BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dibentuk berdasarkan hukum dan telah

  di gunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari- hari. Sehingga dalam setiap pergerakan atau perbuatan masyarakat memiliki nilai-nilai hukum di dalamnya.

  Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman jenis-jenis perbuatan yang melanggar hukum yang ada semakin beraneka ragam yang terjadi di dalam masyarakat. Pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang telah berualng kali memberikan penyuluhan untuk menyadarkan masyarakat mengenai akibat yang di timbulkan dari suatu perbuatan pidana yang dilakukanya bukan hanya merugikan orang lain tetapi diri mereka juga sendiri, tetapi dalam perkembanganya usaha ini belum cukup untuk menyadarkan masyarakat.

  Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosokan

  1 penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan.

  Pencabulan termasuk salah satu tindak pidana terhadap kesusilaan yang semakin berkembang dari waktu ke waktu dan merupakan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang mana memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut 1 Adami Chazawi. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2005), dikarenakan tindak pidana terhadap kesusilaan akan menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya Untuk menanggulangi tindak pidana tersebut, meskipun dalam kenyataannya sangat sulit untuk memberantas tindak pidana secara tuntas karena pada dasarnya tindak pidana akan senantiasa berkembang pula seiring dengan perkembangan masyarakat

  Salah satu yang menjadi fenomena tindak kejahatan yang selalu terjadi dalam masyarakat ialah kejahatan seksual dan pelecehan seksual. Kejahatan ini merupakan suatu bentuk pelangaran atas norma kesusilaan yang merupakan masalah hukum nasional, juga merupakan masalah hukum hampir seluruh negara di dunia

  Persoalan kejahatan kemudian menjadi problem serius yang dihadapi oleh setiap bangsa dan Negara di dunia ini, karena kejahatan pasti menimbulkan korban. Problem kejahatan tetap menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat yang kemungkinan munculnya seringkali tidak dapat diduga atau tiba- tiba saja terjadi di suatu lingkungan dan komunitas yang sebelumnya tidak pernah diprediksi akan timbul suatu kejahatan. Siapa saja dapat menjadi korban kejahatan namun pada umumnya adalah perempuan dan anak karena berdasarkan fisik mereka lebih lemah dari pelaku yang pada umumnya laki- laki.

  Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosokan

  2 penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan.

  Tindak pidana pencabulan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada bab XIV buku ke-II yakni dimulai dari Pasal 289-296 KUHP yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Pencabulan pada dasarnya adalah merupakan bagian dari kekerasan gender, artinya kedua bentuk tindak pelanggaran terhadap hak perempuan ini dilakukan bukan semata- mata karena faktor spontanitas atau sekedar penyaluran libido para lelaki bejat yang sudah tak bisa lagi ditunda, melainkan peristiwa ini terjadi karena di belakang benak pelaku maupun korban terdapat nilai dan ideologi gender yang menempatkan perempuan, khususnya anak perempuan dalam posisi yang marginal atau tersubordinasi. Dalam berbagai kasus pencabulan atau kekerasan seksual lainnya, sering kali yang dipersalahkan adalah pihak korban. Pengertian cabul menurut Oemar Seno Adji adalah sesuatu yang melanggar kesusilaan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan. Berbeda dengan pengertian cabul, pornografi diartikan sebagai pelanggaran kesusilaan dengan tulisan atau gambaran. Kedua hal tersebut tersebut termasuk dalam ruang lingkup dari delik susila. Pengertian delik susila adalah segala delik yang berhubungan dengan dengan sex dan karena itu selalu sex related sifatnya. Sebagai delik susila dan sebagai obyek hukum pidana ia didasarkan aturan-aturan kesusilaan dalam arti yang luas.

2 Adami Chazawi. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. (Jakarta: Raja Grafindo. 2005),

  Pelecehan seksual atau pun pencabulan pada dasarnya adalah merupakan bagian dari kekerasan gender, artinya kedua bentuk tindak pelanggaran terhadap hak perempuan ini dilakukan bukan semata-mata karena faktor spontanitas atau sekedar penyaluran libido para lelaki bejat yang sudah tak bisa lagi ditunda, melainkan peristiwa ini terjadi karena di belakang benak pelaku maupun korban terdapat nilai dan ideologi gender yang menempatkan perempuan, khususnya anak perempuan dalam posisi yang marginal atau tersubordinasi.

  Dalam berbagai kasus pencabulan atau kekerasan seksual lainnya, sering kali yang dipersalahkan adalah pihak korban. Pengertian cabul menurut Oemar Seno Adji adalah sesuatu yang melanggar kesusilaan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan. Berbeda dengan pengertian cabul, pornografi diartikan sebagai pelanggaran kesusilaan dengan tulisan atau gambaran. Kedua hal tersebut tersebut termasuk dalam ruang lingkup dari delik susila. Pengertian delik susila adalah segala delik yang berhubungan dan karena itu selalu sex related sifatnya. Sebagai delik susila dan sebagai obyek hukum pidana ia didasarkan aturan-aturan kesusilaan dalam arti yang luas. Jadi pada dasarnya menurut Oemar Seno Adji antara cabul maupun pornogarfi mempunyai pengertian yang sama yaitu

  3

  merupakan sesuatu yang melanggar kesusilaan Perbuatan cabul merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur dalam bab XIV Buku ke dua KUHP tentang kejahatan kesusilaan. Pengertian perbuatan cabul itu sendiri adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau perbuatan keji, yang semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin misalnya mencium, meraba-raba anggota kemaluan, meraba- raba buah dada. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian perbuatan cabul akan

  4 tetapi dalam undang-undang ditentukan sendiri.

  Perbuatan cabul tidak hanya didefinisikan sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan dalam lingkungan nafsu birahi kelamin terhadap anak saja, tetapi juga apabila dilakukan terhadap orang dewasa. Pelaku perbuatan cabul terhadap orang yang memiliki gangguan jiwa dapat diancam pidana sesuai Pasal 290 ayat (1) KUHP.

  Berdasarkan uraian di atas maka merasa tertarik memilih judul Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Cabul Terhadap Wanita Yang Mengalami Gangguan Jiwa (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No.

  142/Pid.Sus/2011/PN-BI) B.

   Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pencabulan? 2.

  Bagaimanakah dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi bagi pelaku tindak pidana pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

  Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah : a.

  Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pencabulan.

  b.

  Untuk mengetahui yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi bagi pelaku tindak pidana pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI)? 2.

   Manfaat Penulisan

  Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini adalah : a.

  Secara teoritis memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana khususnya pertanggungjawaban pidana bagi pelaku cabul terhadap wanita yang mengalami gangguan jiwa b. Secara praktis teori ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan bagi aparat penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka pembaharuan hukum pidana.

D. Keaslian Penelitian

  Guna menghindari adanya duplikasi terhadap permasalahan yang sama dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya peneliti telah melakukan penelusuran di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, namun tidak ditemukan skripsi dengan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Oleh sebab itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini dinyatakan masih asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karaya tulis orang lain yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan E.

   Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Pertanggungjawaban Tindak Pidana

  Istilah tindak pidana merupakan istilah yang secara resmi digunakan dalam peraturan perundang-undangan. Pembentuk Undang-Un dang kita telah menerjemahkan istilah strafbaar feit yang berasal dari KUHPBelanda ke dalam KUHP Indonesia dan peraturan perundang-undangan pidana lainnya dengan istilah tindak pidana.

  Tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut KUHP, dikenal dengan istilah “stratbaar feit”. Istilah

  

strafbaar feit dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan berbagai istilah yaitu

  tindak pidana, delik, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum, dan perbuatan pidana. Dalam kepustakaan hukum pidana sering menggunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan dalam undang-undang dengan menggunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.

  Menurut Simon, berpendapat bahwa pengertian tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang- undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh

  5 seseorang yang mampu bertanggungjawab.

  Tindak pidana sebagai berikut:“Tindak pidana ialah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan

  6 kesalahan dilakukan oleh seseorang (mampu bertanggung jawab).

  Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang

  7 melanggar larangan tersebut.

  Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat diartikan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang mana perbuatan tersebut melangggar apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang- undang dan diberi sanksi berupa sanksi pidana

  Tindak pidana adalah suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial, melanggar hukum serta undang-undang pidana. Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang terdakwa 5 Erdianto Effendi. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. (Bandung: Rafika

  Aditama, 2011), hal 98 6 Ibid., hal 99

  mampu bertanggungjawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal dan faktor kehendak yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan

  8 yang tidak.

  Tindak pidana adalah suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial, melanggar hukum serta undang-undang pidana. Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang terdakwa mampu bertanggungjawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal dan faktor kehendak yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan

  9 yang tidak.

  Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang

  10

  siapa melanggar larangan tersebut. Syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana adalah seseorang harus melakukan perbuatan yang aktif atau pasif seperti yang di tentukan oleh undang-undang pidana yang melawan hukum, dan tidak adanya alasan pembenar serta adanya kesalahan dalam arti luas (meliputi kemampuan bertanggungjawab, sengaja atau kelalaian) dan tidak adanya alasan pemaaf. Jika 8 Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.(Jakarta: Askara

  Baru,1999), hal 84 9 Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. (Jakarta: Askara Baru.. 1999), hal. 84 kita telah dapat membedakan antara perbuatan pidana (yang menyangkut segi objektif) dan pertanggungjawaban pidana (yang menyangkut segi subjektif, jadi menyangkut sikap batin si pembuat) maka mudahlah kita menentukan dipidana

  11 atau dibebaskan ataupun dilepaskan dari segala tuntutan pembuat delik.

  Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatannya, dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan oleh orang tersebut.

  Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab apabila memenuhi 3 (tiga)

  12

  syarat, yaitu: a.

  Dapat menginsyafi makna daripada perbuatannya.

  b.

  Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat.

  c.

  Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan Alasan seseorang tidak dapat bertanggungjawab atas tindak pidana yang

  13

  dilakukan, yaitu: a.

  Jiwa si pelaku cacat.

  b.

  Tekanan jiwa yang tidak dapat ditahan.

  c.

  Gangguan penyakit jiwa.

11 Andi Zainal Abidin. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. (Bandung: Alumni,

  2007), hal.72 12 13 Roeslan Saleh. Op.cit. hal 80 Leden Mapaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. (Jakarta: Sinar Grafrika. 2005),

  Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana dikenal dengan adanya 3 (tiga) unsur pokok, yaitu: a.

  Unsur perbuatan b. Unsur yang dilarang (oleh aturan hukum).

  c.

  Unsur pidana (bagi yang melanggar larangan).

2. Tindak Pidana terhadap Kesusilaan menurut KUHP dan Undang- Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

  Pencabulan cukup sering digunakan untuk menyebut suatu perbuatan atau tindakan tertentu yang menyerang kehormatan kesusilaan.Bila mengambil definisi dari buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual, maka definisi pencabulan adalah “semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan”

  Pencabulan menurut Kamus Besar Indonesia adalah pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun (tidak senonoh), tidak susila, bercabul: berzinah, melakukan tindak pidana asusila, mencabul: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film porno. Keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar

  14

  kesusilaan,kesopanan) Pencabulan adalah segala perbuatan yang melanggar susila atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu kekelaminannya.Definisi yang diungkapkan

  Moeljatno lebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan nafsu kelaminanya, di mana langsung atau tidak langsung merupakan

  15 perbuatan yang melanggar susila dan dapat dipidana.

  Berdasarkan pengertian di atas, Penulis berkesimpulan bahwa tindak pidana pencabulan adalah segala tindakan atau perbuatan yang keji, tidak senonoh, kotor, dan melanggar kesusilaan (kesopanan), dimana semua itu dalam lingkup nafsu birahi kelamin. Contohnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya.

  Menurut KUHP Pasal 289 Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

  Pengaturan tentang delik kesusilaan di dalam KUHP menggolongkan jenis tindakan pidana kesusilaan, penggolongan tindak pidana kesusilaan tersebut yakni: 1.

  Tindak pidana kesusilaan dengan jenis kejahatan, yakni Pasal 281 s.d. 303 Bab 14 Buku ke 2 KUHP.

  2. Tindak pidana kesusilaan dengan jenis pelanggaran, yakni Pasal 532 s.d.

  547 Bab 6 Buku 3 KUHP.RUU KUHP hanya mengelompokkan dalam 1 (satu) bab dengan judul tindak pidana terhadap perbuatan yang melanggar kesusilaan. Tindak pidana terhadap perbuatan yang melanggar kesusilaan tersebut diatur dalam Pasal 467 s.d. 505 Bab 16 RUU KUHP.

15 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). (Jakarta: Bumi Aksara,

  Adapun pengaturan delik kesusilan dalam Undang-Undang Pornografi meliputi larangan dan pembatasan perbuatan yang berhubungan dengan pornografi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yakni: 1.

  Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak.

  2. Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual

  3. Kekuasan Kehakiman

  Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

  Pasal 2 ayat (1) Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". (2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. (3) Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang. (4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

  4. Analisis Yuridis PN-Boyolali No. 142 / Pid.Sus/2011/PN-BI

  Sanksi yang diberikan hakim terhadap terdakwa untuk dididik dan dibina di Panti Sosial selama 6 (enam) bulan sudah tepat dan telah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang adil terutama fakta-fakta yang diperoleh dipersidangan. Diharapkan terdakwa dapat menjadi lebih baik lagi setelah menjalani sanksi berupa tindakan tersebut.

  Menurut penulis, dalam penjatuhan sanksi terhadap terdakwa sudah tepat karena hakim telah memperhatikan berbagai pertimbangan faktor yuridis, fakta- fakta dalam persidangan, bukti-bukti yang ada serta keterangan saksi-saksi dan terdakwa. Hakim dalam menjatuhkan putusan memperhatikan rasa keadilan yang diberikan oleh hakim kepada terdakwa mengingat terdakwa dan korban masih anak-anak juga rasa keadilan dalam masyarakat dan Negara. Hakim juga mempertimbangkan faktor non yuridis dan telah sesuai dengan teori dasar pertimbangan hakim, seperti teori keseimbangan yaitu hakim melihat kepentingan terdakwa, kepentingan korban dan keluarganya, serta masa depan terdakwa. Teori pendekatan seni dan intuisi yaitu hakim melihat keadaan terdakwa pada saat melakukan tindak pidana karena tidak semua pelaku anak dijatuhkan sanksi yang sama. Teori Pendekatan keilmuan yaitu hakim memutus suatu perkara dengan ilmu pengetahuan hukum dan wawasan keilmuan hakim, dalam perkara anak ada upaya Diversi dan Restorative Justice sehingga pelaku anak tidak dipidana.

  Hakim telah melihat dari teori pendekatan pengalaman yaitu hakim memutus perkara dengan pengalaman yang dimilikinya dan dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan, hakim melihat sanksi yang diberikan kepada terdakwa untuk dibina dan didik adalah yang terbaik untuk masa depan terdakwa yang masih anak-anak karena jika terdakwa dipidana akan membuat terdakwa semakin parah.

  Teori Ratio Decidendi yaitu hakim memutus suatu perkara didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar dan mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara serta peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal meringankan terdakwa serta saran Balai Pemasyarakatan adalah salah satu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi sehingga kepada terdakwa dijatuhi sanksi.

  Putusan hakim tersebut sudah memenuhi tujuan perlindungan anak, karena terdakwa diupayakan untuk dihindarkan dari hukuman penjara yang dapat merampas kemerdekaannya dan dapat memberikan stigma yang kurang baik pada diri terdakwa dimasa depan, karena dalam menjatuhkan sanksi kepada anak tidak boleh merampas masa depannya, terdakwa diupayakan untuk dihindarkan dari hukuman penjara yang dapat merampas masa depannya. Dengan diberikan sanksi berupa tindakan dididik dan dibina menjadi anak Negara diharapkan dapat mencegah pengulangan tindak pidana dan menjadikan terdakwa lebih baik lagi.

F. Metode Penulisan 1.

  Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-

  16

  undangan dan putusan pengadilan, yang berkaitan dengan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI).

2. Spesifikasi penelitian

  Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis tindak pidana

  17

  pencabulan. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan penelitian 16 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004), hal 14. 17 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di

  kepustakaan. Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang

  18 dikeluarkan oleh pemerintah.

3. Sumber data

  Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library

  

research) . Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori

  dan informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari: 1.

  Bahan hukum primer, antara lain: a.

  Norma atau kaedah dasar b. Peraturan dasar landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

  c.

  Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman d. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

18 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Sebagaimana dikutip dari Seojono

  

Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali

  2. Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana tindak pidana pencabulan, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

  3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.

  44

  3. Alat pengumpulan data Pengumpulan data pada penelitan skripsi ini menggunakan teknik studi dokumen berupa buku-buku, tulisan-tulisan para ahli hukum, artinya data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian.

  Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data untuk memperoleh data dan informasi yaitu melalui metode penelitian kepustakaan (Library Research). Metode penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan menelaah berbagai bahan pustaka yang berhubungan dengan kasus dalam penelitian ini.

  4. Analisis data Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara pemilihan Pasal-Pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tindak pidana pencabulan, kemudian membuat sistematika dari Pasal- Pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

  Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

  BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan merupakan pengantar. Didalamnya termuat mengenai gambaran umum tentang penulisan skripsi yang terdiri dari latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

  BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN Bab ini berisikan mengenai Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Delik-Delik Susila Tentang Perbuatan Cabul dan Pertanggungjawabannya, Pertanggungjawaban Pidana Pelaku bagi pelaku cabul terhadap wanita yang mengalami gangguan jiwa. BAB III DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN (ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BOYOLALI NO. 142 /PID. SUS/2011/PN-BI)

  Bab ini berisikan tentang Pengaturan Tindak Pidana Pencabulan dan Analisis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No.

  142/Pid.Sus/2011/PN-BI, Posisi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI, Dakwaan, Fakta Hukum, Tuntutan, Putusan Hakim, Analisis Kasus

  BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi kesimpulan dari permasalahan pokok dari keseluruhan isi. Kesimpulan bukan merupakan rangkuman ataupun ikhtisar. Saran merupakan upaya yang diusulkan agar hal-hal yang dikemukakan dalam pembahasan permasalahan dapat lebih

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 167/Pid.B/2003/Pn.Dps)

0 0 11

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak Nomor: I/Pid.Sus.Anak/2014/PN.Ptk dan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2/Pid.Su

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak Yang Menyebabkan Kematian (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Simalungun No.791/Pid.B/2011/PN.SIM)

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Korporasi (Studi Kasus Putusan Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 04/Pid. Sus/2011/Pt. Bjm)

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Notaris Dalam Hal Tindak Pidana Pemalsuan Surat Akta Authentik (Studi Putusan Nomor: 40/Pid.B/2013/Pn.Lsm)

0 0 12

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Uang Di Indonesia(Studi Putusan No. 1129/Pid.Sus/2013/Pn.Jkt.Tim)

0 0 17

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/P

0 9 21