makalah komunikasi politik UNIVERSITAS K

makalah komunikasi
politik
Disusun oleh :

Nama

: Alex Chandra ( 41813156 )

Jurusan

Marvel

(

)

Ramdhani

(

)


: Ilmu komunikasi / IK 5

UNIVERSITAS KOMPUTER
INDONESIA

SEJARAH DAN KOMUNIKASI POLITIK : SEBUAH PENGANTAR
HISTORY AND POLITICAL COMMUNICATION: INTRODUCTION

Latar Belakang Masalah
Komunikasi merupakan aktivitas yang tidak terpisahkan dari berbagai bidang aktivitas
yang kita geluti sehari-hari. Termasuk dalam aktifitas politik baik dalam peran yang kecil atau
besar, komunikasi memainkan peranan yang sangat penting dan dominan bahkan. Komunikasi
adalah hubungan antar manusia dalam rangka mencapai saling pengertian (mutual
understanding) [1]
Dengan demikian, komunikasi sebagai proses politik, dapat diartikan sebagai gejala-gejala
yang menyangkut pembentukan kesepakatan. Misalnya kesepakatan menyangkut bagaimana
pembagian sumberdaya kekuasaan atau bagaimana kesepakatan tersebut dibuat. Tentu saja
komunikasi politik bukanlah sebuah proses yang sederhana, banyak substansi masalah yang
memerlukan pembahasan yang mendalam. Salah satunya berkaitan dengan masalah infrastuktur

dan suprastruktur politik yang saling mempengaruhi, dimana suprastruktur sebagai pembuat
kebijakan akan mendapat tuntutan dan masukan berupa tuntutan dan aspirasi dari infrastruktur.
Apabila fungsi dan peran dari infrastruktur dan suprastruktur ini dapat terlaksana dengan
baik bukan tidak mungkin akan memperbaiki kehidupan politik ke arah perkembangan yang
lebih baik. Dan mengalami pendewasaan politik dari pengalaman mengatasi dinamika-dinamika
yang pastinya selalu berkembang dalam kehidupan politik saat ini atau yang akan datang.

BAB I
PENDAHULUAN
Diantara bahasan yang menonjol dalam kajian Komunikasi Politik adalah menyangkut isi
pesan. Bahasan ini sama pentingnya dari bahasan komunikator, media, khalayak dan efek
komunikasi politik. Dalam beberapa literatur disebutkan, inti komunikasi politik adalah
komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh. Urgensinya dalam suatu sistem
politik tidak diragukan lagi, karena komunikasi politik terjadi saat keseluruhan fungsi dari sistem
politik lainnya di jalankan.
Makalah ini, berupaya mengelaborasi masalah pesan politik terutama yang ada kaitannya
dengan aktivitas persuasi. Fokus bahasan berkaitan dengan propaganda sebagai salah satu
pendekatan persuasi yang sangat populer dan banyak dilakukan oleh komunikator politik sejak
dahulu hingga saat ini. Karena dalam perkembangannya media massa banyak digunakan sebagai
medium penyampaian pesan yang sangat diminati, maka bahasan ini secara spesifik mengamati

propaganda politik melalui media massa. Dan juga periklanan sebagai bentuk persuasive yang
dilakukan oleh komunikator politik untuk merebut citra diri sang politisi dari public.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Propaganda Dalam Komunikasi Politik
Dalam dunia komunikasi, pengertian dari propaganda adalah manajemen terhadap sikapsikap kolektif melalui manipulasi simbol-simbol signifikan. Propaganda merupakan sebuah
upaya untuk mengubah sudut pandang orang lain agar apa yang menjadi milik sendiri dapat
menimbulkan akibat terhadap pihak lawan. Propaganda dapat juga didefinisikan sebagai suatu
cara menghancurkan pihak lawan atau sebagai suatu cara me-manage opini publik. Cara ini

sangat dekat hubungannya dengan persuasi, sehingga propaganda sering diidentikkan dengan
persuasi massa.
Awalnya kata propaganda memiliki pengertian yang netral, tidak menyangkut baik atau
buruk, yang berarti menyebarkan atau penyebarluasan suatu informasi sehingga diketahui
masyarakat atau khalayak umum. Tetapi, selaras dengan perjalanan waktu, penggunaan yang
umum atas kata itu menjadikannya berkonotasi negatif. Pesan-pesan propaganda dipandang
sebagai kebohongan, manipulatif, dan sebagai indoktrinasi.
Jenis-jenis propaganda itu sendiri adalah bersifat irasional dan akan bereaksi terhadap
simbol-simbol yang disampaikan kepada mereka melalui media massa. Dengan demikian,

propaganda seringkali efektif kepada masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat yang
kurang kritis. Berdasarkan anggapan tersebut, di atas kertas dan jika melihat kondisi masyarakat
Indonesia, tampaknya akan menjadi kunci sukses berhasilnya kegiatan propaganda.
Kendati demikian hal itu bukanlah jaminan, karena di lapangan banyak faktor yang juga
turut membentuk sikap dan perilaku masyarakat. Bisa jadi faktor tekanan ekonomi akan lebih
berperan daripada hal-hal lain yang bersifat irasional. Jenis propaganda yang kedua adalah dalam
suatu propaganda dimunculkan dua hal yang berlawanan. Ada hal yang baik, ada pula yang tidak
baik. Seperti misalnya pemerintah sebagai peran protagonist yang membela rakyat kecil
sedangkan antagonis misalnya masyarakat yang tergolong kaya.
Kunci sukses berhasilnya propaganda sendiri dapat dilihat dari peran dan fungsi seorang
komunikator yang berpengalaman dan sudah menguasai bidangnya, sehingga kegiatan
propaganda dapat dijalankan dengan baik, juga peran serta media sebagai alat propaganda
sehingga akan mendapatkan opini publik dan dapat menarik dukungan rakyat.
1.1 Propaganda Sebagai Pendekatan Persuasi Politik Konseptualisasi
Menurut Dan Nimmo (1993), ada tiga pendekatan kepada persuasi politik, yakni
propaganda, periklanan dan retorika. Semuanya serupa dalam beberapa hal yakni bertujuan
(purposif), disengaja (intensional) dan melibatkan pengaruh; terdiri atas hubungan timbal balik
antara orang-orang dan semuanya menghasilkan berbagai tingkat perubahan dalam persepsi,
kepercayaan, nilai dan pengharapan pribadi. Tentu saja ketiganya juga memiliki kekhususan
yang membedakan satu dengan lainnya.


Banyak ahli mendefinisikan persuasi, salah satunya adalah Erwin P. Bettinghaus (1973).
Menurut dia, persuasi tidak lain adalah usaha yang disadari untuk mengubah sikap, kepercayaan
atau prilaku orang melalui transmisi pesan. Bisa saja, banyak definisi yang dikemukakan, tapi
diantara karakteristik umumnya persuasi selalu melibatkan tujuan melalui pembicaraan. Sifatnya
juga dialektis dan merupakan proses timbal balik. Dalam hal ini dengan sengaja atau tidak
menimbulkan perasaan responsif pada orang lain.
Dari ketiga pendekatan persuasi seperti disebut diatas, propaganda memiliki catatan
konseptual dan histroris yang menarik untuk diamati. Menurut Jacques Ellul (dalam Dan
Nimmo, 1993), propaganda sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok
terorganisasi yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu
massa yang terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi
psikologis dan digabungkan di dalam suatu organisasi.
Istilah propaganda ini dapat ditelusuri hingga masa Paus Gregorius XV yang membentuk
suatu komisi para kardinal, Cengregatio de propaganda Fide, untuk menumbuhkan keimanan
kristiani diantara bangsa-bangsa lain. Namun pada perkembangannya propaganda meluas ke
wilayah politik, yakni diperuntukan untuk memperoleh pengaruh dan pada akhirnya kekuasaan.
Praktek propaganda misalnya pernah dilakukan Partai Nazi, Hitler. Dengan manipulasi lambang,
dan oratori yang penuh emosi Hitler membangkitkan rasa identifikasi, komitmen dan kesetiaan
khalayak. Kata-kata yang sangat populer waktu itu “Ein Volk, ein Reich,ein Fuhrer” (satu

bangsa, satu imperium, satu pemimpin).
Ellul membuat tipologi propaganda yang menarik. Menurutnya, ada tipe propaganda
politik dan tipe propaganda sosiologi. Yang pertama, beroperasi melalui imbauan-imbauan khas
berjangka pendek. Biasanya melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan
berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis. Sementara yang kedua, tipenya
berangsur-angsur, merembes ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik. Melalui
propaganda orang disuntik dengan suatu cara hidup atau ideologi. Hasilnya, suatu konsepsi
umum tentang masyarakat yang dengan setia dipatuhi oleh setiap orang kecuali beberapa orang
yang dianggap sebagai “penyimpang (deviants)”.
Berkaitan dengan konsepsi ini dikenal adanya propaganda agitasi dan propaganda
integrasi. Agitasi berusaha agar orang-orang bersedia memberikan pengorbanan yang besar bagi
tujuan yang langsung, mengorbankan jiwa mereka dalam usaha mewujudkan cita-cita dalam

tahap-tahap yang merupakan suatu rangkaian. Sementara integrasi menggalang kesesuaian di
dalam mengejar tujuan-tujuan jangka panjang. Melalui propaganda ini orang-orang mengabdikan
diri kepada tujuan-tujuan yang mungkin tidak akan terwujud dalam waktu bertahun-tahun.
1.2 Propaganda Vertikal
Propaganda dalam realitasnya mengambil bentuk vertikal dan horizontal. Bentuk yang
pertama adalah representasi propaganda satu-kepada-banyak (one-to-many). Sementara
propaganda horizontal bekerja lebih di antara keanggotaan kelompok ketimbang dari pemimpin

kepada kelompok. Artinya yang kedua lebih banyak menggunakan komunikasi interpersonal dan
komunikasi organisasi, ketimbang melalui komunikasi massa.
Kalau dulu komunikasi satu-kepada-banyak mungkin diwakili oleh propagandispropagandis lewat pidato-pidato keliling di depan kumpulan partisan mereka, tapi sekarang hal
ini lebih sering dilakukan melalui media massa.
Ada beberapa hal pokok yang biasa dilakukan dalam propaganda. Dalam bukunya Dan
Nimmo (1993) mengulas ada 7 teknik propaganda penting yang memanfaatkan kombinasi kata,
tindakan dan logika untuk tujuan persuasif.
Pertama, name calling, memberi label buruk kepada gagasan, orang, objek atau tujuan
agar orang menolak sesuatu tanpa menguji kenyataannya. Misalnya menuduh lawan pemilihan
sebagai “penjahat”.
Kedua, glittering generalities, menggunakan “kata yang baik” untuk melukiskan sesuatu
agar mendapat dukungan, lagi-lagi tanpa menyelidiki ketepatan asosiasi itu. Misal AS menyebut
operasi mereka ke Afghanistan beberapa waktu lalu sebagai “Operasi Keadilan Tak Terhingga”,
dengan misi “hukum tanpa batas” begitu juga saat merencanakan serangan ke Irak, AS
menyebutnya sebagai misi kemanusiaan untuk membebaskan manusia dari teror senjata
pemusnah massal.
Ketiga, transfer, yakni mengidentifikasi suatu maksud dengan lambang autoritas,
misalnya “pilih kembali Mega di Pemilu 2004”.
Keempat, testimonial, memperoleh ucapan orang yang dihormati atau dibenci untuk
mempromosikan atau meremehkan suatu maksud. Kita mengenalnya dalam dukungan politik

oleh surat kabar , tokoh terkenal dll.

Kelima, plain folks, imbauan yang mengatakan bahwa pembicara berpihak kepada
khalayaknya dalam usaha bersama yang kolaboratif. Misalnya, “saya salah seorang dari anda,
hanya rakyat biasa”.
Keenam, card stacking, memilih dengan teliti pernyataan yang akurat dan tidak akurat,
logis dan tak logis dan sebagainya untuk membangun suatu kasus. Misalnya kata-kata
“pembunuhan terhadap pemimpin kita, benar-benar menunjukan penghinaan terhadap partai
kita !”. Ketujuh, bandwagon, usaha untuk meyakinkan khalayak akan kepopuleran dan
kebenaran tujuan sehingga setiap orang akan “turut naik”.
Prinsip satu-kepada-banyak yang menjadi pegangan propaganda, semakin menemukan
momentumnya seiring dengan berkembangnya media massa. Orde Baru misalnya, secara terus
menerus memanfaatkan TVRI sebagai ideological state aparatus. Dengan mengusung
propaganda “pembangunan”, dalam waktu yang relatif lama mampu bertahan melakukan
korporasi terhadap hampir segenap lapisan masyarakat. Persuasi model ini terus dilakukan
sehingga rakyat mengidentifikasikan diri menjadi bagian dari anggota Orde Baru.
1.3 Saluran Propaganda Politik
Kalau merujuk kepada pendapat Blumler dan Gurevitch (1995), ada empat komponen
yang perlu diperhatikan dalam mengkaji sistem komunikasi politik. Pertama institusi politik
dengan aspek-aspek komunikasi politiknya. Kedua institusi media dengan aspek-aspek

komunikasi politiknya. Ketiga orientasi khalayak terhadap komunikasi politik. Keempat aspekaspek komunikasi yang relevan dengan budaya politik.
Pendapat hampir senada dikemukakan Suryadi (1993), menurutnya sistem komunikasi
politik terdiri dari elit politik, media massa dan khalayak. Dari kedua pendapat tadi dapat kita
temui posisi penting media dalam propaganda politik. Setiap persuasi politik yang mencoba
memanipulasi psikologis khalayak sekarang ini, sangat mempertimbangkan peranan media
massa.
1)

Urgensi Media Massa Sebagai Saluran Propaganda
Untuk memperkuat argumen bahwa media sangat urgen dalam proses propaganda politik,
baiknya kita memahami dulu karakteristik media massa. Media massa merupakan jenis media
yang ditunjukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim sehingga pesan
yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.

Perkataan “dapat” menjadi sangat rasional karena seperti dikatakan Alexis S.Tan (1981),
komunikator dalam media massa ini merupakan suatu organisasi sosial yang mampu
memproduksi pesan dan mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat
yang secara spasial terpisah.
Dengan daya jangkau yang relatif luas, dan dalam waktu yang serentak, mampu
memainkan peran dalam propaganda. Relevan dengan pendapat Cassata dan Asante, seperti

dikutip Jalaluddin Rakhmat (1994), bila arus komunikasi massa ini hanya dikendalikan oleh
komunikator, situasi dapat menunjang persuasi yang efektif. Sebaliknya bila khalayak dapat
mengatur arus informasi, siatusi komunikasi akan mendorong belajar yang efektif.
Dalam konteks era informasi sekarang ini institusi media massa seperti Televisi dan surat
kabar dipercaya memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan produksi, reproduksi dan
distribusi pengetahuan secara signifikan. Serangkaian simbol yang memberikan meaning tentang
realitas “ada” dan pengalaman dalam kehidupan bisa ditransformasikan media massa dalam
lingkungan publik. Sehingga bisa diakses anggota masyarakat secara luas.
Tentu saja dalam perkembangnnya, banyak pihak yang terlibat dalam pemanfaatan media
massa sebagai instrumen pemenuhan kepentingannya. Sebut saja negara (state), pasar (market),
kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (preasure group) dll.
Menurut Denis McQuail (1987), terdapat ciri-ciri khusus media massa antara lain :
pertama memproduksi dan mendistribusikan “pengetahuan” dalam wujud informasi,
pandangan dan budaya. Upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif
dan permintaan individu. Dalam konteks propaganda, kerja produksi dan distribusi ini akan
efektif untuk wujud informasi, pandangan dan budaya sesuai dengan yang diharapkan
propagandis.
Kedua, menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain dari
pengirim ke penerima dan dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya. Dalam konteks
propaganda sangat urgen dalam proses pengidentifikasian diri khalayak sebagai anggota

kelompok, entah itu partisan partai, anggota ideologi tertentu atau dalam nasionalisme sebuah
negara.
Ketiga, media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik. Ini
dalam konteks propaganda merupakan suatu hal yang strategis, karena tujuan dari persuasinya
ini juga adalah manipulasi psikologi khalayak.

Keempat partisipasi anggota khalayak dalam institusi pada hakekatnya bersifat sukarela,
tanpa adanya keharusan atau kewajiban sosial. Ini relevan dengan sifat persuasi yang bukan
berupa pembicaraan kekuasaan, bukan ancaman yang mengatakan “jika anda melakukan (tidak
melakukan ) X, maka saya akan melakukan Y. Menurut Dan Nimmo mengutip Harold D.
Lasswell (1993), pembicaraan kekuasaan lebih dekat kepada kekerasan dan ancaman ketimbang
kepada persuasi.
Persuasi juga bukan pembicaraan kewenangan atau autoritas yang memerintahkan
“lakukan X”. Namun, persuasi merupakan pembicaraan pengaruh yang bercirikan kemungkinan
(“jika anda melakukan X, maka anda akan melakukan Y”), diidentifikasi melalui saling memberi
dan menerima diantara pihak-pihak yang terlibat, meskipun dalam kenyataannya tidak
sesederhana itu.
Kelima, institusi media dikaitkan dengan industri pasar karena ketergantungannya pada
imbalan kerja, teknologi dan kebutuhan pembiayaan. Ini merupakan tuntutan yang seringkali
mengarahkan media massa untuk lebih menonjolkan aspek komersialnya.
Keenam meskipun media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, namun institusi ini selalu
berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media. Dalam
konteks propaganda, media massa menjadikan dirinya sebagai medium pesan politik sehingga
kenyataannya kekuasaan dan pengaruh secara terus menerus diproduksi dan didistribusikan oleh
media massa.
2)

Prinsip Propaganda di Media Massa
Tentu saja untuk mengefektifkan propaganda politik di media massa juga sangat perlu
memperhatikan beberapa prinsip-prinsip umum yang diturunkan dari riset mengeni pengaruh
komunikator dalam keberhasilan usaha persuasif (Dan Nimmo, 1993) :
Pertama status komunikator. Artinya setiap peran membawa status atau prestise tersendiri.
Secara umum, semakin tinggi posisi atau status seseorang di tengah masyarakat, makan akan
semakin mampu dia melakukan persuasi. Dengan demikian pemilihan propagandis terutama
dalam media massa yang diorientasikan mencapai khalayak yang heterogen membutuhkan
mereka yang punya status kuat. Misalnya saat Orde Baru, Soeharto merupakan propagandis
konsep developmentalism, sementara era Orde Lama Soekarno menjadi propagandis dari tujuan
revolusi.

Kedua kredibilitas komunikator. Sasaran propaganda mempersepsi para komunikator
dengan beberapa cara. Sejauh mereka mempersepsi bahwa propagandis itu memiliki keahlian,
kompetisi, keandalan, dapat dipercaya dan autoritas, mereka menganggap bahwa komunikator
itu kredibel. Memang pada perkembangnnya khalayak media, dalam menerima pesan juga
membedakan antara apa yang dikatakan dengan kredibiltas sumbernya.
Ketiga, daya tarik komunikator, hal ini meningkatkan daya tarik persuasif. Hal ini terutama
berlaku pada homofili, yakni tingkat kesamaan usia, latarbelakang dll seperti dipersepsi orang.
Persuasi itu sebagian besar berhasil bila orang mempersepsi komunikator seperti dirinya sendiri
secara gamblang. Karena persuasi dalam hal ini propaganda politik merupakan upaya
penyebaran informasi dan pengaruh satu-kepada-banyak maka instrumen teknologi yang dapat
menyebarkan pesan kepada angota kelompok merupakan hal yang tepat dilakukan. Goebbels,
dalam memikirkan strategi kampanye persuasifnya membedakan haltung yang mempengaruhi
prilaku, sikap dan perbuatan orang. Sementara stimmung merupakan morel mereka, penerimaan
dan retensi imbauan persuasif.
Berbagi pesan propagandis berhubungan dengan keefektifannya dalam dua hal, yaitu :
a.

Isi pesan, hal ini menyangkut model pilihan isi yang dikemukakan dalam propaganda di media
massa. Bisa jadi isi yang mengancam orang (isi membangkitkan rasa takut) akan mempersuasi
kalayak dalam kondisi tertentu.

b.

struktur pesan, bisa jadi karena ,media yang dipakai adalah media massa yang memiliki
keterbatasan waktu atau tempat menyebabkan penyusunan struktur pesan yang efektif dan
efesien. Namun terlepas dari segala keterbatasan waktu dan tempat, propaganda di media massa
bisa dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi suatu terpaan (exposure). Misalnya,
propaganda AS melawan terorisme disampaikan lewat media-media yang berpengaruh secara
internasional. Misalnya CNN, CBC, VOA dll. Hal itu juga dilakukan dengan membuat agenda
setting di media-media seluruh dunia, mengukuhkan (reinforcement) kalau terorisme itu memang
penggeraknya adalah orang-orang timur tengah.

2. Iklan Politik

Pemilu legislatif dan pemilu presiden tahun 2009 ini diawali dengan kampanye yang
sangat menarik dari masing-masing calon anggota legislatif (caleg) dan calon presiden (capres).
Kampanye pemilu merupakan proses menyampaikan pesan-pesan politik yang salah satu
fungsinya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Setiap partai politik selalu berusaha
menemukan cara-cara paling efektif untuk merekrut sebanyak-banyaknya massa.
Salah satu cara merekrut massa tersebut yaitu melalui pesan-pesan politik dari para
kandidat. Pesan-pesan tersebut pun semakin bervariasi baik bentuknya maupun media yang
digunakannya. Media iklanlah yang banyak dipilih para kandidat. Media iklan tersebut di
antaranya media cetak, media elektronik, dan media luar ruang.
Yang penulis tekankan dalam makalah ini adalah media cetak dan media luar ruang,
seperti billboard, baliho, selebaran, spanduk, poster yang berukuran mini sampai yang berukuran
raksasa yang terpampang di pinggir jalan dan tempat-tempat umum.
Perubahan sistem pemilihan yang ditetapkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang
berbasis pada perolehan suara telah membuat para caleg mengubah strategi. Sistem perolehan
suara terbanyak, mau tidak mau membawa atmosfer kompetisi yang semakin ketat. Tidak hanya
dengan partai lawan, tetapi juga dengan rekan separtai. Kekuatan figur menjadi sangat penting.
Salah satu cara memperkenal-kan figur tersebut melalui berbagai atribut kampanye yang
dianggap simbol representasi caleg. Meskipun tidak memberikan pengaruh signifikan, nyatanya
baliho dan spanduk masih tetap digunakan. Hal itu berguna untuk membangun nuansa
psikologis.
Tujuan iklan-iklan politik melalui baliho dan spanduk itu, tentu untuk merebut hati dan
simpati khalayak para calon pemilih. Melalui iklan politik para politisi yang berlomba-lomba
menampil-kan citra positif dirinya. Salah satu cara yang digunakan para caleg untuk mencitrakan
dirinya adalah menggunakan kata-kata atau gambar yang unik, contohnya data gambar beberapa
caleg menunjukkan profil dengan kata-kata berani, jujur, amanah, peduli, profesional, muda,
Islami, pengalaman, pengusaha, hingga lulusan dari mana pun disebutkan ,bahkan gelar
akademis menjadi aksesoris diri yang diharapkan mampu mendongkrak citra diri mereka yang
merepresentasi-kan kesuksesan pendidikan formal.
2.1 Pembentukan Citra Politik

Media massa yang bekerja untuk menyampaikan informasi dapat membentuk,
mempertahankan atau mendefenisikan citra. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas
yang sudah diseleksi atau sering orang mengatakannya sebagai realitas tangan kedua (second
hand reality). TV maupun surat kabar memilih tokoh atau berita tertentu dengan
mengesampingkan tokoh dan berita lainnya. Seringkali khalayak cenderung memperoleh
informasi itu semata-mata berdasarkan pada apa yang dilaporkan media massa. Akhirnya, kita
membentuk citra tentang lingkungan sosial kita berdarkan realitas kedua yang ditampilkan media
massa.
Lee Loevinger mengemukakan teori komunikasi yang disebut ‘reflektive-projektive
theory’. Teori ini beranggapan bahwa media massa mencerminkan suatu citra yang ambigumenimbulkan tafsiran yang bermacam-macam-sehingga pada media massa setiap orang
memproyeksikan atau melihat citranya pada penyajian media massa (dalam Jalaluddin Rakhmat,
1993). Pengaruh media massa terasa lebih kuat lagi karena pada masyarakat modern orang
memperoleh banyak informasi tentang dunia dari media massa.
Mengenai masalah ini Schudson (1996) menyebutkan, news (berita) merupakan bagian
dari latarbelakang melalui apa masyarakat berpikir. Dia juga menegaskan Institusi berita sebagai
aktor sosial ekonomi yang memiliki pengaruh sangat besar. Media merupakan suatu “sebab”
terjadinya pendistribusian informasi dengan memilih konsumen yang visible dan terukur.
Saat media memberi publik suatu item berita, dengan sendirinya mereka memberikan
legitimasi publik. Media massa membawa persoalan citra ini ke dalam forum publik, dimana hal
ini dapat didiskusikan oleh khalayak secara umum. Citra yang dibangun tentu saja bukan sesuatu
yang alami, melainkan hasil penyeleksian media melalui political framing (politik pengemasan).
Propaganda politik melalui media massa sebenarnya, merupakan upaya mengemas isu,
tujuan, pengaruh, dan kekuasaan politik dengan memanipulir psikologi khalayak. Begitu
urgennya media, sehingga Cater menyebutnya sebagai institusi kekuatan keempat dalam suatu
pemerintahan atau The Fourth Branch of Government (dalam Sparrow, 1999).
Dalam pelaksanaannya, propaganda di media massa juga tidak bisa mengenyampingkan
beberapa hal yang dikenal dalam rumusan Pamela Shoemaker dan Stephen D. Reese (dikutip
Susilo, 2000) sebagai model “hierarchy of influence”.
Kalau dideskripsikan, sekurang-kurangnya ada lima hal yang mempengaruhi berita media
termasuk di dalamnya isi propaganda.

1.

Pengaruh individu-individu pekerja media seperti karakteristik pekerja media, latarbelakang
personal dan profesional.

2. Pengaruh rutinitas media seperti tengat waktu (deadline), keterbatasan tempat (space) dll.
3. Pengaruh organisasional;
4. Pengaruh dari luar organisasi media seperti dari partai politik atau pemerintah yang melakukan
propaganda.
5.

Pengaruh ideologi yang merupakan sebuah pengaruh paling menyeluruh dari semua pengaruh
yang ada.
Di sini ideologi dimaknai sebagai suatu kekuatan yang mampu melakukan kohesivitas
kelompok. Dengan pengaruh dari kelima faktor tadi, propaganda bisa efektif atau tidak sangat
tergantung pada kemampuan untuk memanfaatkan media massa secara efektif. Tentu saja dengan
pemahaman terhadap karakteristik media massa yang dipakai. Tidak semua media efektif
menjadi medium propaganda dalam suatu konteks tertentu.

Kondisi Masyarakat Indonesia Masa Kini
Menurut saya kondisi kehidupan masyarakat Indonesia zaman sekarang telah banyak mengalami
perubahan terutama dalam perilaku sosialnya. Hal ini salah satunya disebabkan karena
modernisasi.
Negara Indonesia sekarang ini sudah mencapai tahap pemikiran yang sangat modern, Indonesia
sendiri sudah mampu menciptakan alat-alat teknologi yang praktis dan efisien seperti layaknya
yang ada di kehidupan sehari – hari seperti Televisi, telepon genggam, komputer, laptop, dan
lainnya, sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang digunakan pun memiliki kajian –
kajian penting dalam proses kemajuan dan perkembangan teknologi yang membuat Indonesia
lebih modern.
Selain itu penyebab lainnya yaitu masuknya budaya asing ke Indonesia. Masuknya budaya asing
ke indonesia disebabkan salah satunya karena adanya krisis globalisasi yang meracuni indonesia.
Pengaruh tersebut berjalan sangat cepat dan menyangkut berbagai bidang kehidupan. Tentu saja
pengaruh tersebut akan menghasilkan dampak yang sangat luas pada sistem kebudayaan
masyarakat. Begitu cepatnya pengaruh budaya asing tersebut menyebabkan terjadinya
goncangan budaya(culture shock), yaitu suatu keadaan dimana masyarakat tidak mampu
menahan berbagai pengaruh kebudayaan yang datang dari luar sehingga terjadi
ketidakseimbangan dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
Adanya penyerapan unsur budaya luar yang di lakukan secara cepat dan tidak melalui suatu
proses internalisasi yang mendalam dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan antara wujud
yang di tampilkan dan nilai-nilai yang menjadi landasannya atau yang biasa disebut ketimpangan
budaya.

Teknologi yang berkembang pada era globasisasi ini mempengaruhi karakter sosial dan budaya
dari lingkungan sosial.
Dampak positif teknologi modernisasi adalah sebagai berikut.
 Perubahan Tata Nilai dan Sikap
Adanya modernisasi dalam zaman sekarang ini bisa dilihat dari cara berpikir masyarakat yang
irasional menjadi rasional.
 Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah
dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi pula yang membentuk masa modernisasi yang terus kian berkembang dan maju di
waktu sekarang ini.
 Tingkat Kehidupan yang lebih Baik
Dibukanya industri atau industrialisasi berdasarkan teknologi yang sudah maju menjadikan nilai
dalam memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih, dan juga merupakan
salah satu usaha mengurangi pengangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, hal ini
juga dipengaruhi tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang membantu perkembangan
modernisasi.
Dampak negatif teknologi modernisasi adalah sebagai berikut.
 Pola Hidup Konsumtif
Perkembangan teknologi industri yang sudah modern dan semakin pesat membuat penyediaan
barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk
menkonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada, sesuai dengan kebutuhan masing –
masing.
 Sikap Individualistik
Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi
membutuhkan orang lain dalam beraktivitas. Padahal manusia diciptakan sebagai makhluk
sosial.
 Gaya Hidup Kebarat-baratan
Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai
menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja,
dan lain-lain.
 Kesenjangan Sosial

Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti
arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara individu
dengan individu lainnya. Dengan kata lain individu yang dapat terus mengikuti perkembangan
jaman memiliki kesenjangan tersendiri terhadap individu yang tidak dapat mengikuti suatu
proses modernisasi tersebut. Hal ini dapat menimbulkan kesenjangan sosial antara individu satu
dengan lainnya, yang bisa disangkutkan sebagai sikap individualistik.
 Kriminalitas
Kriminalitas sering terjadi di kota-kota besar karena menipisnya rasa kekeluargaan, sikap yang
individualisme, adanya tingkat persaingan yang tinggi dan pola hidup yang konsumtif.
 Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja adalah penyimpangan perilaku yang dilakukan generasi muda (sekelompok
remaja). Misalnya tawuran, perusakan barang milik masyarakat, penyimpangan seksual, dan
penyalahgunaan narkotika serta obat-obatan terlarang. Kenakalan remaja dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu faktor eksternal dan internal.
1. Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari remaja atau keadaan
pribadi remaja itu
sendiri. Misalnya, pembawaan sikap negatif dan suka dikendalikan yang juga mengarah pada
perbuatan nakal. Selain itu, kenakalan remaja dapat disebabkan karena adanya pemenuhan
kebutuhan pokok yang tidak seimbang dengan keinginan remaja sehingga menimbulkan konflik
pada dirinya dan kurang mampunya si remaja itu menyesuaikan diri dengan lingkungan.
2. Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri remaja itu artinya, berasal dari
lingkungan hidup remaja tersebut. Misalnya kehidupan keluarga, pendidikan di sekolah,
pergaulan, dan media massa. Seseorangyang hidup dalam keluarga yang tidak harmonis
cenderung akan memepnyai perilaku yang kurang baik dan menyimpang dari norma dan nilai
yang berada pada masyarakat.Misalnya seorang anak yang sering melihat orang tuanya
bertengkar dapat melarikan diri pada obat-obatan karena ia tidak tahan melihat pertengkaran
orang tuanya.
 Kerusakan Lingkungan Hidup
Pencemaran yang terjadi di lingkungan masyarakat menimbulkan dampak sebagai berikut:
• Polusi udara, menyebabkan sesak nafas,mata pedih, dan pandangan mata kabur.
• Polusi tanah, menyebabkan lahan pertanian menjadi rusak.
• Polusi air, menyebabkan air tidak bersih dan tidak sehat isi.
Pengaruh global terhadap eksistensi jati diri bangsa
Adanya unsur budaya asing yang tidak sosuai dengan kepribadian bangsa indonesia sangat
menghawatirkan karena dapat menyebabkan terjadinya goncangan budaya. Namun, di sisi lain
masuknya unsur budaya asing de indonesia juga sangat bermanfaat bagi kehidupan bangsa
indonesia.
Menurut Bierens de Haan, dalam masyarakat terdapat dua unsur berlawanan, yaitu statika dan
dinamika. Unsur statika merupakan unsur-unsur dalam masyatakat yang cenderung
memepertahankan suatu keadaan untuk tetap (tidak berubah), seperti adanya vested interest atau

golongan orang yang menghendaki status quo. Sebaliknya, unsur dinamika merupakan unsur
yang menghendaki adanya perubahan, misalnya perubahan linkungan alam, nilai-nilai sosial, dan
perubahan struktur sosial. Adanya unsur statika dan dinamika inilah sesinambungan masyarakat
tetap tejadi meskipun terjadi perubahan-perubahan di dalam masyarakat.
Untuk melestarikan kesinambungan kehidupan masyarakat agar tetap eksis tentu saja kita harus
menjunjung tinggi jati diri bangsa. Untuk itu, kita pun harus mampu mempertahankan diri dari
derasnya arus globalisasi. Unsur-unsur budaya asing yang sesuai kepribadian bangsa dapat kita
ambil, sedangkan yang tidak sesuai kita tinggalkan. Dengan demikian, keberadaan bangsa kita
akan terus ada meskipun begitu derasnya pengaruh dari luar. Selain itu, bangsa kita pun akan
mampu mengikuti perkembangan yang ada dengan tetap menjaga dan melestarikan budaya
bangsa sendiri. Budaya bangsa kita yang harus dipertahankan misalnya budaya gotong royong,
peduli terhadap lingkungan, dan adanya kerja sama yang baik.
Apa yang akan terjadi jika kita tidak mampu menghadapi tantangan global? Apabila kita tidak
mampu menghadapinya, kita akan terisolasi dari bangsa lain. Keberadaan bangsa kita pun tidak
diketahui di mata dunia apalagi jika kita tidak mampu menstarakan diri dari bangsa lain.
Sekuralisasi
Kita berbicara tentang sekularisme jika kita memusatkan perhatian kita pada efek negatif
sekularisasi. Sekularisasi dapat mendorong pada ekstrem atau ekses, yakni suatu sikap berlebihlebihan untuk menyingkirkan segala alasan, motif atau dimensi religius sebagai omong kosong.
Pandangan-pandangan seperti ateisme, materialisme dan saintisme merupakan berbagai aspek
dalam sekularisme. Sekularisme dalam arti ini bukanlah sebuah proses sosial-epistemologis,
melainkan sebuah ideologi dengan kesempitan berpikir yang tidak dapat mentoleransi eksistensi
agama di dalam masyarakat majemuk. Jika agama menghasilkan fundamentalisme religius,
proses sekularisasi juga dapat menghasilkan suatu fundamentalisme tertentu, yakni
fundamentalisme profane. Itulah sekularisme.
Jadi, di sini kita dapat mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses yang wajar di dalam
modernisasi, karena pemisahan antara agama dan Negara memang diperlukan untuk
memungkinkan kebebasan dan keadilan dalam masyarakat majemuk, namun sekularisme harus
diwaspadai. Untuk masyarakat kita yang cenderung religius, sekularisme bukanlah ancaman real;
fundamentalisme agamalah yang merupakan ancaman real bagi kemajemukan. Yang sebaliknya
juga harus dikatakan: Sekularisme bukanlah solusi untuk masalah kemajemukan, sebab
sekularisme adalah bentuk intoleransi terhadap agama manaupun yang merupakan anggota
masyarakat majemuk. Yang dibutuhkan masyarakat kita adalah tingkat sekularisasi tertentu (baik
secara structural maupun kultural) agar dapat bersikap “fair” terhadap kemajemukan orientasi
nilai di dalam masyarakat kita. Kebijakan-kebijakan politis yang berorientasi agama tertentu,
misalnya, tidak dapat begitu saja dijadikan norma publik untuk mengatur keseluruhan
masyarakat, karena akan bersikap tidak fair terhadap kelompok-kelompok lain bahkan dalam
agama yang sama.
Jadi, kesimpulannya bahwa di zaman sekarang ini masyarakat Indonesia cenderung terlalu
mengikuti perkembangan zaman yang pesat tanpa kita sadari bahwa kita telah melupakan
kebudayaan negara kita sebagai bangsa yang berbudaya timur. selain itu juga masyarakat di
negara kita banyak yang mengaku beragama tetapi pada kenyataannya justru perilakunya
menyimpang dari nilai-nilai agama. pada sebagian masyarakat yang menganggap dirinya modern
mereka beranggapan bahwa kehidupan duniawi yang lebih penting tanpa mementingkan agama,
tapi pada masyarat yang awam kadang mereka tidak menghiraukankeadaan sekitarnya.

BAB III
PENUTUP
Dari paparan diatas dapat kita simpulkan beberapa hal penting. Propaganda dan
periklanan merupakan salah satu pendekatan dalam persuasi politik. Secara sederhana
propaganda didefinisikan sebagai komunikasi yang digunakan oleh suatu kelompok terorganisasi
yang ingin menciptakan partisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang
terdiri atas individu-individu, dipersatukan secara psikologis melalui manipulasi psikologis dan
digabungkan di dalam suatu organisasi.
Karena kaitannya dengan karakteristik propaganda sebagai transmisi pesan satu-kepadabanyak, maka media massa menjadi medium pesan yang sangat efektif untuk digunakan. Melalui
upaya manipulasi psikologis, propaganda berupaya menyatukan khalayak kedalam suatu
organisasi atau tujuan propagandis.
Begitu juga dalam proses penciptaan dan juga pembangunan opini public melalui
periklanan yang tidak terlepas dari propagandis juga publikasi imag positif kepada khalayak.
Semua ini adalah bentuk bentuk dari perjalan komunikasi yang di gunakan oleh komunikator
komunikator politik dan komunikan yang haus akan pesan pesan politik yang di input dari media
perpolitikan.