para petani menjadi pengangguran. Maka dari itu
petani memutar otak agar dapat bertahan hidup, salah satunya dengan urbanisasi ke
kota. Ketika petani melakukan urbanisasi ke kota dan bekerja sebagai buruh industri,
hal ini mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk di kota.
2.1.4 Revolusi Industri
Awal mulanya revolusi industri terjadi akibat revolusi agraria yang
mengakibatkan jumlah buruh pada sektor industri menjadi berlebihan, namun
percepatan produksi dirasa masih lambat. Hal tersebut yang mendorong terjadinya
inovasi, titik baliknya terjadi saat ditemukannya berbagai mesin yang dapat
membantu pekerjaan manusia, diawali dengan penemuan mesin uap oleh James Watt
dan disusul dengan penemuan lain, kesulitan para petani dan pabrik industri wol pada
masa Revolusi Agraria bisa diatasi. Mesin uap menciptakan banyak inovasi pada
mesin bagi industri dan langsung diaplikasikan secara masif pada industri wol.
Sedangkan pada sector pertanianemakaian mesin traktor sebagai pengganti tenaga
ternak terbukti efektif, karena pekerjaan bisa selesai lebih cepat walaupun lahan yang
harus dibajak sangat luas. Selain itu, dengan ditemukannya sinar-X, para ahli mulai
mengembangkan bibit baru yang unggul dengan cara mutasi. Begitu pula dengan
pemakaian pupuk kimia yang mulai dikembangkan oleh pabrik-pabrik serta obat
hama penyakit, semakin meningkatkan produktivitas pangan. Pada perkembangan
selanjutnya, mekanisasi di bidang pertanian, industri wol, serta industri lainnya yang

13

sukses, mendorong pabrik-pabrik mulai mengganti tenaga manusia dengan mesin.
Hal inilah yang mendorong terjadinya Revolusi Industri di Inggris . Revolusi industri
adalah perubahan ekonomi masyarakat agraris menuju ke masyarakat industri.
Terjadinya revolusi industri merupakan cikal bakal terciptanya modernisasi awal.
Perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor pendorong yaitu kapitalisme,
perdagangan internasional, markantilisme, kolonialsime, etika kerja protestan dan
lain-lain. Revolusi industri tentu memiliki dampak negatif maupun dampak positif.
Terutama dampak pada ekonomi, sosial, budaya dan politik. Sebelum ke pembahasan
lebih lanjut, revolusi industri terjadi pertama kali di Inggris. Revolusi industi ini
terjadi pada tahun 1750-1780. Revolusi industri bermula di Inggris dan kemudian
menyebar ke Belanda dan Eropa. Menjelang tahun 1800-an revolusi industri telah
menyebar kepenjuru dunia.
Saat terjadi Revolusi industri, tenaga buruh dapat dikurangi dan percepatan
produksi meningkat. Terjadi pembagian spesialisasi tenaga kerja yang digagas oleh
Adam Smith (Division Of Labor) untuk meningkatkan percepatan produksi. Menurut
Smith, bukan perbedaan kodrati dalam hal bakat dan ketidakmampuan manusia untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri yang menjadi cikal bakal dari pembagian kerja.
Justru pembagian kerja adalah konsekuensi dari kecenderungan tertentu dalam
hakikat manusia yaitu kecenderungan untuk berdagang dan mempertukarkan satu
barang dengan barang lainnya. Dalam pembagian kerja tentu ada hal-hal yang
berbeda yang dikerjakan. Dari sanalah akan tercipta bakat dan keterampilan atau
spesialisasi. Jadi bukan dari bakat alamiah, akan tetapi hal itu terjadi akibat dari
pembagian kerja. Spesialisasi tersebut membawa paradigma baru dalam dunia
industri sehingga menjadikan industri dapat memaksimalkan percepatan produksi dan
memperbesar kapasitas pasar sejalan dengan percepatan produksi yang sangat tinggi.
Akibatnya keuntungan dan pendapatan industri secara khusus dan Negara secara
umum juga meningkat pesat. Industri yang berkembang pesat membuat Inggris
menjadi Negara kaya raya. Model ini di tiru oleh Negara Eropa lain dan Amerika,
menjadikan meraka negara industri dunia yang kaya dan cepat pembangunannya.

14

Revolusi industri menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam
bidang produksi beragam jenis barang karena adanya ilmu pengetahuan yang baru,
yang dapat menciptakan berbagai teknologi berupa mesin. Dengan adanya mesinmesin tersebut mengakibatkan organisasi pabrik semakin berkembang pesat. Pesatnya
perkembangan menjadi ajang bagi para penanam modal swasta dan lembaga
keuangan untuk mendapatkan keuntungan. Tentu saja Negara memiliki pendapatan
yang semakin meningkat. Ditambah lagi dengan penemuan-penemuan baru yang
berhubungan dengan produksi.
Tentu saja revolusi industri ini memiliki dampak positif dan negatif yang
sangat terlihat. dampak positif antara lain pendapatan Negara semakin meningkat,
Negara semakin maju, perdagangan internasional dan lain sebagainya. Namun di sisi
lain revolusi industri juga memiliki dampak negatif yaitu munculnya praktik kapitalis,
upah buruh murah, adanya buruh dibawah umur, kejahatan atau kriminalitas,
diskriminasi kelas dan lain sebagainya.
2.1.5 Depresi ekonomi Global 1930
Hampir sepanjang tiga dasawarsa pertama abad ke-20 ekonomi dunia tumbuh
pesat. Industrialisasi serta percepatan-percepatan ekonomi menjadi kegairahan
tersendiri pada masa itu. Namun optimisme ini tidak berlangsung lama. Menjelang
akhir 1929, krisis ekonomi global datang dengan tiba-tiba dan efeknya terasa sampai
bertahun-tahun setelahnya. Depresi Besar (Great Depression) tahun 1930 ini
ditenggarai dimulai dengan runtuhnya Wall Street tahun 1929 dalam kejadian yang
dikenal dengan Black Thursday di Amerika Serikat. Paska jatuhnya harga saham,
rakyat Amerika mulai panik dan memutuskan untuk menjual saham-sahamnya.
Setelah itu kejadian buruk datang bertubi-tubi, mulai dari bank rush, tutupnya
berbagai perusahaan, ratusan bank dibangkrutkan, pengangguran meningkat tajam,
hingga kontraksi dalam ekonomi (Krugman, 1999).
Di akhir Oktober 1929 kekacauan sampai pada titik akhir. Akibat yang jelas
terlihat antara lain harga (dalam pasar) menjadi dua kali lipat sehingga

15

mengakibatkan persediaan uang Amerika yang selama ini menyokong perekonomian
bagi dunia mengering. Dalam tiga bulan produksi perindustrian Amerika jatuh 10%
dan impor 20%. Pada akhirnya perekenomian tidak juga membaik bahkan tingkat
pengangguran semakin meningkat hingga tahun 1933. Likuidasi deflasi sangat jauh
dari perbaikan pertumbuhan perekonomian dengan menurunkan harga dan upah tidak
juga memacu adanya investasi baru dan konsumsi dan krisis pun semakin memburuk.
Di awal Mei 1931 resesi ekonomi ini kemudian turut merembet ke negara lain, seperti
Austria, Polandia, Hungaria, Cekoslovakia, Romania, Jerman, lalu Switzerland,
Prancis, dan juga Inggris.
Dari peristiwa ini kita dapat melihat bahwasanya Karl Marx dan pengikutnya
benar tentang kritik-kritinya mengenai Ekonomi Liberalisme yang bertendensi untuk
krisis. Berpegang pada doktrin untuk mengorganisir, mengelola ekonomi pasar agar
mencapai efisiensi maksimum, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan individu,
Ekonomi Liberalis yakin akan komitmennya terhadap pasar bebas, intervensi
minimum negara, kesetaraan individu dan kebebasan. Di tahun 1933 ketika
perekonomian dunia mati tenggelam, pemerintah mulai menyadari kebijakannya yang
gagal. Disini John Maynard Keynes yang seorang penganut neo-Liberalisme mulai
angkat suara, memberikan solusi cerdas bagi krisis fatal sistem kapitalis ini.
Keynes berpendapat bahwa dalam keadaan krisis, pemerintah perlu
meningkatkan pengeluarannya sehingga jumlah uang yang beredar di masyarakat
akan bertambah dan demand masyarakat terhadap barang produksi akan bertambah
pula. Pengeluaran ini harus dilakukan dalam kerangka investasi, bukannya konsumsi,
dan di sektor yang tidak berada dalam krisis, tidak di sektor yang menghasilkan
dalam jangka panjang, jadi alternatif menarik jika pemerintah menginvestasikan dana
di bidang padat karya. Keynes melihat solusi mencetak uang merupakan langkah
yang salah karena hanya akan menimbulkan devaluasi. Memberi dana bail-out dan
menalangi hutang-hutang negara dan perusahaan juga salah karena hanya aka
semakin memperburuk kegagalan ekonomi. Solusi yang dikemukakan Kenyes adalah
pemerintah mesti menjalankan kebijakan defisit anggaran dan melakukan

16

pengeluaran untuk kerja publik yang akan menaikkan permintaan dan memulihkan
kepercayaan. Artinya, Keynes menolak doktrin Laissez-faire yaitu doktrin yang tidak
menginginkan intervensi pemerintah dalam perekonomian atau yang lebih dikenal
dengan pasar bebas.
2.1.6 Ekonomi setelah Perang Dunia II
Berakhirnya Perang Dunia II menyebabkan keadaan ekonomi dunia kacau.
Perang Dunia II telah mengeksploitasi banyak tenaga kerja, modal, dan biaya perang
sehingga ketika perang berakhir keadaan perekonomian sangat berantakan. Lahirnya
dua kekuatan adidaya setelah perang dunia dengan sendirinya telah menyebabkan
sistem ekonomi dunia terbelah menjadi dua. Sistem ekonomi dunia setelah Perang
Dunia II terdiri atas sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis. Sistem
ekonomi kapitalis cenderung berkiblat dan didominasi oleh Amerika Serikat. Sistem
ekonomi sosialis cenderung berkiblat dan didominasi oleh Uni Soviet. Negara-negara
di Eropa Barat dan sebagian Asia, seperti Jepang, Singapura, dan Korea selalu
cenderung menggunakan sistem ekonomi kapitalis. Amerika Serikat sebagai
pemimpin kapitalis menyatakan bahwa sistem perekonomian kapitalis merupakan
sistem perekonomian terbaik di dunia. Hal itu disebabkan sistem perekonomian
kapitalis menekankan pada bentuk persaingan bebas sesuai nilai liberal. Paham
ekonomi kapitalis ini sangat bertentangan dengan paham ekonomi sosialis. Paham
ekonomi sosialis banyak diterapkan di negara-negara Eropa Timur dan sebagian Asia,
seperti Cina, Korea Utara, dan Vietnam. Pada sistem ekonomi sosialis, peranan
pemerintah sangat mendominasi. Bahkan, campur tangan pemerintah dalam kegiatan
perekonomian wajib dilaksanakan. Hak milik perorangan atau pribadi sangat
diabaikan. Jadi, semua kegiatan itu dipusatkan dan diperuntukkan bagi negara.
Hancurnya perekonomian dunia menyebabkan Amerika Serikat dan Uni
Soviet sebagai negara adidaya tampil memberikan bantuan ekonomi. Namun, kedua
negara adidaya itu tidak sekadar memberi bantuan ekonomi. Dibalik pemberian
bantuan ekonomi tersebut, kedua negara adidaya juga memperluas pengaruh

17

ideologinya. Presiden Amerika Serikat dengan dibantu Menteri Luar Negeri, Marshall
menawarkan bantuan ekonomi ke sejumlah negara Eropa Barat. Program bantuan
ekonomi Amerika Serikat tersebut dikenal dengan nama Marshall Plan yang
dicetuskan pada tanggal 5 Juli 1947. Negara-negara Eropa Barat yang menerima
bantuan ekonomi melalui Marshall Plan harus bersedia bekerja sama dengan Amerika
Serikat untuk meningkatkan produksi secara maksimal, menciptakan lapangan kerja,
dan meningkatkan volume perdagangan.
Negara-negara Eropa Barat dengan memperoleh bantuan ekonomi melalu
Marshall Plan secara bertahap berhasil menata kembali keadaan perekonomiannya.
Bahkan, masyarakat Eropa Barat akhirnya dapat membentuk suatu badan kerja sama
ekonomi yang disebut Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) atau European Economic
Community (EEC) pada tanggal 25 Maret 1957 di Roma, Italia. Di dalam pertemuan
di Roma digariskan tujuan pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa, antara lain:
a. Meningkatkan perekonomian negara anggota melalui kerja sama yang
harmonis;
b. Memperluas bidang perdagangan;
c. Liberalisasi dalam perdagangan;
d. Menjaga keseimbangan perdagangan di antara negara anggota;
e. Menghapus

semua

rintangan

yang

menghambat

laju

perdagangan

antaranggota;
f. Memperluas kerja sama perdagangan dengan negara lain.
Pada awalnya Masyarakat Ekonomi Eropa beranggotakan negara Jerman
Barat, Prancis, Italia, Belgia, Belanda, dan Luksemburg. Namun, pada konferensi
MEE di Brusel, Belgia pada tanggal 22 Januari 1962 keanggotaannya bertambah
dengan masuknya Inggris, Irlandia, Denmark, dan Norwegia. Amerika Serikat juga
berusaha memperluas paham ideologinya ke wilayah lainnya. Misalnya, Amerika
Serikat juga berusaha mendekati negara Yunani dan Turki agar bersedia bergabung
dalam ideologi liberalisme kapitalisme. Negara Turki dan Yunani setelah berakhirnya
Perang Dunia II mengalami kehancuran bangunan dan keadaan ekonomi yang parah

18

luar biasa. Kebetulan dana yang besar itu dimiliki oleh Amerika Serikat yang cepat
tanggap menghadapi situasi seperti itu. Paket bantuan ekonomi dari Amerika Serikat
segera dikucurkan kepada negara Yunani dan Turki. Paket bantuan ekonomi tersebut
dinamakan Truman Doctrine. Dengan demikian, Amerika Serikat satu per satu
berhasil meluaskan pengaruhnya ke seluruh wilayah Eropa. Perang Dunia II tidak
hanya berlangsung di Eropa, tetapi juga berlangsung di wilayah Asia. Dengan begitu,
setelah Perang Dunia II berakhir kerusakan parah juga melanda wilayah Asia.
Berbagai bangunan berantakan dan keadaan ekonomi pun mengalami kelesuan seperti
halnya wilayah Eropa. Amerika Serikat begitu cepat tanggap dengan keadaan di
wilayah Asia. Amerika Serikat juga berusaha membantu keadaan negara-negara di
wilayah Asia melalui bantuan ekonomi dan militer. Paket bantuan Amerika Serikat
kepada negara-negara Asia disebut Mutual Security. Melihat aksi Amerika Serikat,
Uni Soviet sebagai kekuatan adidaya lainnya mencoba memberi perhatian kepada
negara-negara sekutunya di wilayah Eropa Timur dalam bentuk bantuan ekonomi.
Bantuan ekonomi yang maksudkan untuk membendung meluasnya pengaruh
liberalisme yang digagas oleh Menteri Luar Negeri Uni Soviet, Molotov. Oleh karena
itu, paket bantuan ekonomi dari negara Uni Soviet untuk negara-negara Eropa Timur
disebut Molotov Plan. Dengan bantuan ekonomi tersebut, negara-negara di Eropa
Timur berusaha menata kembali keadaan ekonominya. Pada perkembangan
selanjutnya, negara-negara di Eropa Timur membentuk lembaga kerja sama ekonomi
yang disebut Commintern Economi (Comicon). Negara-negara baru yang berada di
kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin merasa bimbang menghadapi besarnya
pengaruh dua negara adidaya tersebut. Negara negara baru itu memang membutuhkan
bantuan ekonomi yang tidak sedikit untuk membangun. Namun, di sisi lain mereka
juga tidak ingin terjebak untuk mengikuti ideologi kapitalisme atau komunisme.

2.2 W.W. Rostow: Lima Tahap Pembangunan

19

Dalam bukunya yang sangat terkenal: The stages of economic growth: A non
communist manifesto (1960), Rostow mengatakan bahwa Negara-negara berkembang
yang ingin maju harus melalui tahap-tahap pembangunan tertentu. Menurut Rostow
pembangunan ekonomi atau proses transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi
masyarakat modern merupakan suatu proses yang multidimensional. Pembangunan
ekonomi bukan hanya berarti perubahan struktur ekonomi suatu negara yang
ditunjukkan oleh menurunnya peranan sektor pertanian dan peningkatan peranan
sektor industri saja. Rostow berpendapat bahwa ada lima tahap pembangunan, yaitu :
1. Masyarakat tradisisonal
Pada masa masyarakat tradisional ini belum banyak menguasai ilmu
pengetahuan. Manusia pada masyarakat tradisional lebih memahami keadaan
dengan cara tunduk pada alam. Kemajuan tidak berjalan pesat atau bisa
dihatakan sangat lambat. Masyarakat yang biasanya hidup tergantung pada
alam dan bersifat statis.
2. Prakondisi lepas landas
Pada masa ini masyarakat sudah lebih maju karena adanya pengaruh-pengaruh
dari luar. Disini terjadi perubahan pola pikir masyarakat tradisional ke
pemikiran yang lebih maju karena adanya investasi dari luar. Pra lepas landas
merupakan masa terciptanya ide-ide baru untuk pembangunan.
3. Tahap lepas landas
Pada masa lepas landas ini semua masalah yang menghambat pembangunan
mulai teratasi oleh pertumbuhan ekonomi. Masyarakat menganggap wajar
dengan adanya partumbuhan ekonomi.
4. Menuju kedewasaan
Pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat sehingga berdampak pada ekspor
dan import yang juga pesat. Pada titik ini Negara mampu mengikuti
pemasaran secara global.
5. Masyarakat konsumen

20

Pada tahapan ini Negara bisa melakukan pembangunan yang kontinyu.
Masyarakat memiliki tingkat konsumsi yang tinggi karena produksi yang juga
tinggi. Proporsi ketenagakerjaan yang tinggi di bidang jasa, meluasnya
konsumsi atas barang-barang yang tahan lama dan jasa dan peningkatan atas
belanja jasa-jasa kemakmuran.
Secara keseluruhan, proses sebagaimana dijelaskan oleh Rostow di atas hanya
bisa berlangsung jika dipenuhi beberapa kondisi, antara lain: pemerintahan yang
stabil; adanya perbaikan dalam tingkat pendidikan; adanya sekelompok innovator
dan wiraswastawan yang mampu memanfaatkan tabungan masyarakat dan
mengembangkan perdagangan. Selain itu, secara implicit rostow menyebutkan
bahwa untuk dapat maju, diperlukan reformasi sosial. Untuk itu, Negara-negara
berkembang dapat mencontoh langkah-langkah yang dilakukan oleh Negara maju
seperti Eropa dan Amerika.
2.3 Bert F. Hoselitz : Faktor-Faktor Non Ekonomi Dalam Pembangunan
Hoselitz mengkaji faktor-faktor non-ekonomi seperti lembaga-lembaga sosial
politik yang tidak di temukan oleh rostow. Hoselitz menambahkan bahwa kegagalan
utama dalam pembangunan bukan hanya dari segi modal, melainkan dari
keterampilan kerja atau keterampilan tenaga kerja. Tenaga kerja adalah satu factor
yang penting dalam pertumbuhan ekonomi, diperlukan sebuah penyediaan tenaga
terampil yang memadai, karena jika hanya didukung oleh Hoselitz memberi ide
supaya tercipta keterampilan kerja, Negara harus melakukan pembangunan
kelembagaan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja, menambah
pemasokan modal dan menjadikannya produktif. Pembangunan kelembagaan ini
seperti lembaga pendidikan yang bersifat formal maupun non formal.
Selanjutnya

hoselitz

menekankan

bahwa

seringkali

masalah

utama

pembangunan adalah kekurangan modal, akan tetapi masalah lain yang juga amat
penting yakni adanya keterampilan kerja tertentu, termasuk tenaga wiraswasta yang
tangguh. Karena itu di butuhkan perubahan kelembagaan pada masa sebelum lepas

21

landas, yang akan memepengaruhi pemasokan modal, supaya modal ini bisa menjadi
produktif. Perubahan kelembagaan ini akan menghasilkan tenaga wiraswasta dan
administrasi, serta keterampilan teknis dan keilmuan yang dibutuhkan. Oleh karena
itu, bagi Hoselitz pembanguann membutuhkan pemasokan dari beberapa unsur yaitu
pemasokan modal besar dan perbankan, dan pemasokan tenaga ahli terampil.
Pemasokan modal dalam jumlah yang besar seperti yang di uraikan oleh
rostow, membutuhkan lembaga-lembaga yang bisa menggerakkan tabungan
masyarakat

dan

menyalurkan

kegiatan-kegiatan

yang

produktif.

Hoselitz

menyebutkan lembaga perbankan yang efektif dan pengalaman dari Negara-negara
eropa ketika menjalankan proses lepas landas menunjukkan pentingnya lembaga
perbankan. Tanpa lemabag-lembaga seperti ini, modal besar yang ada sulit di
kumpulkan sehingga bisa menjadi sia-sia dan tidak menghasilkan pembangunan.
Hoselitz meunjuk pengalaman di Cina pada abad ke-19. Sebagai akibat dari korupsi
pejabat Megara, surplus ekonomi menajdi sia-sia, karena di tanamkan kepembelian
tanah, atau di pakai untuk mengkonsumsi barang-barang mewah.
Dari segi pemasokan tenaga kerja terampil, tenaga yang di maksud adalah
tenaga kewiraswastaan, administrator professional, insinyur, ahli ilmu pengetahuan
dan tenaga manajerial yang tangguh. Di samping itu, di sebutkan juga perkembangan
teknologi dan sains harus melembaga sebelum masyarakat tersebut melakukan lepas
landas. Tanpa ada tenaga ahli yang berkompeten menjalankan roda usaha, maka
usaha tersebut tidak akan mencapai laba maksimal, atau bahkan akan mengalami
kerugian. Kerugian juga berarti kegagalan pembangunan.
Kemudian, Hoselitz membicarakantenyang tenaga wiraswasta. Supaya orangorang ini muncul, di perlukan sebuah masyarakat dengan kebudayaan tertentu.
Kebudayaan yang di maksud adalah kebudayaan yang beranggapan bahwa mencari
kekayaan bukan merupakan sesuatu hal yang buruk. Kalau nilai-nilai budaya
semacam ini tidak ada akan sulit sekali jiwa kewiraswastaan muncul. Misalnya di
dalam suatu masyrakat yang di kuasai oleh panglima perang, para pendeta, budaya
dan nilai-nilai yang mendorong orang melakukan akumulasi modal sulit tumbuh

22

subur. Bila orang-orang ini di anggap memiliki status yang lebih tinggi dari pada
pedagang dan indusrialis, jiwa kewiraswastaan akan bersembunyi.
Dalam karyanya “Economic Growth and development: non economic faktor in
economic development”. Hoselitz mengatakan bahwa faktor kondisi lingkungan juga
termasuk dalam faktor non ekonomi yang sangat penting dalam proses pembangunan.
Kondisi

lingkungan

maksudnya

adalah

perubahan-perubahan

pengaturan

kelembagaan yang terjadi dalam bidang hukum, pendidikan, keluarga, dan motivasi.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa factor ekonomi sangat penting dalam proses
pembangunan, namun faktor kondisi lingkungan seperti perubahan kelembagaan yang
terjadi dalam masyarakat sehingga dapat mempersiapkan kondisi yang mendukung
untuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
2.4 Pandangan Kaum Strukturalis Tentang Eropasentrisme Pembangunan Pada
Negara-negara Dunia ke-3
Teori-teori pembangunan sebagian besar berangkat dari pengalaman Eropa.
Namun, pendekatan Eurosentris ini mengalami tantangan dari perspektif lainnya.
Diantaranya para akademisi dan penulis dari Amerika Latin.
Menurut interpretasi kaum strukturalis, strategi pembangunan nasional harus
mencakup interevensi negara yang lebih besar untuk melindungi industri-industri
nasional untuk membangun dirinya. Pendekatan ini dibangun berdasarkan ide “infant
industry” yang dikembangkan oleh Friedrich List, seorang ekonom Jerman.
Aliran strukturalis adalah aliran pengembangan ide dasar sosialisme yang
muncul di akhir 1940 dan 1950an. Teori strukturalis percaya bahwa pembangunan
dapat dicapai di bawah paham sosialisme. Jadi ada pengarahan dan campur tangan
pemerintah. Pendekatan strukturalis menjelaskan hakekat ekonomi negara-negara
Amerika Latin dan derajat pembangunannya. Raul Prebisch bersama penulis yang
lain memberikan argumen tentang teori dan strategi pembangunan berdasarkan
pengalaman di Amerika Latin. Menurut Prebisch, rendahnya tingkat pertumbuhan
ekonomi dan standar hidup tidak akan diperbaiki melalui perdagangan bebas (free

23

trade) seperti yang dikumandangkan oleh para teorist modernisasi. Hal ini karena
struktur ekonomi global sangat berbeda dengan situasi ketika negara-negara Eropa
mengalami proses industrialisasi. Menurut Prebisch, sistem perdagangan global yang
lebih berdasarkan pada prinsip perdagangan bebas merupakan suatu hambatan bagi
pembangunan di Amerika Latin.
Menurut para pakar strukturalis, pembangunan sebagai suatu tujuan (goal)
tidak dihadirkan dengan industrialisasi, urbanisasi, dan simbol-simbol modernisasi
lainnya. Pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang “jalan”nya akan
berbeda dengan pendekatan Eurosentris. Tidak akan

mungkin “jalan” yang

ditempuh bisa sama apabila lingkungan global saja sudah berbeda. Intinya, ada
pengakuan akan pentingnya konteks historis dalam pembangunan.
Kaum strukturalis mempertanyakan apakah mekanisme pasar bebas (laiszess
faire) akan menghasilkan pembangunan ekonomi di negara Dunia Ketiga.
Strukturalis meragukan berlakunya Teori Keunggulan Komperatif dalam proses
perdagangan internasional. Bila perekonomian dibiarkan bekerja menurut mekanisme
pasar akan muncul pola pasar yang terpolarisasi. Untuk itu perlu campur tangan
pemerintah dalam pengontrol aliran modal karena gerakan modal yang tidak
terantisipasi dapat menimbulkan ketidakstabilan perekomian. Prebisch mengatakan
bahwa dalam relasi ekonomi antara negara-negara maju sebagai negara industri dan
negara-negara berkembang sebagai eksportir bahan-bahan mentah, maka pihak
negara-negara berkembang sebagai negara pinggiran selalu menjadi pecundang.
Seperti halnya yang berlangsung dalam praktek imperialisme, pada kenyataannya
hukum keunggulan komparatif ketika diterapkan dalam konteks relasi ekonomi antara
negara-negara

maju

dan

negara-negara

berkembang

telah

memperkuat

ketergantungan negara-negara berkembang sebagai wilayah pinggiran (phery-phery)
terhadap negara-negara maju sebagai pusat.
Dalam kondisi demikian keuntungan ekonomi selalu diperoleh oleh negaranegara industri yang menyerap bahan-bahan mentah dan mengolahnya serta
menempatkan negara-negara berkembang sebagai pasar dari produksi yang dihasilkan

24

oleh negara-negara maju. Oleh karena itu negara-negara di dunia dibagi menjadi dua
kelompok. Negara-negara pusat yang menghasilkan barang-barang industri dan
negara-negara pinggiran yang memproduksi barang-barang pertanian
Pandangan dari kaum strukturalis dalam menanggapi fenomena pembangunan
berbasis Eropasentrisme dan ketergantungan di era menuju modernisasi ini bahwa,
liberal kapitalis cenderung akan meningkatkan ketimpangan antara ekonomi negara
maju dan negara kurang berkembang. Kondisi tersebut dapat disebabkan oleh
kombinasi kelebihan penduduk, ketergantungan yang berlebih pada komoditas ekspor
dan adanya dominasi politik. Kombinasi tersebut akan menjadikan struktur negaranegara dunia ketiga akan selalu terjebak dalam kondisi ketergantungan yang berlebih
pada negara-negara maju. Dan hal tersebut menurut kaum strukturalis dapat diatasi
dengan

melakukan

berkembang

agar

pengembangan
dapat

dihasilkan

industrialisasi
produksi

di

negara-negara

barang-barang

tanpa

kurang
harus

ketergantungan dengan negara maju (Gilpin, 1987: 274-276). Setelah mengetahui
mengenai teori strukturalis, Gilpin dalam tulisannya juga menjelaskan mengenai teori
dependensi yang melihat bahwa fenomena globalisasi menjadikan negara-negara
kurang berkembang tidak dapat terpisahkan antar negara-negara maju yang kemudian
menghasilkan hubungan bahwa kekayaan ekonomi yang didapat oleh sedikit negara
maju akan berdampak pada kemiskinan di negara lain yang kurang berkembang.
Hubungan tersebut dihasilkan oleh dunia kapitalis yang dimulai ketika kolonialisme
muncul, ditandai dengan hilangnya kontrol ekonomi domestik yang dimiliki oleh
negara-negara kurang berkembang dan diikuti dengan ketergantungan yang secara
terus menerus terhadap kapitalisme internasional (Gilpin, 1987: 282-283).
Setiap aktivitas perekenomian negara-negara yang kurang berkembang sangat
bergantung pada fluktuasi kondisi pasar dunia baik impor modal, buruh dan teknologi
pada sektor industri. Adapula satu alternatif yang dapat dijalankan oleh negara-negara
yang kurang berkembang yaitu melakukan modernisasi dalam penyelarasan sektor
publik dan swasta melalui eksploitasi kesempatan yang telah ditawarkan oleh
perdagangan, investasi luar negeri, dan impor teknologi sebagai upaya untuk

25

mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi dan industri yang tinggi secara cepat (Gilpin,
1987: 304). Terdapat formulasi strategi yang dapat dijalankan oleh negara-negara
kurang berkembang, yaitu: 1) Liberalis memandang bahwa orang miskin akan
semakin miskin, sehingga diperlukan adanya efisiensi ekonomi; 2) Marxis dan teori
dependensi memandang bahwa negara-negara kurang berkembang tidak memiliki
kekuatan untuk mengeksploitasi, sehingga harus ada kekuatan nasional untuk
mengatasinya dan diperlukan transisi sosial dari masyarakat feodal ke masyarakat
sosialis; 3) Strukturalis memandang bahwa negara-negara kurang berkembang
terjebak dalam siklus kemiskinan, sehingga diperlukan kekuatan yang dapat merusak
siklus tersebut baik melalui strategi substitusi impor maupun pembaruan institusi
internasional (Gilpin, 1987: 290). Sehingga pada intinya kesetaraan akan terjadi
apabila ketimpangan kondisi perekonomian di negara maju dan negara kurang
berkembang dapat dikurangi atau dihilangkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan
ialah membentuk regionalisme ekonomi, yaitu negara-negara yang masuk ke dalam
batas wilayah geografi melakukan kerjasama dan aliansi ekonomi untuk
meningkatkan perekonomian yang ada menjadi lebih maju. Hal tersebut dapat berupa
pembentukan area perdagangan bebas, pembuatan regulasi mengenai kode dan
perjanjan investasi serta pengembangan kebijakan industri regional yang fokus pada
bidang-bidang tertentu (Gilpin, 1987: 294).

26

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pembangunan ekonomi mendorong terciptanya suatu tindakan dalam usaha
untuk mencapainya baik dari segi politik dalam negeri maupun politik luar negeri
serta penciptaan iklim dan sistem ekonomi serta industri yang mendukung
pertumbuhan dan percepatan pembangunan. Negara-negara di benua barat dalam hal
ini eropa yang terlebih dahulu memulai serta menciptakan cikal bakal paradigma
pembangunan yang berpengaruh luas secara global dan telah dimulai sejak abad ke
17 hingga abad ke 18 melalui gerakan merkantilisme dan kolonialisme yang di
pelopori oleh Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis. Berbagai fenomena politik
yang terjadi dalam sistem pembangunan dunia barat yang kian berkembang dan maju
kemudian menjadi tolak ukur yang kuat bagi pandangan tentang bagaimana
pembangunan suatu Negara harus dilakukan, pembangunan eropa kemudian menjadi
role model secara global sehingga menciptakan istilah westernisasi yang dalam hal ini
erat kaitannya dengan modernisasi dalam paradigma pembangunan sebagai acuan
kemajuan ekonomi dan transformasi menuju Negara modern baru.
Modernisasi bukan lagi merupakan suatu istilah asing bagi masyarakat.
Hampir disetiap Negara dalam pergantian abad dan masa ke masa telah mengalami
era modernisasi sebagai respon untuk mengikuti ke