Peran Pers dan Media Televisi dalam Pema

PERAN PERS DAN MEDIA TELEVISI
DALAM PEMANTAUAN PEMILU 2004
Oleh Satrio Arismunandar*
Makalah untuk Seminar Nasional Pers dan Pemilu 2004, yang diselenggarakan Student
Press Association (SPA),) di Auditorium Universitas Setya Negara Indonesia (USNI),
Jakarta, 9 Oktober 2003.
===============================================================

I. Pendahuluan
Pers memiliki berbagai macam peran. Peran pertama dan utama adalah
menyiarkan informasi (to inform), entah informasi tentang peristiwa yang terjadi,
gagasan, atau pikiran orang. Orang membaca suratkabar terutama karena ingin mencari
informasi.
Peran kedua adalah mendidik (to educate). Lewat pemberitaannya, pers mencoba
memberi pencerahan, mencerdaskan, dan meluaskan wawasan khalayak pembaca,
pendengar, atau pemirsanya. Dalam konteks politik, pers memberikan pendidikan politik
kepada masyarakat, menyadarkan mereka akan hak dan kewajibannya sebagai warga.
Peran ketiga adalah menghibur (to entertain). Hal-hal yang bersifat menghibur
sering kita temukan di media massa –seperti: berita seputar selebritis, teka-teki silang,
cerita bersambung, dan lain-lain-- sebagai selingan dari berita-berita berat yang lain.
Peran keempat adalah mempengaruhi (to influence). Media yang independen dan

bebas dapat mempengaruhi dan melakukan fungsi kontrol sosial (social control). Yang
dikontrol bukan cuma penguasa, pemerintah, parlemen, institusi pengadilan, militer,
tetapi juga berbagai hal di dalam masyarakat itu sendiri.
Maka, dalam membahas peran media di Indonesia, khususnya media televisi, kita
tak bisa memisahkannya dari proses demokrasi yang coba kita bangun di negeri ini.
Dalam kaitan pelaksanaan Pemilu 2004, tampaknya peran media yang menonjol adalah
peran memberi informasi, mendidik, dan mempengaruhi.
II. Pemantauan Pemilu 2004
Penyelesaian berbagai krisis nasional yang kita hadapi saat ini membutuhkan
adanya suatu pemerintahan yang memperoleh legitimasi rakyat, dipercaya, dan
berwibawa, untuk bisa mengatasinya. Sedangkan untuk memperoleh pemerintahan yang

1

demikian itu, tak bisa lain harus melalui Pemilu, baik untuk memilih anggota parlemen,
DPD, maupun Presiden.
Namun Pemilu baru dapat membuahkan hasil yang diterima rakyat, jika pemilu
itu betul-betul dilaksanakan dengan prinsip: langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber),
serta jujur dan adil (jurdil). Untuk memenuhi prinsip itu, penyelenggaraan Pemilu tentu
perlu dipantau oleh segenap elemen masyarakat.

Sejumlah organisasi pemantau Pemilu, seperti KIPP, UNFREL, Forum Rektor,
dan sebagainya, menjadi kepanjangan tangan rakyat dalam memantau pelaksanaan
Pemilu. Namun, apakah organisasi-organisasi tersebut mampu memantau seluruh proses
Pemilu di berbagai daerah, dan mengkoordinasikan kerja pemantauan --yang melibatkan
ratusan ribu relawan-- itu dalam waktu yang sudah sangat singkat ini?
Jawabnya, tentu mengandalkan kapasitas organisasi-organisasi itu saja masih
belum memadai. Dalam hal ini, jurnalis dengan media massanya menjadi unsur
pendukung, serta merupakan mata, telinga, dan mulut rakyat. Media massa memantau
pelaksanaan Pemilu dan menyiarkan/memberitakan hasil pantauannya, sehingga
diketahui rakyat. Bahkan hasil pantauan organisasi pemantau Pemilu pun butuh media
massa untuk bisa diketahui rakyat.

III. Tahapan Pemantauan Pemilu
Dalam proses penyelenggaraan Pemilu, secara kasar tahapannya bisa kita bagi dua:
Tahap I, sebelum pemberian suara (sebelum April 2004): Ini mencakup ke masa
pendaftaran pemilih, pendaftaran dan verifikasi parpol, persiapan menjelang
kampanye dan pelaksanaan selama kampanye.
Tahap II, pemberian suara dan perhitungan suara (April 2004 dan sesudahnya).
IV. Potensi Pelanggaran
A. Potensi pelanggaran yang perlu dipantau pada Tahap I :

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pemalsuan KTP/manipulasi dalam pendaftaran calon DPD
Anggota panitia pemilu ikut berkampanye
Kekerasan/teror/intimidasi terhadap pendukung partai lain
Pengrusakan atribut kampanye partai lain
Money politics, memobilisasi massa kampanye dengan imbalan uang
Institusi negara/birokrasi memobilisasi massa dengan menggunakan kewenangan
politik/ birokratis yang dimilikinya
7. Kampanye dengan menggunakan fasilitas negara, pemerintah, atau rumah ibadah

2

8. Fitnah lintaspartai / lintasfigur
9. Pengrusakan fasilitas publik/gangguan keamanan publik

10. Larangan kampanye bagi partai tertentu, atas alasan teknis/politik/keamanan yang
tidak transparan
11. Larangan bagi juru kampanye tertentu atas alasan teknis/politik/keamanan yang
tidak transparan
12. Pemerasan (halus/kasar; langsung/tidak langsung) dengan dalih dana kampanye
13. Gangguan/sabotase atas jalannya kampanye secara umum
14. Manipulasi informasi; kampanye dengan menggunakan kebohongan sebagai alat
15. Pengerahan massa/arak-arakan, dengan memanfaatkan sentimen irasional/
kemarahan massa yang menyulut konflik/kekerasan massa
16. Kampanye sebelum waktunya
17. Pelanggaran materi kampanye
18. Pelanggaran cara penggalangan dana kampanye
19. Pelangaran batas dana kampanye
20. Pelanggaran penggunaan dana kampanye
21. Lain-lain.
B. Potensi pelanggaran yang perlu dipantau pada Tahap II :
1. Pembukaan dan penutupan tempat pemungutan suara (TPS) tidak tepat waktu
2. Kotak suara tidak kosong saat dimulainya pemungutan suara
3. Multi vote (satu orang memasukkan lebih dari satu suara)
4. Pencoblosan perwakilan dan atau kolektif

5. Mobilisasi pemilih dengan motif "membantu"
6. Intimidasi terhadap pemilih untuk memilih parpol tertentu
7. Intimidasi/kekerasan/penghalangan tugas terhadap saksi dari parpol
8. Penandaan kertas suara
9. Pemalsuan kertas suara
10. Pemalsuan tinda penanda (indelible ink)
11. Penolakan diskriminatif terhadap pemilih tertentu
12. Pelanggaran terhadap hak pemilih atas kerahasiaan pilihannya
13. Netralitas lokasi TPS
14. Tindakan kekerasan secara umum sehingga pemungutan suara terhenti
15. Proses penghitungan tertutup bagi saksi parpol atau masyarakat, mulai dari
tingkat TPS, desa, hingga provinsi
16. Perusakan kertas suara (di tingkat TPS)
17. Penggelembungan perolehan suara
18. Pengabaian panitia atas keberatan yang diajukan saksi/masyarakat
19. Tidak diberitakannya berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara

3

20. Manipulasi hasil perhitungan suara dengan program komputer

21. Pelaporan dan pencatatan rekapitalisasi hasil pemilu yang tidak jujur
22. Penolakan atas hasil Pemilu yang telah dikonfirmasikan/dikuatkan oleh hasil
pemantauan-pemantauan independen (tidak ikhlas untuk kalah)
23. Lain-lain.

V. Kendala yang dihadapi pers dalam pemantauan Pemilu:
Sejak awal, sudah disadari bahwa daya jangkau para pemantau Pemilu sangat terbatas,
baik dari segi wilayah maupun tahapan/aspek yang bisa dipantau secara efektif. Sehingga
masih banyak peluang untuk kecurangan. Daerah perkotaan tampaknya akan lebih mudah
dipantau ketimbang daerah pedalaman.
Sejumlah organisasi pemantau Pemilu punya metode yang berbeda dalam teknik
pemantauan Pemilu dan cara perhitungan hasil Pemilu, sehingga ada problem dalam
koordinasi, dan pertukaran informasi. Bisa juga terjadi "persaingan" dalam rekrutmen
relawan untuk tugas memantau Pemilu.
Para insan pers juga mengalami sejumlah kendala, di antaranya :
1.

Selain mungkin disibukkan oleh tugas rutin yang tidak terkait langsung dengan
liputan Pemilu, para jurnalis bisa jadi terbagi-bagi dalam sejumlah organisasi
jurnalis pemantau Pemilu. Dan di antara organisasi-organisasi ini tidak ada

koordinasi ataupun pertukaran informasi yang baik, dalam peliputan dan
pemantauan Pemilu.

2.

Persaingan antar media, khususnya media televisi, juga tidak mendorong mereka
untuk saling bertukar informasi tentang adanya kasus di daerah pemilihan
tertentu. Padahal, pemberitaan yang meluas tentang adanya kasus kecurangan
tertentu, misalnya, dapat mendorong penuntasan kasus tersebut.

3.

Pengetahuan dan pengawasan publik melalui pers, meski cukup meluas, pada
prakteknya juga hanya bisa dilakukan secara terbatas. Ada beberapa faktor
penyebab untuk hal ini:
Pertama, jumlah media dan jurnalisnya yang terbatas.
Kedua, daya jangkau liputan dan pemberitaannya juga terbatas (dalam hal ini
media radio dan TV lebih punya keunggulan, karena tak butuh sarana distribusi
seperti media cetak). Sejumlah media, karena keterbatasan sarana dan dana,
dengan sendirinya akan membatasi area peliputan/ pemantauannya.

Ketiga, daya beli masyarakat yang merosot selama krisis ekonomi, tidak
mendorong mereka untuk mengkonsumsi dan memantau pemberitaan media
cetak, misalnya.
4

4.

Waktu persiapan yang minim, yang menyulitkan dalam memahami aturan main
Pemilu yang ada (yang juga disusun tergesa-gesa). Kesulitan ini bukan cuma
berlaku bagi masyarakat umum, tetapi juga bagi tim-tim pemantau sendiri dari
berbagai organisasi, dan bahkan para jurnalis peliput Pemilu.

5.

Konflik kepentingan dalam media massa karena pertimbangan pemasukan iklan.
Partai-partai politik bermodal besar menjanjikan akan memasang iklan, yang
berarti pemasukan uang besar untuk media, sehingga mereka cenderung untuk
tidak terlalu kritis terhadap potensi pelanggaran yang dilakukan partai
bersangkutan.


6.

Konflik kepentingan dalam media massa karena pimpinan media massa menjadi
pengurus/simpatisan/atau pendukung parpol tertentu. Dalam Pemilu semasa Orde
Baru, misalnya, mayoritas pimpinan media massa adalah anggota Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) dan pendukung Golkar. Oleh karena itu, pemberitaan
mereka cenderung membesarkan Golkar dan mengecilkan partai lain.
Kecenderungan semacam ini masih besar kemungkinannya terjadi pada Pemilu
2004. Apalagi wartawan “bermental Orde Baru” ini sampai sekarang masih kuat
bercokol di organisasi jurnalis dan di medianya masing-masing.

7.

Konflik kepentingan dalam media massa karena sebagian wartawan menjadi
anggota, pengurus atau pendukung partai politik tertentu (posisi ini bisa dengan
restu atau tanpa restu dari pemimpin media bersangkutan). Hal ini juga akan
mempengaruhi pemberitaan mereka.

8.


Konflik kepentingan dalam media massa karena pimpinan media bersangkutan
ikut aktif sebagai kandidat dalam Pemilu 2004, baik untuk posisi anggota DPR,
DPD ataupun Presiden. Contoh yang paling menonjol adalah majunya Surya
Paloh, pemimpin grup penerbitan Media Indonesia dan Metro TV, sebagai calon
Presiden RI melalui Konvensi Partai Golkar. Sulit diharapkan, Media Indonesia
dan Metro TV dapat bersikap fair terhadap kandidat lain.

Dalam kaitan pemantauan oleh media, maka butir 5, 6, 7, dan 8 di atas perlu
mendapat perhatian khusus, jika media massa diharapkan berperan aktif dan efektif
dalam pemantauan Pemilu 2004.
Pemantauan Pemilu oleh media massa sebetulnya membutuhkan suatu jaringan
kerja, agar pemantauan itu dapat berjalan efektif dan efisien. Tanpa adanya jaringan kerja
pemantau Pemilu pun, para jurnalis biasanya --karena tuntutan tugas dan profesinya-akan melakukan juga pemantauan Pemilu.
Namun pemantauan seperti ini dilakukan sebagai bagian dari tugas peliputan,
yang sifatnya kadang-kadang kontinyu (berkesinambungan), tetapi lebih sering bersifat
temporer dan sporadis. Karena tidak adanya pola pemantauan yang sistematis, maka

5

gambaran hasil pemantauannya pun tentu tidak menunjukkan keteraturan, sehingga sulit

untuk dijadikan acuan.
Bahan referensi:
Manual Pelatihan Pemantau Pemilu KIPP.
Siaran Pers UNFREL, 21 Mei 1999.
Eep Saefulloh Fatah, "Empat Puluh Titik Rawan Pelanggaran dalam Pemilu
1999", Jakarta, 8 April 1999.
Jakarta, Oktober 2003
* Penulis adalah News Producer di Trans TV.

Biodata Penulis:
* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI
(1995-97), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia (SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah
D&R (1997-2000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV
(Februari 2002-Juli 2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013).
Alumnus Program S2 Pengkajian Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi
Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.

Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail: satrioarismunandar@yahoo.com; arismunandar.satrio@gmail.com
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061

6

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2