KARAKTERISTIK EKOLOGI DAN KESEHATAN HUTAN MANGROVE DI PULAU TANAKEKE SULAWESI SELATAN (Ecological Characteristic and Health of Mangrove Forest at Tanakeke Island South Sulawesi)

KARAKTERISTIK EKOLOGI DAN KESEHATAN HUTAN MANGROVE DI PULAU TANAKEKE SULAWESI SELATAN

(Ecological Characteristic and Health of Mangrove Forest at Tanakeke Island

South Sulawesi)

Heru Setiawan,  dan Mursidin Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 16. Kode Pos 90243 Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia Telp. +62 411554049; Faks. +62 411554058

Article Info

ABSTRAK

Article History:

Hutan mangrove di Pulau Tanakeke memiliki peranan yang penting, baik dari segi ekologi Received 23 May

maupun ekonomi. Tingginya tekanan terhadap hutan mangrove menyebabkan terjadinya 2017; received in

degradasi mangrove di kawasan ini. Pengetahuan mengenai kondisi ekologi dan kesehatan revised form 10

hutan mangrove sangat penting sebagai dasar pertimbangan dalam pengelolaan ekosistem January 2018;

mangrove di Pulau Tanakeke. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik ekologi dan accepted 01 March

tingkat kesehatan hutan mangrove di Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi 2018.

Selatan. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Pengambilan data dilakukan Available online

menggunakan metode field survey dengan membuat plot pengamatan ukuran 10 m x 10 m. since 27 March

Posisi plot pengamatan ditentukan secara purposive tersebar merata di semua sisi pulau. Hasil 2018 penelitian menunjukkan, komposisi jenis penyusun hutan mangrove di Pulau Tanakeke terdiri atas 11 jenis dan 8 suku. Indeks diversitas Shannon-Wiener pada tingkat pohon 2,01, pancang 1,88 dan semai 1,18. Hasil analisis Indeks Nilai Penting (INP) menunjukkan hutan mangrove di

Kata kunci:

Pulau Tanakeke didominasi oleh Rhizophora stylosa dengan nilai INP tertinggi pada semua Pulau Tanakeke

tingkatan pertumbuhan, yaitu pohon 115,31, pancang 172,11, dan semai 108,89. Struktur Ekologi mangrove

tegakan hutan mangrove di Pulau Tanakeke secara umum berbentuk huruf “J” terbalik yang Kesehatan hutan

artinya struktur tegakan hutan tergolong normal karena regenerasi tanaman berjalan baik. Tingkat kerapatan untuk fase pertumbuhan pohon adalah 706 ind/ha, pancang 4.824 ind/ha, dan semai 23.382 ind/ha. Secara umum, tingkat kesehatan hutan mangrove di Pulau Tanakeke termasuk dalam kategori rendah sampai sedang.

Keywords:

ABSTRACT

Tanakeke Island Mangrove ecology

Mangrove forest at Tanakeke Island has important roles both for ecology and economy. High Forest health

pressure on mangrove caused mangrove degradation in the island. Knowledge of ecological conditions and health of mangrove forest are essential for mangrove ecosystem management at the island. The study aims to determine ecological characteristics and health status of mangrove forest at Tanakeke Island, Takalar District, South Sulawesi. This study employed quantitative methods using field survey with observations using plots of 10 m x 10 m. Observation plots were located evenly all over the island. Results showed mangrove forests at Tanakeke Island consist of 11 species belong to 8 families. Shannon-Wiener diversity index reached 2.01, 1.88, and 1.18 for tree, sapling, and seedling, respectively. Importance Value Index reached 115.31, 172.11, and 108.89 for tree, sapling, and seedling, respectively, and dominated by Rhizophora stylosa at all growth levels. Structure of mangrove forest stands resembles the letter "J" inverted, which means the structure of forest stands were quite normal as a result of the good process of plant regeneration. The density reached 706 ind/ha, 4,824 ind/ha, and 23,382 ind/ha for tree, sapling, and seedling, respectively. In general, mangrove forest health levels at Tanakeke Island were categorized in low to moderate levels.

 Corresponding author. Tel.: +62 81390623630

E-mail address: hiero_81@yahoo.com (H. Setiawan)

Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

Vol. 7 No.1, Maret 2018: 47 - 58

I. PENDAHULUAN

menyediakan kebutuhan makanan bagi ikan, Indonesia, sebagai negara beriklim tropis dan

udang dan kepiting sehingga biota tersebut dapat merupakan negara kepulauan dengan lebih dari

tumbuh dan berkembang dengan baik pada 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik, 2015 ), serta

ekosistem mangrove (Noor et al., 2012 ). panjang garis pantai sekitar 81.000 km (Lasabuda,

Masyarakat secara tidak langsung mendapatkan 2013 ), merupakan kawasan yang potensial bagi

manfaat ekonomi dengan menangkap biota tumbuh dan berkembangnya vegetasi mangrove.

tersebut yang jumlahnya melimpah di sekitar Hutan mangrove di Indonesia tersebar hampir di

hutan mangrove. Secara langsung, masyarakat seluruh wilayah pesisir, mulai dari Sumatera, Jawa,

Pulau Tanakeke memanfaatkan hutan mangrove Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua. Luasnya

untuk berbagai kepentingan, diantaranya untuk sangat bervariasi, tergantung pada kondisi biofisik

kayu bakar, bahan baku arang, tiang penyangga pantai, kondisi substrat, kondisi hidrologi, pola

pertanian rumput laut, dan bahan angin, dan iklim mikro yang terdapat di

pada

pembuatan alat tangkap ikan tradisional (paropo) pulau-pulau tersebut.

Mangrove merupakan

(Setiawan et al., 2017 ).

formasi tumbuhan yang habitatnya dipengaruhi

berkembangnya populasi oleh pasang surut air laut. Menurut Jones et al.

Semakin

masyarakat dan tingginya tingkat ketergantungan ( 2014 ), vegetasi mangrove tersebar di 120 negara

masyarakat pada hutan mangrove menyebabkan di dunia yang berada di antara garis lintang 30°N

terjadinya deforestasi mangrove di kawasan ini. dan 30°S. Indonesia merupakan negara dengan

Deforestasi tersebut terjadi karena penebangan sebaran vegetasi mangrove terluas di dunia

mangrove yang dilakukan masyarakat untuk dengan luas mencapai 3.112.989 ha atau 22,6%

memenuhi kebutuhan kayu bakar dan bahan baku dari luasan mangrove di dunia (Giri et al., 2011 ).

industri arang lokal. Pada tahun 1970-an luas Dengan potensinya yang sangat besar tersebut,

mangrove di Pulau Tanakeke mencapai 2.500 ha, mangrove mempunyai peran yang sangat vital

kemudian pada periode 1990-an turun menjadi dalam pembangunan sosial ekonomi masyarakat

1.300 ha (Akbar, 2014 ). Deforestasi hutan pesisir (Anwar & Gunawan, 2007 ). Beberapa

mangrove ini tidak hanya terjadi di Pulau peranan mangrove dalam meningkatkan sosial

Tanakeke. Secara global, dalam kurun waktu 40 ekonomi diantaranya adalah penghasil kayu bakar

tahun terakhir, tutupan lahan mangrove di seluruh dan arang, daerah berkembangnya ikan, udang

dunia berkurang lebih dari setengahnya (Beys-da- dan kepiting, pelindung tambak dari abrasi, dan

Silva et al., 2014 ). Rata-rata laju deforestasi yang sarana ekowisata.

terjadi pada hutan mangrove empat kali lebih Salah satu kawasan ekosistem mangrove

besar daripada laju deforestasi pada hutan hujan terluas di Provinsi Sulawesi Selatan berada di

tropis (Blanco et al., 2012 ). Penyusutan luas hutan Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar dengan luas

mangrove yang sangat cepat ini disebabkan mencapai 951,11 ha (Akbar, 2014 ). Ekosistem

meningkatnya populasi penduduk di wilayah mangrove di Pulau Tanakeke mempunyai peranan

pesisir, perubahan iklim, alih fungsi lahan untuk yang sangat penting, baik dari aspek fisik, ekologi

kegiatan pembangunan wilayah pantai, serta maupun ekonomi. Pada aspek fisik, salah satu

kegiatan pertanian dan perikanan (Ushakiranmai peran utama ekosistem mangrove di kawasan ini

& Rajasekhar, 2015 ).

adalah sebagai pelindung dari abrasi, rob, Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan gelombang pasang, dan angin kencang. Bengen

mangrove di Pulau Tanakeke telah mengakibatkan ( 2004 ) menyatakan bahwa hutan mangrove

berbagai dampak, salah satunya adalah terjadinya setidaknya memiliki tiga fungsi ekologis. Pertama,

banjir air pasang dengan frekuensinya semakin sebagai peredam gelombang dan angin badai,

sering yang menggenangi permukiman dan pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan

menyebabkan kerusakan pada tanggul tambak. perangkap sedimen yang di angkut oleh aliran air

Hal ini menyebabkan pendapatan nelayan tambak permukaan. Kedua, sebagai penghasil sejumlah

menjadi menurun (Setiawan & Larasati, 2016 ). detritus, terutama yang berasal dari daun dan

Dampak yang paling dikhawatirkan adalah dahan pohon mangrove yang rontok, yang dapat

terancamnya keragaman kehidupan biota dan dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para

sumber plasma nutfah karena tenggelamnya pulau. pemakan detritus, dan sebagian lagi diuraikan

Pulau Tanakeke yang mempunyai luasan 43,12 secara bakterial menjadi mineral-mineral hara

km 2 dikategorikan sebagai pulau kecil (Setiawan, yang berperan dalam penyuburan perairan. Ketiga,

2016 ) mengakibatkan kawasan ini sangat rentan sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah

tenggelam karena naiknya tinggi muka air laut mencari makan (feeding ground) dan daerah

akibat terjadinya perubahan iklim. Tenggelamnya pemijahan (spawning ground) bermacam biota

pulau karena degradasi mangrove antara lain perairan (ikan, udang dan kerang-kerang) baik

terjadi di Pulau Tapak Kuda yang terletak di Pantai yang hidup di perairan pantai maupun lepas

Timur Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera pantai. Lebih lanjut, ekosistem mangrove mampu

Utara (Onrizal & Kusmana, 2008 ). Konversi hutan

Karakteristik Ekologi dan Kesehatan Hutan Mangrove di Pulau Tanakeke Sulawesi Selatan Heru Setiawan dan Mursidin

Gambar 1. Lokasi penelitian di Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan.

Figure 1. Research location at Tanakeke Island, Takalar Regency, South Sulawesi Province.

mangrove untuk lahan pertambakan di Kecamatan

II. METODE PENELITIAN

Sayung, Kabupaten Demak menyebabkan hutan mangrove mengalami degradasi yang berdampak

A. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus - pada hilangnya permukiman masyarakat akibat November 2016 di Pulau Tanakeke, Kecamatan abrasi. Dampak negatif lainnya antara lain

terjadinya genang pasang yang dipengaruhi oleh Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan (Gambar 1 ). Pulau ini terletak di

meningkatnya intensitas erosi pantai, rusaknya sisi barat daya daratan Provinsi Sulawesi Selatan pantai akibat hantaman gelombang laut, tidak ada dan berhadapan langsung dengan perairan Selat lagi ekosistem yang menahan laju erosi, dan tidak

ada lagi habitat untuk ikan-ikan kecil yang Makassar. Secara geografis, pulau ini terletak pada biasanya digunakan sebagai aset para nelayan

119° 14’ 22” – 119° 20’ 29” BT dan 5° 26’ 43” – 5° (Setyowati, 2010 ).

32’ 34” LS. Secara administratif, Pulau Tanakeke terdiri dari lima desa, yaitu Desa Maccini Baji,

Salah satu penyebab utama dari terjadinya degradasi

Desa Balandatu, Desa Tompotana, Desa Rewatayya dan Desa Mattiro Baji.

tersebut adalah pemanfaatan mangrove yang tidak didasarkan pada kondisi ekologi atau daya dukungnya dan tidak adanya penilaian kesehatan

B. Bahan dan Alat Penelitian

hutan mangrove yang dilakukan secara periodik Pada penelitian ini, obyek penelitian yang digunakan adalah hamparan hutan mangrove

pada suatu kawasan. Penelitian ini bertujuan yang berada di Pulau Tanakeke. Bahan penelitian untuk mengetahui karakteristik ekologi dan

mengetahui kondisi

diantaranya adalah peta tematik Pulau Tanakeke mangrove di Pulau Tanakeke, Provinsi Sulawesi

yang diperoleh dari beberapa instansi di Kabupaten Takalar dan data citra satelit landsat 8,

Selatan. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dasar dan pertimbangan bagi pemegang

path 114, row 64 dengan resolusi spasial 30 m kebijakan dan pengelola dalam merancang

yang didapatkan dengan mendownload langsung dari USGS. Alat yang digunakan antara lain Global

pengelolaan mangrove di Pulau Tanakeke agar Navigation Satellite System (GNSS), pH meter, dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat

secara lestari dan berkelanjutan. salinometer, thermometer, galah berskala, kamera, kompas, hand counter, tali, rol meter, meteran

Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

Vol. 7 No.1, Maret 2018: 47 - 58

kecil, pisau, tally sheet, label, buku panduan yaitu Desa Maccini Baji (4 plot), Desa Balandatu (5 identifikasi jenis mangrove, dan alat tulis. Alat

plot), Desa Tompotana (2 plot), Desa Rewatayya pendukung

(3 plot), dan Desa Mattiro Baji (3 plot). Pada pengolahan

yang digunakan

dalam proses

setiap subpetak semai dilakukan identifikasi jenis komputer dengan perangkat lunak Microsoft

data diantaranya

seperangkat

dan dicatat jumlah setiap jenisnya, sedangkan Office 2007 (Word, Excel) dan ArcGIS 10.1.

pada setiap subpetak pancang dan pohon dilakukan identifikasi jenis serta diukur diameter

C. Rancangan Penelitian

setinggi dada dan tingginya. Selain pengukuran Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data

dan identifikasi jenis vegetasi, juga dilakukan yang dikumpulkan, yaitu data primer dan data

pengukuran beberapa parameter lingkungan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh

seperti tingkat keasaman air, kadar garam, dan dengan melakukan pengukuran dan pengamatan

ketebalan substrat.

langsung di lapangan seperti data dimensi vegetasi, komposisi jenis, dan kerapatan vegetasi.

D. Analisis Data

Data sekunder berasal studi pustaka yang

pengukuran dianalisis bersumber dari laporan maupun sumber lain yang

Data

hasil

vegetasi untuk berkaitan dengan topik penelitian, seperti peta

menggunakan

analisis

mendapatkan Indeks Nilai Penting (INP). Indeks tematik dan citra satelit.

ini digunakan untuk mengetahui jenis pohon Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan

dominan di setiap tingkat permudaan sehingga menggunakan metode kuadrat, yaitu membuat

dapat diketahui kedudukan ekologisnya dalam petak pengamatan

sebuah komunitas. Menurut Odum ( 1993 ), INP purposive sampling yang tersebar merata pada

yang diletakkan

cara menghitung nilai

Kerapatan Jenis (K), Kerapatan Relatif (KR), yang diamati meliputi tingkat pohon (diameter

semua sisi pulau (Gambar 2 ). Tingkatan vegetasi

frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi batang lebih besar atau sama dengan 10 cm),

(D), Dominansi Relatif (DR). pancang (diameter batang lebih kecil dari 10 cm dan tinggi lebih dari 1,5 cm), dan semai (anakan

1. Indeksi Nilai Penting

dengan tinggi kurang dari 1,5 cm) (Ezwardi, 2009 ).

a. Kerapatan Jenis (K) (ind/ha) Petak pengamatan dibuat dengan ukuran 10 m x

𝐾= Ʃ Individu suatu jenis

10 m untuk tingkat pohon, di dalam setiap petak 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑃𝑙𝑜𝑡 secara nested sampling dibuat subpetak dengan

b. Kerapatan Relatif (KR) (%) x 2 m untuk tingkat semai (Kaunang & Kimbal,

ukuran 5 m x 5 m untuk tingkat pancang, dan 2 m

c. Frekuensi Jenis (F)

𝐹= Ʃ Plot ditemukan suatu jenis

d. Frekuensi Relatif (FR) (%)

e. Luas Bidang Dasar (LBDS)

Dimana: л adalah konstanta (3,14)

d adalah diameter pohon

f. Dominansi Jenis (D) (m 2 /ha) Gambar 2. Desain plot pengamatan

Ʃ LBDS suatu jenis (6) Figure 2. Plot design

g. Dominansi Relatif (DR) (%) pertimbangan keragaman jenis, kerapatan, dan

Penempatan lokasi plot dilakukan dengan

(7) perbedaan kondisi

demikian diharapkan vegetasi yang dijadikan

h. Indeks Nilai Penting (INP) di Pulau Tanakeke. Secara keseluruhan terdapat

sampel dapat mewakili komposisi jenis mangrove

17 plot pengamatan yang tersebar di lima desa

Karakteristik Ekologi dan Kesehatan Hutan Mangrove di Pulau Tanakeke Sulawesi Selatan Heru Setiawan dan Mursidin

INP pohon dan pancang merupakan hasil Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 tahun 2004 penjumlahan dari ketiga parameter, yaitu

dan Kaunang & Kimbal ( 2009 ). Berdasarkan kerapatan relatif, frekuensi relatif, dan

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup dominansi relatif. Khusus untuk vegetasi

Nomor 201 tahun 2004 tentang kriteria baku tingkat semai, indeks nilai penting diperoleh

kerusakan mangrove, hutan mangrove dengan dengan cara menjumlahkan nilai kerapatan

kriteria baik (sangat padat) adalah yang relatif dengan frekuensi relatif (Pangestu,

mempunyai tingkat kerapatan ≥1.500 pohon/ha, 2015 ).

kriteria baik (sedang) dengan kerapatan pohon 1.000-1.500 pohon/ha, dan yang termasuk dalam

2. Indeks keanekaragaman jenis (H') kategori rusak (jarang) dengan kerapatan pohon Analisis keanekaragaman jenis dihitung

<1.000 pohon/ha. Menurut Kaunang & Kimbal menggunakan rumus keanekaragaman jenis

( 2009 ), penentuan tingkat degradasi hutan Shannon-Wiener (Magurran, 1988 ) sebagai

mangrove disajikan pada Tabel 1 . berikut:

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Struktur dan Komposisi Jenis

Simbol H’

menyatakan

indeks

di Pulau Tanakeke keanekaragaman Shannon-Wiener, N adalah

Hutan

mangrove

total jumlah individu semua jenis yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam ditemukan, ni adalah jumlah individu spesies

menjaga kestabilan ekosistem yang ada di dalamnya.

mangrove yang tumbuh ke-i, dan S adalah total jumlah spesies

Hutan

pantai Pulau Tanakeke ditemukan. berfungsi dalam menjaga pulau dari abrasi, banjir

mengelilingi

garis

3. Indeks kekayaan jenis (D) rob akibat gelombang pasang, dan angin kencang. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh

Untuk mengetahui besarnya kekayaan jenis tumbuhan

besar (90%) hutan (Magurran, 1988 ) sebagai berikut:

mangrove di Pulau Tanakeke adalah hutan 𝑆−1

mangrove

sekunder

hasil dari kegiatan

D=

𝐿𝑛 𝑁 (10) penanaman, sedangkan sisanya adalah hutan mangrove yang tumbuh secara alami. Kondisi

Simbol D menyatakan indeks kekayaan jenis, tekstur tanah di bawah tegakan mangrove N adalah total jumlah individu dari semua termasuk dalam kelompok lempung berpasir jenis yang ditemukan, S adalah jumlah total dengan ketebalan berkisar antara 30 cm sampai semua spesies yang ditemukan. dengan 140 cm. Tingkat salinitas air di bawah

4. tegakan mangrove berkisar 31‰ sampai dengan

Indeks kemerataan jenis (E) Indeks kemerataan jenis (E) dihitung

33‰, sedangkan kadar keasaman (pH) rata-rata adalah 7,07 yang berada pada kisaran harkat

menggunakan rumus menurut Santosa et al.

netral.

( 2008 ) sebagai berikut: 𝐻′ Hasil penelitian menunjukkan terdapat 11

D=

𝐿𝑛 𝑆 jenis vegetasi penyusun hutan mangrove yang termasuk kedalam 8 suku di Pulau Tanakeke.

Simbol E menyatakan indeks kemerataan Sebelas jenis tersebut adalah Avicennia alba, jeni s, H’ adalah indeks keanekaragaman jenis dan

Bruguiera gymnorrhiza, Excoecaria agallocha, S adalah jumlah total semua spesies yang

Heritiera littoralis, ditemukan. Penilaian tingkat kesehatan mangrove

Gymnanthera

paludosa,

Pemphis acidula, mengunakan dua acuan, yaitu Keputusan Menteri

Lumnitzera

racemosa,

Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata,

Tabel 1. Penentuan tingkat kerawanan degradasi ekosistem hutan mangrove Table 1. Determination of mangrove forest ecosystem vulnerability degradation level

Tingkat kerawanan degradasi (The level of degradation vulnerability) Parameter (Parameters)

Rawan rendah

Rawan sedang

Rawan tinggi

(Low vulnerability)

(Medium vulnerability)

(High vulnerability)

Kerapatan vegetasi (Vegetation density)

<750 - Fase pancang (Sapling)

- Fase pohon (Tree)

750-1.500

<750 - Fase semai (Seedling)

750-2.500

<1.000 Indeks biodiversitas

1.000-5.000

<1 (Biodiversity index) Sumber (Source): Kaunang & Kimbal (2009)

1-3

Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

Vol. 7 No.1, Maret 2018: 47 - 58

Rhizophora stylosa,

umumnya dicirikan oleh jumlah sebarannya Berdasarkan tingkat permudaannya, jenis-jenis

menyerupai huruf “J” terbalik. Secara umum yang dijumpai berada pada tingkat semai,

struktur tegakan hutan di lokasi penelitian pancang, dan tingkat pohon. Untuk tingkat semai

karakteristik yang demikian, tercatat sebanyak 10 jenis, pancang sebanyak 11

menunjukkan

sehingga dapat dikatakan hutan tersebut masih jenis dan pohon sebanyak 9 jenis. Jumlah jenis

normal. Hasil ini sama dengan penelitian lain yang vegetasi penyusun hutan mangrove di Pulau

dilakukan di Kabupaten Rembang (Wicaksono, Tanakeke ini lebih tinggi daripada komposisi jenis

2014 ) dan Taman Nasional Alas Purwo (Heriyanto vegetasi mangrove di Pulau Parang, Kepulauan

& Subiandono, 2012 ). Nilai korelasi (R) antara Karimunjawa (Hartoko et al., 2013 ) maupun

kelas diameter dan kerapatan pohon adalah Pulau Dudepo Kabupaten Gorontalo Utara (Usman

0,7513. Nilai korelasi yang lebih dari 0,75 et al., 2013 ) yang masing-masing hanya memiliki

menunjukkan terdapat korelasi dengan derajat empat dan lima jenis mangrove.

“Sangat Kuat” antara variabel kelas diameter Struktur tegakan berkaitan erat dengan

dengan tingkat kerapatan pohon. penguasaan tempat tumbuh yang dipengaruhi

Pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa, oleh

struktur tegakan pada kelas pertumbuhan ketersediaan air tanah dan hara mineral bagi

besarnya energi

cahaya

matahari,

pancang menunjukkan hasil yang tidak jauh pertumbuhan

berbeda dengan kelas pertumbuhan pohon. keseluruhan

Tingkat kerapatan pada kelas pertumbuhan pertumbuhan pohon

pancang menunjukkan kecenderungan semakin antara banyaknya pohon dengan kelas diameter

menyatakan hubungan

rendah seiring dengan semakin tingginya tingkat dalam plot penelitian. Sebaran pohon dengan

diameter. Hasil ini menunjukkan kecenderungan kelas diameter 10 < X ≤15 cm, 15 < X ≤20 cm, 20 <

yang sama dengan yang terjadi pada tingkat

X ≤25 cm dan diameter 25 < X ≤30 cm di lokasi pertumbuhan pohon. Nilai korelasi (R) antara

penelitian disajikan pada Gambar 3 .

tingkat kerapatan

menunjukkan lebih dari 0,75 (0,8229) yang bahwa, struktur tegakan hutan di lokasi penelitian

Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui

berarti terdapat korelasi dengan derajat “Sangat menunjukkan jumlah pohon yang semakin

Kuat” antara variabel kelas diameter dengan berkurang dari kelas diameter kecil ke kelas

tingkat kerapatan pancang. Struktur tegakan diameter besar, sehingga bentuk kurva pada

mangrove di Pulau Tanakeke dilihat dari pola

y = -29,68x + 767,1

Nilai Tengah Diameter (cm)

Keterangan (Remarks):

: Data hasil pengamatan (Observation data) : Persamaan garis lurus (Linear equation line) : Kurva kecenderungan eksponensial (Exponential curve)

Gambar 3. Sebaran kerapatan pohon per kelas diameter untuk semua jenis mangrove di Pulau Tanakeke. Figure 3. Distribution of tree density based on diameter class for all mangrove species in Tanakeke Island.

Karakteristik Ekologi dan Kesehatan Hutan Mangrove di Pulau Tanakeke Sulawesi Selatan Heru Setiawan dan Mursidin

y = -215,29x + 2497,6

a p 1.000

Nilai Tengah Diameter

Keterangan (Remark):

: Data hasil pengamatan (Observation data) : Persamaan garis lurus (Linear equation line) : Kurva kecenderungan eksponensial (Exponential curve)

Gambar 4. Sebaran kerapatan pancang per kelas diameter untuk semua jenis mangrove di Pulau Tanakeke. Figure 4. Distribution of sapling density based on diameter class for all mangrove species in Tanakeke Island.

hubungan antara kelas pertumbuhan dengan Penilaian kondisi ekologi dalam suatu tingkat kerapatan dapat dijadikan sebagai salah

komunitas tegakan hutan merupakan salah satu satu indikator keberhasilan regenerasi tegakan

cara untuk mengetahui gambaran umum kondisi mangrove.

tegakan pada suatu kawasan hutan. Beberapa Berdasarkan pola yang tergambar dalam

parameter yang digunakan untuk menilai kondisi

ekologi hutan mangrove di Pulau Tanakeke regenerasi tegakan mangrove di Pulau Tanakeke

grafik tersebut (Gambar 5 ), menunjukkan tingkat

diantaranya adalah Indeks Nilai Penting (INP), mengikuti garis normal, dimulai dari tingkat

jenis (H'), indeks semai yang menduduki peringkat tertinggi,

indeks

keanekaragaman

kekayaan jenis (D) dan indeks kemerataan jenis kemudian tingkat pancang, dan terendah tingkat

(E). Hasil INP di kawasan hutan mangrove Pulau pohon. Tingkat kerapatan tertinggi dijumpai pada

Tanakeke disajikan pada Tabel 2 . tingkat pertumbuhan semai dengan tingkat

Hasil analisis data vegetasi di kawasan hutan kerapatan 23.382 ind/ha, pancang 4.824 ind/ha,

mangrove Pulau Tanakeke menunjukkan, nilai INP dan

untuk tingkat semai untuk peringkat lima teratas pertumbuhan

kerapatan terendah

pada

tingkat

adalah Rhizophora stylosa (108,89), Rhizophora kerapatan pohon di kawasan mangrove Pulau

pohon 706

ind/ha.

Tingkat

apiculata (24,55), Bruguiera gymnorrhiza (21,20), tanakeke masih lebih rendah dari rata-rata

Lumnitzera racemosa (9,66), dan Rhizophora kerapatan mangrove di Pulau Mare, Maluku Utara

mucronata (8,60). Nilai INP untuk tingkat yang mencapai 967 ind/ha (Akbar et al., 2016 ),

lima teratas secara walaupun keduanya masih termasuk dalam

pancang

peringkat

berturut-turut adalah Rhizophora stylosa (172,11), kategori tingkat kerapatan rendah. Penebangan

(23,70), Rhizophora pohon mangrove untuk memenuhi kebutuhan

Rhizophora

mucronata

apiculata (23,00), Excoecaria agallocha (18,82), bahan baku industri arang dan kayu bakar

dan Lumnitzera racemosa (16,48). Nilai INP untuk menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat

tingkat pohon peringkat lima teratas secara kerapatan pohon di kawasan mangrove Pulau

berturut-turut adalah Rhizophora stylosa (115,31), Tanakeke. Hasil ini sejalan dengan penelitian di

Rhizophora mucronata (51,70), Sonneratia alba Kabupaten Cilacap oleh Tumisem & Suwarno

(36,00), Excoecaria agallocha (24,79), dan ( 2008 ) yang menyatakan bahwa pengambilan

(23,41). Rhizophora kayu bakar menyebabkan penyusutan luas hutan

Bruguiera gymnorrhiza

stylosa merupakan jenis mangrove dengan nilai mangrove.

pada semua tingkat

Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

Vol. 7 No.1, Maret 2018: 47 - 58

Tingkat Pertumbuhan

Gambar 5. Struktur tegakan mangrove berdasarkan hubungan antara kelas pertumbuhan dengan tingkat kerapatan pohon di Pulau Tanakeke. Figure 5. Mangrove stand structure based on the relation between class growth and tree density level in Tanakeke Island.

Tanakeke termasuk dalam kategori rendah pada Rhizophora

pertumbuhan. Hal ini

menunjukkan

jenis

semua tingkatan pertumbuhan. Pada umumnya mendominasi ekosistem hutan mangrove di Pulau

indeks kekayaan jenis mangrove di kawasan pulau Tanakeke. Kemampuan Rhizophora stylosa dalam

kecil termasuk dalam kategori rendah, seperti menempati sebagian besar ruang pada kawasan

yang terdapat di Pulau Tanakeke, karakteristik tersebut menunjukkan bahwa jenis tersebut

fisik kimia air dan substrat, terutama tingkat memiliki kemampuan beradaptasi dengan kondisi

salinitas yang tinggi merupakan salah satu faktor fisik lingkungan di seluruh areal penelitian.

pembatas yang menyebabkan rendahnya tingkat Muhtadi et al. ( 2016 ) dalam penelitiannya di

kekayaan jenis mangrove di kawasan ini. Pulau Sembilan, Kabupaten Langkat menyatakan

Nilai indeks keanekaragaman jenis (H’) bahwa hasil analisis nilai penting jenis mangrove

tertinggi di kawasan hutan mangrove Pulau menunjukkan

Tanakeke ditemukan pada tingkat pohon (2,01), pengaruh dan peran yang besar dalam komunitas

bahwa

A. marina

memiliki

kemudian tingkat pancang (1,88) dan terendah vegetasi mangrove. Hasil

semai (1,18). Kriteria yang digunakan untuk penyusun mangrove di Pulau Benawa Besar, Teluk

analisis

vegetasi

menginterpretasikan keanekaragaman Shannon- Balikpapan, Kalimantan Timur menyatakan bahwa

Wiener yaitu, jika H’ < 1 menunjukkan tingkat jenis R. mucronata merupakan jenis dominan pada

keanekaragaman yang rendah, H’ = 1-3 setiap tingkatan pertumbuhan (Sayektiningsih et

menunjukkan tingkat keanekaragaman tergolong al., 2012 ).

sedang dan H’ >3 menunjukkan tingkat Indeks kekayaan jenis (D) merupakan salah

keanekaragamannya tergolong tinggi (Magurran, satu metode untuk mengukur kekayaan spesies

1988 ). Dari kriteria di atas menunjukkan bahwa yang digambarkan dari jumlah spesies dalam

tingkat keanekaragaman jenis pada kawasan suatu komunitas. Nilai indeks kekayaan jenis

hutan mangrove Pulau Tanakeke pada tingkatan tertinggi di kawasan hutan mangrove Pulau

pertumbuhan semai dan pancang berada pada Tanakeke ditemukan pada tingkat pancang (1,88),

kategori rendah dan pada tingkat pertumbuhan kemudian tingkat semai (1,78) dan terendah pada

pohon termasuk dalam kategori sedang. Dengan tingkat pohon (1,68). Indikator yang digunakan

kondisi biofisik yang hampir sama, indeks untuk mengetahui kekayaan jenis pada sebuah

keanekaragaman mangrove di Pulau Tanakeke komunitas tumbuh-tumbuhan adalah jika nilai

masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan indeks kekayaan jenis < 3,5 maka kekayaan jenis

indeks keanekaragaman di Pulau Baai, Provinsi rendah, jika nilainya 3,5 < X < 5 maka kekayaan

indeks keanekaragaman jenisnya sedang dan jika nilai indeks > 5 maka

Bengkulu

dengan

pada semua tingkat kekayaan jenisnya tinggi (Magurran, 1988 ).

termasuk

rendah

pertumbuhan, yaitu 0,53 untuk tingkat pohon, Berdasarkan hasil analisis data, tingkat kekayaan

0,92 untuk tingkat pancang, dan 0,82 untuk jenis pada kawasan hutan mangrove di Pulau

tingkat semai (Depari, 2008 ). Hasil penelitian

Karakteristik Ekologi dan Kesehatan Hutan Mangrove di Pulau Tanakeke Sulawesi Selatan Heru Setiawan dan Mursidin

Tabel 2. Nilai INP pada tiap kelas pertumbuhan di kawasan hutan mangrove Pulau Tanakeke Table 2. The value of INP in each growth class at mangrove forest in Tanakeke Island

Spesies (Species) Semai (Seedling)

Pohon (Tree) KR

Pancang (Sapling)

Avicennia alba 1,89

8,00 10,41 23,41 gymnorrhiza Excoecaria

8,00 7,62 24,79 agallocha Gymnanthera

- - - paludosa Lumnitzera

12,00 2,53 20,36 racemosa Pemphis acidula

- - - Rhizophora

8,00 3,01 16,84 apiculata Rhizophora

4,00 22,70 51,70 mucronata Rhizophora stylosa

48,00 28,98 115,31 Sonneratia alba

4,00 22,83 36,00 Heritiera littoralis

Jumlah (Total) 100

Keterangan: KR: kerapatan relatif, FR: frekuensi relatif, DR: dominansi relatif, INP: Indeks Nilai Penting Remarks: KR: relative density, FR: relative frequency, DR: relative dominance, INP: Important Value Index

Ardiansyah et al. ( 2012 ), menyatakan bahwa bahwa kemerataan jenis mangrove di Pulau Keter indeks keanekaragaman di kawasan hutan

Tengah, Kabupaten Bangka termasuk dalam mangrove Pulau Sebatik, Kalimantan Timur

kategori tinggi. Sementara itu, hasil penelitian termasuk dalam kategori sedang. Secara umum,

menyatakan bahwa indeks keanekaragaman mangrove di pulau-pulau kecil

Audia

kemerataan jenis vegetasi mangrove di Pulau mempunyai indeks keanekaragaman yang rendah

Bangka untuk tingkat hingga sedang, hal ini disebabkan tidak adanya

Putri,

Kabupaten

pancang dan pohon zonasi mangrove di pulau kecil karena tingkat

pertumbuhan

semai,

termasuk dalam kategori tinggi, sedangkan di salinitasnya yang tinggi.

Pulau Mengkubung, Kabupaten Bangka, indeks Indeks kemerataan jenis (E) menunjukkan

kemerataan jenis vegetasi mangrove untuk tingkat sebaran masing-masing spesies dalam sebuah

pertumbuhan semai dan pohon termasuk dalam komunitas.

kategori tinggi, dan untuk tingkat pancang kemerataan maka semakin tinggi pula tingkat

dalam kategori sedang. Tingkat sebarannya. Hasil analisis data menunjukkan nilai

termasuk

kemerataan jenis yang tinggi ini disebabkan indeks kemerataan jenis pada kawasan hutan

karena mangrove mempunyai propagul yang mangrove Pulau Tanakeke yang tertinggi pada

relatif besar dan mudah untuk ditancapkan dalam tingkat pertumbuhan pohon (0,780), disusul

tanah sehingga beberapa jenis mangrove dengan kemudian tingkat pertumbuhan pancang (0,612),

ukuran propagul yang lebih kecil dapat terbawa dan terendah pada tingkat pertumbuhan semai

oleh ombak dan menyebar ke berbagai tempat. (0,532). Menurut Magguran ( 1988 ), besaran E < 0,3 menunjukkan kemerataan jenis yang rendah,

B. Penilaian Kesehatan Mangrove

0,3 < E < 0,6 menunjukkan tingkat kemerataan Pulau Tanakeke sebagai salah satu pulau jenis yang sedang dan E > 0,6 menunjukkan

memiliki keterbatasan tingkat kemerataan jenis yang tergolong tinggi.

sumberdaya alam daratan bila dibandingkan Dengan demikian, tingkat kemerataan jenis

dengan pulau besar (kontinental). Beberapa vegetasi mangrove di Pulau Tanakeke termasuk

keterbatasan pulau kecil diantaranya adalah dalam kategori tinggi untuk tingkat pohon dan

letaknya yang terisolasi, sarana prasarana yang pancang,

terbatas, baik transportasi, pendidikan maupun termasuk dalam kategori sedang. Hasil ini

kesehatan, kondisi kesehatan lingkungan dan menunjukkan bahwa tidak terdapat pemusatan

sanitasi rendah, ketersediaan air bersih sangat individu jenis tertentu pada suatu wilayah

terbatas, kondisi lingkungan perumahan tidak sehingga keseluruhan jenis tersebar merata pada

memenuhi standar kesehatan, dan sumberdaya semua wilayah. Hasil ini sejalan dengan penelitian

lahan yang terbatas. Dengan keterbatasan Ghufrona et al. ( 2015 ) yang menyatakan

tersebut, kecenderungan kemerataan jenis mangrove pada tingkat pohon

sumberdaya

sumberdaya yang dilakukan dan permudaannya di hutan mangrove Pulau

pemanfaatan

masyarakat yang bertujuan untuk memenuhi Sebuku tergolong sedang dan tinggi. Hasil

kebutuhan hidup melalui aktivitas yang tidak penelitian Syahputra et al. ( 2013 ) menyatakan

ramah lingkungan menyebabkan kelangkaan

Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

Vol. 7 No.1, Maret 2018: 47 - 58

sumberdaya di pulau-pulau kecil (Ma’sitasari, 3.540 ind/ha yang termasuk dalam kategori baik 2009 ). Seperti pada umumnya masyarakat pesisir,

atau sangat padat (Muhtadi et al., 2016 ). masyarakat di Pulau Tanakeke mengandalkan

Hasil penilaian tingkat kesehatan mangrove sumberdaya pesisir untuk memenuhi kebutuhan

di Pulau Tanakeke berdasarkan parameter tingkat hidupnya.

kerapatan menurut Kaunang & Kimbal ( 2009 ) menuntut pemanfaatan sumberdaya ekosistem

menunjukkan tingkat kerapatan pohon sebesar pesisir yang meningkat dari tahun ke tahun.

706 ind/ha termasuk dalam kategori kerawanan Sebagai konsekuensi dari meningkatnya aktivitas

degradasi tingkat tinggi (< 750 ind/ha); kerapatan pemanfaatan sumberdaya tersebut, maka semakin

pancang 4.824 ind/ha termasuk dalam kategori meningkat pula potensi ancaman kerusakan

kerawanan degradasi tingkat rendah (> 2.500 ekologi di pulau ini.

ind/ha); dan tingkat kerapatan semai sebesar Ekosistem mangrove sebagai bagian dari

termasuk dalam kategori ekosistem pesisir di Pulau Tanakeke mempunyai

ind/ha

kerawanan degradasi tingkat rendah (> 5.000 potensi ancaman kerusakan ekologi jika tidak

ind/ha). Penilaian tingkat kesehatan mangrove segera dikelola

indeks keanekaragaman mangrove yang tumbuh subur di kawasan ini

dengan baik.

vegetasi menurut Kaunang & Kimbal ( 2009 ), mempunyai peranan yang sangat penting dalam

kesehatan ekosistem menopang kehidupan masyarakat, baik dari sisi

menunjukkan

tingkat

mangrove di Pulau Tanakeke termasuk dalam ekologi maupun ekonomi. Adanya tekanan

kategori sedang. Hal ini dapat dilihat dari nilai terhadap

indeks keanekaragaman vegetasi pada semua menyediakan kebutuhan masyarakat jika tidak

tingkatan pertumbuhan (semai, pancang dan dilakukan

pohon) mempunyai nilai 1 sampai 3 (kategori mengurangi

upaya pelestarian

akan

dapat

sedang). Berdasarkan kedua parameter tersebut, kebutuhan hidup masyarakat. Penilaian terhadap

tingkat kesehatan mangrove di Pulau Tanakeke tingkat kesehatan ekosistem mangrove di Pulau

secara umum berada pada kategori tingkat sedang. Tanakeke merupakan salah satu upaya untuk

Tingkat kesehatan mangrove di Pulau Tanakeke mengantisipasi agar degradasi mangrove di pulau

masih lebih bagus jika dibandingkan dengan ini dapat dikendalikan.

tingkat kesehatan mangrove di Pulau Sebatik yang Hasil

termasuk dalam kategori rendah sampai sedang mangrove di

Pulau Tanakeke berdasarkan dengan nilai indeks keanekaragaman jenis parameter kerapatan vegetasi menurut kriteria

mangrove antara 0,64 sampai 1,55 (Ardiansyah et baku kerusakan mangrove menunjukkan bahwa

al., 2012 ). Tingkat kesehatan hutan mangrove di tingkat kesehatan hutan mangrove di Pulau

Pulau Tanakeke sama dengan kawasan mangrove Tanakeke berada pada tingkat rendah dengan

di Kecamatan Batee, Kota Sigli, dan Kecamatan tingkat kerapatan pohon 706 ind/ha. Berdasarkan

Simpang Tiga, Kabupaten Pidie Provinsi Aceh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup

dengan nilai indeks keanekaragaman pada tingkat Nomor 201 tahun 2004 tentang kriteria baku dan

semai, pancang dan pohon berkisar 1-3 yang pedoman

termasuk dalam kategori sedang (Karnanda et kawasan

hutan mangrove dengan

tingkat

al., 2016 ).

kerapatan pohon di bawah 1.000 ind/ha dikategorikan rusak atau tingkat kesehatan

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

rendah. Walaupun termasuk dalam kategori rendah, regenerasi mangrove di kawasan ini

A. Kesimpulan

masih sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari Kawasan hutan mangrove di Pulau Tanakeke komposisi kerapatan semai yang lebih tinggi dari

memiliki 11 jenis mangrove yang didominasi oleh pancang dan pohon. Pada aspek kerapatan dan

Rhizophora stylosa dengan INP tertinggi pada regenerasinya, hutan mangrove di Pulau Tanakeke

semua tingkatan pertumbuhan, yaitu semai lebih bagus daripada hutan mangrove di pesisir

108,89, pancang 172,11 dan pohon 115,31. pantai timur Sumatera Utara yang regenerasinya

Struktur hutan mangrove membentuk tegakan tidak sempurna karena tidak ditemukan kelas

normal yang dicirikan dengan menurunnya pertumbuhan pohon (Onrizal & Kusmana, 2008 )

seiring dengan semakin maupun di pesisir Kecamatan Sungai Raya

tingkat kerapatan

diameter. Indeks Kepulauan Kabupaten Bengkayang, Kalimantan

meningkatnya

kelas

keanekaragaman vegetasi mangrove pada semua Barat yang tergolong dalam kategori rusak berat

tingkatan berada pada tingkat sedang sedangkan (Nurrahman et al., 2012 ). Namun demikian,

indeks kekayaan jenis berada pada tingkat rendah. kondisi hutan mangrove di Pulau Tanakeke lebih

Tingkat sebaran mangrove di Pulau Tanakeke rendah dibandingkan dengan Pulau Sembilan

termasuk dalam kategori merata di seluruh sisi yang memiliki tingkat kerapatan berkisar antara

pulau. Tingkat kerapatan pada kelas pertumbuhan 333 – 5.935 ind/ha, dengan rata-rata kerapatan

semai adalah 23.382 ind/ha, pancang 4.824

Karakteristik Ekologi dan Kesehatan Hutan Mangrove di Pulau Tanakeke Sulawesi Selatan Heru Setiawan dan Mursidin

ind/ha dan pohon 706 ind/ha. Tingkat kesehatan Tidore Kepulauan, Maluku Utara, Indonesia mangrove dinilai berdasarkan parameter tingkat

Community structure of mangrove in Mare Island, kerapatan

Island of Tidore City, North Moluccas, Indonesia. keanekaragaman jenis. Secara umum, tingkat

5(3), 133 –142. kesehatan hutan mangrove di Pulau Tanakeke http://doi.org/10.13170/depik.5.3.5578

termasuk dalam kategori sedang. Anwar, C., & Gunawan, H. (2007). Peranan ekologis dan

sosial

ekonomis

hutan mangrove dalam

B. Saran

mendukung pembangunan wilayah pesisir. In Pada

Ekspose Hasil- hasil Penelitian : Konservasi dan kesehatan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan (pp. 23 hutan mangrove hanya dinilai –34).

berdasarkan parameter tingkat kerapatan pohon Ardiansyah, W. I., Pribadi, R., & Soenardjo, N. (2012). dan indeks keanekaragaman jenis. Perlunya

Struktur dan komposisi vegetasi mangrove di penelitian lebih lanjut dengan menambahkan

kawasan pesisir Pulau Sebatik, Kabupaten parameter

Nunukan, Kalimantan Timur. Journal of Marine keanekaragaman fauna aquatik yang berada di Research, 1(2), 203 –215.

lain seperti

kelimpahan

dan

bawah tegakan mangrove dan keanekaragaman Audia, S. (2017). Komposisi jenis dan struktur vegetasi burung sebagai indikator biologi. Berdasarkan

hutan mangrove di Pulau Putri dan Pulau hasil penelitian, saran bagi pemangku kebijakan,

Kabupaten Bangka. Institut baik ditingkat lokal maupun pusat, hasil penilaian

Mengkubung,

Pertanian Bogor.

kesehatan mangrove

Badan Pusat Statistik. (2015). Statistik Indonesia 2015. menunjukkan kerapatan pohon yang termasuk

Jakarta: Badan Pusat Statistik. dalam kategori rendah perlu ditindak lanjuti

Bengen, D. G. (2004). Pedoman Teknis Pengenalan dan dengan adanya kegiatan pendampingan kepada

Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Bogor: Pusat masyarakat untuk tidak melakukan penebangan

Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut pohon mangrove. Penebangan pohon mangrove di

Pertanian Bogor.

kawasan ini dilakukan

masyarakat

untuk

memenuhi permintaan industri arang dan kayu Beys-da-Silva, W. O., Santi, L., & Guimarães, J. A. (2014).

A Threatened Ecosystem bakar. Dengan luasnya kawasan mangrove di

Mangroves:

Under-Utilized as a Resource for Scientific Pulau

Research. Journal of Sustainable Development, 7(5), mangrove dalam menjaga kestabilan ekosistem

Tanakeke dan

pentingnya

peranan

40 –51. http://doi.org/10.5539/jsd.v7n5p40 mangrove, diperlukan kebijakan untuk mengelola

kawasan Blanco, J. F., Estrada, E. a., Ortiz, L. F., & Urrego, L. E. mangrove menjadi sebuah area (2012). Ecosystem-Wide Impacts of Deforestation

sanctuary atau area perlindungan. Dengan in Mangroves: The Urabá Gulf (Colombian terbentuknya

Caribbean) Case Study. ISRN Ecology, 2012, 1 –14. tersebut, diharapkan ekosistem mangrove di

http://doi.org/10.5402/2012/958709 Pulau Tanakeke dapat dijaga secara lestari dan

Depari, E. K. (2008). Struktur dan komposisi vegetasi memberikan manfaat secara berkelanjutan.

mangrove di hutan mangrove Pulau Baai Bengkulu. Agriculture, 12(2), 394 –401.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih disampaikan kepada Balai Ezwardi, I. (2009). Struktur Vegetasi dan Mintakat Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup

Hutan Mangrove di Kuala Bayeun Kabupaten Aceh Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

dan Kehutanan Makassar yang telah memberikan

Institut Pertanian Bogor.

dukungan dana sehingga kegiatan penelitian ini dapat terwujud. Ucapan terima kasih juga kami

Ghufrona, R. R., Kusmana, C., & Rusdiana, O. (2015). sampaikan kepada masyarakat Pulau Tanakeke,

Komposisi jenis dan struktur hutan mangrove di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan. tokoh masyarakat, dan pihak-pihak yang telah Jurnal membantu selama kami melaksanakan kegiatan Silvikultur Tropika, 6(1), 15 –26.

penelitian. Tidak lupa kami sampaikan ucapan Giri, C., Ochieng, E., Tieszen, L. L., Zhu, Z., Singh, A., terima kasih kepada Ibu Halidah, Rini Purwanti,

Loveland, T., … Duke, N. (2011). Status and dan Arman Hermawan yang telah membantu

distribution of mangrove forests of the world dalam kegiatan pengambilan data di lapangan.

using earth. Global Ecology and Biogeography, 20, 154 –159. http://doi.org/10.1111/j.1466-8238.2010.00584.

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, M. (2014). Geospatial Modeling of Vegetation Cover Changes on A Small Island - Case Study:

Hartoko, A., Suryanti, & Febrianti, D. A. (2013). Tanakeke Island, Takalar District, South Sulawesi.

Biomassa karbon vegetasi mangrove melalui Bogor Agricultural University.

analisa data lapangan dan Citra Satelit Geoeye di Pulau Parang, Kepulauan Karimunjawa. Journal of

Akbar, N., Baksir, A., Tahir, I., & Arafat, D. (2016). Management of Aquatic Resources, 2(2), 9 –18. Struktur komunitas mangrove di Pulau Mare, Kota

Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea

Vol. 7 No.1, Maret 2018: 47 - 58

Heriyanto, N. M., & Subiandono, E. (2012). Komposisi Mangrove Desa Sayoang, Halmahera Selatan. dan struktur tegakan, biomasa, dan potensi

Institut Pertanian Bogor.

kandungan karbon hutan mangrove di Taman Nasional Alas Purwo. Jurnal Penelitian Hutan Dan

Santosa, Y., Ramadhan, eko prastio, & Rahman, dede Konservasi Alam, 9(1), 23

–32. aulia. (2008). Studi keanekaragaman mamalia pada beberapa tipe habitat di stasiun penelitian Jones, T. G., Ratsimba, H. R., Ravaoarinorotsihoarana, L.,

Pondok Ambung Taman Nasional Tanjung Puting Cripps, G., & Bey, A. (2014). Ecological segregation

Kalimantan Tengah. Media Konservasi, 13(3), 1 –7. of

iguanodontian dinosaurs of the morrison Sayektiningsih, T., Ma’ruf, A., & Atmoko, T. (2012).

the late jurassic

stegosaurian

and

formation in north america: Pronounced or subtle? Struktur dan Komposisi Vegetasi Hutan Mangrove Forests,

–205. di Pulau Benawa Besar, Teluk Balikpapan, http://doi.org/10.3390/f5010177

177

In Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian BPTKSDA Samboja (pp. 115 – Karnanda, M., Muchlisin, Z. A., & Sarong, M. A. (2016).

Struktur komunitas mangrove dan strategi pengelolaannya di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh,

Setiawan, H. (2016). Strategi coping masyarakat pulau Indonesia.

–127. kecil dalam menghadapi dampak perubahan iklim. http://doi.org/10.13170/depik.5.3.5577

In Prosiding Seminar Nasional Geografi UMS 2016, Upaya Pengurangan Risiko Bencana Terkait

Kaunang, T. D., & Kimbal, J. D. (2009). Komposisi dan Perubahan Iklim (pp. 288 –298). Surakarta: struktur vegetasi hutan mangrove di Taman

Muhammadiyah University Press. Nasional Bunaken Sulawesi Utara. Agritek, 17(6), 1163

–1171. Setiawan, H., & Larasati, D. A. (2016). Kontribusi

dalam mendukung Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor:

ekosistem

mangrove

pembangunan wilayah pesisir dan pulau kecil; 201 tahun 2004 tentang kriteria baku dan

Studi kasus di Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar pedoman penentuan kerusakan mangrove.

Sulawesi Selatan. In Prosiding Seminar Nasional Mengawal Pelaksanaan SDGs (pp. 153

Lasabuda, R. (2013). Pembangunan wilayah pesisir dan –162).

Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, lautan dalam perspektif negara kepulauan

Universitas Negeri Surabaya. Republik Indonesia. Jurnal Ilmiah Platax, 1(2), 92 – 101.

Setiawan, H., Purwanti, R., & Garsetiasih, R. (2017).

masyarakat Ma’sitasari. terhadap (2009).

Persepsi dan

sikap

konservasi ekosistem mangrove di Pulau Pemanfaatan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil Untuk Tanakeke. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Budidaya Rumput Laut (Studi Kasus Gugus Pulau

Kehutanan, 14 (1), 57-70. Salabangka,

Sulawesi Tengah). Institut Pertanian Bogor. Setyowati, E. (2010). Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan mangrove di Desa Surodadi

Magurran, A. E. (1988). Ecological Diversity and Its Kecamatan Sayung Kabupaten Demak. Institut Measurement. New Jersey: Princeton University

Pertanian Bogor.

Press. Syahputra, R., Yandri, F., & Koenawan, C. J. (2013).

Muhtadi, A., Siregar, R. H., Leidonald, R., & Harahap, Z. A. Struktur komunitas mangrove di Pulau Keter (2016). Status ekologis mangrove Pulau Sembilan, Tengah Kabupaten Bintan. Universitas Maritim Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.

151 –163.

Raja Ali Haji.

Depik,

5(3),

http://doi.org/10.13170/depik.5.3.5656 Tumisem, & Suwarno. (2008). Degradasi hutan bakau akibat pengambilan kayu bakar oleh indutri kecil

Noor, Y. R., Khazali, M., & Suryadiputra, I. N. N. (2012). gula kelapa di Cilacap. Jurnal Forum Geograf, Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia.

22(2), 159

–168.

Bogor: PHKA/WI-IP.

Ushakiranmai, G., & Rajasekhar, P. S. (2015). A Study on Nurrahman, Y. A., Djunaedi, O. S., & Rostika, R. (2012). habitat loss of mangrove swamps/salt marshes Struktur dan komposisi vegetasi mangrove di

Dokumen yang terkait

PERILAKU DAN PERGERAKAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus Wurmb.) DI SAMBOJA, KALIMANTAN TIMUR (Behavior and Group Movement of Proboscis Monkey’s (Nasalis larvatus Wurmb.) in Samboja, East Kalimantan)

0 0 11

Basic properties and uses of agathis (Agathis hamii M. Dr.) wood from South Sulawesi

0 0 11

Optimal rotation of sengon plantation in afforestation project: Review on research results of Suharlan 1975

0 0 10

Efforts to resolve the problem of forest area conservation on the national park in the island of Sumatra

0 0 12

PENGARUH ASAL POPULASI DAN KLON TERHADAP KERAGAMAN PERTUMBUHAN STEK PUCUK Shorea leprosula Miq (Effect of Population Sources and Clones to Growth Variation of Shorea leprosula Miq Shoot Cuttings)

0 0 10

Diversity and determination of wildlife ‘umbrella species’ in the Gunung Leuser National P

0 0 11

Bird responses to habitat change in the karst area of Bantimurung Bulusaraung National Park

0 0 12

The changes of viability, vigor, and biochemical content of Trema (Trema orientalis Linn. Blume) seeds during storage

0 0 10

RESPON HIDROLOGI AKIBAT PENERAPAN POLA AGROFORESTRI PADA PENGGUNAAN LAHAN YANG TIDAK SESUAI KESESUAIAN LAHAN (STUDI KASUS DI DAS CIMUNTUR) (Hydrological Responses of Agroforestry System Application which is Not Based on Land Suitability, A Case Study in C

0 1 13

PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP SKENARIO PENGELOLAAN KEBUN RAYA BATURRADEN DI PROVINSI JAWA TENGAH (Community Preference on Scenario Management of Baturraden Botanical Garden in Central Java)

0 1 10