Pengaruh Pemberian Air dan Pupuk Hayati

IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science (IOSR-JAVS)
e-ISSN: 2319-2380, p-ISSN: 2319-2372. Volume..., Issue ....Ver. II (........), PP ............
www.iosrjournals.org

Pengaruh Pemberian Air dan Pupuk Hayati Bakteri Pelarut
Fosfat (BPF) Terhadap Ketersediaan P dan Serapan Fosfor
Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr.)
Nurina Ayuningtyas1, Lolita Endang Susilowati2, Sukartono2
1

Mahasiswa Magister Program Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering
Pengajar pada Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Mataram

2

Abstrak : Bakteri Pelarut Fosfat berperan sebagai pupuk hayati, melalui kemampuannya melarutkan P
anorganik dan mineralisasi P organik menjadi P yang tersedia bagi tanaman melalui 3 mekanisme yaitu: (1)
produksi asam-asam organik, (2) pemasaman pH medium yang disebabkan oleh ekskresi H + oleh bakteri, (3)
enzim fosfatase yang dihasilkan bakteri. Penelitian rumah kaca telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh
dosis pemberian air dan pengaruh konsorsium pupuk hayati bakteri pelarut fosfat pada tanah entisols terhadap
ketersediaan fosfat tanah, pertumbuhan dan serapan fosfor oleh tanaman. Percobaan ditata menggunakan

Rancangan Acak Lengkap faktorial terdiri dari 2 faktor yaitu dosis pemberian air dan pemberian pupuk hayati
BPF. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat interaksi yang nyata antara dosis pemberian air dan
pemberian konsorium pupuk hayati BPF terhadap P tersedia dan serapan P tanaman. Pemberian konsorsium 4
jenis pupuk hayati BPF mampu meningkatkan P tersedia tanah, serapan P tanaman dan berat kering
brangkasan akar berturut turut 39,07%; 79,39 % dan 22,86%. Dosis pemberian air 100% kapasitas lapang
memberikan nilai tertinggi pada serapan P tanaman yaitu 4,00 mg/tanaman, berat kering brangkasan akar
yaitu 2,47 gram dan berat kering brangkasan tajuk yaitu 19,46 gram.
Kata Kunci : Air, Bakteri Pelarut Fosfat, Konsorsium Bakteri, P tersedia, Serapan P,

I.

Latar Belakang

Fosfor merupakan hara essensial kedua bagi tanaman setelah hara nitrogen. Kandungan P-dalam jaringan
tanaman mencapai kisaran 0,2 % sampai dengan 0,8 % dari berat kering tanaman (Sharma et al., 2013).
Tanaman memperoleh P dari larutan tanah dalam bentuk anion fosfat yang sebagian besar diserap tanaman
dalam bentuk ortofosfat primer (H 2PO4-) dan ortofosfat sekunder (HPO4-2) dan hanya sebagian kecil yang
diserap dalam bentuk PO4-3. Di dalam tanah ion fosfat sangat reaktif, bereaksi dengan kation Ca2+, Mg2+ (pada
tanah netral dan kapuran), dan Fe3+, Al3+ (pada tanah masam) membentuk endapan mineral kation-fosfat (Than
and Egashira, 2008), sehingga P tidak tersedia bagi tanaman. Terbentuknya endapan senyawa kation-fosfat

menyebabkan hanya sebagian kecil P pupuk P dapat diserap oleh tanaman. Hilda dan Fraga (2000) melaporkan
bahwa lebih dari 80% dari P yang ditambah ke dalam tanah menjadi P-tidak larut di tanah asam dan tidak
tersedia untuk tanaman karena terfiksasi kuat dalam kompleks Al dan Fe-fosfat. Sofyan dkk (2003) melaporkan
bahwa efisiensi pupuk fosfat pada tanah sawah sangat rendah, hanya sekitar 10-20%. Jumlah P total dalam tanah
cukup banyak, namun bentuk P yang segera dapat diserap tanaman jumlahnya rendah hanya 0,01–0,2 mg/kg
tanah (Handayanto dan Hairiyah, 2007). Oleh karena itu, mempertahankan tingkat konsentrasi P dalam larutan
tanah melalui peningkatan pelarutan P-terfiksasi merupakan cara efektif untuk meningkatkan ketersediaan P
bagi tanaman.
Kekurangan air dalam tanah juga dapat menghambat pelarutan pupuk dan juga pelepasan hara baik dalam
mekanisme aliran massa maupun difusi larutan hara menuju permukaan akar. Kekeringan tanah dapat
memekatkan larutan tanah yang dapat merusakkan jaringan tanaman karena plasmolisis. Perkolasi cepat akan
melindi (leach) banyak bahan pupuk yang terlarutkan. Pelindian unsur hara pupuk meningkat dalam tanah
bertekstur kasar karena kemampuan menahan air dan hara kecil. Disisi lain ketersediaan air akan mempengaruhi
aktivitas mikroorganisme tanah termasuk proses humifikasi dan mineralisasi bahan organik. Oleh karena itu
pengelolaan lengas tanah menjadi salah satu aspek penting dalam pengelolaan kesuburan tanah. Pemupukan
merupakan salah satu usaha pengelolaan hara, akan tetapi usaha itu tidak akan memberikan hasil yang
diharapkan, kalau tidak disertai pengelolaan lengas tanah (Notohadiprawiro, 2006).
Kurang efisiennya penggunaan pupuk P dapat diatasi dengan berbagai cara, antara lain pemanfaatan
Mikroorganisme Pelarut Fosfat (MPF) salah satunya adalah Bakteri Pelarut Fosfat (BPF), yang mampu
melarutkan P anorganik dan mineralisasi P organik menjadi P yang tersedia bagi tanaman (Rao, 1982;

Kpomblekou dan Tabatabai, 1994). Kemampuan pelarutan fosfat oleh BPF berhubungan erat dengan
kemampuannya mensekresikan asam organik (Banik dan Dey, 1982; Rao 1994; Goenadi, 1996; Zhang et al,
1997). Bakteri pelarut fosfat berperan dalam proses transformasi P dengan cara: (1) produksi asam-asam
organik, (2) pemasaman pH medium yang disebabkan oleh ekskresi H+ oleh bakteri, (3) enzim fosfatase yang
dihasilkan bakteri (Subba Rao, 1982b; Illmer dan Schinner, 1992; Illmer et al., 1995; De Freites et al., 1997).

1|Page

IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science (IOSR-JAVS)
e-ISSN: 2319-2380, p-ISSN: 2319-2372. Volume..., Issue ....Ver. II (........), PP ............
www.iosrjournals.org
Transformasi P oleh bakteri pelarut P melalui tiga mekanisme tersebut dapat meningkatkan ketersediaan fosfat
dalam tanah. Pelarutan umumnya disebabkan oleh adanya produksi enzim fosfatase dan asam organik seperti
asam asetat, asam format, asam laktat, asam oksalat, asam malat dan asam sitrat yang dihasilkan oleh mikroba
tersebut. Selain itu aktifitas pelarutan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air dalam tanah. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh dosis pemberian air dan potensi konsorsium pupuk hayati BPF dalam
mempengaruhi ketersediaan fosfat tanah, pertumbuhan dan serapan fosfor oleh tanaman.

II.


Bahan dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Mataram, tahap eksplorasi bakteri
dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Pertanian Universitas Mataram dan analisis tanah dan
jaringan tanaman dilakukan di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Januari 2016 – Juli 2016.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan Faktorial terdiri dari 2 faktor.
Faktor pertama adalah dosis pemberian air yang terdiri atas 60% dari kapasitas lapang (L1), 80% dari kapasitas
lapang (L2) dan 100% (L3) pada kapasitas lapang. Faktor kedua yaitu pemberian pupuk hayati BPF yang terdiri
atas tanpa pemberian BPF (P0), pemberian 2 jenis konsorsium BPF (P1), pemberian 3 jenis konsorsium BPF
(P2) dan pemberian 4 jenis konsorsium BPF (P3). Terdapat 12 kombinasi perlakuan yang masing-masing
perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 36 unit pot percobaan.
Isolasi bakteri indigenus dari sampel tanah
Isolasi dilakukan dengan metode pengenceran. Pengenceran 10 -1 diperoleh dengan cara sepuluh gram tanah dari
daerah rhizosfer tanaman Tithonia divesifolia dimasukkan ke dalam 90 ml aquades steril, kemudian digojok
dengan shakker selama 1 jam dengan kecepatan 120 rpm. Selanjutnya diambil 1 ml dari suspensi tanah tersebut
dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan fisiologis, kemudian dikocok hingga homogen.
Selanjutnya pengenceran 10-2diperoleh dengan cara diambil 1 ml pada tabung pengenceran 10 -1 dipindahkan ke
tabung berikutnya, begitu seterusnya sampai seri pengenceran terakhir pada penelitian ini adalah seri

pengenceran pada 10-7(Gambar 3). Sebanyak 0,1 dari seri pengenceran 10 -4, 10-5, 10-6,dan 10-7ditumbuhkan pada
media Pikovskaya padat untuk melihat populasi bakteri pelarut fosfat yang tumbuh. Bakteri yang ditumbuhkan
adalah bakteri pelarut fosfat dengan indikasi dapat membentuk zona bening (holozone) pada daerah disekililing
koloni.
Pemurnian Bakteri Pelarut Fosfat
Hasil isolasi bakteri pelarut fosfat dimurnikan dengan cara memindahkan masing-masing isolat terisolasi pada
media NA menggunakan metodegores (Streak plate methods). Isolat yang tumbuh secara lepas (tidak
membentuk koloni) diambil dengan menggunakan jarum ent, kemudiaan jarum ent disentuhkan pada satu titik
lokasi bagian tengah media pikovskaya padat. Pengamatan dilakukan selama 7x24 jam, jika isolat tersebut
membentuk zona bening pada media pikovskaya padat maka isolat tersebut terindikasi sebagai isolat murni
Bakteri Pelarut Fosfat (BPF).
Seleksi Bakteri Pelarut Fosfat potensial dari Hasil Pemurnian.
Bakteri dari hasil isolasi diperoleh 12 isolat untuk dilakukan seleksi. Seleksi dilakukan terhadap bakteri yang
berpotensi tinggi dalam melarutkan fosfat dengan ciri: Koloni bakteri tebal, diameter zona bening besar dan
memiliki Indeks Pelarutan fosfat > 1,5. Dari tahapan seleksi ini diharapkan diperoleh empat isolat bakteri
pelarut fosfat yang berpotensial.
Uji Antagonis Bakteri Terseleksi
Dari keempat bakteri terpilih tersebut dilakukan uji antagonis.Masing-masing dua isolat bakteri pelarut fosfat
yang berbedaditumbuhkan secara berdampingan (jarak ± 1 cm)dalam satu petri media pikovskaya padat. Jika
diperoleh empat isolat terpilih maka ada enam petri uji antagonis yang masing-masing diulang tiga kali.

Masing-masing petri diinkubasi selama 3x24 jam pada kondisi suhu kamar, jika kedua bakteri dalam satu petri
secara bersama membentuk zona bening maka bakteri tersebut tidak bersifat antagonis.
Proliferasi Bakteri untuk konsorsium pupuk hayati BPF
Pembiakan pupuk hayati BPF.
Sebanyak 1 ose dari isolat bakteri pelarut fosfat terpilih yang dinyatakan tidak bersifat antagonis ditumbuhkan
dalam erlenmeyer 25 ml yang berisi 10 ml media pikovskaya cair. Masing-masing erlenmeyer kemudian
diinkubasi selama 2x24 jam pada shakker dengan kecepatan 120 rpm.
Perbanyakan pupuk hayati BPF.
Suspensi bakteri pelarut fosfat pada erlenmeyer 25 ml diambil 10 ml,kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer
berukuran 200 ml yang berisi 90 ml pikovskaya cair. Selanjutnya dilakukan inkubasi selama 4x24 jam pada
shakker dengan kecepatan 120 rpm.
Perhitungan populasi pupuk hayati BPF.
Setelah masa inkubasi bakteri pelarut fosfat dari masing-masing konsorsium dilakukan perhitungan populasi
bakteri dengan metode pengenceran untuk menetapkan populasi yang akan diberikan kedalam tanah (populasi

2|Page

IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science (IOSR-JAVS)
e-ISSN: 2319-2380, p-ISSN: 2319-2372. Volume..., Issue ....Ver. II (........), PP ............
www.iosrjournals.org

bakteri telah mencapai ± 108-109cfu/ml).
Persiapan Media Tanam
Tanah sebagai media tanam adalah Entisol berasal dari desa Nyerot, kecamatan Jonggat, kabupaten Lombok
Tengah, Nusa Tenggara Barat, Indonesia, diambil secara komposit pada kedalaman 0-20 cm, kemudian dikeringanginkan dan disaring dengan ayakan bermata saring 2 mm. Berat tanah pada masing-masing polybag adalah 8
kg/polybag.
Persiapan benih dan Penanaman
Pemberian pupuk organik kedalam tanah diberikan dengan dosis setara 5 ton/ha atau setara dengan 20
gr/polybag dan pemberian inokulan BPF sebagai pupuk hayati diberikan dengan takaran 20 ml/polybag dengan
densitas 108-109cfu/ml, masing-masing diberikan pada saat tanam. Sedangkan untuk pemberian pupuk anorganik
berupa 50 kg urea/ha atau setara dengan 0,20 gr urea/polybag, dan 100 kgNPK Phonska/ha atau setara dengan
0,40 gr NPK/polybag. Pupuk urea dan NPK diberikan pada saat umur 14 HST. Penyiraman dilakukan pada
pagi/sore hari dengan penyiraman setiap hari dengan volume pemberian air berdasarkan perlakuan.. Benih
kedelai yang digunakan adalah benih varietas Anjasmoro. Benih ditanam dengan cara di tugal sebanyak 3 benih
di setiap lubang pada polybag dan dilakukan penjarangan setelah tanaman berumur 1 minggu dengan
meninggalkan 2 tanaman yang tumbuh sehat. Setelah tanaman kedelai mencapai masa akhir vegetatig (6 minggu
setelah tanam), tanaman diambil untuk mengetahui bobot kering akar dan tanaman bagian atas. Tanah di dalam
pot kemudian dikering anginkan, diaduk merata untuk analisis P tersedia (metode Olsen).
Analisis Data
Data hasil pengamatan pada penelitian ini dianalisis dengan analisis ragan unvariate pada taraf 5% (P ≤ 0,05),
apabila terjadi interaksi yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Buncan (DMRT) pada taraf 5%.


III.

Hasil

P Tersedia Tanah Residu
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa terjadi interaksi yang nyata antara lengas tanah dan konsorsium
bakteri terhadap ketersediaan P residu dalam tanah (P=0,048) pada 6 MST (Tabel 3). Pengaruh dosis
ketersediaan air tidak berbeda nyata terhadap ketersediaan P residu di dalam tanah. Tetapi pada pengaruh
pemberian konsorsium pupuk hayati BPF menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap ketersediaan P
residue dalam tanah.
Tabel-1: Analisis Ragam dosis pemberian air dan konsorsium BPF terhadap P tersedia residu dalam tanah
Source
Type III Sum
df
Mean Square
F
Sig.
of Squares
Dosis Pemberian Air

,559
2
,279
,964
,396
Konsorsium Bakteri
6,936
3
2,312 7,979
,001
Dosis Pemberian Air * Konsorsium Bakteri
4,415
6
,736 2,540
,048
Keterangan : Significan P≤0,05

Pemberian konsorsium pupuk hayati BPF dengan dosis konsorsium 2 jenis pupuk hayati BPF (P1),
konsorsium dosis 3 jenis pupuk hayati BPF (P2), dan konsorsium dosis 4 jenis pupuk hayati BPF (P3) berturutturut meningkatkan P tersedia residu tanah 5,15 %, 21,68%, dan 39,07% dibandingkan tanpa pemberian
konsorsium pupuk hayati BPF.

Tabel-2: Pengaruh interaksi antara dosis pemberian air dan konsorsium BPF terhadap P-tersedia residu dalam
tanah

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji lanjut jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf nyata
5%. Huruf kecil dibaca arah horizontal (baris) dan huruf kapital dibaca arah vertikal (kolom).

3|Page

IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science (IOSR-JAVS)
e-ISSN: 2319-2380, p-ISSN: 2319-2372. Volume..., Issue ....Ver. II (........), PP ............
www.iosrjournals.org
Gambar-1: Pengaruh dosis pemberian air dan jumlah Konsorsium Pupuk Hayati BPF yang berbeda
terhadap P-tersedia residu dalam tanah
6.00

P Tersedia residu (ppm)

5.00
4.00
3.00

2.00
1.00
0.00

Perlakuan

Serapan P
Terjadi interaksi yang nyata (P=0,015) antara dosis pemberian air dan pemberian konsorsium pupuk hayati BPF
terhadap serapan P tanaman kedelai pada umur 6 MST (Tabel 5). Pemberian konsorsium pupuk hayati BPF
dengan dosis 2 jenis pupuk hayati BPF (P1), dosis 3 jenis pupuk hayati BPF (P2), dan dosis 4 jenis pupuk hayati
BPF (P3) berturut-turut meningkatkan serapan P tanaman 35,16%, 58,01% dan 79,39% dibandingkan tanpa
pemberian konsorsium pupuk hayati BPF. Pada dosis pemberian air 100% kapasitas lapang memberikan nilai
Serapan P tanaman tertinggi, yaitu sebesar 4,00 mg/tanaman.
Tabel-3: Analisis Ragam dosis pemberian air dan konsorsium BPF terhadap serapan P tanaman.
Source
Type III Sum of df Mean Square
F
Sig.
Squares
Dosis Pemberian Air
4,441
2
2,220
21,900
,000
Konsorsium_Bakteri
13,862
3
4,621
45,577
,000
Dosis Pemberian Air * Konsorsium_Bakteri
2,041
6
,340
3,355
,015
Keterangan : Significan P≤0,05

Tabel-4: Pengaruh interaksi antara dosis pemberian air dan konsorsium BPF terhadap serapan P tanaman

Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji lanjut jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf nyata
5%. Huruf kecil dibaca arah horizontal (baris) dan huruf kapital dibaca arah vertikal (kolom).

4|Page

IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science (IOSR-JAVS)
e-ISSN: 2319-2380, p-ISSN: 2319-2372. Volume..., Issue ....Ver. II (........), PP ............
www.iosrjournals.org

Serpan P (mg/tanaman)

Gambar 2. Pengaruh dosis pemberian air dan jumlah konsorsium BPF yang berbeda terhadap serapan P tanaman
4.50
4.00
3.50
3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
L1P0 L1P1 L1P2 L1P3 L2P0 L2P1 L2P2 L2P3 L3P0 L3P1 L3P2 L3P3
Perlakuan

Berat Kering Brangkasan Akar
Dosis pemberian air dengan konsorsium pupuk hayati BPF meningkatkan bobot kering brangkasan akar pada 6
MST, namun interaksinya tidak nyata (P=0,807) (Tabel 7). Pemberian konsorsium pupuk hayati BPF (P1-P3)
mampu meningkatkan bobot kering brangkasan akar berturut-turut 9,09%, 16,54%, dan 22,86% dibandingkan
akar tanaman tanpa diberi pupuk hayati BPF(P0) (Tabel 8). Pada dosis pemberian air 100% kapasitas lapang
memberikan nilai berat kering brangkasan akar tertinggi, yaitu sebesar 2,47 gram.
Tabel-5: Analisis Ragam dosis pemberian air dan konsorsium BPF terhadap berat kering brangkasan akar.
Source
Type III Sum of
df
Mean Square
F
Sig.
Squares
Dosis Pemberian Air
,907
2
,454
3,247
,056
Konsorsium Bakteri
2,771
3
,924
6,613
,002
Dosis Pemberian Air * Konsorsium Bakteri
,414
6
,069
,493
,807
Keterangan : Significan P≤0,05

Tabel-6: Pengaruh dosis pemberian air dan konsorsium BPF terhadap berat kering brangkasan akar
Konsorsium Bakteri
Dosis Pemberian Air (ml)
Rata-rata
Tanpa BPF
2 BPF
3 BPF
4 BPF
(P0)
(P1)
(P2)
(P3)
---------------------------------- gram ---------------------------------60% dari Kapasitas Lapang (L1)
1,70
1,81
2,00
2,19
1,93 a
80% dari Kapasitas Lapang (L2)
1,70
2,06
2,24
2,37
2,09 ab
100% dari Kapasitas Lapang (L3)
2,33
2,38
2,43
2,47
2,40 b
Rata-rata
1,91 a
2,08 b
2,22 b
2,34 b
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada
taraf 5 %.

5|Page

IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science (IOSR-JAVS)
e-ISSN: 2319-2380, p-ISSN: 2319-2372. Volume..., Issue ....Ver. II (........), PP ............
www.iosrjournals.org
Gambar 3. Pengaruh dosis pemberian air dan pemberian jumlah konsorsium BPF yang berbeda terhadap berat
kering brangkasan akar
Berat Kering Brangkasan Akar
(gram)

3.00
2.50
2.00
1.50
1.00
0.50
0.00
L1P0 L1P1 L1P2 L1P3 L2P0 L2P1 L2P2 L2P3 L3P0 L3P1 L3P2 L3P3
Perlakuan

Berat Kering Brangkasan Tajuk
Interaksi antara dosis pemberian air dan jumlah pemberian konsorsium pupuk hayati BPF berpengaruh tidak
nyata (P=0,950) terhadap berat kering brangkasan tajuk (Tabel 9). Sedangkan pengaruh dosis pemberian air dan
konsorsium pupuk hayati BPF masing-masing berpengaruh sangat nyata terhadap berat kering brangkasan tajuk.
Nilai berat kering brangkasan tajuk pada dosis pemberian air pada 60% kapasitas lapang (L1), 80% kapasitas
lapang (L2) dan 100% kapasitas lapang (L3) masing-masing menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (Tabel.
10) berturut turut adalah 13,04 gram; 16,07 gram dan 19,46 gram. Sedangkan pemberian 4 jenis konsorsium
pupuk hayati BPF (P3) mampu meningkatkan bobot kering brangkasan tajuk sebesar 24,47% dibandingkan
tajuk tanaman tanpa diberi pupuk hayati BPF (P0).
Tabel-7: Analisis Ragam dosis pemberian air dan konsorsium BPF terhadap berat kering brangkasan tajuk.
Source
Dosis Pemberian Air
Konsorsium Bakteri
Dosis Pemberian Air * Konsorsium Bakteri

Type III Sum of
Squares
247,861
18,152
2,253

df

Mean Square

F

Sig.

2
3
6

123,930
6,051
,376

85,637
4,181
,259

,000
,016
,950

Keterangan : Significan P≤0,05

Tabel-8: Pengaruh dosis pemberian air dan konsorsium BPF terhadap berat kering brangkasan tajuk
Konsorsium Bakteri
Dosis Pemberian Air (ml)
Rata-rata
Tanpa BPF
2 BPF
3 BPF
4 BPF
(P0)
(P1)
(P2)
(P3)
---------------------------------- gram ---------------------------------60% dari Kapasitas Lapang (L1)
12,26
13,05
13,15
13,69
13,04 a
80% dari Kapasitas Lapang (L2)
15,00
15,46
16,65
17,56
16,17 b
100% dari Kapasitas Lapang (L3)
18,49
19,40
19,62
20,34
19,46 c
Rata-rata
15,25 a
15,97 ab
16,47 ab
17,19 b
Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada
taraf 5 %.

6|Page

IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science (IOSR-JAVS)
e-ISSN: 2319-2380, p-ISSN: 2319-2372. Volume..., Issue ....Ver. II (........), PP ............
www.iosrjournals.org
Gambar 4. Pengaruh dosis pemberian air dan pemberian jumlah konsorsium BPF yang berbeda terhadap berat
kering brangkasan tajuk
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
L1P0 L1P1 L1P2 L1P3 L2P0 L2P1 L2P2 L2P3 L3P0 L3P1 L3P2 L3P3

IV.

Pembahasan

Terjadi peningkatan ketersediaan P pada tanah sebelum dan sesudah adanya diberikan konsorsium pupuk
hayati BPF. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian konsorsium BPF mampu meningkatkan ketersediaan P
dalam tanah sehingga memungkinkan penyerapan P yang tinggi oleh tanaman. BPF mampu mensekresikan
asam-asam organik yang dapat membentuk senyawa kompleks yang sukar larut. Terbentuknya senyawa
kompleks ini akan menyebabkan fiksasi P menurun sehingga meningkatkan P tersedia (Whitelaw, 2000). Hal
ini disebabkan karena asam‐asam organik terutama asam humat dan asam fulvat hasil dari dekomposisi akan
membentuk senyawa komplek (khelat) dengan Al, Fe dan Ca sehingga membantu melepaskan fosfat (P). Selain
itu, menurut Susilowati dkk, 2015 mendapatkan pupuk hayati yang efektif dalam meningkatkan ketersedian P
dalam tanah maka perlu dibuat konsorsium bakteri pelarut fosfat yang teridiri atas dua atau lebih kelompok
spesies BPF-indigenos terseleksi. Konsorsium bakteri pelarut fosfat adalah sekumpulan spesies bakteri yang
bekerjasama dalam suatu kelompok sehingga mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam melarutkan
fosfat dibanding dengan bakteri tunggalnya.Hasil penelitian terdahulu membuktikan bahwa campuran kultur
(Bacillus, Streptomyces, Pseudomonas.) lebih efektif dalam memineralisasi P-organik dibandingkan dengan
inokulasi masing-masing bakteri (Molla et al., 1984).
Pemberian jumlah konsorsium pupuk hayati BPF (P) pada dosis pemberian air yang berbeda (L)
berpengaruh sangat nyata terhadap serapan P tanaman. Serapan P terendah terdapat pada perlakuan tanpa
pemberian konsorsium BPF dan mengalami peningkatan seiring dengan penambahan jumlah konsorsium pupuk
hayati BPF pada ketiga dosis pemberian air yang berbeda. Peningkatan ketersediaan P menyebabkan beda
konsentrasi dalam tanah meningkat sehingga laju difusi ke akar semakin tinggi (Indrayana,1994). Nurhayati
(2009) juga menyatakan bahwa besar kecilnya serapan P tanaman tergantung dari ketersediaan P dalam larutan
tanah karena unsur hara banyak diserap melalui akar.
Meningkatnya berat kering brangkasan akar tanaman sebesar 16,16% dibandingkan akar tanaman tanpa
diberi konsorsium pupuk hayati BPF. Hal ini dikarenakan ketersediaan P dalam tanah yang tinggi akibat dari
pemberian pupuk hayati BPF merangsang pertumbuhan akar tanaman. Selain itu pada dosis pemberian air 100%
kapasitas lapang merupakan bobot kering akar tertinggi. Persentase kadar air tanah tertinggi memberikan
respons terbesar dan semakin menurun dengan rendahnya persentase kadar air tanah, sesuai dengan pendapat
Gardner et al. (1985) bahwa selama perkembangan vegetatif kekurangan air dapat mengurangi laju pelebaran
daun dan perpanjangan batang. Semakin menurun kadar air tanah maka semakin menurun pertumbuhan
tanaman. Menurut Nurhayati (2009) kandungan air tanah yang dikehendaki untuk pertumbuhan kedelai adalah
pada keadaan kapasitas lapang (100% air tersedia).
Nilai berat kering brangkasan tajuk pada dosis pemberian air pada 60% kapasitas lapang (L1), 80%
kapasitas lapang (L2) dan 100% kapasitas lapang (L3) masing-masing menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata. Hal ini dapat disimpulkan bahwa dosis pemberian air berpengaruh langsung maupun tidak langsung
terhadap tanaman. Menurut Rosadi dan Darmaputra (1998) menyatakan bahwa tanaman kedelai yang
mengalami kekurangan air tersedia sampai dengan (60 – 70%) pada fase vegetatif masih bisa dipertahankan asal
segera diairi pada saat pembungaan. Secara langsung dapat menyebabkan penurunan turgor tanaman. Tekanan
turgor sangat berperan dalam menentukan ukuran tanaman, berpengaruh terhadap pembesaran dan perbanyakan
sel tanaman, membuka dan menutupnya stomata, perkembangan daun, pembentukan dan perkembangan bunga
(Islami dan Utomo, 1985). Sedangkan secara tidak langsung berpengaruh terhadap proses fisiologis seperti
fotosintesis, metabolisme nitrogen, absorbsi hara dan translokasi fotosintat (Salisbury dan Ross, 1985).
Kebutuhan air untuk kedelai setara dengan jumlah air yang dievapotranspirasikannya yaitu berkisar antara 300 –

7|Page

IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science (IOSR-JAVS)
e-ISSN: 2319-2380, p-ISSN: 2319-2372. Volume..., Issue ....Ver. II (........), PP ............
www.iosrjournals.org
350 mm selama pertumbuhannya (Kung, 1971; Doorenbos dan Kassam, 1979). Hal ini semakin terlihat bahwa
jenis tanah Entisols lebih mampu mempertahankan pertumbuhan tanaman walaupun sudah dalam keadaan
tercekam.

V.

Kesimpulan

1. Terdapat interaksi yang nyata antara dosis pemberian air dan pemberian konsorium pupuk hayati BPF
terhadap P tersedia dan serapan P tanaman.
2. Pemberian konsorsium pupuk hayati BPF dapat
3. meningkatkan P tersedia, serapan P, berat kering brangkasan akar dan berat kering brangkasan tanaman
dibandingkan tanpa pemberian konsorsium pupuk hayati BPF.
4. Pada dosis pemberian air 100% kapasitas lapang memberikan nilai serapan P tanaman, berat kering
brangkasan akar, berat kering brangkasan tajuk tertinggi.

Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kami kepada Pemerintah Indonesia selaku penyedia Beasiswa Pendidikan Indonesia yang telah mendanai penelitian ini melalui
program Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Terima kasih juga kami sampaikan kepada staf di Laboratorium Mikrobiologi dan
Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, Indonesia

Daftar Pustaka
[1]
[2]

Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. 2nd ed. John Wiley and Sons. New York.
Banik, S. and B.K. Dey, 1982. Available Phosphat Content of An Alluvial Soil As Influenced By Inoculation of Some Isolated
Phosphate Solubilizing Microorganism. Plant and Soil.
[3] De Freites, J.R., M.R. Banerjee, J.J Germida. 1997. Phosphate-solubilizing rhizobacteria enhance the growth and yield but not
phosphorus uptake of canola (Brassica napus L). Biol. Fertil. Soil. 24:358-364.
[4] Doorenbos, J. & A.H. Kassam. 1979. Yield Response to Water. Irrigation and Drainage Paper No.33 Roma. FAO. 144 p
[5] Gardner,F.B., R.B. Pearce & R.L. Mitchell. 1985. Physiology of Crop Plants, Iowa State University Press, AMES.327 p.
[6] Gaur, A.C. 1986. Phosphor Microorganisms and Various Transfomations dalam: FAO (Ed.). Efficient Fertilizer Use in Acid Upland
Soils of The Humid Tropics. Bulletin FAO Fertilizer and Plant Nutrition 10:106-111.
[7] Handayanto,E. Dan K.Hairiyah.2007. Biologi Tanah Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Pustaka Adipura. Yogyakarta
[8] Hilda, R. and R. Fraga. 2000. Phosphate Solubilizing Bacteria and Their Role in plant Growth Promotion. Biotech. Adv. 17: 319-339.
[9] Illmer, P.A., F. Schinner. 1992. Solubilization of inorganic phosphate by microorganism isolated from forest soils. Soil Biol. Biochem.
24 (4) : 389-395
[10] Indrayana, H.K. 1994. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta.
[11] Islami, T. dan W.H. Utomo. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP Semarang Press.
[12] Kung, P. 1971. Irrigation Agronomy in Monsoon Asia. FAO – AGPC Misc. New York.
[13] Molla, M. A. Z., A. A. Chowdhury, A. Islam and S. Hoque. 1984. Microbial Mineralization of Organic Phosphate in Soil. Plant Soil
78: 393-399.
[14] Nurhayati, 2009. Pengaruh Cekaman Air pada Dua Jenis Tanah Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai ( Glycine Max (L.) Merril).
J. Floratek 4: 55 - 64
[15] Rao, N.S.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Edisi ke 2. Jakarta: Universitas Indonesia.
[16] Rosadi, R.A.B. dan I.G. Darmaputra. 1998. Pengaruh Irigasi Defisit pada fase Vegetatif Terhadap Pertumbuhan, Produksi dan
Kebutuhan Air Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr). J. Tanah Tropika 6: 75 – 82.
[17] Salisbury, F.B. & C.W. Ross. 1985. Plant Physiology. Third Edition. Wadsworth Publishing Company Inc., Belmont, California. 540
p.
[18] Sharma,S.B., R. Z. Sayyed,, M. H. Trivedi and T. A Gobi. 2013. Phosphate Solubilizing Microbes: Sustainable Approach for
Managing Phosphorus Deficiency in Agricultural Soils. SpringerPlus 2013, 2:587. http://www.springerplus.com/content/2/1/587
[19] Sofyan. A. Nurjaya dan A Kasno. 2003. Status Hara Tanah Sawah untuk Rekomendasi Pemupukan. Hlm 83 – 114. Pusat
Pemeliharaan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
[20] Subba Rao, N.S. 1982a. Biofertilizer in Agriculture. Oxford and IBH Publishing Co. New Delhi. Bombai. 186 pp.
[21] Susilowati, L.E. 2005. Inokulasi PBF Indigenos pada Tanaman Kedelai var. Willis di Entisol. Lap Penelitian. Fak Pertanian Unram
[22] Than A A and K Egashira. 2008. Evaluation of Phosphorous Status of Some Upland Soils in Myanmar. J Fac. Agr., Kyushu Univ.
53(1): 193-200.
[23] Whitelaw, 2000. Growth promotion of plants inoculated with phosphate solubilizing fungi. Adv. Agron. 69: 99-151.

8|Page