PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ARANG KOMPOS BIO

1
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI ARANG KOMPOS BIO AKTIF
DI TPA (TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR);
DALAM RANGKA PENGURANGAN DAMPAK PEMANASAN GLOBAL
Oleh :
Gusmailina, Sri Komarayati & Gustan Pari
Ringkasan
Meningkatnya jumlah dan aktivitas penduduk, berdampak pada meningkatnya volume sampah.
Timbunan sampah kota diperkirakan meningkat lima kali lipat tahun 2020. Kalau tahun 1995 jumlah ratarata produksi sampah perkotaan di indonesia 0,8 kg per kapita per hari, tahun 2000 menjadi 1,0 kg,
maka tahun 2020 diperkirakan 2,1 kg per kapita. Dalam arena negosiasi Internasional Perubahan Iklim,
Indonesia melakukan kegiatan dalam negeri berupa Adaptasi dan Mitigasi, yang salah satu diantaranya
adalah ”melakukan action analisis potensi intervensi yang dapat dilakukan untuk menekan emisi GRK
(gas rumah kaca).
Di Indonesia terdapat sekitar 450 TPA sebagai sumber emisi gas CH 4 (methana). Sebagai
contoh, sampah sebanyak 1000 ton, dengan kandungan sampah organik sekitar 56% akan
menghasilkan gas methana 21.000 ton setiap tahunnya atau setara dengan CO 2 486.500 ton. Kekuatan
efek CH4 dalam pemanasan global 23 kali lebih tinggi dibanding CO 2. International Panel on Climate
Change (IPCC) 1988, melaporkan bahwa rata-rata temperatur global telah meningkat 0,6.%, dan
dianggap tahun 1998 adalah dekade terpanas saat itu, namun ternyata diketahui bahwa dekade tahun
2006 malah lebih panas lagi dibanding tahun 1998, rata-rata meningkat 0,8 -1 oC dari tahun sebelumnya.
Tercatat pada Desember 2006 laju pertambahan CO 2 mencapai 2,5 ppmv/th, yang sebelumnya hanya

1,5 ppmv/th. Kondisi seperti ini diprediksi bahwa pada tahun 2100, suhu permukaan bumi akan menigkat
mencapai 5 oC.
Meningkatnya suhu Bumi akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dan kenaikan
permukaan air laut. Akhir-akhir ini banyak bukti menunjukkan bahwa kondisi tersebut telah dirasakan.
Untuk mengejar target pengurangan emisi GRK, maka produksi gas methana perlu dikendalikan.
Komposting merupakan proses yang dipilih oleh Global Environment Facility yang dianggap sesuai untuk
diterapkan di Indonesia untuk mereduksi produksi GRK methana sekaligus untuk membantu perbaikan
sistem pengelolaan sampah di Indonesia. Dengan demikian penerapan teknologi produksi Arang
Kompos Bio Aktif memberi dampak yang multi use, serta demi ”kemaslahatan bumi dan ummat
manusia”.
Masalah bahan baku tidak menjadi halangan, karena banyak potensi alternatif yang dapat
digunakan sebagai bahan baku antara lain: 1= serbuk gergaji/sekam padi untuk dijadikan arang;
selanjutnya sebagai bahan baku kompos dapat digunakan berbagai jenis limbah yang kaya nutrisi dan
potensinya al: serasah mangium/pinus, sampah organik TPA, tongkol jagung, TKKS-tandan kosong
kelapa sawit, limbah sayuran, & gulma.
Kata kunci: sampah, gas rumah kaca, pemanasan global, arang kompos

2
I. PENDAHULUAN
a. TPA SEBAGAI EMITTER GRK, SALAH SATU PEMICU PEMANASAN GLOBAL

Pemanasan global adalah gejala naiknya suhu permukaan Bumi akibat meningkatnya
konsentrasi GRK. Enam jenis GRK utama adalah gas karbon dioksida (CO 2), Methana (CH4), Nitrat
oksida (N2O). Dalam laporan yang disusun oleh International Panel on Climate Change (IPCC) 1988,
dilaporkan bahwa rata-rata temperatur global telah meningkat 0,6.% serta dilaporkan bahwa tahun 1990an adalah dekade terpanas. Meningkatnya suhu bumi diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya
perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut. Menyadari besarnya ancaman pemanasan global,
disepakati Kyoto Protocol 1997. Negara-negara industri-penyumbang GRK terbesar-berkomitmen
menguranginya. Salah satu GRK yang berpengaruh adalah CH 4 (methana). Kekuatannya dalam efek
pemanasan global 23 kali lebih tinggi dari CO 2. Untuk mengejar target pengurangan emisi GRK, produksi
gas methana perlu dikendalikan. Berbagai sumber gas methana antara lain adalah rawa, TPA,
penambangan gas alam, pembakaran biomassa. Dalam hubungannya dengan persampahan, TPA
menjadi sumber gas methana karena adanya proses penguraian sampah oleh jasad renik.
Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 450 TPA sebagai sumber emisi gas methana. Sebagai
contoh, sampah sebanyak 1000 ton, dengan kandungan sampah organik 56 persen akan menghasilkan
gas methana 21.000 ton setiap tahunnya atau setara dengan CO 2 486.500 ton. Masyarakat Eropa
sepakat tahun 2005 tidak membuang sampah organiknya langsung ke TPA. Sampah organik diolah
terlebih dahulu agar gas tidak diproduksi dalam jumlah besar. Pengolahan dapat berupa insinerasi,
pengomposan, dan produksi biogas. Pengomposan adalah proses yang dipilih oleh Global Environment
Facility yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Indonesia untuk mereduksi produksi GRK sekaligus
untuk membantu perbaikan sistem pengelolaan sampah di Indonesia.


3

Gambar. Berbagai jenis limbah di tempat pembuangan sebagai polutan dan sumber penghasil GRK

Sistim pengelolaan sampah kota di Indonesia umumnya menggunakan sistem 3P, yaitu
pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan. Dengan meningkatnya aktivitas dan jumlah penduduk,
maka jumlah sampah juga meningkat. Timbunan sampah kota diperkirakan meningkat lima kali lipat
tahun 2020. Kalau tahun 1995 jumlah rata-rata produksi sampah perkotaan di indonesia 0,8 kg per kapita
per hari, tahun 2000 menjadi 1,0 kg, maka tahun 2020 diperkirakan 2,1 kg per kapita. Di Jakarta tahun
1996/1997 dengan populasi sekitar 10 juta orang, jumlah sampahn mencapai 25.404 m3. Akhir
penanganan sampah sistem 3P adalah TPA, sampah ditumpuk yang belum memperhatikan aspek
sanitasi. Maka timbullah berbagai pencemaran lingkungan seperti pencemaran udara, pencemaran air,
tanah, serta sumber berkembang biaknya penyakit menular. Tragedi TPA Leuwigajah, Cimahi
merupakan musibah dan contoh dari pengelolaan sampah di TPA yang buruk. Hanya akibat guyuran
hujan selama dua hari berturut-turut, gunungan sampah tersebut longsor dan menimbun perumahan
penduduk. Musibah ini telah menelan korban lebih dari 150 jiwa, serta berakibat pula terhadap kondisi
lingkungan. Situasi Kota Bandung pasca bencana tersebut terlihat mengkhawatirkan, sampah
menumpuk dan berserakan di mana-mana. Tempat pembuangan sampah yang tersebar di Kota

4

Bandung sudah terisi penuh melewati batas maksimal. Oleh karena itu, diperlukan paradigma baru
dalam melakukan pengelolaan limbah (waste management) perkotaan.
Teknologi komposting merupakan cara paling aman untuk mengelola sampah di TPA. Produk
berupa kompos sangat berguna dan sudah tidak diragukan lagi manfaatnya, dan jika dikelola secara
komersil dapat dijadikan sebuah peluang usaha yang menggiurkan. Karena trend bermacam produk
organik semakin digemari masyarakat, dan kompos merupakan salah satu faktor pendukung budidaya
organik.

A

B

C

D

Gambar 1. Aktifitas pembuatanArang Kompos Bio Aktif di beberapa TPA Kota.
(A: Padang; B: Palembang; C: Pandeglang; dan D: Bantargebang)

II. MENGENAL ARANG KOMPOS BIO AKTIF (ARKOBA)

Arang kompos bioaktif adalah salah satu produk lanjutan dari arang. Merupakan
gabungan antara arang dan kompos yang dihasilkan melalui proses pengomposan.
Inovasi produk ARKOBA dilatar belakangi oleh perbandingan dari beberapa hasil uji

5
coba pengamatan pertumbuhan tanaman yang ditanam pada beberapa jenis media
arang serbuk gergaji.

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

pertumbuhan tanaman yang ditanam pada media campuran arang serbuk gergaji dan
kompos, sehingga sejak tahun 1999 kelompok peneliti PKEHH (Pengolahan Kimia
dan Energi hasil Hutan) Puslitbang Teknologi Hasil Hutan mulai mengembangkan
produk arang kompos dengan bahan baku utama arang adalah serbuk gergaji,
sedangkan bahan baku kompos dapat berasal dari limbah organik pertanian, serasah
mangium, serasah tusam, dan serasah campuran dari beberapa jenis pohon.
Tujuan penambahan arang pada proses pengomposan adalah selain meningkatkan
kualitas dari kompos tersebut, juga diharapkan dengan adanya arang pada
pengomposan akan menambah jumlah dan aktivitas mikroorganisme yang berperan,
sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat.

Dari beberapa uji coba pemberian arang kompos pada tanah selain dapat
menambah ketersediaan unsur hara tanah, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis
tanah, juga dapat meningkatkan pH tanah dan nilai KTK tanah, sehingga cocok
digunakan untuk rehabilitasi/reklamasi lahan-lahan kritis, masam yang makin meluas
di Indonesia. Dari beberapa aplikasi arang kompos yang telah diuji cobakan, baik di
laboratorium, maupun di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman yang
diberi arang kompos meningkat hingga 2 kali lipat dibanding dengan yang tidak diberi
arang kompos.
Bahan yang dapat dibuat arang sebagai pencampur arang kompos antara lain: serbuk
gergaji sekam padi, kulit kayu, limbah pertanian dan perkebunan seperti tongkol
jagung, tempurung kelapa/kelapa sawit.

Bahan yang dapat dibuat untuk kompos

antara lain: Serbuk gergaji, serasah tumbuhan hutan/dedaunan seperti, serasah
tusam, serasah mangium, atau campuran limbah organik pertanian seperti, limbah
sayuran, jerami, kulit atau tongkol jagung, sampah organik pasar, atau kotoran
hewan.
Pembuatan arang kompos cukup mudah untuk terapkan pada masyarakat
pedesaan dan sekitar hutan, dengan menggunakan bahan baku yang terdapat di

sekitarnya. Sejalan dengan program pengembangan tersebut, Puslitbang Teknologi
Hasil Hutan, sejak tahun 2000 juga telah melaksanakan sosialisasi sekaligus

6
peragaan pembuatan arang kompos di beberapa daerah di Jawa dan Sumatera yang
dikemas dalam bentuk acara Gelar Teknologi dan Temu Lapang antara lain di
Kabupaten Serang; Ciamis; Tasikmalaya; Garut; Pandeglang; Ciloto (KPH Cianjur);
KRPH Jembolo Utara, Kota Semarang; dan Kabupaten Muaro Jambi, Propinsi Jambi.
Sebagian besar dana yang diperoleh untuk menunjang kegiatan ini bersumber dari
dana Kerjasama P3THH dengan JIFPRO-Jepang. Kerjasama ini dimulai sejak tahun
2000 hingga tahun 2003/2004, sedang sebagai dana pendamping adalah dana DIK-S
DPL.
Pembuatan arang kompos juga dapat dilakukan di areal tegakan hutan. Bahan
baku yang dapat digunakan berupa limbah pemanenan hutan. Ranting dan cabang
yang tertinggal dijadikan arang kemudian sebagai bahan untuk kompos adalah
dedaunan segar atau serasah. Proses pengomposan dapat dilakukan dengan jalan
membuat lobang persegi atau lobang sepanjang larikan sedalam 0,5 m. Lobang ini
sebelumnya dialas dengan plastik agar proses pengomposan tidak ada kontak
langsung dengan tanah, kemudian semua bahan yang akan dikomposkan
dimasukkan ke dalam lobang lalu ditutup lagi dengan plastik, kemudian biarkan

sampai kompos terbentuk. Kompos yang terbentuk kemudian dapat dibongkar lalu
dipindahkan, atau dibiarkan sebagai pengganti pupuk pada penanaman berikutnya.
Salah satu daerah yang menggunakan Arang Kompos untuk menunjang program
GNRHL 2003-2004 adalah Kabupaten Garut, yang telah mengembangkan arang
kompos sebanyak 360 ton sampai dengan bulan April 2004. Arang kompos yang
dihasilkan langsung digunakan pada persemaian bibit, serta sebagian juga sudah
diaplikasi di lapangan dengan hasil yang memuaskan. Untuk itu bagi daerah-daerah
lain yang akan menggunakan arang kompos sebagai sarana penunjang program
GNRHL dapat mencontoh keberhasilan Kabupaten Garut.

Kegiatan tersebut

langsung dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Garut bekerja sama dengan
Koperasi Lestari DISHUT Kab. Garut.
Aplikasi arang kompos bioaktif yang telah dilakukan selain di Kabupaten Garut
adalah di Ciloto (KPH Cianjur), pada tanaman pak choi, brokoli, dan wortel. Hasil
yang diperoleh dalam satuan luas 400 m persegi, produksi meningkat 1, 5 kwintal, jika

7
dibandingkan dengan pupuk yang yang biasa digunakan oleh petani seperti bokasi,

selain itu juga mengurangi penggunaan pupuk kimia sebesar 40 %.
III. ARANG SEBAGAI PEMBANGUN KESUBURAN TANAH
Beberapa tahun terakhir karena sifatnya arang tidak hanya dikenal sebagai sumber energi,
namun juga digunakan untuk pembangun kesuburan tanah (PKT). Karena secara morfologis arang
mempunyai pori yang efektif untuk mengikat dan menyimpan hara tanah dan selanjutnya dilepaskan
secara perlahan sesuai dengan konsumsi dan kebutuhan tanaman (slow release) sehingga hara tanah
tidak mudah tercuci dan lahan akan selalu berada dalam kondisi siap pakai. Keuntungan pemberian
arang pada tanah sebagai soil conditioning (PKT) karena arang mempunyai kemampuan dalam
memperbaiki sirkulasi air dan udara di dalam tanah, meningkatkan pH tanah sehingga dapat
merangsang dan memudahkan pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman.
Arang selain dapat digunakan langsung sebagai agent pembangun kesuburan tanah, juga
digunakan sebagai campuran dalam proses pengomposan. Pembuatan arang kompos merupakan salah
satu teknik yang relatif baru dikembangkan oleh P3THH dengan memanfaatkan arang pada proses
pengomposan. Tujuan penambahan arang pada proses pengomposan adalah selain meningkatkan
kualitas dari kompos tersebut, juga diharapkan dengan adanya arang pada pengomposan akan
menambah jumlah dan aktivitas mikroorganisme yang berperan, sehingga proses dekomposisi dapat
berlangsung lebih cepat.
Aplikasi arang yang menyatu dalam kompos (arang kompos) sangat bermanfaat untuk memacu
perkembangan mikroorganisme (mikoriza) tanah, meningkatkan pH tanah pada tingkat yang lebih sesuai
bagi pertumbuhan tanaman, sehingga cocok untuk reklamasi lahan yang mempunyai tingkat kesuburan

tanah dan produktivitas yang rendah sehingga dapat diandalkan untuk mengatasi berbagai masalah
lahan di Indonesia antara lain lahan kritis dengan kadar pH tanah yang rendah, menurunnya tingkat
kesuburan tanah atau produktivitas lahan.

8

Gambar 2. Peranan arang di dalam tanah sebagai soil conditioning

a. Pentingnya arang dan arang kompos sebagai suplai bahan organik tanah
Kenyataan menunjukkan bahwa merosotnya kualitas dan kuantitas sumber daya akibat
pemanfaatan yang melampaui batas mengakibatkan kerusakan sumberdaya yang tidak dapat dihindari.
Kenyataan juga menunjukkan bahwa program rehabilitasi kerusakan lahan yang masih meninggalkan
lahan kritis seluas 7.269.700 ha yang harus dihijaukan, serta hutan seluas 5.830.200 ha yang masih
harus dihutankan kembali. Di sektor pertanian gejala penurunan produksi padi akibat pemberian pupuk
kimia/anorganik secara intensif telah terbukti. Akibat pemberian pupuk kimia secara intensif selama 25
musim tanam ternyata diikuti oleh penurunan produksi padi jenis IR 36 (Martodiresi dan Suryanto, 2001).
Keadaan ini ternyata diakibatkan oleh menurunnya kandungan bahan organik tanah dari musim ke
musim yang tak bisa digantikan perannya oleh pupuk kimia NPK misalnya. Akibatnya kemampuan
tanaman membentuk anakan menurun. Inilah yang menjadi penyebab utama menurunnya produksi
padi. Keadaan ini menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan stabilitas bahan organik tanah bagi

kelestarian produktivitas pertanian dan kehutanan. Sebab bahan organik tanah bukan hanya berfungsi
sebagai penyuplai hara, tetapi juga berguna untuk menjaga kehidupan biologis di dalam tanah.
Kenyataan juga membuktikan bahwa efisiensi pupuk kimia lebih rendah. Tanaman di lahan
kering di daerah tropis kehilangan sampai 40-50 % N yang diberikan, padi sawah kehilangan N kurang
dari 60-70 %. Bila kondisi kurang mendukung, misalnya tingginya curah hujan, musim kemarau yang
panjang, tingginya erosi tanah, serta rendahnya bahan organik tanah, maka efisiensinya bisa lebih
rendah lagi (FAO, 1990 dalam Reijntjes dkk. 1999).
Kenyataan juga menunjukkan bahwa pupuk kimia ini bisa mengganggu kehidupan dan
keseimbangan tanah, meningkatkan dekomposisi bahan organik, yang kemudian menyebabkan
degradasi struktur tanah, kerentanan yang lebih tinggi terhadap kekeringan, sehingga produktivitas

9
rendah. Aplikasi yang tidak seimbang dari pupuk mineral N yang menyebabkan pengasaman dan
menurunkan pH tanah serta ketersediaan hara P bagi tanaman. Penggunaan pupuk kimia NPK yang
terus menerus menyebabkan penipisan unsur-unsur mikro seperti seng, besi, tembaga, mangan,
magnesium, molybdenum, boron, yang bisa mempengaruhi tanaman, hewan, dan kesehatan manusia.
(Sharma, 1985; Tandon, 1990 dalam Reijntjes dkk. 1999).
Kenyataan lingkungan global menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia di negara maju dan
negara berkembang memberikan andil pada resiko global yang muncul dari pelepasan Nitrogen oksida
(N2O) pada atmosfir dan lapisan di atasnya. Pada lapisan stratosfir, N 2O akan menipiskan lapisan ozon
dan dengan menyerap gelombang sinar infra merah tertentu, meningkatkan suhu global (efek rumah
kaca) dan mengganggu kestabilan iklim. Hal ini bisa mengakibatkan perubahan pola, tingkat dan resiko
produksi pertanian. Meningkatnya permukaan air laut akan membawa konsekuensi besar bagi daerah
delta yang rendah dan muara. Mengingat bahaya ini, larangan penggunaan pupuk kimia di seluruh
dunia tak bisa dikesampingkan lagi untuk masa datang (Conway dan Pretty, 1988, 1988 dalam Reijntjes
dkk. 1999)
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebut, perlu upaya yang lebih besar untuk
mempromosikan penggunaan pupuk organik yang lebih efisien serta ramah lingkungan. Apalagi akhirakhir ini meningkatnya kecenderungan masyarakat terhadap produk-produk yang berasal dari budidaya
organik, karena produknya lebih bersih dan bebas dari bahan-bahan kimia anorganik, sehingga cukup
aman dan sehat untuk dikonsumsi. Penggunaan sumber-sumber pengganti N seperti, limbah biomassa
misalnya : sampah tanaman, pupuk hijau, pupuk kandang, penanaman leguminosa secara bergantian
dan sebagai pohon pelindung, alga biru-hijau dan bakteri pengikat N pada sawah dan hutan seperti
rhizobium dan mikoriza merupakan alternatif. Di sektor kehutanan limbah biomassa cukup potensial,
misalnya limbah pemanenan, serasah tanaman (dedaunan segar atau kering), serta limbah industri
pengolahan kayu diantaranya serbuk gergaji.
Arang kompos merupakan salah satu produk bahan organik yang lebih mengutamakan pada
kelestarian lingkungan. Karena memanfaatkan limbah serbuk gergaji, serasah hutan, ranting,
cabang/dahan yang tertinggal sewaktu pemanenan. Dengan sedikit input teknologi maka limbah-limbah
tersebut dapat dibuat menjadi bahan organik yang banyak manfaatnya. Dampak yang akan diperoleh
meningkatnya produksi dan produktivitas tanah, menambah pendapatan keluarga, dan akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat.

10

CILOTO
CILOTO (social
(social forestry
forestry area)
area)
Cianjur
Forestry
District
Cianjur Forestry District (West
(West Java),
Java), 2004
2004

Reduce
Reduce use
use of
of chemical
chemical fertilizer
fertilizer 11 X
X
521kg
521kg :: 400
400 kg/4000
kg/4000 m2
m2

used
used of
of charcoal
charcoal compost
compost 

100
100 kg/400
kg/400 m
m22 more
more than
than chemical
chemical fertilizer
fertilizer appl.
appl.

Gambar 3. Aplikasi Arang Kompos Bio Aktif oleh petani pada tanaman tumpang sari di baweah tegakan
Pinus merkusii di Ciloto.
b. Aplikasi arang dan arang kompos dalam menunjang program CDM forestry
CDM (Clean Development Mechanism) adalah salah satu mekanisme di bawah Kyoto Protocol
sebagai bagian dari UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change/Konvensi
Perubahan Iklim) yang maksudnya untuk membantu negara berkembang menuju pembangunan
berkelanjutan dan kontribusinya terhadap pencapaian tujuan konvensi perubahan iklim, serta membantu
negara maju/industri memenuhi kewajibannya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca. Salah satu
butir dari hasil rumusan lokakarya LULUCF November tahun 2000, adalah aspek saintifik yang berkaitan
dengan CDM perlu dikembangkan dan ditindak lanjuti (Anonimus, 2000).
Pembuatan dan aplikasi arang kompos menunjang program CDM, karena : (1) dengan
memanfaatkan arang sebagai sumber karbon, artinya dapat mencegah peningkatan pelepasan jumlah
karbon ke atmosfir atau karbon akan tersimpan dalam batas waktu tertentu dalam arang di dalam tanah;

11
(2) arang sebagai sumber karbon di dalam tanah dapat merangsang perkembangan mikroorganisme
tanah, sehingga dapat membangun kondisi biologis tanah, meningkatkan pH tanah, memperbaiki kondisi
fisik dan kimia tanah, sehingga meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman.

Meningkatnya

pertumbuhan tanaman hutan memperbesar jumlah sink atau rosot CO2 dan selanjutnya akan dicapai
net-source penyerapan > dari emisi; (3) mengurangi pelepasan emisi berbagai gas rumah kaca dari
TPA.

Gambar 4: Aplikasi Arang Kompos Bio Aktif pada areal hutan tanaman Jati oleh JIFPRO (Jepang) di Sekaroh, Mataram,
Lombok, sebagai tindak lanjut dari Kyoto Protocol

IV. Teknik Pembuatan Arang Kompos Bio Aktif (Arkoba)
1. Pembuatan Arang : pembuatan arang biasanya dapat dilakukan dengan 2
cara yaitu: menggunakan tungku drum dan tungku semi kontinyu.

Tungku

drum digunakan untuk membuat arang tempurung kelapa, atau potonganpotongan kayu limbah. Sedangkan untuk membuat arang serbuk gergaji lebih
cocok menggunakan tungku semi kontinyu

(Gusmailina, dkk., 2002).

Arang

serbuk gergaji juga dapat digunakan langsung sebagai campuran pada media
tumbuh tanaman, baik di dalam polybag maupun pada tanah. Arang serbuk
gergaji yang dicampur dengan kotoran ternak (pupuk kandang) akan

12
memberikan hasil yang lebih baik lagi dibanding jika hanya menggunakan
arang saja.
2. Pembuatan arang Kompos :
a. Bahan untuk arang :

serbuk gergaji, sekam padi, kulit kayu, limbah

pertanian/perkebunan (tongkol jagung, tempurung kelapa/kelapa sawit)
b. Bahan untuk kompos :

serbuk gergaji, serasah tumbuhan hutan/dedaunan

seperti serasah tusam, serasah mangium, atau serasah campuran, limbah
organik pertanian, limbah sayuran, jerami, kulit/tongkol jagung, sampah organic
pasar dan kotoran hewan
Jika bahan baku yang akan dikomposkan berukuran besar sebaiknya
digiling/dicacah dahulu dengan alat giling (chopper), golok atau parang sampai
mencapai ukuran 2-3 cm
c. Aktivator : Berguna untuk mempercepat proses pengomposan dengan bahan
aktif mikroorganisme.

Jenis activator yang digunakan disesuaikan dengan

jenis bahan baku yang akan dikomposkan. Untuk limbah yang sulit hancur
disarankan menggunakan activator yang mengandung bahan aktif khusus
mikroorganisme

pengurai

lignoselulosa

diantaranya

yang

mengandung

mikroorganisme Trichoderma dan Cytophaga sp.
d. Peralatan pengomposan : Proses pengomposan dapat berlangsung pada
beberapa macam tempat seperti : kotak kayu dengan ukuran 1m x 1m x 1m,
bak semen permanent, kombinasi bak semen dengan penutup kayu, dan
kantong plastic jumbo.
Pembuatan arang kompos prinsipnya sama dengan pengomposan biasa yaitu
melalui proses fermentasi, langkah-langkah pembuatan arang kompos adalah sbb:
o Pada bahan baku yang sudah dicacah ditambah arang serbuk sebanyak 10-30
% dari berat volume bahan yang akan dikomposkan;
o Tambahkan aktivator sebanyak 0,5-10 % tergantung jenis bahan yang akan
dikomposkan,

13
o Aduk campuran hingga rata; tambahkan air hingga kondisi kadar air campuran
bahan berkisar antara 20%-30 %;
o Masukkan ke dalam wadah pengomposan
o Khusus untuk bahan yang sulit hancur seperti limbah kehutanan, sebaiknya
pada minggu ke dua, ke tiga dan ke empat dibalik kemudian di aduk ulang,
tambahkan air bila kondisi agak kering;
o Pengukuran suhu dilakukan guna mengetahui apakah proses berjalan dengan
sempurna. Proses berjalan dengan sempurna apabila pada minggu pertama
dan ke dua suhu meningkat hingga mencapai 55 oC - 60 oC, lalu menurun
pada minggu-minggu berikutnya. Apabila kondisi suhu sudah stabil berarti
proses pengomposan sudah selesai dan kompos dapat dibongkar;
o Proses pengomposan berlangsung antara 2 sampai 10 minggu tergantung
bahan

baku yang digunakan, untuk limbah sayuran/dedaunan segar

pengomposan berlangsung

selama 2 minggu, pengomposan serasah

dedaunan kering berlangsung selama 1 bulan,

sedangkan serbuk gergaji

selama 2-3 bulan;
o Secara visual kompos yang sudah matang akan mengalami perubahan warna,
sedangkan indikator kompos yang siap pakai yaitu mempunyai nisbah C/N di
bawah atau sama dengan 20;
o Untuk menambah daya tarik penampilan, kompos digiling hingga halus
kemudian

dikemas lalu disimpan ditempat yang kering dan teduh;

o Arang kompos siap digunakan atau dipasarkan.

14

TEKNOLOGI PROSES PRODUKSI ARANG KOMPOS BIO AKTIF (ARKOBA)
BAHAN BAKU
LIMBAH/SAMPAH
ORGANIK

PROSES

PRODUK

PEMISAHAN
MANUAL

SAMPAH
ANORGANIK
10 %

90 %

PENCACAHAN

SAMPAH ORGANIK
(2,5 – 5 CM)

AKTIVATOR
5 – 8 KG/TON

PENCAMPURAN

PENCETAKAN
(6 m x 3 m x 1,5)

INKUBASI
(2 – 4 MINGGU)

AKBA KASAR
50-60 %

PENGGILINGAN
ARANG SERBUK
GERGAJI
10 – 15 KG KG/TON

PENGEMASAN
10 KG
25 KG
50 KG

PRODUK ARKOBA
(ARANG KOMPOS BIO AKTIF)

15

BAGAN PROSES PRODUKSI ARKOBA (ARANG KOMPOS BIO AKTIF)

IV. PENUTUP

Meningkatnya aktivitas dan jumlah penduduk, maka jumlah sampah juga
meningkat. Timbunan sampah kota diperkirakan meningkat lima kali lipat tahun 2020.
Kalau tahun 1995 jumlah rata-rata produksi sampah perkotaan di indonesia 0,8 kg per
kapita per hari, tahun 2000 menjadi 1,0 kg, maka tahun 2020 diperkirakan 2,1 kg per
kapita. Di Indonesia terdapat sekitar 450 TPA sebagai sumber emisi gas CH 4
(methana). Sebagai contoh, sampah sebanyak 1000 ton, dengan kandungan sampah
organik sekitar 56% akan menghasilkan gas methana 21.000 ton setiap tahunnya
atau setara dengan CO2 486.500 ton. Kekuatan efek CH4

dalam pemanasan global

23 kali lebih tinggi dari CO2. International Panel on Climate Change (IPCC) 1988,
melaporkan bahwa rata-rata temperatur global telah meningkat 0,6.%, dilaporkan
bahwa tahun 1998 adalah dekade terpanas. Meningkatnya suhu Bumi diperkirakan
akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dan kenaikan permukaan air
laut.Untuk mengejar target pengurangan emisi GRK, maka produksi gas methana
perlu dikendalikan. Komposting merupakan proses yang dipilih oleh Global
Environment Facility yang dianggap sesuai untuk diterapkan di Indonesia untuk
mereduksi produksi GRK sekaligus untuk membantu perbaikan sistem pengelolaan
sampah di Indonesia.

Dengan demikian penerapan teknologi produksi ARKOBA

memberi dampak yang multi use, sekaligus demi ”kemaslahatan bumi dan ummat
manusia”.

V.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Departemen kehutanan siap laksanakan GN RHL. Siaran Pers No. 1428/II/PIK-1/2003.
www. dephut.go.id
Anonim. 2004. Gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan gagal
ribuan jenis pohon mati akibat kekeringan. Cianjur. Pikiran Rakyat Cyber Media Online 24 Juni
2004.

16
Anonim. 2004. Partisipasi masyarakat dalam GNRHL 15 %. Kolom lingkungan. Media Indonesia
Online. 7 Juni 2004
Away, Yufnal, 2003. Uji coba penggunaan bioaktivator “orgadec plus” pada sampah kota di TPA Bantar
Gebang. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Bogor
Gusmailina; G. Pari, and S. Komarayati. 1999. The utilization technology of charcoal and activated
charcoal as a soil conditioning on plants. Project Report. Forest products Research Centre.
Bogor.
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2001. Teknik penggunaan arang sebagai soil conditioning
pada tanaman. Laporan hasil penelitian (tidak diterbitkan)
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2002. Implementation study of compost and charcoal compost
production. Laporan kerjasama Puslitbang Teknologi Hasil Hutan dengan JIFPRO - Jepang (Tidak
diterbitkan)
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2002. Pedoman pembuatan arang kompos. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Bogor.
Sri Komarayati, Gusmailina dan G. Pari. 2002. Pembuatan kompos dan arang kompos
dari serasah dan kulit kayu tusam. Buletin Penelitian Hasil Hutan. Vol. 20 No. 3.
Halaman 231 – 242. Bogor
Reintjes, C., Haverkort, B., Bayer. W., 1999. Pertanian masa depan. Pengantar untuk pertanian
berkelanjutan dengan input luar rendah. Penerbit Kanisius. Jakarta
Rao dkk., 1998 dalam Saad A., 2002. Pembangkitan criteria kesesuaian lahan untuk tanaman duku
spesifik lokasi Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi. Unpublished.