Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia

(1)

PERNIKAHAN DENGAN MENGGUNAKAN WALI

HAKIM DITINJAU DARI FIQIH ISLAM DAN

KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

TESIS

Oleh

MARAHALIM

057005037/HK

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

PERNIKAHAN DENGAN MENGGUNAKAN WALI

HAKIM DITINJAU DARI FIQIH ISLAM DAN

KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARAHALIM

057005037/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(3)

Judul Tesis : PERNIKAHAN DENGAN MENGGUNAKAN WALI HAKIM DITINJAU DARI FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA Nama Mahasiswa : Marahalim

Nomor Pokok : 057005037 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 10 September 2007

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA Anggota : 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS

2. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Pernikahan merupakan suatu perbuatan hukum, yang memerlukan syarat dan rukun agar dapat dipandang syah menurut hukum. Diantara hukum islam yang selalu menjadi persoalan pelik ditengah masyarakat adalah tentang keberadaan wali. Bagaimana seandainya seorang wali, yaitu wali nashab berhalangan untuk menikahkan seorang wanita yang di bawah perwaliannya, baik berhalangan itu dalam bentuk tidak dapat menjalankan tugasnya disebabkan oleh keadaan fisiknya yang tidak memungkinkan, seperti masih kecil (Shaghir), sakit atau gila, ataupun disebabkan keengganannya (Adhal) untuk menjalankan tugas sebagai wali. Dilain sisi, undang-undang perkawinan tidak memberikan ketentuan jelas terhadap masalah ini. Bahkan pasal 6 ayat (2) undang -undang ini mengisyaratkan ketentuan izin wali tidak lebih hanya diperlukan bagi perkawinan oleh wanita yang belum mencapai usia dua puluh satu (21) tahun. Akan tetapi undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menjadi barometer pelaksanaan perkawinan di Indonesia, khususnya umat Islam di Indonesia, melalui dalam pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa hukum Islam sebagai rujukan syah atau tidaknya suatu pernikahan. Mulai yang membolehkan perempuan menjadi wali nikah, peralihan hak perwalian di sebabkan tidak hadirnya wali disaat pernikahan dilaksanakan baik karena ghaib atau adhol, sampai kepada boleh atau tidak pernikahan dilangsungkan tanpa adanya wali nikah.

Pembahasan tentang perkawinan dengan menggunakan wali hakim tidak dijumpai sekarang mendetail dalam undang-undang, maka berdasarkan pasal 2 ayat (1) undang-undang perkawinan yang menyatakan bahwa kedudukan wali atau wali hakim dirujuk kepada hukum Islam. Maka hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia adalah kompilasi Hukum Islam (KHI). Karena KHI banyak mengacu pada Al-Quran dan Hadits serta kitab-kitab Fiqih dari sebahagian mazhab yang berkembang dalam khazana Islam, terutama mazhab syafi’i yang merupakan mahzab mayoritas yang diyakini oleh umat Islam di Indonesia.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu berusaha menggambarkan fakta dan data-data bagaimana seorang perempuan yang ingin menikah dengan menggunakan wali hakim dengan mengumpulkan data sekunder, data sekunder didapat dari literatur-literatur kepustakaan. Dari data yang diperoleh dari lapangan sejak Januari 2006 sampai dengan bulan Februari 2007, menujukan bahwa dikota Medan setiap bulannya selalu ada perkawinan yang dilaksanakan dengan berwalikan hakim, disebabkan oleh faktor-faktor yang tersebut diatas. Hasil penelitian menunjukan bahwa, wali hakim adalah wali yang diangkat oleh pemerintah atau wali yang ditunjuk oleh putusan pengadilan. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, mempersyaratkan adanya wali secara mutlak dalam suatu perkawinan dan berfungsi sebagai pelaksanaan ijab akad nikah dalam perkawinan, pada dasarnya wali hakim berfungsi sebagai pengganti, bukan sebagai wakil dari wali nashab, dalam keadaan hal-hal yang menyebabkan berpindahnya hak perwalian ketangan wali hakim yang oleh hukum dan peraturan perundang-undangan membenarkan wali hakim sebagai


(6)

wali nikah. Selanjutnya disarankan, kepada masyarakat muslim agar tidak terpengaruh dengan pengakuan seseorang yang menyatakan dirinya wali hakim, kepada pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan agar jangan memilih jalan pintas dengan cara memilih berwali hakim padahal wali nashab masih ada, kepada wali nashab agar tidak mempersulit peminangan terhadap putrinya dengan pertimbangan pribadi atau tidak sekutu, karena sikap yang demikian akan digunakan oleh anak perempuannya untuk menikah dengan berwali hakim.

Kata kunci : Pernikahan, Wali Hakim, Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam


(7)

ABSTRACT

Marriage is legal action wihch needs basic principles that make it legally valid. Of the basic principles of marriage, the existence of guardian alwayas becomes a complicated problem in the community. What if a lineage guardian (wali nashab) cannot marry off a women under his guardianship because of his physical limitation such as being underage (shagir), sick or his unwillingness (adhal) to perform his duty as a guardian while tha law of marriage does not provide a clear stipuliton on this problem. Even, article 6 (2) of law of marriage indication that the stipuliton under permission of guardian is only nedded for the marriage of women under 21 year old. But in article 2 (1) of law No. 1/1974 on marriage that becomes the barometer of the inplementation of marriage in Indonesion, especially for the Indonesion moslems, it is stated the Islamic law is a reference of whether or not a marriage is legal. The other compilycated problems vary from to law a women to act as a guardian in a marriage, to transfer the right of guardianship because of the absence of the lineage guardian during the marriage ceremony because of his unwillingness to whether not a marriage ceremony can be ferformed in the absence of lineage guardian.

The discussion on the marriage performed under an appointed guardian is not found in detail in law mariage, therefore, based on the article 2 (1) of law of mariage stating that the position of liniage guardian or appointed guardian is refered to Islamic law and the Islamic law which has become the positive law in Indonesia is the Compilation of Islamic laws which greataly refers to Al-Quran And Hadits as well as the books of Figh wiretten by several mazhab (schools) especially the books written by mazhab syafi’i which is widely followed by the moslems in the Indonesion.

This analytical descriptive study describes how a women who wants to get married under an appointed guarden. The primary data were obtained through the information given by the respondents encountered when doing the field work from January 2006 to February 2007 in Medan while the secondary data were obtained through library reserch.

The result of this study shows that there is a marriage performed under an appointed guardian caused by the factors mentioned above in Medan evey month and an appointed guardian is the one appointed by the government or appointed based on the decision of court. Law No.1/1974 absolutely requires the presence of a guardian in a marriage who act as the person responsible for administering an oath in a wedding ceremony. Basically, an appointed guardian is only a substitute, not a representative of the lineage guardian (wali nashab), in a situation where the right of guardianship should be transferred to an appointed guardian who is approved by the legislation.

It is suggested that moslem community be not influeenced by someone saying that he is an appointed guardian. The couples who are getting married are suggested not to take a short cut by choosing to employ the appointed guardian while the lineage guardian (wali nashab) is available. The lineage guardian is hoped not to complicate the proposal of his daughter based on his personal disagreement because


(8)

this kind of attitude will encourage his daughter to get married under an appointed guardian.

Key words : Marriage, Appointed Guardian, Islamic Fiqih, Compilation of Islamic laws


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmad dan karuniaNYA sehingga tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya .

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Ilmu Hukum pada sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul “Pernikahan dengan menggunakan wali hakim ditinjau dari Fiqih Islam kompilasi hukum Islam di Indonesia”.

Didalam penyelesaian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan baik pengajaran, bimbingan, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian tesis ini, yaitu :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A (K) dan Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk dapat menjadi mahasiswa pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH sebagai ketua program studi Magister Ilmu Hukum dan juga sebagai pembimbing yang telah memberikan perhatian penuh, mendorong dan membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat dalam penyelesaian studi.


(10)

3. Bapak Prof. Dr. Hasballah Thaib, MA sebagai pembimbing yang telah memberikan perhatian penuh, mendorong dan membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat dalam penyelesaian studi.

4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, sebagai pembimbing yang telah memberikan perhatian penuh, mendorong dan membekali penulis dengan ilmu yang bermanfaat dalam menyelesaikan studi.

5. Bapak Prof. Dr. Suhaidi SH, MH, sebagai Dosen penguji yang telah banyak memberikan perhatian penuh dan mendorong penulis dengan ilmu yang bermafaat dalam menyelesaikan studi.

6. Ibu Dr. sunarmi. SH. M.Hum, sebagi Dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan, perhatian penuh dan mendorong penulis dengan ilmu yang bermanfaat dalam penyelesaian studi.

7. Orang tua, Ayahanda tercinta Alm H.Abdurahman Harahap, yang mana semasa hidupnya selalu memberi dorongan dan dukungan penuh bagi penulis untuk melanjutkan studi di Medan, tapi sayang, detik-detik terakhir penulis menyelesaikan perkuliahan beliau di panggil oleh yang maha kuasa, sehingga beliaupun tidak bisa menyaksikan penulis dalam akhir-akhir perkuliahan yang penuh kesenangan dan kegembiraan itu. Yang paling sedihnya lagi, penulis belum sempat membahagiakan Ayahanda tercinta beliau sudah menghadap Allah SWT, sekarang hanya do’a yang bisa penulis panjatkan semoga Almarhum ayahanda tercinta di ampunkan Allah segala dosanya, dan diterima amal ibadahnya serta ditempatkannya ditempat yang


(11)

sebaik-baiknya, amin. Ibunda tercinta Dumasari Hasibuan, yang juga telah memberikan dorongan dan dukungan serta do’anya yang tiada henti-hentinya sehingga saat sekrang ini, penulis sangat yakin bahwa karena do’a beliaulah sehingga penulis bisa menyelesaikan perkuliahan di sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, penulis juga senantiasa berdo’a semoga kiranya Allah SWT memberikan kesehatan, umur yang panjang serta dikabulkanNYA semua keinginan beliau khususnya keinginan untuk menunaikan ibadah haji. Selanjutnya Istri tercinta Syahfitri Daeng Tekne, yang telah memberikan dukungan, dorongan penuh, bahkan sampai dengan membayar uang kuliah serta membantu, mengetik, mencari bahan, sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini.

8. kepada teman-teman yang telah banyak memberikan inspirasi, meminjamkan buku, buku catatan, masukan dan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini, serta para pihak yang telah membantu penyelesaian tesis ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhir kata kepada Allah SWT juga kita serahkan dan semoga bimbingan, arahan yang di berikan akan menjadi amal ibadah dan akan mendapat imbalan yang layak dariNYA, semoga tesis ini bermafaat bagi kita semua, amin.

Medan, 17 Agustus 2007 Marahalim


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Marahalim

Tempat/Tanggal Lahir : S. Aling Madina, 14 mei 1972 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pendidikan :

- Sekolah Dasar Negeri 142607 Pacinaran Tahun Lulus 1986

- Madrasyah Tsanawiyah Mustofawiyah Purba Baru Tahun Lulus 1990 - Madrasyah Aliyah Mustofawiyah Purba Baru Tahun Lulus 1993

- Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara Medan Tahun Lulus 2000

- Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan Tahun Lulus 2007.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Batasan Masalah ... 6

F. Keaslian Penelitian ... 6

G. Kerangka Teori ... 7

1. Tinjauan Umum Tentang Perwalian/Wali ... 7

2. Syarat-syarat perwalian/Wali ... 12

3. Macam-macam Wali ... 16

4. Wali Hakim ... 17

H. Metode Penelitian ... 25


(14)

2. Sumber Data ... 26

3. Alat Pengumpulan Data ... 26

4. Analisis Data ... 26

BAB II PENGANGKATAN WALI HAKIM DALAM UU NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM ... 28

A. Pengangkatan dan Fungsi Wali Hakim ... 28

B. Kedudukan Wali Hakim Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam ... 33

C. Syarat-syarat Untuk Menjadi Wali Hakim ... 56

BAB III FUNGSI WALI HAKIM DALAM PERKAWINAN... 71

A. Perwalian Dalam Perkawinan ... 71

B. Perpindahan Hak Perwalian ... 80

C. Pelaksanaan dan Tata Cara Perkawinan Berwalikan Hakim ….. 86

BAB IV KEABSAHAN SUATU PERKAWINAN MELALUI WALI HAKIM ... 89

A. Wali Yang Disahkan Oleh Pengadilan ... 89

B. Pertimbangan Wali Hakim ... 93


(15)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 96

A. Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 98


(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman 1 Jumlah Pernikahan Perbulan Di Medan Dari Tahun 2006 s/d Feb


(17)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah Sunatullâh, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan manusia, hewan dan bahkan tumbuh-tumbuhan. Allah berfirman:

Ιゅヨョヱ

ユヰジヘルぺ

リョヱ

チケΕや

ろらレゎ

ゅヨョ

ゅヰヤミ

ァやヱコΕや

ペヤカ

ングャや

ラゅエらシ

ラヲヨヤバΑ

)

ザΑ

:

36

(

Artinya: Maha suci Allah yang telah menjadikan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan di bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Yasin: 36).

Manusia adalah makhluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan Allah dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah telah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya. Allah Swt tidak membiarkan manusia berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya atau seperti tumbuhan yang kawin dengan perantaraan angin, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

ウホやヲャ

ゥゅΑゲャや

ゅレヤシケぺヱ

Artinya: … dan Kami hembuskan angin untuk mengawinkan tumbuh-tumbuhan. (Al-Hijr: 22)


(18)

Allah telah memberi batas dengan peraturan-peraturan-Nya, yaitu dengan syari`at yang terdapat dalam kitab-Nya dan Hadits Rasul-Nya dalam bentuk hukum-hukum perkawinan, misalnya mengenai meminang sebagai pendahuluan perkawinan, tentang mahar atau mas kawin, yaitu pemberian seorang suami kepada istrinya sewaktu akad nikah atau sesudahnya. Demikian juga dengan perkawinan itu sendiri yang mempunyai syarat-syarat dan rukun-rukun.

Pernikahan merupakan suatu perbuatan hukum, yang memerlukan syarat dan rukun agar dapat dipandang sah menurut hukum. Yang dimaksud dengan syarat disini ialah syarat perkawinan1, yaitu yang berkaitan dengan rukun-rukun pernikahan itu sendiri, diantaranya syarat bagi calon mempelai pria yang bukan merupakan mahram dari mempelai wanita, atas kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang menjalani ihram. Syarat bagi wanita diantaranya tidak berhalangan syar`i,2 jelas orangnya dan tidak sedang melaksanakan ihram. Syarat bagi wali diantaranya laki-laki, baligh, berakal sehat, adil dan tidak sedang melaksanakan ihram. Sedangkan saksi haruslah laki-laki, baligh, sehat akalnya adil, dapat mendengar dan melihat, tidak mengerjakan ihram dan memahami bahasa yang digunakan dalam ijab-kabul. Adapun rukun-rukun nikah sebagai berikut:

a. Lafadz Ijab dan Qabul b. Calon Suami

c. Calon Istri d. Dua Saksi

1

H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah, terj Drs. Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hlm. 30-31.

2

Yang dimaksud dengan berhalangan syar`i ialah sedang tidak bersuami, bukan mahram, dan tidak sedang dalam masa iddah. Lihat: Ibid.


(19)

e. Wali3

Ijab Qabul merupakan lafadz yang diucapkan oleh wali mempelai perempuan kepada calon mempelai pria. Lafadz yang mengikat antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan. Ijab Qabul merupakan unsur yang paling penting antara yang mengakadkan, yaitu wali, dengan yang menerima akad. Berkaitan dengan wali, Rasulullah SAW bersabda:

ヴャヲよ

Ιま

ゥゅムル

Ι

Artinya: Tidak sah nikah kecuali dengan wali.

Dalam pembahasan fiqh wali dibagi 3 (tiga) macam: 1. Wali Nasab

2. Wali Hakim 3. Wali Tahkim

Seorang perempuan dalam keadaan tertentu, tidak memiliki wali nasab karena ia dilahirkan sebagai anak zina atau anak yang dilahirkan denga proses bayi tabung dengan sistem ibu penganti atau mungkin dengan cloning, atau perempuan yang mau menikah memiliki wali nasab tetapi wali nasab tersebut tidak mau menikahkannya karena laki-laki calon suami tidak se-kufu dengan putrinya tersebut, maka wanita tersebut dapat menikah tanpa berwali nasab.

3

Syahbuddin, Qaliubi wa Umairah, (Singapore: Maktabah wa Matba`ah, Sulaiman Zamra`I, tt), hal. 216.


(20)

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan sebagai berikut: Pasal 20: Kompilasi Hukum Islam ( KHI )

Ayat (1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah sorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil dan baligh.

Ayat (2) Wali nikah terdiri dari (a) wali nasab,(b) wali hakim.

Pasal 22: Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa secara hukum fiqih Islam maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan secara jelas ada kemungkinan seorang perempuan untuk memilih dengan berwali hakim. Namun apakah pemilihan wali hakim menjadi wali nikah dapat dilaksanakan oleh calon mempelai wanita dengan serta-merta tanpa ada faktor lain yang mempengaruhinya. Dengan kata lain, apabila seorang wali nasab yang enggan untuk menjadi wali dalam pernikahan tersebut, disebabkan oleh ketidaksukaan wali kepada calon mempelai laki-laki misalnya, apakah calon mempelai wanita langsung dapat meminta seorang petugas resmi yang ditunjuk pemerintah untuk menjadi wali nikahnya.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, perumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(21)

1. Bagaimana pengangkatan Wali hakim dalam UU Nomor 1 tahun 1974 dan Hukum Islam

2. Bagaimana fungsi Wali hakim dalam perkawinan.

3. Bagaimana pertimbangan Wali hakim dalam menikahkan seorang perempuan yang memiliki wali nasab serta keabsahan Wali hakim dalam pernikahan tersebut. C. Tujuan Penelitian

Sebagaimana diketahui bahwa pluralisme mazhab bidang furu`iyah tidak dapat dihindarkan sehingga tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui apa yang membenarkan seorang perempuan dapat menikah dengan berwali hakim

2. Untuk mngetahui siapa wali hakim, dan siapa yang berhak mengangkatnya 3. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan wali

hakim sebagai wali nikah, dan bagaimana keabsahan wali hakim dalam menikahkan perempuan tersebut.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis.


(22)

Secara teoritis memberi informasi tentang kedudukan dan kekuasaan wali dan atau wali hakim dalam perwaliannya menurut para ahli hukum pada umumnya dan hukum Islam pada khususnya.

Secara praktis menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan ilmu pengetahuan hukum keluarga pada khususnya tentang perwalian bagi wali hakim dalam hukum Islam, sehingga nantinya memberikan hukum sekunder bagi kalangan yang berminat mempelajarinya.

E. Batasan Masalah

Batasan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah membahas tentang penyebab seorang perempuan menikah dengan berwali hakim, peran dan kekuasaan wali atau wali hakim dalam pelaksanaan perkawinan. Sedangkan yang dimaksud dengan Wali Hakim ialah wali yang ditunjuk dan ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahu 1987 tentang Wali Hakim. Jelasnya kedudukan dan wewenang wali hakim dalam pelaksanaan perkawinan.

F. Keaslian Penelitian

Penelitian dengan judul perkawinan dengan menggunakan wali hakim sepanjang yang diketahui berdasarkan penelusuran atas hasil-hasil penelitian yang sudah ada, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, belum pernah


(23)

dilakukan, terutama yang berkenaan dengan Penelitian perkawinan dengan menggunakan wali hakim, penelitian yang ada hubungannya dengan wali hakim yang pernah ada adalah kedudukan wali hakim menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, oleh Parimpunan Matondang, Mahasiswa Universitas Sumatera Utara 2003. G. Kerangka Teori

1. Tinjauan umum tentang perwalian/wali

Tiap orang dapat memiliki hak-hak, atau dengan perkataan lain tiap orang menjadi pendukung hak dan ia diperbolehkan kalau memliki kecakapan sempurna bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya. Fikih Islam menggunakan istilah ahliyah untuk menunjuk arti kecakapan. Kecakapan mendukung hak disebut Ahliyatul Wujub dan kecakapan menggunakan hak terhadap orang lain disebut Ahliyatul Ada'.

Ahliyatul Ada' adalah kecakapan menggunakan hak terhadap orang lain, atau dengan kata lain kecakapan melakukan perbuatan hukum atas nama orang lain.

Meskipun tiap orang menjadi pendukung hak, akan tetapi di dalam hukum tidak semua orang diperbolehkan bertindak untuk melaksanakan haknya itu. Oleh


(24)

Undang-undang berbagai golongan ada yang dinyatakan "tidak cakap" atau "kurang cakap" untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum.4

Orang yang belum dewasa atau masih dibawah umur, harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya.

Kekuasaan/kewenangan seorang wali dalam bertindak untuk kepentingan dan atas nama yang dibawah kewaliannya disebut perwalian.

Tentang perwalian, secara etimologi dalam bahasa Indonesia "Segala sesuatu yang menjadi urusan wali".5 Dalam bahasa Arab disebut dengan Wilayah. Perwalian ialah: An-Nashrah (pertolongan)6 atau tempat berlindung sesuatu dan perlindungan terhadap sesuatu.7

Secara terminologi (istilah) perwalian ialah: Kekuasaan melakukan akad dan transaksi, baik akad nikah maupun akad lainnya tanpa ketergantungan kepada orang lain. Para fuqaha (ahli hukum Islam) membagi perwalian itu menjadi perwalian atas diri pribadi dan atas harta (kekayaan). Perwalian atas diri pribadi dimaksud adalah kekuasaan melakukan akad (perkawinan) tanpa ketergantungan kepada orang lain,

4

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa,1992), hlm. 20. 5

WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka,1976), hlm. 1147.

6

Ahmad Hudri, Al-Ahwal as-Syakhshiyah, (Mesir: Maktabah Kuliiyah al-Arabiyah, 1968), hlm. 3.

7

Zakiyuddin Sya`ban, Al-Ahkam as-Syar`iyyahli Ahwal asSyakhshiyyah, (Kairo: Dâr an-Nahdhah al-`arabiyah, 1969), hlm. 214.


(25)

dan perwalian atas harta kekayaan ialah kekuasaan/kewenangan mengurusi akad yang berkaitan dengan harta/kekayaan yang dimiliki oleh yang dibawah perwalian tanpa ketergantungan kepada orang lain.8

Subekti (1992) mengemukakan perwalian (voogdif) adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak ada dibawah kekuasaan orang tua serta pengawasan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang.9

Di dalam Pasal 1 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan, "Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melaksanakan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai orang tua atau orang tua yang masih hidup, tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum".

Dengan demikian, perwalian atau wilayah dalam bahasa Arab, berarti suatu kekuasaan/kewenangan yang berasal dari syara` untuk melakukan tindakan atau akad yang mempunyai akibat-akibat hukum.10 Kecuali itu, bahwa perwalian dimiliki oleh wali, yang dalam kewaliannya memiliki kekuasaan melakukan tindakan/perbuatan hukum atas orang lain, baik yang berkaitan dengan diri pribadi, misalnya tentang perkawinan maupun yang berhubungan dengan pengurusan harta benda orang yang

8 Ibid. 9

Subekti, op. cit., hlm. 52. 10


(26)

dibawah kewaliannya, orang yang berkecakapan tidak sempurna sehingga ia berada dibawah perwalian atau diwalikan.

Khusus mengenai perwalian dalam perkawinan (Wilayah Tazwij), Muhammad Jawwad Mughniyah (2001) mengatakan:

"Adalah suatu kekuasaan atau wewenang syâri` atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang lain yang dikuasai itu demi kemaslahatannya".11

Ini berarti perwalian dalam perkawinan dipangku oleh seorang wali dan mempunyai wewenang untuk mengakadnikahkan yang diwalikannya. Karena wali adalah: "Pengasuh pengantin perempuan ketika nikah, yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki".12

Sayid Sabiq (1998) mengatakan "wali ialah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya".13

Al-Kahlani mengatakan "wali ialah kerabat terdekat dari ashabah si calon mempelai perempuan, bukan keluarga zawil arham-nya.14 Dalam pada itu pasal 50 ayat (1) Undang-undang perkawinan menyebutkan, " anak yang belum mencapai

11

Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab., (Jakarta: Terj Masykur AB., Lentera, 2000), hlm. 345.

12

WJS. Poerwadarminta, loc. cit. 13

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung: terj Mahyuddin Shf., jilid VIII, PT. Al-Maarif, 1998), hlm. 11

14


(27)

umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua berada dibawah kekuasaan wali".

Jadi semua orang yang disebutkan di atas bila melakukan tindakan/perbuatan hukum, dalam kedudukan mereka sebagai wali bertindak atas nama orang lain yang berada di bawah perwaliannya, dan mereka memperoleh kekuasaan itu dari orang lain.

Orang lain dalam bentuk perwakilan adalah orang yang mewakilkan. Dalam hal perwalian ayah dan kakek atas nama anak atau cucu, demikian pula perwalian pengadilan dan orang yang menerima wasiat, orang lain itu adalah syar`i (Allah dan Rasul-Nya atau ketentuan Syara`).

Dari uraian terdahulu dapat diketahui bahwa untuk dapat terjadinya tindakan atau akad yang mempunyai akibat hukum, orang yang melakukannya harus cakap melakukan tindakan hukum dan mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk melakukannya, baik berupa kekuasaan asli atas nama diri sendiri atau sebagai wali atas nama orang lain.


(28)

2. Syarat-syarat Perwalian/Wali a. Menurut Hukum Islam

Terjadinya tindakan/perbuatan hukum atau akad yang mempunyai akibat hukum, sehingga orang yang melakukannya harus cakap dan mempunyai kekuasaan untuk melakukannya.

Menyangkut masalah perwalian dalam perkawinan, untuk sahnya perwalian disyaratkan :

1. Berkecakapan sempurna, yaitu baligh, berakal dan merdeka. Oleh karena itu tidaklah sah anak-anak (belum dewasa), orang gila dan hamba sahaya memangku perwalian, karena mereka tidak mempunyai wilayah atas diri sendiri, apalagi wilayah atas wilayah orang lain, tentu lebih tidak layak.15

2. Kesamaan agama antar wali dan yang diwalikan. Oleh karena tujuan perwalian adalah untuk kebaikan orang yang dibawah perwalian, maka kesamaan agama diantara keduanya lebih layak

15

Muhammad Salam Madkur, Ahkam Usrah fi Islam, (Beirut: an-Nahdhah al-`Arabiyah, jld I 1968), hlm. 178.


(29)

untuk kebaikannya. Oleh sebab itu tidak layak perwalian non muslim atas oarng muslimah.16

3. Adil. Adil menjadi syarat perwalian dikalangan mazhab Syafi`i, namun tidak demikian bagi mazhab Hanafi. Menurut mazhab Hanafi meskipun ada hadits:

ヵギワゅセヱ

ギセゲョ

ヴャヲよ

Ιま

ゥゅムル

Ι

メギハ

Hadits ini tidak dapat dijadikan dalil, sebab hadits ini dha`if, kalaupun hadits ini diterima sebagai dalil, kata mursyid dalam hadits tersebut bukan bermakna adil, akan tetapi cerdik, yaitu dapat membedakan baik dan buruk.

4. Laki-laki. Laki-laki merupakan syarat perwalian, karena ia dianggap lebih sempurna, sedangkan wanita dianggap tidak sanggup mewakili dirinya sendiri, apalagi orang lain.17

Dengan demikian bagi sahnya perwalian dalam hukum Islam masih terdapat pluralistik mazhab, meskipun ada keseragaman pendapat tentang baligh, berakal, merdeka dan Islam menjadi syarat perwalian. Mazhab Syafi`i menambahkan adil dan laki-laki menjadi syarat menjadi wali, sementara mazhab Hanafi tidak mensyaratkan.

16 Ibid. 17

Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: terj M. Abdul Ghaffar, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2001), hlm. 59.


(30)

b. Menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 Pasal 47 ayat (1) Undang-undang ini menyatakan,

"Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. (2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan".

Memperhatikan bunyi kedua ayat tersebut, diketahui bahwa kedua orang tua mempunyai kekuasaan/wewenang bertindak dalam melakukan perbuatan hukum atas nama dan untuk kepentingan anaknya. Namun kewenangan itu dimiliki oleh mereka jika anaknya belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun, tidak pula sudah pernah menikah, tentu termasuk janda dan tidak pula kekuasaan mereka telah dicabut.

Dalam hal kekuasaan orang tua telah dicabut, kewenangan untuk pelaksanaan perkawinan menjadi kekuasaan wali. Pasal 50 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan, "Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. (2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya".

Berdasarkan bunyi kedua pasal tersebut di atas, tidak jelas apakah yang dimaksud kedua orang tua atau wali lak-laki atau perempuan. Ini berarti


(31)

Undang-undang Perkawinan memberi peluang bagi perempuan memangku perwalian, dengan perkataan lain perempuan juga boleh menjadi wali?

Selanjutnya pasal 51 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan, "Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik".

Undang-undang Perkawinan dalam hal wali mensyaratkan dewasa, sehat pikiran, adil, jujur dan berkelakuan baik bagi wali, tanpa mensyaratkan laki-laki. Khusus mengenai wali nikah Undang-undang Perkawinan tidak menjelaskan apakah perempuan boleh menjadi wali. Namun demikian karena Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga merupakan hukum tertulis dan juga menjadi acuan bagi pelaksanaan Undang-undang Perkawinan mensyaratkan laki-laki sebagai wali nikah. Pasal 20 ayat (1) KHI menyatakan "Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, akil dan baligh".

Syarat perwalian/wali menurut Undang-undang Perkawinan ialah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, berkelakuan baik. Secara teoritis Undang-undang Perkawinan tidak menyebutkan laki-laki menjadi syarat wali, akan tetapi dalam prakteknya laki-laki menjadi syarat dalam perwalian dan dalam perkawinan, karena demikian menurut KHI. Itu artinya haruslah laki-laki yang menjadi wali nikah.


(32)

3. Macam-macam Wali

Adapun macam-macam wali dapat digolongkan berdasarkan sudut pandang yang dipakai untuk itu, antara lain:

a. Melihat objek perwaliannya.

Para ulama fiqih sependapat bahawa wali dalam perkawinan (wilayah Tazwij) ditinjau dari segi objek perwaliannya dapat digolongkan menjadi wali mujbir

]

ゲらイヨャや

ヴャヲャや

[

dan wali ghairu mujbir

[

ゲらイヨャや

ゲΒビ

ヴャヲャや

]

.

Adapun wali mujbir ialah seorang wali berhak mengakadnikahkan orang yang diwalikannya tanpa persetujuan yang bersangkutan,18 sedangkan wali ghairu mujbir sebaliknya, yaitu wali tidak memiliki hak untuk mengawinkan tanpa persetujuan yang diwalikannya.

Menurut Mahmud Yunus (1981) "wali mujbir artinya, wali yang boleh memaksakan perkawinan kepada anaknya sehingga ia boleh mengawinkan anak perempuannya dengan tiada meminta izin terlebih dahulu kepada anaknya".19

Agama memang mengakui wali mujbir memiliki kewenangan memaksakan ijab akad nikah anak perempuannya yang belum dewasa selagi masih gadis. Dalam hal ini para fuqaha sependapat.

18

Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 21. 19


(33)

b. Melihat jauh dekatnya hubungan kekerabatan.

Memandang kepada jauh-dekatnya hubungan pertalian darah antara yang diwalikan dengan walinya, wali dapat dibagi menjadi wali aqrab

[

ゆゲホΕや

ヴャヲャや

]

dan wali ab`ad

[

ギバよΕや

ヴャヲャや

]

.

Misalnya kakek dengan ayah dan anak dengan cucu. Maka dalam hal ini ayah sebagai wali aqrab dan kakek menjadi wali ab`ad, dan anak sebagai wali aqrab sedangkan cucu menjadi wali ab`ad.

c. Melihat kedudukan pemangku perwalian.

Mereka para wali kerabat calon mempelai yang disebut sebagai wali nasab, mempunyai kewenangan dalam perwalian, sesuai urutan kedudukanya yang tererat dengan calon mempelai. Kewenangan yang mereka peroleh karena kedudukan mereka sebagi keluaarga terdekat. Namun apabila mereka tidak ada, atau mereka tidak memenuhi syarat menjadi wali, atau mereka adhal, perwalian yang seharusnya menjadi hak mereka berpindah kepada sulthan/hakim. Kewenangan yang ia miliki ialah berdasarkan kekuasaan yang ada padanya yaitu kedudukannya sebagai penguasa yang disebut dengan Wilayah `Ammah.

4. Wali Hakim

Wali nasab yang merupakan kerabat dekat calon mempelai perempuan mempunyai wewenang menikahkan sepanjang tidak terdapat hal-hal yang


(34)

mengalihkan perwaliannya itu ke tangan wali hakim menurut peraturan perundang-undangan.

Tidak ada perbedaan pendapat ulama bahwa sulthan boleh menjadi wali nikah. Kewenangannya menjadi wali nikah karena kedudukannya selaku wilayah `Ammah, sebagaimana wilayahnya yang berkaitan dengan pengurusan harta kekayaan orang yang tidak menjadi wali, demikian pula dengan wilayahnya yang berhubungan dengan pernikahan.

Adapun alasan bahwa sulthan boleh memangku sebagi wali nikah (wilayah tazwij) yaitu hadits Nabi SAW., dari Aisyah ra:

モデゅよ

ゅヰェゅムレプ

ゅヰΒャヱ

ラクま

ゲΒピよ

ろエムル

りぺゲョや

ゅヨΑぺ

.

リョ

モエわシ

ゅヨよ

ゲヰヨャや

ゅヰヤプ

ゅヰよ

モカキ

ラみプ

ゅヰィゲプ

.

ゅヰャ

ヴャヱΙ

リョ

ヴャヱ

ラゅトヤジャゅプ

やヱケゅイわシや

ラみプ

)

リよやヱ

ングョゲわャやヱ

キヱやキ

ヲよぺ

ロやヱケ

ヮィゅョ

(

Artinya: Perempuan mana saja apabila menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal. Dan jika (laki-laki yang menikahinya) menggaulinya, maka wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia peroleh dari persebadanannya itu. Jika mereka (para wali) bertengkar, maka sulthan itu adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.20

Sulthan merupakan Imam (pemimpin, kepala Negara) atau hakim atau yang ditugaskan untuk itu.21 Hadits di atas merupakan dalil bahwa ijab akad nikah

20

Al-Kahlani, loc.cit. 21


(35)

tergantung kepada izin wali. Menurut al-Baghawi, hadits ini juga sebagai alasan menggauli perempuan yang masih diragukan statusnya mengharuskan pembayaran mahar. Selanjutnya menurut beliau, yang dimaksud dengan 'pertengkaran ' disini adalah yang disebabkan oleh larangan menikah dan bukan pertengkaran karena saling mendahului antar wali. Jadi, apabila si wali melarang menikah perempuan yang berada di bawah perwaliannya, maka pernikahannya diserahkan kepada wali hakim, bukan kepada wali ab`ad. Demikian juga apabila wali aqrab ghaib (tidak ada di tempat) atau sedang ihram, atau si calon mempelai sama sekali tidak mempunyai wali, hakim boleh menikahkannya.22

Tentang wali hakim ialah: "Kepala Negara yang beragama Islam yang mempunyai kekuasaan yang boleh mengangkat orang lain menjadi wali hakim untuk menikahkan seseorang perempuan yang berwali hakim".23

Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara jelas ketentuan-ketentuan tentang wali hakim. Namun demikian KHI memberi rumusan wali hakim sebagaimana termaktub pada pasal 1 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam (KHI) "Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah".

22

Hasan Ayyub, Op. Cit., hal. 57. 23

Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syari`at Islam, (Medan: Universitas Dharmawangsa, 1983), hlm. 53.


(36)

Peraturan Menteri Agama RI No. 2 tahun 1987 tentang wali hakim, menyatakan:

Pasal 1 huruf (b), wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.

Pasal 2 ayat (1), bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra – teritoria Indonesia ternyata tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhol maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan wali hakim.

Melihat rumusan-rumusan wali hakim di atas, dapat dimengerti bahwa, wali hakim memperoleh kewenangan menjadi wali nikah atas dasar penunjukan berdasarkan jabatan yang ia pangku. Hal mana dinyatakan kata 'pejabat' pada bunyi pasal 1 huruf (b) di atas.

Pejabat yang dimaksudkan adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, dan atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam (Kasie URAIS) kabupaten/kota di wilayah Indonesia atas nama Menteri Agama menunjuknya menjadi wali hakim untuk sementara apabila ternyata Ka KUA berhalangan atau tidak ada, dan pegawai yang memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

Pada pasal 4 PMA Nomor: 2 tahun 1987 tersebut menyatakan demikian: Ayat (1) Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.


(37)

Ayat (2) apabila di wilayah kecamatan, Kepala Kantor Urusan Agama berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil/pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya. Pasal 5 PMA Nomor 2 tahun 1987 :

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji diberi wewenang untuk atas nama Menteri Agama menunjuk pegawai yang memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana yag dimaksud pada pasal 2 ayat (1) peraturan ini. Berdasarkan uraian terdahulu dapat disimpulkan wali itu terbagi kepada 3 (tiga) macam, yaitu: 1. Wali Nasab, 2. Wali Hakim, dan 3. Wali Tahkim, maka dari tiga macam wali tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Ad.1. Wali Nasab, secara umum kata wali mempunyai arti yaitu orang yang terdekat dengan seorang perempuan, menurut Muhammad bin Ismail dalam kitabnya sebagai berikut:

ゅヰョゅェケぺ

ンヱク

ラヱキ

ゅヰわヨダハ

リョ

りぺゲヨャや

ヴャま

ゆゲホΕや

ヲワ

ヴャヲャや

Maksudnya: yaitu saudara yang terdekat dengan si perempuan tentang ashabahnya bukan zawil arhâm atau orang yang berhak menikahkanya, karena suatu pernikahan tidak bisa dilakukan tanpa ada walinya.24

Wali-wali ini jika dipandang dari kekuasaannya dapat dibagi 2, yaitu: 1. Wali Mujbir: yaitu wali yang terdiri dari ayah, kakek hingga ke atas.

24


(38)

2. Wali Ghairu Mujbir: yaitu wali yang terdiri dari selain yang disebutkan di atas.

a. Saudara laki-laki seibu dan sebapak,

b. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu dan sebapak, c. Saudara laki-laki sebapak,

d. Anak laki-laki dari saudara sebapak, e. Paman,

f. Anak Paman.25

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 21: ayat (1), wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yaitu ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yaitu saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, yaitu saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 21 : ayat (2) apabila dalam suatu kelompok wali nikah terdapat terdapat beberapa orang yang sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

25


(39)

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 21 : ayat (3) apabila dalam suatu kelompok, derajat kekerabatannya sama yaitu sama derajat kandung atau sama-sama derajat seayahnya, mereka sama-sama-sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Ad. 2. Wali hakim yaitu Kepala Negara Islam atau pejabat yang ditunjuk olehnya, dan wali hakim ini bias bertindak sebagai wali nikah apabila betul-betul tidak ada wali nasabnya, sesuai dengan hadits Nabi SAW:

ゅヰャ

ヴャヱ

Ι

リョ

ヴャヱ

ラゅトヤジャやヱ

ヴャヲよ

Ιま

ゥゅムル

Ι

)

ヴルやゲらトャや

ロやヱケ

(

Artinya: Tidak sah nikah seseorang kecuali dengan adanya wali dan hakim menjadi wali, apabila tidak ada wali untuknya. (HR. Thabrani)

Menurut Zakaria al-Bari dalam kitabnya sebagai berikut:

やクみプ

アΑヱゴわャや

るΑΙヱ

ラゅミ

ユワゲΒビ

リョ

Ιヱ

れゅらダバャや

リョ

Ιヱ

Κタぺ

ょΑゲホ

ギィヲΑ

ユャ

ユミゅエヤャ

.

ヴプ

ユミゅエャや

リハ

ゆヲレΑヱ

ヮャ

ヴャヱΙ

リョ

ヴャヱ

ラゅトヤジャや

ュΚジャやヱ

りΚダャや

ヮΒヤハ

メヲボΑ

¬ゅツボャや

マャク

Maksudnya: Apabila tidak ada wali yang dekat semata-mata juga tidak ada dari ashabahnya dan tidak ada pihak lainnya, maka berpindah hak wali untuk menikahkannya ialah hakim, sesuai menurut sabda Rasulullah SAW, hakim menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali dan berpindahlah wali tersebut kepada hakim (Qadhi) dan juga hadits Rasulullah SAW mengatakan bahwa setiap orang yang hendak menikah dengan seorang perempuan yang tidak ada walinya berarti tidak sah.26

26


(40)

Tetapi ada juga perbedaan pendapat para ulama tentang syarat-syarat adanya wali pada pernikahan atau juga dengan seizinnya yang antara lain ialah:

Jumhur Ulama berpendapat bahwa harus adanya wali juga si perempuan itu mau nikah dengan seorang laki-laki, mereka ini mengikutkan sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang maksudnya, tidak seorang perempuan mengawinkan dirinya sendiri. Pendapat ini didukung pula oleh ibn Mundzir.

Dia tidak pernah melihat seorang sahabatpun yang menentang pendapat ini juga diambil dari hadits-hadits Rasulullah SAW untuk memahaminya.

Malik berpendapat seorang wali harus mempunyai sifat-sifat mulia, adil dan jangan ada padanya sifat-sifat fasik yaitu tidak melaksanakan shalat dan berbuat yang tidak baik ketika dilihat oleh masyarakat lainnya. Andaikata sudah terdapat yang demikian itu, maka dibenarkan bagi si perempuan itu untuk mengawinkan dirinya sendiri dan disini tidak berpindah kepada wali hakim hanya terus kepada dirinya sendiri untuk menjadi wali terhadap perempuan itu.

Abu Hanifah berpendapat bahwa seorang perempuan yang berhak kawin dengan seorang laki-laki harus memiliki wali, dan wali disini tidak memandang syarat-syaratnya baik ia mulia maupun hina, tetap sahnya perkawinan itu dengan adanya wali, mereka ini mengkiaskan dengan seorang penjual barang, disini tidak


(41)

memandang kepada si penjual baik dia bodoh maupun itu pandai, yang lebih penting adalah bahwa perbuatan menjual itu terlaksana.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, Penulis lebih cenderung kepada pendapat jumhu ulama, karena mereka ini banyak pengikut-pengikutnya yang menguatkannya serta lebih jelas argumennya dari yang lain.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 23:

Ayat (1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau `adhal atau enggan.

Ayat (2) Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagi wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Ad. 3. Wali Tahkim: yaitu wali yang diminta oleh perempuan untuk menjadi wali/menikahkannya. Wali tahkim terjadi ketika wali nasab dan wali hakim tidak ada, ini juga terjadi pada kasus dhoruriyah.

H. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu berusaha menggambarkan fakta dan data-data bagaimana seorang perempuan yang ingin menikah dengan menggunakan wali hakim, kemudian melakukan penyusunan, pengolahan dan


(42)

penilaian terhadap data-data yang ditemukan sehingga diperoleh gambaran lengkap dan menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti.

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan Yuridis Normatif, yaitu untuk mencari jawaban mengenai bagaimana seoang perempuan bisa menikah dengan berwalikan hakim.

2. Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan yang diperoleh dari berbagai literatur yang terdiri dari dokumen-dokumen resmi, buku, hasil penelitian yang mempunyai hubungan erat dengan objek permasalahan yang diteliti.

3. Alat Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif, ilmiah dan dapat dibuktikan kebenaranya serta dapat pula dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui metode pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan: Studi dokumen dengan melakukan Library Research (penelitian Kepustakaan), yang dilakukan untuk menghimpun data sekunder beupa bahan buku, baik primer, sekunder maupun tertier yang berhubungan dengan materi penelitian.


(43)

4. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dikelompokkan, diolah dan diteliti serta dievaliasi keabsahannya. Setelah selesai diseleksi dan diolah lalu dianalisis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif, hal ini dimaksudkan untuk menentukan data yang benar-benar diperlukan dan mudah untuk dianalisis, lalu ditarik kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang diteliti.

Pada tahap penarikan kesimpulan data sekunder dianalisis secara kualitatif dengan menelaah semua data yang diperoleh dari responden sehingga hal ini dapat memberikan gambaran mengenai penerapannya di lapangan.


(44)

BAB II

PENGANGKATAN WALI HAKIM

DALAM UU NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

A. Pengangkatan dan Fungsi Wali Hakim

Para wali adalah mereka yang terdiri dari kerabat dekat calon mempelai perempuan yang disebut dengan wali nasab mempunyai wewenang untuk mengawinkan calon mempelai perempuan sepanjang tidak terdapat hal-hal yang mengalihkan perwaliannya itu ke tangan wali hakim menurut hukum.

Tidak ada perbedaan pendapat ulama bahwa sulthan boleh menjadi wali nikah. Kewenangannya menjadi wali nikah karena kedudukannya selaku wilayah `ammah (penguasa umum), sebagaimana kekuasaaanya yang berkaitan dengan pengurusan harta kekayaan orang yang tidak mempunyai wali, demikian pula kekuasaannya yang berhubungan dengan pernikahan.

Alasan yang menyatakan bahwa penguasa (sulthan) boleh memangku jabatan perwalian dalam pernikahan (wilayah al-tazwij) adalah hadits nabi SAW dari Aisyah:

モデゅよ

ゅヰェゅムレプ

ゅヰΒャヱ

ラクま

ゲΒピよ

ろエムル

りぺゲョや

ゅヨΑぺ

.

リョ

モエわシ

ゅヨよ

ゲヰヨャや

ゅヰヤプ

ゅヰよ

モカキ

ラみプ

ゅヰィゲプ

.

ゅヰャ

ヴャヱΙ

リョ

ヴャヱ

ラゅトヤジャゅプ

やヱケゅイわシや

ラみプ

)

リよやヱ

ングョゲわャやヱ

キヱやキ

ヲよぺ

ロやヱケ

ヮィゅョ

(


(45)

Artinya: Perempuan mana saja apabila menikah dengan tidak seizin walinya, maka nikahnya batal. Dan jika (laki-laki yang menikahinya) menggaulinya, maka wajib baginya membayar mahar untuk kehormatan yang ia peroleh dari persebadanannya itu. Jika mereka (para wali) bertengkar, maka sulthan itu adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.27

Yang dimaksud dengan sulthan disini ialah Imam (pemimpin, kepala Negara) atau hakim atau yang ditugaskan untuk itu.28 Hadits di atas merupakan dalil bahwa ijab akad nikah tergantung kepada izin wali. Menurut al-Baghawi, hadits ini juga sebagai alasan menggauli perempuan yang masih diragukan statusnya mengharuskan pembayaran mahar. Selanjutnya menurutnya, yang dimaksud dengan 'pertengkaran' di sini adalah yang disebabkan oleh larangan menikah dan bukan pertengkaran karena saling mendahului antar wali. Jadi, apabila si wali melarang menikah perempuan yang berada di bawah perwaliannya, maka pernikahannya diserahkan kepada wali hakim, bukan kepada wali ab`ad. Demikian juga apabila wali aqrab ghaib (tidak ada di tempat) atau sedang ihram, atau si calon mempelai sama sekali tidak mempunyai wali, hakim boleh menikahkannya.29

Menyangkut wali hakim ialah: "Kepala Negara yang beragama Islam yang mempunyai kekuasaan yang boleh mengangkat orang lain menjadi wali hakim untuk menikahkan seseorang perempuan yang berwali hakim".30

27

Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, (Bandung: 1976), hlm. 117. 28

Ibn Qudamah, 1367 H. Al-Mughni, Juz VI, (Mesir: Dâr al-Manar), hlm. 461. 29

Hasan Ayyub, Op. Cit., hal. 57. 30

Hasballah Thaib, 1983, Hukum Keluarga Dalam Syari`at Islam, (Medan: Universitas Dharmawangsa), hlm. 53.


(46)

Undang-undang Perkawinan tidak mengatur secara jelas ketentuan-ketentuan tentang wali hakim. Namun demikian KHI memberi rumusan wali hakim sebagaimana termaktub pada pasal 1 huruf (b) "Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh menteri agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah".

Peraturan Menteri Agama RI No. 2 tahun 1987 tentang wali hakim, menyatakan:

Pasal 1 huruf (b), wali hakim adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.

Pasal 2 ayat (1), bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra – teritoria Indonesia ternyata tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhol maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan wali hakim.

Melihat rumusan-rumusan wali hakim di atas, dapat dimengerti bahwa, wali hakim memperoleh kewenangan menjadi wali nikah atas dasar penunjukan berdasarkan jabatan yang ia pangku. Hal mana dinyatakan kata 'pejabat' pada bunyi pasal 1 huruf (b) di atas.

Pejabat yang dimaksudkan adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan, dan atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam (Kasie URAIS) kabupaten/kota di wilayah Indonesia atas nama Menteri Agama menunjuknya menjadi wali hakim untuk sementara apabila


(47)

ternyata Ka KUA berhalangan atau tidak ada, dan pegawai yang memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

Pada pasal 4 dan 5 PMA Nomor: 2 tahun 1987 tersebut menyatakan demikian:

Ayat (1) Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.

Ayat (2) apabila di wilayah kecamatan, Kepala Kantor Urusan Agama berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil/pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya. Pasal 5: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji diberi wewenang untuk atas nama Menteri Agama menunjuk pegawai yang memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana yag dimaksud pada pasal 2 ayat (1) peraturan ini.

Dalam hukum Islam wali itu terbagi 3 (tiga) macam, yaitu: 1. Wali Nasab, 2. Wali Hakim, dan 3. Wali Tahkim, maka dari tiga macam wali tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Ad.1. Wali Nasab, secara umum kata wali mempunyai arti yaitu orang yang terdekat dengan seorang perempuan, menurut Muhammad bin Ismail dalam kitabnya sebagai berikut:


(48)

ゅヰョゅェケぺ

ンヱク

ラヱキ

ゅヰわヨダハ

リョ

りぺゲヨャや

ヴャま

ゆゲホΕや

ヲワ

ヴャヲャや

Maksudnya: "Wali yaitu saudara yang terdekat dengan si perempuan tentang

ashabahnya bukan zawil arhâm atau orang yang berhak menikahkanya, karena suatu pernikahan tidak bisa dilakukan tanpa ada walinya".31

Sedangkan fungsi yang dimiliki wali hakim berdasarkan hukum Islam dan Undang-undang pada akhirnya adalah sama, yaitu sama-sama sebagai pengganti wali nasab atau wali aqrab yang tidak dapat melaksanakan tugasnya disebabkan oleh halangan-halangan yang bersifat pribadi dari wali-wali tersebut, seperti `adhal (enggan untuk menikahkan calon mempelai perempuan), ataupun disebabkan oleh kondisi eksternal yang melekat pada wali-wali itu seperti mafqud (tidak diketahui keberadaannya), sakit, wafat, jauh dari lokasi pernikahan, belum memenuhi syarat yang ditetapkan hukum seperti belum baligh, atau gila sebagaimana yang terdapat dalam UU perkawinan atau mayoritas ulama yang mensyaratkan wali dalam perkawinan.

Demikian juga dalam pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan, "Untuk melangsungkan Perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua".

31


(49)

Pasal yang sama ayat (4) menyebutkan: "Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali…".

B. Kedudukan Wali Hakim Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam 1. Wali Menurut UU No. 1 Tahun 1974

Kedudukan sebenarnya merupakan suatu wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban merupakan peranan.

Seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu lazim disebut pemegang peranan. Hak merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas.32 Jadi yang dimaksud dengan kedudukan wali disini adalah hak dan atau peranan yang dimiliki oleh wali dalam suatu perkawinan. Lebih khusus lagi adalah hak dan peran wali dalam pelaksanaan perkawinan.

Wali dalam suatu perkawinan merupakan unsur yang sangat penting, keberadaannya menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.

Dalam UU Perkawinan, mengadopsi mazhab Syafi`i, menyatakan bahwa wali nikah merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan. Perkawinan tanpa wali akan menyebabkan tidak sahnya perkawinan. Ketentuan ini dimuat secara implisit

32

Muhammad Syarbaini Khatib, Mughni al-Muhtaj, (Mesir: Dâr al-Fikr, Jus III, 1978), hlm. 153.


(50)

dalam pasal 2 ayat (1), yaitu "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu".

Dengan demikian tidak ada perkawinan dalam Islam apabila tidak dianggap sah menurut hukum Islam. Dalam hukum Islam wali merupakan rukun nikah, dimana keberadaannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan pernikahan itu sendiri, sehingga ketiadaan wali, baik wali nasab atau wali hakim, menyebabkan pernikahan atau perkawinan tidak dianggap sah secara hukum Islam.

Mengenai kedudukan wali nikah dalam pelaksanaan akad nikah tidak begitu jelas dalam UU Perkawinan. Ia hanya sebatas memberikan izin dan izinnya itu merupakan syarat sahnya untuk melakukan perkawinan bagi orang yang dibawah kewaliannya, itupun bagi orang belum dewasa. Namun demikian untuk pengaturan kehidupan keluarga, dalam hal ini perkawinan, diatur menurut perundang-undangan, yaitu UU Nomor 1 tahun 1974. Undang-undang tersebut melegalisasi pemakaian hukum Islam bagi umat Islam Indonesia, khususnya hukum perkawinan. Oleh karena itu tentang kedudukan wali dalam pelaksanaan perkawinan merujuk kepada hukum Islam. Hukum Islam yang telah menjadi hukum positif di Indonesia adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Wali dalam perkawinan menurut KHI menjadi salah satu rukun dan sebagai pelaksana ijab akad nikah sebagaimana yang dikehendaki oleh pasal 19. "Wali nikah


(51)

dalam perkawinan adalah rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya".

Jadi, oleh karena hukum Islam (KHI) mensyaratkan adanya wali dan ia juga sebagai pelaksana ijab akad nikah dalam perkawinan, maka demikian pulalah UU Perkawinan di Indonesia, karena UU Perkawinan menganggap sah perkawinan apabila telah dianggap sah hukum agama yang bersangkutan.

Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak menjelaskan, apakah calon mempelai wanita dimaksud belum dewasa atau sudah, ataukah masih gadis atau sudah janda. Dengan demikian, UU perkawinan berlaku umum dan menganggap sah perkawinan jika ada wali dan ia yang melaksanakan ijab akad nikah itu. Sedang wali yang dimaksud dalam ayat tersebut meliputi wali nasab dan wali hakim. Dengan demikian, maka setiap perkawinan harus ada wali, keberadaan wali menentukan akan sah atau tidaknya perkawinan itu. Jadi, UU perkawinan lebih cenderung kepada mazhab Syafi`i atau mayoritas ulama yang mensyaratkan wali dalam perkawinan.

Sementara dalam Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan dijelaskan, "Untuk melangsungkan Perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua".


(52)

Pasal 6 ayat (4) menyebutkan: "Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali…".

Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan menentukan, bagi Perkawinan yang belum dewasa harus mendapat izin dari orang tua atau wali. Lalu bagaimana kalau si calon mempelai sudah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih. Tidak ada penjelasan untuk itu. Oleh karena itu, berarti UU Perkawinan menganggap boleh dilangsungkan perkawinan tanpa wali?

Manakala dihadapkan pada bunyi Pasal 14 dan 19 KHI, yang menghendaki adanya wali nikah, baik perkawinan gadis, janda, dewasa ataupun belum dewasa, dan ia (wali) yang melaksanakan ijab akad nikah, dengan bunyi Pasal 6 ayat (2) dan ayat (4) UU Perkawinan, yang menyatakan izin kedua orang tua atau wali, diperlukan jika umur calon mempelai wanita belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun. Ini berarti bahwa perkawinan bagi yang belum dewasa harus mendapat izin dari orang tua atau walinya. Sedangkan Perkawinan yang dilakukan oleh wanita yang berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih atau yang sudah janda tidak memerlukan adanya izin dari orang tua atau wali?

Kalau demikian halnya, maka tidak ada alasan bagi yang sudah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tidak dapat melangsungkan perkawinan


(53)

meskipun tidak ada izin dari orang tua atau wali. Demikian juga tidak ada alasan bagi mereka untuk kawin lari dengan alasan serupa.

Secara lahir kedua peraturan perundang-undangan itu tampaknya memunculkan pertentangan, di satu pihak membolehkan melakukan perkawinan tanpa ada izin wali bagi yang sudah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih dan di lain pihak menyatakan semua calon mempelai wanita harus mempunyai wali apabila ingin menikah. Namun sebenarnya bila dicermati lebih dalam, pada dasarnya kedua peraturan perundang-undangan tersebut saling mendukung dan mengisi kekosongan satu sama lain, dengan demikian kedudukan atau peran wali dalam perkawinan menurut UU Perkawinan bukan hanya memberi izin saja, namun berperan sebagai pelaksana ijab akad nikah, baik bagi yang masih gadis ataupun bagi yang berstatus janda, dewasa maupun yang belum dewasa. Wali nikah boleh saja wali nasab atau wali hakim.

2. Wali Menurut Hukum Islam

Seorang muslim mempunyai dua kategori kemampuan (Ahliyat) dalam tinjauan ilmu Ushul al-Fiqh, yaitu Ahliyat al-Wujud dan Ahliyat al-Adâ'.33 Ahliyat al-Wujud adalah kemampuan menerima hak dan kewajiban.34 Yang dimaksud dengan

33

A. Hanafi, MA., Usul Fiqh, (Jakarta: Penerbit Wijaya, Cet. VI, 1975), hlm. 25. 34

Kemampuan menerima hak dan kewajiban itu dibagi kepada dua kelompok, yaitu kemampuan menerima tidak penuh, seperti bayi yang belum dilahirkan mengingat tidak mempunyai wujud tersendiri. Ia dapat menerima hak-hak yang tidak memerlukan penerimaan (qabul), seperti


(54)

kemampuan ini adalah kepatuhan seseorang untuk mempunyai hak dan kewajiban. Dasar dari kemampuan ini adalah kemanusiaan, selama kemanusiaan itu ada, yaitu masih hidup, maka kemampuan tersebut tetap dimiliki.35

Ahliyat al-Adâ' adalah kemampuan berbuat, yaitu kepatutan seseorang untuk dipandang sah kata-kata dan perbuatannya dari sudut pandang hukum, baik yang berhubungan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia.36

Dasar dari kemampuan berbuat adalah berakal, artinya karena seseorang sudah berakal maka ia diberi "kemampuan berbuat". Tetapi karena "berakal" adalah sesuatu yang abstrak, maka kedewasaan (bulûgh) yang dijadikan ukurannya, yang dapat diketahui dari tanda-tanda yang biasa dikenal atau dari umurnya, kurang lebih 15 (lima belas) tahun.37 Kemampuan berbuat ini dibagi kepada 2 (dua), yaitu: Kemampuan berbuat tidak penuh, yaitu bagi anak-anak yang sudah tamyîz38, yang menerima waris, nasab dan lain-lain. Tetapi ia tidak mempunyai kewajiban terhadap orang lain. Kalau walinya membelikan sesuatu untuknya maka yang terakhir ini tidak diwajibkan membayar dari hartanya, tetapi wali sendiri yang membayarnya.

Sedangkan yang kedua adalah kelompok yang mempunyai kemampuan menerima penuh, yaitu yang dimiliki seseorang yang sudah dilahirkan. Ia dapat menerima hak-hak dan kewajiban sepenuhnya. Kemampuan ini dimiliki selkama hidupnya. Meskipun ia kehilangan akal ataupun gila terus menerus. Yang dimaksud dengan kewajiban yang dikenakan terhadap harta bendanya. Karena belum sempurna akal dan badannya maka walinya yang melaksanakannya.

35

Ibid. 36

Sebagai contoh adalah apabila ia berpuasa (perbuatan) , puasa itu sah, Kalau ia menjual sesuatu (perkataan), transaksi itu sah, dan ia terikat dengan kewajiban-kewajiban yang timbul dariperbuata tersebut. Lihat: M. Hasballah Thaib, MA., Al-Ushûl fî Ilm Ushûl, Penerbit Dâr al-Arafah, 1999, hlm. 26-30.

37 Ibid. 38

Tamyîz masa transisi dimana kondisi anak yang sudah melewati fase kanak-kanak tetapi belum mencapai usia baligh.


(55)

dapat mengetahui baik atau buruknya suatu perbuatan, berguna atau tidak, tetapi pengetahuan tersebut belum kuat. Kedua adalah kemampuan berbuat yang penuh, yaitu bagi orang-orang yang sudah dewasa.39

Dalam masalah perwalian dalam perkawinan, ulama fiqh sependapat bahwa ijab dan qabul adalah termasuk rukun dalam pernikahan. Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah ijab dalam nikah itu apakah dapat dianggap sah suatu perkawinan apabila diucapkan langsung oleh calon istri, atau perempuan lain sebagai wakilnya. Tegasnya sahkah ijab akad nikah jika diucapkan langsung oleh calon istri (tanpa wali) atau ijab diucapkan oleh perempuan lain sebagai wakilnya (wanita lain menjadi wali nikahnya).

Mengenai hal tersebut paling tidak ada tiga pendapat di kalangan ulama fikih.

a. Wali haruslah seorang laki-laki, tidak sah perempuan menjadi wali. Pendapat ini diperpegangi oleh Mazhab Syafi`I, Maliki dan Hambali.40

b. Apabila seorang perempuan dewasa melakukan akad nikah, nikahnya tanpa wali, sedangkan calon suaminya se-kufu' (sebanding) dengannya, nikahnya itu

39 Ibid. 40

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981),


(56)

sah/boleh. Jika tidak sebanding, walinya berhak mem-fasakh-kan perkawinan itu. Demikian pendapat Imam Abu Hnifah, Zufar, Al-Sya`biy dan al-Zuhriy.41 c. Disyaratkan adanya wali pada perkawinan gadis dan tidak pada perkawinan

janda. Demikian menurut Abu Daud.42

Menurut ibn Rusyd, perbedaan pendapat ini terjadi karena alasan landasan hukum (dalil) yang dipakai oleh pihak yang mensyaratkan wali untuk melaksanakan akad nikah hanya memuat kemungkinan demikian. Begitu juga alasan yang diperpegangi oleh yang tidak mensyaratkan wali juga hanya bersifat kemungkinan demikian. Ringkasnya, dalil-dalil yang dipakai oleh para pihak, boleh jadi memang menunjukkan disyaratkan adanya wali dan wali harus yang melakukan ijab akad nikah itu, namun tidak juga tertutup kemungkinannya bukan demikian.43

Adapun dalil-dalil pendapat pertama, mazhab yang mengatakan bahwa wali itu harus laki-laki dan ia yang melakukan ijab akad nikah, mengungkapkan alasan dengan dalil al-Qur'an:

a. Q.S. an-Nur ayat (32): (

...

ユムレ娃ョ

ヴョゅ娃ΑΕや

やヲ娃エムルやヱ

)

artinya: "Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu…44

41

Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: terj, Maskur AB., Lentera, 2001), hlm. 345.

42

Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, (Mesir: Juz II,Dâr al-Kutub al-Arabiyah, tt.), hlm. 7. 43

Ibd. 44

Departemen Agama RI., Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hlm. 549.


(57)

b. Q.S. al-Baqarah ayat (221): (

やヲ娃レョぽΑ

ヴ娃わェ

リΒミゲゼ娃ヨャや

やヲエムレゎ

Ιヱ

), artinya: "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'minah) sehingga mereka beriman".45

c. Q. S. al-Baqarah ayat (232):

(

リヰィやヱコぺ

リエムレΑ

ラぺ

リワヲヤツバゎ

Κプ

リヰヤィぺ

リピヤらプ

¬ゅジレャや

ユわボヤデ

やクまヱ

)

artinya: "Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan calon suaminya".46

Ayat pertama ditujukan kepada wali agar mereka menikahkan orang-orang yang tidak bersuami. Oleh sebab itu urusan pernikahan menjadi wewenang wali, bukan wewenang si calon mempelai wanita.47

Ayat kedua juga ditujukan kepada wali agar mereka tidak menikahkan perempuan muslimah dengan non muslim. Andaikata perempuan mempunyai hak untuk menikahkan dirinya, tentu tidak ada artinya ayat itu ditujukan kepada para wali, sebab ia sendiri boleh melaksanakan akad nikah itu. Lagi pula kalau sekiranya ada hak perwalian bagi perempuan, sudah pasti ayat itu ditujukan kepada perempuan.

45

Ibid., hl. 53. 46

Ibid., hlm. 56. 47

Mahmud Syaltût dan Ali al-Sâyis, Muqâranah al-Mazâhib fî al-Fiqh, (Al-Azhar: Mathba`ah Muhammad Ali Shabih, 1953), hlm. 58.


(58)

Ayat ketiga menyatakan bahwa larangan dalam ayat tersebut ditujukan kepada wali. Kalau wali tidak diperlukan, tentulah larangan dalam ayat tersebut tidak ada artinya dan tidak ada gunanya melarang para wali berlaku `adhal. Untuk menguatkan pendapat ini, ayat ini diturunkan berkenaan dengan `adhal-nya Ma`qil ibn Yasar, untuk menikahkan saudaranya yang telah diceraikan suaminya. Lalu keduanya ingin bersama kembali, akan tetapi Ma`qil ibn Yasar tidak mau menikahkan saudara perempuannya tersebut.48

Jadi andai kata saudara perempuan Ma`qil ibn Yasar berhak menikahkan dirinya, tentu tidak turun ayat yang mencela tindakan Ma`qil, bahkan mestinya turun ayat agar langsung menikahkan dirinya tanpa wali. Dari sisi lain, andaikata tidak ada wewenang wali, tentunya Rasul tidak menyuruh Ma`qil untuk menikahkan saudaranya itu.

Adapun dalil-dalil dari sunnah/hadis Rasul diantaranya:

a. Hadis dari Abu Hurayrah yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hambal, Dâr Quthniy dan ibn Mâjah:

ゅヰジヘル

ァヱゴゎ

ヴわャや

ヴワ

るΒルやゴャや

ラみプ

ゅヰジヘル

りぺゲヨャや

ァヱゴゎ

Ιヱ

りぺゲヨャや

りぺゲヨャや

ァヱゴゎ

Ι

49

48

Al-Qurthubiy, Al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur'ân, (Kairo: Juz III, Dâr al-Kutub al-Arabiyah,

1987), hlm. 158. 49

Al-Syawkâniy, Nail al-Awthâr, (Mesir: Maktabah al-Bâbiy al-`Arabiy Juz VI, tt.), hlm.


(59)

Artinya: Janganlah seorang perempuan itu menikahkan perempuan lain dan janganlah perempuan itu meikahkan dirinya sendiri, bahwasanya ciri perempuan zina itu adalah yang menikahkan dirinya sendiri.

Hadits di atas melarang perempuan mengucapkan ijab akad nikah, baik untuk orang lain ataupun untuk dirinya sendiri. Larangan menunjukkan batalnya pekerjaan yang dilarang.50 Selain itu, bahwa pernikahan yang langsung dilakukan oleh perempuan calon mempelai sama dengan perzinahan atau pelacuran.51

b. Hadis Aisyah yang diriwayatkan oleh ibn Mâjah:

ゲヰヨャや

ゅヰヤプ

ゅヰよ

モカキ

ラみプ

モデゅよ

ゅヰェゅムレプ

ゅヰΒャヱ

ラクま

ゲΒピよ

ろエムル

りぺゲョや

ゅヨΑぺ

52

Artinya: Perempuan mana saja jika menikah dengan tidak seizin walinya maka nikahnya batal. Dan jika laki-laki (yang menikahinya) menggaulinya, maka wajib baginya membayar mahar.

Para sahabat Nabi mengamalkan hadis ini, yakni tidak ada pernikahan kecuali dengan wali.53

c. Hadis riwayat Ahmad ibn Hambal dari Abu Burdah ibn Abi Musa, bahwa nabi pernah bersabda: "

ヴャヲよ

Ιま

ゥゅムル

Ι

"

tidak sah nikah tanpa adanya wali.

50

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, (Jakarta: Yayasan Ihya Ulumiddin, 1971), hlm. 107. 51

Al-Syawkâniy, loc. cit.

52Al-Kahlâniy, Subul al-Salam, (Bandung: Maktabah Dahlan,Juz III, tt.), hlm. 117. 53

Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Terj, M. Abdul Ghaffar E.M., Pustaka


(60)

Hadis ini menunjukkan tidak sah nikah tanpa adanya wali, sebab pada dasarnya pe-nafi-an (mentidakkan) adalah pernyataan tidak sah bukan pernyataan tidak sempurna. Dengan kata lain akad pernikahan tidak sah tanpa adanya wali.54

Disamping kedua dasar hukum tersebut di atas, masih ada pertimbangan ratio yang dapat dikemukakan, yaitu bahwa pada umumnya tujuan perkawinan adalah untuk membentuk masyarakat rumah tangga. Masyarakat rumah tangga tidak dapat dibina sempurna jika tidak mempunyai tali ikatan yang kuat antara keluarga pihak suami dengan keluarga pihak istri. Perempuan dengan segala kekurangannya dalam hal memilih, tentulah tidak dapat memilih dengan cara yang baik, lebih-lebih karena perempuan itu cepat merasa dan sering terpengaruh dengan perasaan (emosional), tunduk kepada hukum perasaan halus yang kadang-kadang menutupi segi-segi kamaslahatan. Dan supaya jangan terjadi demikian, maka dilaranglah perempuan mencampuri langsung akad nikah, menikahkan dirinya.55

Demikianlah pendapat mazhab al-Syafi`i dan yang sependapat dengannya mengenai masalah ijab akad nikah tanpa wali, atau ijab yang dilakukan oleh perempuan.

54

Al-Kahlâniy, loc. cit. 55

Ismuha, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqih, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,


(61)

Alasan pendapat kedua, yang berpandangan bahwa perkawinan boleh dilakukan tanpa wali, atau perempuan boleh melakukan ijab akad nikah dengan alasan:

1. Al-Qur'an:

a. Q.S. Al-Baqarah: ayat (230):

)

ロゲΒビ

ゅィヱコ

ウムレゎ

ヴわェ

ギバよ

リョ

ヮャ

モエゎ

Κプ

ゅヰボヤデ

ラみプ

(

Artinya: "Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain …". Perkataan tankiha (dia kawin) pada ayat ini merupakan kata kerja yang artinya menikahi, pelaku (subyek) adalah bekas istri yang ditalak. Hakikatnya pekerjaan itu dilaksanakan langsung oleh subyek aslinya, tidak dilakukan orang lain. Berdasarkan ini jelaslah wali tidak menjadi syarat dalam perkawinan.56

Selain itu mereka mengkiaskan (analog) akad nikah pada akad jual beli, hal mana akad jual beli boleh saja dilakukan oleh orang dewasa termasuk perempuan, demikian juga dengan akad nikah.57

56

Al-Alusi, Rûh al-Ma`ani, (Beirut: Idarah Matba`ah Munirah, Juz I, tt.), hlm. 141. 57


(62)

b. Q. S. Al-Baqarah: ayat (232):

リヰイャヱコぺ

ウムレΑ

ラや

リワヲヤツバゎ

Κプ

リヰヤィぺ

リピヤらプ

¬ゅジレャや

ユわボヤデ

やクまヱ

...

Artinya: "Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka janganlah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya …".58 Zakaria al-Bariy memandang bahwa ayat 230 dan 232 surah al-Baqarah tersebut disandarkan (diisnadkan) nikah itu kepada perempuan. Artinya kata tankiha dan yankiha merupakan kata kerja, subyeknya adalah perempuan bekas istri.59 Dengan demikian maka perempuan boleh mengawinkan (menjadi wali nikah).

2. Hadits-hadits:

a. Hadits riwayat Muslim dari ibn Abbas yang berkata: "Telah bersabda Rasulullah SAW:

ゲョほわジゎ

ゲムらャやヱ

ゅヰΒャヱ

リョ

ゅヰジヘレよ

ペェぺ

ょΒんャや

60

Artinya: "Janda adalah berhak atas dirinya dari pada walinya dan perempuan gadis diminta izin mengenai dirinya dan izinnya adalah memadai dengan diamnya …".

58

Departemen Agama RI., loc. cit. 59

Zakaria al-Bari, Al-Ahkam Asâsiyahli Usrah Islâmiyah, (Mesir: Ma`had

al-Dirasah al-Islamiyah, tt.), hlm. 78. 60


(63)

b. Hadits yang diriwayatkan Abu Daud dari al-Nasai:

ヲヨヤャ

ザΒャ

ゲョほわジゎ

るヨΒわΒャやヱ

ゲョぺ

ょΒんャや

ノョ

ヴャ

61

Artinya: "Wali tidak mempunyai urusan dengan perempuan janda (tsayyib) dan yatimah (perempuan yatim) dimintai pendapatnya".

Perempuan janda memiliki kewenangan sempurna mengenai dirinya dan hartanya. Kalau terhadap hartanya ia mempunyai kewenangan karena kecakapannya, maka demikian pulalah kewenangannya mengenai pernikahannya.62

3. Pertimbangan Ratio

Perkawinan bukan hanya mempunyai tujuan sekunder, dimana wali juga ikut serta merasakan akibat dari perkawinan itu, seperti terikatnya tali kekerabatan antara dua keluarga. Akan tetapi yang utama adalah tujuan primer yang hanya dimiliki perempuan yang bersangkutan tanpa campur tangan pihak wali, seperti urusan istimta` (persebadanan), belanja (nafkah) rumah tempat tinggal, pakaian (kiswah) dan hak-hak serta kewajiban lainnya yang dimiliki perempuan. Akad yang bertujuan seperti tersebut di atas adalah wajar apabila yang memegang peranan dan menentukan adalah orang yang bersangkutan yang mempunyai tujuan primer tersebut. Selain dari itu, akad nikah serupa dengan akad jual beli, kalau seorang

61 Ibid. 62


(64)

perempuan diperbolehkan menjual hartanya yang dimilikinya, maka wajar pula lah ia dibolehkan langsung melaksanakan akad nikahnya karena ini langsung mengenai kemaslahatan dirinya.

Alasan pendapat ketiga yang berpendapat dengan disyaratkannya wali pada perkawinan gadis dan tidak pada perkawinan janda adalah berdasarkan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh ibn Abbas sebagai berikut:

ゅヰゎゅヨタ

ゅヰルクまヱ

ゅヰジヘル

ヴプ

ラクほわジゎ

ゲムらャやヱ

ゅヰΒャヱ

リョ

ゅヰジヘレよ

ペェぺ

ょΒんャや

Artinya: "Janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya dan gadis diminta izinnya dan izinnya adalah diamnya".

Hadits ibn Abbas ini membedakan antara status janda dan gadis. Janda dapat menikah tanpa wali karena ia lebih berhak dari pada walinya. Malahan dari suatu riwayat, ibn Abbas menerangkan bahwa si wali tidak mempunyai hak sedikitpun terhadap janda. Si gadis tidak boleh langsung menikahkan dirinya karena akad nikahnya harus dilangsungkan oleh orang ketiga atas izinnya. Orang ketiga itu tidak lain adalah walinya.63

Selanjutnya terhadap pendapat pertama, imam al-Syafi`i dan yang sepaham dengannya, yang berpendirian bahwa wali menjadi syarat sah dalam melakukan ijab

63


(65)

akad nikah dalam perkawinan, dikomentari oleh pihak lain terhadap dalil-dalil mereka sebagai berikut.

Adapun pengambilan dalil tentang harus ada wali dari ayat 32 QS an-Nur dan ayat 221 QS al-Baqarah, bahwa objek pada ayat tersebut kemungkinan besar ditujukan kepada seluruh kaum muslimin, bukan khusus untuk para wali, dan bukan untuk memerintahkan mereka mencampuri akad nikah. Itu termasuk kategori pembuatan hukum yang umum, dan semua kaum muslimin diperintahkan untuk beramal dalam rangka memelihara para janda dalam tindakan melarang mereka untuk menikah seperti halnya pada masa jahiliyah. Hal ini didukung oleh hadits nabi SAW:

キゅジプヱ

チケΕや

ヴプ

るレわプ

リムゎ

ロヲヤバヘゎ

Ιま

ロヲィヱゴプ

ヮボヤカヱ

ヮレΑキ

ラヲッゲゎ

リョ

ユミ¬ゅィ

やクま

ゲΒらミ

Artinya: "Apabila datang melamar kepadamu orang yang kamu suka mengenai agama

dan akhlaknya, maka kawinkanlah ia. Jika kamu tidak melakukannya, akan terjadi suatu fitnah di muka bumi dan kerusakan besar".

Jelas bahwa yang dimaksud dengan hadits itu, yaitu memelihara janda dengan mempermudah jalan untuk kawin dan tidak membatasi mereka dalam melaksanakan perkawinan.64 Lagi pula shigat amar yang ada pada kata ankihû ayat 32 QS An-Nur bukan menunjukkan kepada kewajiban, tetapi lebih kepada ibahah.

64


(1)

3. Ada beberapa faktor pertimbangan yang menyebabkan wali hakim dapat menjalankan fungsinya sebagai wali. Pada dasarnya wali hakim berfungsi sebagai pengganti, bukan sebagai wakil dari wali nasab, dalam keadaan hal-hal yang menyebabkan berpindahnya hak perwalian ke tangan wali hakim yang oleh hukum dan peraturan perundang-undangan membenarkannya, faktor pertimbangan tersebut antara lain;

a. Wali nasab yang berhak untuk menikahkan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya sebagaimana mestinya, seperti ghaib (tidak berada di tempat), tidak memnuhi syarat menjadi wali nikah seperti masih kecil, gila, atau sakit dan sebagainya. b. Keengganan wali nasab untuk menikahkan orang yang berada

dibawah perwaliannya. Keengganan tersebut bukan didasarkan atas pertimbangan hukum agama, namun lebih disebabkan oleh pertimbangan keduniaan, seperti materi dan bentuk biologis dari calon mempelai laki-laki.

Pernikahan yang dilaksanakan dengan berwalikan hakim padahal wali nasabnya masih ada dipandang sah oleh Undang-undang dan Kompilasi Hukum Islam, sepanjang wali hakim tersebut telah terlebih dahulu


(2)

mempertimbangkan boleh tidaknya perpindahan kewalian sebagaimana tersebut diatas.

B. Saran

Beberapa saran yang dapat di ajukan disini antara lain adalah sebagai berikut :

1. Wali hakim adalah, wali yang diangkat oleh pemerintah atau wali yang ditunjuk oleh putusan pengadilan, untuk itu masyarakat muslim disarankan agar tidak terpengaruh dengan pengakuan seseorang yang menyatakan dirinya wali hakim.

2. Disarankan kepada pasangan yang ingin melangsungkan pernikahan agar jangan memilih jalan pintas dengan cara memilah berwali hakim padahal wali nasab masih ada, karena yang demikian dapat memutuskan silaturrahmi dengan orang tua dan keluarga.

3. Disarankan kepada wali nasab, agar tidak mempersulit peminangan terhadap putrinya dengan pertimbangan peribadi, tidak sekupu, karena sikap yang demikian akan digunakan oleh anak perempuannya utnuk menikah dengan berwali hakim.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahanya, Semarang :Departemen Agama RI, CV.Toha Putra, 1989.

Ahmad hudri, Al-Ahwal as-syakhshiyah, Mesir : Maktabah Kuliiyah al-Arabiyah, 1968.

Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Juz I, Beirut: Idarah Matba’ah Munirah, tt.

Al-Bari, Zakaria, Al-Ahkam al-Asasiyahli al-Usrah al-Islamiyah, Mesir: Ma had al Dirasah al-Islamiyah, tt.

Alhamdani, H.S.A., Risalah Nikah, Terj, Drs. Agus Salim, Jakarta: Pustaka Amani, 1989.

Al-Jaziriy, Abd al-Rahman, Kitab al-Fiqh ‘Ala Mazahib al-Arba’ah, Juz IV, Kairo: Dar al- Nahdhah, 1986.

Al-Kahlani, Muhammad bin Ismail, Bandung: Subussalam, 1976.

Al-Qurthuby, Al-Jami’ li Ahkam al_qur’an, Juz III, Kairo: Dar al-Kutub al- Arabiyah, 1987.

Al-Syawkaniy, Nail al-Awthar, Juz IV, Mesir: Maktabah al-Babiy al-Arabiy, tt.


(4)

Perincian NTCR se-Kota Medan jajaran Kandepag Kota Medan Januari 2006 s/dFebruari 2007.

Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji (Pedoman para Ka KUA sebagai Wali Hakim), 1999.

Hamdan Abbas, Diktat Fikih Munakahat, Medan: UISU, 1973.

Hanafi, A, MA, Usul Fiqh, Jakarta: Penerbit Wijaya, Cet IV, 1975.

Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Terj. M.Abdul Ghaffar E.M, Jakarta: Pustaka al Kautsar,2001.

Hasan Ayyub, Syaikh, Fikih Keluarga, Terj: M. Abdul Ghaffar, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2001.

Hasballah Thaib, M, MA, Hukum Keluarga Dalam Syari’at Islam, Medan: Universitas Darmawangsa.

Hasballah Thaib, M. MA, Al-Ushul fi Ilm al- Ushul, Medan: Penerbit Dar al-Arafah, 1999.

Ibn Qudamah, Al-Mughni,Juz VI, Mesir: Daar al- Manar, 1367 H.

Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Juz II, Mesir: Dar al_kutub al-Arabiyah, tt.

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, Jakarta: Yayasan Ihya Ulumuddin, 1971.

Ismuha, Perbandingan MazhabDalam Masalah Fiqih, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1978.


(5)

Kamaluddin, Fath al-Qadir,Juz III, Mesir: Dar al-Fikr,tt.

Khatib, Muhammad Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Juz III, Mesir: Dar al- Fikr, 1978.

Madkur, Muhammad Salam, Ahkam al-Usrah fi al-Islam, Jilid I, Beirut: An Nahdhah al-Arabiyah, 1968.

Mahmud Syaltut dan Ali al-Sayis, Muqaranah al-Mazahib fi al-Fiqh, Al Azhar:Mathba’ah Muhammad Ali Shabih, 1953.

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Jakarta: Hidakarya Agung, 1981.

Mughniyah, Muhammad Jawwad, Fiqh Lima Mazhab, terj, Maskur AB, Jakarta: Lentera, 2001.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, terj : Mahyuddin Shf,Jilid VIII, Bandung:PT. Al-Maarif, 1998.

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 1992.

Sya’ban, Zakiyuddin, Al-Ahkam as—Syar’iyyah li Ahwal al Syakhshiyyah, Kairo: Dar an-Nahdhah al-Arabiyah, 1969.

Syahbuddin, Qaliubi wa Umairah, Singapore: Maktabah wa Matba’ah, sulaiman Zamra’I, tt.


(6)