Analisis Yuridis Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.261/K/AG/2009)

(1)

TESIS

Oleh

TAUFIKA HIDAYATI

117011012/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

TAUFIKA HIDAYATI

117011012/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : TAUFIKA HIDAYATI

Nomor Pokok : 117011012

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. Utary Maharany Barus, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

2. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn


(5)

Nama : TAUFIKA HIDAYATI

Nim : 117011012

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PERANAN WALI NIKAH

MENURUT FIQIH ISLAM DAN KKOMPILASI HUKUM

ISLAM (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA NO. 261/K/AG/2009)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :TAUFIKA HIDAYATI Nim :117011012


(6)

nikah. Dalam suatu perkawinan, wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah dimana akad nikah tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu mempelai laki-laki dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya. Adapun yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim dan akil baligh. Wali nikah terdiri atas wali nasab dan wali hakim. Pindahnya hak walinasabkepada wali hakim karena hendak menolong agar pernikahan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki itu tidak menjadi terhalangi disebabkan karena wali nasab tidak dapat menjalankan kewajibannya atau karena tidak memenuhi persyaratan dalam Islam.

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui dan menganalisis peranan wali nikah menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Untuk mengetahui dan menganalisis alasan yang dimiliki oleh wali hakim menjadi wali nikah seorang perempuan yang akan menikah, Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pertimbangan hukum bagi Hakim dalam memutus perkara Nomor 261/K/AG/2009 tentang pembatalan pernikahan. Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acauan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Pasal 19 KHI yang menyatakan bahwa wali dalam suatu akad perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai perempuan yang bertindak untuk menikahkannya. Apabila ketentuan terakhir ini tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut tidak sah karena cacat hukum dalam pelaksanaannya. Sehingga perkawinan tersebut dapat dimintakan pembatalannya oleh Pengadilan Agama di tempat perkawinan tersebut dilaksanakan.

Kesimpulan yang diperoleh bahwa menurut Fiqih Islam dan KHI adalah bahwa peranan wali nikah dalam akad pernikahan merupakan suatu kewajiban, karena wali ditempatkan sebagai rukun dalam pernikahan. Alasan yang membenarkan wali hakim menjadi wali nikah untuk menikahkan perempuan yaitu apabila wali nasab yang berhak untuk menikahkan tidak dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam Pasal 23 ayat (1) KHI. Penunjukan wali hakim harus dilakukan dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun yang menjadi pertimbangan hukum bagi hakim dalam memutus perkara No. 261/K/AG/2009 adalah Pasal 14 dan Pasal 23 ayat (1) KHI serta Pasal 23 ayat (2) KHI.


(7)

keep people from moral degeneration and destruction. One of the requirements for the validity of a marriage, according to Islam, is wali nikah. In a marriage, a ‘wali’ is the person who acts on behalf of the bride in a marriage contract conducted by both the bride and the groom with the consent of the wali. A wali nikah is a male who is a Moslem and an akil baligh (adult). Wali nikah comprises wali nasab (male next of kin) and wali hakim (a person who is not related to the bride who acts as wali in the absence of an appropriate male nearest relative). The change of wali nasab to wali hakim is intended to help the marriage contract be valid if wali nasab does not take his responsibility or because he does not meet the requirement as it is stipulated in the Islamic religion.

The objective of the research was to know and to analyze the role of wali nikah according to Islamic fiqih (the Islamic system of jurisprudence) and the Compilation of the Islamic Law (KHI) in order to know and to analyze the reason of the change from wali hakim to wali nikah of a woman who wanted to get married and to know the legal consideration for a the Judge in making the Ruling No. 261/K/AG/2009 on the Cancellation of Marriage. The type of the research was judicial normative which was aimed to analyze written laws from literature materials or secondary materials/data and the reference in law. Article 19 of KHI stipulates that the requirement of a wali (a person who has the right to marry someone off in a marriage contract) must be fulfilled by a prospective bride. If this requirement cannot be fulfilled, the marriage is not valid since it is legally defective in its implementation. Therefore, the marriage can be asked to be cancelled by the local Religious Court.

It was concluded that according to the Islamic Fiqh and KHI, the role of a wali nikah in a marriage contract is a must because he is placed in the requirement in a marriage contract. The reason why wali hakim can become wali nikah to marry a woman off is when wali nasab cannot carry out his duty according to the stipulation in Article 23, paragraph (1) of KHI. The appointment of wali hakim must be in the approval of the Ruling of the Religious Court. The legal consideration of the judge in making the Verdict No. 261/K/AD/2009 is Article 14 and Article 23, paragraph (1) of KHI and Article 23, paragraph (2) of KHI.


(8)

Salam sejahtera bagi kita semua

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat yang tak terhingga, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Penulisan tesis dengan judul “ANALISIS YURIDIS PERANAN WALI NIKAH MENURUT FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

(STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

NO.261/K/AG/2009)” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Di dalam penyelesaian Tesis ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari Komisi Pembimbing :

1. Bapak Prof.H.M. Hasballah Thaib,MA,Ph.D 2. Bapak Prof.Dr.Muhammad Yamin SH,MS,CN 3. Ibu Dr.Utary Maharani Barus SH,M.Hum

Untuk itu penulis menyampaikan rasa terima kasih dan hormat yang sebesar-besarnya atas bimbingan yang telah diberikan selama ini.

Selanjutnya terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K)

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan ini.


(9)

ini.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Progam Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk menyesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak dan Ibu Guru Besar, Dosen Pengajar Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan dan arahan serta ilmu yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.

6. Motivator terbesar Ayahanda Drs. H. Hasan Basri yang telah banyak memberikan dukungan dan doa hingga saat ini, Ibunda Almarhumah Hj. Siti Syamsidaryang semasa hidupnya selalu mendukung dan memberikan kekuatan kepada penulis, serta kakak-kakak dan abang-abang penulis yang selalu memberikan dukungan dan doa saat penulis menyelesaikan tesis ini.

7. SuamiGreniko Hutabaratyang telah memberikan dukungan selama ini hingga penulis menyelesaikan tesis ini.

8. Rekan-rekan Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Angkatan 2011, khususnya Group B yang selalu menghadirkan rasa kebersamaan baik saat masih di bangku kuliah hingga penulis menyelesaikan tesis ini.

9. Seluruh Staf/Pegawai di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menjalani pendidikan

10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.


(10)

namun penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khususnya.

Medan, Agustus 2013 Penulis,


(11)

Nama : Taufika Hidayati

Tempat/Tgl Lahir : Tebing Tinggi, 30 Juli 1977

Alamat : Jl. Dermawan No.10 Medan

Jenis Kelamin : Perempuan

Status Pernikahan : Menikah

II. KELUARGA

Nama Ayah : Drs.H.Hasan Basri

Nama Ibu : Hj.Siti Syamsidar

III. PENDIDIKAN

TK Tunas Harapan Pabatu, Kotamadya Tebing Tinggi (1982-1983)

SD Negeri 1 Nomor 102083 Pabatu, Kotamadya Tebing Tinggi (1983-1989) SMP Yapendak Pabatu, Kotamadya Tebing Tinggi (1989-1992)

SMA Negeri 1 Medan (1992-1995)

Strata 1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (1996-2000)

Strata 1 Fakultas Kependidikan Universitas Muslim Nusantara (2009-2011) Strata 2 Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (2011-2013)


(12)

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Kerangka Konsepsi ... 20

G. Metode Penelitian ... 22

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 22

2. Sumber Data ... 23

3. Tehnik Pengumpulan Data ... 24

4. Alat Pengumpulan Data ... 25

5. Analisis Data ... 25

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN PERANAN WALI NIKAH MENURUT FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ... 27


(13)

C. Prinsip Dan Asas Dalam Pernikahan ... 51

D. Pengertian Wali Nikah ... 59

1. Pembagian Wali Nikah ... 61

2. Orang-Orang Yang Berhak Menjadi Wali Nikah ... 65

F. Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam ... 67

1. Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam ... 67

2. Peranan Wali Nikah Menurut Kompilasi Hukum Islam. 73 BAB III ALASAN WALI HAKIM MENJADI WALI NIKAH UNTUK MENIKAHKAN SEORANG PEREMPUAN ... 76

A. Urutan Wali Yang Berhak Menikahkan ... 76

B. Kedudukan Wali Hakim Dalam Pernikahan ... 78

C. Dasar Ketentuan Bagi Wali Hakim Untuk Menikahkan Seorang Perempuan ... 82

BAB IV ANALISIS TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA MARI NO.261/K/AG/2009 ... 88

A. Kasus Posisi Putusan No. 261/K/AG/2009 ... 88

B. Analisis Hukum Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Perkara Putusan MARI No.261/K/AG/2009 ... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 105

A. Kesimpulan ... 105

B. Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... 108 LAMPIRAN


(14)

Baligh : Dewasa

Bounce de la loi : Kemampuan untuk menerapkan

Eind vonnis : Putusan akhir

Fardhu : Kewajiban

Fasakh : Rusak atau memutuskan

Fiqh : Peraturan hukum dalam islam

Fuqaha : Ahli fiqih

Haram : Memperoleh pahala apabila tidak

dilakukan

Iddah : Masa tunggu

Ijab : Penyerahan dari pihak perempuan

kepada pihak laki-laki

Ijbar : Paksaan

Ijtihad : Menemukan hukum yang belum ada

Illegal : Tidak sah

Inkahin : Menikahkan

Jaiz atau mubah atau ibahah : Boleh

Jariah : Hamba perempuan

Khiyar : Memilih

Kufu : Setingkat atau seimbang

Library research : Penelitian pustaka

Mafqud : Tidak diketahui

Mahar : Mas kawin

Mahjur alaih : Tidak berada dalam pengampuan

Mahram : Tidak boleh dinikahi

Makruh : Perbuatan yang apabila dikerjakan tidak

berdosa dan apabila ditinggalkan mendapat pahala

Maqashid : Pemeliharaan tujuan

Mashlahah : Manfaat

Misjudge : Kesalahan penerapan hukum

Mitsaqaan ghalizan : Perjanjian yang kokoh

Mu’asyarah bil ma’ruf : Memperlakukan istri dengan sopan

Muhallahah : Dihalalkan

Muhallil : Menghalalkan

Mujbir : Memiliki hak paksa

Mujtahid : Orang yang melakukan ijtihad

Mukallaf : Muslim yang dikenai kewajiban dan


(15)

Nasab : Nama keturunan

Nash : Jelas dan tidak mengandung makna

yang lain

Nikah Syighar : Pernikahan yang didasarkan atas

janji atau kesepakatan dengan menjadikan dua orang perempuan sebagai mahar

Onvoldoende gemotiveerd : Kurang cukup pertimbangan

Qabul : Penerimaan pihak laki-laki

Qadhi : Wakil

Qashar : Memendekkan

Qawl Jadid : Pendapat Imam Syafi’i yang

dikemukakan dan ditulis di Mesir

Qawl Qadim : Pendapat Imam Syafi’i yang

dikemukakan dan ditulis di Irak

Ra’y : Logika atau rasio

RBG : Reglemen untuk daerah seberang

(staatblad 1927 No.227) untuk daerah luar Jawa dan Madura

Rechtsvinding law : Menemukan hukum

Safih : Gila atau bodoh

Sakinah mawwadah warahmah : Tentram, cinta dan kasih sayang

Sultan : Penguasa tertinggi

Sunnah : Perbuatan yang apabila dikerjakan

mendapat pahala dan apabila tidak dikerjakan tidak berdosa

Syar’iyyah : Kebijaksanaan masalah kenegaraan

berdasarkan syariah

Syara’ : Kitab Allah yang berkaitan dengan

perbuatan manusia

Tazwajin : Mengawinkan

Thayyibah : Perempuan yang mendambakan

suami

Wali ab’ad : Wali jauh

Wali muhakkam : Wali yang ditunjuk oleh mempelai

yang bersangkutan

Wali qarib atau aqrob : Wali dekat


(16)

MARI : Mahkamah Agung Republik Indonesia

KHI : Kompilasi Hukum Islam

KUA : Kantor Urusan Agama

PA : Pengadilan Agama

PTA : Pengadilan Tinggi Agama

QS : Al-Quran Surah

RBG : Rechtsreglemen Buitengewesten


(17)

nikah. Dalam suatu perkawinan, wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah dimana akad nikah tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu mempelai laki-laki dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya. Adapun yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim dan akil baligh. Wali nikah terdiri atas wali nasab dan wali hakim. Pindahnya hak walinasabkepada wali hakim karena hendak menolong agar pernikahan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki itu tidak menjadi terhalangi disebabkan karena wali nasab tidak dapat menjalankan kewajibannya atau karena tidak memenuhi persyaratan dalam Islam.

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui dan menganalisis peranan wali nikah menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Untuk mengetahui dan menganalisis alasan yang dimiliki oleh wali hakim menjadi wali nikah seorang perempuan yang akan menikah, Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pertimbangan hukum bagi Hakim dalam memutus perkara Nomor 261/K/AG/2009 tentang pembatalan pernikahan. Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acauan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum. Pasal 19 KHI yang menyatakan bahwa wali dalam suatu akad perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai perempuan yang bertindak untuk menikahkannya. Apabila ketentuan terakhir ini tidak dipenuhi maka perkawinan tersebut tidak sah karena cacat hukum dalam pelaksanaannya. Sehingga perkawinan tersebut dapat dimintakan pembatalannya oleh Pengadilan Agama di tempat perkawinan tersebut dilaksanakan.

Kesimpulan yang diperoleh bahwa menurut Fiqih Islam dan KHI adalah bahwa peranan wali nikah dalam akad pernikahan merupakan suatu kewajiban, karena wali ditempatkan sebagai rukun dalam pernikahan. Alasan yang membenarkan wali hakim menjadi wali nikah untuk menikahkan perempuan yaitu apabila wali nasab yang berhak untuk menikahkan tidak dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam Pasal 23 ayat (1) KHI. Penunjukan wali hakim harus dilakukan dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun yang menjadi pertimbangan hukum bagi hakim dalam memutus perkara No. 261/K/AG/2009 adalah Pasal 14 dan Pasal 23 ayat (1) KHI serta Pasal 23 ayat (2) KHI.


(18)

keep people from moral degeneration and destruction. One of the requirements for the validity of a marriage, according to Islam, is wali nikah. In a marriage, a ‘wali’ is the person who acts on behalf of the bride in a marriage contract conducted by both the bride and the groom with the consent of the wali. A wali nikah is a male who is a Moslem and an akil baligh (adult). Wali nikah comprises wali nasab (male next of kin) and wali hakim (a person who is not related to the bride who acts as wali in the absence of an appropriate male nearest relative). The change of wali nasab to wali hakim is intended to help the marriage contract be valid if wali nasab does not take his responsibility or because he does not meet the requirement as it is stipulated in the Islamic religion.

The objective of the research was to know and to analyze the role of wali nikah according to Islamic fiqih (the Islamic system of jurisprudence) and the Compilation of the Islamic Law (KHI) in order to know and to analyze the reason of the change from wali hakim to wali nikah of a woman who wanted to get married and to know the legal consideration for a the Judge in making the Ruling No. 261/K/AG/2009 on the Cancellation of Marriage. The type of the research was judicial normative which was aimed to analyze written laws from literature materials or secondary materials/data and the reference in law. Article 19 of KHI stipulates that the requirement of a wali (a person who has the right to marry someone off in a marriage contract) must be fulfilled by a prospective bride. If this requirement cannot be fulfilled, the marriage is not valid since it is legally defective in its implementation. Therefore, the marriage can be asked to be cancelled by the local Religious Court.

It was concluded that according to the Islamic Fiqh and KHI, the role of a wali nikah in a marriage contract is a must because he is placed in the requirement in a marriage contract. The reason why wali hakim can become wali nikah to marry a woman off is when wali nasab cannot carry out his duty according to the stipulation in Article 23, paragraph (1) of KHI. The appointment of wali hakim must be in the approval of the Ruling of the Religious Court. The legal consideration of the judge in making the Verdict No. 261/K/AD/2009 is Article 14 and Article 23, paragraph (1) of KHI and Article 23, paragraph (2) of KHI.


(19)

A. Latar Belakang

Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk dapat berhubungan satu sama lain sesuai dengan ajaran Islam dan dapat hidup secara damai sesuai perintah Allah SWT dan petunjuk Rasul-Nya.

Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada kaum Muslim agar segera menikah bila ia mampu. Keluarga adalah unit kecil dari masyarakat, dan hanya dengan menikah merupakan cara untuk membentuk lembaga dan untuk hubungan campur diluar itu termasuk hal yang terkutuk dan terlarang.

Pernikahan dalam literaturfiqihIslam disebut dengan dua kata yakni nikah atau zawaj. Kedua kata ini terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Menurut hukum Islam nikah adalah akad yang mengandung kebolehan untuk bersetubuh dengan lafadz kata-kata nikah atau zawaj.

Islam menetapkan berbagai ketentuan untuk mengatur berfungsinya keluarga sehingga dengannya kedua belah pihak yaitu suami dan istri dapat memperoleh kedamaian, kecintaan, keamanan dan ikatan kekerabatan. Unsur-unsur ini sangat diperlukan untuk mencapai tujuan perkawinan yang paling besar, yaitu ibadah kepada Allah. Ibadah disini tak hanya upacara-upacara belaka seperti berhubungan suami istri, melainkan pada hakikatnya mencakup pula berbagai perilaku baik dalam seluruh


(20)

gerak kehidupan. Perkawinan adalah merupakan aspek penting dalam ajaran Islam. Di dalam Al’Qur’an dijumpai 70 ayat yang berbicara soal perkawinan, baik yang menggunakan kata nikah (berhimpun), maupun menggunakan kata zawwaja (berpasangan). Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntunan kepada manusia bagaimana seharusnya menjalani perkawinan agar perkawinan tersebut dapat menjadi jembatan yang mengantarkan manusia, laki-laki dan perempuan menuju kehidupan sakinah yang diridhai oleh Allah SWT. Islam telah merumuskan sejumlah ketentuan yang harus dipedomani, meliputi tata cara seleksi calon suami atau istri, peminangan, ijab qabul hubungan suami istri, serta pengaturan hak-hak dan kewajiban keduanya didalam rumah tangga.

Dalam pandangan Islam perkawinan adalah salah satu cara yang berguna untuk menjaga kebahagiaan umat dari kerusakan dan kemerosotan akhlak. Selain itu perkawinan juga dapat menjaga keselamatan individu dari pengaruh kerusakan masyarakat karena kecenderungan nafsu kepada jenis kelamin yang berbeda dapat dipenuhi melalui perkawinan yang sah dan hubungan yang halal. Justru oleh karena itu Islam memberikan perhatian khusus kepada kaum muda mengenai masalah perkawinan, untuk menyelamatkan jiwa mereka dari perbuatan dan kerusakan akhlak seperti zinah dan seumpamanya.1

Perkawinan adalah suatu akad suci yang mengandung serangkaian perjanjian diantara kedua belah pihak yaitu antara suami dan istri. Al Qur’an menyebutkan bahwa perkawinan sebagaimiitsaqan ghalizhan(perjanjian yang kokoh) seperti yang termaktub dalam QS An Nisa’4/21 yang artinya:

1Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Keluarga Poligami, Pustaka


(21)

“Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.2

Di Indonesia ketentuan yang berhubungan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundangan Negara yang khusus berlaku bagi warga Negara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam bentuk Undang-undang yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Undang-Undang ini merupakan hukum materiil dari perkawinan, sedangkan hukum formalnya ditetapkan dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1989.3

Di samping peraturan perundang-undangan negara yang disebutkan di atas dimasukkan pula dalam pengertian Undang-Undang Perkawinan dalam bahasan ini diatur atau ketentuan yang secara efektif telah dijadikan oleh hakim di Pengadilan Agama sebagai pedoman yang harus diikuti dalam penyelesaian perkara perkawinan, yaitu Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang penyebarluasannya dilakukan melalui Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Kompilasi Hukum Islam disusun untuk melengkapi Undang-Undang Perkawinan dan diusahakan secara praktis mendudukkannya sebagai hukum perundang-undangan meskipun kedudukannya tidak sama dengan itu. Kompilasi Hukum Islam dengan demikian berinduk kepada Undang-Undang Perkawinan. Dalam kedudukannya sebagai pelaksanaan praktis dari Undang-Undang Perkawinan,

2Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, Lembaga Kajian Agama dan Jender

Solidaritas Perempuan, Jakarta, 1999, hal 9-10

3

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,Kencana Prenada Media Group, Cetakan 3, Jakarta, 2009, hal.1


(22)

maka materinya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan. Seluruh materi Undang-Undang Perkawinan disalin ke dalam Kompilasi Hukum Islam meskipun dengan rumusan yang sedikit berbeda. Di samping itu dalam Kompilasi Hukum Islam ditambahkan materi lain yang prinsipnya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan.

Diharapkan dengan adanya aturan hukum tersebut, persoalan perkawinan yang terjadi di Indonesia dapat diselesaikan dengan baik berdasarkan hukum positif dan juga berdasarkan hukum agama (terutama Islam sebagai penganut mayoritas yang terdapat di Indonesia).

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pengertian perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam yang dituangkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 yang menyebutkan bahwa pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum4. Nikah sebagaimana halnya dengan perbuatan hukum lainnya, yaitu memerlukan kepada syarat dan rukun agar dapat dipandang sah menurut hukum Islam.


(23)

Adapun rukun perkawinan itu secara lengkap adalah sebagai berikut: 1. Calon mempelai laki-laki

2. Calon mempelai perempuan

3. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan 4. Dua orang saksi

5. Ijab yang dilakukan oleh wali danqabulyang dilakukan oleh suami

Sedangkan yang menjadi syarat sahnya suatu pernikahan yaitu adanya kata sepakat di antara pihak-pihaknya, calon istri sudahbalighatau dewasa serta tidak ada hubungan atau halangan yang merintangi pernikahan.

Undang-Undang Perkawinan tidak membicarakan tentang rukun perkawinan tetapi hanya membicarakan tentang syarat-syarat perkawinan, dimana syarat-syarat tersebut lebih banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau rukun perkawinan. Kompilasi Hukum Islam secara jelas membahas rukun perkawinan sebagaimana yang terdapat pada Pasal 14.

Adapun syarat-syarat dan rukun-rukun untuk sahnya suatu perkawinan menurut Hukum Islam, adalah wali nikah. Dalam suatu perkawinan, wali adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah dimana akad nikah tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu mempelai laki-laki dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya. Imam Syafi’i berpendapat bahwa perempuan yang kawin wajib mendapat izin dari wali dan wali itu merupakan syarat bagi sahnya suatu perkawinan. Adapun yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim danakil baligh.5

5Mohd. Idris Ramulyo,Hukum Perkawinan Islam “Suatu Analisis dari Undang-Undang Nomor


(24)

Wali nikah terdiri atas: a. Wali Nasab

Yang terdiri atas empat kelompok dalam urutan kedudukan, dimana kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai urutan kekerabatan dengan calon mempelai perempuan.6

1. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

2. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

3. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

4. Kelompok saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Jika wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah maka wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.7

Orang-orang yang disebutkan di atas baru berhak menjadi wali apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:8

1. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak berhak menjadi wali.

2. Laki-laki. Perempuan tidak boleh menjadi wali.

3. Muslim. Tidak sah orang yang beragama non muslim menjadi wali untuk muslim.

4. Orang merdeka.

5. Tidak berada dalam pengampuan ataumahjur alaih

6. Berfikiran baik. Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaannya tidak boleh menjadi wali karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan maslahat dalam perkawinan tersebut.

7. Adil dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering terlibat dengan dosa kecil serta tetap memelihara muruah atau sopan santun.

8. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji dan umrah.

6Mohd.Idris Ramulyo,Op.Cit, hal.74 7Ibid, hal.75


(25)

b. Wali Hakim yaitu wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali.9

Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal (enggan). Dalam hal wali adhal (enggan) maka wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.10

Dalam Hadist Rasulullah terlihat bahwa seorang perempuan yang hendak menikah harus memakai wali, berarti bila tanpa wali maka nikah itu adalah batal menurut Islam atau nikahnya tidak sah. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Hadist Rasulullah SAW sebagai berikut:

“Bagaimanapun perempuan yang menikah dengan tanpa izin walinya, maka nikah itu batal.”11

Abu Hanifah berpendapat bahwa seorang perempuan yang hendak nikah dengan seorang laki-laki dia harus mempunyai wali. Wali disini tidak memandang syarat-syaratnya, baik ia mulia maupun hina tetapi sahnya perkawinan itu dengan adanya wali, mereka ini mengkiaskan, seperti menjual barang, disini tidak memandang kepada si penjual baik dia bodoh maupun dia itu pandai, soalnya perbuatan menjual itu bagus pelaksanaannya.12

Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah sesuatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Dalam akad perkawinan itu sendiri wali berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.13

9Pasal 1 huruf b Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 10Pasal 23 ayat 1dan 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

11Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam,Universitas

Al Azhar, Medan, 2010, hal.82

12Ibid, hal 77


(26)

Imam Idris As Syafii beserta para penganutnya bertitik tolak dari Hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam ahmad dan Al Tirmidzi berasal dari Siti Aisyah (istri Rasulullah) berbunyi seperti di bawah ini:14

“Barangsiapa di antara perempuan yang nikah dengan tidak seizin walinya, nikahnya itu batal.”15

Adapun dari Hadist Rasulullah yang lain Rawahul Imam Ahmad, dikatakan oleh Rasulullah bahwa:

a. Tidak sah nikah melainkan dengan wali dan 2 (dua) orang saksi yang adil.16 b. Jangan menikahkan perempuan akan perempuan yang lain dan jangan pula

seorang perempuan menikahkan dirinya (Rawahul Daruquty), diriwayatkan lagi oleh Ibnu Majah.17

c. Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya adalah batal, batal, batal, tiga kali kata-kata batal itu diucapkan oleh Rasulullah untuk menguatkan kebatalan nikah tanpa izin wali pihak perempuan (berasal dari istri Rasulullah: Siti Aisyah).18

d. Apabila mereka berselisih paham tentang wali, maka wali nikah bagi wanita itu adalah“Sulthan” atau “Wali Hakim”, begitupun apabila wanita itu tidak

14Mohd. Idris Ramulyo,Op.Cit,hal.216

15Rasyid H.Sulaiman, Fiqih Islam, Attahiriyah, Jakarta,1995, hal.362 16Ibid, hal.368

17Ibid, hal.363 18Ibid, hal.363


(27)

ada wali sama sekali, (Rawahul Abu Daud,Al Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Ahmad).19

Seorang wali hakim baru dapat bertindak sebagi wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau walinya ghaib atauadhal(enggan).20

Pindahnya hak wali nasabkepada wali hakim karena hendak menolong supaya pernikahan antara wanita dengan pemuda itu tidak menjadi terhalangi. Walinya si perempuan kebetulan ghaib, artinya berada jauh dari tempat si wanita karena suatu pekerjaan, urusan perdagangan dan sebagainya.21 Namun bila bukan walinya yang tidak ada di tempat, melainkan justru wanitanya lah yang dipindahkan tempatnya, jauh dari keberadaan walinya. Sehingga wali si wanita itu otomotis akan berpindah kepada hakim.22Disini terlihat bahwa maksud dan tujuan yang baik itu ternyata telah disalahgunakan.23

Sebelum perang dunia kedua, olehAdviseur voor Islamitische Zakendi Jakarta, telah ditulis suatu surat edaran yang ditujukan kepada semua Kepala Daerah untuk menertibkan persoalan ini. Karena katanya, kawin yang seperti itu disebut kawin lari. Kawin yang dilakukan diluar dari kebiasaan. Sebab menjauhkan wanita dari walinya, bukan tujuan dari hukum Islam.24

Dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 23 ayat 2 menyatakan bahwa seorang wali hakim baru dapat bertindak sebagi wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau walinya ghaib atau adhal (enggan). Bagaimana cara 19Rasyid H.Sulaiman,Op.Cit, hal 368

20Pasal 23 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam

21Peraturan Menteri Agama No.1/1952 atau No.4/1952

22T.Jafizham,Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, PT.Mestika,

Jakarta, 2006, hal.217

23Ibid, hal.217 24Ibid, hal.216


(28)

menetapkan nikah dengan wali hakim? Apakah cukup dengan pengakuan calon pengantin perempuan atau keluarganya bahwa walinya tidak bisa hadir atau enggan menikahkannya. Kepala KUA atau petugas di lapangan harus ekstra hati-hati menyelidiki kebenaran fakta yang sesungguhnya bahwa seorang wali nasab tidak dapat melaksanakan perwaliannya. Perlu ada langkah yang hati-hati dan penuh pertimbangan dari sisi hukum syar’iyyah dan peraturan perundang-undangan, agar nikah dengan wali hakim tidak digugat dibelakang hari.25 Dalam hukum Islam ditetapkan, bila seorang wanita berpindah walinya kepada Hakim, itu kalau secara kebetulan wali keluarga itu sedang berada di suatu tempat karena urusan yang tidak bisa ditinggalkan.26

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui tentang pentingnya peranan dan keberadaan wali nikah atas keabsahan pernikahan. Hal ini mendorong penulis untuk mengetahui dan mempelajari mengenai peranan wali nikah atas keabsahan pernikahan tersebut.

Adapun yang diteliti dalam kasus ini adalah mengenai pembatalan pernikahan yang dilangsungkan oleh wali hakim (kepala KUA) tanpa adanya pelimpahan dari wali nasabnya yaitu Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.261/ K/AG/2009.

Kasus ini bermula dari perkawinan M (Penggugat) dengan istrinya R, telah lahir tiga orang anak dan diantaranya adalah anak perempuan LW (Tergugat I) yang lahir pada tanggal 19 November 1981 di Makassar. Bahwa selaku orang tua, Penggugat menyadari kewajban untuk memelihara, mendidik dan memenuhi kebutuhan hidup

25Nawawi N., Kedudukan Wali Hakim Dalam Pernikahan

http://bdkpalembang.kemenag.go.id/kedudukan-wali-hakim-dalam-pernikahan, diakses pada tanggal 17 Januari 2013


(29)

Tergugat I, sehingga Tergugat I dapat menyelesaikan pendidikan hingga ke Perguruan Tinggi dengan menyandang gelar sarjana (S1) dan telah bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Selayar. Pada tanggal 25 November 2007 Tergugat I meninggalkan tugas bahkan tidak diketahui keberadaannya. Belakangan diketahui bahwa Tergugat I pergi ke Kolaka, Sulawesi Tenggara. Bahwa Tergugat I tidak pergi sendirian tetapi dengan seorang laki-laki SJ (Tergugat II).

Kemudian diketahui kabar bahwa Tergugat I dan Tergugat II telah menikah di Kolaka sebagaimana tercatat pada Kutipan Akta Nikah Nomor 10/10/I/2008 tanggal 7 Januari 2008. Tergugat I dan Tergugat II dinikahkan oleh wali hakim yang bernama S S.Ag, sebagai Kepala Kantor Urusan Agama di Kecamatan Samaturu, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Adapun yang menjadi pokok masalah dalam perkara ini adalah Penggugat menuntut untuk dibatalkan perkawinan Tergugat I dan Tergugat II. Bahwa meskipun tercatat pada Kantor Urusan Agama dimana perkawinan itu berlangsung, tidak sah menurut hukum dengan alasan dinikahkan dengan wali yang tidak sah.

Berdasarkan uraian sebagaimana yang disebutkan di atas, maka dilakukan penelahaan lebih lanjut tentang peranan wali nikah menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam. Penelitian ini kemudian dituangkan dalam tesis dengan judul “Analisis Yuridis Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 261/K/AG/2009)”.


(30)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan beberapa masalah yang harus dibahas dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana peranan wali nikah menurut Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam?

2. Alasan-alasan apa yang membenarkan wali hakim dapat menjadi wali nikah dari seorang perempuan?

3. Apakah yang menjadi pertimbangan hukum Hakim dalam memutuskan perkara Nomor 261/K/AG/2009 tentang pembatalan pernikahan?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini maka dapat dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis peranan wali nikah menurutFiqihIslam dan Kompilasi Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan yang dimiliki oleh wali hakim menjadi wali nikah seorang perempuan yang akan menikah.

3. Untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pertimbangan hukum bagi Hakim dalam memutus perkara Nomor 261/K/AG/2009 tentang pembatalan pernikahan.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat bagi semua pihak bagi peneliti, para pihak yang nantinya dihadapkan dalam keadaan untuk mengetahui peranan wali nikah menurut perspektifFiqihIslam dan Kompilasi Hukum Islam.


(31)

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah masukan bagi ilmu pengetahuan hukum dan pemahaman yang lebih mendalam kepada pembaca tentang peranan wali nikah menurutFiqihIslam dan Kompilasi Hukum Islam. 2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kalangan praktisi dalam menangani suatu perkara tentang peranan wali nikah menurut Fiqih Islam dan kompilasi Hukum Islam yang terjadi di masyarakat. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan masukan bagi praktisi hukum, pengacara, mahasiswa dan masyarakat umum.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan sementara di Lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan judul topik dalam tesis ini antara lain:

1. Penelitian dengan judul “Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia“ oleh Marahalim Nim 057005037/HK. Rumusan masalah yang dibahas adalah:

a. Bagaimanakah pengangkatan Wali Hakim dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan hukum Islam?


(32)

c. Bagaimana pertimbangan Wali Hakim dalam menikahkan seorang perempuan yang memiliki Wali Nasab serta keabsahan Wali Hakim dalam pernikahan tersebut.

2. Penelitian dengan judul ”Tanggung Jawab Balai Harta Peninggalan Selaku Wali Pengawas Terhadap Harta Anak Dibawah Umur (Studi Mengenai Eksistensi Balai Harta Peninggalan Medan sebagai Wali Pengawas)” oleh Siti Hafsah Ramadhany Nim.027011062/MKn. Rumusan yang dibahas adalah: a. Mengapa fungsi Wali Pengawas dalam penyelesaian warisan yang atasnya

turut berhak anak di bawah umur tidak berjalan sebagaimana mestinya? b. Apakah fungsi Wali Pengawas ini dapat diperluas daya berlakunya sehingga

dapat diperlakukan terhadap Golongan Pribumi?

c. Bagaimana pengaruh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan terhadap eksistensi Balai Harta Peninggalan (BHP) sebagai Wali Pengawas, khususnya bagi Warga Negara Indonesia yang tunduk kepada KUH/Perdata?

3. Penelitian dengan judul ”Penyelesaian Sengketa Wali Adhal dan Kaitannya

dengan Keabsahan Perkawinan (Studi Terhadap Penetapan

No.215/Pdt.P/2011/P.A. Jakarta Selatan)” oleh Sylvana Amelia Fauzi Nim.107011033/MKn. Rumusan yang dibahas adalah:

a. Apakah yang menjadi faktor penyebab terjadinya waliadhal?

b. Bagaimana keabsahan perkawinan jika terjadi wali adhal berdasarkan penetapan No.215/Pdt.P/2011/P.A. Jakarta Selatan?


(33)

c. Bagaimana status perkawinan yang timbul dari perkawinanadhal? F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan ilmu yang tersusun secara sistematis dengan penggunaan kekuatan, pemikiran, pengetahuan mana senantiasa dapat diperiksa dan ditelaah secara kritis, akan berkembang terus atas dasar penelitian-penelitian. Hal ini disebabkan karena penggunaan ilmu pengetahuan bertujuan agar manusia lebih mengetahui dan lebih mendalami.

Ilmu hukum mempunyai karakeristik sebagai ilmu yang bersifat perspektif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat perspektif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standart prosedur, ketentuan-ketentuan,rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.27

Ilmu hukum tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu termasuk ketergantungan pada metodologi, karena aktivitas penelitian hukum dan imajinasi sosial juga sangat ditentukan oleh teori.28

Hukum ada pada setiap masyarakat dimana pun juga. Bagaimanapun primitifnya dan modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Sehingga

27Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hal.22 28

M.Hisyam,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal 203


(34)

keberadaan (eksistensi) hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, tetapi justru memiliki hubungan timbal balik.29

Hukum memiliki 3 (tiga) peranan utama dalam masyarakat: 1. Sebagai sarana pengendalian sosial

2. Sebagai sarana memperlancar proses interaksi sosial 3. Sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu

Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, atau teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.30

Teori atau kerangka teoritis mempunyai beberapa kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut :

1. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya.

2. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur-struktur konsep serta mengembangkan definisi-definisi. 3. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui

serta diuji kebenarannya yang menyangkut obyek yang diteliti.

4. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang.

29Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Edisi Revisi, PT.Citra Aditya

Bakti,Bandung, 2004, hal 27


(35)

5. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Penelitian ini membahas tentang peranan wali nikah nikah menurut perspektif fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam kasus ini Penggugat (orang tua Tergugat I) mengajukan gugatan atas pernikahan Tergugat I dengan Tergugat II.

Adapun teori yang dikaitkan dengan permasalahan dalam penelitian adalah teoriMaqasid Al-Syari’ahdan teori Perwalian.

Teori Maqasid Al-Syari’ah dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syathibi, yaitu tujuan akhir hukum adalah maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan manusia. Tidak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Hukum-hukum Allah dalam Al Qur’an mengandung kemaslahatan.31

Teori Maqasid Al-Syari’ah hanya dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat yang mengetahui dan memahami. Demikian juga yang menciptakan hukum-hukum yang termuat dalam Al Qur’an adalah Allah SWT. Berdasarkan pemahaman tersebut, akan muncul kesadaran bahwa Allah SWT yang paling mengetahui berkenaan hukum yang dibutuhkan oleh manusia, baik yang berhubungan dengan kehidupannya didunia maupun di akhirat. Kesadaran hukum pihak pemerintah dan masyarakat tersebut, akan melahirkan keyakinan untuk menerapkan hukum Allah SWT, bila menginginkan terwujudnya kemaslahatan bagi kehidupan manusia.32

31Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqasid Al-Syari’ah (Disertasi Pascasarjana IAIN Syarif

Hidayatulah, Jakarta, 1994, hal. 96)


(36)

Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqih, unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan yaitu:33

a. Memelihara agama b. Memelihara jiwa c. Memelihara akal d. Memelihara harta e. Memelihara keturunan f. Memelihara kehormatan

Peranan wali nikah ini berkaitan dengan salah satu tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dalam hukum Islam yaitu untuk memelihara keturunan. Dengan pemeliharaan keturunan, maka kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan umat manusia dapat diteruskan dengan sebaik-baiknya.

Teori berikutnya yang menjadi pendukung dari Maqasid Al-Syari’ah adalah teori Perwalian. Teori ini penting diikutsertakan dalam penelitian karena pada dasarnya semua orang harus memiliki wali, termasuk wali nikah dalam pernikahan. Salah satu rukun pernikahan dalam agama Islam adalah wali. Perwalian dalam nikah adalah kekuatan untuk melangsungkan akad nikah.

Suatu pernikahan tidak dipandang sah kecuali ada wali sebagaimana dinyatakan dalam Firman Allah dan Hadistt sebagai berikut :

Surat al-Baqarah (2) ayat 221:

33Fitri Zakiyah, Tesis Perbandingan Status Hak Waris Anak Luar Kawin Antara Kompilasi

Hukum Islam (KHI) Dengan Hukum Perdata (BW), Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010, hal.21


(37)

“Janganlah kamu mengawinkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki musyrik. Sesungguhnya hamba sahaya mukmin lebih baik daripada orang musyrik walaupun ia menarik hatimu.”34

Surat an-Nur (24) ayat 32:

“Dan kawinkanlah orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (untuk kawin) di antara hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. jika mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”35

Rasulullah SAW bersabda:

“Siapapun perempuan yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil. Apabila sang suami menggaulinya maka ia harus menerima mas kawin karena menghalalkan kemaluannya. Apabila terjadi perselisihan maka seorang penguasa (hakim) adalah wali bagi yang tidak memiliki wali.”36

Juga Hadistt Aisyah, Nabi bersabda:

“Wanita manapun yang menikah tanpa izin walinya, maka pernikahannya batal.”(HR.Empat orang Ahli Hadistt kecuali Nasai)37

Berkaitan dengan pernyataan di atas menunjukkan bahwa kedudukan dan keberadaan wali memang harus ada bagi setiap wanita dan tidak boleh diabaikan.

34Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,Op.Cit, hal.70 35Ibid

36Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Era Intermedia, Solo,

2005, hal.178


(38)

2. Kerangka Konsepsi

Suatu kerangka konsepsi merupakan kerangka yang menggambarkan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut. Adapun untuk lebih menjelaskannya, maka didalam penelitian biasanya dibedakan 3 (tiga) yakni :38

1. Referens atau acuan, yakni hak aktual yang menjadi ruang lingkup penelitian. 2. Symbol atau kata atau istilah, yaitu sesuatu yang dipergunakan untuk

mengindetifikasikan referens atau acuan.

3. Konsep yang merupakan kumpulan atau arti-arti yang berkaitan dengan istilah. Dengan demikian maka konsep sangat penting bagi cara pemikiran maupun komunikasi dalam penelitian.

Kerangka konsepsi merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain seperti asas dan standar. Sehingga kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya oleh hukum.39Kerangka konsepsi mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.40

Sehingga dalam penelitian ini dirumuskan kerangka konsepsi sebagai berikut: a. Wali adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua.41

b. Wali Nikah adalah orang yang berhak menikahkan anak wanita dengan calon suaminya.42

38Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press Jakarta,1984, hal. 132 39Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal 397

40Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995, hal.7

41Pasal 1 huruf h Kompilasi Hukum Islam

42Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut : Perundangan, Hukum Adat,


(39)

c. Wali Nasab adalah wali yang behubungan tali kekeluargaan dengan perempuan yang akan kawin.43

d. Wali Hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.44

e. Sah adalah dilakukan menurut hukum (undang-undang, peraturan) yang berlaku.

f. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.45 Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.46

g. Akil balighadalah telah dewasa.

h. Fiqih Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Illahi dan penjelasannya dalam sunah Nabi tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.47

i. Kompilasi Hukum Islam adalah mazhab para hakim di Pengadilan Agama. j. Ijabadalah penyerahan dari pihak perempuan kepada pihak laki-laki.48

43

Amir Syarifuddin , Hukum Perkawinan di Indonesia,Op.Cit, hal.75

44Pasal 1 huruf b Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 45

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

46Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam.

47


(40)

k. Qabuladalah penerimaan dari pihak laki-laki.49

l. Tinjauan Yuridis adalah pandangan menurut hukum; berdasarkan ketentuan hukum.

G. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.50

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan sesuatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.51

Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itulah, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how didalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan. Mengingat penelitian hukum merupakan suatu kegiatan dalam kerangka know-how, isu hukum hanya dapat didentifikasi oleh ahli hukum dan tidak mungkin oleh ahli lain. Sebagaimana dikemukakan oleh Cohen bahwa hanya mereka yang mempunyai expertise dalam menganalisa hukum yang mampu melakukan penelitian hukum.52

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang menggambarkan, menganalisa dan menjelaskan permasalahan yang akan dikemukakan dalam penelitian ini.

48

Ibid, hal.62

49

Ibid

50Soerjono Soekanto,Op.Cit, hal.42 51Soerjono Soekanto,Op.Cit, hal.43 52Peter Mahmud Marzuki,Op.Cit, hal.41


(41)

Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder belaka yang lebih dikenal dengan nama bahan sekunder dan bahan acauan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum.53

Karena jenis penelitian menggunakan penelitian hukum normatif maka secara garis besar digunakan pendekatan-pendekatan sebagai berikut:54

a. Pendekatan dengan mengkaji asas-asas hukum, yaitu penelitian tentang keterkaitan asas-asas dan doktrin hukum dengan hukum positif, maupun hukum yang hidup dalam masyarakat.

b. Pendekatan terhadap sistematika hukum, yaitu penelitian dengan menelusuri secara sistematik keterkaitan antara hukum dasar, hukum yang sifatnya instrumental dan operasional.

c. Pendekatan sinkronisasi hukum, yaitu penelaan hukum dengan mengsinkronisasi hukum secara vertikal melalui asas atribusi, delegasi dan mandat. Sedangkan pada sinkronisasi horizontal melalui asas delegasi.

d. Pendekatan sejarah hukum, merupakan penelaan yang menitikberatkan pada sejarah masa lalu, kemudian perkembangan masa kini dan antisipasi masa yang akan datang.

e. Pendekatan perbandingan hukum, merupakan penelaan yang menggunakan dua atau lebih sistem hukum untuk dibandingkan apakah mengenai perbedaan atau persamaannya.

2. Sumber Data

Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder. Data sekunder berasal dari penelitian kepustakaan (library research) yang diperoleh dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang terdiri dari : a. Al Qur’an dan Hadistt.

b. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. c. Kompilasi Hukum Islam

53Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Op.Cit, hal 33

54 Meray Hendrik Mezak, Jenis, Metode dan Pendekatan Dalam Penelitian Hukum, Law


(42)

d. Rechtreglemen Buitengewesten (R.Bg)

e. Peraturan Menteri Agama RI No.2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim f. Peraturan Menteri Agama RI No.30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim g. Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

h. Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama i. Undang-Undang No.50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama j. Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Perkawinan k. Putusan MARI No.261/K/AG/2009

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer misalnya buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil penelitian, karya ilmiah atau hasil-hasil seminar yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan informasi dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder misal kamus hukum, kamus fiqih, majalah, surat kabar, kamus bahasa Indonesia, internet, jurnal-jurnal.

3. Tehnik Pengumpulan Data

Adapun untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti dan dikaitkan dengan jenis penelitian hukum yang bersifat normatif maka tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu pengumpulan data dilakukan dengan cara menghimpun data yang bersala dari kepustakaan, berupa peraturan


(43)

perundang-undangan, buku-buku atau literatur, jurnal ilmiah, majalah-majalah, artikel, putusan pengadilan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti serta tulisan-tulisan yang terkait dengan peranan wali dalam keabsahan nikah menurut hukum Islam. 4. Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data diawali dengan kegiatan penelusuran peraturan perundang-undangan dan sumber hukum postif lain dari sistem hukum yang dianggap relevan dengan pokok persoalan hukum yang sedang dihadapi.55

Berdasarkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini maka alat pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen dengan meneliti dokumen-dokumen tentang hukum Islam. Dokumen ini merupakan sumber informasi penting. 5. Analisis Data

Puncak kegiatan pada suatu penelitian ilmiah hukum adalah menganalisis data yang merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan.56

Analisa data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.57

Penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada hukum yang terdapat dalam peraturan peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.58

55

Zainuddin Ali,Op.Cit, hal.109

56

Tampil Anshari Siregar,Metodoogi Penelitian Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2007, hal.104

57

Lexy J.Moleong,Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya , Bandung ,2002, hal. 101


(44)

Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian bersifat deskriptif analitis, analisis data yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data sekunder.59

Adapun tahap-tahap dalam melakukan analisis secara kualitatif adalah:60 a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang

diteliti.

b. Memilih kaidah-kaidah hukum atau doktrin yang sesuai dengan penelitian. c. Mensistematisasikan kaidah-kaidah hukum, asas atau doktrin.

d. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal, atau doktrin yang ada.

e. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif.

Dengan demikian kegiatan analisis data ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang diharapkan dapat memberikan kesimpulan yang dilakukan dengan memakai analisa deduktif yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya mengambil hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan dari permasalahan dan tujuan penelitian ini.

59Ibid, hal.107

60Amirudin dan Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.RajaGrafindo Persada,


(45)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN PERANAN WALI NIKAH MENURUT FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Pengertian Pernikahan 1. Menurut Fiqih Islam

Pernikahan merupakan cara paling mulia yang dipilih Pencipta alam semesta untuk mempertahankan proses regenerasi, perkembangbiakan dan keberlangsungan dinamika kehidupan. Fitrah diberikan Allah pada manusia meniscayakan pentingnya penyatuan antara laki-laki dan perempuan demi keutuhan jenis manusia agar mereka dapat memakmurkan bumi, mengeluarkan kekayaan alamnya, mengembangkan nikmat-nikmat yang dikandungnya, dan memanfaatkan kekuatan alami bumi selama waktu yang diinginkan Allah.61 Pernikahan adalah pelindung individu maupun masyarakat, khususnya kaum perempuan. Allah SWT berfirman:

“Nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara yang sholeh dan telah pantas menikah. Jika mereka miskin, Allah akan membuat mereka kaya dengan karunia-Nya. Allah Maha Luas pemberian-karunia-Nya. Dan Maha Mengetahui.” (Surah An-Nur: 32).62

Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan masyarakat. Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dipandang sebagai jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum yang lain dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya.63

Secara etimologi Perkawinan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah sama dengan kata kawin adalah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami istri.64

61

Adil Abdul Mun’im Abu Abbas,Ketika Menikah Jadi Pilihan, Almahira,2001, hal.6-7

62Syaikh Fuad Shalih,Untukmu yang Akan Menikah Dan Telah Menikah, Pustaka Al-Kautsar,

Jakarta, 2005, hal.6

63

Sulaiman Rasjid,Fiqih Islam:Hukum Fiqh Lengkap,Sinar Baru Algesindo, Bandung 2012, hal.374

64


(46)

Tihami mengemukakan bahwa istilah “kawin” digunakan secara umum untuk tumbuhan, hewan dan manusia, dan menunjukkan proses generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara hukum nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari proses perempuan) dan kabul (pernyataan penerimaan dari pihak laki-laki). Selain itu nikah juga bisa diartikan sebagai bersetubuh.65

Dalam bahasa Melayu (terutama di Malaysia dan Brunai Darussalam), digunakan istilah kahwin. Kahwin ialah ”Perikatan yang sah antara lelaki dan perempuan menjadi suami istri, nikah.” Berkahwin maksudnya sudah mempunyai istri (suami).66

Nikah menurut bahasa berarti berkumpul menjadi satu. Menurut syara’, nikah berarti suatu aqad yang berisi pembolehan melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafaz inkahin (menikahkan) atau tazwajin (mengawinkan). Kata nikah itu sendiri secara hakiki, menurut Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibrary, berarti akad, dan secaramajaziberarti bersenggamaan67.

Seperti dinyatakan Abdur-Rahman Al-Juzairi, kata nikah (kawin) dapat didekati dari tiga aspek pengertian (makna), yakni makna lughawi(etimologi), makna ushuli (syar’i), dan maknafiqhi(hukum).68

Definisi pernikahan yang diberikan Wahbah al-Zuhaily sebagai berikut: “Akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukanwathi’dan berkumpul selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau sepersusuan.”

Definisi lain yang diberikan oleh Wahbah al-Zuhaily adalah:

65

Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat ,Rajawali Press, Jakarta, 2009, hal.7

66

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT. RajaGrafindo Perkasa, Jakarta,2004, hal.42

67Syaikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibrary,Fatchul Mu’inJilid 3, Diterjemahkan oleh Ally As’ad

Menara Kudus, Kudus, 1979, hal.1

68


(47)

“Akad yang telah ditetapkan oleh syar’i agar seseorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimta’ dengan seorang wanita atau sebaliknya.”69

Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.70

Menurut Al-Qur’an dan Hadist, pernikahan disebut dengan an-nikh dan az-ziwaj/ az-zawj atau az-zijah. Secara harfiah, an-nikh berarti al-wath’u, adh-dhammudanal-jam’u. Al-wath’uberasal dari katawathi’a-yatha’u-wath’an. Artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama.71

Adh-dhammu, secara harfiah berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatukan, menggabungkan, menyandarkan, merangkul, memeluk dan menjumlahkan, juga bersikap lunak dan ramah. Sedangkan al-jam’u yang berasal dari kata jama’a-yajma’u-jam-an, yang artinya mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun.72

Adapun sebab mengapa bersetubuh atau bersanggama dalam istilah fiqih disebut dengan al-jima’ dikarenakan mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua aktivitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari al-jam’u’.

Sebutan lain untuk pernikahan ialah az-zawaj/az-ziwaj, berasal dari kata zawwaja-yuzawwiju-tazwijanyang secara harfiah berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri.

69Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenada

Media, Jakarta, 2004, hal.38-39

70Ibid,hal.39

71Muhammad Amin Suma,Op.Cit, hal.42 72Ibid, hal.43.


(48)

Secara arti kata nikah berarti “bergabung”, “hubungan kelamin” dan juga berarti “akad”. Adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam Al-Qur’an memang mengandung dua arti kata tersebut.

Kata nikah yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 230:

“Maka jika suami mentalaknya (sesudah talak dua kali), maka perempuan itu tidak boleh dinikahinya hingga perempuan itu kawin dengan laki-laki lain”. Mengandung arti hubungan kelamin dan bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadist Nabi bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua perempuan itu belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang kedua telah melakukan hubungan kelamin dengan perempuan tersebut.73

Tetapi dalam Al’Quran terdapat pula kata nikah dengan arti akad seperti tersebut dalam firman Allah SWT dalam surah an-Nisa ayat 22:

“Janganlah kamu menikahi perempuan yang telah pernah dinikahi oleh ayahmu kecuali apa yang sudah berlalu”.

Ayat tersebut mengandung arti bahwa perempuan yang dinikahi oleh ayah itu haram dinikahi dengan semata ayah telah melangsungkan pernikahan dengan perempuan tersebut, meskipun di antara keduanya belum berlangsung hubungan kelamin.74

R.Soetojo Prawirohamidjijo yang mengutip pendapat Asser, Scholten, Wiarda, Pitlo, Petit dan Melis yang menyatakan bahwa Perkawinan adalah “persekutuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui oleh negara untuk hidup bersama/bersekutu yang kekal”.75

Golongan Ulama Syafi’i berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki) dapat berarti pula untuk hubungan kelamin namun dalam arti tidak sebenarnya (majazi). Penggunaan untuk bukan arti sebenarnya itu

73

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,Op.Cit,hal.36

74Ibid

75R.Soetojo Prawirohamidjijo, hal 35, dalam Sudikno Mertokusumo, Pengantar Hukum


(49)

memerlukan penjelasan di luar dari kata itu sendiri.76Menurut mazhab Syafi’i, nikah dirumuskan sebagai “akad yang menjamin kepemilikan (untuk) bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwij; atau turunan (makna) dari keduanya.77

Sebaliknya, ulama Hanafi berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk hubungan kelamin. Bila berarti juga untuk lainnya seperti akad adalah dalam arti majazi yang memerlukan penjelasan untuk maksud tersebut.78 Definsi nikah menurut ulama Hanafi : “Nikah adalah akad yang memberikan faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar (sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan kenikmatan biologis.79 Menurut mazhab Maliki, nikah adalah: “sebuah ungkapan (sebutan) bagi suatu akad yang dilaksanakan dan dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata.”80Ulama Hambali mendefinisikan nikah dengan “akad (yang dilakukan dengan menggunakan) kata inkah atau tazwij guna mendapatkan kesenangan (bersenang-senang).81

Definisi-definisi yang diberikan oleh ulama terdahulu sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab fiqih klasik tersebut di atas begitu pendek dan sederhana hanya mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan yaitu kebolehan melakukan

76Amir Syarifuddin,Op.Cit ,hal. 37 77Muhammad Amin Suma,Op.Cit, hal.45 78Amir Syarifuddin,Op.Cit, hal.37

79

Muhammad Amin Suma,Op.Cit,hal.45.

80Ibid 81Ibid


(50)

hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan itu.82 Nikah hanya dilihat sebagai akad yang menyebabkan kehalalan melakukan persetubuhan. Hal ini semakin tegas sebab menurut al-Azhari makna asal kata nikah bagi orang arab adalahal-wat’ (persetubuhan).83

Beberapa definisi dari pakar Indonesia tentang pernikahan juga akan dikutip di sini.

Menurut Sayuti Thalib, pernikahan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih mengasihi, tentram dan bahagia.84Sedangkan Ibrahim Hosen mendefinisikan pernikahan sebagai akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita. Secara lebih tegas perkawinan juga dapat didefinisikan sebagai hubungan seksual (bersetubuh).85

Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki. Sehingga dapat diperoleh bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah: “suatu akad atau perikatan laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih

82Muhammad Amin Suma,Op.Cit,hal.39

83

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan,Op.Cit, hal. 40

84Ibid

85Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan dalam Masalah Nikah-Thalaq-Rujuk dan Hukum

Kewarisan, jilid 1, Balai Penerbitan dan Perpustakaan Islam Yayasan Ihya ‘Ulumiddin Indonesia, Jakarta,1971, hal.65


(51)

sayang dengan cara yang diridhai Allah”. Apabila pengertian tersebut dibandingkan dalam Pasal 1 Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam maka pada dasarnya antara pengertian perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut undang-undang tidak terdapat perbedaan prinsipil, sebab pengertian perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (pasal 2).

Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan, sebab seorang perempuan apabila ia sudah menikah, maka nafkahnya (biaya hidupnya) wajib ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga berguna untuk memelihara kerukunan anak cucu (keturunan), sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak jelas siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang akan bertanggung jawab. Nikah juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab bila tidak ada pernikahan, tentu manusia akan menurunkan sifat kebinatangan, dan dengan sifat itu akan timbul perselisihan, bencana dan permusuhan antara sesamanya.

Secara ringkas faedah pernikahan adalah sebagai berikut:86

a. Menjaga kehormatan dan pandangan mata, melindungi agama dan akhlak. 86Syaikh Fuad Shalih,Op.Cit, hal.8-9


(52)

b. Mengais pahala yang besar akibat melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya dalam hal pernikahan.

c. Mewujudkan kemitraan dan persahabatan antara suami istri yang menepis rasa sepi dan menjauhkan penyakit psikis dan fisik akibat kesendirian, keterasingan dan perselibatan.

d. Menghasilkan keturunan yang saleh yang sangat penting dalam memperbanyak kuantitas kaum muslimin dan mendatangkan pahala yang besar bagi orang tua dalam mendidik dan bersabar atas kematian anak-anak mereka.

e. Merajut relasi sosial, mengukuhkan ikatan cinta, kesepahaman dan keakraban antar anggota masyarakat, sehingga dapat membawa kemajuan bagi mereka dalam aspek ekonomi.

f. Saling bersinergi dalam perkara agama dan dunia. Betapa banyak istri salehah yang menjadi penyebab suaminya mendapatkan hidayah dan demikian sebaliknya.

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ketentraman, cinta, kelembutan kasih, perpaduan, pengertian dan penyatuan antara laki-laki dan perempuan dengan menggunakan fisik, roh dan kalbu.

Allah berfirman sebagai berikut:

“ Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir .”(QS ar-Ruum ayat 21)”87

Perkawinan selain sebagai perbuatan ibadah juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul.Sunnah Allah berarti menurut qudrat dan iradat Allah dalam menciptakan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.88

87Adil Abdul Mun’im Abu Abbas,Op.Cit, hal.7


(53)

Sifatnya sebagai sunnah Allah dapat dilihat dari rangkaian ayat-ayat sebagai berikut:89

a. Allah menciptakan mahluk ini dalam bentuk berpasang-pasangan sebagaimana fiman Allah dalam surah adz-Dzaariyat (51) ayat 49 yang artinya:

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.

b. Secara khusus pasangan itu disebut laki-laki dan perempuan dalam surah an-Najm ayat 45 yang artinya:

“Dan Dia-lah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan.”

c. Laki-laki dan perempuan itu dijadikan berhubungan dan saling melengkapi dalam rangka menghasilkan keturunan yang banyak. Hal ini disebutkan Allah dalam surah an-Nisa’ ayat 1 yang artinya:

“Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.”

d. Perkawinan itu dijadikan sebagai salah satu ayat-ayat atau tanda-tanda dari kebesaran Allah dalam surah al-ar-Rum ayat 21 yang artinya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”

Perkawinan itu juga merupakan sunnah Rasul yang pernah dilakukannya selama hidupnya dan menghendaki umatnya berbuat yang sama. Hal ini terdapat dalam Hadist yang berasal dari Anas bin Malik, sabda Rasulullah artinya :

“Tetapi aku sendiri melakukan sholat, tidur, aku berpuasa dan juga aku berbuka, aku mengawini perempuan. Siapa yang tidak senang dengan sunnahku, maka ia bukanlah dari kelompokku.”90

89

Ibid, hal.41-42


(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku

Abbas, Adil Abdul Mun’im Abu, Ketika Menikah Menjadi Pilihan, Terjemahan Gazi Saloom, Almahira, Jakarta, 2001.

Ad-Dimasyqi, Syaikh Al’Allamah Muhammad Bin Abdurrahman, Fiqih Empat Mazhab, Terjemahan ‘Abdullah Zaki Alkaf, Hasyimi Press, Bandung, 2010. Adhim, Mohammad Fauzil, Mencapai Pernikahan Barokah, Pustaka Pelajar

Offset, Yogyakarta, 2005.

Al-jauziyah, Ibnu Qayyim, Hukum Acara Peradilan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

___________________, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Cara Hukum Islam di Indonesia,PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Amiruddin dan Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja

Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Aripin, Jaenal,Pengadilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.

As, Bambang Sugeng dan Sujayadi, Hukum Acara Perdata : Dokumen Litigasi Perkara Perdata,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011.

Az-Zuhaili, Wahbah,Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk, Gema Insani, Jakarta,2007.

Doi, Abdul Rahman I.,Perkawinan dalam Syariat Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1996.

Djubaidah, Neng, Sulaikin Lubis dan Farida Prihartini, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, PT.Hecca Mitra Utama, Jakarta, 2005.


(2)

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan di Indonesia Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, CV.Mandar Maju, Bandung, 2007.

Hamid, Zahri, Beberapa Masalah Tentang Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Secara Sosiologi Hukum, PT.Pradnya Paramita, Cetakan Kesatu, Jakarta, 1987.

Harahap, Yahya, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam (Mimbar Hukum No.4 Tahun II), Yayasan al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Departemen Agama, Jakarta, 1991.

Hasan, M.Ali,Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Prenada Media, Jakarta, 2003.

Hisyam, M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.

Hosen, Ibrahim, Fikih Perbandingan dalam Masalah Nikah-Thalaq-Rujuk, Balai Penerbitan Dan Perpustakaan Islam Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia, Jakarta, 1971.

Ichtiyanto,Hukum Islam dan Hukum Nasional, Ind Hill, Jakarta, 1990.

Jafizham, T.,Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, PT.Mestika, Jakarta, 2006.

Jauhari, Iman, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003.

Junus, Mahmud,Perkawinan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994. Kelib, Abdullah,Hukum Islam, Tugu Muda Indonesia, Semarang, 1990. Lubis, M.Solly,Filsafat dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994.

Lubis, Sulaikin, Wisman Ain Marzuki dan Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta,2004. Lumbun, Gayus, Menerobos Goa Hantu Peradilan Indonesia, Bussiness


(3)

Mahalli, Ahmad Mudjab dan Ahmad Rodli Hasbullah,Hadist-Hadist Muttafaq’Alaih: Bagian Munakahat dan Mu’amalat, Prenada Media, Jakarta, 2004.

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata di Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, 2006.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005.

Mathlub, Abdul Majid Mahmud, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Era Intermedia, Solo, 2010.

Mezak, Meray Hendrik, Jenis-Jenis Metode dan Pendekatan Dalam Penelitian Hukum, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Vol.V No.3, Maret, Jakarta,2006.

Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rusdakarya, Bandung, 2007.

Mubarok, Jaih, Studi tentang Qawl Qodim dan Qawl Jadid, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002.

Mulia, Musdah,Pandangan Islam Tentang Poligami, Lembaga Kajian Agama dan Jender Solidaritas Perempuan, Jakarta,1999.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Al Fiqhu Madzahibil al- Khamasah, Terjemahan Afif Muhammad, Basrie Press, Jakarta, 1987.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta, 2004.

Poerwadarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994.

Prawirohamidjojo, R. Soetojo, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2002.

Rahardjo, Satjipto,Ilmu Hukum, Cipta Aditya Bakti, Bandung, 1996. Raliby, Usman,Kamus Internasional, Bulan Bintang, Jakarta.


(4)

Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Sinar Baru Alge Sindo, Bandung, 2012.

Ramulyo, Mohd. Idris, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2004.

Sabiq, Sayid, Fiqhus Sunnah, Terjemahan Mohd.Thalib, PT. Al Maarif, Bandung, 1994.

Sarong, A.Hamid, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Pena, Banda Aceh, 2010.

Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, Terjemahan Joko Supomo, Nuansa, Bandung, 2010.

Shalih, Syaikh Fuad, Untukmu yang Akan Menikah dan Telah Menikah, Terjemahan Ahmad Fadhil, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 2005.

Siregar, Tampil Anshari, Metodologi Penelitian Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2007.

Soekanto, Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984.

Soekanto, Soekanto dan Sri Madmuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.

Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana Prenada Media Group, Cetakan Ketiga, Jakarta, 2009.

_________________, Garis-Garis Besar Fiqh, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010.

Sulaiman, Rasyid H.,Fiqh Islam, Attahiriyah, Jakarta, 2005.

Suma, Muhammad Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT. Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2004.

Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari: Ilmu Hukum Edisi Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Syuaisyi’, Syaikh Hafizh Ali,Kado Pernikahan, Terjemahan Abdul Rosyid Shiddiq, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan Ketiga, Jakarta,203


(5)

Thaib, HM Hasballah, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam, Universitas Dharmawangsa, Medan, 1983.

Thaib, HM Hasballah dan Marahalim Harahap, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam,Universitas al Azhar, Medan, 2010.

Thalib, Sayuti,Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Press, Jakarta, 1986.

Tihami, HMA dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat :Kajian Fikih Nikah Lengkap, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009.

_______________________,Fiqih Munakahat, Rajawali Press, Jakarta, 2009. Trizkia, Yani,Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005. Wahyudi, Abdullah Tri, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka Pelajar,

Yogyakarta, 2004.

Washfi, Muhammad, Mencapai Keluarga Barokah, Terjemahan Humaidi Syuhud dan Ahmad Andianto, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 2005.

Wiryono, Projodikoro R.,Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1974. Yasid, Abu, Fiqh Today: Fatwa Tradisional untuk Orang Modern, Erlangga,

Jakarta, 2007.

B. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Instruksi Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Peraturan Menteri Agama No.1/1952 atau No.4/1952 tentang Wali Hakim Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim.

Peraturan Menteri Agama No.30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim. Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama.


(6)

Undang-Undang No.50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Perkawinan. C. Tesis

Fitri Zakiyah, Perbandingan Status Hak Waris Anak Luar Kawin Antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dengan Hukum Perdata (BW), Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010.

Marahalim, Pernikahan dengan Menggunakan Wali hakim Ditinjau dari Fiqih Islam dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Program Studi Magister Hukum USU, Medan, 2007.

Sylvana Amelia Fauzi,Penyelesaian wali Adhal dan Kaitannya Dengan Keabsahan PerkawinanProgram Studi Magister Kenotariatan USU, Medan, 2012.

D. Disertasi

Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqasid Al-Syariah (Disertasi Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1994.

E. Internet

Kewenangan dan Kompetensi Pengadilan Agama

http://www.pengadilanagama.com.2012/kompetensi-pengadilan-agama-html, diakses tanggal 17 Juni 2013.

Keputusan-Keputusan Kementerian Agama http://www.kemenag.go.id, diakses tanggal 17 Juni 2013.

http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan, diakses pada tanggal 29 September 2012

Nawawi N., Kedudukan Wali Hakim Dalam Pernikahan

http://bdkpalembang.kemenag.go.id/kedudukan-wali-hakim-dalam-pernikahan,diakses tanggal 17 Januari 2013.

Urgensi Perwalian dalam Hukum Perkawinan

http://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/12832-urgensi-perwalian-dalam-hukum-perkawinan-oleh-drs-isak-munawar, diakses tanggal 19 Juli 2013.


Dokumen yang terkait

Analisis Yuridis Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.261/K/AG/2009)

1 90 131

Perceraian Karena Li’an dan Akibat Hukum Dalam Perspektif Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam

11 169 127

Analisis Yuridis Terhadap Wasiat Wajibah Dalam Perspektif Fikih Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Tentang Ahli Waris Yang Beragama Non-Muslim)

6 113 140

Analisis Yuridis Kedudukan Anak Luar Nikah Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

1 39 128

Pernikahan Dengan Menggunakan Wali Hakim Ditinjau Dari Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia

2 65 118

Penyelesaian Sengketa Hadhanah Menurut Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam

3 143 147

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN DAN PERANAN WALI NIKAH MENURUT FIQIH ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Pengertian Pernikahan 1. Menurut Fiqih Islam - Analisis Yuridis Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan

0 0 49

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Yuridis Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.261/K/AG/2009)

0 0 26

Analisis Yuridis Peranan Wali Nikah Menurut Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.261/K/AG/2009)

0 0 16

Perceraian Karena Li’an dan Akibat Hukum Dalam Perspektif Fiqih Islam Dan Kompilasi Hukum Islam

0 0 11