Aspek Hukum Pidana Profesi Kedokteran Kehakiman Sebagai Ahli Berdasarkan Pasal 179 Kuhap (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No 1498/Pid.B/2012/Pn.Lp.Pb)

(1)

KUHAP

(Analisa Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No 1498/Pid.B/2012/PN.LP.PB)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA HUKUM

Oleh :

NIM : 110200504

DANIEL RONALD

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KUHAP

(Analisa Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No 1498/Pid.B/2012/PN.LP.PB)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Dan Melengkapi Syarat Untuk Memperoleh Gelar

SARJANA HUKUM

Oleh :

NIM : 110200504

DANIEL RONALD

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP : 195703261986011001

Dr. M. Hamdan, SH. MH

DOSEN PEMBIMBING I

DOSEN PEMBIMBING II

Prof. Dr. Suwarto, SH. MH

NIP : 195605051989031001

NIP : 196012221986031003

Dr. Edi Yunara, SH. M.Hum


(3)

Kata pengantar

Segala puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan kasih karunia yang memimpin dan menyertai penulis hingga sampai pada akhirnya dapat menyelesaikan penulisan skirisi ini.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi guna menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU Medan untuk dapat memperoleh gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini berjudul : “Aspek Hukum Pidana Profesi Kedokteran Kehakiman Sebagai Ahli Berdasarkan Pasal 179 KUHAP”

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai bentuk halangan yang harus di hadapi, hingga akhirnya penulis dapat melewatinya, sehingga penulisan skripsi ini berhasil di selesaikan. Penulis dengan segala kerendahan hati menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan pengetahuan, kemampuan dan wawasan serta bahan – bahan literatur yang penulis dapatkan. Oleh karena itu penulis mengharapkan segala bentuk kritik dan saran bersifat membangun dari para pembaca untuk mencapai kesempurnaan tulisan ini.

Pada kesempatan ini dengan rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini dan semua pihak yang telah menjadi bagian penting selama penulis menjalankan perkuliahan di Fakultas Hukum USU Medan, yaitu :

1. Bapak Prof. Dr Runtung, SH., M.Hum., selaku Dekan Di fakultas Hukum USU Medan.


(4)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I di Fakultas Hukum USU Medan.

3. Bapak Syafrudin Hasibuan, SH., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II di Fakultas Hukum USU Medan.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, SH., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III di Fakultas Hukum USU Medan.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan

6. Ibu Liza Erwina, SH., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan.

7. Bapak Prof. Dr. Suwarto, SH. MH., selaku Dosen Pembimbing I, terima kasih untuk semua waktu, nasehat dan ilmu yang bapak berikan kepada saya mulai dari awal penulisan skripsi ini hingga akhirnya penulisan skripsi ini selesai.

8. Bapak Dr. Edi Yunara, SH. M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II terima kasih untuk semua waktu, nasehat dan ilmu yang bapak berikan kepada saya mulai dari awal penulisan skripsi ini hingga akhirnya penulisan skripsi ini selesai.

9. Ibu dr. Rita Mawarni, SpF., selaku Dokter di RSU Adam Malik Medan dan pengajar di Fakultas Hukum USU. Terima kasih buat waktu yang diberikan kepada penulis serta bahan-bahan yang telah ibu berikan sebagai penambah literatur dalam penulisan skripsi ini.


(5)

10.Seluruh Bapak/Ibu Staf Pengajar dan Pegawai Fakultas Hukum USU Medan yang telah membantu penulis selama mengikuti perkuliahan.

11.Kepada orang tua saya yang saya banggakan, Terima kasih Bapak saya Willer Sinaga dan ibu saya Makdalena Sianturi. Terima kasih atas doa, dukungan, cinta, dan kasih sayangnya yang penulis rasakan, sehingga menjadi motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Juga kepada abang saya Darwin Orlando Sinaga dan kakak saya Melda Yuliana Sinaga, terima kasih untuk selalu memberikan dukungan doa dan semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

Medan, Februari 2015


(6)

ABSTRAK

Prof. Dr. Suwarto, SH. MH* Dr. Edi Yunara, SH. M.Hum**

Daniel Ronald***

Dalam penyelesaian suatu perkara pidana pasti ada kalanya mengalami kesulitan. Seperti halnya dalam menyelesaikan tindak pidana pembunuhan. Dalam meyelesaikan tindak pidana pembunuhan para penyidik harus mencari tahu apa yang menjadi motif pembunuhan, hingga cara matinya korban dan lain-lain, sehingga membuat kasus pembunuhan tersebut terungkap dengan jelas di persidangan. Untuk membuat terungkap lebih jelas diperlukan batuan dokter sebagai ahli karena keterbatasan ilmu dalam mempelajari tubuh manusia. Dokter akan memberikan hasil pemeriksaan pada tubuh korban atau yang di sebut Visum et Repertum yang akan di jadikan sebagai alat bukti di dalam persidangan untuk meyakinkan Hakim bahwa benar terdakwa melakukan tindak pidana pembunuhan, dan atau dokter dipanggil ke persidangan sebagai ahli untuk menerangkan atas pengetahuan yang dimiliki mengenai tubuh manusia.

Adapun permasalahan yang diangakat oleh penulis ialah pengaturan hukum mengenai profesi dokter, peranannya dalam membantu pembuktian, kewajiban hingga kendala yang dihadapi oleh dokter dalam melakukan pemeriksaan dan bagaimana tindak nyata dokter dalam penyelesaian perkara di Pengadilan Negari Lubuk Pakam.

Metode penelitian yang digunakan pada penulisan skripsi ini adalah, penulis menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan), yakni dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet dan mempelajari serta menganalisis putusan pengadilan untuk melihat penerapannya dalam praktek. dan di gunakan juga metode field research (penelitian lapangan) dengan melakukan wawancara dengan narasumber yang di perlukan.

Upaya mengungkapkan lebih jelas lagi mengenai kasus tindak pidana yang berkaitan dengan tubuh manusia, maka di perlukan bantuan ahli atau dokter forensik yang lebih mengetahui tentang apa yang terjadi pada tubuh manusia, sehingga kasus tindak pidana tersebut dapat terungkap dengan jelas dan hakim dapat dengan yakin dalam memberikan pidana kepada terdakwa.

* Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI v

ABSTRAKSI vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1

B. Permasalahan 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 6

D. Keaslian Penulisan 8

E. Tinjauan Kepustakaan 8

1. Pengertian Pidana dan Hukum Pidana 8

2. Pengertian Profesi 12

3. Pengertian Dokter dan Kedokteran Kehakiman 15

4. Pengertian Keterangan Ahli 31

F. Metode Penelitian 34

G. Sistematika Penulisan 35

BAB II PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER SEBAGAI AHLI A. Kode Etik Kedoktern Indonesia dan Pasal Yang Terkait Tentang Ahli 38

B. Permintaan Bantuan Dokter Ahli dan Peran Dokter Ahli 46

1. Tata-laksana permintaan bantuan dokter 48


(8)

a. Dokter Sebagai Pembuat Visum et Repertum 54

1. Jenis-Jenis Visum et Repertum 58

2. Bentuk atau susunanVisum et Repertum 62

b. Dokter Sebagai Ahli Dalam Persidangan 66

1. Dokter Memberikan Keterangan Tentang Teori Di Bidang Kedokteran 68

2. Dokter Memberikan Keterangan Tentang Suatu Objek 69

C. Kewajiban Dokter Sebagai Ahli 72

1. Kewajiban Memberikan Keterangan Ahli 72

2. Kewajiban Mengucapkan Sumpah atau Janji 74

D. Kendala Yang Dihadapi Dokter Dalam Membantu Pembuktian Perkara Pidana 74

BAB III TINDAK NYATA SEORANG DOKTER DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (STUDI PUTUSAN) A. Kasus Posisi 78

B. Analisa Kasus 88

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 95

B. Saran 97


(9)

ABSTRAK

Prof. Dr. Suwarto, SH. MH* Dr. Edi Yunara, SH. M.Hum**

Daniel Ronald***

Dalam penyelesaian suatu perkara pidana pasti ada kalanya mengalami kesulitan. Seperti halnya dalam menyelesaikan tindak pidana pembunuhan. Dalam meyelesaikan tindak pidana pembunuhan para penyidik harus mencari tahu apa yang menjadi motif pembunuhan, hingga cara matinya korban dan lain-lain, sehingga membuat kasus pembunuhan tersebut terungkap dengan jelas di persidangan. Untuk membuat terungkap lebih jelas diperlukan batuan dokter sebagai ahli karena keterbatasan ilmu dalam mempelajari tubuh manusia. Dokter akan memberikan hasil pemeriksaan pada tubuh korban atau yang di sebut Visum et Repertum yang akan di jadikan sebagai alat bukti di dalam persidangan untuk meyakinkan Hakim bahwa benar terdakwa melakukan tindak pidana pembunuhan, dan atau dokter dipanggil ke persidangan sebagai ahli untuk menerangkan atas pengetahuan yang dimiliki mengenai tubuh manusia.

Adapun permasalahan yang diangakat oleh penulis ialah pengaturan hukum mengenai profesi dokter, peranannya dalam membantu pembuktian, kewajiban hingga kendala yang dihadapi oleh dokter dalam melakukan pemeriksaan dan bagaimana tindak nyata dokter dalam penyelesaian perkara di Pengadilan Negari Lubuk Pakam.

Metode penelitian yang digunakan pada penulisan skripsi ini adalah, penulis menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan), yakni dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet dan mempelajari serta menganalisis putusan pengadilan untuk melihat penerapannya dalam praktek. dan di gunakan juga metode field research (penelitian lapangan) dengan melakukan wawancara dengan narasumber yang di perlukan.

Upaya mengungkapkan lebih jelas lagi mengenai kasus tindak pidana yang berkaitan dengan tubuh manusia, maka di perlukan bantuan ahli atau dokter forensik yang lebih mengetahui tentang apa yang terjadi pada tubuh manusia, sehingga kasus tindak pidana tersebut dapat terungkap dengan jelas dan hakim dapat dengan yakin dalam memberikan pidana kepada terdakwa.

* Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kasus tindak pidana banyak proses yang dilalui, melalui penyelidikan, penyidikan hingga akhirnya ke proses persidangan untuk memutuskan suatu perkara tindak pidana, selain proses yang panjang dalam menyelesaikan suatu perkara pidana banyak juga kendala yang di hadapi, seperti misalnya dalam hal penyidikan. Penyidik dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana seperti pencurian, penggelapan, penipuan dll, tidak terlalu sulit untuk mengidentifikasikan barang bukti yang selanjutnya akan di periksa dalam sidang pengadilan, akan tetapi jika kejahatan tersebut berkaitan dengan terganggunya kesehatan orang, luka ataupun meninggal seperti kasus penganiayaan, pemerkosaan, pebunuhan dll, persoalan tersebut menjadi tidak sederhana. Dalam menghadapi kasus – kasus tersebut di perlukan bantuan ilmu kedokteran, Ilmu kedokteran sangat membantu peradilan dalam usaha untuk memperoleh kebenaran dan kesalahan sehingga dengan bantuan tersebut hakim dapat memutus hukuman yang tepat 1

1

Mawardi Ardi, jurnal, beberapa masalah terhadap kedudukan visum et repertum sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana di pengadilan negeri,(Pangkalan Bun: Fakultas Hukum Universitas Antakusuma, 2012), hal 116

. Karena dibutuhkannya ilmu kedokteran maka dibutuhkan seorang yang ahli dalam kedokteran untuk membantu, memberikan penjelasan atau keterangan bagi para pihak yang menangani kasus yang berkaitan dengan terganggunya kesehatan orang.


(11)

Tugas dokter selain sebagai tenaga medis, juga di tuntut kewajibannnya untuk membantu aparat penegak hukum, pekerjaan yang harus dilakukan ialah memeriksa dan bila perlu merawat orang yang telah mengalami kekerasan, memeriksa mayat dan melakukan otopsi 2

2

Djoko Prakoso, dan I Ketut Murtika, dasar-dasar ilmu kedokteran kehakiman, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal 115

. Perbedaan mendasar antara tujuan ilmu kedokteran forensik dengan kedokteran umum ialah tugas dari kedokteran forensik menentukan hubungan kausal dalam suatu tindak pidana yang menyebabkan kecederaan atau gangguan kesehatan, berbeda dengan kedokteran umum yang lebih sering memeriksa dan mengobati. Kedokteran forensik atau dokter forensik berperan dalam membantu penyidikan bagi kepentingan peradilan atas adanya tindak pidana yaitu membuat

visum et repertum. Pengertian harafiah visum et repertum berasal dari kata “visual” yaitu melihat dan repertum yaitu melaporkan. Berarti “apa yang dilihat dan ditemukan” sehingga visum et repertum merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, mengenai apa yang dilihat dan ditemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan menurut pengetahuan yang sebaik-baiknya. Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam Ilmu Kedokteran Forensik, biasanya dikenal dengan nama

Visum. Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah visa. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata visum atau visa berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan Repertum berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara


(12)

etimologi visum et repertum adalah apa yang dilihat dan diketemukan.3

Tentang kewajiban dokter sebagai ahli atau untuk memberikan keterangan kepada yang berwajib demi keadilan di atur dalam Pasal 179 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :

Pembuatan

visum et repertum di kerjakan sepenuhnya kapada dokter sebagai pelaksana di lapangan untuk membantu hakim menemukan kebenaran materil dalam memutuskan perkara pidana. Dokter dilibatkan untuk turut memberikan pendapatnya berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilki, pendapat tersebut di perlukan karena hakim sebagai pemutus perkara tidak di bekali ilmu tentang tubuh manusia untuk itu di perlukan bantuan dokter untuk memberikan kepastian tentang sebab, cara, dan waktu terhadap sesuatu yang terjadi pada tubuh manusia. Selain itu dokter juga berperan dalam menyampaikan ilmu yang dimiliki di persidangan dalam suatu kasus tindak pidana, untuk menentukan kebenaran material yang sesungguh-sungguhnya. pentingnya peran dokter dalam membantu menyelesaikan perkara pidana maka dokter tersebut harus melaksanakan kewajiban nya sebagai saksi ahli apabila dimintai bantuannya.

(1) Setiap orang yang dminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan bidang keahliannya.

3

Sujadi, visum et repertum pada tahap penyidikan dalam mengungkap tindak pidana

pemerkosaan 2014


(13)

Di dalam Pasal 184 KUHAP juga menyebutkan tentang alat bukti yang sah, termasuk di dalam nya ialah keterangan ahli. Pasal 184 KUHAP :

(1) Alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Jika dilihat dari pasal-pasal tersebut maka peranan keterangan ahli diperlukan dalam setiap tahap proses pemeriksaan, dan tergantung pada perlu tidaknya mereka dilibatkan guna membantu tugas-tugas baik dari penyidik, Jaksa maupun Hakim terhadap suatu perkara pidana, seperti yang banyak terjadi dalam perkara tindak pidana pembunuhan, penganiayaan, tindak pidana kesusilaan dan tindak pidana kealpaan dan lain-lain.

Dikatakan, bahwa keterangan ahli sangat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan seperti tahap penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Keterangan seorang ahli memiliki jaminan akurasi dari hasil pemeriksaan dengan didasari dari pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang keilmuannya sehingga akan menambah data, fakta dan pendapatnya dan hakim dapat menimbang pertimbangan hukumnya atas keterangan ahli tersebut dalam memutus suatu perkara pidana4

4

R. Soeparmono, keterangan ahli & visum et repertum dalam aspek hukum acara pidana, (Bandung: Mandar Maju,2002) hal 2


(14)

Seperti dalam kasus pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Untuk menghilangkannya nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain5

Dalam hal ini jika peradilan dihadapkan dengan kasus yang berhubungan dengan terganggunya kesehatan orang, luka ataupun meninggal, bahkan lagi melihat dari luka atau kematian yang sudah lama atau lampau dan hal tersebut berkaitan untuk menentukan kapan terjadinya tindak pidana tersebut, maka dari hal tersebut bahwa seorang dalam bidang ilmu hukum kurang memahami ataupun mengerti tentang hal yang berkaitan dengan tubuh manusia, untuk itulah pihak yang merupakan bagian yang menangani suatu perkara tindak pidana atau penyidik dapat meminta pendapat dan bantuan dari ahli kedokteran kehakiman atau dari disiplin ilmu pengetahuan lain yaitu seorang yang ahli dalam hal ini di sebut dokter forensik dan wajib untuk memberikan keterangan ahli demi keadilan.

. Di dalam kasus pembunuhan keterangan ahli sangat di perlukan dalam menjelaskan yang terjadi pada korban baik secara tertulis maupun secara lisan.

Alasan inilah yang mendasari penulis untuk membahas tentang “Aspek Hukum Pidana Profesi Kedokteran Kehakiman Sebagai Ahli Berdasarkan Pasal 179 KUHAP” melihat bahwa seorang kedokteran kehakiman atau dokter memiliki peran

5

2014 pukul 15.00 wib


(15)

penting dalam menyelesaikan suatu perkara tindak pidana guna membatu dan memberikan keterangan demi keadilan.

B. Permasalahan

1. Bagaimana pengaturan hukum mengenai profesi dokter dan peranannya sebagai ahli serta hambatannya dalam menjalankan tugasnya?

2. Bagaimana tindak nyata seorang dokter dalam penyelesaian perkara pidana? (studi putusan)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui peranan profesi dokter forensik atau kedokteran kehakiman untuk mengungkapkan suatu peristiwa pidana.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan dokter sebagai ahli dalam penyelesaian perkara pidana.

Manfaat penulisan skripsi ini adalah :

1. Secara teoritis hasil dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan kajian ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran tentang dokter sebagai saksi ahli.

2. Secara praktris hasil dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat digunakan untuk dapat membangun perkembangan dari ilmu forensik sehingga semakin lebih baik lagi ahli-ahli forensik demi tercapainya


(16)

kebenaran materil. Begitu juga skripsi ini dapat berguna bagi pihak pemerintahan, pihak kepolisian, pihak dokter :

a. Bagi pihak pemerintahan supaya dapat meeberikan perhatian khusus dan serius dalam hal penyidikan yang membutuhkan penanganan ahli di dalamnya, sehingga pemerintah dapat lebih terbuka dan memfasilitasi kebutuhan para ahli forensik ini sehingga para ahli forensik dapat bekerja secara maksimal dan optimal dalam membuat suatu analisa penyelidikan bagi korban pelaku tindak pidana.

b. Bagi pihak kepolisian supaya dapat secara intensif bekerjasama dengan para ahli forensik sehingga dapat mengetahui tanggung jawab masing-masing dan batasan-batasan apa saja yang dapat dilakukan sehingga tercapainya penyelidikan yang sesuai dengan hukum acara pidana itu sendiri.

c. Bagi pihak dokter supaya dapat lebih meningkatkan pengetahuannya baik dibidang pendidikan atau keahlian sampai pada bidang hukum yang berlaku sehingga dokter sebagai ahli ataupun pembuat visum dapat mengetahui peraturan yang berlaku di Indonesia yang dimana KUHAP mengatur tentang proses penyidikan hingga persidangan sebagai ahli, selain itu dokter juga mampu mengapresiasikan pengetahuannya sehingga dapat mencapai satu kesimpulan yang nyata tentang peristiwa pidana tersebut.


(17)

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini adalah berdasarkan dari hasil pemikiran penulis sendiri, skripsi ini belum ada yang pernah membuatnya. Dalam skripsi ini penulis mengambil judul “aspek hukum pidana profesi kedokteran kehakiman sebagai ahli berdasarkan Pasal 179 KUHAP”. Dalam penulisan ini penulis mengarahkan pembahasannya kepada dokter yang menjadi ahli dalam persidangan sesuai dengan ilmu pengetahuan yang ia miliki. Di penulisan skripsi ini penulis meneliti tentang profesi dokter sebagai saksi ahli di dalam menyelesaikan suatu perkara pidana. Judul skripsi ini telah terlebih dahulu penulis konfirmasikan kepada Sekretariat Departemen Pidana Universitas Sumatera Utara dan belum ada penulis lain yang mengemukakan judul skripsi ini. Seandainya di kemudian hari terdapat skripsi yang sama maka penulisakan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Pidana dan Hukum Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan atau dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Dalam buku Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman yang berasal dari kata straf,


(18)

merupakan suatu istilah yang konvensional. Sedangkan menurut Moeljatno dalam buku yang sama menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana6

Menurut Andi Hamzah, ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah straf. Istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana.7

Hukum pidana menentukan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang dilakukan. Sanksi itu pada prinsipnya merupakan penambahan penderitaan dengan sengaja. Penambahan penderitaan dengan sengaja ini pula yang menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya.8

Muladi dan Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa pidana (straf) itu pada dasarnya mengandung unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:9

1) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lainnya yang tidak menyenangkan;

2) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

6

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hal 1

7

Andi Hamzah, Asas - Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal 27

8

J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum, (Bandung: Binacipta, 1987), hal 17

9


(19)

3) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Sedangkan hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakansuatu penderitaan atau siksaan.10

Beberapa pendapat pakar hukum Indonesia mengenai Hukum Pidana antara lain sebagai berikut :

Dari definisi tersebut dapat di ambil kesimpulan, bahwa hukum pidana bukanlah suatu hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap norma-norma hukum yang mengenai kepentingan umum.

11

- Moeljatno mengatakan bahwa hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :

a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

10

C.S.T Kansil dan Christine S. T. Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007), hal 3

11


(20)

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disanggka telah melanggar larangan tersebut.

- Satochid Kartanegara mengatakan bahwa Hukum Pidana dapat dipandang dari beberapa sudut, yaitu :

a. Hukum Pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman.

b. Hukum Pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.

- Soedarto, mengatakan bahwa Hukum Pidana merupakan sistem sanksi yang negatif, ia diterapkan jika sarana lain sudah tidak memadai, maka hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi yang subside. Pidana termasuk juga tindakan, bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh orang lain yang dikenai, oleh karena itu, hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan untuk memberikan alasan pembenaran pidana itu.

Berdasarkan pendapat pakar hukum Indonesia mengenai Hukum Pidana maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Pidana adalah sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh negara, yang isinya berupa larangan maupun keharusan sedang bagi pelanggar terhadap larangan dan keharusan tersebut dikenakan sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara.


(21)

2. Pengertian Profesi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan,dsb) tertentu.

Dengan kata lain profesi merupakan pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer, teknik designer, tenaga pendidik. Profesi dapat dikatakan pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya. Daftar karakterstik ini tidak memuat semua karakteristik yang pernah diterapkan pada profesi, juga tidak semua ciri ini berlaku dalam setiap profesi12

1. Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis: Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada

:

dalam praktik.

2. Asosiasi profesional: Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya. khusus untuk menjadi anggotanya.

12


(22)

3. Pendidikan yang ekstensif: Profesi yang prestisius biasanya memerlukan

4. Ujian kompetensi: Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.

5. Pelatihan institutional: Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.

6. Lisensi: Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.

7. Otonomi kerja: Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.

8. Kode etik: Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan. 9. Mengatur diri: Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri

tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi. 10.Layanan publik dan altruisme: Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.


(23)

11.Status dan imbalan yang tinggi: Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi

Berbicara mengenai profesi pada umumnya belum ada ketentuan yang menegaskan apa itu profesi. Dean Rescoe Pound memberikan definisi tentang profesi sebagai berikut : “The word (profecion) refers to a group of men pursuing a learned art a common calling in the spirit of a public service, no less a public service because it my incidentally be a mean of livehood”13

Jadi dalam hal ini Dean Rescoe Pound mengatakan bahwa untuk profesi disyaratkan ada ilmu yang di praktekkan dengan rasa seni untuk kepentingan umum, tidak untuk kepentingan sendiri.

Menurut Satjipto Rahardjo kedokteran di sebut profesi karena mengandung dua unsur yaitu14

1. Menerapkan seperangkat pengetahuan yang tersusun secara sistematis terhadap problem-problem tertentu, dan

:

2. Mempunyai relevansi besar dalam hubungannya dengan nilai-nilai yang di pandang pokok dalam masyarakat.

13

Soemarno P. Wirjanto, Ilmu Hukum Profesi ,(Bandung: Pro Justitia,September 1980),hal 850

14

Satjipto Rahardjo, Relevansi Pendidikan Hukum Untuk Mahasiswa Kedokteran,(Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1981)


(24)

Dari unsur-unsur tersebut yang merupakan syarat bagi suatu profesi maka dapat diketahui bahwa tidak setiap pekerjaan bisa dikatakan sebagai profesi. Karena untuk profesi telah di syaratkan adanya penguasaan ilmu secara sistematis , dengan perkataan lain di syaratkan adanya pendidikan formal sebelum mempunyai kedudukan sentral bagi tugas-tugas profesionalnya.

3. Pengertian Dokter dan Kedokteran Kehakiman

Perkembangan ilmu kedokteran mengungkapkan bahwa kebutuhan manusia akan pertolongan pengobatan adalah setua umat manusia. Pada mulanya, jika seseorang merasa sakit atau mengalami gangguan pada fungsi bagian tubuhnya , selalu mencoba untuk mengetahui apa yang menjadi penyebabnya, dan merasa khawatir akan dirinya ataupun nyawanya. Kekhawatiran tersebut mendorong seseorang untuk mencari pertolongan pengobatan dan meyakini bahwa ada kemungkinan untuk dapat menghilangkan penyakitnya.

Sejarah seorang dokter itu ketika ada seseorang yang dapat dimintai pertolongan untuk mengobati karena di anggap ahli dalam menyembuhkan tubuh manusia dan di sebut tabib. Kehadiran tabib di lingkungan umat manusia untuk meringankan penderitaan orang sakit mulai dilihat sekitar tahun 2500 SM di Mesir Kuno dan Tiongkok15

15

D. Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1989) hal 29

. Pada masa itu, penyakit dianggap sebagai hukuman/kutukan dari dewa atau Tuhan. Jika sakit, mereka akan datang minta pertolongan kepada orang-orang yang dianggap dekat dengan dewa atau Tuhan. Berobat dan bertobat


(25)

merupakan dua tindakan yang seolah-olah berjalan seiring. Oleh karena itu, penyembuhan orang sakit dipercayakan kepada para Imam (Kaum Ulama) atau pendeta. Penyakit di anggap mempunyai sebab-sebab religious yaitu bersangkut-paut dengan dosa, sehingga dengan doa maka korban dapat memperoleh pengampunan dosa yang berakibat sembuhnya penyakit yang diderita seseorang. Itulah sebabnya, kita sering jumpai baik dalam masyarakat yang berkebudayaan maju maupun yang primitive sekalipun seorang pemimpin agama atau Imam sekaligus berfungsi sebagai tabib.

Hermes Trismegistus seorang cendikiawan dan filsuf mengemukakan ajaran bahwa hidup di dunia dipengaruhi oleh sinar-sinar cosmos yang berasal dari bintang. Mulailah orang mempraktekan penyembuhan penyakit berdasarkan ilmu perbintangan (astrologi)16

16

Ibid, hal 30

, yaitu jika seseorang sakit lebih dahulu harus dicari bintangnya, baru kemudian orang itu dapat disembuhkan. Lambat laun orang-orang mulai memisahkan diri dari paham religious. Orang mulai berpikir bahwa ada sebab-sebab penyakit dari luar secara fisik dan usaha penyembuhannya dapat dilakukan dengan cara mengimbangi pengaruh itu. Dengan kata lain, mereka mulai menerima kenyataan bahwa ada pengaruh fisik dari luar yang menyebabkan penyakit dan dengan usaha manusia dapat diimbangi atau di tentang secara fisik juga. Walaupun belum dapat diketahui secara pasti, namun ada beberapa petunjuk manusia mulai sadar bahwa di alam semesta terdapat tenaga-tenaga alamiah yang dapat dianalisis, dan digunakan. Mulailah manusia berilmu (berpengetahuan) meskipun belum terlepas


(26)

dari pengaruh-pengaruh religious. Adanya kesadaran bahwa tidak semua orang berilmu itu sangat dihormati. Timbullah kultus-kultus medis, antara lain Asclepius yang banyak mempunyai pengikut di Yunani dan di Roma.

Perkembangan selanjutnya, orang mulai mengerti bahwa penyakit bersumber dari dalam tubuh itu sendiri, yang di sebabkan oleh suatu gangguan dalam anatomi tubuh. Konsep ini disebut metaphysical. Siapa yang mulai berpikir demikian juga tidak dapat dipastikan sebab di Yunani orang menganggap bahwa Aristoteles (384 SM) dan bukan Hippocrates (469-377 SM) yang mulai berbicara tentang air tubuh17

Hippocrates (469-377 SM) merupakan tokoh paling terkenal dalam kedokteran dan filsafat Yunani, yang kemudian dianggap sebagai Bapak Ilmu

. Menurut argument metaphysical, cairan-cairan yang di bentuk di dalam tubuh manusia oleh penyatuan unsur-unsur tertentu menghasilkan darah, lender (phlegma), empedu hitam dan kuning. Maka setiap percampuran yang salah satu atau berekses satu terhadap yang lain menyebabkan seseorang jatuh sakit. Prinsip ini pada dasarnya sudah di temukan di India dan Tiongkok, walaupun dalam bentuk ajaran yang berbeda. Bahkan waktu itu di Tiongkok mulai di gunakan akupuntur walaupun mungkin didasarkan pada konsep lain dari pada sekarang. Walau sebenarnya prosedur penyembuhan yang telah ditemukan di Mesir, Tiongkok dan India itu pada dasarnya sama dengan prosedur Hippocrates, namun dunia Barat khususnya dan dunia kedokteran dewasa ini pada umumnya menerima metode-metode konsepsional pengobatan melalui pengaruh Yunani.

17


(27)

Kedokteran Modern18

Namun ternyata, periode abad ke lima sampai abad ke Sembilan sesudah masehi membuktikan terjadinya pengulangan pandangan seperti masa sebelum Hippocrates

. Ia mencoba mendekati upaya pengobatan penyakit dari sudut yang lebih rasional dari pada sekedar kepercayaan belaka. Ia juga menentukan diagnosis dengan cara-cara yang sistematis. Ia berusaha membuat pemisahan secara halus antara ilmu kedokteran dan agama, dengan meninggalkan anggapan bahwa penyakit adalah bukti kutukan/hukuman dewa dan menganalisa terjadinya penyakit tanpa menghilangkan pengaruh agama sama sekali. Dengan kata lain, Hippocrates mulai melepaskan penyakit dari sebab-sebab spiritual serta memusatkan seluruh perhatian pada tubuh itu sendiri dengan mempelajari gejala-gejala serta tanda-tanda penyakit; kemudian ia berusaha mencari jalan untuk mengatasi gangguan penyakit itu dengan cara penyembuhan empiris dan rasional.

19

18

Ibid, hal 32

. Pada abad tersebut Lembaga Pendidikan Kedokteran yang berdiri sendiri diambil alih oleh para biarawan. Para pendeta menuliskan pandangan mereka tentang penyakit yang hampir seluruhnya bersifat moralistik. Penyakit dikaitkan kembali dengan dosa dan kutukan. Para pendeta melakukan pengobatan dan menyatakan bahwa dokter mengobati orang sakit hanya dari luar, tetapi tidak terhadap jiwa manusia yang dari dalam nya sudah menderita sakit. Hanya ajaran agama yang sanggup memperbaiki jiwa manusia yang sakit itu. Pandangan yang demikian yang sendirinya meletakkan posisi orang sakit (pasien) di bawah sang pengobat. Pasien di anggap tidak tahu dan tidak perlu tahu tentang sebab-sebab

19


(28)

penyakitnya karena penyakit merupakan kutukan Tuhan. Agar dapat diampuni dan dibebaskan dari penyakitnya, ia harus sepenuhnya tunduk pada perintah pendeta. Tidak perlu tahu apa obat dan ritual yang sedang diusahakan dan mengapa dilakukan demikian. Partisipasi pasien yang boleh dilakukan hanyalah patuh secara mutlak kepada sang pengobat. Kenyataannya pola hubungan tersebut masih dianut oleh para dokter pada posisi “lebih tahu tentang gejala sesuatu yang di derita pasien dari pada pasien”. Hal ini tampak pada sikap dokter dalam hubungan terapi (penyembuhan), antara lain dokter merasa tidak perlu meminta keterangan pasien secara jelas mengenai keluhan-keluhannya, atau bahkan keluhan pasien sama sekali tidak diacuhkan. Padahal dari serangkaian keluhan pasien itu sesungguhnya dapat dihasilkan beberapa diagnosis (penentuan jenis penyakit). Dari diagnosis yang sudah ditetapkan terbuka sederet terapi (penyembuhan) dengan berbagai khasiat dan efek sampingnya.

Namun dewasa ini dokter lebih dipandang sebagai ilmuan yang pengetahuannya sangat diperlukan untuk menyembuhkan berbagai penyakit20

20

Husein kerbala, Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent,(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993) hal 32

. Pada umumnya, masyarakat telah mengetahui apa yang di maksud dengan dokter dan apa yang menjadi tugas dokter di dalam masyarakat. Hal ini berkat usaha pemerintah dalam melaksanakan program kesehatan melalui puskesmas yang tidak dilakukan di kota-kota saja, melainkan sampai ke desa-desa. Sehingga setiap orang mengetahui bahwa apabila ia sakit harus berusaha ke dokter. Namun demikian masarakat pada umumnya tidak mengetahui cara membedakan dokter dan bukan dokter . sehingga


(29)

dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada umumnya memberikan sebutan dokter kepada setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit atau puskesmas, meskipun kenyataannya yang memberikan pelayanan kesehatan itu hanya seorang mantri atau perawat saja. Pandangan yang demikian terhadap dokter pada umumnya dapat kita temui pada masyarakat yang tinggal di desa-desa. Mereka telah mengidentikan dokter dengan setiap orang yang berada di puskesmas atau rumah sakit dan mengenakan pakaian warna putih.

Di dalam peraturan perundang-undangan tentang kesehatan, seperti UU No.9 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Kesehatan, UU No.6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan maupun PP No.20 Tahun 1966 Wajib Simpan Rahasia Kedokteran serta peraturan-peraturan bidang kesehatan lainnya maka tidak ada satupun yang memberikan penjelasan apa yang dimaksud dengan dokter.

Di dalam UU No.6 Tahun 1963 yang merupakan Undang-Undang pelaksana dari Undang-Undang No.9 yang merupakan Undang-Undang pokok, maka pada pasal 2 disebutkan bahwa21

Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan dalam Undang-Undang ini, adalah: :

A. Tenaga Kesehatan Sarjana, yaitu: a. Dokter;

b. Dokter Gigi; c. Apoteker.

21


(30)

B. Tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah: a. Di bidang farmasi: asisten apoteker, dsb

b. Di bidang kebidanan: bidan, dsb

c. Di bidang keperawatan: perawat, fisioterapis, dsb

d. Di bidang kesehatan masyrakat: penilik kesehatan, nutrisionis, dll e. Di bidang kesehatan lain.

Yang di sebutkan dalam Pasal 2 tersebut adalah subjek dalam hukum kesehatan. Di samping mereka ada subjek hukum lainnya yaitu mereka yang menerima pelayanan kesehatan yang biasa di sebut dengan pasien.

Dari perumusan Pasal 2 tersebut nyata bahwa pasal itu tidak memberikan pengertian tentang dokter. Hal ini kiranya dapat dimengerti karena dengan di keluarkan nya undang-undang bukanlah bermaksud untuk mendefinisikan atau merinci suatu hal atau subjek tertentu, melainkan untuk menetapkan ketentuan-ketentuan dasar sesuai dengan yang diinginkan oleh undang-undang tenaga kesehatan yaitu hanya menentukan ketentuan-ketentuan dasar dari tenaga-tenaga kesehatan termasuk dokter di dalamnya sebagai tenaga kesehatan sarjana.

Tidak adanya rumusan dari perundang-undangan bidang kesehatan tentang pengertian dokter, maka pengertian dokter itu kiranya dapat di simpulkan dari perumusan pasal 3 UU No.6 Tahun 1963 bahwa dokter sebagai tenaga kesehatan adalah orang yang berpendidikan dan berpengetahuan khusus, yang bersangkutan


(31)

memiliki ijazah dokter baik dari dalam maupun luar negeri yang sederajat dengan universitas negeri menurut peraturan yang berlaku.

Menurut Pasal 5 Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan bahwa untuk melakukan tugas pekerjaan sebagai dokter maka harus mendapat izin terlebih dahulu dari Menteri Kesehatan. Dengan demikian Menteri Kesehatan dapat mengetahui tenaga kesehatan dokter dimana pun mereka bekerja22

Selanjutnya dalam menjalankan profesinya maka kita dapat membedakan dokter atas: .

a. Dokter umum; b. Dokter spesialis.

Pengertian dokter umum dan dokter spesialis tidak akan ditemukan dalam Undang-Undang No.6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan maupun dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 561/Men.Kes/Per/X/1981 tentang Pemberian izin menjalankan pekerjaan dan izin praktek bagi dokter spesialis. Namun demikian pengertian dokter umum dapat dirumuskan sebagai seorang yang menjalani pendidikan di suatu fakultas kedokteran serta mendapat ijazah menurut peraturan yang berlaku.

Sedangkan dokter spesialis adalah seorang yang telah memenuhi seluruh tuntutan di suatu fakultas kedokteran kemudian ia melanjutkan pendidikan spesialisasi tertentu dan telah memperoleh ijazah atau sertifikat untuk bidang spesialisasinya itu.

22


(32)

Ilmu kedokteran kehakiman merupakan cabang ilmu kedokteran yang menerapkan pengetahuan kedokteran untuk pihak pengadilan dalam memutus suatu perkara23

Ilmu kedokteran kehakiman atau ilmu kedokteran forensik merupakan terjemahan yang sama untuk Gerechtelijke Geneeskunde di masa prakemerdekaan Indonesia maupun di negeri Belanda. Dalam bahasa Jerman disebut Gerichtliche Medizin maupun Forensische Medizin, dalam bahasa inggris di sebut Medical Jurisprudence, Medico-Legal, Legal Medicine yang semuanya di artikan sebagai ilmu kedokteran forensik atau ilmu kedokteran kehakiman. Istilah – istilah tersebut merupakan kata lain untuk Forensic Medicine sebagai suatu cabang ilmu kedokteran terapan demi kepentingan peradilan. Ilmu kedokteran forensik harus di bedakan dengan ilmu hukum kedokteran (Medical Law), sebab hukum kedokteran adalah aturan hukum yang mengatur semua aspek yang berkaitan dengan praktek kedokteran atau Law regulating the practice of medicine

. Istilah ilmu kedokteran kehakiman dan ilmu kedokteran forensik dalam pengertiannya sama. Akan tetapi dekade akhir ini semua institusi kedokteran maupun para spesialis forensik menggunakan istilah kedokteran forensik. Maka selanjutnya kedokteran kehakiman memakai istilah kedokteran forensik.

24

Ilmu kedokteran forensik atau forensic Medicine merupakan ilmu yang mempelajari penerapan ilmu kedokteran untuk kepentingan peradilan. Menurut Dr Amri Amir, ilmu kedokteran kehakiman adalah ilmu yang menggunakan pengetahuan

.

23

Alfred C. Satyo, Sejarah Ilmu Kedokteran Forensik,(Medan: UPT Penerbitan dan Percetakan USU, 2004)

24


(33)

ilmu kedokteran untuk kepentingan hukum dan peradilan25

Mengenai ruang lingkup dan cakupan kedokteran kehakiman yaitu menangani pemeriksaan tubuh korban, baik yang masih hidup maupun sudah mati serta dengan keadaan jenis perseorang.

. Dengan definisi tersebut maka sebetulnya ilmu kedokteran forensik tetap merupakan disiplin ilmu kedokteran walaupun aplikasinya bukan untuk kepentingan yang berkaitan dengan masalah-masalah kesehatan ataupun kedokteran, melainkan untuk kepentingan penegakan hukum.

26

Mengenai sejarah kedokteran kehakiman atau kedokteran forensik melihat dari beberapa kejahatan yang terjadi di muka bumi ini

Dengan demikian dapat di pahami pemeriksaan utama yang dilakukan oleh bagian ilmu kedokteran kehakiman adalah bedah mayat. Sedangkan dokter pada umumnya ialah sebagai tenaga medis dan melaksanakan program kesehatan.

27

25

Berlin Nainggolan,Jurnal,fungsi kedokteran kehakiman sebagai saksi ahli dalam upaya penegakan hukum,(Medan: Universitas Sumatera Utara,1999) hal 1

. Seperti mencuri, menipu, menyakiti, memperkosa dan bahkan membunuh. Perbuatan jahat yang dapat menimbulkan kerugian, penderitaan serta kematian itu juga dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang dapat merusak keamanan dan kedamaian di dalam masyarakat. Oleh sebab itu harus di berantas melalui upaya yang bersifat represif atau preventif. Dalam rangka melakukan upaya represif itulah mereka membentuk badan-badan yang ditugasi untuk menangkap, mengadili serta menghukum orang-orang yang bersalah. Hanya saja, badan peradilan yang ada pada

26

Ibid, hal 4

27


(34)

masa itu tidak seperti apa yang dapat dilihat sekarang. Apa yang dahulu dinamakan Hakim tidak seperti Hakim sekarang ini yang tugasnya hanya mengadili. Hakim pada zaman dahulu tugasnya amat menyeluruh, mulai dari tugas menyelidiki, menyidik, menuntut, mengadili perkara sampai pada tugas melaksanakan hukuman.

Selain itu, cara pembuktiannya pun masih didasarkan pada pemikiran yang kadang-kadang tidak rasional serta dipengaruhi oleh takhayul. “trial by ordeal”

misalnya merupakan salah satu contoh bagaimana badan peradilan pada masa itu mengadili perkara secara tidak rasional dengan menyuruh orang – orang yang dituduh bersalah untuk berjalan di atas bara api (judicia ignis), masuk ke dalam kolam berisi air (judicia aquae) atau menyuruh makan makanan yang sudah di beri mantra-mantra (judicia offae). Apabila mereka selamat setelah menjalani proses peradilian seperti itu maka kesalahan mereka tidak terbukti dan sebaliknya jika mereka menderita luka-luka atau mati karenanya. Sistem peradilan seperti itu didasarkan pada konsep Judicia Dei (peradilan Tuhan), bahwa orang-orang yang tidak bersalah pasti akan ditolong oleh Tuhan ketika menjalani proses peradilan28

Seiring dengan perkembangan zaman, konsep Judicia Dei (peradilan Tuhan) yang tidak rasional mulai di tinggalkan dan diganti dengan sistem pembuktian berdasarkan pengakuan

.

29

28

Ibid

. Namun, proses peradilan hanya terpusatkan pada upaya mengorek pengakuan saja. Untuk itu tidak jarang digunakan siksaan fisik yang tidak saja dapat menimbulkan kecacatan atau kematian, tetapi juga dapat mengakibatkan

29


(35)

orang mengakui kesalahan yang tidak pernah dilakukan nya. Oleh sebab itulah kemudian para penegak hukum menggantikannya lagi dengan sistem peradilan berdasarkan sumpah, bahwa terdakwa bersedia menerima laknat Tuhan jika keterangannya tidak betul. Dengan tekanan yang bersifat psikis itu maka diharapkan mereka mau memberikan keterangan dengan jujur. Perkembangan selanjutnya dari upaya manusia untuk menentukan kesalahan seseorang ialah tidak lagi dipusatkan pada upaya menggarap terdakwa saja, melainkan sudah mulai ditambah dengan memanfaatkan saksi. Dengan tambahan keterangan dari saksi sebagai orang yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri peristiwa pidana maka diharapkan keputusan yang diambil oleh hakim akan menjadi lebih adil. Namun kekurangannya ialah bahwa saksi dapat berdusta karena di ancam atau dibayar, lupa atau kurang pandai menceritakan kembali hal-hal yang pernah dilihatnya. Selain itu,saksi korban mempunyai kecendrungan untuk mendramatisasi agar pelaku dihukum berat.

Pada akhirnya para penegak hukum sadar bahwa selama berabad-abad telah melupakan peranan barang bukti yang hampir selalu ada pada setiap kejahatan. Padahal barang bukti tersebut dapat memberikan petunjuk yang bermanfaat bagi penyelesaian perkara. Masalahnya adalah siapa yang harus menganalisa barang bukti yang beraneka ragam jenisnya mengingat para penegak hukum tidak mengusai segala macam ilmu pengetahuan dan ketrampilan yang dapat digunakan untuk itu. Dari sinilah kemudian timbul pemikiran untuk memanfaatkan para ahli untuk menerangkan dari hal apa yang di ketahui.


(36)

Ilmu kedokteran forensik sudah dirintis sejak beribu-ribu tahun sebelum masehi30

Dalam kedokteran forensik otopsi merupakan bagian penting dan hal tersebut telah dilakukan jauh sebelum masehi, meskipun kaitannya secara langsung dengan kepentingan peradilan belum terlihat jelas. Otopsi untuk kepentingan peradilan baru terlihat jelas ketika Kaisar Julius terbunuh oleh anggota-anggota senat Kerajaan Romawi

. Pada waktu itu orang-orang di negara China sudah mampu menerangkan tentang efek racun terhadap tubuh manusia sejak 3000 tahun sebelum masehi. Begitu pula orang-orang di negara Mesir. Ahli-ahli kedokteran Mesir bahkan sudah dapat menerangkan tentang luka tusuk serta menerangkan bagaimana melakukan diagnosis patah tulang tengkorak yang tidak disertai luka-luka pada kulit kepala. Pada zaman itu Mesir juga terkenal sebagai negeri yang sudah mempunyai peraturan tentang praktek kedokteran.

31

30

Surjit Singh, Op.Cit, hal 6

. Pada waktu itu Dokter Antistius yang diminta untuk melakukan pemeriksan jenazah menyatakan bahwa dari 23 luka yang ditemukan pada tubuh kaisar tersebut hanya luka yang menembus jantungnya saja yang menyebabkan kematian. Oleh banyak peneliti, kasus tersebut diklain sebagi kasus hukum pertama yang diselesaikan dengan memanfaatkan ilmu kedokteran. Setelah itu pelaksanaan otopsi mengalami kemunduran, tetapi pada zaman Renaissane mulai meningkat kembali. Peningkatan ini tidak hanya membawa peningkatan di bidang kedokteran saja tetapi juga ilmu kedokteran forensik. Sesudah abad 16 Ambroise Pare yang bekerja sebagai ahli bedah militer di Prancis dengan sistematik mempelajari efek

31


(37)

trauma yang mematikan pada organ dalam dan dua orang ahli bedah dari italia, Fortunato Fidelis dan Paolo Zazzhia, yang melakukan penelitian dan di dokumentasikan dengan baik. Dari sinilah ilmu kedokteran forensik dipelajari secara sungguh sungguh serta di tempatkan menurut posisinya. Dengan kemajuan dibidang ilmu kedokteran forensik telah memberikan dampak positif dalam tindakan yang represif terhadap kejahatan.

Dilihat dari fungsinya, ilmu kedokteran forensik yang dikelompokkan ke dalam ilmu-ilmu forensik (forensic sciences): seperti misalnya ilmu kimia forensik, ilmu fisika forensik, ilmu kedokteran gigi forensik, ilmu psikiatri forensik, balistik, daktiloskopi dan sebagainya. Bahkan ilmu kedokteran forensik sering di sebut “the mother of forensic science” mengingat perannya yang sangat menonjol di antara ilmu-ilmu forensik yang ada dalam hal membantu proses peradilan. Fungsi utama ilmu-ilmu forensik tersebut, termasuk ilmu kedokteran forensik ialah 32

1. Membantu penegakan hukum menentukan apakah suatu peristiwa yang sedang diselidiki merupakan peristiwa pidana atau bukan.

:

2. Membantu penegak hukum mengetahui bagaimana proses tindak pidana tersebut, meliputi :

a. Kapan dilakukan b. Dimana dilakukan c. Dengan apa dilakukan

d. Bagaimana cara melakukannya

32


(38)

e. Apa akibatnya

3. Membantu penegak hukum mengetahui identitas korban.

4. Membantu penegak hukum mengetahui identitas pelaku tindak pidana.

Fungsi yang pertama, tentunya sangat berguna pada tingkat penyelidikan perkara pidana, sedangkan 3 fungsi yang terakhir amat berguna pada tingkat penyidikan.

Bagi setiap dokter yang bekerja di Indonesia tentunya perlu memahami ilmu kedokteran forensik lebih dulu agar tidak menemui kesulitan dalam menerapkan ilmu kedokteran yang dimilikinya untuk kepentingan peradilan. Perlu diketahui bahwa hukum acara pidana yang berlaku disini memungkinkan setiap dokter sewaktu-waktu dapat diminta bantuannya oleh penegak hukum untuk membuat terang perkara-perkara pidana. Tugas keforensikan yang melekat pada diri setiap dokter itu wajib dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan benar sebab nasib seseorang tergantung padanya. Korban tindak pidana harus mendapatkan balasan yang setimpal. Di samping itu, tidak boleh ada proses peradilan yang akan menyengsarakan orang-orang yang tidak bersalah.

Dengan mempelajari ilmu kedokteran forensik maka diharapkan para dokter :

1. Menyadari betapa pentingnya peranan mereka di dalam proses peradilan pidana.


(39)

3. Memahami segala ketentuan yang berkaitan dengan tugas keforensikan, meliputi: kewanangan, hak, kewajiban serta sanksinya.

4. Mampu melakukan berbagai macam pemeriksaan forensik

5. Mampu memberikan keterangan yang relevan dengan jenis kasusnya sehingga perkaranya menjadi jelas.

6. Mengerti cara-cara menyampaikan keterangannya sesuai ketentuan yang berlaku sehingga keterangan nya memiliki daya bukti di siding pengadilan.

Selain dokter penegak hukum yang terlibat dalam proses peradilan juga perlu mempelajari ilmu kedokteran forensik yang berguna untuk :

1. Menyadari pentingnya bantuan ilmu kedokteran bagi penyelesaian suatu perkara.

2. Mengerti pada kasus-kasus yang bagaimana bantuan ilmu kedokteran diperlukan.

3. Mengerti maksud dan tujuan meminta bantuan.

4. Memahami segala ketentuan yang berkaitan dengan tatalaksana meminta bantuan, kewenangan, kewajiban serta haknya.

5. Mengerti dasar-dasar pemeriksaan forensik.

6. Memahami fungsi keterangan dokter bagi penegakan hukum.

7. Mengerti batas-batas kemampuan dokter di dalam membantu proses peradilan.


(40)

Dengan pemahaman yang memadai akan ilmu kedokteran forensik antara dokter sebagai pemberi bantuan dan penegak hukum sebagai pengguna bantuan maka di harapkan proses peradilan pidana yang mendasarkan pada kebenaran materil akan dapat terlaksana sesuai harapan sesuai harapan semua pihak.

4. Pengertian Keterangan Ahli

Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana selanjutnya di sebut KUHAP pada Pasal 1 butir 28 keterangan ahli adalah keterangan yang di berikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sejak berlakunya KUHAP maka ketentuan perihal macam-macam alat bukti yang sah tentang pembuktian dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan menjadi lebih lengkap, yaitu dengan dimasukannya secara tegas alat bukti “keterangan ahli” di dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b.

Dasar-dasar hukum tentang peranan keterangan ahli (pakar) itu bagi kelengkapan alat bukti dalam berkas perkara Pro Yustisia dan pemeriksaan di sidang pengadilan, sangat membantu dalam usaha untuk menambah keyakinan Hakim dalam hal mengambil keputusan33

Dalam pasal 179 angka 1 KUHAP dapat dikategorikan dua kelompok ahli, yaitu ahli kedokteran dan ahli-ahli lainnya.

.

33

R. Soeparmono, Keterangan Ahli & Visum et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana,(Bandung: Mandar Maju,2002) hal 110


(41)

Syarat sahnya keterangan ahli yaitu :

1. Keterangan di berikan kepada ahli

2. Memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu 3. Menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya 5. Diberikan dibawah sumpah.

Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1. Dengan cara meminta keterangan ahli pada taraf penyidikan sebagaimana Pasal 133 KUHAP yaitu :

1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu di sebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaanmayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

3. Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus di perlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan di beri label yang


(42)

memuat identitas mayat, dilak dengan di beri cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.

Menurut pasal ini keterangan ahli diberikan secara tertulis menurut surat. Atas permintaan ini ahli menerangkan hasil pemeriksaannya dalam bentuk laporan.

2. Keterangan ahli diberikan secara lisan dan langsung di pengadilan (Pasal 179 dan Pasal 186 KUHAP). Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai keterangan ahli sama dengan nilai kekuatan yang melekat pada bukti keterangan saksi namun penilaian hakilm harus benar-benar bertanggung jawab atas landasan moril demi terwujudnya kebenaran materil.

Peranan keterangan ahli di perlukan di dalam setiap tahap proses pemeriksaan, hal itu tergantung pada perlu tidaknya mereka dilibatkan guna membantu tugas-tugas baik dari Penyidik, Jaksa maupun Hakim terhadap suatu perkara pidana, seperti yang banyak terjadi dalam perkara tindak pidana pembunuhan, penganiyaan, tindak pidana kesusilaan dan tindak pidana kealpaan dll.

Keterangan ahli di perlukan dalam tahapan pemeriksaan oleh karena ia di perlukan baik dalam tahap penyidikan, tahap penuntutan maupun tahap pemeriksaan di sidang Pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas keterangan ahli atau para ahli yang di dasari pengetahuan dan pengalamannya dalam


(43)

bidang-bidang keilmuannya maka akan dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh Hakim dalam menimbang-menimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang bersangkutan.

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian hukum yang digunakan penulis dalam mengerjakan skripsi ini meliputi :

1. Spesifikasi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan permasalahan dalam skripsi ini dan melakukan analisis terhadap putusan pengadilan untuk melihat penerapannya dalam praktek.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan di dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet, putusan pengadilan dan bahan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode library research (penelitian kepustakaan), yakni dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet dan mempelajari serta menganalisis putusan dan di gunakan juga


(44)

metode field research (penelitian lapangan) dengan melakukan wawancara dengan narasumber yang di perlukan.

4. Analisis Data

Data sekunder dan data primer yang di peroleh kemudian dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini, yaitu data yang diperoleh dari lapangan dianalisis secara utuh dan menyeluruh.

G. Sistematika Penulisan

untuk mempermudah dan membantu pembaca untuk memahami skripsi ini, penulis akan menguraikan secara singkat gambaran isi dan sistematik penulisan skripsi ini. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis membaginya dalam 4 (empat) bab, dimana tiap-tiap bab dibagi lagi atau pembagian sub bab. Maksud dari pembagian sub bab ini adalah untuk mempermudah penulis dalam menguraikan permasalahan secara teoritis hingga akhirnya diperoleh kesimpulan dan saran. Gambaran isi keempat bab skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang penulis dalam penulisan skripsi ini dengan judul “Aspek Hukum Pidana Profesi Kedokteran Kehakiman Sebagai Ahli Berdasarkan Pasal 179 KUHAP”. Tentang tugas dokter dalam memberikan pendapatnya berdasarkan ilmu pengetahuan yang dimilki, menyampaikan keahlian nya dalam suatu persidangan dalam suatu kasus tindak pidana, untuk menentukan kebenaran material yang sesungguh-sungguhnya, pentingnya peran dokter dalam membantu menyelesaikan perkara pidana maka dokter


(45)

tersebut harus melaksanakan kewajiban nya sebagai saksi ahli apabila dimintai bantuannya, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang membahas latar belakang dokter dan dokter forensik, kemudian metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II :Pengaturan Hukum Mengenai Profesi Dokter Kehakiman dan Perananannya Sebagai Ahli Serta Hambatannya Dalam Menjalankan Tugasnya

Bab ini membahas mengenai pengaturan hukum bagi dokter, melihat dari kode etik seorang dokter serta Pasal dalam KUHAP yang menyangkut tentang dokter sebagai ahli. Di dalam bab ini juga membahas tentang permintaan bantuan dokter sebagai ahli untuk menyampaikan keterangan terhadap suatu teori ataupun objek yang di periksanya atau dengan kata lain menyampaikan pengetahuan yang di ketahui oleh dokter tersebut guna membantu dalam menyelesaikan suatu perkara pidana, juga membahas tentang kewajiban dan hambatan dokter sebagai ahli.

BAB III : Tindak nyata Seorang Dokter Dalam Penyelesaian perkara Tindak Pidana

Bab ini menganalisa kasus penganiayaan dari Putusan No 1498/Pid.B/2012/PN.LP.PB dan memberikan uraian singkat tentang kasus tersebut. Proses seorang dokter dalam melakukan tugasnya sebagai ahli hingga proses persidangan.


(46)

BAB IV : Kesimpulan dan Saran

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran, dimana dalam bab ini penulis mengemukakan hal-hal yang dianggap penting dari pembahasan tentang permasalahan yang ada di dalam skripsi ini, kemudian penulis memberikan saran-saran yang dianggap perlu dengan materi skripsi ini.


(47)

BAB II

PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER

SEBAGAI AHLI

A. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pasal Terkait Tentang Ahli

Sebelum akhirnya seorang seorang dokter mengamalkan profesi nya atau melakukan tugas nya sebagai dokter, ada hal yang harus di perhatikan ialah Kode Etik Kedokteran Indonesia34

Kewajiban yang pertama ialah Kewajiban Umum seorang dokter. Pada bagian ini di sampaikan bahwa dokter harus menjujung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter. Sumpah dokter di Indonesia telah diakui dalam PP No. 26 Tahun 1960. Lafal ini terus di sempurnakan sesuai dengan dinamika perkembangan internal dan eksternal profesi kedokteran baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Penyempurnaan di lakukan pada Musyawarah Kerja Nasional . Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia No. 221/PB/A.4/2002 tertanggal 19 April 2002 telah membuat keputusan PB IDI tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Dengan adanya Penetapan Kode Etik Indonesia dan Penerapan Kode Etik Indonesia ini para dokter yang menjalankan profesi kedokterannya telah di beri pedoman baku. Keharusan mengamalkan Kode Etik disebutkan dalam lafal sumpah dokter yang di dasarkan PP No 26 Tahun 1960. Rumusan Kode Etik Kedokteran Indonesia yang di uraikan dalam beberapa bagian mengenai kewajiban-kewajiban seorang dokter.

34

Alfred C. Satyo, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dan Profesi Dokter,(Medan: UPT. Penerbitam dan Percetakan USU (USU Press), 2004),hal 263


(48)

Etik Kedokteran II, tahun 1981, pada Rapat Kerja Nasional Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dan Majelis Pembinaan Dan Pembelaan Anggota (MP2A), tahun 1993, dan pada Musyawarah Kerja Nasional Etik Kedokteran III, tahun 200135

Isi dari sumpah dokter tersebut ialah .

36

Demi Allah saya bersumpah, bahwa :

:

1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan 2. Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan

bersusila, sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.

3. Saya akan memelihara sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan kedokteran.

4. Saya akan

5. merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya. 6. Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kedokteran saya untuk

sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam. 7. Saya akan menghormati setiap hidup insani dari saat pembuahan.

8. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.

9. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan,

35

Alfred C. Satyo, Ibid, hal 268

36


(49)

gender, politik, kedudukan social dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien.

10.Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya.

11.Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara sekandung. 12.Saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia. 13.Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan

mempertaruhkan diri saya.

Pengambilan sumpah dokter merupakan saat yang sangat penting artinya bagi seorang dokter, karena pada kesempatan ini ia berikrar bahwa dalam mengamalkan profesinya, ia akan selalu mendasarinya dengan kesanggupan yang telah diucapkannya sebagai sumpah. Oleh karena itu upacara pengambilan sumpah hendaknya dilaksankan dalam suasana yang hikmat. Suasana hikmat dapat diwujudkan bila upacara pengambilan sumpah dilaksanakan secara khusus, mendahului acara pelantikan dokter.

Untuk yang beragama Islam diawali dengan “Demi Allah saya bersumpah”, untuk penganut agama lain mengucapkan lafal yang diharuskan sesuai yang ditentukan oleh agama masing-masing. Seperti yang beragama Kristen mengganti kata sumpah dengan kata janji. Sesudah itu lafal sumpah di ucapkan secara bersama-sama.


(50)

Selain mengenai sumpah dokter pada bagian kewajiban umum ini mengatur dokter untuk menjalankan profesi nya dengan standar yang tertinggi, bersikap jujur, dan Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. Setiap tindakan yang dilakukan dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan aspek pelayanan kesehatan dan mengabdi pada masyarakat dan juga setiap dokter harus memebri keterangan atau pendapat yang dapat di buktikan kebenarannya

Kewajiban yang kedua ialah mengenai kewajiban dokter terhadap pasien37

Kewajiban yang ketiga ialah mengenai kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya

. Di dalam bagian ini dokter di tuntut harus bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Selain itu setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia dan setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

38

37

Alfred C. Satyo, Ibid, hal 265

. Dalam bagian ini setiap dokter harus memperlakukan teman sesama dokter atau teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin di perlakukan dan setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawatnya, kecuali dengan persetujuan dan berdasarkan prosedur yang etis.

38


(51)

Kewajiban yang berikutnya ialah kewajiban dokter terhadap dirinya sendiri39

Kode Etik Kedokteran Indonesia di buat untuk mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokterannya sehungga mengatur kewajiban dokter secara umum, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri. Hal tersebutlah yang mengatur profesi kedokteran dalam menjalankan tugas nya.

. Di dalam bagian ini dokter juga di tuntut untuk harus menjaga kesehataanya supaya dapat bekerja dengan baik dan setiap dokter juga harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.

Selain dari Kode Etik Kedokteran Indonesia bagi dokter, ada juga aturan atau ketentuan hukum yang mengatur seorang dokter atau lebih tepatnya dalam hal ini dokter ahli atau kedokteran forensik sebagai ahli sehingga dapat menyadari keterlibatan dalam membantu penegak hukum dan memahami ketentuan hukum yang berhubungan dengan bantuan yang di berikan dokter forensik. Pasal yang mengatur ketentuan hukum yang berkaitan dengan permintaan bantuan dokter kepada penegak hukum.

Dimulai dari hal yang berhak meminta bantuan dokter ahli. Penyidik merupakan pihak yang dapat meminta bantuan dokter ahli40

39

Alfred C. Satyo, Ibid, hal 267

. Menurut Pasal 6 KUHAP Peyidik ialah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Dalam hal

40

Paper Rita Mawarni, bab II tentang beberapa ketentuan hukum yang berhubungan dengan bidang ilmu kedokteran kehakiman, 2013, hal 12


(52)

ini Penyidik memiliki kewenangan untuk mendatangkan orang ahli yang di perlukan dan di periksa sebagai tersangka perkara seperti yang tertuang dalam Pasal 7 KUHAP huruf h. Untuk kalangan kesehatan yang perlu di perhatikan adalah tentang ketentuan dalan huruf (h) tersebut. Ketika dalam kasus yang di tangani oleh penyidik tersebut, penyidik mengalami kesulitan dan perlu untuk menemukan bukti yang kuat maka ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus meurut Pasal 120 KUHAP. Seperti dalam hal penyidik kesulitan mengenai yang terjadi pada kesehatan atau yang terjadi pada korban maka ia dapat meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus seperti Dokter Forensik. Ahli atau Dokter Forensik yang diminta tersebut harus mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta. Berdasarkan Pasal 180 KUHAP jika di dalam persidangan ada hal yang diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, maka Hakim Ketua Sidang dapat meminta keterangan ahli untuk datang di sidang pengadilan melalui penyidik.

Setelah pihak yang berhak meminta batuan dokter forrensik maka selanjutnya ialah wewenang penyidik dalam meminta batuan dokter41

41

Paper Rita Mawarni, Ibid, hal 13

. Penyidik berwenang dalam melakukan atau mengajukan permintaan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter lainnya. Dalam hal ini penyidik untuk kepentingan peradilan


(53)

dalam menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana maka ia dapat mengajukan permintaan keterangan ahli. permintaan keterangan ahli dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu di sebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat, hal mengenai permintaan keterangan ahli ini diatur dalam Pasal 133 KUHAP.

Di dalam hal pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah mayat tidak boleh langsung dilakukan pemeriksaannya. Penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban seperti yang di atur dalam Pasal 134 KUHAP. Penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut, jika dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang diberi tahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan pemeriksaan mayat atau pemeriksaacn bedah mayat.

Selanjutnya ialah ketentuan hukum mengenai peran dokter dalam sidang pengadilan42

42

Paper Rita Mawarni, Ibid, hal 15

. Seorang ahli dalam hal ini dokter forensik wajib bersumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangan ahli sesuai dengan Pasal 160 ayat 4 KUHAP, jika seorang ahli menolak untuk bersumpah maka ia akan di sandera di rumah tahanan negara paling lama empat belas hari dan pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan. Jika dalam hal tenggang waktu penyanderaan ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Dokter forensik atau dokter


(54)

ahli wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan jika dimintai pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman, dan dokter ahli bersumpah atau berjanji untuk memberikan keterangan dengan sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan bidang keahliannya seperti yang di sampaikan dalam Pasal 179 KUHAP.

Keterangan ahli merupakan salah satu bagian dari lima alat bukti. Hakim didalam menjatuhkan pidana kepada tersangka haruslah memenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim, merujuk pada Pasal 183 dan 184 KUHAP. Keterangan dokter ahli atau dokter forensik dapat mendukung atau membantu meyakinkan hakim untuk menjatuhkan pidana kepada seorang tersangka.

Menurut Pasal 186 KUHAP keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang di berikan oleh dokter forensik disebut keterangan ahlli sedangkan keterangan yang di berikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan43

Ketentuan hukum yang berikutnya ialah sanksi hukum terhadap yang menghalang-halangi atau menolak untuk memberikan bantuan

. Setiap ahli yang di panggil ke persidangan dan ahli tersebut memenuhi panggilan tersebut dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti yang di tuliskan dalam Pasal 229 KUHAP.

44

43

Paper Rita Mawarni, Ibid, hal 14

. Jika dalam proses

44


(55)

penyidikan terhadap mayat korban, ada orang atau pihak yang mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik maka orang atau pihak tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, berdasarkan pada Pasal 222 KUHP dan Barang siapa yang dipanggil sebagai saksi ahli namun dengan sengaja saksi ahli tersebut tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, maka saksi ahli tersebut akan di ancam dengan hukuman pidana penjara paling lama sembilan bulan bagi perkara pidana, sedangkan dalam perkara bukan pidana akan di penjara paling lama enam bulan, hal tersebut berdasarkan Pasal 224 KUHP.

Dari beberapa hal diatas mengenai ketentuan hukum yang mengatur seorang dokter sebagai ahli atau dokter forensik menjelaskan bahwa profesi kedokteran forensik sangat di butuhkan dalam menyelesaikan suatu perkara tindak pidana. Pengetahuan yang dimiliki seorang dokter forensik membatu agar pelaksanaan bantuan hukum dapat berjalan dengan baik, fakta-fakta yang penting dalam mencari kebenaran.

B. Permintaan Bantuan Dokter Ahli Dan Peran Dokter Ahli

Seseorang tidak dapat di jatuhi hukuman pidana kecuali apabila ada sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah dan oleh keyakinan hakim, sesuai dengan apa yang di sebutkan dalam Pasal 183 KUHAP, bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti


(56)

yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa45

1. Untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang terdakwa diperlukan keyakinan hakim.

:

2. Keyakinan hakim tersebut harus timbul dari alat bukti. Keyakinan yang timbul karena hal-hal lain (misalnya tampang, gerak-gerik atau riwat yang jelek dari terdakwa) bukan merupakan keyakinan yang dikehendaki oleh undang-undang. Oleh karenanya keyakinan yang demikian ini mungkin lebih tepatnya disebut petunjuk, tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk memidanakan seseorang.

3. Jumlah minimal alat bukti yang dapat dipakai untuk membentuk keyakinan Hakim ialah dua buah. Dalam hal ini menjadi tugas penyidik dalam penyidikan dan Jaksa Penuntut Umum untuk membawa alat bukti yang di perlukan di sidang pengadilan. Alat bukti antara lain apa yang telah di sebutkan ialah, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa, sesuai dengan Pasal 184 KUHAP.

Dalam hal ini penulis membahas alat bukti mengenai dokter kehakiman sebagai ahli dalam menyelesaikan suatu perkara pidana. Ada beberapa ketentuan tentang tata-laksana dalam permintaan dokter sebagai ahli.

45

Alfred C. Satyo , Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Medan: buku 3 bacaan wajib mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara, 1990) hal 28


(57)

1. Tata-Laksana Permintaan Bantuan Dokter

Ketentuan tentang tata-laksana bantuan dokter sebagai ahli tidak hanya dapat di temukan pada pasal - pasal dari KUHAP yang mengatur tentang ahli, tetapi juga pada pasal-pasal yang mengatur tentang saksi. Hal ini sesuai denga bunyi Pasal 179 KUHAP, yang menyatakan bahwa segala ketentuan yang berlaku bagi saksi juga berlaku bagi ahli. Selain itu, ketentuan tentang tata - laksana bantuan dokter sebagai ahli juga dapat ditemukan dalam peraturan pemerintah No 27 tahun 1983. Tata-laksana tersebut meliputi46

1. Waktu pengajuan permintaan (kapan permintaan dokter dapat diajukan). :

2. Pejabat yang berhak mengajukan permintaan (siapa yang berhak meminta bantuan dokter).

3. Cara mengajukan permintaan bantuan dokter. 4. Dokter yang dapat dimintai bantuan nya. 5. Cara dokter menyampaikan keterangannya.

1. Kapan permintaan dokter dapat diajukan.

Sebagaimana diketahui bahwa proses peradilan dari suatu tindak pidana dibagi menjadi berbagai tingkat. Dari berbagai tingkat itu maka permintaan bantuan dokter sebagai ahli hanya dapat diajukan pada tingkat :

1. Penyidikan

2. Penyidikan tambahan

46


(58)

Penyidikan tambahan adalah penyidikan yang dilakukan atas petunjuk umum berkenaan dengan dikembalikannya berkas perkara karena belum lengkap. Dalam hal ini belum lengkap karena penyidik lalai tidak memanfaatkan bantuan dokter sebagai ahli sedangkan dalam perkara tersebut bantuan dokter seharusnya perlu atau kurang lengkap atau kurang tepat dalam pemeriksaan visum maka penuntut umum dapat menyarankannya kembali.

3. Sidang pengadilan

2. Siapa yang berhak meminta bantuan dokter

Berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, tidak semua orang dapat meminta bantuan dokter dalam menyelidiki suatu kasus tindak pidana. Seperti yang telah diuraikan sebelum nya bahwa yang berhak meminta bantuan dokter sebagai ahli ialah penyidik dan Hakim. Hakim ketua sidang dapat meminta bantuan dokter sebagai ahli dalam hal ;

1. Diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan.

2. Timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap hasil keterangan ahli dari seorang dokter sehingga perlu dimintakan pemeriksaan atau penelitiaan ulang oleh dokter lain.

Sudah tentu yang akan mengajukan permintaan bantuan kepada dokter ialah jaksa penuntut umum karena ia yang berwenang melaksanakan semua penetapan hakim. Maka agar tidak terjadi kesalah pahaman dengan dokter yang dimintai


(59)

bantuan itu, jaksa penuntut umum dalam surat permintaannya perlu menyebutkan bahwa permintaan tersebut diajukan dalam rangka melaksanakan penetapan hakim.

Mengenai korban tindak pidana atau keluarganya, tidak dibenarkan mengajukan permintaan langsung kepada dokter. Mereka hanya dibenarkan melaporkan tindak pidana yang dialaminya kepada pihak kepolisian dan selanjutnya pihak kepolisianlah yang akan melakuan penyidikan, termasuk mengajukan permintaan bantuan dokter sebagai ahli. Demikian juga terdakwa atau penasehat hukumnya, kalau mereka menghendaki bantuan dokter karena menurut pendapatnya keterangannya akan menguntungkan pihaknya, mereka hanya dibenarkan mengajukan permohonan kepada hakim ketua sidang.

Agar proses penyidikan dapat berjalan dengan lancar , maka penyidik dan dokter perlu bekerja sama dan juga perlu mengetahui bagaiman cara penanganan yang seharusnya bila mereka diharuskan melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP). Proses kerja sama tersebut dapat dilakukan antara lain dengan

Kerjasama penyidik dan dokter

47

a. Bilamana pihak penyidik mendapat laporan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana pada suatu tempat yang menyangkut nyawa manusia (mati) telah terjadi, maka pihak penyidik dapat meminta bantuan dari dokter untuk melakukan pemeriksaan di tempat kejadian perkara tersebut. (Pasal 120 dan Pasal 133 KUHAP)

:

47

Abdul Mun’im Idries, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik edisi Pertama,(Jakarta: Binarupa Aksara,1997) hal 286


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Dalam menjalankan tugas keprofesiannya sebagai dokter ada kode etik yang harus di patuhi dalam menjalan kan tugasnya. Kode etik tersebut mengatur kewajiban – kewajiban yang harus di lakukuan oleh dokter dalam menjalankan profesinya seperti kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawatnya, kewajiban terhadap diri sendiri. Kewajiban tersebutlah yang menjadi acuan bagi setiap dokter untuk menjalankan ke profesiannya sebagai dokter dengan baik. Dari sisi lain dokter sebagai tenaga medis juga di tuntut dalam kewajibannya untuk membantu dalam menegakkan hukum, ialah dokter forensik tugas dari dokter forensik berbeda dari dokter pada umumnya. Dokter forensik bertugas dalam menentukan hubungan kausal dalam suatu tindak pidana yang menyebabkan kecederaan atau gangguan kesehatan bahkan kematian hingga akhirnya mengetahui apa yang terjadi pada diri korban, sedangkan dokter pada umum nya lebih sering dalam hal memeriksa dan mengobati. Dokter forensik sangat berperan dalam membantu proses penyidikan bahkan hingga akhirnya sampai ke persidangan dalam memberikan keterangan atau pendapat yang diketahui. Dalam hal ini dokter forensik yang membantu dikatakan sebagai ahli. Dalam menjalankan tugasnya ada Pasal atau aturan yang mengatur dokter sebagai ahli di mulai dari permintaan dari penyidik untuk membatu memeriksa korban, membuat keterangan tertulis dari apa yang dilihat


(2)

dan di temukan atau yang biasa di sebut Visun er Repertum ,bahkan hingga akhirnya menjadi ahli dalam persidangan untuk memberikan keterangan dari pengetahuan yang dimilikinya. Dalam permintaan bantuan dokter ada beberapa tata-laksana. Tata-laksana dalam Permintaan dokter sebagai ahli seperti berikut :

- Waktu pengajuan permintaan (kapan permintaan dokter dapat diajukan).

- Pejabat yang berhak mengajukan permintaan (siapa yang berhak meminta bantuan dokter).

- Cara mengajukan permintaan bantuan dokter. - Dokter yang dapat dimintai bantuan nya. - Cara dokter menyampaikan keterangannya.

Peranan dokter sebagai ahli dalam memberikan keterangan :

1. Dokter sebagai pembuat visum. Visum dibuat agar suatu perkara pidana menjadi jelas dan berguna bagi kepentingan pemeriksaan dalam peradilan sehingga tercapai kebenaran materil dalam memutuskan perkara pidana. Macam – macam visum antara lain :

a. Visum et Repertum pada korban hidup

b. Visum et Repertum Jenazah

c. Visum et Repertum pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)

d. Visum et Repertum penggalian mayat

e. Visum et Repertum mengenai umur


(3)

g. Visum et Repertum Mengenai Barang Bukti 2. Dokter sebagai ahli dalam persidangan

Dalam hal ini dokter di tingkat pemeriksaan di pengadilan, hanya diminta untuk memberikan keterangannya tentang suatu masalah yang berkaitan dengan ilmu kedokteran untuk membuat terang perkara pidana.

Kendala yang dihadapi dokter dalam membantu pembuktian perkara pidana: 1. Keterbatasan fasilitas

2. Kurangnya koordinasi antara penyidik dengan dokter. 3. Pihak keluarga keberatan (kurang setuju)

4. Identifikasi pada korban yang tidak dikenal

2. Dari kasus diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa dokter forensik berperan penting dalam membuat suatu bentuk keterangan (Visum) sebagai alat bukti tertulis yang di ajukan dalam persidangan guna menguatkan dan meyakini hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Berperan juga dalam memberikan keterangan sebagai ahli dari pengetahuan yang dimiliki tentang apa yang terjadi pada korban guna lebih meyakinkan hakim dalam memutuskan pidana.

B. Saran

1. Bagi penyidik dan dokter untuk lebih berkordinasi dengan baik agar dalam melakukan tugas penyidikan dapat berjalan dengan baik, penyidik untuk lebih sigap dalam mengamankan tempat kejadian perkara, dan dalam memberitahu


(4)

dengan jelas kondisi tempat kejadian perkara kepada dokter forensik, dan bagi dokter forensik juga sigap ketika mendapat laporan. Bagi pemerintah agar lebih memperhatikan setiap fasilitas yang digunakan oleh dokter forensik, seperti yang kita ketahui dokter forensik membantu dalam memembuat terang suatu kasus sehingga membantu dalam penegakan hukum maka itu pemerintah juga berperan penting dalam memfasilitasi dokter forensik. Bagi pejabat yang meminta bantuan atau melakukan pemanggilan saksi ahli dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan berkewajiban memberikan penggantian biaya kepada saksi ahli yang telah hadir, diatur dalam Pasal 229 KUHAP.

2. Bagi Hakim hendaknya lebih bijaksana dan arif dalam menilai alat – alat bukti yang ada, terlebih dalam menilai alat bukti dari keterangan ahli tidak serta merta langsung percaya setiap apa yang di sampaikan oleh ahli dalam persidangan sehingga dapat memutuskan suatu tindak pidana dengan seadil-adilnya. Untuk para Dokter Forensik untuk lebih lagi menambah pengetahuan nya, agar tidak terjadi kesalahan dalam membuat keterangan tertulis (visum) dan dalam menyampaikan keterangan secara lisan di persidangan sehingga membuat terang suatu kasus tindak pidana dan dapat lebih lagi meyakinkan hakim dalam memberikan pidana terhadap terdakwa.


(5)

DAFTAR PUSTAKA 1.

Hamzah, Andi. 2008. Asas - Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta BUKU – BUKU

Idries, Abdul Mun’im. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik edisi Pertama, Binarupa Aksara. Jakarta,

J.M., Van Bemmelen. 1987. Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum, Binacipta. Bandung

Kansil, C.S.T dan Christine S. T. Kansil. 2007. Pokok-Pokok Hukum Pidana. Pradnya Paramita. Jakarta

Kerbala, Husein. 1993. Segi-Segi Etis dan Yuridis Informed Consent. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Komalawati, D. Veronica. 1989. Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Alumni. Bandung

Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. 1987. Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman. PT.bina aksara. Jakarta

Prasetyo, Teguh. 2004. Hukum Pidana. Rajawali Pers. Jakarta

Rahardjo, Satjipto. 1981. Relevansi Pendidikan Hukum Untuk Mahasiswa Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang

Satyo, Alfred C. 1990. Ilmu Kedokteran Kehakiman. buku 3 bacaan wajib mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan


(6)

---. 2004. Sejarah Ilmu Kedokteran Forensik. UPT Penerbitan dan Percetakan USU. Medan

---. 2004. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dan Profesi Dokter. UPT. Penerbitan dan Percetakan USU (USU Press). Medan

Soeparmono, R. 2002. Keterangan Ahli & Visum et Repertum Dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Mandar Maju. Bandung

Singh, Surjit, Ilmu Kedokteran Forensik,

Wirjanto, Soemarno P. 1980. Ilmu Hukum Profesi. Pro Justitia, Bandung,

2.

Ardi, Mawardi. 2012. Beberapa Masalah Terhadap Kedudukan Visum et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Pembuktian Tindak Pidana di Pengadilan Negeri. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Antakusuma. Pangkalan Bun

JURNAL

Nainggolan, Berlin. 1999. Fungsi Kedokteran Kehakiman Sebagai Saksi Ahli Dalam Upaya Penegakan Hukum, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Medan

3.

Mawarni, Rita. 2013. Bab II Tentang Beberapa Ketentuan Hukum Yang Berhubungan Dengan Bidang Ilmu Kedokteran Kehakiman. Universitas Sumatera Utara. Medan


Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Pidana Profesi Kedokteran Kehakiman Sebagai Ahli Berdasarkan Pasal 179 Kuhap (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No 1498/Pid.B/2012/Pn.Lp.Pb)

0 48 109

Hukum Tidak Tertulis Sebagai Sumber Hukum untuk Putusan Pengadilan Perkara Pidana

7 92 392

Analisa Hukum Pidana Terhadap Putusan Banding Pengadilan Tinggi Medan Tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Analisa Putusan Pengadilan Tinggi Medan No :743/pid/2008/PT-Mdn)

0 71 97

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Peranan Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Kasus Tindak Pidana Pembunuhan (Study Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 1243/Pid B/2006/PN-LP)

5 97 118

Tanggung Jawab Pelaku Tindak Pidana Korupsi Atau Ahli Warisnya Ditinjau Dari Aspek Hukum Perdata (Studi Kasus Pada Pengadilan Negeri Lubuk Pakam)

1 33 248

Penegakan Hukum Terhadap Oknum Polri Sebagai Pelaku Tindak Pidana Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 479/Pid.B/2011/Pn.Mdn)

1 50 102

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG PENYELESAIAN WANPRESTASI PERJANJIAN PENJUALAN CRUDE PALM OIL (Studi Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.147/Pdt.G/2009/PN.LP)

1 8 45

BAB II PENGATURAN HUKUM DAN PERANAN PROFESI DOKTER SEBAGAI AHLI - Aspek Hukum Pidana Profesi Kedokteran Kehakiman Sebagai Ahli Berdasarkan Pasal 179 Kuhap (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No 1498/Pid.B/2012/Pn.Lp.Pb)

0 0 40

BAB I PENDAHULUAN - Aspek Hukum Pidana Profesi Kedokteran Kehakiman Sebagai Ahli Berdasarkan Pasal 179 Kuhap (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No 1498/Pid.B/2012/Pn.Lp.Pb)

0 0 37