BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN PERANAN WALI NIKAH MENURUT FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Pengertian Pernikahan 1. Menurut Fiqih Islam - Analisis Yuridis Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN PERANAN WALI NIKAH MENURUT FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Pengertian Pernikahan

1. Menurut Fiqih Islam

  Pernikahan merupakan cara paling mulia yang dipilih Pencipta alam semesta untuk mempertahankan proses regenerasi, perkembangbiakan dan keberlangsungan dinamika kehidupan. Fitrah diberikan Allah pada manusia meniscayakan pentingnya penyatuan antara laki-laki dan perempuan demi keutuhan jenis manusia agar mereka dapat memakmurkan bumi, mengeluarkan kekayaan alamnya, mengembangkan nikmat-nikmat yang dikandungnya, dan

  61 memanfaatkan kekuatan alami bumi selama waktu yang diinginkan Allah.

  Pernikahan adalah pelindung individu maupun masyarakat, khususnya kaum perempuan. Allah SWT berfirman: “Nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara yang sholeh dan telah pantas menikah. Jika mereka miskin, Allah akan membuat mereka kaya dengan karunia- Nya. Allah Maha Luas pemberian-Nya. Dan Maha Mengetahui.” (Surah An-Nur:

  62 32).

  Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat. Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dipandang sebagai jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum yang lain dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu

  63 dengan yang lainnya.

  Secara etimologi Perkawinan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan kata kawin adalah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai

  64 perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami istri. 61 62 Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, Almahira,2001, hal.6-7 Syaikh Fuad Shalih, Untukmu yang Akan Menikah Dan Telah Menikah, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2005, hal.6 63 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam:Hukum Fiqh Lengkap, Sinar Baru Algesindo, Bandung 2012, hal.374 64 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal.453

  27 Tihami mengemukakan bahwa istilah “kawin” digunakan secara umum untuk tumbuhan, hewan dan manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari proses perempuan) dan kabul (pernyataan penerimaan dari pihak laki-laki). Selain itu nikah juga bisa diartikan

  65 sebagai bersetubuh.

  Dalam bahasa Melayu (terutama di Malaysia dan Brunai Darussalam), digunakan istilah kahwin. Kahwin ialah ”Perikatan yang sah antara lelaki dan perempuan menjadi suami istri, nikah.” Berkahwin maksudnya sudah mempunyai

  66 istri (suami).

  Nikah menurut bahasa berarti berkumpul menjadi satu. Menurut syara’, nikah berarti suatu aqad yang berisi pembolehan melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafaz inkahin (menikahkan) atau tazwajin (mengawinkan). Kata nikah itu sendiri secara hakiki, menurut Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al

  67 Malibrary, berarti akad, dan secara majazi berarti bersenggamaan .

  Seperti dinyatakan Abdur-Rahman Al-Juzairi, kata nikah (kawin) dapat didekati dari tiga aspek pengertian (makna), yakni makna lughawi (etimologi), makna ushuli

  68 (syar’i), dan makna fiqhi (hukum).

  Definisi pernikahan yang diberikan Wahbah al-Zuhaily sebagai berikut: “Akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wathi’ dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan.” Definisi lain yang diberikan oleh Wahbah al-Zuhaily adalah: 65 66 Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat , Rajawali Press, Jakarta, 2009, hal.7 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam , PT. RajaGrafindo Perkasa,

  Jakarta,2004, hal.42 67 Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibrary, Fatchul Mu’in Jilid 3, Diterjemahkan oleh Ally As’ad Menara Kudus, Kudus, 1979, hal.1 68 Muhammad Amin Suma, Op.Cit, hal.41

  “Akad yang telah ditetapkan oleh syar’i agar seseorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau

  69

  sebaliknya.” Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong menolong

  70 serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.

  Menurut Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan disebut dengan an-nikh dan az-

  ziwaj / az-zawj atau az-zijah. Secara harfiah, an-nikh berarti al-wath’u, adh- dhammu

  dan al-jam’u. Al-wath’u berasal dari kata wathi’a- yatha’u- wath’an. Artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki,

  71 menggauli dan bersetubuh atau bersenggama.

  Adh-dhammu

  , secara harfiah berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan, menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan menjumlahkan, juga bersikap lunak dan ramah. Sedangkan al-

  jam’u jama’a

  yang berasal dari kata -yajma’u-jam-an, yang artinya mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan

  72 dan menyusun.

  Adapun sebab mengapa bersetubuh atau bersanggama dalam istilah fiqih disebut dengan al-jima’ dikarenakan mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua aktivitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari

  al-jam’u’ .

  Sebutan lain untuk pernikahan ialah az-zawaj/az-ziwaj, berasal dari kata

  zawwaja

  • yuzawwiju-tazwijan yang secara harfiah berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri.
  • 69 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenada

      Media, Jakarta, 2004, hal.38-39 70 hal.39 71 Ibid, 72 Muhammad Amin Suma, Op.Cit, hal.42 Ibid , hal.43.

      Secara arti kata nikah berarti “bergabung”, “hubungan kelamin” dan juga berarti “akad”. Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam Al-Qur’an memang mengandung dua arti kata tersebut. Kata nikah yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 230: “Maka jika suami mentalaknya (sesudah talak dua kali), maka perempuan itu tidak boleh dinikahinya hingga perempuan itu kawin dengan laki-laki lain”. Mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadist Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki- laki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah melakukan hubungan kelamin dengan perempuan

      73 tersebut.

      Tetapi dalam Al’Quran terdapat pula kata nikah dengan arti akad seperti tersebut dalam firman Allah SWT dalam surah an-Nisa ayat 22: “Janganlah kamu menikahi perempuan yang telah pernah dinikahi oleh ayahmu kecuali apa yang sudah berlalu”. Ayat tersebut mengandung arti bahwa perempuan yang dinikahi oleh ayah itu haram dinikahi dengan semata ayah telah melangsungkan pernikahan dengan perempuan tersebut, meskipun di antara keduanya belum berlangsung

      74 hubungan kelamin.

      R.Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis yang menyatakan bahwa Perkawinan adalah “persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk

      75 hidup bersama/bersekutu yang kekal”.

      Golongan Ulama Syafi’i berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki) dapat berarti pula untuk hubungan kelamin namun dalam arti tidak sebenarnya (majazi). Penggunaan untuk bukan arti sebenarnya itu

      73 74 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.36 75 Ibid R.Soetojo Prawirohamidjijo, hal 35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum

      Perdata Tertulis (BW) , Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal.61

      76

      memerlukan penjelasan di luar dari kata itu sendiri. Menurut mazhab Syafi’i, nikah dirumuskan sebagai “akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwij; atau turunan (makna) dari

      77 keduanya.

      Sebaliknya, ulama Hanafi berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin. Bila berarti juga untuk lainnya seperti akad

      78 adalah dalam arti majazi yang memerlukan penjelasan untuk maksud tersebut.

      Definsi nikah menurut ulama Hanafi : “Nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan

      79

      biologis. Menurut mazhab Maliki, nikah adalah: “sebuah ungkapan (sebutan) bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual)

      80

      semata-mata.” Ulama Hambali mendefinisikan nikah dengan “akad (yang dilakukan dengan menggunakan) kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan

      81 (bersenang-senang).

      Definisi-definisi yang diberikan oleh ulama terdahulu sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab fiqih klasik tersebut di atas begitu pendek dan sederhana hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan yaitu kebolehan melakukan 76 77 Amir Syarifuddin, Op.Cit , hal. 37 78 Muhammad Amin Suma, Op.Cit, hal.45 79 Amir Syarifuddin,Op.Cit, hal.37 80 Muhammad Amin Suma, Op.Cit, hal.45. 81 Ibid Ibid

      82

      hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan itu. Nikah hanya dilihat sebagai akad yang menyebabkan kehalalan melakukan persetubuhan. Hal ini semakin tegas sebab menurut al-Azhari makna asal kata nikah bagi orang arab adalah al-wat’

      83 (persetubuhan).

      Beberapa definisi dari pakar Indonesia tentang pernikahan juga akan dikutip di sini.

      Menurut Sayuti Thalib, pernikahan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih mengasihi,

      84

      tentram dan bahagia. Sedangkan Ibrahim Hosen mendefinisikan pernikahan sebagai akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita. Secara lebih tegas perkawinan juga dapat didefinisikan sebagai hubungan seksual

      85 (bersetubuh).

      Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki. Sehingga dapat diperoleh bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah: “suatu akad atau perikatan laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih 82 83 Muhammad Amin Suma,Op.Cit,hal.39 84 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit, hal. 40 85 Ibid

      Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan dalam Masalah Nikah-Thalaq-Rujuk dan Hukum , jilid 1, Balai Penerbitan dan Perpustakaan Islam Yayasan Ihya ‘Ulumiddin Indonesia, Kewarisan Jakarta,1971, hal.65 sayang dengan cara yang diridhai Allah”. Apabila pengertian tersebut dibandingkan dalam Pasal 1 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam maka pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut undang-undang tidak terdapat perbedaan prinsipil, sebab pengertian perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (pasal 2).

      Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab seorang perempuan apabila ia sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya) wajib ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (keturunan), sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak jelas siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang akan bertanggung jawab. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab bila tidak ada pernikahan, tentu manusia akan menurunkan sifat kebinatangan, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana dan permusuhan antara sesamanya.

      86 Secara ringkas faedah pernikahan adalah sebagai berikut: a. Menjaga kehormatan dan pandangan mata, melindungi agama dan akhlak. 86 Syaikh Fuad Shalih, Op.Cit, hal.8-9 b. Mengais pahala yang besar akibat melaksanakan perintah Allah dan Rasul- Nya dalam hal pernikahan.

      c. Mewujudkan kemitraan dan persahabatan antara suami istri yang menepis rasa sepi dan menjauhkan penyakit psikis dan fisik akibat kesendirian, keterasingan dan perselibatan.

      d. Menghasilkan keturunan yang saleh yang sangat penting dalam memperbanyak kuantitas kaum muslimin dan mendatangkan pahala yang besar bagi orang tua dalam mendidik dan bersabar atas kematian anak-anak mereka.

      e. Merajut relasi sosial, mengukuhkan ikatan cinta, kesepahaman dan keakraban antar anggota masyarakat, sehingga dapat membawa kemajuan bagi mereka dalam aspek ekonomi.

      f. Saling bersinergi dalam perkara agama dan dunia. Betapa banyak istri salehah yang menjadi penyebab suaminya mendapatkan hidayah dan demikian sebaliknya.

    2. Menurut Kompilasi Hukum Islam

      Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ketentraman, cinta, kelembutan kasih, perpaduan, pengertian dan penyatuan antara laki-laki dan perempuan dengan menggunakan fisik, roh dan kalbu.

      Allah berfirman sebagai berikut: “ Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan untuk kalian istri- istri dari jenismu sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir .”(QS ar-Ruum ayat 21)”

      87 Perkawinan selain sebagai perbuatan ibadah juga merupakan sunnah Allah dan

      sunnah Rasul.Sunnah Allah berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam menciptakan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.

      88 87 Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Op.Cit, hal.7 88 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.41 Sifatnya sebagai sunnah Allah dapat dilihat dari rangkaian ayat-ayat sebagai

      89

      berikut:

      a. Allah menciptakan mahluk ini dalam bentuk berpasang-pasangan sebagaimana fiman Allah dalam surah adz-Dzaariyat (51) ayat 49 yang artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.

      b. Secara khusus pasangan itu disebut laki-laki dan perempuan dalam surah an- Najm ayat 45 yang artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan.” c. Laki-laki dan perempuan itu dijadikan berhubungan dan saling melengkapi dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak. Hal ini disebutkan Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 1 yang artinya: “Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”

      d. Perkawinan itu dijadikan sebagai salah satu ayat-ayat atau tanda-tanda dari kebesaran Allah dalam surah al-ar-Rum ayat 21 yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”

      Perkawinan itu juga merupakan sunnah Rasul yang pernah dilakukannya selama hidupnya dan menghendaki umatnya berbuat yang sama. Hal ini terdapat dalam Hadist yang berasal dari Anas bin Malik, sabda Rasulullah artinya :

      “Tetapi aku sendiri melakukan sholat, tidur, aku berpuasa dan juga aku berbuka, aku mengawini perempuan. Siapa yang tidak senang dengan sunnahku,

      90

      maka ia bukanlah dari kelompokku.”

      89 90 Ibid , hal.41-42 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit , hal.43

      Hadist Nabi riwayat al-Bayhaqi mengajarkan: “Apabila seseorang telah melakukan perkawinan berarti telah menyempurnakan separuh agamanya (karena telah sanggup menjaga kehormatannya), maka bertakwalah kepada Allah dalam mencapai kesempurnaan pada separuh yang masih tinggal.”

      91 Nabi Muhammad SAW menganggap bahwa menikah bagi seorang muslim

      sebagai “Separuh dari Agamanya” karena hal itu akan melindunginya dari kekacauan, perbuatan akibat perzinahan, dan kehidupan yang pada akhirnya akan menjerumuskannya ke dalam berbagai tindak kriminal lainnya seperti timbul fitnah,pertikaian, pembunuhan, perampasan hak milik dan akhirnya mengakibatkan rusaknya tatanan kekeluargaan ideal yang sangat ditekankan oleh Nabi Muhammad SAW.

    92 Para ahli dari berbagai golongan dan bangsa menetapkan bahwa perkawinan

      adalah suatu ikatan persahabatan yang erat antara laki-laki dan perempuan, memperlihatkan suatu kerjasama yang baik dan teratur dalam rumah tangga yang bahagia.

    93 Pada dasarnya apa yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam yang

      berhubungan dengan penikahan semuanya telah dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan jo.Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang. Hanya di dalam Kompilasi Hukum Islam muatannya lebih terperinci, larangan lebih dipertegas dan menambah beberapa poin sebagai aplikasi dari peraturan perundang-undangan yang telah ada.

      91 A.Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Pena, Banda Aceh, 2010, hal.31 92 Hasballah Thaib dan Marahalim, Op.Cit,hal.20 93 T.Jafizham, Op.Cit, hal.255

      Disamping definisi yang diberikan oleh Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 memberikan definisi yang tidak mengurangi arti-arti definisi undang-undang perkawinan tersebut, namun bersifat menambah penjelasan dengan rumusan sebagai berikut yaitu perkawinan menurut Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

      Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan Undang- undang yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan.

      Kata miitsaqan ghalizhan diambil dari firman Allah SWT yang terdapat dalam surah an-Nisa ayat (21) yang artinya: “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal sebagain kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang

      94

      kuat (miitsaqan ghalizhan).” Al Qur’an menjuluki pernikahan dengan miitsaqan ghalizhan, janji yang sangat kuat. Mengisyaratkan bahwa pernikahan itu merupakan perjanjian serius antara mempelai pria (suami) dengan mempelai wanita (istri), oleh karena itu pernikahan yang sudah dilakukan itu harus dipertahankan kelangsungannya. Perceraian itu dimungkinkan (dibolehkan) dalam Islam, tetapi Rasulullah SAW menjulukinya 94 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit,hal.44 sebagai perbuatan halal yang dibenci Allah SWT. Hal itu yang mendasari mengapa dalam akad nikah harus ada saksi minimal dua orang, di samping wali nikah dari pihak mempelai wanita.

      Ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Undang-undang, artinya perkawinan itu tidak terjadi begitu saja menurut pihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai mahluk beradab. Karena itu perkawinan dilakukan secara beradab pula, sesuai dengan ajaran agama yang diturunkan Tuhan kepada manusia

      95 .

      Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.

    96 Ada beberapa tujuan perkawinan dari disyariatkannya perkawinan atas umat

      Islam, antara lain:

      1. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi yang akan datang.

      Keinginan untuk melanjutkan keturunan merupakan naluri bagi umat manusia bahkan juga naluri bagi mahluk hidup yang diciptakan Allah SWT. Untuk itu Allah SWT menciptakan bagi manusia nafsu syahwat yang dapat mendorongnya untuk mencari pasangan hidup untuk menyalurkan nafsu syahwat tersebut. Untuk memberi saluran yang sah dan legal bagi nafsu syahwat tersebut adalah melalui lembaga perkawinan. 95 Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian,UNS,Semarang, 2005, hal.74 96 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.41

      Fitrah yang sudah ada dalam diri manusia ini diungkapkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang artinya: “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan bagimu dari istri- istri kamu itu, anak-anak dan cucu dan memberimu rezeki dari yang baik-baik……”

      97

      (Surah an-Nahl: 72)

      2. Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang.

      Apabila dalam suatu rumah tangga tidak terwujud rasa saling kasih dan menyayangi antara suami istri, berarti tujuan rumah tangga itu tidak sempurna.

      Sebagai akibatnya bisa saja masing-masing suami istri mendambakan kasih sayang dari pihak luar yang seharusnya tidak boleh terjadi dalam suatu rumah tangga.

      Allah SWT berfirman yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan- Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-

      98

      benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”(Surah ar-Ruum: 21) Diantara hikmah yang dapat ditemukan dalam perkawinan adalah menghalangi mata dari melihat kepada hal-hal yang tidak diizinkan syara’ dan menjaga kehormatan diri dari terjatuh pada kerusakan seksual. Sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh Nabi dalam Hadistnya : 97 98 M.Ali Hasan, Op.Cit, hal.15

      Ibid , hal.14

      “Wahai para pemuda, siapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan untuk kawin, maka kawinlah karena perkawinan itu lebih menghalangi penglihatan (dari maksiat) dan lebih menjaga kehormatan (dari kerusakan seksual). Siapa yang belum

      99

      mampu hendaklah berpuasa; karena puasa itu baginya akan mengekang syahwat.”

      100

      Selain yang disebutkan di atas, perkawinan juga bertujuan untuk:

      a. Menentramkan jiwa. Bila telah terjadi akad, istri merasa jiwanya tentram karena ada yang melindungi dan ada yang bertanggung jawab dalam rumah tangga.

      Suami pun merasa tentram karena ada pendampingnya untuk mengurus rumah tangga, tempat menumpahkan perasaan suka dan duka serta teman bermusyawarah dalam menghadapi berbagai persoalan.

      b. Memenuhi kebutuhan biologis. Kecenderungan cinta lawan jenis dan hubungan seksual sudah ada tertanam dalam diri manusia dan kehendak Allah. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan biologis harus diatur melalui lembaga perkawinan agar tidak terjadi penyimpangan sehingga norma-norma agama dan adat istiadat tidak dilanggar.

      c. Latihan memikul tanggung jawab. Perkawinan merupakan pelajaran dan latihan praktis bagi pemikulan tanggung jawab dan pelaksanaan segala kewajiban yang timbul dari pertanggungjawaban tersebut. Maksud dan tujuan akad nikah adalah untuk membentuk kehidupan yang penuh kasih sayang dan saling menyantuni satu sama lain (keluarga sakinah). Adapun tujuan pernikahan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 yang berbunyi:

      “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,

      mawaddah

      dan rahmah (tentram cinta dan kasih sayang).” Tujuan ini juga dirumuskan melalui firman Allah SWT yang terdapat dalam surah ar-Ruum ayat (21) yang artinya:

      99 100 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,Op.Cit, hal.48 Ibid , hal.13-21

      “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikannya di antaramu kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian

      101 itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi kaum yang berpikir.

      Selain merupakan sunnah kehidupan dan sendi daya tahan¸ pernikahan juga merupakan pelindung dari penyimpangan dan keterjerumusan dalam pelanggaran etika moral maupun sosial kemasyarakatan. Perkawinan dapat memelihara pandangan mata dan kemaluan, memadamkan api syahwat, menenangkan jiwa dan menjaga kesehatan.

      102

      Menurut hukum Islam, perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan:

      a. Perkawinan diihat dari segi hukum Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian. Al Qur’an dalam surat an-Nisa’ menyatakan “……perkawinan adalah perjanjian yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “miitsaqan ghalizhan”. Hal ini juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan merupakan suatu perjanjian karena adanya:

      1. Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu.

      2. Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talak, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.

      b. Perkawinan dilihat dari segi sosial Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang belum/ tidak menikah.

      c. Pandangan dari segi agama Dalam agama, perkawinan dianggap sebagai suatu lembaga yang suci. Upacara 101 perkawinan adalah upacara yang suci, dimana kedua belah pihak dihubungkan 102 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit, hal. 44 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia,UI Press, Jakarta, 1986, hal.47-48 menjadi pasangan suami istri atau saling meminta untuk menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah sebagaimana diingatkan oleh Al- Qur’an surat an-Nisa ayat (1).

    B. Hukum-Hukum Dalam Pernikahan

      Pernikahan merupakan dasar dan asas peradaban dari umat manusia. Nikah pada hakikatnya merupakan suatu perikatan (akad) yang suci antara calon suami dan calon istri, yang harus dilaksanakan oleh setiap kaum muslim kecuali bila ada sebab- sebab penting untuk tidak melaksanakannya. Pernikahan membuka kesempatan berkasih sayang antara suami dan istri lalu meneruskan kasih sayang tersebut kepada anak dan cucu, kaum keluarga, tetangga, kawan-kawan dan kepada umat manusia.

      Dengan demikian pernikahan adalah tempat latihan dari umat manusia untuk mengabdikan diri satu sama lain dan menghormati perasaan satu sama lain.

      Pernikahan adalah suatu perbuatan yang disuruh oleh Allah dan juga disuruh oleh Nabi. Banyak suruhan-suruhan Allah dalam Al-Qur’an untuk melaksanakan pernikahan. Adapun ayat- ayat tersebut:

      Al Qur’an surah an-Nur ayat 32: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (untuk kawin) di antara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan

      103

      memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”

      103 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.43

      Al Qur’an surah ar-Ra’d ayat 38: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul sebelum kamu dan Kami

      104

      memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” Membujang sesungguhnya merupakan suatu pelanggaran atas naluri manusia.

      Inilah sebabnya mengapa Islam tak mengizinkan membujang atau paham kebiaraan sebagai suatu jalan hidup. Al-Qur’an mengatakan: “Dan mereka mengadakan rahbaniyyah (kerahiban), padahal kami tidak mewajibkan kepada mereka (melainkan merekalah yang mengada-adakannya)

      105 sebagai jalan untuk memperoleh keridhaan Allah”.(QS 52:27).

      Di dalam Al-Qur’an, Surat Ash-Shaffat ayat (20), disampaikan kepada kita bahwa tidak sepatutnya kita hanya memburu kesenangan dunia dan menumpuk- numpukkan harta mengejar kehidupan, lalu ayat ini mengingatkan kita pun tak sepatutnya menuju dunia ekstrim yang lain dengan meninggalkan semua usaha duniawi dan mengambil jalan sebagai rahib. Membujang dilarang dengan tegas dalam Islam (HR Bukhari).

      Asal hukum melakukan pernikahan menurut pendapat sebagian sarjana hukum

      106 Islam adalah ibahah atau kebolehan atau halal.

      Dasar dari pendapat ini adalah Q.S.an-Nissa (4):1,3,4 dan 24 juga dari Hadist Rasul. Hadist-hadist Rasul itu antara lain:

      1. Hadist riwayat Bukhari-Muslim “Hai golongan pemuda, barangsiapa diantara kamu telah sanggup kawin, 104 maka kawinlah, karena kawin itu lebih menundukkan mata dan lebih 105 Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, Kado Pernikahan, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2003, hal.1 106 Abdul Rahman I.Doi, Perkawinan Dalam Syariat Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal 12 Sayuti Thalib, Op.Cit, hal.49 memelihara faraj/kehormatan dan barangsiapa yang belum sanggup maka

      107

      berpuasa itu melemahkan syahwat.” 2. Hadist Riyawat Bukhari dan Muslim.

      “Tetapi aku sembahyang, tidur, puasa, berbuka dan kawin. Barangsiapa yang

      108

      tidak menyukai sunnahku maka ia bukan umatku. ” Sebagai hasil usaha mempelajari Al’Qur’an dan Sunnah Rasulullah dalam kitab-kitab hadist, para ahli hukum Islam telah menyusun suatu teori yang merupakan penilaian mengenai perbuatan manusia. Jumlahnya lima, karena itu disebut al –ahkamal-khamsah. Artinya lima kaidah, lima ukuran untuk menilai perbuatan manusia dan benda. Nikah adalah suatu perbuatan (manusia) ia juga

      109 adalah dapat dinilai menurut ukuran tersebut.

      Kalau perbuatan nikah ditautkan dengan kaidah atau hukum yang lima itu, maka kaidah asalnya adalah ja’iz atau mubah atau ibahah, diindonesiakan menjadi

      110 kebolehan.

      Berdasarkan kepada perubahan illahnya, maka dari ibahah atau kebolehan hukum melakukan perkawinan dapat beralih menjadi sunnah, wajib, makruh, mubah

      111 dan haram.

      1. Hukumnya yang Sunnah.

      Apabila seseorang dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya telah wajar dan cenderung untuk kawin serta sekedar biaya hidup telah ada, maka menjadi sunnahlah baginya untuk melakukan perkawinan. Kalau dia nikah maka dia mendapat

      107 108 Ibrahim Hosen,Op.Cit, hal.76 109 Ibid, hal.77 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal.3. 110 111 Ibid, hal.4 Sayuti Thalib, Op.Cit, hal.49-50 pahala dan kalau dia tidak atau belum nikah, dia tidak mendapat dosa dan tidak mendapat pahala.

      Rasulullah SAW bersabda: “Kaliankah yang mengatakan begini-begini? Demi Allah, aku lebih takut dan lebih bertakwa kepada Allah SWT daripada kalian. Tapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat malam dan tidur, serta aku juga kawin dengan perempuan. Barangsiapa

      112

      yang membenci Sunahku maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR. Bukhari) 2. Hukumnya yang Wajib.

      Apabila seseorang dipandang dari segi biaya kehidupan telah mencukupi dan dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaniahnya sudah sangat mendesak untuk nikah, sehingga apabila dia tidak menikah maka dia akan terjerumus kepada penyelewengan, sehingga menjadi wajiblah kalau dia menikah dan akan mendapat pahala baik dia seorang laki-laki atau seorang perempuan.

      Kaidah fiqih mengatakan : Sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menjalankan suatu kewajiban, hukumnya adalah wajib; atau dengan kata lain: ”apabila suatu kewajiban tidak akan terpenuhi tanpa adanya suatu hal, maka hal itu wajib pula

      113

      hukumnya.” Penetapan kaidah tersebut apabila seseorang hanya dapat menjaga diri dari perbuatan zina dengan jalan perkawinan, sehingga perkawinan itu hukumnya wajib bagi dirinya.

      112 113 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.Cit, hal.11 A.Hamid Sarong ,Op.Cit, hal.34

      Firman Allah SWT : “ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang- orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba- hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya. Dan Allah Mahaluas

      114

      (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur:32) 3. Hukumnya yang Makruh.

      Apabila seseorang yang dipandang dari sudut pertumbuhan jasmaninya telah wajar untuk menikah walaupun belum sangat mendesak, tetapi belum ada biaya untuk hidup bagi istri dan anak-anaknya, maka makruh baginya untuk menikah. Kalau dia menikah dia tidak berdosa dan tidak pula dapat pahala.

      Sedangkan kalau dia tidak menikah dengan pertimbangan yang telah dikemukakan itu maka dia akan mendapat pahala.

      Imam Ghazali berpendapat bahwa apabila suatu perkawinan dikhawatirkan akan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah dan semangat bekerja dalam bidang ilmiah, hukumnya lebih makruh daripada apa yang telah disebutkan di

      115 atas.

      Mazhab Hanafi membagi makruh ada dua macam yaitu makruh tahrimi (mendekati haram) dan tanzihi (mendekati halal), sesuai dengan kuat dan lemahnya

      116 kekhawatirannya.

      114 115 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Op.Cit, hal.12 116 A.Hamid Sarong, Op.Cit, hal.36 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, Gema Insani, Jakarta, 2007, hal.42

      4. Hukumnya yang Mubah Apabila seseorang yang memiliki harta, tetapi apabila tidak menikah tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikan menikah tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajiban kepada istrinya. Al Qur’an menyebutkan pernikahan dengan lafal halal dan kata tersebut menandakan bahwa perbuatan itu diperbolehkan.

      Firman Allah SWT: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya

      117

      Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (An-Nisa’:24) Pada umumnya pernikahan anak-anak di bawah umur yang dilakukan oleh walinya juga digolongkan sebagai pernikahan yang mubah. Sebab tidak ada nash Al-

      Qur’an atau sunnah Rasul yang melarangnya. Meskipun demikian para fuqaha memberikan hak kepada anak-anak yang bersangkutan apabila telah dewasa nanti, untuk melangsungkan pernikahan yang pernah dilaksanakan oleh walinya atau memutuskannya dengan jalan fasakh. Hak ini disebut juga dengan hak khiyar.

      5. Hukumnya yang Haram.

      Apabila seorang laki-laki hendak menikahi seorang perempuan dengan maksud untuk menganiaya atau memperolok-olokannya maka haram bagi laki-laki tersebut 117

      Abdul Majid Mahmud Mathlub Op.Cit, hal.13 menikah dengan perempuan bersangkutan. Bila dia menikah juga untuk maksud terlarang itu, dia berdosa walaupun pernikahan itu tetap sah asal dan telah memenuhi ketentuan-ketentuan formil yang telah digariskan. Sedangkan kalau dia tidak jadikan perkawinan itu sehingga tidak langsung perkawinannya dengan maksud yang tidak diiziinkan Al-Qur’an itu maka dia akan mendapat pahala.

      Imam al-Qurthubi, salah seorang ulama terkemuka dalam mazhab Maliki berpendapat bahwa apabila calon suami tidak akan mampu memenuhi kewajiban nafkah dan membayar mahar (mas kawin) untuk istrinya, atau kewajiban lain yang menjadi hak istri, tidak halal menikahi seseorang kecuali apabila ia menjelaskan keadaannya kepada calon istri; atau ia bersabar sampai merasa dapat memenuhi hak-hak istrinya, barulah boleh dilangsungkan pernikahan. Ditambahkan pula bahwa orang yang mengetahui ada penyakit pada dirinya yang dapat menghalangi kemungkinan melakukan hubungan dengan calon istri, maka harus menjelaskan kepada calon istri, sehingga pihak istri tidak merasa tertipu.

      118 Pendapat Imam al-Qurthubi ini sangat penting bagi kelangsungan pernikahan.

      Dalam bentuk apapun, penipuan harus dihindari. Bukan hanya mengenai cacat atau penyakit yang dialami oleh calon suami, tetapi juga mengenai nasib keturunan, kekayaan, kedudukan atau pekerjaan jangan sampai tidak dijelaskan, sehingga pihak istri tidak merasa tertipu. Hal yang disebutkan untuk calon suami juga berlaku bagi calon istri.

      Dalam hal menetapkan hukum asal suatu pernikahan terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum perkawinan itu adalah sunnah. Dasar hukum dari pendapat jumhur ulama ini adalah begitu

      118 A.Hamid Sarong, Op.Cit,hal.35 banyaknya suruhan Allah dalam Al-Qur’an dan suruhan Nabi dalam sunnahnya untuk melangsungkan pernikahan.

      Golongan ulama yang berbeda pendapat dengan jumhur ulama adalah golongan Zhahiriyah yang mengatakan hukum pernikahan bagi orang yang mampu melakukan hubungan kelamin dan biaya perkawinan adalah wajib atau fardhu. Dasar dari pendapat ulama Zhahariyah ini adalah perintah Allah dan Rasul yang begitu banyak untuk melangsungkan pernikahan.

      Hukum asal menurut dua golongan tersebut berlaku secara umum dengan tidak memperhatikan keadaan tertentu dan orang tertentu. Dalam merinci hukum menurut perbedaan keadaan dan orang tertentu itu berbeda pula pandangan ulama.

      Ulama Syafi’i secara rinci menyatakan hukum perkawinan itu dengan melihat

      119

      keadaan orang-orang tertentu adalah sebagai berikut:

      1. Sunnah bagi orang-orang yang telah berkeinginan untuk nikah, telah pantas untuk kawin dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk melangsungkan pernikahan.

      2. Makruh bagi orang-orang yang belum pantas untuk kawin, belum berkeinginan untuk nikah, sedangkan perbekalan untuk perkawinan juga belum ada. Begitu pula ia telah mempunyai perlengkapan untuk pernikahan, namun fisiknya mengalami cacat, seperti impoten, berpenyakitan tetap, tua bangka dan kekurangan fisik lainnya. Ulama Hanafi menambahkan hukum secara khusus bagi keadaan dan orang tertentu sebagai berikut:

      120

      1. Wajib apabila berdasarkan empat persyaratan 119

      a. Bila seorang laki-laki yakin akan berbuat zina jika tidak menikah 120 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.45-46 Abdul Rahman I.Doi,Op.Cit, hal.9 b. Bila dia tidak mampu berpuasa atau sekalipun dia dapat berpuasa namun tetap tidak dapat membantunya untuk mengendalikan hawa nafsu

      syahwat nya. Tetapi bila puasa itu dapat membantunya, maka dia diharuskan lebih baik wanita untuk digauli.

      c. Bila dia tidak mendapatkan budak wanita untuk digaulinya.

      d. Bila dia mampu membayar mahar dan mampu memperoleh nafkah hidup yang halal. Namun bila dia tidak mampu mendapatkan biaya hidupnya dengan halal, maka tidak wajib baginya untuk menikah.

      2. Makruh, bagi seorang laki-laki yang tidak memiliki keinginan seksual sama sekali atau memiliki rasa cinta kepada anak-anak atau diyakininya akan mengakibatkan lalai dalam berbagai kewajiban agamanya karena menikah

      121 itu.

      Ulama lain menambahkan hukum pernikahan secara khusus untuk keadaan

      122

      dan orang tertentu sebagai berikut:

      a. Haram bagi orang-orang yang tidak akan memenuhi ketentuan syara’ untuk melakukan pernikahan atau ia yakin pernikahan itu tidak akan mencapai tujuan syara’, sedangkan dia meyakini pernikahan itu akan merusak kehidupan pasangannya.

      b. Mubah bagi orang-orang yang pada dasarnya belum ada dorongan untuk nikah dan pernikahan itu tidak akan mendatangkan kemudaratan apa-apa kepada siapa pun.

      Terlepas dari hukum pernikahan yang beraneka ragam ini, yang pasti pada satu sisi Nabi Muhammad SAW menganjurkan para pemuda yang memiliki kemampuan biaya hidup supaya melakukan pernikahan. Sementara pada sisi lain Nabi Muhammad SAW melarang keras umat Islam melakukan tabattul (membujang selamanya). Khusus bagi pemuda karena satu dan lain hal, terutama alasan ekonomi sehingga belum mampu melakukan pernikahan, maka dianjurkan supaya melakukan

      saum

      (puasa). Saum itu dalam pengertiannya yang harfiah yakni sekedar menahan, 121 122 Abdul Rahman I.Doi, Op.Cit, hal.10 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal.45-46 maupun dalam konteks kesyariahan yakni benar-benar melakukan ibadah shiyam (puasa).

      Hadist Rasulullah SAW : “Dari Abdillah bin Mas’ud, dia berkata: “(Suatu ketika) Rasulullah SAW pernah menyeru kami: “Hai para pemuda! Siapa saja di antara kalian yang telah sanggup kawin, maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih memejamkan pandangan (mata) dan lebih (dapat) memelihara kemaluan: dan siapa yang belum (tidak) mampu, maka hendaklah dia berpuasa,

      123

      karena puasa itu adalah obat (pengekang) baginya.” (HR Muttafaq’alaih)

    C. Prinsip dan Asas Dalam Pernikahan

      Suatu perkawinan dapat mencapai tujuan sebagaimana yang ditetapkan dalam syariat, yaitu kebahagiaan akhirat, maka Islam menggariskan beberapa prinsip yang

      124

      harus dipedomani sebagai berikut: 1. Prinsip Kebebasan dalam Memilih Jodoh.

      Memilih jodoh merupakan hak pilih yang bebas bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan dengan yang digariskan syari’ah. Sebelum Islam, anak perempuan sama sekali tidak memiliki hak pilih, bahkan dirinya sepenuhnya dimiliki oleh ayahnya atau walinya. Ayah atau walinya dapat menentukan siapa yang menjadi jodohnya. Kemudian tradisi ini diubah oleh Nabi Muhammad SAW. Meskipun Islam memberikan hak pilih yang bebas dalam mencari pasangan, namun terdapat rambu-rambu yang diberikan agar tidak salah dalam memilih suami ataupun istri,misal dilarang menikahi orang musyrik, dilarang menikahi orang yang termasuk dalam kategori mahram (yang tidak boleh dinikahi menurut syar’i) ,dan dilarang menikahi pezina dan orang-orang yang berperilaku keji (QS An-Nisa’/4:23-24,An-Nur/24:3 dan 26).

      2. Prinsip Mawaddah wa Rahmah (Cinta dan Kasih Sayang).

      Mawaddah

      dan rahmah ini hanya dikhususkan kepada manusia, bukan kepada mahluk lainnya. Perkawinan pada mahluk lain, seperti pada tumbuh-tumbuhan dan binatang, tujuannya adalah semata-mata untuk menjamin kelangsungan 123 perkembangbiakan mereka jadi penekanannya untuk berkembangbiak. 124 Muhammad Amin Suma, Op.Cit, hal.93-94 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Op.Cit, hal 11-15 Perkawinan manusia, meskipun mengandung tujuan untuk berkembang biak, namun yang hakiki adalah untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT.

      3. Prinsip Saling Melengkapi dan Melindungi.

      Prinsip ini ditemui dalam QS Al-Baqarah ayat 187: “..Istri-istri kamu (para suami) adalah pakaian untuk kamu, dan kamu adalah pakaian untuk mereka.” Mengisyaratkan bahwa sebagai laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki kelemahan dan keunggulan. Tidak ada yang sempurna dalam segala hal, sebaliknya tidak ada pula yang serba kekurangan. Karena itu dalam kehidupan suami istri, manusia saling membutuhkan. Masing-masing harus dapat berfungsi memenuhi kebutuhan pasangannya ibarat pakaian menutupi tubuh.

      4. Prinsip Mu’asyarah bil-Ma’ruf (Memperlakukan Istri dengan Sopan) Setiap suami dalam kehidupan rumah tangga harus menetapkan satu pilihan diantara dua pilihan: pertama memenuhi semua hak istrinya dan melaksanakan segala kewajiban dengan sopan santun dan kedua, memutuskan ikatan perkawinan dan membebaskan istrinya secara ma’ruf (dengan cara-cara yang patut dan sopan).

Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.261/K/AG/2009)

1 90 131

Perceraian Karena Li’an dan Akibat Hukum Dalam Perspektif Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam

11 169 127

Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

1 39 128

Hadhanah Setelah Terjadi Perceraian Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan...

0 34 4

Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia

2 65 118

Penyelesaian Sengketa Hadhanah Menurut Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam

3 143 147

BAB II KETENTUAN-KETENTUAN PERKAWINAN DAN BEBERAPA TEORI PENETAPAN HUKUM ISLAM A. Beberapa Aturan dalam Hukum Perkawinan Islam 1. Akad Nikah a. Pengertian Akad Nikah - Pemikiran Hukum Ulama Banjar terhadap Perkawinan Islam di Kalimantan Selatan - Digital

0 0 74

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Dan Asas Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 - Pelaksanaa

0 0 42

BAB II KAJIAN TENTANG WARISAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT A. Pengertian Warisan Menurut Hukum Islam dan Hukum Adat 1. Menurut Hukum Islam - Kajian Yuridis Pelaksanaan Warisan Pada Masyarakat Adat Batak Mandailing Di Padang Lawas

0 0 31

BAB II WAKAF BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN PERATURAN-PERTURAN HUKUM AGRARIA A. Wakaf Berdasarkan Hukum Islam 1. Pengertian Wakaf - Problematika Pendaftaran Tanah Wakaf (Studi di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang)

0 0 51