PENGEMBANGAN KAPASITAS PEMERINTAH DAERAH. pdf

PENGEMBANGAN KAPASITAS PEMERINTAH DAERAH MENUJU GOOD GOVERNANCE (The Capacity Building For Local Government Toward Good

Governance)

Disampaikan dalam Workshop Reformasi Birokrasi pada tanggal

30 Juni 2006 di Kendari Oleh : H. R. Riyadi Soeprapto

Otonomi Daerah, Good Governance Dan Capacity Building

Secara . konseptual, . perspektif . politik . desentralisasi (political desentralization perspective) seperti fokus studi dari Mawhood (1987), Goldberg (1996), Kingsley (1996), Rondinelli (1983) dan banyak pakar lain merupakan sumbangan atas perkembangan pemerintahan modern yang bersifat devolutif. Secara prinsipil dikemukakan bahwa desentralisasi adalah devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (the devolution of power from central to local government).

Devolusi sendiri dimaknai sebagai bentuk desentralisasi yang paling utuh di mana konsep ini adalah bentuk pembebasan sekaligus pelepasan fungsi-fungsi oleh pemerintah pusat dan menciptakan unit-unit baru pemerintah di luar kontrol wewenang pusat. Mawhood (1987) mengemukakan bahwa tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah sebagai upaya mewujudkan keseimbangan politik (political equality), akuntabilitas pemerintah lokal (local accountability) dan pertanggungjawaban pemerintah Devolusi sendiri dimaknai sebagai bentuk desentralisasi yang paling utuh di mana konsep ini adalah bentuk pembebasan sekaligus pelepasan fungsi-fungsi oleh pemerintah pusat dan menciptakan unit-unit baru pemerintah di luar kontrol wewenang pusat. Mawhood (1987) mengemukakan bahwa tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah sebagai upaya mewujudkan keseimbangan politik (political equality), akuntabilitas pemerintah lokal (local accountability) dan pertanggungjawaban pemerintah

jelas (legal territorial of power), memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) sendiri (local own income), memiliki badan perwakilan (local representative body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah, dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui suatu pemilihan yang bebas.

kekuasaan

yang

Lebih tegas lagi Mawhood (1987: 14) memberikan karakteristik desentralisasi sebagai: a decentralized local body should have: 1) its own budget, 2) a separate legal existence, 3) authority to allocate substantial resources, 4) a range of different function, and

5) the decisions being made by representatives of the local people. Pada hakekatnya konsep otonomi daerah atau desentralisasi mengandung arti kebebasan untuk mengambil keputusan, baik politik maupun administrasi, menurut prakarsa sendiri untuk kepentingan masyarakat setempat dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan Nasional.

Rondinelli (1983 :93) memberikan makna desentralisasi secara lebih komprehensif sebagai :

the transfer or delegation of legal and political authority to plan, make decisions and manage public function from the central government and its agencies to field organizations of those agencies, subordinate units of government, autonomous public corporations, area wide or regional development the transfer or delegation of legal and political authority to plan, make decisions and manage public function from the central government and its agencies to field organizations of those agencies, subordinate units of government, autonomous public corporations, area wide or regional development

Dari sisi lain Lemieux (1988:34) mengutarakan otonomi daerah sebagai suatu kekuasaan untuk mengambil keputusan sendiri, baik keputusan politik, keputusan administrasi dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan. Jadi otonomi daerah yang tepat bukan hanya sekedar reorientasi paradigma self local government menjadi self local governance tetapi harus ditindaklanjuti dengan restrukturisasi pelaksanaan otonomi daerah yang sarat dengan nilai kebebasan ( liberty ), partisipasi ( participation ),

demokrasi ( democracy ), akuntabilitas ( accountability ) (Kingsley, 1996:3).

Rondinelli (1983:212) mengemukakan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi derajat otonomi daerah yaitu :

1) the degree to which central political leaders and bureaucrats support decentralization and the organization to which responsibilities are transferred, 2) the degree to which the dominant behaviour, attitudes, and culture are conducive to decentralized decision making and administration, 3) the degree to which policies and programs are appropriately designed and organized to promote decentralized decision making and management, and 4) the degree to which adequate financial, human and physical resources are made available to the organization to which responsibilities are transferred

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa derajat otonomi dapat tergantung pada: 1) derajat di mana kepemimpinan politik pusat, dukungan desentralisasi, birokrat, dan organisasi di mana terjadi transfer tanggung jawab; 2) derajat di mana perilaku dominan, sikap, dan kebudayaan kondusif terhadap pembuatan Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa derajat otonomi dapat tergantung pada: 1) derajat di mana kepemimpinan politik pusat, dukungan desentralisasi, birokrat, dan organisasi di mana terjadi transfer tanggung jawab; 2) derajat di mana perilaku dominan, sikap, dan kebudayaan kondusif terhadap pembuatan

Kebijakan desentralisasi yang dituangkan dalam UU No. 32 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diharapkan akan lebih memberi peluang terjadinya perubahan kepemerintahan yang baik (good governance) di daerah.

PRINSIP GOOD GOVERNANCE

Merujuk United Nations Development Programme (UNDP) (1997:19) dalam paper pertamanya disebutkan karakteristik sistem kepemerintahan yang baik (the characteristics of good system of governance) yaitu; " legitimacy, freedom of association and participation and freedom of the media, fair and established legal frameworks that are enforced impartially, bureaucratic accountability and transparency, freely available and valid information, effective and efficient public sector management, and cooperation between governments civil society

organizations”. Selanjutnya UNDP, seperti dikutip oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) mengajukan kembali prinsip- prinsip good governance sebagai berikut:

Participation; setiap warga negara memiliki suara dalam pembuatan keputusan, secara langsung maupun melalui mediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya, 2) Rule of

Law; aturan hukum, keputusan, kebijakan pemerintah, organisasi, badan usaha yang menyangkut masyarakat dilakukan berdasarkan hukum, 3) Transparency; transparansi yaitu kebebasan arus

informasi; dapat diketahui, dimonitor oleh banyak pihak mengenai kebijakan, proses-proses lembaga organisasi pemerintah, 4) Responsiveness; lembaga-Iembaga pemerintah harus.tanggap, responsif terhadap kepentingan stakeholdernya, 5) Concensus orientation;berorientasi pada kesepakatan yakni bisa menjadi perantara bagi kepentingan yang berbeda sebagai cara mencari alternatif terbaik dan membela kepentingan yang lebih luas, 6) Equity; kesetaraan, semua warga negara laki-Iaki maupun perempuan, tanpa memandang status miskin-kaya, memiliki peluang yang sama dalam mendapatkan kesejahteraan,

7) Effectiveness and efficiency; setiap proses kegiatan, aktifitas lembaga pemerintah dapat menyelesaikan tugasnya sesuai dengan garis yang ditetapkan, 8) Accountability; para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab pada publik dan lembaga stakeholdernya, 9) Strategic vision; visi strategis, para pemimpin dan publik harus memiliki perspektif good governance dan pengembangan SDM yang luas dan jauh ke depan sesuai keperIuan pembangunan.

esensinya merupakan pemerintahan yang efektif dan modern, yakni suatu pemerintahan yang demokratik (demokratic governance) yang elemen utamanya partisipasi masyarakat (Goffrey R. Njeru, 2000:213). Sementara

Jadi, good

governance pada governance pada

Sebenarnya .. kalau . dicermati .. paradigma good .. governance yang berkembang sekarang ini merupakan trend global dan tuntutan dalam sistem politik yang demokratis. Dalam teori dan praktek pemerintahan modern diajarkan bahwa untuk menciptakan the good governance, terIebih dahulu perIu dilakukan desentralisasi pemerintahan. lni searah dengan problematika yang dihadapi negara sedang berkembang seperti Indonesia, yang masih disibukkan dengan agenda transisi demokrasi seperti; pemisahan kekuasaan diantara lembaga yudikatif, eksekutif dan legislatif; pembagian kekuasaan diantara pemerintah pusat, regional dan lokal; pemisahanan kekuasaan atau kewenangan antara negara dan masyarakat, dan pemisahan antara hak individu dan kekuasaan komunal, yang semuanya itu bermuara pada inisiatif otonomi.

Terlepas dari kekhawatiran akan kelemahan yang masih ada, pelaksanaan otonomi yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal memungkinkan terlahirnya pemerintahan daerah yang demokratis dalam rangka menuju pemerintahan yang baik (good governance). Dalam definisi umum sebagaimana telah disebutkan di bagian terdahulu, pada dasarnya kita akan menemukan sekurang-kurangnya sepuluh komponen utama yang sering dihubungkan dengan istilah good governance, yakni; good governance is helpful, good governance depend on concent, good governance is open, good governance is accountable, good Terlepas dari kekhawatiran akan kelemahan yang masih ada, pelaksanaan otonomi yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal memungkinkan terlahirnya pemerintahan daerah yang demokratis dalam rangka menuju pemerintahan yang baik (good governance). Dalam definisi umum sebagaimana telah disebutkan di bagian terdahulu, pada dasarnya kita akan menemukan sekurang-kurangnya sepuluh komponen utama yang sering dihubungkan dengan istilah good governance, yakni; good governance is helpful, good governance depend on concent, good governance is open, good governance is accountable, good

Pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional, yakni nilai-nilai yang menjunjung tinggi kehendak masyarakat, yang dapat meningkatkan kemandirian rakyat dalam pencapaian tujuan nasional. Orientasi ini mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti legitimacy (apakah pemerintahan mendapat kepercayaan rakyatnya), accountability, scuring of human right, autonomi and devolution of power dan assurance of civilian control (LAN,2000:6).

Kedua, orientasi pada aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk tujuan- tujuan tersebut. Orientasi ini tergantung pada sejauh mana pemerintahan mempunyai kompetensi, serta bagaimana agar struktur dan tatanan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.

Dalam penyelenggaraan capacity building, orientasi- orientasi tersebut sangat berkaitan dengan dimensi reformasi

kelembagaan . pemerintah. . Menurut Stephen . E .. Cornell dan Josep

h P. Kalt (dalam Grindle, 1997; 263-265); untuk kemajuan apapun seperti pencapaian progres ekonomi-sosial, institusi yang h P. Kalt (dalam Grindle, 1997; 263-265); untuk kemajuan apapun seperti pencapaian progres ekonomi-sosial, institusi yang

lembaga pemerintah yang efektif -karena atribusi kolektifitas dan muatan kekuasaan politiknya-, perlu membutuhkan keselarasan dengan empat norma-norma kebenaran politis masyarakat seperti; Struktur

kewenangan (structure of authority), Lingkup kewenangan (scope of authority), Letak kewenangan (location of authority), dan Sumber kewenangan (source of authority), (Kalt, dalam Grindle, 1997:263-265).

Kalau kita menengok pengalaman masa lalu negara kita, karena tingginya tuntutan dan harapan terhadap peningkatan kesejahteraan melalui pembangunan, pemegang kekuasaan selalu beranggapan tidak terdapat alternatif yang lebih baik untuk mendatangkan kesejahteraan selain dengan cara meredam dinamika politik yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Masyarakat kemudian harus menerima kenyataan meningkatnya structure of authority dan scope of authority dalam lembaga birokrasi pemerintah. Misalnya, bila dikaitkan dengan tujuan desentralisasi secara teoritik, 'tampak bila pelaksanaan Kalau kita menengok pengalaman masa lalu negara kita, karena tingginya tuntutan dan harapan terhadap peningkatan kesejahteraan melalui pembangunan, pemegang kekuasaan selalu beranggapan tidak terdapat alternatif yang lebih baik untuk mendatangkan kesejahteraan selain dengan cara meredam dinamika politik yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Masyarakat kemudian harus menerima kenyataan meningkatnya structure of authority dan scope of authority dalam lembaga birokrasi pemerintah. Misalnya, bila dikaitkan dengan tujuan desentralisasi secara teoritik, 'tampak bila pelaksanaan

yang baik (good governance) tersebut.

pelaksanaan

pemerintahan

Bila kita tengok pengalaman negara-negara lain yang pernah mengalami transisi, secara empiris negara-negara industri baru di Asia Timur dan Asia Tenggara seperti Korea Selatan, Taiwan, Singapura atau bahkan China yang sekarang ini sedang menggeliat, tahap-tahap awal pembangunannya memang diwarnai oleh kuatnya peranan birokrasi pemerintah. Meski demikian perkembangan ekonomi yang pesat dan meningkatnya pendapatan perkapita penduduk kemudian ikut andil dalam memunculkan kesadaran rakyat yang ditandai dengan semakin berkembangnya iklim demokrasi politik di negara-negara tersebut. Persoalannya bagaimana dengan kondisi di Indonesia?

Pada dasarnya good governance sebagai alat analisis dan capacity building sebagai alat aksi sesungguhnya sangat berhubungan dengan upaya “downsizing” peran (role) dan

cakupan pemerintahan di satu sisi dan pada sisi lain dengan usaha meningkatkan peran dan cakupan 'pasar' (market) sebagai cara utama atau mungkin satu-satunya alternatif untuk meningkatkan kemajuan negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, atau yang secara spesifik diartikan sebagai kemajuan atau pertumbuhan ekonomi di semua lapisan masyarakat. Ini berarti, konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan nilai-nilai good governance (transparency, accountability, the rule of law and probity) bisa cenderung dijabarkan dalam konteks menjadikan pasar bekerja lebih efisien, dari pada misalnya dipahamkan semata-mata sebagai upaya penguatan kontrol masyarakat terhadap proses-proses kepemerintahan. Karena negara tidak lagi sebagai 'the center of truth', inspirasi dan prakarsa perubahan bisa lahir dari masyarakat itu sendiri terutama dalam hal ini yang dipelopori oleh pemerintah daerah.

Implementasi good governance sebagaimana uraian di atas, seperti yang dianjurkan paradigma kontekstual teknis bahwa otonomi daerah hendaknya memungkinkan pemerintah daerah memberikan yang terbaik bagi masyarakat di daerah. Maka langkah awal yang harus diambil adalah melakukan capacity building yang saat ini direkomendasikan dalam rangka pembenahan pemerintahan termasuk pemerintah lokal

(Grindle,1997; Fiszbein, 1997, Edralin, 1997; Mentz, 1997; Ead

e, 1998)

Realitas Otonomi Daerah Tantangan Bagi Capacity Building

Dalam beberapa literatur pembangunan, konsep capacity building sebenarnya masih menyisakan sedikit perdebatan dalam pendifinisian .. Sebagian .. ilmuwan . memaknai. capacity . building se- bagai capacity . development atau capacity . strengthening, mengisya ratkan suatu prakarsa pada pengembangan kemampuan yang sudah ada (existing capacity). Sementara yang lain lebih merujuk pada constructing capacity sebagai proses kreatif membangun kapasitas yang belum nampak (not yet exist). Penulis tidak condong pada salah satu sisi karena keduanya memiliki karakteristik diskusi yang sama yakni analisa kapasitas sebagai inisiatif lain untuk meningkatkan government performance. Dalam hal ini searah dengan pendapat Merilee S. Grindle (1997:6-22);

Capacity building is intended to encompass a variety of strategies that have to do with increasing the efficiency, effectiveness,

of government performance. capacity building (pengembangan kapasitas merupakan upaya yang dimaksudkan untuk mengembangkan suatu ragam strategi . meningkatkan efficiency,effectiveness, dan responsiveness kinerja pemerintah. Yakni efficiency, dalam hal waktu (time) dan sumber daya (resources) yang dibutuhkan guna mencapai suatu outcome; effectiveness berupa kepantasan usaha yang dilakukan demi hasil yang diinginkan; dan responsiveness yakni bagaimana mensinkronkan antara kebutuhan dan kemampuan untuk maksud tersebut.

and

responsiveness

Sedangkan menurut Valentine Udoh James (1998:xv) memberikan pengertian capacity building sebagai “ attemp to

enhance the ability of people of developing nations to develop esssential politics and management skills necessa ry to build their nation's human, economic, social political and cultural structures so as to their proper place in global affairs (capacity building adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan rakyat negara sedang berkembang untuk mengembangkan ketrampilan manajemen dan kebijakan yang esensial yang dibutuhkan untuk membangun struktur budaya, sosial politik, ekonomi dan SDM sehingga mereka eksis dalam percaturan global).

Capacity building didefinisikan oleh Brown (2001:25) sebagai suatu proses yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang, suatu organisasi atau suatu sistem untuk mencapai tujuan-tujuan yang dicita-citakan. Morison (2001 :42) melihat:

Capacity building can best be seen as a process to induce, or set in motion, multi-level change in individuals, groups, organisations and systems. Ideally, capacity building seeks to strengthen the self-adaptive capabilities of people and organisations, in order that they can respond to a changing environment, on an on-going basis. Capacity building is a process and not a product. In particular, capacity building is a multi-level learning process, which links ideas to action. Capacity building, in this view, can be defined as actionable learning.

capacity building sebagai suatu proses untuk melakukan sesuatu, atau serangkaian gerakan, perubahan multi level di dalam individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi dan sistem-sistem dalam rangka untuk memperkuat capacity building sebagai suatu proses untuk melakukan sesuatu, atau serangkaian gerakan, perubahan multi level di dalam individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi dan sistem-sistem dalam rangka untuk memperkuat

Sedangkan Milen (2001:142) melihat capacity building sebagai tugas khusus, karena tugas khusus tersebut berhubungan dengan faktor-faktor dalam suatu organisasi atau system tertentu pada suatu waktu tertentu. Pengembangan kapasitas dapat juga didifinisikan sebagai sebuah proses untuk meningkatkan kemampuan individu, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, dan juga masyarakat untuk (i) menganalisa lingkungan mereka, (ii) mengenali masalah-masalah, kepentingan-kepentingan, dan kesempatan-kesempatan, (iii) merumuskan strategi-strategi untuk menyelesaikan masalah-masalah dan kepentingan-kepentingan tersebut di atas serta untuk meraih kesempatan-kesempatan yang relevan, (iv) merancang sebuah rencana untuk program-program, dan (v) memanfaatkan secara efektif sumber-sumber dasar yang mendukung pelaksanaannya, memantau dan mengevaluasi rencana program-program, serta (vi) menggunakan arus balik untuk mempelajari pelajaran-pelajaran (ACBF, 2001).

Pengertian . lain . mengenai capacity . building juga . dikemuka- kan oleh Katty Sensions 1993:15) yang memberikan definisi: "capacity building usually is understood to mean helping

governments, communities and individuals to develop the skills and expertise needed to achieve their goals. Capacity building program, often designed to strengthen participant's abilities to evaluate their policy choices and implement decisions effectively, may include education and training, institutional and legal refonns, as well as scientific, technological andfinancial assistance (capacity building umumnya dipahami sebagai upaya membantu pemerintah, masyarakat ataupun individu dalam mengembangkan keahlian dan ketrampilan yang dibutuhkan governments, communities and individuals to develop the skills and expertise needed to achieve their goals. Capacity building program, often designed to strengthen participant's abilities to evaluate their policy choices and implement decisions effectively, may include education and training, institutional and legal refonns, as well as scientific, technological andfinancial assistance (capacity building umumnya dipahami sebagai upaya membantu pemerintah, masyarakat ataupun individu dalam mengembangkan keahlian dan ketrampilan yang dibutuhkan

Lebih spesifik dari pengertian tadi capacity building bagi penyelenggaraan pemerintahan didefinisikan sebagai "the extent to which they (staff) demonstrate concrete contribution to personal, organizational and community development" (sampai seberapa jauh staf mampu menunjukkan kontribusi yang nyata terhadap pengembangan personal, organisasi dan masyarakat) (Janet L.

Finn & Barry Checksoway,1998:4).

Sebagai program yang banyak berhubungan dengan proyek pembangunan negara Dunia Ketiga, capacity building telah menjadi bagian pembahasan dalam lembaga internasional; United Nations memberi rujukan Capacity Building yang berdimensikan pada; 1) Mandat dan struktur legal, 2) Struktur kelembagaan, 3) Pendekatan manajerial, 4) Kemampuan organisasional dan teknis,

4) Kemampuan fiskal lokal, dan 5) Aktivitas-aktivitas program. World Bank menekankan perhatian capacity building pada;

a) Pengembangan sumber daya manusia; training, rekruitmen

dan pemutusan pegawai profesional, manajerial dan teknis,

b) Keorganisasian, yaitu pengaturan struktur, proses, sumber daya dan gaya manajemen.

c) Jaringan kerja (network), berupa koordinasi, aktifitas organisasi, fungsi network, serta interaksi formal dan infonnal,

d) Lingkungan organisasi, yaitu aturan (rule) dan undang-undang (legislation) yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab d) Lingkungan organisasi, yaitu aturan (rule) dan undang-undang (legislation) yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab

e) Lingkungan kegiatan lebih luas lainnya, meliputi faktor-faktor politik, ekonomi dan situasi-kondisi yang mempengaruhi kinerja.

Sedangkan UNDP memfokuskan pada tiga dimensi, yaitu; (1) Tenaga kerja (dimensi human resources), yaitu kualitas SDM

dan cara SDM dimanfaatkan (2) Modal (dimensi fisik), menyangkut sarana material, peralatan, bahan-bahan yang diperlukan dan ruang/gedung, (3) Teknologi, yaitu organisasi dan gaya manajemen, fungsi perencanaan, penentuan kebijakan, pengendalian dan evaluasi, komunikasi, serta sistem infonnasi manajemen.

Edralin, 1997: 148). ( Dari berbagai literatur tersebut kiranya dapat dirangkum

beberapa dimensi capacity building bagi pemerintah antara lain: (1) pengembangan sumber daya manusia (lihat Fiszbein, 1997; Grindle, 1997; World Bank dalam Edralin, 1997); (2) penguatan organisasi .. dan .. manajemen .. (lihat . Grindle, 1997; Fiszbein, 1997; Eade, 1998; Mentz, 1997; United . Nations dalam Edralin, 1997); (3) penyediaan sumber daya, sarana dan prasarana (lihat UNDP dalam Edralin, 1997; Fiszbein, 1997); (4) network (lihat Eade, 1998, World Bank dalam Edralin, 1997); (5) lingkungan (lihat World Bank dalam Edralin, 1997; Grindle, 1997); dan (6) mandat, kemampuan fiskal, dan program (UN, dalam Edralin, 1997). Bila rangkuman tersebut kita persempit lagi, maka dapatlah dikemukakan tingkatan-tingkatan pengembangan kapasitas sebagai berikut:

Pengetahuan,keterampilan,

Tingkatan

kemampuan, pengelompokkan kerja

Individu

Pengambilan keputusan

Organisasi Kapsitas

Kerangka kerja formal

Sistem

yang mendukung kebijakan- kebijakan

Gambar 1 : Tingkat Capacity Building

Dari gambar tersebut di atas dapatlah dikemukakan bahwa pengembangan kapasitas harus dilaksanakan secara efektif dan berkesinambungan pada 3 (tiga) tingkatan-tingkatan:

1. Tingkatan sistem, seperti kerangka kerja yang berhubungan

dengan pengaturan, kebijakan-kebijakan dan kondisi dasar yang mendukung pencapaian obyektivitas kebijakan tertentu;

2. Tingkatan institusional atau keseluruhan satuan, contoh struktur

organisasi-organisasi, proses pengambilan keputusan di dalam organisasi-organisasi, prosedur dan mekanisme-mekanisme pekerjaan, pengaturan sarana dan prasarana, hubungan- hubungan dan jaringan-jaringan organisasi;

3. Tingkatan individual, contohnya ketrampilan-ketrampilan individu dan persyaratan-persyaratan, pengetahuan, tingkah laku, pengelompokan pekerjaan dan motivasi-motivasi dari pekerjaan orang-orang di dalam organisasi-organisasi.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Capacity Building

yang mempengaruhi penyelenggaraan maupun kesuksesan program pengembangan kapasitas dalam pemerintahan daerah. Namun secara khusus dapat disampaikan bahwa dalam konteks otonomi daerah, faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi pembangunan kapasitas meliputi 5 (lima) hal pokok yaitu, komitmen bersama, kepemimpinan, reformasi peraturan, reformasi kelembagaan, dan pengakuan ten tang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki.

Terdapat banyak

faktor

Pertama, komitmen bersama. Collective commitments dari seluruh aktor yang terlibat dalam sebuah organisasi (termasuk pemerintahan daerah) sangat menentukan sejauh mana pembangunan kapasitas akan dilaksanakan ataupun disukseskan. Komitmen bersama ini merupakan modal dasar yang harus terus menerus ditumbuh-kembangkan dan dipelihara secara baik oleh karena faktor ini akan menjadi dasar dari seluruh rancangan kegiatan yang akan dilakukan oleh sebuah organisasi. Tanpa adanya komitmen baik dari pimpinan tingkat atas, menengah maupun bawah dan juga staff yang dimiliki, sangatlah mustahil mengharapkan program pembangunan kapasitas bisa berlangsung apalagi berhasil dengan baik.

Kedua, kepemimpinan. Faktor conducive leadership merupakan salah satu hal yang paling mendasar dalam mempengaruhi inisiasi dan kesuksesan program pembangunan

kapasitas personal dalam kelembagaan sebuah organisasi. Dalam konteks lingkungan organisasi publik (sebagaimana pemerintahan daerah), harus terus menerus didorong sebuah mekanisrne kepemimpinan yang dinamis sebagaimana yang dilakukan oleh sektor swasta. Hal ini karena tantangan ke depan yang semakin berat dan juga realitas keterbatasan sumber daya yang dimiliki sektor publik. Kepemimpinan kondusif yang memberikan kesempatan luas pada setiap elemen organisasi dalam menyelenggarakan pengembangan kapasitas merupakan sebuah modal dasar dalam menentukan efektivitas kapasitas kelembagaan menuju realisasi tujuan organisasi yang diinginkan.

Ketiga, reformasi peraturan. Kontekstualitas politik pemerintahan daerah di Indonesia serta budaya pegawai

pemerintah daerah yang selalu berlindung pada peraturan yang ada serta lain-lain faktor legal-formal-prosedural merupakan hambatan yang paling serius dalam kesuksesan program pembangunan kapasitas. Oleh karena itulah, sebagai sebuah bagian dari implementasi program yang sangat dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan maka reformasi (atau dapat dibaca penyelenggaran peraturan yang kondusif) merupakan salah satu cara yang perlu dilakukan dalam rangka menyukseskan program kapasitas ini.

Keempat, reformasi kelembagaan. Reformasi peraturan di atas tentunya merupakan salah satu bagian penting dari reformasi

kelembagaan ini. Reformasi kelembagaan pada intinya menunjuk kelembagaan ini. Reformasi kelembagaan pada intinya menunjuk

Kelima, pengakuan kekuatan dan kelemahan yang

dimiliki. Oleh karena pembangunan kapasitas harus diawali pada identifikasi kapasitas yang dimiliki maka harus ada pengakuan dari personal dan lembaga tentang kelemahan dan kekuatan yang dimiliki

tersedia (existing capacities). Pengakuan ini penting karena kejujuran tentang kemampuan yang dimiliki merupakan setengah syarat yang harus dimiliki dalam rangka menyukseskan program pengembangan kapasitas.

Persyaratan-Persyaratan Dalam Capacity Building

Ada beberapa persyaratan yang perlu diketahui sebelum sebuah program pembangunan kapasitas pemerintahan (khususnya pemerintahan daerah) dilakukan. Persyaratan-persyaratan itu antara lain partisipasi, inovasi, akses informasi, akuntabilitas dan kepemimpinan (Yuwono, 2003).

Partisipasi merupakan salah satu persyaratan yang sangat penting karena menjadi dasar seluruh rangkaian kegiatan pembangunan kapasitas. Partisipasi dari semua level, tidak hanya level staf atau pegawai saja, tetapi juga level pimpinan atas, menengah dan bawah sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan Partisipasi merupakan salah satu persyaratan yang sangat penting karena menjadi dasar seluruh rangkaian kegiatan pembangunan kapasitas. Partisipasi dari semua level, tidak hanya level staf atau pegawai saja, tetapi juga level pimpinan atas, menengah dan bawah sangat dibutuhkan dalam penyelenggaraan

Inovasi juga merupakan persyaratan lain yang tidak kalah penting mendesak. Harus diakui bahwa inovasi adalah bagian dari program pembangunan kapasitas, khususnya dalam kerangka menyediakan berbagai alternatif dan metode pembangunan kapasitas yang bervariasi, dan menyenangkan. Hampir tidak mungkin terjadi pembangunan kapasitas tanpa diikuti oleh inovasi (karena capacity building merupakan bentuk dari sebuah inovasi). Pembangunan mengabaikan, menghambat ataupun tidak memberikan ruang terhadap inovasi. Inovasi penting karena pekerjaan bukanlah sesuatu yang statis sifatnya, tetapi justru dinamis sesuai dengan tuntutan publik yang kian tinggi.

Akses terhadap informasi merupakan persyaratan lain yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan program pembangunan kapasitas. Pada bentuk organisasi yang tradisional dan birokratis, semua informasi dipegang dan dikuasai oleh pimpinan. Kondisi seperti ini jelas tidak memungkinkan pembangunan kapasitas. Sebaliknya, pembangunan kapasitas salah satunya harus dimulai dengan memberikan akses dan kesempatan untuk memperoleh informasi secara cukup baik dan efektif guna mendukung program yang akan dilaksanakan.

Akuntabilitas juga merupakan persyaratan lain yang tidak kalah urgennya. Akuntabilitas penting untuk menjaga bahwa program pembangunan kapasitas juga harus dikendalikan Akuntabilitas juga merupakan persyaratan lain yang tidak kalah urgennya. Akuntabilitas penting untuk menjaga bahwa program pembangunan kapasitas juga harus dikendalikan

Persyaratan yang terakhir adalah kepemimpinan. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas kepemimpinan memegang peranan penting dalam kesuksesan program pembangunan kapasitas organisasi. Kepemimpinan yang dipersyaratkan dalam pembangunan kapasitas antara lain adalah keterbukaan (openness), penerimaan terhadap ide-ide baru (receptivity to new ideas), kejujuran (honesty), perhatian (caring), penghormatan terhadap harkat dan martabat (dignity) serta penghormatan kepada orang lain (respect to people). Semakin pemimpin memberikan kepercayaan dan suasana kondusif pada staf untuk berkembang, maka akan semakin sukseslah program pengembangan kapasitas dalam sebuah organisasi.

Elemen-Elemen Capacity Building dalam Otonomi Daerah

Dalam mewujudkan otonomi daerah, maka strategi-strategi yang perlu dipersiapkan berdasarkan dimensi-dimensi, faktor pengaruh dan persyaratan dalam capacity building sebagaimana dikemukakan di depan adalah (1) penentuan secara jelas visi dan misi daerah dan lembaga pemerintah daerah, (2) perbaikan sistem kebijakan publik di daerah, (3) perbaikan struktur organisasi pemerintah daerah, (4) perbaikan kemampuan manajerial dan kepemimpinan pemerintah daerah; (5) pengembangan sistem akuntabilitas internal dan eksternal pemerintah daerah; (6) Dalam mewujudkan otonomi daerah, maka strategi-strategi yang perlu dipersiapkan berdasarkan dimensi-dimensi, faktor pengaruh dan persyaratan dalam capacity building sebagaimana dikemukakan di depan adalah (1) penentuan secara jelas visi dan misi daerah dan lembaga pemerintah daerah, (2) perbaikan sistem kebijakan publik di daerah, (3) perbaikan struktur organisasi pemerintah daerah, (4) perbaikan kemampuan manajerial dan kepemimpinan pemerintah daerah; (5) pengembangan sistem akuntabilitas internal dan eksternal pemerintah daerah; (6)

pemerintah daerah, (8) pengembangan sistem jaringan (network) antar kabupaten dan kota, serta (9) pengembangan, pemanfaatan, dan penyesuaian lingkungan pemerintah daerah yang kondusif.

SDM

aparat

Semua elemen yang harus dikembangkan atau diperbaiki di atas harus dilihat sebagai satu kesatuan, sebagai sebuah sistem, apabila dibenahi yang satu dapat mempengaruhi yang lain. Bila dicermati elemen-elemen ini menyangkut kemampuan pemerintahan daerah dalam penyediaan input (semua resources yang dibutuhkan), proses (penerapan teknik dan metode yang tepat), feedback (perbaikan input dan proses), dan lingkungan (penciptaan situasi dan kondisi yang kondusif).

Capacity Building sebagai Strategi untuk Mewujudkan Pemerintahan yang Baik (Good Governance)

Capacity building atau pengembangan kapasitas pada dasarnya merupakan parameter strategi bagi terwujudnya good governance. Dari sekian elemen capacity building yang telah dijelaskan dimuka, khususnya dalam pengembangan otonomi daerah di Indonesia, maka elemen-elemen yang nampaknya mendesak untuk segera diperbaiki adalah;

1. Pengembangan Visi dan Misi Daerah dan Institusi

Pemerintah Kabupaten/Kota. Untuk saat ini nampaknya belum ada kejelasan mengenai

ke mana kabupaten/kota sebagai daerah dan institusi dikembangkan. Dengan kata lain, visi dan misi kabupaten/kota sebagai daerah dan institusi belum terumuskan secara tegas dan jelas. Visi dan misi masih disalah artikan sebagai motto, ke mana kabupaten/kota sebagai daerah dan institusi dikembangkan. Dengan kata lain, visi dan misi kabupaten/kota sebagai daerah dan institusi belum terumuskan secara tegas dan jelas. Visi dan misi masih disalah artikan sebagai motto,

Padahal visi pada dasarnya merupakan mental model masa depan, cara pandang ke depan kemana instansi pemerintah harus dibawa agar dapat eksis, antisipatif dan inovatif. Demikian pula visi juga tidak boleh terlalu abstrak, tetapi benar- benar bisa dibayangkan bentuknya (imaginable), bisa dijangkau dan terukur (tangible) dan lebih penting benar-benar diinginkan (desirable). Untuk mewujudkan visi tersebut, pemerintah daerah harus punya misi yang jelas pula. Pernyataan misi membawa organisasi pada sebuah fokus, misi menjelaskan bagaimana melakukannya (LAN, 2000:1). Ibarat jalan, misi merupakan jalur yang harus dilalui agar tujuan dan sasaran organisasi dapat dilaksanakan, misalnya mempertimbangkan apa (what) yang akan dilakukan dan kapan (when) dilakukan.

Agar bidang-bidang strategis yang akan dikembangkan oleh daerah dalam rangka mencapai kejelasan visi dan misi tersebut nampak jelas, maka yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu;

1. Menggali . sebanyak . mungkin . informasi .. mengenai capacity dan resouces yang dimiliki daerah, baik informasi dari dalam maupun luar organisasi,

2. menyusun; Rencana Strategis Daerah Kabupaten/Kota, dan

Rencana Strategis Insitusi Pemerintah Kabupaten/Kota.

Di samping dua hal di atas, yang tidak kalah penting adalah mewujudkan kepemimpinan yang 'visioner'. Yakni

pemimpin yang mampu melihat jangkauan ke depan yang berskala lokal, nasional maupun global. Banyak contoh terungkap di media masa kita seorang pemimpin daerah yang baru saja dipilih, belum mengetahui program kerjanya ketika ditanya langkah selanjutnya, dengan alasan baru diangkat atau dilantik sementara program akan 'dipelajari' kemudian. Ini menunjukkan contoh pemimpin yang tidak visioner. Kalau kita ambil contoh perbandingan, awal Oktober lalu di negara bagian AS, California seorang gubernur terpilih, Schwarzenegger, yang berhasil menggeser Gubernur Gray Davis, tidak saja memiliki visi dan misi yang kuat sebagaimana ditunjukkan di setiap kampanyenya, tetapi juga menguasai berbagai persoalan penting yang dihadapi California, meskipun dia berlatar belakang aktor Hollywood. Pentingnya visi dan misi ini sangat ditekankan dalam rangka pemilihan presiden, gubernur, dan bupati di Indonesia. Hal tersebut memberikan gambaran bahwa visi dan misi merupakan hal yang sangat penting dalam mencapai suatu tujuan tertentu.

2. Penguatan Kelembagaan Pemerintahan (institutional

strengthening). Dalam Rencana Strategis lnstitusi Pemerintah, bidang- bidang strategis yang harus dikembangkan sangat menentukan jenis dan jangkauan kebijakan tahunan, semesteran, triwulan atau bulanan yang perlu dikembangkan. Dalam perencanaan strategis formal berkaitan dengan tiga tipe perencanaan; strategic plans, medium-range programs dan short-range budgets and operating plans. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini antara

lain tipe,jumlah serta kualitas institusi pemerintahan yang diperlukan, jenis dan tingkat managerial skills yang dibutuhkan termasuk tipe kepemimpinannya, dan sistem akuntabilitas publik serta budaya organisasi pemerintahan. Withtaker (1995:11) mengemukakan "strategic planning is concerned with both the definition of goals and objectives for an organization and the design of functional policies, plans and organization structure and systems to achieve those objectives". Dengan kata lain, pembenahan kelembagaan harus didasarkan kepada kebutuhan pengembangan bidang-bidang strategis sesuai sasaran dan tujuan yang telah dirumuskan dalam Rencana Strategis Daerah dan Institusi Pemerintah Kabupaten dan Kota. Dengan demikian dimensi yang perlu dikembangkan dalam penguatan kelembagaan meliputi : (1) pengembangan kebijakan, (2) pengembangan (network) organisasi, (3) pengembangan manajemen, (4) pengembangan sistem akuntabilitas publik, dan (5) pengembangan budaya organisasi.

Kalau kita lihat pengalaman negara lain di Afrika, terutama Kenya, dalam program capacity building-nya, dimensi penguatan

ditekankan pada pengembangan network dengan teknologi informasi (Peterson, dalam Grindle, 1997: 164). Karena meskipun network-network tersebut kecil (small), ternyata memiliki jangkauan yang luar biasa dan dapat menggerakkan kinerja organisasi secara dramatis. Model seperti ini merupakan salah satu contoh aplikasi electronic government (e-Government), yang menurut Clay G. Wescott, didefinisikan sebagai berikut;

kelembagaan

lebih

E-Government is the use information and communications technology (ICT) to promote more efficient and cost- effective

more convenient government services, allow greater public acces to information, and make government more accountable to citizens. (Wescott, dalam Indrajid, 2002:4)

government,

facilitate

Negara besar

dan

terdepan

dalam meng-

implementasikan e-Government, yakni Amerika dan Inggris, secara jelas merinci manfaat yang akan diperoleh dengan diterapkannya konsep e-Government pada institusi pemerintah, diantaranya; 1) dapat memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder-nya (masyarakat, kalangan bisnis, dan industri) terutama kinerja yang efektif dan efisien, mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholdernya,

2) meningkatkan tranparansi, kontrol dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka mencapai Good Corporate Governance,

3) menciptakan suatu lingkungan

masyarakat baru yang lebih luas sejalan dengan perubahan global dan trend yang ada (Indrajit, 2002 : 5). Kiranya model e- Government bisa diterapkan untuk penguatan daya dukung kelembagaan (institutional.carrying-capacity)

pemerintah daerah di Indonesia.

3. Pengembangan SDM Aparat Pemerintahan. Ada banyak bentuk yang bisa dipilih dalam model pengembangan SDM pemda. Namun demikian perlu adanya framework pengembangan yang relevan bagi setiap aktifitas 3. Pengembangan SDM Aparat Pemerintahan. Ada banyak bentuk yang bisa dipilih dalam model pengembangan SDM pemda. Namun demikian perlu adanya framework pengembangan yang relevan bagi setiap aktifitas

Agar pengembangan SDM di daerah lebih mengenai sasaran, maka dalam capacity building perlu diperhatikan empat fase dasar yang akan dilalui (Trostle, dalam Grindle, 1997); Pertama, fase desain (a design phase), meliputi keterlibatan pihak-pihak atau donor constituency tertentu yang bisa menghasilkan masukan (resulting in) bagi strategi pengembangan SDM, baik dari dalam maupun luar lembaga pemerintah misalnya, para administrator, komisaris, anggota dewan, yayasan swasta dll. Kedua fase implementasi proyek (project implementation phase) dimana menyeleksi kontraktor pelaksana atau unit-unit administratif tertentu untuk memulai dan mengimplementasikan suatu program. Ketiga, fase akuisisi kemampuan (a capacity acquisition phase), dari berbagai kegiatan dan training yang terjadi serta pengalaman informal yang didapat akan membentuk keahlian-keahlian baru termasuk mengasah wawasan, bakat, potensi dan etos Agar pengembangan SDM di daerah lebih mengenai sasaran, maka dalam capacity building perlu diperhatikan empat fase dasar yang akan dilalui (Trostle, dalam Grindle, 1997); Pertama, fase desain (a design phase), meliputi keterlibatan pihak-pihak atau donor constituency tertentu yang bisa menghasilkan masukan (resulting in) bagi strategi pengembangan SDM, baik dari dalam maupun luar lembaga pemerintah misalnya, para administrator, komisaris, anggota dewan, yayasan swasta dll. Kedua fase implementasi proyek (project implementation phase) dimana menyeleksi kontraktor pelaksana atau unit-unit administratif tertentu untuk memulai dan mengimplementasikan suatu program. Ketiga, fase akuisisi kemampuan (a capacity acquisition phase), dari berbagai kegiatan dan training yang terjadi serta pengalaman informal yang didapat akan membentuk keahlian-keahlian baru termasuk mengasah wawasan, bakat, potensi dan etos

kemampuan

(capacity) individu akan

termanifestasikan dalam peraihan tugas dan hasil evaluasi akhir. Hal lain yang perlu diperhitungkan dari setiap fase-fase tersebut adalah

berupa kejadian-

kejadian (events) yang mungkin tidak bertalian dengan program misalnya, rotasi jabatan, perubahan politik, peristiwa force majeur seperti bencana alam, konflik sosial dan sebagainya, yang seringkali menyebabkan program pengembangan SDM terkesan tambal sulam serba instant dan mengalami stagnasi.

4) Pengembangan Network Pemerintahan Pengembangan network disini mungkin memiliki kedekatan makna dengan membangun kemitraan (patnership), joint ventures atau aliansi strategis. Pada intinya merupakan suatu strategi yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling pengertian dan membesarkan. Meskipun Rencana Strategis telah memberikan arah pengembangan SDM dan kelembagaan yang ada di daerah, untuk melakukan berbagai pengembangan tersebut daerah pasti memiliki berbagai keterbatasan. Karena itu harus dimungkinkan proses belajar sendiri dan kolaborasi dengan pihak lain (misalnya, public-private

partnership). Seperti diuraikan

Edward J. Blakely (1994); ".. No matter what organizational structure is selected, public agencies and private firms have to enter into new relationship to make the development process work... ". Disamping itu daerah juga punya kebebasan untuk Edward J. Blakely (1994); ".. No matter what organizational structure is selected, public agencies and private firms have to enter into new relationship to make the development process work... ". Disamping itu daerah juga punya kebebasan untuk

melalui suatu “jaringan kerja” yang terencana. Kolaborasi antara mereka sangat membantu proses belajar cepat di daerah, menciptakan keterkaitan (linkage) kepentingan yang lebih luas (broad-base) namun dengan tetap memperhatikan prinsip "duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi".

5) Pengembangan dan Pemanfaatan Lingkungan Pemerintahan.

Kinerja pengembangan kapasitas pemerintah daerah secara signifikan dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tindakannya (action environment). Karena pemda sebagaimana sebuah organisasi tidak berada dalam situasi vakum. Artinya banyak faktor-faktor eksternal-internal lain yang mempunyai unsur-unsur kekuatan langsung dan kekuatan tidak langsung, disamping memberi kontribusi bagi munculnya capacity gap atau situasi uncerta inty dalam pengembangan kapasitas. Dengan kata lain pemerintah daerah sangat membutuhkan suatu lingkungan yang kondusif, yang dari padanya dapat dimanfaatkan untuk berbuat terbaik di daerah. Disini yang harus Kinerja pengembangan kapasitas pemerintah daerah secara signifikan dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tindakannya (action environment). Karena pemda sebagaimana sebuah organisasi tidak berada dalam situasi vakum. Artinya banyak faktor-faktor eksternal-internal lain yang mempunyai unsur-unsur kekuatan langsung dan kekuatan tidak langsung, disamping memberi kontribusi bagi munculnya capacity gap atau situasi uncerta inty dalam pengembangan kapasitas. Dengan kata lain pemerintah daerah sangat membutuhkan suatu lingkungan yang kondusif, yang dari padanya dapat dimanfaatkan untuk berbuat terbaik di daerah. Disini yang harus

2) untuk menjamin kemampuan yang berkelanjutan maka perlu dihindari adanya peraturan perundangan yang tumpang tindih yang menjadi sumber kesimpang siuran, ketidakjelasan interpretasi dan rawan penyalahgunaan (wanprestasi), dan (3) memantapkan keamanan dan ketertiban di daerah secara mandiri, menegakkan kepatuhan kepada peraturan, pengawasan dan penegakkan hukum. Peraturan perundangan yang mendukung pembangunan lokal harus dimanfaatkan sementara keamanan dan ketertiban harus diciptakan dan dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi pembangunan dan pelayanan publik di daerah.

Dalam penyelenggaraan capacity building dalam pem- erintahan daerah tersebut nampak dibutuhkan pendekatan yang tepat. Pendekatan yang digunakan meliputi (1) intervensi strategis, (2) institution building, (3) aksi langsung, dan belajar melalui aksi tersebut, dan (4) perbaikan berkesinambungan.

lntervensi strategis merupakan pendekatan yang memusatkan perhatian pada intervensi titik-titik strategis, yang menentukan nasib suatu lembaga pemerintahan atau daerah. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, perhatian hendaknya diberikan kepada titik yang paling strategis sebagaimana diungkapkan sebagai dimensi-dimensi pengembangan, dan kepada bidang-bidang strategis yang ditetapkan dalam Renstra.

Pendekatan institution building diarahkan kepada mengubah cara berpikir, sikap dan kebiasaan lama yang telah berurat akar dan Pendekatan institution building diarahkan kepada mengubah cara berpikir, sikap dan kebiasaan lama yang telah berurat akar dan