LAFAZ DARI SEGI KANDUNGAN PENGERTIANNYA

  LAFAZ DARI SEGI KANDUNGAN PENGERTIANNYA April 2015

  Berdasarkan kandungan pengertiannya, lafazh ada 4:

  1. Lafaz ‘Am

  2. Lafaz Khash

  3. Lafazh Amr

  4. Lafaz Nah i

  LAFAZH ‘AM (UMUM)

  ‘Am menurut bahasa artinya merata, yang umum. Lafazh ‘am menurut istilah adalah “lafazh yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafazh itu . Arti lain lafazh ‘am (umum) adalah lafazh yang menunjukkan satu makna yang dapat mencakup seluruh satuan-satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.

  

Rumusan lafazh umum mencakup:

  a. Lafazh itu hanya terdiri dari satu pengertian secara tunggal

b. Lafazh tunggal itu mengandung beberapa afrad (satuan

pengertian)

c. Lafazh tunggal itu dapat digunakan untuk setiap satuan

pengertiannya secara sama dalam penggunaannya d. Apabila hukum berlaku untuk semua Iafazh, maka hukum itu berlaku pula untuk setiap afrad (satuan pengertian) yang tercakup dalam lafazh.

  Ruang Lingkup ‘Am

  Setiap Iafazh mengandung dua lingkup pembahasan, yaitu: (1) lafazh itu sendiri yang tersusun dari huruf-

  huruf, dan ( 2) makna atau arti yang terkandung dalam lafazh itu

  Sighat (Bentuk) Lafazh ‘Am 1) Plural Yang Disertai Partikel ‘Al” Partikel “al” yang menyertai lafadh yang berbentuk plural

(jama’), baik plural tanpa gender, seperti jamak taksir,

misalnya ar-rijal, ataupun plural yang bergender, seperti jamak Mudzakar Salim,(laki-laki plural), misalnya: al- muslimun, atau jamak muannas salim (perempuan plural),

misalnya al-muslimat Amnya adalah partikel “at” yang

berkonotasi genus yang disebut “at” ai-jinsiyyah atau yang

berkonotasi penyedotan seluruh genus yang biasanya

disebut “al” al-jinsiyyah atau yang berkonotasi penyedotan seluruh genus yang biasanya disebut “al” al-Istighraqiyyah.

  Misal QS. an-Nisa (4);7

2) Singular yang Disertai dengan Partikel “Al”

  Partikel “al” yang menyertai lafazh yang berbentuk singular (mufrad), umumnya adalah partikel “Al” al- jinsiyyah, atau al-istighraqiyyah, dan bukan partikel “al” yang berkonotasi zaman terjadinya peristiwa , yang biasa disebut “al” al-ahdiyah, seperti dalam lafazh al-Gharr dalam surat al-Taubah:40 yang berkonotasi Gua Tsur, bukan yang lain. Maka, lafazh al-Ghar tersebut tidak

diidentifikasi sebagai lafazh umum., karena telah memiliki

konotasi tertentu sebagai akibat masuknya partikel “al” al

ahdiyah. Mengenai partikel “al” aI-jinsiyah atau al- istighraqiyah yang menyertai lafazh yang berbentuk

3) Isim Yang Dima’rifatkan Dengan Idhafah

  Isim aI-ma’rifat adalah kata benda yang menunjukkan makna tertentu, bisa berbentuk: (1) kata ganti (al- dhamir) misal huwa, huma, (2) nama (al-alam) misal

Muhammad, Irak, (3) penunjuk (al-isyarah) misal hazda,

hadzihi, (4) sambung (al-mawsul) misal al-Iadzi, (5) kata

t

benda yang disertai partikel ’al” misal al-masjid, (6)

disandarkan (mudhaf) kepada salah satu bentuk ma’rifat

sebelumnya misal masjid muhammad, atau (7) obyek seruan tertentu (al-munada al-maqshudah) misal ya- rajul . Misal firman Allah surat al-Nisa: 11 ى ف اللَّه مكيصو ي

  مكدلاوا (Allah mensyari’atkan tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu).

  

4) Isim Nakirah Dalam Konteks Penafian, Syarat atau

Larangan

  • Isim nakirah adalah kata benda yang tidak menunjukkan makna tertentu, dan merupakan

    kebalikan ma’rifat. Misal: lafazh basyar, fasiq,

    dan qawm masing-masing dalam konteks penafian, syarat dan larangan. Contoh: QS (Al- Mumtahanah:10).

  َّنُه َروُجُأَ َّنُهوُمُتْيَتَآَ اَذ#إِ َّنُهوُح#كْن َت ْنَأَ ْمُكْيَلَع َحاَنُج َلا َو “dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka

5) Isim Syarat

  • Isim syarat adalah kata yang digunakan untuk menyusun

  struktur kalimat bersyarat, seperti: man (siapa saja), ma (apa

saja), dan lain-lain. Misal lafazh: man dan ma dalam firman

Allah:

  

ٌةَمَّل َسُم ٌةَيِدَو ٍةَنِمؤُْم ٍةَبَقَر ُريِرحَتَف أًَطَخ ا نِمؤُْم َلَتَق نَمَو

ِهِلهَأَ ى اوُقَّد َّصَي

  نَأَ َّلَّاِإِ َلِإِ

  

“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah

(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada

keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga

terbunuh) bersedekah”.(al-Nisa’:92)

  6) Isim Istifham

  

Isim istifhaam adalah kata yang digunakan untuk

menyusun struktur kalimat tanya, seperti: man (siapakah) atau madza (apakah), dan lain-

  lain. Misal lafazh man dan madza dalam firman Allah SWT: QS. Al-anbiya 21: 59

7) Isim Maushul

  

Isim maushul adalah kata yang digunakan untuk

  menyambung bagian-bagian dalam kalimat, seperti: man (siapa saja atau semua), ma (apa saja atau semua) yang masing-masing berkonotasi plural. Contoh al-ladzina, al-lati, dsb. Misal firman Allah:

  • QS. al-Ra’d113:15

8) Plural Yang Berbentuk Nakirah

  Misalnya lafazh rajul

9) Lafazh Kull, Jami’, Ajma’un, dan Akta’un.

   Misal lafazh : Kull, jami , ajma’un, akta’un dalam firman Allah: #

  ت ْوَمْل ا ُةَق#ئِاَذ ٍسْف َن ُّل ُك “Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”. (Ali ‘Imran, 185)

  Dan sabda Rasulullah SAW: #ه#تَي#ع َر ْنَع ٌل ُؤُ ْسَم ٍعاَر ُّل ُك

  “Setiap pemimpin diminta pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya”

  ا ًعي#م َج # ض ْرَْلْأَ ا ي #ف اَم ْمُك َل َقَل َخ ي#ذَّل ا َوُه “

  Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara keseluruhan (jami’an)”. (Al-Baqarah:29)

  Dalalah Lafadz ‘am

  Jumhur Ulama berpendapat bahwa lafadz ‘am itu dzanniy dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Demikian pula, lafadz ‘am setelah di- takhshish, sisa satuan-satuannya juga dzanniy dalalahnya. Hal ini sesuai dg suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi:

  َصِّصُخ َّلا #إِ ٍماَع ْن#م اَم “Setiap dalil yang ‘am harus ditakhshish”.

  Oleh karena itu, ketika lafadz ‘am ditemukan, hendaklah berusaha dicarikan pentakhshishnya.

  Dilalah Lafazh ‘Am Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am itu qath’iy dalalahnya, selagi tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena lafadz ‘am itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang ada di dalamnya, tanpa kecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut basmalah, karena adanya firman Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:

  Dilalah Lafazh ‘Am “dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak

disebut nama Allah ketika menyembelihnya”. (Al-

  An`âm:121) Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi yang berbunyi: )

  

دواد وبأَ هاور( . ِّمَس ُي َم ل ْوَأَ ىَّم َس #اللَّه #مْسا ىَلَع ُحَبْذ َي ُم#لْسْمل ا

“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia benar-benar menyebutnya atau tidak.” (H.R. Abu Daud)

  

lanjutan

  Alasannya adalah bahwa ayat tersebut qath’iy, baik dari segi wurud (turun) maupun dalalah- nya, sedangkan hadits Nabi itu hanya dzanniy wurudnya, sekalipun dzanniy dalalahnya.

  

Macam-macam lafadz ‘am

Lafadz ‘am yang dikehendaki keumumannya karena a. ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Misalnya:

  

اَهَعَد ْوَت ْسُم َو اَهَّرَقَت ْسُم ُمَل ْعَي َو اَهُق ْز #ر # َّاللَّه ىَلَع َّلا#إِ #ض ْرَ ْلْأَا ي#ف ٍةَّباَد ْن#م اَم َو

ٍني#بُم ٍباَت#ك ي#ف ٌّلُك

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-

lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya . tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhmahfuz).( Hud:6)

  Macam-macam lafazh ‘Am

  

b. Lafadz ‘am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus karena

ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:

اوُبَغ ْرَي َلا َو # َّاللَّه #لوُس َر ْنَع اوُفَّلَخَتَي ْنَأَ #باَر ْعَ ْلْأَا َن#م ْمُهَل ْوَح ْنَم َو #ةَني#دَمْلا #لْهَ #لْأَ َناَك اَم #ه #سْفَن ْنَع ْم#ه#سُفْنَأْ#ب Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut

menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula)

bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120). Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Madinah, tapi hanya orang-orang yang mampu.

  

Macam2 Lafazh ‘Am

  c. Lafadz ‘am yang terbebas dari indikasi yang dimaksud makna umumnya atau sebagian cakupannya. Contoh:

  ٍءوُرُق َةَث َلَاَث َّن#ه #سُفْنَأْ#ب َنْصَّبَرَتَي ُتاَقَّلَطُمْلا َو

  Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-Baqarah: 228).

  Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al- muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa

2. Khash Ta’rif Khash

  • • Yang disebut lafazh khash adalah lafazh yang diciptakan untuk

  memberi pengertian satu-satuan yang tertentu baik menunjuk

pribadi seseorang, seperti lafazh Muhammad, atau menunjuk

macam sesuatu misal lafazh insanun (manusia) dan rajulun (orang laki-laki), atau menunjuk jenis sesuatu seperti lafazh hayawanun (hewan) atau menunjuk benda kongkrit seperti

contoh-contoh di atas, atau menunjuk abstrak seperti lafazh

ilmun (ilmu), jahlun (kebodohan) atau penunjukan kepada arti hakiki, seperti lafazh Muhammad, atau secara I’tibari (anggapan) seperti lafazh yang memberi pengertian banyak t yang terbatas seperti tsalatsatun (tiga), mi atun (seratus), jam’un (seluruhnya) dan fariqun (sekelompok)

  Pengertian Khash

  Pengertian khash adalah apa yang sebenarnya dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh lafazh. Sedangkan pengertian khusus adalah apa yang dikhususkan menurut ketentuan bahasa, berdasarkan kemauan

  نَمَو مُكِباَقعَأَ ىَلَع مُتبَلَقنا َلِتُق وَأَ َتاَّم نِإَِف َأَ

  

Sighat Khusus

1) Isim al-Alam Isim aI-alam adalah kata yang digunakan untuk

menunjukkan nama tertentu, baik nama manusia,

tempat, waktu, dan lain-lain. Contoh: Muhammad,

Madinah, Ramadhan. Misal firman Allah:

  • QS. Ali lmran /3:144
  • ُلُسُّرلا ِهِلبَق نِم تَلَخ دَق ُُلوُسَر َّلَّاِإِ ٌدَّمَحُم اَمَو

  يِزجَيَسَو ائًي َش َهللا َّرُضَي نَلَف ِهيَبِقَع ىَلَع ُبِلَقنَي 144 }

2) Isim Ma’rifat Dengan Partikel “al” al-ahdyah

  Contoh firman Allah dalam surat al-Taubah / 09:40

  #نْيَنْثا َي#ناَث اوُرَفَك َني#ذَّلا ُهَجَر ْخَأَْذ#إِ ُاللَّه ُهَر َصَن ْدَقَف ُهوُر ُصنَت َّلا#إِ ُاللَّه َلَزنَأَْف اَنَعَم َاللَّه َّن#إِ ْنَز ْحَتَلا #ه#ب#حاَص#ل ُلوُقَيْذ#إِ #راَغْلا ي#ف اَمُهْذ#إِ اوُرَفَك َني#ذَّلا َةَم#لَك َلَع َج َو ا َه ْو َرَت ْمَّل ٍدوُنُج#ب ُهَدَّيَأَ َو #هْيَلَع ُهَتَني#ك َس

  }

  40 { ٌمي#ك َح ٌزي #زَع ُاللَّه َو اَيْلُعْلا َي#ه #اللَّه ُةَم#لَك َو ىَلْفُّسلا

  

3) aI-Musyar ‘ilaih

aI-Musyar ilaih adalah kata benda yang ditunjuk

oleh kata penunjuk (isim isyarah). Misal lafazh

al-kitab dalam firman Allah surat al-Bqarah/02:2

4) Angka Tertentu

  Angka (a!- ‘adad) adalah kata hitung sekalipun artinya lebih dari satu misal 20, 30 atau 100, statusnya tetap merupakan lafazh khusus. Misal: lafazh mi’at pada firman

  • Allah surat al-Nur 24 ayat 2

4) Angka Tertentu

  Angka (al- ‘adad) adalah kata hitung sekalipun artinya lebih dari satu misal 20, 30 atau 100, statusnya tetap merupakan lafazh khusus. Misal:

lafazh mi’at pada firman Allah surat al-Nur/ 24 ayat

2:

  

ا َمُهْنِّم ٍدِحاَو َّلُك اوُدِلْجاَف يِنا َّزلاَو ُةَيِنا َّزلا

ِنيِد يِف ٌةَف ْأَْر اَمِهِب مُكْذُخْأَْتَلاَو ٍةَدْلَج َةَئَاَم

ِرِخ َ لأَْا ِمْوَيْلاَو ِهللاِب َنوُنِمْؤُْت ْمُتنُك نِإِ ِهللا

  }

  2 { َنيِنِمؤُْملا َنِّم ٌةَفِئِآَط اَمُهَباَذَع دَهشَيلَو

  

Sifat Lafazh Khash

Lafazh khusus itu kadang-kadang datang secara muthlaq, tanpa diikuti syarat apa pun, kadang- kadang muqayyad yang dibatasi dengan suatu syarat,

kadang-kadang datang dengan sighat (bentuk) amr,

yakni tuntutan untuk dilakukan suatu perbuatan, dan

kadang-kadang dengan sighat nahi, yakni melarang

mengerjakan suatu perbuatan

a. Muthlaq dan Muqayyad

  1. Ta’rif

  Lafazh khash yang muthlaq adalah lafazh khash

  yang tidak diberi qayyid (pembatasan) berupa lafazh yang dapat mempersempit keluasan arti.

  Misal firman Allah surat al-Mujadalah ayat 3 yang berbunyi: نِّم ٍةَبَق َر ُري #ر ْحَتَف اوُلاَق اَم#ل َنوُدوُعَي َّمُث ْم#ه#ئِآَسِّن ن#م َنوُر#هاَظُي َني#ذَّلا َو

  }

  3 { ٌري#بَخ َنوُلَمْعَت اَم#ب ُاللَّه َو #ه#ب َنوُظَعوُت ْمُك#لَذ اَّسآَمَتَي نَأَ #لْبَق

  Lafazh Mutlak

  Maka, Iafazh “raqabatin” (budak) dalam ayat tersebut adalah lafazh khash yang mutlak, karen atidak diberi qayyid dengan sifat tertentu. Sehingga kata “raqabatin” itu mencakup seluruh budak baik yang mukrnin maupun yang kafir

  

Khash yg muqayyad

  Adapun lafazh khash yang muqayyad ialah Iafazh khash yang diberi qayyid yang berupa lafazh yang dapat mempersempit keluasan artinya. Misal firman Allah dalam surat al-Nisa/ 4:92

  ُري #ر ْحَتَف ا ًئَِطَخ ا ًن#م ْؤُُم َلَتَق ن َم َو ا ًئَِطَخ َّلا#إِ ا ًن#م ْؤُُم َلُتْقَي نَأَ ٍن#م ْؤُُم#ل َناَكاَم َو ٍّوُدَع ٍم ْوَق ن#م َناَك ْن#إَِف اوُقَّدَّصَي نَأَ َّلا#إِ #ه#لْهَأَ ىَل#إِ ٌةَمَّل َسُم

  ُُةَي#د َو ٍةَن#م ْؤُُّم ٍةَبَقَر م ُهَنْيَب َو ْمُكَنْيَب ٍم ْوَق ن #م َناَك ن #إِ َو ٍةَن#م ْؤُُم ٍةَبَقَر ُري #ر ْحَتَف ُُن#م ْؤُُم َوُه َو ْمُكَّل ُماَي #صَف ْد#جَي ْمَّل ن َمَف ٍةَن#م ْؤُُّم ٍةَبَقَر ُري #ر ْحَت َو #ه#لْهَأَ ى َل#إِ ٌةَمَّل َسُّم

  ُُةَي#دَف ُُقاَثيِّم { اًمي#ك َح اًمي#لَع ُاللَّه َناَك َو #اللَّه َنِّم ًةَب ْوَت #نْيَع#باَتَتُم #نْيَرْهَش 92 } Mutlaq dan Muqayyad Pada ayat di atas ada 3 buah Iafazh yang khash muqayyad; (1) lafazh qatala (membunuh) diqayyid dengan lafazh khatha’an

  

(karena salah). Sehingga kewajiban membayar kafarat itu

dibebankan kepada pembunuh karena kelalaian, bukan pembunuhan yang lain. (2) Lafazh raqabatin (hamba sahaya) diqayyid dengan mukminah (yang beriman). Oleh karena itu

tidaklah cukup memerdekakan hamba sahaya yang bukan

beriman. (3) Lafazh divat (denda) diqayyid dengan musallamatun (diserahkan), sehingga denda itu harus diserahkan kepada pihak keluarga terbunuh.

  Hukum Lafazh Muthlaq dan Muqayyad

Hukum mutlak itu tetap pada kemutlakannya, selama tidak ada

dalil yang mengqayyidkannya dan hukum Iafazh muqayyad

tetap pada kemuqayyadannya. Apabila pada lafazh mutlak

itu ada dalil yang mengqayyidkannya, maka dalil itu dapat

mengalihkan kemutlakan dan ia berfungsi sebagai dalil yang

menjelaskan maksudnya. Misal firman Allah surat al-Nisa ayat 12:

  }

  12 { ُُمي#ل َح ٌمي#لَع ُاللَّه َو #اللَّه َنِّم ًةَّي #ص َو ٍّرآَضُم َرْيَغ ٍنْيَد ْوَأَآَه#ب ىَصوُي ٍةَّي #ص َو #دْعَب ن#م

  

Hkm Lafazh Mutlaq dan Muqayyad

  • • Ayat tadi menerangkan wasiat sebagai lafazh mutlak

    tidak dibatasi minimal dan maksimalnya. Kemudian ayat tersebut diqayyid dengan sabda Rasulullah berupa jawaban atas pertanyaan Sa’id bin Abi Waqash ketika menanyakan kepada beliau keinginannya untuk mewasiatkan 2/3 atau 1/2 harta

    peninggalannya, karena dia adalah orang kaya dan

    hanya meninggalkan seorang anak perempuan. Jawab

  

Hadis

ا َي - : ُتْلُق : َلاَق - هنع الله يضر - ٍصاَّق َو يِبَأَ ِنْب ِدْع َس ْنَع َو

, ٌةَدِحا َو ي ِل ٌةَنْبِا َّلَّاِإِ ي ِنُث ِرَي َلَّا َو , ٍلاَم وُذ ا َنَأَ ! ِ َّ َالله َلو ُسَر ِه ِرْطَشِب ُقَّدَصَتَأََفَأَ : ُتْلُق " َلَّا " : َلاَق ?يِلاَم ْيَثُلُثِب ُقَّدَصَتَأََفَأَ , ُثُلُّثلَا " : َلاَق ? ِهِثُلُثِب ُقَّد َصَتَأََفَأَ : ُتْلُق " َلَّا " : َلاَق ? ْمُهَرَذَت ْنَأَ ْنِم ٌرْيَخ َءاَيِنْغَأَ َكَتَثَر َو َرَذَت ْنَأَ َكَّنِإِ , ٌريِثَك ُثُلُّثلا َو ِهْيَلَع ٌقَفَّتُم - َساَّنلَا َنوُفَّفَكَتَي ًةَلاَع

  

Hkm Lafazh Mutlaq dan Muqayyad

“....sepertiga. Sepertiga itu banyak dan besar (jumlahnya).

  Karena jika karnu meninggalkan ahli waris dalam keadaan yang berkecukupan itu adalah lebih balk daripada jika

kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang

Memberi wasiat sebagaimana ditunjuk oleh ayat aI-Quran adalah mutlak, tidak dibatasi maksimalnya lalu dibatasi oleh hadis dengan maksimal 1/3 harta meminta-minta kepada orang banyak.” hadis. peninggalan. Dengan demikian wasiat itu tidak mutlak, karena diqayyid oleh b) Jika dalam satu nash berbentuk lafazh mutlaq

dan ditempat lain berbentuk muqayyad, maka dalam

hal ini ada beberapa ketentuan Pertama, dimenangkan yang muqayyad atas yang mutlaq. Ketentuan demikian apabila: (1)Hukum dan sebab yang dipakai untuk menetapkan hukum adalah sama. Misal firman Allah surat al- Maidah:3

  Kemudian surat al-An’am ayat 145 Allah menerangkan bahwa darah yang diharamkan itu adalah darah yang bersifat mengalir. Firman Nya:

  

QS. AL-MAIDAH: 3

  #ه#ب #اللَّه #رْيَغ#ل َّل#هُأَآَم َو #ري #زن#خْلا ُم ْحَل َو ُمَّدلا َو ُةَتْيَمْلا ُمُكْيَلَع ْتَمِّرُح َّلا#إِ ُعُب َّسلا َلَكَأَآَم َو ُةَحي #طَّنلا َو ُةَيِّدَرَتُمْلا َو ُةَذوُق ْوَمْلا َو ُةَق#نَخْنُمْلا َو ٌق ْس#ف ْمُك#لَذ #مَلا ْزَلْأَْا#ب اوُم#سْقَت ْسَت ْنَأَ َو #بُصُّنلا ىَلَع َح#بُذاَم َو ْمُتْيَّكَذاَم َم ْوَيْلا #ن ْوَش ْخا َو ْمُه ْوَش ْخَت َلَاَف ْمُك#ني#د ن #م اوُرَفَك َني#ذَّلا َس#ئَِي َم ْوَيْلا اًني#د َمَلَاْس#لإِْا ُمُكَل ُتي #ضَر َو ي#تَمْع#ن ْمُكْيَلَع ُتْمَمْتَأَ َو ْمُكَني#د ْمُكَل ُتْلَمْكَأَ ُُمي#حَّر ُُروُفَغ َاللَّه َّن#إَِف ٍمْث#لإِِّ ٍف#ناَجَتُم َرْيَغ ٍة َصَم ْخَم ي#ف َّرُطْضا #نَمَف

  } 3 {

  

Qs. AL-An’am: 145

  َنوُكَّي نَأَ َّلا#إِ ُهُمَعْطَي ٍم#عاَط ىَلَع اًمَّرَحُم َّيَل#إِ َي#حوُأَآَم ي#ف ُد#جَأَلآ لُق #رْيَغ#ل َّل#هُأَ اًق ْس#ف ْوَأَ ٌس ْج #ر ُهَّن#إَِف ٍري #زن#خ َم ْحَل ْوَأَ اًحوُف ْسَم اًمَد ْوَأَ ًةَتْيَم ٌمي#ح َّر ٌروُفَغ َكَّب َر َّن#إَِف ٍداَعَلا َو ٍغاَب َرْيَغ َّرُطْضا #نَمَف #ه#ب #اللَّه

  } 145 {

  

lanjutan

Darah yang disebut dalam surat al-An’am: 145 diberi qayyid dengan Iafazh masfuhan

  (mangalir). Sesuai dengan ketentuan di atas, maka darah yang dimaksud dalam surat al- Maidah:3 adalah darah yang mengalir sebagaiamna tercantum dalam surat al - An’am :145 karena qayyid yang ditunjuk oleh kedua ayat tersebut adalah sama, yaitu haramnya darah dan sebab yang dijadikan dasar menetapkan hukum yang diambil sama dan ayat

  2) Hukumnya sama, tetapi sebab yang dipakai untuk menetapkan berbeda

  Misal firman Allah tentang kafarat pembunuhan karena khilaf dalam surat al-Mujadalah:3 dimana budak yang dijadikan kafarat adalah mutlak dan kafarah zhihar dalam surat al- Nisa:92 budak yang dijadikan kafarat bersifat muqayyad. Hukum yang diambil dari kedua ayat itu adalah sama, yakni memerdekakan budak, sedang sebab yang menetapkannya tidak sama. Yakni pertama karena membunuh

  

Qs. al-Mujadilah:3

نِّم ٍةَبَق َر ُري #ر ْحَتَف اوُلاَق اَم#ل َنوُدوُعَي َّمُث ْم#ه#ئِآَسِّن ن#م َنوُر#هاَظُي َني#ذَّلا َو

}

  3 { ٌري#بَخ َنوُلَمْعَت اَم#ب ُاللَّه َو #ه#ب َنوُظَعوُت ْمُك#لَذ اَّسآَمَتَي نَأَ #لْبَق Al-Nisa: 92

ا ًئَِط َخ ا ًن#م ْؤُُم َلَتَق ن َم َو ا ًئَِط َخ َّلا#إِ ا ًن#م ْؤُُم َلُتْقَي ن َأَ ٍن#م ْؤُُم#ل َناَكاَم َو

  

َناَك ْن#إَِف اوُقَّد َّصَي نَأَ َّلا#إِ #ه#لْهَأَ ىَل#إِ ٌةَمَّل َسُم ُُةَي#د َو ٍةَن#م ْؤُُّم ٍةَبَقَر ُري #ر ْحَتَف

ٍم ْوَق ن#م َناَك ن#إِ َو ٍةَن#م ْؤُُم ٍةَبَقَر ُري #ر ْحَتَف ُُن#م ْؤُُم َوُه َو ْمُكَّل ٍّوُدَع ٍم ْوَق ن#م

ُُةَي#دَف ُُقاَثيِّم مُهَنْيَب َو ْمُكَنْيَب ن َمَف ٍةَن#م ْؤُُّم ٍةَبَق َر ُري #ر ْحَت َو #ه#لْهَأَ ىَل#إِ ٌةَمَّل َسُّم

  

اًمي#ك َح اًمي#لَع ُاللَّه َناَك َو #اللَّه َنِّم ًةَب ْوَت #نْيَع#باَتَتُم #نْيَرْهَش ُماَي #صَف ْد#جَي ْمَّل

  Kedua, tidak memenangkan yang muqayyad atas yang mutlak. Yang demikian apabila:

  Hukum dari sebab yang dipakai untuk menetapkan hukum tidak sama.

  Misal lafazh “aidi” (tangan-tangan) dalam firman Allah surat al-Maidah:

  Adalah mutlak, tidak diberi qayyid dengan sampai pergelangan tangan atau sikut. Sedang Iafazh “aidi” pada surat al-Maidah:6 berbunyi

  

Qs al-Maidah: 6

  ْمُكَي#دْيَأَ َو ْمُكَهوُج ُو اوُل #س ْغاَف #ةَلَاَّصلا ىَل#إِ ْمُتْمُق اَذ#إِ اوُنَماَء َني#ذَّلا اَهُّيَأَاَي ن #إِ َو #نْيَبْعَكْلا ى َل#إِ ْمُك#لُج ْرَأَ َو ْمُك #سوُءُر#ب اوُح َسْما َو #ق#فاَرَمْلا ى َل#إِ ُُد َحَأَ َءآ َج ْوَأَ ٍرَفَس ىَلَع ْوَأَ ىَض ْرَّم مُتنُك ن#إِ َو اوُرَّهَّطاَف اًبُنُج ْمُتنُك اوُمَّمَيَتَف ًءآَم اوُد#جَت ْمَلَف َءآ َسِّنلا ُمُت ْسَمَلا ْوَأَ #ط#ئِآَغْلا َنِّم م ُكنِّم َلَع ْجَي#ل ُاللَّه ُدي #رُياَم ُهْنِّم مُكي#دْيَأَ َو ْمُك#هوُج ُو#ب اوُحَسْماَف اًبِّيَط اًدي#عَص ْمُكَّلَعَل ْمُكْيَلَع ُهَتَم ْع#ن َّم#تُي#ل َو ْمُك َرِّهَطُي#ل ُدي #رُي ن#كَل َو ٍجَرَح ْنِّم مُكْيَلَع

  }

  6 { َنوُرُكْشَت

   اَمُهَيِدْيَأَ ْاوُعَطْقاَف ُةَق ِراَّسلا َو ُق ِراَّسلا َو lanjutan

  • Adalah muqayyad, yaitu diberlakukan qayyid lafazh ha al-marafiq (sampai/beserta sikut).
  • Oleh karena hukum yang dapat diambil dari kedua ayat itu berlainan (hukum potong tangan dan membasuh tangan dalam berwudhu), maka masing-masing berlaku menurut fungsinya.

  

(2) Hukumnya tidak sama tetapi sebab yang

dipakai untuk menerapkan hukum

adalah sama.

  Misal firman Allah (maka bertayamumlah dengan tanah

yang bersih, sapulah mukamu dan tanganmu dengan

tanah itu .(QS. al-Maidah:6). Lafazh ‘aidi” pada ayat tersebut mutlaq sedangkan pada awal ayat ke-6 diberi qayyid dengan ila al-marafiq Maka, hukum yang diambil dari ayat tersebut tidak sama karena hukumnya berbeda walaupun sebabnya sama yaitu sama-sama unluk menghilangkan hadts. Dalam masalah tayamum, Abu Hanifah dan al-Syafi’I mewajibkan menyapu tangan sampai siku bukan karena tidak konsekuen

  t

Hadis Nabi:

  ’Tayamum itu dua kali sapuan. Sekali sapu untuk muka dan sekali sapu untuk kedua tangan sampai dengan kedua sikut.” (HR al- Daruquthni).

  Ulama Malikiyah dan Hanabilah mewajibkan menyapu anggota tayamum hanya sampai pergelangan, sesuai dengan ketentuan di atas.

  Wassalam