BAB I PENDAHULUAN - Aspek Hukum Pidana Profesi Kedokteran Kehakiman Sebagai Ahli Berdasarkan Pasal 179 Kuhap (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No 1498/Pid.B/2012/Pn.Lp.Pb)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kasus tindak pidana banyak proses yang dilalui, melalui penyelidikan,

  penyidikan hingga akhirnya ke proses persidangan untuk memutuskan suatu perkara tindak pidana, selain proses yang panjang dalam menyelesaikan suatu perkara pidana banyak juga kendala yang di hadapi, seperti misalnya dalam hal penyidikan. Penyidik dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana seperti pencurian, penggelapan, penipuan dll, tidak terlalu sulit untuk mengidentifikasikan barang bukti yang selanjutnya akan di periksa dalam sidang pengadilan, akan tetapi jika kejahatan tersebut berkaitan dengan terganggunya kesehatan orang, luka ataupun meninggal seperti kasus penganiayaan, pemerkosaan, pebunuhan dll, persoalan tersebut menjadi tidak sederhana. Dalam menghadapi kasus – kasus tersebut di perlukan bantuan ilmu kedokteran, Ilmu kedokteran sangat membantu peradilan dalam usaha untuk memperoleh kebenaran dan kesalahan sehingga dengan bantuan tersebut hakim dapat

  

  memutus hukuman yang tepat . Karena dibutuhkannya ilmu kedokteran maka dibutuhkan seorang yang ahli dalam kedokteran untuk membantu, memberikan penjelasan atau keterangan bagi para pihak yang menangani kasus yang berkaitan dengan terganggunya kesehatan orang.

1 Mawardi Ardi, jurnal, beberapa masalah terhadap kedudukan visum et repertum sebagai alat

  bukti dalam pembuktian tindak pidana di pengadilan negeri ,(Pangkalan Bun: Fakultas Hukum

  Tugas dokter selain sebagai tenaga medis, juga di tuntut kewajibannnya untuk membantu aparat penegak hukum, pekerjaan yang harus dilakukan ialah memeriksa dan bila perlu merawat orang yang telah mengalami kekerasan, memeriksa mayat dan

  

  melakukan otopsi . Perbedaan mendasar antara tujuan ilmu kedokteran forensik dengan kedokteran umum ialah tugas dari kedokteran forensik menentukan hubungan kausal dalam suatu tindak pidana yang menyebabkan kecederaan atau gangguan kesehatan, berbeda dengan kedokteran umum yang lebih sering memeriksa dan mengobati. Kedokteran forensik atau dokter forensik berperan dalam membantu penyidikan bagi kepentingan peradilan atas adanya tindak pidana yaitu membuat

  

visum et repertum. Pengertian harafiah visum et repertum berasal dari kata “visual”

  yaitu melihat dan repertum yaitu melaporkan. Berarti “apa yang dilihat dan ditemukan” sehingga visum et repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, mengenai apa yang dilihat dan ditemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya. Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran Forensik, biasanya dikenal dengan nama

  

Visum . Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah visa. Dipandang

  dari arti etimologi atau tata bahasa, kata visum atau visa berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan Repertum berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara 2 Djoko Prakoso, dan I Ketut Murtika, dasar-dasar ilmu kedokteran kehakiman, (Jakarta: Bina

  

  etimologi visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan. Pembuatan

  

visum et repertum di kerjakan sepenuhnya kapada dokter sebagai pelaksana di

  lapangan untuk membantu hakim menemukan kebenaran materil dalam memutuskan perkara pidana. Dokter dilibatkan untuk turut memberikan pendapatnya berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilki, pendapat tersebut di perlukan karena hakim sebagai pemutus perkara tidak di bekali ilmu tentang tubuh manusia untuk itu di perlukan bantuan dokter untuk memberikan kepastian tentang sebab, cara, dan waktu terhadap sesuatu yang terjadi pada tubuh manusia. Selain itu dokter juga berperan dalam menyampaikan ilmu yang dimiliki di persidangan dalam suatu kasus tindak pidana, untuk menentukan kebenaran material yang sesungguh-sungguhnya. pentingnya peran dokter dalam membantu menyelesaikan perkara pidana maka dokter tersebut harus melaksanakan kewajiban nya sebagai saksi ahli apabila dimintai bantuannya.

  Tentang kewajiban dokter sebagai ahli atau untuk memberikan keterangan kepada yang berwajib demi keadilan di atur dalam Pasal 179 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :

  (1) Setiap orang yang dminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

  (2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan bidang keahliannya.

3 Sujadi, visum et repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap tindak pidana

  pemerkosaandiakses sabtu, 29 nov

  Di dalam Pasal 184 KUHAP juga menyebutkan tentang alat bukti yang sah, termasuk di dalam nya ialah keterangan ahli. Pasal 184 KUHAP : (1)

  Alat bukti yang sah ialah : a.

  Keterangan saksi b.

  Keterangan ahli c. Surat d.

  Petunjuk e. Keterangan terdakwa

  (2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

  Jika dilihat dari pasal-pasal tersebut maka peranan keterangan ahli diperlukan dalam setiap tahap proses pemeriksaan, dan tergantung pada perlu tidaknya mereka dilibatkan guna membantu tugas-tugas baik dari penyidik, Jaksa maupun Hakim terhadap suatu perkara pidana, seperti yang banyak terjadi dalam perkara tindak pidana pembunuhan, penganiayaan, tindak pidana kesusilaan dan tindak pidana kealpaan dan lain-lain.

  Dikatakan, bahwa keterangan ahli sangat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan seperti tahap penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Keterangan seorang ahli memiliki jaminan akurasi dari hasil pemeriksaan dengan didasari dari pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang keilmuannya sehingga akan menambah data, fakta dan pendapatnya dan hakim dapat menimbang pertimbangan hukumnya atas keterangan ahli tersebut dalam memutus

   suatu perkara pidana .

4 R. Soeparmono, keterangan ahli & visum et repertum dalam aspek hukum acara pidana,

  Seperti dalam kasus pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Untuk menghilangkannya nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu

  

  atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain Di dalam kasus pembunuhan keterangan ahli sangat di perlukan dalam menjelaskan yang terjadi pada korban baik secara tertulis maupun secara lisan.

  Dalam hal ini jika peradilan dihadapkan dengan kasus yang berhubungan dengan terganggunya kesehatan orang, luka ataupun meninggal, bahkan lagi melihat dari luka atau kematian yang sudah lama atau lampau dan hal tersebut berkaitan untuk menentukan kapan terjadinya tindak pidana tersebut, maka dari hal tersebut bahwa seorang dalam bidang ilmu hukum kurang memahami ataupun mengerti tentang hal yang berkaitan dengan tubuh manusia, untuk itulah pihak yang merupakan bagian yang menangani suatu perkara tindak pidana atau penyidik dapat meminta pendapat dan bantuan dari ahli kedokteran kehakiman atau dari disiplin ilmu pengetahuan lain yaitu seorang yang ahli dalam hal ini di sebut dokter forensik dan wajib untuk memberikan keterangan ahli demi keadilan.

  Alasan inilah yang mendasari penulis untuk membahas tentang “Aspek

  

Hukum Pidana Profesi Kedokteran Kehakiman Sebagai Ahli Berdasarkan Pasal 179

KUHAP” melihat bahwa seorang kedokteran kehakiman atau dokter memiliki peran

  5 di akses pada 29 Oktober penting dalam menyelesaikan suatu perkara tindak pidana guna membatu dan memberikan keterangan demi keadilan.

  B. Permasalahan 1.

  Bagaimana pengaturan hukum mengenai profesi dokter dan peranannya sebagai ahli serta hambatannya dalam menjalankan tugasnya?

  2. Bagaimana tindak nyata seorang dokter dalam penyelesaian perkara pidana? (studi putusan)

  C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : 1.

  Untuk mengetahui peranan profesi dokter forensik atau kedokteran kehakiman untuk mengungkapkan suatu peristiwa pidana.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan dokter sebagai ahli dalam penyelesaian perkara pidana.

  Manfaat penulisan skripsi ini adalah : 1.

  Secara teoritis hasil dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan kajian ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran tentang dokter sebagai saksi ahli.

  2. Secara praktris hasil dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat digunakan untuk dapat membangun perkembangan dari ilmu forensik kebenaran materil. Begitu juga skripsi ini dapat berguna bagi pihak pemerintahan, pihak kepolisian, pihak dokter : a.

  Bagi pihak pemerintahan supaya dapat meeberikan perhatian khusus dan serius dalam hal penyidikan yang membutuhkan penanganan ahli di dalamnya, sehingga pemerintah dapat lebih terbuka dan memfasilitasi kebutuhan para ahli forensik ini sehingga para ahli forensik dapat bekerja secara maksimal dan optimal dalam membuat suatu analisa penyelidikan bagi korban pelaku tindak pidana.

  b.

  Bagi pihak kepolisian supaya dapat secara intensif bekerjasama dengan para ahli forensik sehingga dapat mengetahui tanggung jawab masing-masing dan batasan-batasan apa saja yang dapat dilakukan sehingga tercapainya penyelidikan yang sesuai dengan hukum acara pidana itu sendiri.

  c.

  Bagi pihak dokter supaya dapat lebih meningkatkan pengetahuannya baik dibidang pendidikan atau keahlian sampai pada bidang hukum yang berlaku sehingga dokter sebagai ahli ataupun pembuat visum dapat mengetahui peraturan yang berlaku di Indonesia yang dimana KUHAP mengatur tentang proses penyidikan hingga persidangan sebagai ahli, selain itu dokter juga mampu mengapresiasikan pengetahuannya sehingga dapat mencapai satu kesimpulan yang nyata tentang peristiwa pidana

  D. Keaslian Penulisan

  Penulisan skripsi ini adalah berdasarkan dari hasil pemikiran penulis sendiri, skripsi ini belum ada yang pernah membuatnya. Dalam skripsi ini penulis mengambil judul “aspek hukum pidana profesi kedokteran kehakiman sebagai ahli berdasarkan

  Pasal 179 KUHAP”. Dalam penulisan ini penulis mengarahkan pembahasannya kepada dokter yang menjadi ahli dalam persidangan sesuai dengan ilmu pengetahuan yang ia miliki. Di penulisan skripsi ini penulis meneliti tentang profesi dokter sebagai saksi ahli di dalam menyelesaikan suatu perkara pidana. Judul skripsi ini telah terlebih dahulu penulis konfirmasikan kepada Sekretariat Departemen Pidana Universitas Sumatera Utara dan belum ada penulis lain yang mengemukakan judul skripsi ini. Seandainya di kemudian hari terdapat skripsi yang sama maka penulisakan bertanggung jawab sepenuhnya.

  E. Tinjauan Kepustakaan 1.

  Pengertian Pidana dan Hukum Pidana Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Dalam buku Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman yang berasal dari kata straf, merupakan suatu istilah yang konvensional. Sedangkan menurut Moeljatno dalam

  

  buku yang sama menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana Menurut Andi Hamzah, ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf. Istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum

   pidana.

  Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda

   terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.

  Muladi dan Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa pidana (straf) itu pada

  

  dasarnya mengandung unsur atau ciri-ciri sebagai berikut: 1)

  Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan; 2)

  Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai 6 kekuasaan (oleh yang berwenang);

  Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hal 1 7 8 Andi Hamzah, Asas - Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal 27 J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum, (Bandung: Binacipta, 1987), hal 17

  3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

  Sedangkan hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran- pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakansuatu penderitaan atau siksaan.

   Beberapa pendapat pakar hukum Indonesia mengenai Hukum Pidana antara

  lain sebagai berikut : Dari definisi tersebut dapat di ambil kesimpulan, bahwa hukum pidana bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum.

  

  • Moeljatno mengatakan bahwa hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar- dasar dan aturan untuk : a.

  Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

  b.

  Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 10 C.S.T Kansil dan Christine S. T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya

  Paramita, 2007), hal 3 c.

  Menentukan dengan cara bagaimana pengenaaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disanggka telah melanggar larangan tersebut. Satochid Kartanegara mengatakan bahwa Hukum Pidana dapat dipandang dari

  • beberapa sudut, yaitu : a.

  Hukum Pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman.

  b.

  Hukum Pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Soedarto, mengatakan bahwa Hukum Pidana merupakan sistem sanksi yang

  • negatif, ia diterapkan jika sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi yang subside. Pidana termasuk juga tindakan, bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh orang lain yang dikenai, oleh karena itu, hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan untuk memberikan alasan pembenaran pidana itu.

  Berdasarkan pendapat pakar hukum Indonesia mengenai Hukum Pidana maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Pidana adalah sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh negara, yang isinya berupa larangan maupun keharusan sedang bagi pelanggar terhadap larangan dan keharusan tersebut dikenakan sanksi yang

2. Pengertian Profesi

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan,dsb) tertentu.

  Dengan kata lain profesi merupakan pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer, teknik designer, tenaga pendidik. Profesi dapat dikatakan pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya. Daftar karakterstik ini tidak memuat semua karakteristik yang pernah diterapkan pada profesi, juga tidak

  

  semua ciri ini berlaku dalam setiap profesi : 1.

  Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis: Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar padatersebut dan bisa diterapkan dalam praktik.

  2. Asosiasi profesional: Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya.tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.

  3. Pendidikan yang ekstensif: Profesi yang prestisius biasanya memerlukan

  4. Ujian kompetensi: Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.

  5. Pelatihan institutional: Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.

  6. Lisensi: Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.

  7. Otonomi kerja: Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.

  8. Kode etik: Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.

  9. Mengatur diri: Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.

  10. Layanan publik dan altruisme: Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.

  11. Status dan imbalan yang tinggi: Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi

  Berbicara mengenai profesi pada umumnya belum ada ketentuan yang menegaskan apa itu profesi. Dean Rescoe Pound memberikan definisi tentang profesi sebagai berikut : “The word (profecion) refers to a group of men pursuing a learned art a common calling in the spirit of a public service, no less a public service because

  

  it my incidentally be a mean of livehood” Jadi dalam hal ini Dean Rescoe Pound mengatakan bahwa untuk profesi disyaratkan ada ilmu yang di praktekkan dengan rasa seni untuk kepentingan umum, tidak untuk kepentingan sendiri.

  Menurut Satjipto Rahardjo kedokteran di sebut profesi karena mengandung

  

  dua unsur yaitu : 1.

  Menerapkan seperangkat pengetahuan yang tersusun secara sistematis terhadap problem-problem tertentu, dan

2. Mempunyai relevansi besar dalam hubungannya dengan nilai-nilai yang di

  13 pandang pokok dalam masyarakat. 14 Soemarno P. Wirjanto, Ilmu Hukum Profesi ,(Bandung: Pro Justitia,September 1980),hal 850

Satjipto Rahardjo, Relevansi Pendidikan Hukum Untuk Mahasiswa Kedokteran,(Semarang:

  Dari unsur-unsur tersebut yang merupakan syarat bagi suatu profesi maka dapat diketahui bahwa tidak setiap pekerjaan bisa dikatakan sebagai profesi. Karena untuk profesi telah di syaratkan adanya penguasaan ilmu secara sistematis , dengan perkataan lain di syaratkan adanya pendidikan formal sebelum mempunyai kedudukan sentral bagi tugas-tugas profesionalnya.

3. Pengertian Dokter dan Kedokteran Kehakiman

  Perkembangan ilmu kedokteran mengungkapkan bahwa kebutuhan manusia akan pertolongan pengobatan adalah setua umat manusia. Pada mulanya, jika seseorang merasa sakit atau mengalami gangguan pada fungsi bagian tubuhnya , selalu mencoba untuk mengetahui apa yang menjadi penyebabnya, dan merasa khawatir akan dirinya ataupun nyawanya. Kekhawatiran tersebut mendorong seseorang untuk mencari pertolongan pengobatan dan meyakini bahwa ada kemungkinan untuk dapat menghilangkan penyakitnya.

  Sejarah seorang dokter itu ketika ada seseorang yang dapat dimintai pertolongan untuk mengobati karena di anggap ahli dalam menyembuhkan tubuh manusia dan di sebut tabib. Kehadiran tabib di lingkungan umat manusia untuk meringankan penderitaan orang sakit mulai dilihat sekitar tahun 2500 SM di Mesir

15 Kuno dan Tiongkok . Pada masa itu, penyakit dianggap sebagai hukuman/kutukan

  dari dewa atau Tuhan. Jika sakit, mereka akan datang minta pertolongan kepada orang-orang yang dianggap dekat dengan dewa atau Tuhan. Berobat dan bertobat 15 D. Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter,(Jakarta: Pustaka Sinar merupakan dua tindakan yang seolah-olah berjalan seiring. Oleh karena itu, penyembuhan orang sakit dipercayakan kepada para Imam (Kaum Ulama) atau pendeta. Penyakit di anggap mempunyai sebab-sebab religious yaitu bersangkut-paut dengan dosa, sehingga dengan doa maka korban dapat memperoleh pengampunan dosa yang berakibat sembuhnya penyakit yang diderita seseorang. Itulah sebabnya, kita sering jumpai baik dalam masyarakat yang berkebudayaan maju maupun yang primitive sekalipun seorang pemimpin agama atau Imam sekaligus berfungsi sebagai tabib.

  Hermes Trismegistus seorang cendikiawan dan filsuf mengemukakan ajaran bahwa hidup di dunia dipengaruhi oleh sinar-sinar cosmos yang berasal dari bintang.

  Mulailah orang mempraktekan penyembuhan penyakit berdasarkan ilmu

  

  perbintangan (astrologi) , yaitu jika seseorang sakit lebih dahulu harus dicari bintangnya, baru kemudian orang itu dapat disembuhkan. Lambat laun orang-orang mulai memisahkan diri dari paham religious. Orang mulai berpikir bahwa ada sebab- sebab penyakit dari luar secara fisik dan usaha penyembuhannya dapat dilakukan dengan cara mengimbangi pengaruh itu. Dengan kata lain, mereka mulai menerima kenyataan bahwa ada pengaruh fisik dari luar yang menyebabkan penyakit dan dengan usaha manusia dapat diimbangi atau di tentang secara fisik juga. Walaupun belum dapat diketahui secara pasti, namun ada beberapa petunjuk manusia mulai sadar bahwa di alam semesta terdapat tenaga-tenaga alamiah yang dapat dianalisis, dan digunakan. Mulailah manusia berilmu (berpengetahuan) meskipun belum terlepas dari pengaruh-pengaruh religious. Adanya kesadaran bahwa tidak semua orang berilmu itu sangat dihormati. Timbullah kultus-kultus medis, antara lain Asclepius yang banyak mempunyai pengikut di Yunani dan di Roma.

  Perkembangan selanjutnya, orang mulai mengerti bahwa penyakit bersumber dari dalam tubuh itu sendiri, yang di sebabkan oleh suatu gangguan dalam anatomi tubuh. Konsep ini disebut metaphysical. Siapa yang mulai berpikir demikian juga tidak dapat dipastikan sebab di Yunani orang menganggap bahwa Aristoteles (384

   SM) dan bukan Hippocrates (469-377 SM) yang mulai berbicara tentang air tubuh .

  Menurut argument metaphysical, cairan-cairan yang di bentuk di dalam tubuh manusia oleh penyatuan unsur-unsur tertentu menghasilkan darah, lender (phlegma), empedu hitam dan kuning. Maka setiap percampuran yang salah satu atau berekses satu terhadap yang lain menyebabkan seseorang jatuh sakit. Prinsip ini pada dasarnya sudah di temukan di India dan Tiongkok, walaupun dalam bentuk ajaran yang berbeda. Bahkan waktu itu di Tiongkok mulai di gunakan akupuntur walaupun mungkin didasarkan pada konsep lain dari pada sekarang. Walau sebenarnya prosedur penyembuhan yang telah ditemukan di Mesir, Tiongkok dan India itu pada dasarnya sama dengan prosedur Hippocrates, namun dunia Barat khususnya dan dunia kedokteran dewasa ini pada umumnya menerima metode-metode konsepsional pengobatan melalui pengaruh Yunani.

  Hippocrates (469-377 SM) merupakan tokoh paling terkenal dalam kedokteran dan filsafat Yunani, yang kemudian dianggap sebagai Bapak Ilmu

18 Kedokteran Modern . Ia mencoba mendekati upaya pengobatan penyakit dari sudut

  yang lebih rasional dari pada sekedar kepercayaan belaka. Ia juga menentukan diagnosis dengan cara-cara yang sistematis. Ia berusaha membuat pemisahan secara halus antara ilmu kedokteran dan agama, dengan meninggalkan anggapan bahwa penyakit adalah bukti kutukan/hukuman dewa dan menganalisa terjadinya penyakit tanpa menghilangkan pengaruh agama sama sekali. Dengan kata lain, Hippocrates mulai melepaskan penyakit dari sebab-sebab spiritual serta memusatkan seluruh perhatian pada tubuh itu sendiri dengan mempelajari gejala-gejala serta tanda-tanda penyakit; kemudian ia berusaha mencari jalan untuk mengatasi gangguan penyakit itu dengan cara penyembuhan empiris dan rasional.

  Namun ternyata, periode abad ke lima sampai abad ke Sembilan sesudah masehi membuktikan terjadinya pengulangan pandangan seperti masa sebelum

19 Hippocrates . Pada abad tersebut Lembaga Pendidikan Kedokteran yang berdiri

  sendiri diambil alih oleh para biarawan. Para pendeta menuliskan pandangan mereka tentang penyakit yang hampir seluruhnya bersifat moralistik. Penyakit dikaitkan kembali dengan dosa dan kutukan. Para pendeta melakukan pengobatan dan menyatakan bahwa dokter mengobati orang sakit hanya dari luar, tetapi tidak terhadap jiwa manusia yang dari dalam nya sudah menderita sakit. Hanya ajaran agama yang sanggup memperbaiki jiwa manusia yang sakit itu. Pandangan yang demikian yang sendirinya meletakkan posisi orang sakit (pasien) di bawah sang 18 pengobat. Pasien di anggap tidak tahu dan tidak perlu tahu tentang sebab-sebab

  Ibid, hal 32 penyakitnya karena penyakit merupakan kutukan Tuhan. Agar dapat diampuni dan dibebaskan dari penyakitnya, ia harus sepenuhnya tunduk pada perintah pendeta.

  Tidak perlu tahu apa obat dan ritual yang sedang diusahakan dan mengapa dilakukan demikian. Partisipasi pasien yang boleh dilakukan hanyalah patuh secara mutlak kepada sang pengobat. Kenyataannya pola hubungan tersebut masih dianut oleh para dokter pada posisi “lebih tahu tentang gejala sesuatu yang di derita pasien dari pada pasien”. Hal ini tampak pada sikap dokter dalam hubungan terapi (penyembuhan), antara lain dokter merasa tidak perlu meminta keterangan pasien secara jelas mengenai keluhan-keluhannya, atau bahkan keluhan pasien sama sekali tidak diacuhkan. Padahal dari serangkaian keluhan pasien itu sesungguhnya dapat dihasilkan beberapa diagnosis (penentuan jenis penyakit). Dari diagnosis yang sudah ditetapkan terbuka sederet terapi (penyembuhan) dengan berbagai khasiat dan efek sampingnya.

  Namun dewasa ini dokter lebih dipandang sebagai ilmuan yang

  

  pengetahuannya sangat diperlukan untuk menyembuhkan berbagai penyakit . Pada umumnya, masyarakat telah mengetahui apa yang di maksud dengan dokter dan apa yang menjadi tugas dokter di dalam masyarakat. Hal ini berkat usaha pemerintah dalam melaksanakan program kesehatan melalui puskesmas yang tidak dilakukan di kota-kota saja, melainkan sampai ke desa-desa. Sehingga setiap orang mengetahui bahwa apabila ia sakit harus berusaha ke dokter. Namun demikian masarakat pada umumnya tidak mengetahui cara membedakan dokter dan bukan dokter . sehingga 20 Husein kerbala, Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada umumnya memberikan sebutan dokter kepada setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit atau puskesmas, meskipun kenyataannya yang memberikan pelayanan kesehatan itu hanya seorang mantri atau perawat saja. Pandangan yang demikian terhadap dokter pada umumnya dapat kita temui pada masyarakat yang tinggal di desa-desa. Mereka telah mengidentikan dokter dengan setiap orang yang berada di puskesmas atau rumah sakit dan mengenakan pakaian warna putih.

  Di dalam peraturan perundang-undangan tentang kesehatan, seperti UU No.9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan, UU No.6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan maupun PP No.20 Tahun 1966 Wajib Simpan Rahasia Kedokteran serta peraturan-peraturan bidang kesehatan lainnya maka tidak ada satupun yang memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan dokter.

  Di dalam UU No.6 Tahun 1963 yang merupakan Undang-Undang pelaksana dari Undang-Undang No.9 yang merupakan Undang-Undang pokok, maka pada pasal

  

  2 disebutkan bahwa : Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan dalam Undang-Undang ini, adalah: A.

  Tenaga Kesehatan Sarjana, yaitu: a.

  Dokter; b. Dokter Gigi; c. Apoteker. B.

  Tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah: a.

  Di bidang farmasi: asisten apoteker, dsb b. Di bidang kebidanan: bidan, dsb c. Di bidang keperawatan: perawat, fisioterapis, dsb d. Di bidang kesehatan masyrakat: penilik kesehatan, nutrisionis, dll e. Di bidang kesehatan lain.

  Yang di sebutkan dalam Pasal 2 tersebut adalah subjek dalam hukum kesehatan. Di samping mereka ada subjek hukum lainnya yaitu mereka yang menerima pelayanan kesehatan yang biasa di sebut dengan pasien.

  Dari perumusan Pasal 2 tersebut nyata bahwa pasal itu tidak memberikan pengertian tentang dokter. Hal ini kiranya dapat dimengerti karena dengan di keluarkan nya undang-undang bukanlah bermaksud untuk mendefinisikan atau merinci suatu hal atau subjek tertentu, melainkan untuk menetapkan ketentuan- ketentuan dasar sesuai dengan yang diinginkan oleh undang-undang tenaga kesehatan yaitu hanya menentukan ketentuan-ketentuan dasar dari tenaga-tenaga kesehatan termasuk dokter di dalamnya sebagai tenaga kesehatan sarjana.

  Tidak adanya rumusan dari perundang-undangan bidang kesehatan tentang pengertian dokter, maka pengertian dokter itu kiranya dapat di simpulkan dari perumusan pasal 3 UU No.6 Tahun 1963 bahwa dokter sebagai tenaga kesehatan adalah orang yang berpendidikan dan berpengetahuan khusus, yang bersangkutan memiliki ijazah dokter baik dari dalam maupun luar negeri yang sederajat dengan universitas negeri menurut peraturan yang berlaku.

  Menurut Pasal 5 Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan bahwa untuk melakukan tugas pekerjaan sebagai dokter maka harus mendapat izin terlebih dahulu dari Menteri Kesehatan. Dengan demikian Menteri Kesehatan dapat mengetahui

   tenaga kesehatan dokter dimana pun mereka bekerja .

  Selanjutnya dalam menjalankan profesinya maka kita dapat membedakan dokter atas: a.

  Dokter umum; b. Dokter spesialis.

  Pengertian dokter umum dan dokter spesialis tidak akan ditemukan dalam Undang-Undang No.6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan maupun dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 561/Men.Kes/Per/X/1981 tentang Pemberian izin menjalankan pekerjaan dan izin praktek bagi dokter spesialis. Namun demikian pengertian dokter umum dapat dirumuskan sebagai seorang yang menjalani pendidikan di suatu fakultas kedokteran serta mendapat ijazah menurut peraturan yang berlaku.

  Sedangkan dokter spesialis adalah seorang yang telah memenuhi seluruh tuntutan di suatu fakultas kedokteran kemudian ia melanjutkan pendidikan spesialisasi tertentu dan telah memperoleh ijazah atau sertifikat untuk bidang spesialisasinya itu.

  Ilmu kedokteran kehakiman merupakan cabang ilmu kedokteran yang menerapkan pengetahuan kedokteran untuk pihak pengadilan dalam memutus suatu

  

  perkara . Istilah ilmu kedokteran kehakiman dan ilmu kedokteran forensik dalam pengertiannya sama. Akan tetapi dekade akhir ini semua institusi kedokteran maupun para spesialis forensik menggunakan istilah kedokteran forensik. Maka selanjutnya kedokteran kehakiman memakai istilah kedokteran forensik.

  Ilmu kedokteran kehakiman atau ilmu kedokteran forensik merupakan terjemahan yang sama untuk Gerechtelijke Geneeskunde di masa prakemerdekaan Indonesia maupun di negeri Belanda. Dalam bahasa Jerman disebut Gerichtliche

  

Medizin maupun Forensische Medizin, dalam bahasa inggris di sebut Medical

Jurisprudence, Medico-Legal, Legal Medicine yang semuanya di artikan sebagai ilmu

  kedokteran forensik atau ilmu kedokteran kehakiman. Istilah – istilah tersebut merupakan kata lain untuk Forensic Medicine sebagai suatu cabang ilmu kedokteran terapan demi kepentingan peradilan. Ilmu kedokteran forensik harus di bedakan dengan ilmu hukum kedokteran (Medical Law), sebab hukum kedokteran adalah aturan hukum yang mengatur semua aspek yang berkaitan dengan praktek kedokteran

   atau Law regulating the practice of medicine .

  Ilmu kedokteran forensik atau forensic Medicine merupakan ilmu yang mempelajari penerapan ilmu kedokteran untuk kepentingan peradilan. Menurut Dr Amri Amir, ilmu kedokteran kehakiman adalah ilmu yang menggunakan pengetahuan 23 Alfred C. Satyo, Sejarah Ilmu Kedokteran Forensik,(Medan: UPT Penerbitan dan Percetakan

  USU, 2004)

  

  ilmu kedokteran untuk kepentingan hukum dan peradilan . Dengan definisi tersebut maka sebetulnya ilmu kedokteran forensik tetap merupakan disiplin ilmu kedokteran walaupun aplikasinya bukan untuk kepentingan yang berkaitan dengan masalah- masalah kesehatan ataupun kedokteran, melainkan untuk kepentingan penegakan hukum.

  Mengenai ruang lingkup dan cakupan kedokteran kehakiman yaitu menangani pemeriksaan tubuh korban, baik yang masih hidup maupun sudah mati serta dengan

  

  keadaan jenis perseorang. Dengan demikian dapat di pahami pemeriksaan utama yang dilakukan oleh bagian ilmu kedokteran kehakiman adalah bedah mayat.

  Sedangkan dokter pada umumnya ialah sebagai tenaga medis dan melaksanakan program kesehatan.

  Mengenai sejarah kedokteran kehakiman atau kedokteran forensik melihat

  

  dari beberapa kejahatan yang terjadi di muka bumi ini . Seperti mencuri, menipu, menyakiti, memperkosa dan bahkan membunuh. Perbuatan jahat yang dapat menimbulkan kerugian, penderitaan serta kematian itu juga dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang dapat merusak keamanan dan kedamaian di dalam masyarakat. Oleh sebab itu harus di berantas melalui upaya yang bersifat represif atau preventif. Dalam rangka melakukan upaya represif itulah mereka membentuk badan-badan yang ditugasi untuk menangkap, mengadili serta menghukum orang-orang yang bersalah. Hanya saja, badan peradilan yang ada pada 25 Berlin Nainggolan,Jurnal,fungsi kedokteran kehakiman sebagai saksi ahli dalam upaya

  penegakan hukum ,(Medan: Universitas Sumatera Utara,1999) hal 1 26 Ibid, hal 4

  masa itu tidak seperti apa yang dapat dilihat sekarang. Apa yang dahulu dinamakan Hakim tidak seperti Hakim sekarang ini yang tugasnya hanya mengadili. Hakim pada zaman dahulu tugasnya amat menyeluruh, mulai dari tugas menyelidiki, menyidik, menuntut, mengadili perkara sampai pada tugas melaksanakan hukuman.

  Selain itu, cara pembuktiannya pun masih didasarkan pada pemikiran yang kadang-kadang tidak rasional serta dipengaruhi oleh takhayul. “trial by ordeal” misalnya merupakan salah satu contoh bagaimana badan peradilan pada masa itu mengadili perkara secara tidak rasional dengan menyuruh orang – orang yang dituduh bersalah untuk berjalan di atas bara api (judicia ignis), masuk ke dalam kolam berisi air (judicia aquae) atau menyuruh makan makanan yang sudah di beri mantra-mantra (judicia offae). Apabila mereka selamat setelah menjalani proses peradilian seperti itu maka kesalahan mereka tidak terbukti dan sebaliknya jika mereka menderita luka-luka atau mati karenanya. Sistem peradilan seperti itu didasarkan pada konsep Judicia Dei (peradilan Tuhan), bahwa orang-orang yang

   tidak bersalah pasti akan ditolong oleh Tuhan ketika menjalani proses peradilan .

  Seiring dengan perkembangan zaman, konsep Judicia Dei (peradilan Tuhan) yang tidak rasional mulai di tinggalkan dan diganti dengan sistem pembuktian

  

  berdasarkan pengakuan . Namun, proses peradilan hanya terpusatkan pada upaya mengorek pengakuan saja. Untuk itu tidak jarang digunakan siksaan fisik yang tidak saja dapat menimbulkan kecacatan atau kematian, tetapi juga dapat mengakibatkan 28 Ibid orang mengakui kesalahan yang tidak pernah dilakukan nya. Oleh sebab itulah kemudian para penegak hukum menggantikannya lagi dengan sistem peradilan berdasarkan sumpah, bahwa terdakwa bersedia menerima laknat Tuhan jika keterangannya tidak betul. Dengan tekanan yang bersifat psikis itu maka diharapkan mereka mau memberikan keterangan dengan jujur. Perkembangan selanjutnya dari upaya manusia untuk menentukan kesalahan seseorang ialah tidak lagi dipusatkan pada upaya menggarap terdakwa saja, melainkan sudah mulai ditambah dengan memanfaatkan saksi. Dengan tambahan keterangan dari saksi sebagai orang yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri peristiwa pidana maka diharapkan keputusan yang diambil oleh hakim akan menjadi lebih adil. Namun kekurangannya ialah bahwa saksi dapat berdusta karena di ancam atau dibayar, lupa atau kurang pandai menceritakan kembali hal-hal yang pernah dilihatnya. Selain itu,saksi korban mempunyai kecendrungan untuk mendramatisasi agar pelaku dihukum berat.

  Pada akhirnya para penegak hukum sadar bahwa selama berabad-abad telah melupakan peranan barang bukti yang hampir selalu ada pada setiap kejahatan.

  Padahal barang bukti tersebut dapat memberikan petunjuk yang bermanfaat bagi penyelesaian perkara. Masalahnya adalah siapa yang harus menganalisa barang bukti yang beraneka ragam jenisnya mengingat para penegak hukum tidak mengusai segala macam ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dapat digunakan untuk itu. Dari sinilah kemudian timbul pemikiran untuk memanfaatkan para ahli untuk menerangkan dari hal apa yang di ketahui.

  Ilmu kedokteran forensik sudah dirintis sejak beribu-ribu tahun sebelum

  

  masehi . Pada waktu itu orang-orang di negara China sudah mampu menerangkan tentang efek racun terhadap tubuh manusia sejak 3000 tahun sebelum masehi. Begitu pula orang-orang di negara Mesir. Ahli-ahli kedokteran Mesir bahkan sudah dapat menerangkan tentang luka tusuk serta menerangkan bagaimana melakukan diagnosis patah tulang tengkorak yang tidak disertai luka-luka pada kulit kepala. Pada zaman itu Mesir juga terkenal sebagai negeri yang sudah mempunyai peraturan tentang praktek kedokteran.

  Dalam kedokteran forensik otopsi merupakan bagian penting dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelum masehi, meskipun kaitannya secara langsung dengan kepentingan peradilan belum terlihat jelas. Otopsi untuk kepentingan peradilan baru terlihat jelas ketika Kaisar Julius terbunuh oleh anggota-anggota senat Kerajaan

31 Romawi . Pada waktu itu Dokter Antistius yang diminta untuk melakukan

  pemeriksan jenazah menyatakan bahwa dari 23 luka yang ditemukan pada tubuh kaisar tersebut hanya luka yang menembus jantungnya saja yang menyebabkan kematian. Oleh banyak peneliti, kasus tersebut diklain sebagi kasus hukum pertama yang diselesaikan dengan memanfaatkan ilmu kedokteran. Setelah itu pelaksanaan otopsi mengalami kemunduran, tetapi pada zaman Renaissane mulai meningkat kembali. Peningkatan ini tidak hanya membawa peningkatan di bidang kedokteran saja tetapi juga ilmu kedokteran forensik. Sesudah abad 16 Ambroise Pare yang 30 bekerja sebagai ahli bedah militer di Prancis dengan sistematik mempelajari efek

  Surjit Singh, Op.Cit, hal 6 trauma yang mematikan pada organ dalam dan dua orang ahli bedah dari italia, Fortunato Fidelis dan Paolo Zazzhia, yang melakukan penelitian dan di dokumentasikan dengan baik. Dari sinilah ilmu kedokteran forensik dipelajari secara sungguh sungguh serta di tempatkan menurut posisinya. Dengan kemajuan dibidang ilmu kedokteran forensik telah memberikan dampak positif dalam tindakan yang represif terhadap kejahatan.

  Dilihat dari fungsinya, ilmu kedokteran forensik yang dikelompokkan ke dalam ilmu-ilmu forensik (forensic sciences): seperti misalnya ilmu kimia forensik, ilmu fisika forensik, ilmu kedokteran gigi forensik, ilmu psikiatri forensik, balistik, daktiloskopi dan sebagainya. Bahkan ilmu kedokteran forensik sering di sebut “the

  

mother of forensic science” mengingat perannya yang sangat menonjol di antara

  ilmu-ilmu forensik yang ada dalam hal membantu proses peradilan. Fungsi utama

  

  ilmu-ilmu forensik tersebut, termasuk ilmu kedokteran forensik ialah : 1.

  Membantu penegakan hukum menentukan apakah suatu peristiwa yang sedang diselidiki merupakan peristiwa pidana atau bukan.

  2. Membantu penegak hukum mengetahui bagaimana proses tindak pidana tersebut, meliputi : a.

  Kapan dilakukan b. Dimana dilakukan c. Dengan apa dilakukan d. Bagaimana cara melakukannya e.

  Apa akibatnya 3. Membantu penegak hukum mengetahui identitas korban.

  4. Membantu penegak hukum mengetahui identitas pelaku tindak pidana.

  Fungsi yang pertama, tentunya sangat berguna pada tingkat penyelidikan perkara pidana, sedangkan 3 fungsi yang terakhir amat berguna pada tingkat penyidikan.

  Bagi setiap dokter yang bekerja di Indonesia tentunya perlu memahami ilmu kedokteran forensik lebih dulu agar tidak menemui kesulitan dalam menerapkan ilmu kedokteran yang dimilikinya untuk kepentingan peradilan. Perlu diketahui bahwa hukum acara pidana yang berlaku disini memungkinkan setiap dokter sewaktu-waktu dapat diminta bantuannya oleh penegak hukum untuk membuat terang perkara- perkara pidana. Tugas keforensikan yang melekat pada diri setiap dokter itu wajib dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan benar sebab nasib seseorang tergantung padanya. Korban tindak pidana harus mendapatkan balasan yang setimpal. Di samping itu, tidak boleh ada proses peradilan yang akan menyengsarakan orang- orang yang tidak bersalah.

  Dengan mempelajari ilmu kedokteran forensik maka diharapkan para dokter : 1.

  Menyadari betapa pentingnya peranan mereka di dalam proses peradilan pidana.

  2. Mengerti status mereka di dalam proses peradilan.

  3. Memahami segala ketentuan yang berkaitan dengan tugas keforensikan, meliputi: kewanangan, hak, kewajiban serta sanksinya.

  4. Mampu melakukan berbagai macam pemeriksaan forensik 5.

  Mampu memberikan keterangan yang relevan dengan jenis kasusnya sehingga perkaranya menjadi jelas.

  6. Mengerti cara-cara menyampaikan keterangannya sesuai ketentuan yang berlaku sehingga keterangan nya memiliki daya bukti di siding pengadilan.

  Selain dokter penegak hukum yang terlibat dalam proses peradilan juga perlu mempelajari ilmu kedokteran forensik yang berguna untuk :

  1. Menyadari pentingnya bantuan ilmu kedokteran bagi penyelesaian suatu perkara.

  2. Mengerti pada kasus-kasus yang bagaimana bantuan ilmu kedokteran diperlukan.

  3. Mengerti maksud dan tujuan meminta bantuan.

  4. Memahami segala ketentuan yang berkaitan dengan tatalaksana meminta bantuan, kewenangan, kewajiban serta haknya.

  5. Mengerti dasar-dasar pemeriksaan forensik.

  6. Memahami fungsi keterangan dokter bagi penegakan hukum.

  7. Mengerti batas-batas kemampuan dokter di dalam membantu proses peradilan.

  Dengan pemahaman yang memadai akan ilmu kedokteran forensik antara dokter sebagai pemberi bantuan dan penegak hukum sebagai pengguna bantuan maka di harapkan proses peradilan pidana yang mendasarkan pada kebenaran materil akan dapat terlaksana sesuai harapan sesuai harapan semua pihak.

  4. Pengertian Keterangan Ahli Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana selanjutnya di sebut

  KUHAP pada Pasal 1 butir 28 keterangan ahli adalah keterangan yang di berikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sejak berlakunya KUHAP maka ketentuan perihal macam-macam alat bukti yang sah tentang pembuktian dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan menjadi lebih lengkap, yaitu dengan dimasukannya secara tegas alat bukti “keterangan ahli” di dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b.

  Dasar-dasar hukum tentang peranan keterangan ahli (pakar) itu bagi kelengkapan alat bukti dalam berkas perkara Pro Yustisia dan pemeriksaan di sidang pengadilan, sangat membantu dalam usaha untuk menambah keyakinan Hakim dalam

   hal mengambil keputusan .

  Dalam pasal 179 angka 1 KUHAP dapat dikategorikan dua kelompok ahli, yaitu ahli kedokteran dan ahli-ahli lainnya.

  33 R. Soeparmono, Keterangan Ahli & Visum et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Syarat sahnya keterangan ahli yaitu : 1.

  Keterangan di berikan kepada ahli 2. Memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu 3. Menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya 5. Diberikan dibawah sumpah.

  Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : 1.

  Dengan cara meminta keterangan ahli pada taraf penyidikan sebagaimana

  Pasal 133 KUHAP yaitu : 1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

  2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu di sebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaanmayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

  3. Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus di perlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan di beri label yang memuat identitas mayat, dilak dengan di beri cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Pidana Profesi Kedokteran Kehakiman Sebagai Ahli Berdasarkan Pasal 179 Kuhap (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No 1498/Pid.B/2012/Pn.Lp.Pb)

0 48 109

Hukum Tidak Tertulis Sebagai Sumber Hukum untuk Putusan Pengadilan Perkara Pidana

7 92 392

Analisa Hukum Pidana Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No :743/pid/2008/PT-Mdn)

0 71 97

Peranan Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Kasus Tindak Pidana Pembunuhan (Study Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 1243/Pid B/2006/PN-LP)

5 97 118

Tanggung Jawab Pelaku Tindak Pidana Korupsi Atau Ahli Warisnya Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Lubuk Pakam)

1 33 248

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 167/Pid.B/2003/Pn.Dps)

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

2 4 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

0 1 20

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 0 16

BAB II PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER SEBAGAI AHLI - Aspek Hukum Pidana Profesi Kedokteran Kehakiman Sebagai Ahli Berdasarkan Pasal 179 Kuhap (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No 1498/Pid.B/2012/Pn.Lp.Pb)

0 0 40