BAB II WAKAF BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN PERATURAN-PERTURAN HUKUM AGRARIA A. Wakaf Berdasarkan Hukum Islam 1. Pengertian Wakaf - Problematika Pendaftaran Tanah Wakaf (Studi di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang)

BAB II WAKAF BERDASARKAN HUKUM ISLAM DAN PERATURAN-PERTURAN HUKUM AGRARIA A. Wakaf Berdasarkan Hukum Islam

1. Pengertian Wakaf

  Kata wakaf berasal dari waqf, yang berarti menahan atau berhenti atau diam di tempat. Secara peristilahan, wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mu’bah (tidak 33 dilarang Tuhan), serta dimaksudkan untuk mendapat keridhaan Allah SWT.

  Menurut Moh. Anwar, wakaf ialah menahan suatu barang dari dijual belikan atau diberikan atau dipinjamkan oleh pemilik, guna dijadikan manfaat untuk kepentingan tertentu yang diperbolehkan oleh syara’ serta tetap bentuknya, dan boleh dipergunakan, diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan (orang yang menerima 34 wakaf ), atau umum.

  Para ulama telah berbeda pendapat mengenai arti wakaf secara istilah (hukum), hal ini sesuai dengan perbedaan mazhab yang telah dianutnya. Adapun 35 pendapat masing-masing mazhab adalah sebagai berikut:

  1. Menurut Mazhab Syafi’i, antara lain:

  a). Wakaf menurut Imam Nawawi, “Menahan harta yang dapat diambil 33 manfaatnya tetapi bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada

  Azhar Basyir, MA.,Hukum Islam Tentang Wakaf, Ijaroh dan Syirkah. (Bandung : PP. Al-Ma’arif, 1977), hal. 5 34 35 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Cetakan Pertama, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 494 Elsi Kartika Sari, S.H, M.H, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006), hal.

  54-55.

  

23 padanya dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah”.

  b). Wakaf menurut Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syaikh Umairah, “Menahan harta yang bisa dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan harta tersebut, dengan memutuskan kepemilikan barang tersebut dengan pemiliknya untuk hal yang dibolehkan”.

  2. Menurut Mazhab Hanafi,

  a). Wakaf menurut A. Imam Syarkhasi, menahan harta dari jangkauan kepemilikan orang lain (habsul mamluk’an al-tamlik min al-ghair)”.

  b). Al-Murghiny mendefenisikan wakaf ialah menahan harta di bawah tangan pemiliknya, disertai pemberian manfaat sebagai sedekah (habsul’aini ala

  maliki al-wakif wa tashaduk bi al-manfa’ab ).

  3. Menurut Mazhab Malikiyah Ibnu Arafah mendefenisikan wakaf adalah memberikan manfaat sesuatu, pada batas waktu keberadaannya, bersamaan tetapnya wakaf dalam kepemilikan si pemiliknya meski hanya perkiraan (pengandaian).

  Dalam pasal 215 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI), wakaf adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran Islam. sedangkan dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, Wakaf ialah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. 36 Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang

  Wakaf, Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan 36 Ibid,. melembagakannya untuk selama lamanya untuk kepentingan peribadatan atau 37 keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

  Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum yang suci dan mulia, sebagai shodaqah zariah atau amalan yang pahalanya selalu mengalir walaupun orang yang mewakafkan telah meninggal dunia. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa mewakafkan sesuatu adalah jauh lebih mulia dari pada sedekah.

  Menurut Imam Syafi’i, berlaku sah apabila orang yang mewakafkan telah menyatakan dengan perkataan “saya telah wakafkan” sekalipun tanpa diputus hakim.

  Bila harta tersebut telah diwakafkan maka orang yang berwakaf tidak berhak lagi atas 38 harta itu walaupun harta tetap di tangannya.

  Dari pengertian di atas dapat disimpulkan unsur-unsur pengertian wakaf tersebut antara lain; 1) Harta benda milik seseorang atau badan hukum. 2) Harta benda tersebut bersifat kekal zatnya, tidak habis bila dipakai. 3) Harta tersebut dilepas kepemilikannya oleh pemiliknya 4) Harta yang dilepas kepemilikannya tersebut tidak dapat dihibahkan, diwariskan atau diperjual belikan.

  5) Digunakan untuk kepentingan umum dan ibadah.

  37 38 Departemen Agama. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, hal. 60-61 Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita. (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1994), hal. 133

  Keberadaan wakaf telah mendapatkan pengakuan dalam UUPA, yakni pasal 39 49 yang menegaskan:

  1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi.

  Badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.

  2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagaimana dimaksud pada pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak pakai.

  3. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.

  Dari ketentuan tersebut terkandung makna, bahwa perihal pertanahan erat hubungannya dengan peribadatan dan keperluan suci lainnya, yang salah satunya adalah perwakafan tanah, yang dalam hukum agraria nasional mendapat perhatian.

2. Ikrar Wakaf

  Sebagaimana disebutkan diatas bahwa kebiasaan masyarakat kita sebelum adanya UU No. 5 tahun 1960 dan PP No. 28 tahun 1977 hanya menggunakan pernyataan lisan saja yang didasarkan pada adat kebiasaan keberagamaan yang bersifat lokal. Pernyataan lisan secara jelas (sharih ) menurut pandangan As-Syafi’i termasuk bentuk dari pernyataan wakaf yang sah. Akan tetapi dalam kasus masjid, bila seseorang memiliki mesjid dan mengijinkan orang atau pihak lain melakukan ibadah di masjid tersebut, maka tidaklah otomatis masjid tersebut berstatus wakaf. Pernyataan wakaf harus menggunakan kata-kata yang jelas seperti waqaftu, habastu atau sabbaltu atau kata-kata kiasan yang dibarengi dengan niat wakaf secara tegas. 39 Adrian Sutedi, S. H., M. H., Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 105. Dari pandangan Imam Asy-Syafi’i tersebut kemudian ditafsirkan secara sederhana bahwa pernyataan wakaf cukup dengan lisan saja.

  Namun demikian ketika ada orang yang mewakafkan harta bendanya dengan tulisan atau isyarat untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkan bukan berarti wakafnya tidak sah. Pernyataan tulisan mewakafkan sesuatu justru bisa menjadi bukti yang kuat bahwa si wakif telah melakukannya, lebih-lebih itu dinyatakan di hadapan hakim dan nazhir wakaf yang ditunjuk.

3. Harta yang boleh di wakafkan.

  Benda yang di wakafkan di pandang sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut: a. Benda harus memiliki nilai guna. Tidak sah hukumnya mewakafkan sesuatu yang bukan benda, misalnya hak-hak yang bersangkut paut dengan benda, seperti : hak irtifaq, hak irigasi, hak lewat, hak pakai dan lain sebagainya. Tidak sah pula mewakafkan benda yang tidak berharga menurut syara’, yakni benda yang tidak boleh di ambil manfaatnya, seperti: benda memabukkan dan benda-benda haram lainnya. Karena maksud wakaf adalah mengambil manfaat benda yang di wakafkan serta mengharapkan pahala atau keridhaan Allah atas perbuatan tersebut.

  b. Benda tetap atau bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan. Kebiasaan masyarakat Indonesia dalam sejarahnya dan juga sampai sekarang pada umumnya mewakafkan harta berupa benda yang tidak bergerak, seperti tanah, bangunan untuk masjid, madrasah, pesantren, kuburan, rumah sakit, panti asuhan dan lain sebagainya. Dan pandangan ini secara kebetulan juga telah disepakati oleh semua mazhab empat. Garis umum yang dijadikan sandaran golongan Syafi’iyyah dalam mewakafkan hartanya dilihat dari kekekalan fungsi atau manfaat dari harta tersebut, baik berupa barang tak bergerak, barang bergerak maupun barang kongsi (milik bersama). Namun demikian, walaupun golongan Syafi’iyyah membolehkan harta bergerak seperti uang, saham dan surat berharga lainnya, umat Islam Indonesia belum bisa menerima sepenuhnya karena dikhawatirkan wujud barangnya bisa habis.

  c. Benda yang diwakafkan harus tertentu (diketahui) ketika terjadi akad wakaf.

  Penentuan benda tersebut bisa ditetapkan dengan jumlahnya, seperti seratus juta rupiah, atau bisa juga dengan menyebut nisbahnya terhadap benda tertentu, misalnya separuh tanah yang dimiliki, dan lain sebagainya. Wakaf yang tidak menyebutkan secara jelas terhadap harta yang akan diwakafkan, maka tidak sah hukumnya, seperti mewakafkan sebagian tanah yang dimiliki, sejumlah buku dan sebagainya.

  d. Benda yang diwakafkan benar-benar telah menjadi milik tetap (al-milk) si wakil (orang yang mewakafkan) ketika terjadi akad wakaf. Oleh karenanya, jika seseorang mewakafkan benda yang bukan atau belum menjadi miliknya, maka hukumnya tidak sah, seperti mewakafkan benda atau sejumlah uang yang masih belum di undi dalan arisan, mewakafkan tanah yang masih dalam sengketa atau jaminan jual beli dan lain sebagainya.

  4. Kedudukan harta setelah di wakafkan.

  Di lingkungan umat Islam Indonesia bahwa semangat pelaksanaan wakaf lebih bisa dilihat dari adanya kekekalan fungsi atau manfaat untuk kesejahteraan umat atau untuk kemaslahatan agama, baik terhadap diri maupun lembaga yang telah ditunjuk oleh wakif. Karena tujuan dan kekekalan manfaat benda dari yang di wakafkan, maka menurut golongan Syafi’iyyah yang dianut pula oleh mayoritas masyarakat muslim Indonesia berubah kepemilikannya menjadi milik Allah atau milik umum. Wakif sudah tidak memiliki hak terhadap benda itu. Menurut wakif, wakaf itu sesuatu yang mengikat, si wakif tidak dapat menarik kembali, membatalkan dan membelanjakannya yang dapat mengakibatkan perpindahan hak milik, dan wakif juga tidak dapat mengikrarkan bahwa benda wakaf itu menjadi hak milik orang lain dan lain sebagainya.Wakif tidak dapat menjual, menggadaikan, menghibahkan serta 40 mewariskan.

  5. Harta wakaf ditujukan kepada siapa

  Dalam realitas masyarakat kita, wakaf yang ada selama ini ditujukan kepada dua pihak : a) keluarga atau orang tertentu (wakaf ahli) yang ditunjuk oleh wakif.

  Apabila ada seseorang yang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, maka wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.

40 Juhaya S. Praja,

  Perwakafan di Indonesia : Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya, (Bandung: Yayasan Piara, 1995), hal. 37. Dalam satu sisi, wakaf ahli ini baik sekali karena si wakif akan mendapat dua kebaikan, juga kebaikan dari silaturahminya dengan orang yang diberi amanah wakaf.

  Akan tetapi di sisi yang lain, wakaf ahli ini sering menimbulkan masalah seperti : bagaimana kalau anak yang ditunjuk sudah tidak ada lagi (punah), siapa yang berhak mengambil manfaat dari harta wakaf itu? Lebih-lebih pada saat akad wakafnya tidak disertai dengan bukti tertulis yang di catatkan kepada negara. Atau sebaliknya, bagaimana kalau anak cucu si wakif yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagaimana cara pembagian hasil harta wakaf.

  Dan ini banyak bukti, dilingkungan masyarakat kitasering terjadi persengketaan antar keluarga yang memperebutkan harta yang sesungguhnya sudah diwakafkan kepada orang yang ditunjuk. Dalam masalah ini, Ahmad Azhar Basyir, MA dalam bukunya “Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah dan Syirkah” menulis : menghadapi kenyataan semacam itu di beberapa negara yang dalamperwakafan telah mempunyai sejarah lama, lembaga wakaf ahliitu sebaiknya diadakan peninjauan kembali untuk di hapuskan. b) Wakaf yang ditujukan untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (wakaf khairi). Wakaf seperti ini sangat mudah kita temukan disekitar kehidupan masyarakat kita, yaitu wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolahan, jembatan, rumah sakit, kuburan, panti asuhan anak yatim dan lain-lain.Wakaf dalam bentuk seperti ini jelas lebih banyak manfaatnya daripada jenis yang pertama, karena tidak terbatasnya orang atau kelompok yang bisa mengambil manfaat.Dan inilah yang sesungguhnya semangat yang diajarkan oleh wakaf itu sendiri.

6. Boleh tidaknya tukar menukar harta wakaf.

  Dalam masalah ini, mayoritas wakif dari umat Islam Indonesia berpegang pada pandangan konservatifnya Asy-Syafi’i sendiri yang menyatakan bahwa harta wakaf tidak boleh ditukar dengan alasan apapun. Dalam kasus masjid misalnya, Imam Syafi’i menegaskan bahwa tidak boleh menjual masjid wakaf secara muthlak, sekalipun masjid itu roboh.Dan ini mudah ditemukan seperti bangunan-bangunan masjid tua yang nyaris roboh dan mengakibatkan orang malas pergi ke masjidtersebut hanya karena para nazhir wakaf mempertahankan pendapatnya Imam Syafi’i.

  Sebagai perbandingan, kalau menurut pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal justru membolehkan menjual harta wakaf dengan harta wakaf yang lain. Dalam kasus masjid di atas, menurutnya, masjid tersebut (yang sudah roboh) boleh dijual apabila masjid itu sudah tidak lagi sesuai dengan tujuan pokok perwakafan sebagaimana tujuan atau niat wakif ketika akad wakaf dilangsungkan. Namun demikian hasil dari penjualannya harus dipergunakan untuk membangun masjid lain yang lebih bisa 41 dimanfaatkan peruntukannya secara maksimal. Jadi pada dasarnya, perubahan peruntukan dan status tanah wakaf ini tidak diperbolehkan, kecuali apabila tanah wakaf tersebut sudah tidak dapat lagi dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf, maka terhadap wakaf yang bersangkutan dapat diadakan perubahan, baik peruntukannya maupun statusnya.

41 A. Faishal Haq & Ahmad Syaiful Anam, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia,

  (Pasuruan: PT. GBI), 1994. Cet.ke-4), hal. 8

  Persyaratan ketat atas penukaran harta wakaf karena diketahui, tidak semua orang di dunia ini baik akhlaknya, demikian juga dengan nazhir (pengelola harta wakaf). Sering kita temukan orang atau lembaga yang diberi amanah wakaf ( nazhir ) yang dengan sengaja menghianati kepercayaan wakif dengan merubah peruntukan atau status tanah wakaf tanpa alasan yang meyakinkan. Hal-hal yang demikian ini tentu menimbulkan reaksi dalam masyarakat, khususnya bagi mereka yang berkepentingan dalam perwakafan tanah.Sebelum dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977, keadaan perwakafan tanah tidak atau belum diketahui jumlahnya, bentuknya, penggunaan, dan pengelolaannya disebabkan tidak adanya ketentuan administratif yang mengatur.Itulah urgensi dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 yang disebut dalam konsiderannya. Dan jelas sekali kondisi di atas sangat mengganggu nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran wakaf itu sendiri tentang sosialisme harta (kekayaan dunia) untuk menciptakan keseimbangan sosial ditengah-tengah masyarakat.

7. Dasar Hukum Wakaf

  Ada beberapa dalil atau ketentuan yang menjadi dasar dari pada amalan wakaf ini, yakni ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar semua manusia selalu berbuat kebaikan, sebab amalan zakatpun juga termasuk salah satu macam perbuatan yang baik dan terpuji.

  Adapun ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berbuat kebaikan di antaranya adalah : 1) Al-Qur’an surat Ah-Hadjdji ayat 77 yang berbunyi :

   

  Yang artinya: perbuatlah oleh kamu kebaikan semoga kamu mendapat kemenangan.

  2) Al-Qur’an surat Al- Imran ayat 92 yang berbunyi:

     

  Yang artinya: tidaklah akan tercapai oleh kamu kebaikan,sebelum kamu sanggup membelanjakan sebagian dari harta yang kamu senangi.

  3) Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 267 yang berbunyi:

    

  Yang artinya: belanjakanlah sebagian harta yang kamu peroleh dengan sebaik- baiknya.

  Dalam Undang-Undang Islam yang berkaitan dengan harta, terdapat tiga jenis 42 peguasaan tanah yaitu: a. Penguasaan tanah hak milik pribadi yang didasarkan dan ditentukan oleh ketentuan syariah.

  b. Penguasaan tanah wakaf, di mana ketentuannya juga diatur oleh syari’ah.

  c. Tanah milik Negara, yang banyak diatur oleh pemerintah setempat.

8. Rukun Wakaf

  1. Ada orang yang berwakaf (wakif)

  2. Ada sesuatu benda atau harta yang diwakafkan (maukuf) 42 Ridzuan Awang, Undang-Undang Tanah Islam, Pendekatan Pebandingan, (Kualalumpur:

  Deawan Bahasa dan Kementerian Pendidikan, 1994), hal. 2,

  3. Ada tujuan atau tempat ke mana harta itu diwakafkan (maukuf ‘alaih) 4. Ada pernyataan (sighat), sebagai pernyataan kehendak dari wakif. 43 Keempat rukun wakaf di atas masing-masing harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Tabarru’, wakif harus mampu melepaskan hak miliknya tanpa adanya suatu imbalan material. Seseorang dikatakan tabarru’ apabila ia telah baligh, dapat berfikir normal dan tidak ada paksaan.

  2. Harta yang diwakafkan mempunyai nilai dan dapat tahan lama dalam penggunaannya.

  3. Tujuan wakaf tidak bertentangan dengan agama.

  4. Adanya sighat atau ikrar (pernyataan) mewakafkan sesuatu, boleh secara lisan, tulisan maupun isyarat.

  9). PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf)

  Bahwa yang dapat bertindak sebagai PPAIW ialah Kepala KUA Kecamatan kecuali tidak ada maka Kepala Kantor Kementrian Agama menunjuk kepala KUA Kecamatan lain yang terdekat, atau jika di daerah Tingkat II itu belum ada KUA Kecamatan menunjuk Kepala Seksi Agama pada Kemenag Kota/Kabupaten sebagai PPAIW di daerah tersebut. Pengangkatan dan pemberhentian PPAIW oleh Menteri Agama.

43 Ibid, hal. 10

B. Wakaf Berdasarkan Peraturan-Peraturan Hukum Agraria

1. Filosofis Dan Prinsip UUPA No. 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Hukum Agraria).

a. Filosofis UUPA Nomor 5 Tahun 1960.

  Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagikelangsungan hidup umat manusia.

  Bagi bangsa Indonesia tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional, serta hubungan antara bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi, oleh karena itu harus dikelola secara cermat pada masa sekarangmaupun untuk masa yang akan datang.

  Menurut Abdurrahman, tanah dapat dinilai sebagai harta yang bersifat permanen karena tanah dapat dicadangkan untuk kehidupan mendatang, dan 44 tanahpula sebagai tempat persemayaman terakhir bagi seseorang meninggal dunia.

  Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling dasar. Tanah disamping mempunyai nilaiekonomis juga berfungsi sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan guna kepentingan umum. Ini dilakukan dengan pelepasan hak atas tanah denganmendapat ganti rugi yang tidak berupa uang semata akan tetapi juga berbentuk tanah atau fasilitas lain. 44 Abdurrahman, Aneka Masalah Hukum Agraria Dalam Pembangunan di Indonesia,

  (Bandung: Alumni, 1978), hal. 1

  Secara filosofis tanah sejak awalnya tidak diberikan kepada perorangan. Jadi tidak benar seorang yang menjualtanah berarti menjual miliknya, yang benar dia 45 hanya menjual jasa memelihara dan menjaga tanah selama itu dikuasainya.

  Hal tersebut adalah benar apabila dikaji lebih dalambahwa tanah di samping mempunyai nilai ekonomis, juga mempunyai nilai sosial yang berarti hak atas tanah tidak mutlak.Namun demikian negara harus menjamin dan menghormati atas hak-hak yang diberikan atas tanah kepada warga negaranya yang dijamin oleh undang- undang.

  Undang-undang yang mengatur masalah pertanahan telah disusun, yaitu UU Nomor 5 Tahun 1960.Menurut Pasal 16 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasadisebut Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat (UUPA)diatur tentang hak-hak atas tanah yang dapat diberikan kepadawarga negaranya berupa yang paling utama Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, HakMembuka Tanah, Hak untuk Memungut Hasil Hutan dan hak-haklain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara 46 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53UUPA.

  Hukum agraria (Belanda = agrarisch recht, Inggris = agrarian law) adalah ketentuan-ketentuan keseluruhan dari hukum perdata, hukum tata Negara dan hukum administrasi (Hukum Tata Usaha Negara) yang mengatur hubungan-hubungan antara

  45 46 Soedharyo Soimin,Status Hak dan Pembebasan Tanah, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), hal. 82 Ibid , hal. 90

  orang (termasuk badan hukum) dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah Negara dan mengatur pula wewenang-wewenangnya. 47 Hukum agraria nasional pada hakekatnya lahir sejak Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5/1960) diberlakukan di Indonesia. Tanggal 24 September 1960 ditetapkan dan diberlakukanlah di seluruh wilayah Indonesia Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 yaitu Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

  Nama Undang-Undang No. 5 tahun 1960 itu lebih popular dengan sebutan Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) yang kemudian istilah itu dipakai di dalam peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Menteri Agraria Tahun 1960 tentang pelaksanaan beberapa ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria. Kandungan pengertian kata “pokok” pada UUPA itu sangat dalam.

  Adapun filosofi dibentuknya UUPA yaitu :

  1. UUPA dalam Negara Republik Indonesia (RI) yang kehidupan rakyatnya termasuk perekonomiannya masih bercorak agraria (bumi, air, ruang angkasa) sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur.

  2. Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional dan pembangunan semesta.

  3. Hukum agraria yang mempunyai sifat dualism yaitu masih berlakunya ketentuan-ketentuan hukum adat di samping ketentuan-ketentuan KUH Perdata.

  4. Bagi rakyat asli hukum agraria pada zaman penjajahan tidak menjamin adanya suatu kepatian hukum. 48

  47 Tampil Anshari Siregar, Undang-Undang Pokok Agraria dalam Bagan, (Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU, 2001), hal. 1-2. 48 Affan Mukti, Pokok-Pokok Bahasan Hukum Agraria, (Medan: USU Press, 2006), hal. 10.

  Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka perlu ada Hukum Agraria Nasional yang berdasarkan pada hukum adat yang dapat memberikan adanya suatu kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandarkan pada sendi hukum agraria.

  Pernyataan ini memperjelas dengan dikembalikannya marwah hukum adat dan hak ulyat Indonesia dan penyesuaisan pada perkembangan kemajuan perekonomian dan lalu lintas perdagangan.Hukum adat harus dapat menjawab tantangan hukum modern dengan dikembangkannya ketentuan pasal 3 UUPA (tentang hak ulyat) dan pasal 5 UUPA (tentang pengertian hukum adat nasional versi 49 UUPA). 50 Beberapa pendapat menyebutkan bahwa:

  a. Berhubungan dengan apa yang tersebut di atas perlu adanya hukum Agraria Nasional yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.

  b. Hukum Agraria Nasional harus memberikan kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud di atas harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria.

  c. Hukum Agraria Nasional harus mewujudkan penjelmaan dari Ketuhanan Yang Maha Esa, Prikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan keadilan sosial sebagai dasar kerohanian Negara dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

  d. Hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 ketentuan dalam pasal 33 UUD 1945 dan manifesto politik Republik Indonesia sebagai yang ditegaskan dalam pidato 49 Presiden tanggal 17 Agustus 1960.

  Prof. Dr. A. P. Parlindungan, SH, Hukum Agraria Beberapa Pemikiran dan Gagasan, (Medan: USU Press, 1998), hal. 63. 50 Ibid, hal. 10-11

  e. Berhubung dengan segala sesuatu itu perlu diletakkan sendi-sendi dan disusun ketentuan-ketentuan pokok baru dalam bentuk undang-undang yang akan merupakan dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional tersebut di atas. Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengakuan bumi, air, dan ruang angkasa dari seluruh rakyat Indonesia merupakan karunia dari

  Tuhan Yang Maha Esa, pengakuan tersebut tercantum di dalam sila pertama dari Pancasila, sehingga kita mengaku bahwa semua ini adalah merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa.

  Hukum agraria harus memberikan jaminan hukum dan perlindungan di dalam pelaksanaannya serta tidak mengabaikan unsur-unsur agama di dalamnya, dan hukum agraria merupakan penjelmaan dari sila-sila Pancasila.

b. Prinsip UUPA

  Undang-undang pokok agraria nomor 5 tahun 1960 menganut beberapa prinsip yang terkandung di dalamnya yaitu:

  1. Prinsip Kesatuan Hukum Agraria untuk Seluruh Wilayah Tanah Air.

  Bahwa Negara kita telah merupakan Negara kesatuan yang tediri dari beberapa pulau, dan tidak ada ketentuan hukum pertanahan yang mengatur selain dari ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Oleh sebab itu pada masa pemerintah Hindia Belanda Indonesia dibagi menjadi beberapa wilayah yang mempunyai kekuasaan sendiri atau kalau dilihat versi Van Vallen Hoven yang membagi 19 daerah persekutuan hukum adat di mana agar memudahkan pemerintah Hindia untuk mengatur dan menguras hasil bumi Indonesia, namun setelah diundangkan UUPA Nomor 5 Tahun 1960 kita telah mempunyai gagasan kewilayahan yang disebut dengan wawasan Nusantara sehingga tidak mungkin lagi adanya ketidak seragaman di dalam pelaksanaan hukum agraria.

  2. Adanya Penghapusan Asas Domein Verklaring.

  Bahwa Negara di dalam pelaksanaan hukum agraria tidak seperti pada masa pemerintahan Belanda di mana seseorang yang tidak dapat membuktikan haknya, maka tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara, Negara sangat dominan sekali untuk menguasai tanah-tanah untuk kepentingan pemerintahan Belanda, oleh karena itu pemerintah di dalam pelaksanaanhukum pertanahan bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan bunyi pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

  3. Adanya Fungsi Sosial Hak atas Tanah.

  Tanah tidaklah semena-mena untuk dipergunakan sesuka hati, oleh karena itu di dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960, penggunaan tanah tidak demikian halnya melainkan harus dapat bermanfaat bagi masyarakat serta kepentingan umum dengan arti tidak dipegunakan untuk kepentingan pribadi, oleh karena itu jika pemerintah akan melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum, maka apapun yang menjadi hak kita harus dapat merelakan hak tersebut untuk diserahkan demi kepentingan umum tersebut. Jadi di sini tidak ada kemutlakan atau keharusan untuk menguasai tanah selama-lamanya.

  4. Adanya Pengakuan Hukum Agraria dalam Hukum Adat.

  Keanekaragaman suku dan adat istiadat yang sejak dulunya sudah ada di Indonesia, maka tanpa disadari pelaksanaan mengenai pertanahan telah dilakukan di tengah-tengah masyarakat, seperti pelaksanaan gadai sewa tanah, perjanjian bagi hasil, dll, dengan berlakunya UUPA Nomor 5 Tahun 1960 maka keberadaan undang- undang ini dapat memberikan jaminan akan kepastian hak itu sendiri.

  5. Adanya Persamaan Hak Sesama Warga Negara Indonesia Antara Laki-Laki dan Wanita.

  Dalam ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, semua warga Negara Indonesia berhak untuk memperoleh atau memiliki tanah di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia (prinsip nasionalitas) misalnya suku batak dapat memiliki tanah di daerah Papua ataupun di daerah Maluku, dan sebagainya. Jadi dengan demikian tidak ada pembatasan menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria seseorang untuk memiliki tanah-tanah di Indonesia.

  6. Pelaksanaan Landreform Antara Hubungan Manusia dengan Tanah (Bumi, Air dan Ruang Angkasa).

  Landreform adalah menata kembali system pertanahan mengenai penguasaan, penggunaan, persediaan, peruntukan serta peralihan mengenai bumi, air, dan ruang angkasa, yang semuanya ini bertujuan agar lebih tertata system pertanahan serta meningkatkan produktivitas tanah/lahan dengan memperhatikan kehidupan para petani yang tidak mempunyai tanah. Dengan telah tertatanya system pertanahan tidak dijumpai lagi adanya tanah-tanah yang tidak bermanfaat baik untuk kepentingan pemerintah maupun kepentingan masyarakat.

  7. Adanya Suatu Rencana Umum (Pasal 14 UUPA) tentang Persediaan, Peruntukan dan Pengguunaan Bumi, Air, Ruang Angkasa.

  Agar pelaksanaan pembangunan tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu, maka semuanya perlu ada perencanaan yang matang baik itu mengenai persediaan (reserve), peruntukan (use) serta perencanaan (planning) mengenai bumi, air, dan ruang angkasa, sehingga apa yang telah menjadi program pemerintah dapat berjalan dengan baik serta lebih terkoordinasi.

  8. Prinsip Nasionalitas.

  Hal ini memperjelas lagi bahwa sejak mulai berlakunya UUPA Nomor 5 Tahun 1960 tidak dimungkinkan warga Negara asing untuk memperoleh hak atau tanah di Indonesia, namun demikian tidak tertutup bagi warga Negara asing, apabila tujuan perolehan hak tersebut untuk kepentingan atau keperluan bangsa dan Negara sehingga warga Negara asing dapat untuk memperoleh hak atas tanah di Indonesia, yaitu hak-hak atas tanah tertentu seperti hak pakai, hak sewa, serta hak guna usaha, sedangkan mengenai hak guna usaha ini warga Negara asing tersebut harus berpenduduk di Indonesia, berbentuk badan hukum Indonesia serta dapat 51 memberikan devisa bagi Negara atau dapat menunjang perekonomian bangsa.

2. Pengaturan Perwakafan Tanah dalam UUPA.

  Dalam kehidupan, tanah mempunyai peran yang amat penting, baik sebagai tempat tinggal, tempat kegiatan perkantoran, tempat usaha, tempat kegiatan pendidikan, peribadatan dan lain sebagainya. Tanah untuk keperluan kegiatan- kegiatan di atas dapat diperoleh selain dengan cara jual-beli, tukar-menukar, hibah, wasiat, pinjaman dan dapat juga diperoleh melalui jalan wakaf. 51 Ibid, hal. 12-15

  Dengan perkembangan kehidupan masyarakat di Indonesia yang berkembang begitu pesat maka modal yang paling utama adalah tanah, yang mengakibatkan kedudukan tanah menjadi sangat penting.Hal tersebut memunculkan berbagai 52 perbedaan kepentingan antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat banyak.

  Sehubungan hal diatas, maka masalah tanah ini diatur dalam HukumAgraria Nasional, yang tertuang dalam UUPA dan ditindaklanjuti oleh berbagaiPeraturan perundang-undangan yang lainnya. Dalam salah satu konsiderannyadisebutkan:

  Bahwa berhubung dengan apa yang disebut dalam pertimbangan- pertimbangandiatas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yangberdasar atas Hukum Adat tentang tanah yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada Hukum Agama.

  Salah satu hal yang bersandar pada Hukum Agama yang menyangkut tanah 53 ini adalah perwakafan tanah. Wakaf tanah adalah merupakan salah satu bentuk ibadah di dalam Islamyang sangat erat hubungannya dengan keagrariaan, yakni yang menyangkutmasalah bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandungdidalamnya. Oleh karena itu masalah wakaf ini selain terikat dengan aturanHukum Islam juga terikat dengan aturan Hukum Agraria Nasional.

  Karenabegitu pentingnya masalah tanah wakaf ini dimata Hukum Agraria Nasional yang menganut paham bahwa bumi merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang 52 H.Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah Dalam Politik Hukum Agraria Nasional, (Jakarta,

  PT. Tata Nusa, 2003), hal. 8-9 53 H. Taufiq Hamami, Ibid, hal. 3

  54

  mempunyai fungsi sosial, maka masalah tanah wakaf dan perwakafan tanah didudukkan secara khusus. Keberadaannya oleh Negara diakui dan harus dilindungi.

  Pada Pasal 49 ayat 1 UUPA menyatakan,“Hak Milik Tanah Badan-badan

  Keagamaan dan sosial, diakui dandilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial”

  Untuk perwakafan tanah, karena kekhususannya di mata Hukum Agraria Nasional, maka kedudukan dan praktek pelaksanaannya diatur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri sebagaimana ditentukan pada Pasal 49 ayat 3 UUPA, yang berbunyi :

  “Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan PeraturanPemerintah”

  Ketentuan ini menegaskan bahwa soal pertanahan (keagrariaan) yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan suci lainnya, yang salah satunya adalah masalah perwakafan tanah, di dalam sistem Hukum Agraria Nasional mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Realisasi dari kehendak Pasal 49 khususnya ayat (3) sebagai wujud perlindungan dan perhatian Hukum Agraria Nasional terhadap perwakafan tanah adalah dengan diundangkannya peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

  54 UUPA, Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 6

  1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977,tentang Perwakafan Tanah Milik, Lembaran Negara No. 38 danTambahan Lembaran Negara No. 2555.

  2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik.

  3. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

  4. Peraturan Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/75/78 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Perwakafan Tanah Milik.

  5. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi HukumIslam.

  6. Dan peraturan perundangan yang lainnya.

3. Ruang Lingkup Pengaturan Perwakafan Tanah dalam Hukum Agraria Nasional.

  Pengalihan hak menurut Hukum Agraria Nasional, selain dapat dilakukan melalui cara dengan jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat, warisan dan wakaf.

  Pengalihan hak melalui wakaf ini bersifat kekal, abadi dan untuk selama- lamanya,yang berarti bahwa suatu tanah Hak Milik yang telah dialihkan haknya kepada pihak lain dalam hal ini masyarakat baik individu maupun badan hukum dengan cara wakaf, berakibat tanah tersebut terlembagakan untuk selama-lamanya dan tidak dapat dialihkan haknya kepada pihak lain lagi, baik melaluicara jual beli, tukar menukar, hibah dan lainnya kecuali ada alasan hukum yang membolehkannya.

  Sehubungan dengan sifat kekekalan dan keabadian dari sifat wakaf, makaselain tanah yang diwakafkan harus berstatus Hak Milik, juga harus untuk kepentingan orang banyak/masyarakat. Ketentuan ini selain maslahat dan manfaatnya jauh lebih besar dan lebih banyak dapat dinikmati oleh masyarakat,juga sesuai dengan maksud dari fungsi sosial atas suatu hak atas tanah yang dianut oleh Hukum Agraria Nasional. Untuk itulah, maka yang diatur dalam UUPA pasal 49 ayat 3 jo. PP No 28 Tahun 1977 jo. PerMendagri No 6 Tahun1977 jo. PerMenAg No. 1 Tahun 1978, hanyalah masalah perwakafan tanah milik yang kepentingannya tidak lain 55 untuk kepentingan umum ataukepentingan peribadatan lainnya. Berdasarkan uraian- uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup pengaturan perwakafan tanah mencakup hal-hal sebagai berikut : a. Tanah yang dapat diwakafkan adalah tanah yang berstatus Hak Milik,karena ia mempunyai sifat terkuat dan terpenuh bagi pemilik tanahtersebut, sehingga pemilik tanah tidak terikat dengan tenggang waktu danpersyaratan tertentu dengan kepemilikan dan penggunaannya.

  b. Tanah wakaf terlembagakan untuk selamanya dalam waktu yang kekal danabadi. Tidak ada wakaf yang bertenggang waktu tertentu.

  c. Perwakafan tanah harus diperuntukan untuk kepentingan umum (masyarakat banyak), bukan untuk kepentingan pribadi, karena akanmendatangkan 55 manfaat dan mashlahat bagi banyak orang.

  Ibid, hal. 30 d. Wakaf, memutuskan hubungan kepemilikan antara waqif dengan mauqufbih- nya dan selanjutnya status kepemilikannya menjadi milik Allah (masyarakat luas).

  e. Hubungan hak antara waqif dengan mauquf bih-nya hanyalah hak pahalaatas manfaat dari sesuatu yang dihasilkan.

  f. Waqif tidak bisa menarik kembali terhadap tanah yang telah diwakafkan.

  g. Pengikrarannya harus dilakukan dihadapan PPAIW, guna mendapatkan akta autentik yang akan dapat dipergunakan dalam berbagai hal, sepertiuntuk mendaftarkan tanahnya kepada Kantor Pertanahan setempat,ataupun sengketa yang bisa saja terjadi di kemudian hari.

  h. Hal-hal yang diatur oleh Hukum Agraria Nasional mengenai perwakafantanah 56 ini adalah :

  1. Tata cara pelaksanaannya, pengelolaannya, bimbingan dan pengawasannya, yang merupakan kewenangan dan tugas dari Departemen Agama.

  2. Tata cara pemberian hak, mendapatkan kepastian hak atas tanah dan lain- lain, yang merupakan wewenang Badan Pertanahan Nasional.

  3. Tata cara penyelesaian perselisihan, baik yang menyangkut perbuatan hukum, perubahan status maupun penggunaannya, merupakan wewenang lembaga Peradilan, yang dalam hal ini adalah Pengadilan Agama.

  Sebagaimana hasil penelitian melalui wawancara dengan beberapa orang wakif yang telah mewakafkan hartanya mengenai pemahaman masyarakat saat ini dalam hal perwakafan yaitu adanya kebiasaan masyarakat yang ingin mewakafkan sebagian hartanya dengan mempercayakan penuh kepada seseorang yang di anggap 56 Ibid, hal. 31-32 tokoh dalam masyarakat sekitar, seperti kyai, ulama, ustadz, dan lain-lain untuk mengelolah harta wakaf sebagai nazhir. Orang yang ingin mawakafkan harta (wakif) tidak tahu persis kemampuan yang dimiliki oleh nazhir tersebut.Dalam kenyataan, banyak para nazhir wakaf tersebut tidak mempunyai kemampuan manajerial dalam pengelolahan tanah atau bangunan sehingga harta wakaf tidak banyak manfaat bagi masyarakat sekitar.

  Keyakinan yang mendarah-daging bahwa wakaf harus diserahkan kepada seorang ulama, kyai atau lainnya, sementara orang yang diserahi belum tentu mampu mengurus merupakan kendala yang cukup serius dalam rangka memberdayakan harta wakaf secara produktif di kemudian hari.

  Disamping karena kurangnya aspek pemahaman yang utuh terhadap wakaf dalam Islam, umat Islam (khususnya di Percut Sei Tuan)belum menyadari betul akan pentingnya wakaf dalam kehidupan dan kesejahteraan masyarakat banyak, kepedulian terhadap pengembangan wakaf yang sejatinya memiliki peran yang cukup signifikan dalam kehidupan masyarakat belum dirasakan benar. Ada beberapa lembaga kenaziran dan lembaga sosial lainnya yang mencoba mengembangkan wakaf secara produktif, namun nampaknya masyarakat banyak belum tersentuh secara mendasar, bahkan banyak di antara masyarakat yang merasa pesimistik karena melihat pengalaman-pengalaman sebelumnya. Harus diakui, pola dan sistem yang digunakan oleh para pengelola wakaf selama ini memang sangat tradisional dan monoton, sehingga di alam pikiran masyarakat umum sudah terbentuk image bahwa wakaf itu hanya di peruntukkan pada wilayah-wilayah yang non ekonomi, seperti pendirian masjid, musholla, kuburan dan lain-lain. Kurangnya kepedulian masyarakat terhadap wakaf di pengaruhi oleh beberapa faktor :

  1. Adanya pemahaman yang sempit bahwa wakaf selama ini hanya berupa benda tak bergerak, khususnya tanah milik, sementara kepemilikan tanah sudah semakin menyempit, khususnya di daerah perkotaan.

  2. Masyarakat menilai bahwa pengelolahan wakaf selama ini tidak profesional dan amanah (dapat dipercaya). Akibatnya, harta wakaf justru lebih banyak membebani masyarakat, bahkan yang membuat prihatin masyarakat, bahwa pemeliharaan dan pembinaan harta wakaf di ambilkan dari dana-dana sumbangan yang sering dilakukan justru bisa merusak citra Islam secara umum, seperti di bis kota, kereta api, jalan raya, pasar dan rumah ke rumah. Kondisi inilah salah satunya , yang kemudian menyebabkan masyarakat semakin malas memikirkan tentang wakaf.

  3. Belum adanya jaminan hukum yang kuat bagi pihak-pihak yang terikat dengan wakaf, baik yang berkaitan dengan status harta wakaf, pola pengelolaan, pemberdayaan dan pembinaan secara transparan seperti nazhir dan wakif, sehingga banyak masyarakat yang kurang meyakini untuk berwakaf.

  4. Belum adanya kemauan yang kuat dan serentak dari pihak nazhir wakaf dan membuktikannya dengan kongkrit bahwa wakaf itu sangat penting bagi pembangunan sosial, baik mental maupun fisik.

  5. Kurangnya tingkat sosialisasi dari beberapa lembaga yang peduli terhadap pemberdayaan ekonomi (khususnya lembaga wakaf) karena minimnya anggaran yang ada.

  6. Minimnya tingkat kajian dan pengembangan wakaf pada level wacana di Perguruan Tinggi Islam, sehingga sedikit pula referensi-referensi pengembangan wakaf yang sesuai dengan standar manajemen modern. Buku-buku yang ada paling-paling kita temukan kitab-kitab fiqih yang menjelaskan wakaf dalam tinjauan Syariah (normatif) bukan inovatif.

  Dari pemahaman masyarakat Percut Sei Tuan mengenai perwakafan baik secara hukum Islam maupun peraturan hukum agrarian, maka dapat dijelaskan bahwa wakaf sudah demikian melembaga namun permasalahan yang ditimbulkannya tidak kurang untuk menuntut perhatian, penanganan dan peraturan yang lebih serius dan komprehensif dari berbagai pihak terlebih-lebih instansi pemerintah yang terkait di bidang tugas itu.

  Lebih khusus lagi, wakaf tanah yang meliputi berbagai dimensi, pengaturan dan penanganan yang diterapkan seyogianya harus dapat merangsang umat Islam untuk lebih meningkatkan wakafnya baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya di dalam rangkaian upaya mengejar kehidupan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila yang diridhoi Allah SWT.

  Dalam kaitan ini sangat mendesak untuk dimasyarakatkan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam perwakafan tanah.Di samping segala aturan yang telah tertuang di dalam syari’at Islam yang harus sepenuhnya dipedomani maka peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum nasionalpun harus dipenuhi.Ini merupakan konsekuensi dari Negara Republik Indonesia sebagai suatu Negara hukum dengan dasar Negara Pancasila di dalam rangkaian upaya menciptakan kepastian 57 hukum dari perwakafan tanah dimaksud.

  Dari ketentuan itu dapat dilihat: 1. Wakaf.

  Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya dan untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

  2. Ada orang yang berwakaf (wakif) Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya yang dapat mewakafkan tanah yang disebut Wakif, yaitu orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya.Namun oleh UU No. 41/2004 telah dikembangkan, selain orang atau badan hukum juga organisasi dapat menjadi wakif (dalam UUPA, organisasi termasuk sebagai badan hukum). Dalam hal ini tidak semua orang atau badan hukum dapat sebagai wakif tetapi harus sebagai pemilik tanah atau tegasnya sebagai pemegang hak atas tanah yang akan diwakafkan.

  Wakif juga harus memenuhi syarat-syarat khusus seperti : 1) dewasa, 2) sehat 57 akalnya, 3) tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, 4) atas

  Tampil, Pendalaman Lanjutan Undang-Undang, hal. 30 kehendak sendiri tanpa paksaan dari pihak lain, 5) dalam hal badan hukum atau organisasi maka yang bertindak atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum (pasal 3 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 28/1977).

  3. Ada sesuatu benda atau harta yang diwakafkan (maukuf).

  Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif. Secara umum, benda yang dapat diwakafkan adalah : 1). Benda tidak bergerak berupa hak atas tanah yang sudah maupun yang belum terdaftar, bangunan atau bagian bangunan, tanaman dan benda lain, hak milik atas satuan rumah susun dan benda tak bergerak lainnya sesuai dengan ktentuan syariah dan peraturan perundang-undangan.

  2). Benda bergerak yang tidak bisa habis karena dikonsumsi seperti uang, logam mulia, surat berharga, kenderaan, hak atas kekayaanintelektual, hak sewa dan benda bergerak lain sesuai ketentaun syari’ah dan peraturan perundang-undangan seperti mushaf, buku dan kitab (pasal 16 UU No.

  41/2004). Benda wakaf yang dijadikan penelitian adalah wakaf tanah di mana instansi yang berwenang atasnya adalah Badan Pertahanan Nasional.Adapun tanah yang diwakafkan adalah tanah milik yang meliputi pengertian tanah milik yang telah terdaftar dan tanah milik yang belum terdaftar.

  4. Ada tujuan atau tempat ke mana harta itu diwakafkan (maukuf ‘alaih)/peruntukan.

  Secara umum benda wakaf diperuntukkan bagi sarana dan kegiatan ibadah, sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan, bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat dan kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syari’ah dan peraturan perundang-undangan (pasal 22 UU Nomor 41/2004).