Endoskop Fleksibel Untuk Pencitraan Permukaan Mukosa Laring, Esofagus, dan Lambung Anjing Lokal (Canis lupus)

ABSTRAK
ERLI CHANDRA. Endoskop Fleksibel untuk Pencitraan Permukaan Mukosa
Laring, Esofagus, dan Lambung Anjing Lokal (Canis lupus). Dibimbing oleh R.
HARRY SOEHARTONO dan DENI NOVIANA.
Endoskopi merupakan teknik diagnosis yang sensitif terhadap penyakit
mukosa pada berbagai organ tubuh, terutama saluran pencernaan. Tujuan
penelitian mengetahui gambaran normal dan karakteristik mukosa laring,
esofagus, dan lambung, dengan menggunakan pemeriksaan endoskopi yang
dikombinasikan dengan radiografi. Aklimatisasi dan pemeriksaan fisik
memastikan anjing dalam kondisi sehat dan siap untuk pemeriksaan endoskopi.
Hasil endoskopi menunjukkan laring, esofagus, dan lambung teramati dengan
jarak scope sejauh 9 cm, 13 cm, dan 39.5 cm. Permukaan laring berwarna
kecoklatan dengan mukosa pucat. Esofagus cervicalis memiliki spinchter dengan
mukosa coklat pucat kekuningan dan mengkilap. Esofagus thoracalis memiliki
sejumlah vaskularisasi pembuluh darah pada lapisan submukosa, bentuk mukosa
bergelombang dan terlihat bentuk trakhea dan aorta jantung. Esofagus
abdominalis memiliki spinchter membentuk kerutan elips dengan mukosa datar.
Lambung memiliki lipatan mukosa tebal, berwarna merah muda, mengkilap, serta
terdapat lendir dan busa. Gambaran dan karakteristik mukosa laring, esofagus, dan
lambung teramati dengan baik, serta kombinasi endoskopi dan radiografi
memudahkan dalam mengukur jarak scope.

Kata kunci: endoskopi, radiografi, laring, esofagus, lambung, anjing lokal (Canis
lupus)

ABSTRACT
ERLI CHANDRA. Flexible Endoscopy for Imaging of Mucosal Surfaces Larynx,
Esophagus, and Stomach in Domestic Dog (Canis lupus). Supervised by R.
HARRY SOEHARTONO and DENI NOVIANA.
Endoscopy is a diagnostic technique that is sensitive to mucosal disease in
various organs, especially the digestive tracts. The aim of this study is describe the
mucosa characteristics of normal larynx, esophagus, and stomach, using
endoscopy combined with radiography. Acclimatization and physical examination
were perfomed to ensure the dog is healthy condition for endoscopic evaluation.
The results showed that, larynx, esophagus, and stomach can be observed at the
scope depth of 9 cm, 13 cm, and 39.5 cm respectively. The larynx has a brownish
color and the mucosal surface was pale. Cervical esophagus has spinchter with
mucosa appeareance of pale yellowish brown and shiny. Thoracalis esophagus has
many blood vessels vascularization in the submucosal layer, the mucosa wavy
shape, and there is the impression of trachea and aorta of the heart. The spinchter
abdominal esophagus has the ellipse wrinkles shape and a flat mucosa form. The
stomach has a thick mucous folds, pink, shiny, and there was amount of mixed


and foam mucosa. The charateristics of laryngeal mucosa, esophagus, and
stomach vare well observed by endoscopy, furthermore combination of endoscopy
and radiography ease in measuring distances scope.
Keyword : endoscopy, radiography, larynx, esophagus, stomach, Canis lupus.

ENDOSKOP FLEKSIBEL UNTUK PENCITRAAN
PERMUKAAN MUKOSA LARING, ESOFAGUS, DAN
LAMBUNG ANJING LOKAL (Canis lupus)

ERLI CHANDRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Endoskop

Fleksibel Untuk Pencitraan Permukaan Mukosa Laring, Esofagus, dan Lambung
Anjing Lokal (Canis lupus) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013
Erli Chandra
NIM B04080161

ABSTRAK
ERLI CHANDRA. Endoskop Fleksibel untuk Pencitraan Permukaan Mukosa
Laring, Esofagus, dan Lambung Anjing Lokal (Canis lupus). Dibimbing oleh R.
HARRY SOEHARTONO dan DENI NOVIANA.
Endoskopi merupakan teknik diagnosis yang sensitif terhadap penyakit
mukosa pada berbagai organ tubuh, terutama saluran pencernaan. Tujuan
penelitian mengetahui gambaran normal dan karakteristik mukosa laring,
esofagus, dan lambung, dengan menggunakan pemeriksaan endoskopi yang

dikombinasikan dengan radiografi. Aklimatisasi dan pemeriksaan fisik
memastikan anjing dalam kondisi sehat dan siap untuk pemeriksaan endoskopi.
Hasil endoskopi menunjukkan laring, esofagus, dan lambung teramati dengan
jarak scope sejauh 9 cm, 13 cm, dan 39.5 cm. Permukaan laring berwarna
kecoklatan dengan mukosa pucat. Esofagus cervicalis memiliki spinchter dengan
mukosa coklat pucat kekuningan dan mengkilap. Esofagus thoracalis memiliki
sejumlah vaskularisasi pembuluh darah pada lapisan submukosa, bentuk mukosa
bergelombang dan terlihat bentuk trakhea dan aorta jantung. Esofagus
abdominalis memiliki spinchter membentuk kerutan elips dengan mukosa datar.
Lambung memiliki lipatan mukosa tebal, berwarna merah muda, mengkilap, serta
terdapat lendir dan busa. Gambaran dan karakteristik mukosa laring, esofagus, dan
lambung teramati dengan baik, serta kombinasi endoskopi dan radiografi
memudahkan dalam mengukur jarak scope.
Kata kunci: endoskopi, radiografi, laring, esofagus, lambung, anjing lokal (Canis
lupus)

ABSTRACT
ERLI CHANDRA. Flexible Endoscopy for Imaging of Mucosal Surfaces Larynx,
Esophagus, and Stomach in Domestic Dog (Canis lupus). Supervised by R.
HARRY SOEHARTONO and DENI NOVIANA.

Endoscopy is a diagnostic technique that is sensitive to mucosal disease in
various organs, especially the digestive tracts. The aim of this study is describe the
mucosa characteristics of normal larynx, esophagus, and stomach, using
endoscopy combined with radiography. Acclimatization and physical examination
were perfomed to ensure the dog is healthy condition for endoscopic evaluation.
The results showed that, larynx, esophagus, and stomach can be observed at the
scope depth of 9 cm, 13 cm, and 39.5 cm respectively. The larynx has a brownish
color and the mucosal surface was pale. Cervical esophagus has spinchter with
mucosa appeareance of pale yellowish brown and shiny. Thoracalis esophagus has
many blood vessels vascularization in the submucosal layer, the mucosa wavy
shape, and there is the impression of trachea and aorta of the heart. The spinchter
abdominal esophagus has the ellipse wrinkles shape and a flat mucosa form. The
stomach has a thick mucous folds, pink, shiny, and there was amount of mixed

and foam mucosa. The charateristics of laryngeal mucosa, esophagus, and
stomach vare well observed by endoscopy, furthermore combination of endoscopy
and radiography ease in measuring distances scope.
Keyword : endoscopy, radiography, larynx, esophagus, stomach, Canis lupus.

ENDOSKOP FLEKSIBEL UNTUK PENCITRAAN

PERMUKAAN MUKOSA LARING, ESOFAGUS, DAN
LAMBUNG ANJING LOKAL (Canis lupus)

ERLI CHANDRA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi: Endoskop Fleksibel Untuk Pencitraan Permukaan Mukosa Laring,
Esofagus, dan Lambung Anjing Lokal (Canis lupus)
Nama
: Erli Chandra
NIM

: B04080161

Disetujui oleh

drh. R. Harry Soehartono, M. App. Sc, Ph.D
Pembimbing I

drh. Deni Noviana, Ph.D
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, APVet (K)
Wakil Dekan FKH IPB

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas semua
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.

Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan nabi Muhammad SAW
yang merupakan panutan seluruh umat manusia. Penelitian yang berjudul
Endoskop Fleksibel Untuk Pencitraan Permukaan Mukosa Laring, Esofagus, dan
Lambung Anjing Lokal (Canis lupus) ini dilakukan pada bulan Januari-Maret
2012 bertempat di Bagian Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi
dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor
(IPB).
Beribu-ribu terima kasih penulis ucapkan kepada:
 Drh. R. Harry Soehartono, M.App Sc, Ph.D dan drh. Deni Noviana, Ph.D
selaku dosen pembimbing skripsi atas semua bimbingan, arahan, nasihat, dan
waktu yang telah diberikan
 Dr. drh. Mokhamad Fahrudin sebagai dosen pembimbing akademik
 PT. Karindo Alkestron selaku sponsor penyedia peralatan Endoskop
 Drh. M. Fakhrul Ulum M.Si, beserta semua staf Bagian Bedah dan Radiologi
 Bapak, mama, dan kakak yang menjadi sponsor tunggal selama penulis
menempuh studi S1 dan atas semua nasihat, doa dan perhatian yang telah
diberikan
 Septi Pratiwi yang tak henti-hentinya memberikan semangat, perhatian,
support, dan doa kepada penulis
 Teman-teman penelitian yang selalu membakar semangat penulis dan yang tak

pernah bosan untuk bekerjasama saat penelitian
 Moh. Miftahurrohman yang selalu memberikan dukungan moril maupun
materiil kepada penulis
 Ilham Ashari yang turut memberikan semangat dan bantuan kepada penulis
 Teman-teman Asrama Rahadi Oesman Bogor, serta
 Teman-teman Avenzoar 45
Tiada kata yang dapat penulis ucapakan selain terima kasih yang sebesarbesarnya. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan rahmat dan memudahkan jalan
untuk kita semua dalam memperoleh kesuksesan dunia maupun akhirat. Tak lupa
penulis memohon maaf sebesar-besarnya jika penulis melakukan kesalahan baik
disengaja maupun tidak disengaja, lisan maupun sikap dan perilaku yang kurang
berkenan. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang yang
membutuhkan dan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan.

Bogor, Maret 2013
Erli Chandra

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Pencernaan
Endoskop
Radiografi
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan Penelitian
Prosedur Penelititan
Persiapan dan Aklimatisasi Hewan
Pemeriksaan Fisik
Anestesi Hewan
Pemeriksaan Endoskop
Pemeriksaan Radiografi
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan Fisik Anjing Lokal
Pengukuran Kedalaman Scope

Endoskopi Laring Normal Anjing Lokal
Endoskopi Esofagus Normal Anjing Lokal
Endoskopi Lambung Proksimal Normal Anjng Lokal
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

viii
viii
1
1
1
1
2
2
3
4
5
5
5
5
5
6
6
6
6
6
7
7
7
8
9
13
16
16
16
16
19

DAFTAR TABEL
1 Pemeriksaan fisik anjing lokal
2 Jarak scope, warna mukosa, dan ciri organ

7
8

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Anatomi endoskop fleksibel
Hasil endoskopi laring normal
Radiograf laring
Hasil endoskopi spinchter esofagus atas
Hasil endoskopi esofagus cervicalis
Radiograf esofagus cervicalis
Hasil endoskopi esofagus thoracalis
Radiograf esofagus thoracalis
Hasil endoskopi esofagus abdominalis
Radiograf esofagus abdominalis
Hasil endoskopi lambung proksimal
Hasil endoskopi corpus
Radiograf lambung

3
8
9
10
10
11
11
12
12
13
14
14
15

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan teknologi memberikan dampak positif pada dunia
kedokteran, terutama dalam mendiagnosis penyakit. Endoskopi merupakan teknik
diagnosis yang relatif baru pada kedokteran hewan. Endoskopi dapat digunakan
untuk pengambilan jaringan (biopsi), pengamatan perubahan morfologi
permukaan mukosa, dan pengambilan benda asing dari dalam tubuh (Steiner
2008), serta untuk mengamati organ-organ di dalam tubuh tanpa melakukan
pembedahan/minimal invasive (Dacosta et al. 2002).
Endoskopi dapat diaplikasikan pada berbagai organ tubuh, seperti saluran
pencernaan. Pemeriksaan saluran pencernaan bertujuan mengamati kelainan pada
rongga mulut, esofagus, lambung, duodenum, jejunum, ileum, dan kolon.
Endoskopi sangat sensitif dalam mendiagnosis penyakit mukosa saluran
pencernaan seperti polip dan hipertrofi mukosa gastrointestinal (Moore 2003).
Endoskopi saluran pencernaan sebelumnya pernah dilakukan pada hewan
ruminansia (Stierschneider et al. 2007) dan hewan kecil (Lecoindre 1999, Williard
2008).
Radiografi merupakan teknik yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit.
Radiografi sangat efektif mengetahui kelainan pada tulang dan persendian, namun
kurang baik dalam menginterpretasi jaringan lunak (Weaver & Barakzai 2010).
Radiografi juga digunakan untuk mendiagnosis penyakit saluran pencernaan yang
berkaitan dengan motilitas (Han 2003).
Endoskopi lebih banyak dilakukan pada anjing ras dibandingkan dengan
anjing lokal, sehingga informasi maupun data hasil pemeriksaaan endoskopi
anjing lokal sangat sedikit dan terbatas. Pemeriksaan endoskopi yang
dikombinasikan dengan radiografi belum pernah dilakukan. Penelitian ini
dilakukan dengan menggabungkan teknik endoskopi dan radiografi pada anjing
lokal.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran normal dan
karakteristik mukosa pada laring, esofagus, dan lambung anjing lokal dengan
menggunakan pemeriksaan endoskopi yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan
radiografi.
Manfaat
Hasil pemeriksaan karakteristik dan gambaran normal mukosa saluran
pencernaan dapat dijadikan pedoman dalam mendiagnosis penyakit serta dapat
dijadikan pembanding terhadap karakteristik saluran pencernaan anjing ras.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Pencernaan
Hewan memiliki sistem pencernaan yang berfungsi sebagai tempat
pengolahan makanan menjadi sumber energi dan nutrisi, melalui proses mekanis
maupun kimiawi. Sistem pencernaan melibatkan enzim dan hormon yang
membantu dalam menyediakan energi dengan memanfaatkan nutrisi dari makanan
yang dikonsumsi (Kore et al. 2010). Saluran pencernaan terdiri atas rongga mulut,
esofagus, lambung, usus halus, usus besar, rektum, dan anus, serta dilengkapi
dengan hati, limpa, dan pankreas yang membantu proses pengolahan makanan
(Sebastiani & Fishbeck 2005). Saluran pencernaan anjing (karnivora) memiliki
saluran pencernaan bawah lebih pendek dibandingkan dengan hewan herbivora
maupun omnivora, dan anjing tidak memiliki enzim ptyalin (amylase saliva)
(Kore et al. 2010).
Makanan yang masuk ke dalam mulut dihancurkan melalui proses mekanis
oleh gigi, kelenjar saliva, dan lidah menjadi bolus yang lebih kecil. Gigi dan lidah
bekerja sinergis memperkecil ukuran makanan, sedangkan kelenjar saliva
mensekresikan saliva agar lingkungan mulut menjadi basah yang memicu proses
difusi molekul makanan ke reseptor-reseptor lidah sehigga menciptakan sensasi
rasa. Saliva juga berperan mengurangi mikroba yang berasal dari makanan dan
menjadi pembungkus bolus-bolus makanan sebelum masuk ke esofagus (Barret
2006).
Makanan yang melewati faring akan masuk ke dalam esofagus. Esofagus
merupakan otot berbentuk pipa memanjang yang berfungsi mengantarkan
makanan dari mulut menuju lambung dengan gerakan peristaltik (Barret 2006).
Makanan yang melewati esofagus akan masuk ke dalam lambung. Lambung
merupakan tempat pencernaan makanan secara kimiawi. Lambung terbagi atas
lambung proksimal dan lambung distal. Pada mamalia yang bertumpu dengan
empat kaki, lambung proksimal disebut juga dengan lambung kranial dan
lambung distal disebut juga dengan lambung kaudal.
Lambung proksimal terdiri dari cardia, fundus, dan corpus. Cardia berada
di dekat esofagus yang merupakan batas antara lambung dan esofagus. Fundus
terletak di kiri lambung dan di cranial corpus lambung, sedangkan corpus
merupakan bagian terbesar dari lambung yang menghubungkan fundus dengan
pylorus (Suchodolski 2008). Lambung proksimal menghasilkan sekresi cairan
lambung.
Lambung distal terdiri dari antrum pylorus, canal pylorus, dan spinchter
pylorus. Batas pilorus ditandai adanya penebalan otot-otot sirkuler (Steiner 2008).
Lambung distal berfungsi menggiling makanan dan membantu pengosongan
lambung (Steiner 2008). Makanan yang masuk ke dalam lambung bergerak
menuju usus halus, usus besar, rektum, dan sisa-sisa makanan hasil pencernaan
akan dikeluarkan melalui anus. Saluran gastrointestinal anjing dapat digunakan
sebagai model dalam pengembangan obat-obatan baru (Baum et al. 2007) dan
dapat menjadi model pada pelatihan endoskopi yang menggunakan teknik-teknik
baru (Latorre et al. 2007). Gambaran histopatologi gastrointestinal dapat

3
digunakan untuk menentukan distribusi dan tingkat keparahan penyakit
gastrointestinal (Willard et al. 2010).

Endoskop
Teknik endoskopi pertama kali diperkenalkan oleh Phillip Bozzini pada
tahun 1806 dan pada tahun 1976 Johnson et al. menggunakan endoskop untuk
memeriksa saluran pencernaan hewan kecil (Moore 2003). Endoskop dibedakan
menjadi endoskop fleksibel dan endoskop rigid (kaku). Endoskop fleksibel
digunakan pada pemeriksaan organ berbentuk tabung panjang atau saluran
panjang, seperti: saluran pencernaan, saluran pernafasan, dan saluran urinarius
hewan jantan (Barthel et al. 2005). Endoskop rigid (kaku) digunakan pada
pemeriksaan cavum abdominal, cavum thoraks, dan persendian (Tams &
Rawlings 2011), serta diaplikasikan pada pemeriksaan rongga hidung
(Rhinoscopy), liang telinga (Otoscopy), vesika urinaria hewan betina (Cystoscopy),
dan kolon (Colonoscopy) (Barthel et al. 2005).
Endoskop fleksibel terdiri dari komponen yang membentuk suatu sistem
sehingga dapat bekerja dengan baik. Komponen tersebut terbagi menjadi dua,
yaitu komponen internal dan eksternal. Komponen internal terdiri dari angulation
system, air and water system, image system, dan electrical system. Komponen
eksternal terdiri dari light guide plug, umbilical cord, control section, dan
insertion tube (scope) (Shumway & Broussard 2003).

Gambar 1. Anatomi Endoskop Fleksibel (Barthel et al. 2005)
Angulation system berfungsi mengatur pergerakan ujung scope/distal tip.
Air and water system berfungsi mengatur insuflasi udara dan air dari pompa ke
light guide plug menuju distal tip. Imaging system berfungsi mengatur
pengambilan gambar yang diamati (Shumway & Broussard 2003). Light guide

4
plug berfungsi sebagai penghubung antara endoskop dengan sumber cahaya, air,
maupun udara. Umbilical cord merupakan penghubung antara light guide plug
dengan control section. Control section berfungsi dalam pengaturan endoskop.
Pada control section terdapat angulation control knobs dan breaking lever yang
berfungsi memanipulasi ujung scope serta terdapat air and water valve. Control
section juga dilengkapi operating channel yang berfungsi sebagai gerbang untuk
mengaplikasikan alat tambahan seperti biopsy forceps dan aspiration needle.
Menurut Washabau et al. (2010), endoskop fleksibel memiliki 5
keuntungan, yaitu: 1. dapat melihat perubahan mukosa saluran pencernaan, 2.
dapat memudahkan pengumpulan biopsi beberapa jaringan dari setiap situs, 3.
teknik diagnosis yang dipilih pada beberapa penyakit tertentu, misal: ulserasi,
erosi, dan lymphangiectacsia, 4. endoskopi memiliki resiko minimal terhadap
perforasi dan peritonitis septic, dan 5. endoskopi membutuhkan waktu yang relatif
sedikit, tekanan stres yang lebih kecil, serta relatif lebih murah dibandingkan
dengan tindakan operasi. Endoskop fleksibel juga memiliki kelemahan, yakni:
endoskop tidak dapat menjangkau seluruh saluran gastrointestinal walaupun
enteroskopi dapat dilakukan, endoskop memiliki keterbatasan dalam mendeteksi
lesio-lesio yang mengalami kelainan di saluran pencernaan pada pelaksanaan
duodenoskopi.
Penggunaan endoskop relatif aman dan efektif dalam mendiagnosis
penyakit saluran pencernaan (Moore 2003). Penyakit yang dapat didiagnosis
adalah: esofagitis, obstruksi benda asing, neoplasia, pyloric stenosis, ulcer,
hyperthropic gastropathies, dan pseudocysts pankreas (Lecoindre 1999, Babich &
Friedel 2010). Endoskopi dapat digunakan untuk menghilangkan batu empedu
dengan teknik endoskopi sfingterotomi (Freeman et al. 1996).
Endoskopi digunakan untuk pengambilan cairan pada usus halus (Johnston
et al. 1999) dan membantu pengambilan spesimen sitologi, mikrobiologi, maupun
histopatologi saluran pencernaan (Zoran 2001). Sampel biopsi mukosa yang
diambil digunakan untuk mendiagnosis penyakit (Day et al. 2008). Endoskopi
menjadi sarana pendekatan diagnostik yang sangat baik dan berperan dalam
mendeteksi dan mengkarakterisasi bagian luminal dan mural lambung, serta
membantu mendiagnosis gangguan duodenum proksimal (Yamada et al. 2006).
Radiografi
Radiografi merupakan teknik yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit
dengan memanfaatkan pemaparan sinar-X ke jaringan dan berinteraksi
membentuk obyek yang ditangkap pada sebuah kertas film. Sinar-X pertama kali
ditemukan oleh Wilhelm Conrad Roentgen pada tahun 1896 (Guy & Ffytche
2005). Radiografi sangat efektif untuk mengetahui kelainan pada tulang dan
persendian, namun kurang baik dalam menginterpretasi jaringan lunak (Weaver &
Barakzai 2010). Pemeriksaan radiografi pada saluran maupun organ pencernaan
menunjukkan hasil yang beragam. Gambar tampak radiopaque jika organ tersebut
merupakan organ berbentuk padat dan bertekstur keras dan tampak radiolucent
jika organ tersebut bertesktur lunak.
Gambar radiografi pada laring dan trakhea normal tampak radiolucent
karena berisi udara, sedangkan pada tulang rawan laring tampak radiopaque.
Tampilan gambar pada esofagus tidak teramati karena esofagus cenderung berada

5
dalam kondisi kolaps dan tertutup oleh lapisan-lapisan otot dan fascia pada leher.
Radiografi esofagus dapat terlihat dengan bantuan pewarnaan bahan kontras
seperti barium sulfat (Vlasin et al. 2004). Radiografi lambung normal yang telah
dikosongkan (dipuasakan) terlihat radiolucent karena lambung berisi udara.
Gambar radiografi fundus terlihat radiolucent karena berisi gas (Suchodolski
2008). Bahan kontras barium sulfat dapat digunakan untuk menentukan waktu
pengosongan lambung (Weber et al. 2001) dan mendeteksi penyempitan esofagus
Luedtke et al. 2002).
Radiografi juga digunakan untuk mendiagnosis penyakit saluran pencernaan
yang berkaitan dengan motilitas (Han 2003). Radiografi saluran pencernaan
membantu untuk mendiagnosis penyakit obstruksi saluran maupun organ
pencernaan (Rao et al. 2010). Evaluasi radiografi secara berurutan membantu
untuk melihat gerakan benda asing di dalam saluran pencernaan (Leib 2005).

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Januari-Maret 2012 di Bagian Bedah dan
Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas
Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor (IPB).
Alat
Penelitian ini menggunakan 1 set peralatan endoskop fleksibel tipe Small
Animal Gastroscope VET-G1580® dengan diameter scope 8.0 mm dan panjang
1.5 m, 1 set peralatan radiografi tipe mobile, mouthgage, laringoskop, stetoskop,
termometer, syringe 1 ml, penggaris, kandang anjing, alas kandang, dan sarung
tangan.
Bahan
Hewan yang digunakan adalah 2 ekor anjing lokal (Canis lupus) berumur 6
bulan dan berjenis kelamin betina dengan bobot badan (BB) masing-masing 6 kg
dan 7.5 kg. Bahan-bahan yang digunakan adalah: obat anthelmintika praziquantel
50 mg (dosis 5 mg/kg BB), antibiotik amoxicillin (dosis 20 mg/kg BB), sediaan
premedikasi atropin sulfat 0.25% (dosis 0.025 mg/kg BB), sediaan anestetikum
berupa ketamin 10% (dosis 10 mg/kg BB) dan xylazine 2% (dosis 2 mg/kg BB).

Prosedur Penelitian
Persiapan dan Aklimatisasi Hewan
Aklimatisasi dilakukan sebelum pemeriksaan endoskopi dengan pemberian
anthelmintika praziquantel 50 mg (zypiran) dengan dosis 5 mg/kg BB dosis
tunggal dan antibiotik amoxicillin dengan dosis 20 mg/kg BB per hari selama 3

6
hari. Tujuan dari aklimatisasi untuk mengeliminasi gangguan pencernaan akibat
cacing maupun bakteri. Anjing diberi makan dan minum secara teratur.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk mengetahui keadaan umum hewan sebelum
dilakukan anestesi. Pemeriksaan fisik meliputi sinyalemen yang terdiri dari: nama
hewan, jenis hewan, bangsa atau ras, jenis kelamin, umur, warna kulit dan rambut,
berat badan dan ciri-ciri khusus. Selain itu pemeriksaan suhu tubuh, pulsus atau
denyut nadi, dan frekuensi respirasi.
Anestesi Hewan
Hewan dipuasakan selama 12 jam agar lambung dalam kondisi kosong,
kemudian dilakukan pemberian anestesi. Premedikasi dengan atropin sulfat (dosis
0.025 mg/kg BB), kemudian anestesi dilakukan dengan ketamin 10% (dosis 10
mg/kg BB) dan xylazine 2% (dosis 2 mg/kg BB). Pemeriksaan endoskopi
dilakukan setelah hewan dalam kondisi teranestesi.
Pemeriksaan Endoskop
Hewan yang teranestesi diposisikan terbaring left lateral recumbency
dengan kepala agak ditegakkan. Mouthgage dipasang ke dalam mulut untuk
mempermudah endoskop masuk ke dalam saluran pencernaan hewan. Endoskop
dimasukkan secara perlahan untuk mencapai faring maka esofagus yang berada di
atas trachea terlihat.
Endoskop masuk ke dalam esofagus sambil dilakukan pengamatan terhadap
mukosa pada bagian pars cervical, pars thoracal, dan pars abdominal. Pada
bagian esofagus terdapat low esophagus spinchter (LES) yang merupakan pintu
masuk menuju lambung (Steiner 2008). Endoskop masuk untuk menuju lambung.
Lambung terbagi atas lambung proksimal (kranial), terdiri dari cardia, fundus, dan
corpus, dan lambung distal (kaudal) yang dikenal dengan pylorus dan memiliki
gerbang menuju duodenum (spinchter pylory). Pengambilan gambar dan video
dilakukan saat proses pengamatan dan dilakukan pengukuran kedalaman
endoskop terhadap organ yang diamati.
Pemeriksaan Radiografi
Jarak scope dalam saluran pencernaan dikonfirmasi dengan radiografi.
Radiografi dilakukan pada daerah kepala, thoraks, dan abdominal dengan posisi
left lateral recumbency. Radiografi daerah kepala dilakukan dengan pengaturan
miliAmperage Second (mAS) sebesar 2.0 dan kiloVoltage Peak (kVP) sebesar 54.
Daerah thoraks dan abdomen menggunakan pengaturan mAS sebesar 2.0 dan kVP
sebesar 56. Focal Fold Distance (FFD) mengunakan jarak sebesar 40 inchi atau
100 cm.

Analisis Data
Data penelitian dikaji dan dibahas dengan metode deskriptif dalam
mengambil simpulan.

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeriksaan Fisik Anjing Lokal
Hewan yang digunakan adalah anjing lokal berjumlah 2 ekor berjenis
kelamin betina dengan umur 6 bulan. Pemilihan anjing betina bukan suatu
perlakuan khusus, karena tidak ada perbedaan saluran pencernaan antara anjing
betina maupun anjing jantan. Pemeriksaan fisik bertujuan mengetahui keadaan
umum hewan. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa anjing dalam keadaan
sehat dan tidak mengalami kelainan apapun, sehingga dapat digunakan pada
penelitian. Anjing memiliki suhu tubuh normal, frekuensi pernapasan dalam
kisaran normal, tetapi frekuensi denyut jantung melebihi batas normal. Frekuensi
denyut jantung yang tinggi terjadi karena hewan mengalami sedikit stress. Hasil
pemeriksaan fisik ditunjukkan pada tabel 1.
Tabel 1 Pemeriksaan fisik anjing lokal.

Anjing

Suhu tubuh
(ºC)

1
2
Rata-rata
*Normal

38.8
38.8
38. 8
38.5-39.5

Parameter
Frekuensi
Frekuensi napas
denyut jantung
(kali/menit)
(kali/menit)
126
25
126
30
126
25
90-120
15-30
*Referensi : Widodo et al. 2011

Pengukuran Kedalaman Scope
Pengukuran kedalaman scope dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan
endoskopi dengan tujuan agar dapat memperkirakan jarak yang dibutuhkan untuk
mencapai saluran yang diamati. Hasil pengukuran kedalaman scope disajikan
pada tabel 2. Laring dicapai dengan jarak 9 cm. Scope dimasukkan hingga
mencapai esofagus dengan jarak 13 cm dan sampai ke spinchter esofagus bawah
sejauh 38.5 cm yang bermuara pada lambung proksimal sejauh 39.5 cm. Jarak
yang diukur bukan merupakan panjang organ tersebut karena perhitungan
berdasarkan pada pergerakan scope di dalam saluran pencernaan. Ruang pada
organ seperti lumen esofagus maupun lambung proksimal yang terlampau besar
menyebabkan scope dapat bergerak ke berbagai arah sehingga tidak dapat
memastikan scope tepat berada di tengah lumen organ. Radiografi dilakukan
untuk dapat mengontrol pergerakan scope.

8
Tabel 2 Jarak scope, warna mukosa, dan ciri organ.
Organ

Jarak scope Warna mukosa
(cm)

Laring
Spinchter esofagus
atas

9
14

Esofagus cervicalis

17

Esofagus thoracalis

28

Pucat
Coklat pucat
kekuningan,
mengkilap
Abu-abu pucat,
mengkilap
Merah muda

Esofagus
abdominalis
Spinchter esofagus
bawah
Lambung

35

Merah muda

38.5

Merah muda

39.5

Merah muda,
mengkilap

Ciri lain
Busa saliva
Lipatan mukosa berkerut
memanjang
Cairan sekresi (mukus)
Vaskularisasi pembuluh darah
(submukosa), mukosa
bergelombang, kesan trakhea dan
aorta
Mukosa datar
Mengkerut, lipatan mukosa
membentuk kerutan elips
Lendir ,busa

Endoskopi Laring Normal pada Anjing Lokal
Laring terlihat setelah memasukkan scope sejauh 9 cm melewati rongga
mulut (gambar 2A). Permukaan laring berwarna kecoklatan, memiliki busa
berasal dari sekresi saliva (air liur), dan dinding mukosa berwarna pucat. Epiglotis
terlihat setelah memasukkan scope sejauh 12 cm (gambar 2B). Epiglotis
berbentuk triangular dan menempel pada dinding langit-langit keras dengan ujung
yang lancip. Mukosa epiglotis berwarna pink pucat dikelilingi oleh vaskularisasi
pembuluh darah pada bagian submukosa.

Gambar 2: Hasil endoskopi laring normal anjing lokal.
A: scope sejauh 9 cm, B: scope sejauh 12 cm. a: permukaan laring, b:
busa saliva, c: dinding mukosa laring, d: epiglotis.
Gambar 3 menunjukkan scope tepat di depan laring dengan tampilan
radiopaque yang merupakan tulang rawan laring. Laring dan trakhea tampak
radiolucent karena berisi udara, sedangkan esofagus tidak teramati karena

9
esofagus berada dalam keadaan kolaps. Trakhea dan esofagus berjalan ke arah
craniodorsal di ventral cervicalis menuju ke arah thoraks.

Gambar 3: Radiograf laring. a: scope, b: laring, c: trakhea.

Endoskopi Esofagus Normal Anjing Lokal
Spinchter esofagus atas terlihat setelah melewati laring dengan memasukkan
scope sejauh 13 cm. Spinchter esofagus atas berada di caudodorsal glotis dan
selalu berada dalam keadaan tertutup. Pada gambar 4A terlihat adanya celah atau
lubang esofagus yang berada di kedua sisi epiglotis. Spinchter esofagus atas
berada dalam keadaan tertutup karena tidak adanya makanan yang masuk (gambar
4B). Spinchter esofagus atas terdiri dari mukosa yang melipat dan berkerut
memanjang ke dalam. Permukaan mukosa berwarna coklat pucat kekuningan dan
mengkilap karena dilapisi oleh saliva (air liur).
Spinchter esofagus atas terdiri dari M. crichopharyngeus dan M.
thyropharingeus yang terbuka dengan sendirinya jika terdapat makanan yang
masuk ke orofaring (Moore 2008). Spinchter esofagus atas dapat dibuka dengan
pemberian insuflasi udara. Pemberian insuflasi udara membantu melebarkan
esofagus dan mencegah terjadinya kerusakan mukosa saat scope dimasukkan ke
dalam esofagus (Leib 2005). Gambar 4C menunjukkan spinchter esofagus atas
telah terbuka akibat rangsangan insuflasi udara. Spinchter esofagus atas hanya
dapat dirangsang dengan udara, tidak boleh menggunakan air karena beresiko
masuknya air ke dalam tenggorokan yang dapat menuju paru-paru.

10

Gambar 4: Hasil endoskopi spinchter esofagus atas.
A: scope sejauh 12 cm, B: scope sejauh 14 cm, C: scope sejauh 13 cm.
a: spinchter esofagus atas, b: epiglotis, c: permukaan mukosa, d:
spinchter yang membuka.
Endoskop mencapai esofagus cervicalis setelah menembus spinchter
esofagus atas. Esofagus cervicalis merupakan bagian esofagus yang terletak di
dorsal sebelah kiri trakhea. Permukaan esofagus tampak bersih bebas dari
makanan karena hewan dipuasakan selama 12 jam. Pemberian insuflasi udara
menyebabkan permukaan esofagus membentang luas dan tidak terlihat adanya
kerutan maupun lipatan mukosa (gambar 5). Mukosa berwarna abu-abu pucat dan
mengkilap, serta dilapisi cairan sekresi kelenjar mukus pada lapisan submukosa
yang bersifat mukus.

Gambar 5: Hasil endoskopi esofagus cervicalis. a: permukaan esofagus, b:
gambaran mukosa.

11

Radiograf esofagus cervivalis (gambar 6) diambil dengan memasukkan
scope sejauh 17 cm. Scope berada di esofagus cervicalis dan tidak tampak dengan
jelas karena dikelilingi oleh otot-otot leher dan fascia. Scope tepat berada di
bawah os vertebrae cervicalis III, sedangkan trakhea berada di bawah esofagus
cervicalis dan tampak radiolucent.

Gambar 6: Radiograf esofagus cervicalis.
a: scope, b: Os vertebrae cervicalis III, c: trakhea.
Batas antara esofagus cervicalis dengan esofagus thoracalis sulit
dibedakan karena tidak terlihat dengan jelas. Ciri-ciri esofagus thoracalis ditandai
banyaknya vaskularisasi pembuluh darah pada lapisan submukosa, bentuk mukosa
esofagus yang bergelombang, serta terdapat kesan trakhea dan aorta jantung
(gambar 7). Kesan trakhea maupun aorta jantung terlihat karena esofagus
bersinggungan langsung dengan basis jantung dan aorta ventrikel kiri (Sebastiani
& Fishbeck 2005).

Gambar 7: Hasil endoskopi esofagus thoracalis. a: bentuk mukosa yang mulai
bergelombang, b: kesan trakhea dan aorta.

12
Gambar 8 menunjukkan scope telah memasuki esofagus thoracalis
dengan jarak 28 cm. Scope berada di depan jantung dan tampak
bersinggungan dengan trakhea yang berjalan ke arah kaudal. Pembuluh
darah yang berasal dari jantung tidak teramati dengan jelas.

Gambar 8: Radiograf esofagus thoracalis.
a: scope, b: jantung, c: trakhea.
Scope memasuki daerah esofagus abdominalis setelah melewati esofagus
thoracalis. Esofagus abdominalis memiliki spinchter esofagus bawah yang
berbatasan langsung dengan lambung dan menjadi gerbang menuju lambung.
Spinchter esofagus bawah terlihat mengkerut dan terdapat lipatan-lipatan mukosa
membentuk kerutan-kerutan elips. Mukosa berbentuk datar tanpa adanya
gelombang-gelombang maupun lengkungan-lengkungan. Pemberian insuflasi
udara untuk membuka spinchter agar dapat memasukkan endoskop. Mukosa
berwarna merah muda karena banyaknya vaskularisasi pembuluh darah.
Vaskularisasi pembuluh darah semakin banyak ditemukan ketika scope menuju ke
lambung proksimal (spinchter esofagus bawah), sehingga mukosa lebih berwarna
merah.

Gambar 9: Hasil endoskopi esofagus abdominalis. A: Esofagus adominal, B:
Spinchter esofagus bawah. a: Spinchter esofagus bawah, b: bentuk
mukosa esofagus abdominalis.

13
Radiograf esofagus abdominalis diperoleh dengan jarak 35 cm (gambar 10).
Scope melewati diafragma dan berada di depan lambung. Diafragma menjadi
batas antara kaudal paru-paru yang tampak radiolucent dengan hati bagian kranial
yang tampak lebih radiopaque.

Gambar 10: Radiograf esofagus abdominalis.
a: scope, b: diafragma, c: lambung.

Endoskopi Lambung Proksimal Normal Anjing Lokal
Lambung terlihat setelah melewati esofagus abdominalis dengan jarak 39.5
cm. Lambung terbagi menjadi dua bagian, yakni lambung proksimal (kranial)
yang terdiri dari cardia, fundus, dan corpus, dan lambung distal (kaudal) yang
terdiri dari antrum dan pylorus. Lambung proksimal berperan dalam
mengosongkan cairan lambung dan mengakomodasi makanan (Lei & Chen 2009).
Cardia terletak di kaudal spinchter esofagus bawah yang berhubungan
langsung dengan esofagus melalui spinchter esofagus bawah. Gambar 11A
menunjukkan mukosa cardia berwarna merah muda mengkilap dan terdapat lendir
dan busa di permukaan mukosa. Lambung anjing memiliki lipatan mukosa yang
tebal dan banyak gelembung busa (Tams & Rawlings 2011) yang
membedakannya dengan hewan-hewan lain seperti kucing. Ukuran cardia
membesar karena adanya insuflasi udara dan air agar permukaan mukosa terlihat
dengan jelas.
Gambar 11B menunjukkan bagian fundus dan corpus yang berlekuk-lekuk
memanjang ke arah pylorus. Lipatan mukosa Fundus lebih banyak daripada
corpus. Lipatan mukosa yang membentuk lekuk lebih banyak pada daerah
curvatura mayor dibandingkan dengan curvatura minor. Setelah scope menuju ke
arah pylorus, maka lipatan mukosa akan semakin sedikit.

14

Gambar 11: Hasil endoskopi lambung proksimal. A: scope sejauh 39 cm, B:
scope sejauh 42 cm. a: mukosa cardia, b: gelembung busa, c: fundus,
d: corpus.

Pada gambar 12 terlihat adanya lekukan mukosa yang mengarah ke suatu
lubang yang menjadi batas antara lambung proksimal dengan lambung distal yang
disebut incisura angularis. Gambar 12A menunjukkan lekukan mukosa semakin
sedikit setelah scope masuk ke lambung distal. Pylorus memiliki spinchter yang
terdapat pada bagian ujung dan akan membuka jika terdapat benda/makanan yang
bergerak masuk menuju usus secara otomatis.

Gambar 12: Hasil endoskopi corpus. A: scope sejauh 51 cm, B: scope sejauh 69
cm. a: incisura angularis, b: spinchter pylorus.
Lambung memiliki gerakan motilitas yang bekerja secara otomatis untuk
menggerakan makanan walaupun lambung dalam keadaan kosong. Kelainan
motilitas lambung proksimal akan mempengaruhi proses pengosongan lambung
dan proses akomodasi makanan serta menyebabkan gangguan fungsional saluran
pencernaan atas (Lei & Chen 2009).
Mukosa lambung proksimal tampak merah muda mengkilap dan lebih
merah jika dibandingkan dengan warna mukosa laring maupun esofagus karena
banyaknya vaskularisasi pembuluh darah di daerah lambung serta adanya cairan
mukus yang diproduksi oleh gastrict glands dan piloric glands (Guyton & Hall

15
2006). Mukosa esofagus dilapisi oleh epitel pipih banyak lapis sedangkan pada
mukosa lambung dilapisi oleh epitel silindris.
Vaskularisasi pembuluh darah tidak teramati secara langsung karena lipatan
mukosa lambung anjing yang tebal (Tams & Rawlings 2011), sehingga aliran
vaskularisasi tidak terlihat. Aliran pembuluh darah yang menyuplai darah ke
lambung berasal dari arteri gastric sinistra yang merupakan cabang dari arteri
coeliaca berjalan pada curvatura minor menuju pylorus dan beranastomose
dengan arteri pilorica (Sebastiani & Fishbeck 2005). Evaluasi vaskularisasi
pembuluh darah gastrointestinal secara klinis sangat penting dilakukan karena
aliran darah terlibat dalam proses patologis suatu penyakit, seperti: tumor, radang
usus, iskemia, colitis, dan ulkus lambung (Mitsuoka et al. 2007).
Radiograf lambung ditunjukkan pada gambar 13 setelah scope mencapai
jarak 39 cm. Gambar tersebut menunjukkan posisi scope berada di spinchter
esofagus bawah yang berbatasan dengan mulut lambung dan terlihat lambung
berbentuk bulat memanjang dengan tampilan radiolucent. Kesan radiolucent
akibat insuflasi udara ke dalam lambung serta menyebabkan lambung tampak
lebih bulat.

Gambar 13: Radiograf lambung.
a: scope, b: jantung, c: diafragma, d: lambung.

Pemberian insuflasi air maupun udara sangat diperlukan agar pengamatan
dan pengambilan gambar dilakukan dengan baik dan mendapatkan hasil yang
optimal. Insuflasi air sangat membantu pembersihan mukosa sehingga kotoran
yang menghalangi pandangan dapat dibersihkan. Insuflasi harus dilakukan dengan
hati-hati karena jika insuflasi terlalu besar akan mempengaruhi vaskularisasi
pembuluh darah di lambung (Tams 2005). Insuflasi yang dilakukan dengan waktu
yang lama beresiko menyebabkan reposisi fundus yang tertarik ke arah kranial
sehingga akan sulit dilakukan pengamatan.

16

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN
Gambaran dan karakteristik mukosa normal pada laring, esofagus, dan
lambung proksimal anjing lokal teramati dengan baik tanpa melakukan
pembedahan dengan menggunakan endoskopi. Pemeriksaan endoskopi, laring,
esofagus, dan lambung proksimal memiliki karakteristik yang khas sehingga dapat
dibedakan dengan jelas. Konfirmasi dengan pemeriksaan radiografi memudahkan
melihat dan mengukur jarak scope yang masuk ke dalam saluran pencernaan.

SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar dapat mengetahui berbagai
karakteristik organ-organ lainnya pada anjing lokal dengan menggunakan teknik
endoskopi yang dikonfirmasi dengan radiografi dan diperlukan pelatihanpelatihan mengenai endoskopi agar dapat meningkatkan kemampuan dan
keterampilan dalam menggunakan endoskop sehingga didapatkan hasil yang lebih
baik.

DAFTAR PUSTAKA
Babich JP, Friedel DM. 2010. Endoscopic approach to pancreatitic pseudocysts:
an american perspective. World J Gastrointest Endosc. 2 (3): 77-80.
Barrett KE. 2006. Gastrointestinal Physiology. USA : The McGraw-Hill
Companies Inc.
Barthel JS, Chamness JC, Dodam JR, Faunt KK, Gross ME, Guilford WG, Twedt
DC, Valentine BA, Wilson MS, Rosychuk RAW, Richter KP, Monnet E,
McKiernan BC, McCarthty TC, Kolata RJ. 2005. Veterinary Endoscopy for
The Small Animal Practitioner. USA : Elsevier.
Baum B, Meneses F, Kleinschmidt S, Nolte I, Trautwein H. 2007. Agerelated
histomorphologic changes in the canine gastrointestinal tract: a histologic and
immunohistologic study. World Journal of Gastroenterology. 13:152-157.
Dacosta RS, Wilson BC, Marcon NE. 2002. New optical technologies for earlier
endoscopic diagnosis of premalignant gastrointestinal lesions. Journal of
Gastroenterology and Hepatology. 17: S85-S104.
Day MJ, Bilzer T, Mansell J, Wilcock B, Hall EJ, Jergens A, Minami T, Willard
M, Washabau R. 2008. Histopathological standards for the diagnosis of
gastrointestinal inflammation in endoscopic biopsy samples from the daog and
cat: a report from the world small animal veterinary association gastrointestinal
standardization group. J Comp Path. 138: S1-S43.

17
Freeman ML, Nelson BD, Sherman S, Haber GB, Herman ME, Dorsher PJ,
Moore JP, Fennerty MB, Ryan ME, Shaw MJ, Lande JD, Pheley AM. 1996.
Complications of endoscopic biliary spinchterotomy. The new England
Journal of Medicine. 335 (13): 909-918.
Guy C, Ffytche D. 2005. An introduction to the principles of medical imaging.
revised ed. London: Imperium College Press.
Guyton AC, Hall JC. 2006. Textbook of Medical Physiology, 11th Ed.
Philadelpia : Elsevier Inc.
Han E. 2003. Diagnosis and management of reflux esophagitis. Clin Tech In Sm
Anm Prac. 18:231-238.
Johnston KL, Lamport A, Ballevre O, Batt RM. 1999. A Comparison of
Endoscopic and Surgical Collection Procedures for the Analysis of the
Bacterial Flora in Duodenal Fluid from Cats. The Veterinary journal. 157: 8589.
Kore KB, Patil SS, Phondaba BT. 2010. Gastrointestinal Microbial Ecology and
Its Health Benefit in Dog. Veterinary World. 3 (3): 140-141.
Latorre R, Ayala I, Soria F, Carballo F, Ayala MD, Cuadrado P. 2007. Doubleballoon enteroscopy in two dogs. Veterinary Record. 161: 587-590.
Lecoindre P. 1999. An atlas of gastrointestinal endoscopy in dogs and cats. Walt
Foc. 9: 2-9.
Lei Y, Chen J. 2009. Inhibitory Effects of Various Types of Stress n Gastric Tone
and Gastric Myoelectrical Activity in Dogs. Scandinavian Journal of
Gastroenterology. 44:557-563.
Leib MS. 2005. Endoscopic Procedures: Foreign Body Retrieval and Peg Tube
Placement. Proceedings of The North American Veterinary Conference.
Florida, 8-12 Juni 2005. Florida : Eastern States Veterinary Association.
Luedtke P, Levine MS, Rubesin SE, Weinstein DS, Laufer I. 2003. Radiologic
diagnosis of benign esophageal strictures: a pattern approach. The Journal of
Continuing Medical Education in Radiology. 23: 897-909.
Mitsuoka Y, Hata J, Haruma K, Manabe N, Tanaka S, Chayama K. 2007. New
Method of Evaluating Gastric Mucosal Blood Flow by Ultrasound.
Scandinavian Journal of Gastroenterology. 42: 513-518.
Moore LE. 2003. The advantages and disadventages of endoscopy. Clin Tech Sml
Anm Prac. 18: 250-253.
Moore LE. 2008. Esophagus. Di dalam : Steiner JM, editor. Small Animal
Gastroenterology. Hannover : Schlutersche Verlagsgesellschaft mbH & Co.KG.
Rao TM, Bharathi S, Raghavender KBP. 2010. Surgieal correction of intestinal
obstruction in dogs-a report of eight cases. Intas Polivet. 11 (II): 319-325.
Sebastiani AM, Fishbeck DW. 2005. Mammalian Anatomy of The cat, 2nd Ed.
USA : Morton Publishing Company.
Shumway R, Broussard D. 2003. Maintenance of gastrointestinal endoscopes.
Clin Tech In Sml Anm Prac. 18 : 254-261.
Steiner JM. 2008. Small Animal Gastroenterology. Hannover : Schlutersche
Verlagsgesellschaft mbH & Co.KG.
Stierschneider M, Franz S, Baumgartner W. 2007. Endoscopic examination of the
upper respiratory tract and esofagus in small ruminants : technique and normal
appereance. Vet J 173:101-108.

18
Suchodolski JS. 2008. Stomach. Di dalam: Small Animal Gastroenterology.
Steiner JM. Editor. Jerman: Schultersche.
Tams TR. 2005. Esophagoscopy and Gastroscopy. Di dalam: Tams TR editor.
Introductions to Flexible GI Endoscopy. Proceedings of The North American
Veterinary Conference. Florida, 8-12 Juni 2005. Florida : Eastern States
Veterinary Association.
Tams TR, Rawlings CA. 2011. Small Animal Endoscopy, 3rd ed. Missouri :
Mosby Elsevier.
Vlasin M, Husnik R, Fichtel T, Rauserova L. 2004. Acquired esophageal stricture
in the dog: a case report. Vet. Med. – Czech. 49 (4): 143–147.
Washabau RJ, Day MJ, Willard MD, Hall EJ, Jergens AE, Mansell J, Minami T,
Bilzer TW. 2010. Endoscopic, biopsy, and histopathologic guidelines for the
evaluation of gastroitestinal inflammation in companion animals. J Vet Intern
Med. 24: 10-26.
Weaver M, Barakzai S. 2010. Handbook of equine radiography. USA : Elsevier.
Weber M, Stambouli F, Martin L, Dumon H, Biourge V, Nguyen P. 2001.
Gastrointestinal transit of solid radiopaque markers in large and giant breed
growing dogs. J Anim Phsiol a Anim Nutr. 85: 242-250.
Widodo S, Sajuthi D, Choliq C, Wijaya A, Wulansari R, Lelana RPA. 2011.
Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor: IPB Press.
Williard MD. 2008. Endoscopic diagnosis of disease causing vomiting. Top in
Comp Anm Medc. 23: 162-168.
Willard D, Moore GE, Denton BD, Day MJ, Mansell J, Bilzer T, Wilcock B,
Gualtieri M, Olivero D, Lecoindre P, Twedt DC, Collett MG, Hall EJ, Jergens
AE, Simpson JW, Else RW, Washabau RJ. 2010. Effect of tissue processing
on assessment of endoscopic intestinal biopsies in dogs and cats. J Vet Intern
Med. 24: 84-89.
Yamada K, Morimoto M, Kishimoto M, Wisner ER. 2007. Virtual endoscopy of
dogs using multi-detector row CT. Veterinary Radiology & Ultarsound. 4 (4):
318-322.
Zoran DL. 2001. Gastroduodenoscopy in the dog & cat. Vet Clin Nor Sml Anm
Pract. 31 : 631-656.

19
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1989 di Pontianak sebagai anak
ketiga dari pasangan Achmad Sukardi dan Salmah. Pada tahun 2007 penulis lulus
dari SMAN 5 Pontianak dan pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswa
di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Beasiswa
Utusan Daerah (BUD).
Selama perkuliahan, penulis bergabung bersama Himpunan Minat dan
Profesi (HIMPRO) Ruminansia pada tahun 2009-2012 dan menjabat sebagai
ketua pada tahun 2011. Penulis juga aktif di Keluarga Pelajar Mahasiswa
Kalimantan Barat (KPMKB) 2008-2012 dan menjadi ketua divisi kerohanian pada
tahun 2009-2011. Penulis menjadi anggota Asrama Rahadi Oesman Bogor dan
menjabat sebagai ketua pada tahun 2012.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan teknologi memberikan dampak positif pada dunia
kedokteran, terutama dalam mendiagnosis penyakit. Endoskopi merupakan teknik
diagnosis yang relatif baru pada kedokteran hewan. Endoskopi dapat digunakan
untuk pengambilan jaringan (biopsi), pengamatan perubahan morfologi
permukaan mukosa, dan pengambilan benda asing dari dalam tubuh (Steiner
2008), serta untuk mengamati organ-organ di dalam tubuh tanpa melakukan
pembedahan/minimal invasive (Dacosta et al. 2002).
Endoskopi dapat diaplikasikan pada berbagai organ tubuh, seperti saluran
pencernaan. Pemeriksaan saluran pencernaan bertujuan mengamati kelainan pada
rongga mulut, esofagus, lambung, duodenum, jejunum, ileum, dan kolon.
Endoskopi sangat sensitif dalam mendiagnosis penyakit mukosa saluran
pencernaan seperti polip dan hipertrofi mukosa gastrointestinal (Moore 2003).
Endoskopi saluran pencernaan sebelumnya pernah dilakukan pada hewan
ruminansia (Stierschneider et al. 2007) dan hewan kecil (Lecoindre 1999, Williard
2008).
Radiografi merupakan teknik yang digunakan dalam mendiagnosis penyakit.
Radiografi sangat efektif mengetahui kelainan pada tulang dan persendian, namun
kurang baik dalam menginterpretasi jaringan lunak (Weaver & Barakzai 2010).
Radiografi juga digunakan untuk mendiagnosis penyakit saluran pencernaan yang
berkaitan dengan motilitas (Han 2003).
Endoskopi lebih banyak dilakukan pada anjing ras dibandingkan dengan
anjing lokal, sehingga informasi maupun data hasil pemeriksaaan endoskopi
anjing lokal sangat sedikit dan terbatas. Pemeriksaan endoskopi yang
dikombinasikan dengan radiografi belum pernah dilakukan. Penelitian ini
dilakukan dengan menggabungkan teknik endoskopi dan radiografi pada anjing
lokal.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran normal dan
karakteristik mukosa pada laring, esofagus, dan lambung anjing lokal dengan
menggunakan pemeriksaan endoskopi yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan
radiografi.
Manfaat
Hasil pemeriksaan karakteristik dan gambaran normal mukosa saluran
pencernaan dapat dijadikan pedoman dalam mendiagnosis penyakit serta dapat
dijadikan pembanding terhadap karakteristik saluran pencernaan anjing ras.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Pencernaan
Hewan memiliki sistem pencernaan yang berfungsi sebagai tempat
pengolahan makanan menjadi sumber energi dan nutrisi, melalui proses mekanis
maupun kimiawi. Sistem pencernaan melibatkan enzim dan hormon yang
membantu dalam menyediakan energi dengan memanfaatkan nutrisi dari makanan
yang dikonsumsi (Kore et al. 2010). Saluran pencernaan terdiri atas rongga mulut,
esofagus, lambung, usus halus, usus besar, rektum, dan anus, serta dilengkapi
dengan hati, limpa, dan pankreas yang membantu proses pengolahan makanan
(Sebastiani & Fishbeck 2005). Saluran pencernaan anjing (karnivora) memiliki
saluran pencernaan bawah lebih pendek dibandingkan dengan hewan herbivora
maupun omnivora, dan anjing tidak memiliki enzim ptyalin (amylase saliva)
(Kore et al. 2010).
Makanan yang masuk ke dalam mulut dihancurkan melalui proses mekanis
oleh gigi, kelenjar saliva, dan lidah menjadi bolus yang lebih kecil. Gigi dan lidah
bekerja sinergis memperkecil ukuran makanan, sedangkan kelenjar saliva
mensekresikan saliva agar lingkungan mulut menjadi basah yang memicu proses
difusi molekul makanan ke reseptor-reseptor lidah sehigga menciptakan sensasi
rasa. Saliva juga berperan mengurangi mikroba yang berasal dari makanan dan
menjadi pembungkus bolus-bolus makanan sebelum masuk ke esofagus (Barret
2006).
Makanan yang melewati faring akan masuk ke dalam esofagus. Esofagus
merupakan otot berbentuk pipa memanjang yang berfungsi mengantarkan
makanan dari mulut menuju lambung dengan gerakan peristaltik (Barret 2006).
Makanan yang melewati esofagus akan masuk ke dalam lambung. Lam

Dokumen yang terkait

Pemanfaatan Zat Makanan Pakan Lokal dengan Sumber Protein yang Berbeda pada Anjing Pelacak (Canis familiaris)

0 9 74

Endoskopi Laring, Esofagus, dan Lambung Proksimal pada Kucing Lokal (Felis catus)

0 4 63

Gambaran Eritrosit, Hemoglobin dan Packed Cell Volume Anjing Lokal (Canis familiaris)yang Diinfeksi Microsporum canis.

0 0 14

20. PERBEDAAN JUMLAH LEUKOSIT SETELAH TRANSPLANTASI KULIT SECARA AUTOGRAFT DAN ISOGRAFT PADA ANJING LOKAL (Canis lupus familiaris) Description of Leucocyte on Skin Transplantation Lessio by Autograph and Isograph on Local Canine (Canis Lupus familiaris) |

0 1 3

8. GAMBARAN HISTOPATOLOGIS PARU ANJING LOKAL (Canis lupus familiaris) YANG MENDERITA ANTRAKOSIS Histopathology of Lung of Local Dog (Canis lupus familiaris) with Anthracosis | Ulfah | Jurnal Medika Veterinaria 4635 9205 1 SM

0 0 4

Identifikasi Molekuler Bakteri pada saliva Anjing (canis Lupus Familiaris) ras Golden Retriever - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 103

Identifikasi Molekuler Bakteri pada Saliva Anjing (Canis lupus familiaris) Ras Pitbull - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 1 101

Identifikasi Molekul Bakteri pada Saliva Anjing (Canis Lupus) Ras Herder Dewasa - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 1 81

Identifikasi Molekuler Bakteri pada saliva Anak Anjing Liar (Canis Lupus) Ras Herder - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 89

Identifikasi Molekuler Bakteri Saliva Anjing (Canis lupus familiaris) Pada Ras Siberian Husky - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 85