Identifikasi Ras Fisiologi Phytophthora infestans pada Sentra Produksi Kentang di Kabupaten Karo

Identifikasi Ras Fisiologi Phytophthora infestans pada Sentra Produksi Kentang
di Kabupaten Karo
Identification of Physiological Race of Phytophthora infestans in Potato
Production Center in Kabupaten Karo
1

Rosmayati1, G. A. Wattimena2, Meity Suradji Sinaga2, M. Machmud3
Pengajar di Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian USU, Medan–20155
2
Pengajar Institut Pertanian Bogor,
3
Peneliti Balitbang Tanaman Pangan Bogor
Diterima 23 September 2005/Disetujui 4 Februari 2006

Abstract
Phytopthora infestans species has different virulent gene r, that comprise of 1, 2, 3, 4, 5,
6, 7, 8, 9, 10, 11 and its combination. The causal of late blight known unstabil in genetics there for
the pathogen has many different physiological races. Especially in Indonesia, where syntetic fungicide
has been irrasionally used for long time periods. An experiment has been done to identified the
physiological races of P. infestans that attacked potatoes in Kabupaten Karo. The analysis were done
by bioassay methods using 18 differential genotype cultivar. This experiments was arranged by

Randomized Complete Design with 18 genoptype and 6 locations derived from inoculum from 3
Kecamatan; Kecamatan Brastagi, Kabanjahe and Merek. The results showed that P.infestans race
found in Kabupaten Karo as race 1, 2, 3, 5, 6, 8, 11, 1.2, 1.3, 2.3, dan 1.2.4. In Brastagi,
Merek and Kabanjahe race 1, 2, 3, 8, 1.2, 1.3, 2.3 and 1.2.4., Race 5, 6, and 11 only in
Kecamatan Merek and Berastagi. Race 7 only in Kecamatan Merek. Di Kecamatan Berastagi ,
Merek and Kabanjahe were found race 1, 2, 3, 8, 1.2, 1.3, 2.3 and 1.2.4., Race 5, 6, and 11
only in Kecamatan Merek and Berastagi. Race 7 only in Kecamatan Merek.
Keywords: P. infestans, physiological race, Kabupaten Karo
Abstrak
Spesies Phytophthora infestans dikenal mempunyai 11 r gen virulen yaitu, r 1, 2, 3, 4, 5,
6, 7, 8, 9, 10, 11 dan kombinasinya. Penyebab penyakit hawar daun ini dikenal tidak stabil,
sehingga mempunyai banyak ras-ras fisiologis yang berbeda. Terutama di Indonesia, di mana
penggunaan fungisida yang tidak rasional dan dalam waktu yang panjang. Percobaan ini
bertujuan untuk mengidentifikasi ras fisiologis P. infestans yang menyerang pertanaman
kentang di Kabupaten Karo dengan metoda bioassai, menggunakan kultivar kentang
diferensial. Percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap. Perlakuan yaitu kombinasi
18 genotipe diferensial dan 6 lokasi asal isolat dari 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Berastagi,
Kecamatan Kabanjahe, dan Kecamatan Merek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ras P.
infestans yang dijumpai di Kabupaten Karo adalah ras 1, 2, 3, 5, 6, 8, 11, 1.2, 1.3, 2.3, dan
1.2.4. Di Kecamatan Berastagi, Merek, dan Kabanjahe ditemukan ras 1, 2, 3, 8, 1.2, 1.3, 2.3

dan 1.2.4. Ras 5, 6, dan 11 hanya ada di Kecamatan Merek dan Berastagi. Ras 7 hanya di
jumpai di Kecamatan Merek.
Kata kunci: P. infestans, ras fisiologi, Kabupaten Karo

Pendahuluan
Penyakit hawar daun merupakan
penyakit utama yang menyerang tanaman
kentang di Kabupaten Karo. Penyakit ini
tidak diketahui dengan jelas saat pertama

kali masuk ke Indonesia, diduga berasal dari
bibit impor dari Eropa.
Kerugian yang ditimbulkan penyakit
ini dapat mencapai 100% gagal panen,
terutama pada musim penghujan dengan

9

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006


kelembaban udara 90% (Sangoba dan Hakiza,
1999).
Dalam upaya mengatasi kerugian
yang ditimbulkan penyakit ini, petani Karo
secara intensif menggunakan fungisida
dengan interval penggunaan 2–3 hari sekali
bahkan dengan mencampurkan beberapa
fungisida dengan bahan aktif yang berbeda
(Tobing, et al., 2001). Petani tidak menyadari
bahwa apa yang dilakukannya, akan
menimbulkan dampak negatif yang besar
terhadap lingkungan. Residu fungisida mencemari
hasil panen kentang dan menimbulkan
tekanan seleksi yang besar pada patogen.
Patogen akan menjadi resisten terhadap
fungisida dan terstimulasi membentuk
keragaman genetik yang besar melalui
pembentuk ras-ras baru (Bradshaw, et al.,
1996).
Fry dan Goodwin (1995) menjelaskan

bahwa epidemi hawar daun sangat sulit
dikendalikan, karena tingginya keragaman
genetik P. infestans. Menurut Deahl dan
Jones (1997), perubahan genetik dari P.
infestans meliputi perubahan utama dari type
mating dan ketahanan terhadap fungisida.
Selain itu perubahan keragaman genetik
juga dapat terjadi karena mutasi, rekombinasi
somatik, heterokariosis, dan paraseksualisme
(Shaw, 1991).
Deahl dan Jones (1997) melaporkan
bahwa lebih dari 13 genotipe yang berbeda
didapat dari 556 isolat yang dianalisis
selama periode tahun 1993 sampai 1996 di
Kanada.
Hasil analisis ini memperlihatkan
bahwa perubahan tidak hanya terjadi di
dalam populasi, tetapi juga menunjukkan
bagaimana genotipe US-8 (tipe A1)
meningkat dengan cepat, dan genotipe ini

sangat menonjol. Penelitian yang sama juga
dilakukan di Kanada dan Kolombia pada
tahun 1998, genotipe yang sangat menonjol
juga US-8 dan US-11 (tipe A2), sehingga
penggunaan berbagai kultivar yang dilepas
secara periodik, tidak tahan terhadap
penyakit ini (Deahl dan Jones, 1997).

10

Spesies P. infestans diketahui mempunyai
11 r gen virulen (r1– r11) dengan rekombinanrekombinannya. Gen tahan pada inang berupa
R dominan (R1–R11) telah dimasukkan ke
dalam kentang budidaya, berasal dari tipe
kentang liar Solanum demissum (Wastie,
1991).
Flor (1955) mengemukakan bahwa
gen virulen patogen yang berkoresponden
dan kompatibel dengan gen tahan pada
inang, mengakibatkan tanaman inang menjadi

rentan, sebaliknya bila gen virulen patogen
bertemu dengan gen tahan inang yang tidak
kompatibel mengakibatkan tanaman inang
berespons tahan. Konsep Flor ini menunjukkan
bahwa bila tanaman yang mengandung gen
tahan R1 dapat terinfeksi oleh patogen,
maka patogen yang menyerang tanaman
tahan ini mengandung ras 1 atau kombinasi
gen patogen yang mengandung ras 1,
sebaliknya bila tanaman inang tidak terinfeksi
patogen, maka patogen yang menyerang
tanaman ini bukanlah patogen yang
mengandung ras 1 (Van der Plank, 1984)
Banyak usaha sudah dilakukan
untuk mengendalikan penyakit ini, salah
satunya dengan menggunakan tanaman
tahan, tetapi ketahanan tanaman inang
mudah terpatahkan karena kehadiran ras
patogen yang berbeda dengan gen tahan
pada inang. Sampai saat ini belum

diketahui jenis ras yang ada pada areal
penanaman kentang di Kabupaten Karo.
Identifikasi ras patogen perlu dilakukan
untuk pengendalian penyakit hawar daun
yang lebih ramah lingkungan, misalnya
dengan menanam varietas kentang yang
mengandung gen tahan yang tidak kompatibel
dengan gen virulen patogen. Epidemik
penyakit hawar daun bersifat polisiklik, oleh
karena itu varietas tahan yang akan efektif
mengendalikan penyakit ini harus bersifat
tahan secara horizontal. Identifikasi ras P.
infestans dapat dilakukan secara molekuler,
biokimia, maupun bioassai.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi ras fisiologis P. infestans

Rosmayati, G. A. Wattimena, Meity Suradji Sinaga, M. Machmud: Identifikasi Ras
Fisiologi Phytophthora infestans


yang menyerang pertanaman kentang di
Kabupaten Karo dengan metoda bioassai
menggunakan kultivar kentang diferensial.

Bahan dan Metoda
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara, Kebun Percobaan Tanaman Pangan
Hutagadung, Kabupaten Karo. Percobaan
berlangsung dari bulan September 2003
sampai Januari 2004.
Bahan Tanaman
Bahan tanaman yang diuji dalam
percobaan ini adalah 18 genotipe diferensial
mengandung gen tahan R yang sudah
teridentifikasi, berasal dari CIP Peru yang
merupakan koleksi Prof. G. A. Wattimena.
Inokulum patogen P. infestans

diisolasi dari daun kentang terserang hawar
daun, diambil dari 3 kecamatan di Kabupaten
Karo, yaitu Kecamatan Berastagi, Merek,
dan Kabanjahe, dari setiap kecamatan
diambil 2 lokasi untuk sampel. Daun sakit
didesinfektan terlebih dahulu dengan NaOCl

konsentrasi 3%. Isolat ini kemudian dibilas
dengan aquadest steril sebanyak 3 kali,
selanjutnya potongan daun ditanam pada
media V-8 juice agar dalam cawan petri.
Isolat kemudian diinkubasikan pada suhu
150 C selama 6 hari, dan selanjutnya
dimurnikan dengan mengambil spora P.
infestans, kemudian isolat ini diperbanyak
kembali pada media V-8 jus agar.
Bibit yang digunakan merupakan
hasil stek dari bibit yang telah diaklimatisasikan
di rumah kasa, berasal dari bibit kecil hasil
kultur jaringan. Bibit yang berumur 2 minggu

hasil stek ditanam dalam polibag. Tiap
polibag ditanam dua tanaman. Polibag
berukuran 1 kg yang digunakan untuk
tempat penanaman bibit, disusun di rumah
kasa. Media tanam yang digunakan merupakan
campuran tanah dan pupuk kandang 1:1.
Sebagai pupuk dasar diberikan urea (5
g/tan), SP-36 (5 g/tan), dan KCl (5 g/tan).
Pupuk SP-36 dan KCl diberikan sekaligus
pada saat tanam, sedangkan pupuk urea
diberikan bertahap yakni setengah bagian
pada waktu tanam dan sisanya sebulan
kemudian.

Tabel 1. Genotipe kentang diferensial asal CIP
No
1.
2.
3.
4.

5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.

Nomor genotipe dari CIP
801039
801040
801041
801042
801043
801044
801045
801046
801048
801049
801050
801051
801052
801001
801054
801056
801057
801005

Tipe gen R
R1
R2
R3
R4
R5
R6
R7
R8
R11
R1R2
R1R3
R1R4
R2R3
R2R4
R3R4
R1R2R4
R1R3R4
R2R3R4

11

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Metoda Uji Ras Fisiologi P. infestans
Pengujian menggunakan metoda
daun yang dipetik dan diuji di laboratorium.
Pengujian dengan metoda ini lebih efektif
dan efisien, karena patogen yang menginfeksi
daun tanaman inang, merupakan patogen
P. infestans murni, di samping itu dapat
terhindar dari lingkungan yang tidak
menguntungkan pertumbuhan patogen, serta
lebih murah.
Daun-daun tanaman kentang diferensial
yang akan digunakan dipetik dari tanaman
pada umur 30 hari sesudah tanam, kemudian
diletakkan di dalam cawan petri yang sudah
diberi kertas saring basah. Selanjutnya sisi
daun sebelah bawah yang menghadap ke
atas diinokulasi dengan meneteskan
suspensi inokulum dengan konsentrasi
2.5x104/ml sebanyak ± 0.2 ml, lalu
diinkubasikan pada suhu 200 C.
Peubah amatan dilakukan setiap hari
setelah inokulasi.

Metoda Penelitian

Percobaan disusun menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan
merupakan interaksi 18 genotipe diferensial
(Tabel 1) dan 6 macam isolat, L1, L2, L3,
L4, L5, L6 dengan 3 ulangan.
L1 = isolat Kecamatan Berastagi pada
lokasi 1
L2 = isolat Kecamatan Berastagi pada
lokasi 2
L3 = isolat Kecamatan Merek pada lokasi
1
L4 = isolat Kecamatan Merek pada lokasi
2
L5 = isolat Kecamatan Kabanjahe pada
lokasi 1
L6 = isolat Kecamatan Kabanjahe pada
lokasi 2, sehingga menjadi 108
perlakuan.
1.

12

Peubah yang diamati:
Periode laten (hari). Pengamatan
dilakukan dengan menghitung jumlah
hari sejak inokulasi sampai munculnya
gejala awal penyakit.

2.

Laju perkembangan bercak. Peubah ini
dihitung dengan menggunakan rumus:
r = Xj-Xi/tj-ti
Keterangan:
r
= Laju perkembangan bercak
Xi = Diameter bercak pada pengamatan
ke i
Xj = Diameter bercak pada pengamatan
ke j
ti
= Waktu pengamatan pada hari ke i
= Waktu pengamatan pada hari ke j
tj
3.

Diameter perkembangan bercak.
Diukur setiap hari dimulai segera
setelah
periode
laten
dapat
ditentukan.
Data hasil pengamatan dianalisis
ragam untuk melihat pengaruh perlakuan.
Jika analisis nyata maka perbandingan
pasangan antar-perlakuan dilakukan uji
beda rataan dengan uji jarak berganda
Duncan. Hubungan keeratan antar peubah
dianalisis dengan analisis korelasi.

Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan evaluasi dengan inang
diferensial diketahui bahwa, di Kecamatan
Berastagi terdapat ras 1, 2, 3, 5, 6, 8, 1.2,
1.3, 2.3 dan 1.2.4. Di antara 2 macam isolat
yang digunakan untuk evaluasi lanjut
diketahui ada perbedaan jenis ras asal
Kecamatan Berastagi. Ras 5 dan 6 hanya
terdapat pada lokasi 2 dan tidak pada lokasi
1. Di Kecamatan Merek ada ras 1, 2, 3, 5, 6,
7, 8, 11, 1.2, 1.3, 2.3, dan 1.2.4. Pada
Kecamatan inipun ada perbedaan jenis ras
antara lokasi 1 dengan lokasi 2. Pada lokasi
2 terdapat ras 7 sedangkan pada lokasi 1
tidak ada, sebaliknya pada lokasi 1 terdapat
ras 2.3 sedangkan pada lokasi 2 tidak ada.
Di Kecamatan Kabanjahe dijumpai ras 1, 2,
3, 5, 8, 11, 1.2, 1.3, dan 1.2.4. Ada
perbedaan jenis ras pada 2 isolat yang
digunakan. Isolat yang diambil dari lokasi 1
terdapat ras 5 dan 2.3 sedangkan pada lokasi
1 tidak ada. Ras 4 dan kombinasinya tidak

Rosmayati, G. A. Wattimena, Meity Suradji Sinaga, M. Machmud: Identifikasi Ras
Fisiologi Phytophthora infestans

terdapat di 3 Kecamatan sentra pertanaman
kentang di Kabupaten Karo ini.
Periode laten adalah periode di antara
inokulasi tanaman dan ekspresi gejala
penyakit yang terlihat (Umaerus, 1970).
Periode laten ras 2 pada genotipe 801040 di
6 lokasi yang dicobakan berkisar antara 4,6–
8,2 hari dengan rataan 5,7 hari, ras ini
mempunyai periode laten yang terlama,
kemudian ras 1.2 pada genotipe 801049
antara 2,4–5,3 hari dengan rataan 4,2 hari,
ras 1.3 pada genotipe 801050 antara 1,9–6,1
hari dengan rataan 3,8 hari, diikuti ras 1
pada genotipe 801039 antara 1,7–6,3 hari
dengan rataan 3,8 hari, ras 3 (801041)
antara 1,3–5,4 hari dengan rataan 3,1 hari,
ras 8 pada genotipe 801046 antara 0,8–5,8
hari dengan rataan 2,7 hari, ras 2.3 pada
genotipe 801052 antara 2,2–5,3 hari dengan
rataan 2,2 hari dan ras 1.2.3 pada genotipe
801056 antara 1,6–4,1 hari dengan rataan
2,2 hari. Sedangkan ras-ras yang lain
periode latennya sangat kecil dengan rataan
lebih kecil dari 2 hari yaitu pada genotipe
801043, 801044, dan 801045 (Tabel 3). Ras
yang mempunyai periode laten panjang
menggambarkan ras tersebut mempunyai
tingkat virulensi yang rendah, sedangkan
ras yang mempunyai periode laten pendek
menggambarkan tingkat virulensi ras tinggi.

Dari Tabel 3 terlihat genotipe
801039 mempunyai laju diameter bercak
yang terbesar yaitu 0,41 cm/hari di lokasi 2
kecamatan Merek, diikuti genotipe 801049,
801050, 801040, sebesar 0,27 sampai
0,36/hari, sedangkan genotipe 801041,
801043, 801044, 801045, 801046, 801048,
801052, dan 801056 mempunyai laju
perkembangan bercak antara 0,01 sampai
0,18 unit/hari.
Peubah kejadian penyakit yang
diamati dari hari ke-5 sampai ke-9 sesudah
inokulasi, memperlihatkan pengaruh yang
nyata karena perlakuan macam isolat dan
18 genotipe diferensial. Beberapa genotipe
diferensial yang tidak terserang patogen di
antaranya, 801042 (R4), 801051 (R1R4),
8010001 (R2R4), 801054 (R3R4), 801057
(R1R3R4), dan 801005 (R2R3R4), sedangkan
untuk genotipe 801040 (R2), 801041 (R3)
di lokasi 1 Kecamatan Berastagi pada hari
ke-5 sudah 100% terinfeksi demikian juga
dengan genotipe 801049 (R1R2) dilokasi 2
Kecamatan Kabanjahe. Pada hari ke-6
sesudah inokulasi, genotipe 801049 (R1R2)
sudah hampir semuanya terinfeksi kecuali di
lokasi 2 Kecamatan Berastagi dan lokasi 1
di Kecamatan Merek. Genotipe 801039
(R1) di lokasi 2 Kecamatan kabanjahe dan
genotipa 801050 (R1R3) di lokasi 1
Kecamatan Berastagi pada hari ke-6 sudah
terinfeksi 100%.

Tabel 2. Gen tahan pada genotipe diferensial yang kompatibel dengan gen virulen P. infestans berasal
dari 3 kecamatan di sentra pertanaman kentang (Kecamatan Berastagi, Merek, dan
Kabanjahe)
Genotipe dgn Gen R
801039 (R1)
801040 (R2)
801041 (R3)
801042 (R4)
801043 (R5)
801044 (R6)
801045 (R7)
801046 (R8)
801048 (R11)
801049 (R1R2)
801050 (R1R3)
801051 (R1R4)
801052 (R2R3)
801001 (R2R4)
801054 (R3R4)
801056 (R1R2R4)
801057 (R1R3R4)
801005 (R2R3R4)

Berastagi
L1
+
+
+
+
+
+
+
+
-

Merek
L2
+
+
+
+
+
+
+
+
-

L3
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

L4
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

Kabanjahe
L5
L6
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

13

14

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

801039 (R1)
801040 (R2)
801041(R3)
801042(R4)
801043(R5)
801044(R6)
801045(R7)
801046(R8)
801048(R11)
801049(R1R2)
801050(R1R3)
801051(R1R4)
801052(R2R3)
801001(R2R4)
801054(R3R4)
801056(R1R2R4)
801057(R1R3R4)
801005(R2R3R4)

No Genotipa

4,4
4,6
5,0
5,8
3,2
3,4
2,8
0,2
-

0,7
0,7
0,8
0,6
0,9
1,1
0,1
0,2
-

0,11
0,11
0,12
0,15
0,23
0,22
0,06
0,00
-

6,0
2,7
4,1
4,1
2,4
1,9
5,3
4,1
0,33
0,32
0,98
0,21
1,69
0,06
0,06
0,32
-

0,19
0,00
0,11
0,07
0,18
0,00
0,00
0,08
-

Kecamatan Berastagi
Lokasi 1
Lokasi 2
PL DB r
PL DB r
1,7
5,1
3,6
2,7
1,6
0,8
0,7
5,3
5,3
3,0
3,3
-

0,2
2,1
0,2
0,2
0,9
0,2
0,0
0,6
1,1
0,3
0,4
-

0,19
0,20
0,13
0,06
0,01
0,01
0,02
0,24
027
-,
0,08
0,06
-

5,1
5,8
1,3
1,0
1,0
1,3
0,9
2,3
5,2
2,9
2,8
-

3,9
2,4
0,4
0,8
0,4
0,2
0,3
0,3
4,5
2,2
1,6
-

0,41
0,29
0,08
0,13
0,04
0,03
0,02
0,14
0,27
0,12
0,08
-

Kecamatan Merek
Lokasi 1
Lokasi 2
PL DB r
PL DB r

terhadap rataan periode la

6.3
8.2
5.4
5.0
1.6
1.0
4.3
6.1
2.2
1.6
-

1.04
0.59
0.91
0.75
0.16
0.04
0.71
0.56
0.32
0.23
-

0.17
0.00
0.16
0.00
0.02
0.00
0.24
0.38
0.08
0.01
-

5.0
4.7
3.1
2.9
1.3
4.9
3.3
1.4
-

4.0
1.5
1.3
0.3
0.5
3.6
3.0
1.2
-

0.15
0.29
0.02
0.00
0.00
0.36
0.36
0.14
-

Kecamatan Kabanjahe
Lokasi 1
Lokasi 2
PL DB r
PL DB r

Tabel 3. Pengaruh perlakuan berbagai isolat asal 3 kecamatan di Kabupaten Karo pada 18 genotipa kentang diferensial,
bercak (cm) pada 9 HSI dan laju perkembangan bercak (unit/hari)

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Rosmayati, G. A. Wattimena, Meity Suradji Sinaga, M. Machmud: Identifikasi Ras
Fisiologi Phytophthora infestans

Kejadian Penyakit (%)

100.00
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
5 hsi

6 hsi

7 hsi

8 hsi

9 hsi

Waktu Pengamatan (hari)

80-39
80-40
80-41
80-42
80-43
80-44
80-45
80-46
80-48
80-49
80-50
80-51
80-52
80-01
Gambar 1. Rataan kejadian penyakit pada setiap genotipa diferensial selama 9 hari pengamatan. hsi =
hari sesudah inokulasi

Kejadian penyakit akan semakin
meningkat dengan bertambahnya hari.
Pada hari ke-9 sesudah inokulasi, genotipe
801040 (R1) serangan patogen sudah
mencapai antara 78,5–100% untuk semua
lokasi diikuti genotipe 801049 (R1R2)
antara 56,2–100%, genotipe 801041 (R2)
dan genotipe 801046 (R8) berkisar antara
33,3–100%, kecuali untuk lokasi 2 Kecamatan
Berastagi genotipe 801041 tidak terserang
patogen, hal yang sama juga diperoleh pada
genotipe 801039 (R1). Sedangkan untuk
genotipe 801050 (R1R3) serangan patogen
untuk semua lokasi berkisar antara 11,1–
100%. Genotipe-genotipe 801043 (R5),
801044 (R6), 801048 (R11), 801052 (R2R3),
801056 (R1R2R4) serangan patogen berkisar
antara 0–75%.
Berdasarkan semua peubah yang
diamati akibat infeksi patogen pada

genotipe 801039 (R1), 801040 (R2), 801041
(R3), 801043 (R5), 801044 (R6), 801045
(R7), 801046 (R8), 801049 (R1R2), 801050
(R1R3), 801052 (R2R3), dan 801056
(R1R2R4), nampak bahwa di daerah
Kecamatan Berastagi, Merek, dan Kabanjahe
didapat ras 1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 1.2, 1.3, 2.3,
dan 1.2.4, karena gen virulen patogen
hanya akan menginfeksi tanaman yang
mempunyai gen tahan (R) yang sama
dengan gen virulen (r) yang ada pada
patogen yang disebutkan dengan reaksi
kompatibilitas. Sebaliknya bila tidak terjadi
infeksi pada tanaman inang, maka gen
virulen pada patogen tidak kompatibel
dengan gen tahan (R) yang ada pada
tanaman. Genotipe yang tidak mengalami
infeksi sesudah diinokulasi dengan patogen
P. infestans adalah genotipe 801042 (R4),
801051 (R1R4), 801001 (R2R4), 801054

15

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

(R3R4), 801057 (R1R3R4), 801005
(R2R3R4) berarti di daerah Kecamatan
Berastagi, Kabanjahe, dan Merek tidak
didapat ras 4 dengan kombinasinya kecuali
kombinasi ras 1.2.4. Tingginya keragaman
ras pada 3 kecamatan di Kabupaten Karo
yaitu Kecamatan Berastagi, Kabanjahe, dan
Merek dikarenakan pola penggunaan
fungisida yang tidak memenuhi aturan dan
anjuran yang sudah ditetapkan oleh
pemerintah. Petani Karo dalam melakukan
penyemprotan fungisida pada tanaman
kentang yaitu dengan mencampur beberapa
fungisida dalam satu larutan kemudian
diaplikasikan ke tanaman dalam selang
2–3 hari sekali. Tingginya intensitas
penggunaan fungisida ini menimbulkan
tekanan seleksi yang tinggi terhadap patogen,
sehingga menyebabkan patogen mengalami
mutasi dan adaptasi, yang akhirnya
menimbulkan keragaman ras yang besar. Di
samping itu petani pada setiap kecamatan di
Kabupaten Karo tidak selalu sama
menggunakan jenis dan interval fungisida
(hasil wawancara dengan petani), hal ini
menyebabkan tekanan seleksi yang ditimbulkan
berbeda-beda pada setiap kecamatan, oleh
larena itu dapat dipahami bahwa jenis ras
patogen pada setiap kecamatan juga
berbeda. Kondisi seperti ini pernah dibuktikan
oleh Suhardi (1982) dengan menggunakan
44 isolat patogen yang berasal dari
Segunung, Lembang, Pengalengan, Cikajang,
dan Cisurupan Jawa Barat yang diinokulasikan
pada 12 genotipe tanaman kentang yang
masing-masing terdiri dari r, R1, R2, R4,
R5, R10, R11, R1R2, R1R3, R1R4,
R1R2R3, dan R2R4 didapat bahwa terdapat
ras 0, ras 1, ras 4, ras 5, ras 10, ras 11, ras
1.2, ras 1.3, ras 1.4, ras 1.2.3, dan ras 2.4.
Selanjutnya Suhardi (1982) mengemukakan
kebanyakan ras-ras tersebut tercampur
dalam satu populasi isolat dan masingmasing isolat sering memiliki ras yang
berbeda-beda.
Keadaan
inilah
yang

16

mengakibatkan adanya perbedaan dalam
penelitian dengan menggunakan isolat yang
diambil dari lapangan. Ras 5, 6, dan 11
hanya ada di
Kecamatan Merek dan
Berastagi, sedangkan ras 7 hanya didapat
pada Kecamatan Merek.
Pada penelitian ini, tidak dapat
dideteksi ras 9 dan 10 karena tidak adanya
genotipe diferensial yang mengandung gen
tahan R9 dan R10, namun kemungkinan ras
9 tidak ada karena ras 9 sangat rentan
terhadap fungisida metalaksil. Sedangkan
ras 10 berpeluang ada terbukti dengan
genotipe premier yang mengandung gen R10
hasil uji ketahanan di rumah kasa
menunjukkan adanya sifat tahan. Untuk hal
ini masih diperlukan pembuktian lanjut,
apakah ketahanan pada genotipe premier
karena virulensi ras 10 yang rendah atau
karena ras 10 memang tidak ada.
Berdasarkan periode laten, diameter
bercak, dan laju perkembangan bercak yang
ditimbulkan, nampak ras 1.2 merupakan
patogen yang paling virulen, diikuti oleh ras
1, 2, dan 1.3. Diameter bercak pada
genotipe 801049 (R1R2) berkisar antara
3,6–4,5 cm, diikuti genotipe 801039 (R1)
(3,9–4,0 cm), 802040 (R2) (2,1–2,4 cm),
801050 (R1R3) (2,2–3,0 cm) dengan laju
perkembangan bercak berkisar antara 0,15
sampai 0,36 unit/hari. Sedangkan pada
genotipe 801041, 801043, 801044, 801045,
801046, 801048, 801052, dan 801056
diameter bercak yang ditimbulkan sekitar
2 cm untuk setiap asal isolat dengan laju
perkembangan bercak berkisar antara 0,01
sampai 0,18 unit/hari. Berdasarkan periode
laten dan diameter bercak yang ditimbulkan
oleh patogen dari 6 macam isolat yang diuji,
terlihat ras 1, 2, 1.2, dan 1.3 mempunyai
tingkat virulensi yang tinggi. Di antara 6
macam isolat yang digunakan, isolat dari
Kecamatan Merek lokasi 2 yang diambil
untuk menguji tingkat ketahanan genotipe
terhadap penyakit hawar daun, karena isolat

Rosmayati, G. A. Wattimena, Meity Suradji Sinaga, M. Machmud: Identifikasi Ras
Fisiologi Phytophthora infestans

dari daerah ini mempunyai jenis ras yang
paling banyak dengan tingkat virulensi yang
paling tinggi untuk ras 1, 2, 1.2, dan 1.3.

Kesimpulan
Pada 6 areal pertanaman kentang di
Kecamatan
Berastagi,
Merek,
dan
Kabanjahe ditemukan 12 jenis ras fisiologi
P. infestans. Di Kecamatan Berastagi, Merek,
dan Kabanjahe ditemukan ras 1, 2, 3, 8, 1.2,
1.3, 2.3, dan 1.2.4., sedangkan ras 5, 6, dan
11 hanya ada di Kecamatan Merek dan
Berastagi dan ras 7 hanya dijumpai di
Kecamatan Merek.
Di semua Kecamatan tidak terdapat
ras 4 atau kombinasi dengan ras 4 (r1r4;
r2r4; r3r4).
Ras 1, 2, 1.2, dan 1.3 merupakan ras
yang paling virulen dan agresif, sedangkan
ras 3, 5, 6, 7, 8, 2.3, dan 1.2.4 kurang
virulen dan kurang agresif.

Daftar Pustaka
Bradshaw, J. E., H. E. Stewaar and G. R.
MacKay. 1999. New approach to
breeding for late blight resistance:
Objectives, source, and technology.
In: Crissman L. and C.Lizarraga
(eds.). Late Blight A Threat to
Global Food Security Vol 1. Proc.
Global Food Initiative on Late
Blight. Conf. March 16-19, 1999.
Quito, Equador.
Deahl, K. L. and R. Jones. 1999. The
Occurrence of Late Blight in North
Amerika. In: Crissman L. and
C.Lizarraga (eds.). Late Blight A
Threat to Global Food Security Vol.
I. Proc. Global Food Initiative on
Late Bligth Conference. March 1619, 1999. Quito, Equador.

Flor,

H. H. (1955). Host-parasite
interaction in Flax rust its genetics
and other implications. Phytopath.
Vol. 45: 680-685

Fry, W. E., S. B. Goodwin. 1995. Recent
migration of Phytophthora infestans.
Pp. 89–95. In Dowley LJ, Bannon E,
Cooke LR, Keane T and O`Sullivan
E (eds). Phytophthora infestans. Plant
Physiol. 85:34–41.
Sangoba, T., J. J. Hakiza. 1999. The
Current Status of Late Blight Caused
by Phytophthora infestans in Africa
with empasis on Eastern and
Southern Africa. In: Crissman L. and
C. Lizarraga (eds.). Late Blight A
Threat to Global Food Security Vol.
1. Proc. Global Food Initiative on
Late Bligth Conference. March 16–19,
1999. Quito, Equador.
Shaw, D. S. 1991. Genetics. In: Ingram D.
S., P. H. William (eds). Advances in
Plant Pathology, Vol. 7. Phytophthora
infestans, the Cause of Late Blight of
Potato. Academic Press, London.
Suhardi. 1982. Beberapa Aspek Ekologi
Phytophthora infestans dan Respons
Tanaman Kentang Terhadapnya.
Disertasi Program Pascasarjana IPB,
Bogor. (tidak dipublikasikan)
Tobing, C., D. Bakti, Lisnawita. 2001. The
research of insecticide marketing for
vegetable and horticultural crops in
Karo District Sumatera Utara. In:
Coorporation Departement of Plant
Protectin Faculty of Agriculture,
University of North Sumatera with
PT Pacific Chemicals Indonesia.

17

Jurnal Ilmiah Pertanian KULTURA • Vol. 41 • No. 1 • Maret 2006

Umaerus, V. 1970. Studies on field
resistance to Phytophthora infestans.
Mechanisme of resistance and
aplication to potato breeding. Z.
Pflanzenzuchtg. 63:1–23.
Vanderplank, J. E. 1984. Disease Resistance
in Plants. Second Edition. Academic
Press, INC.

18

Wastie, R. L. 1991. Breeding for resistance.
In: Ingram D.S., P.H. Williams (eds)
Advances in Plant Pathology, Vol. 7.
Phytophthora infestans, the Cause of
Late Blight of Potato. Academic
Press, London.