Evaluasi Keragaan Populasi Putatif Mutan Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Generasi M3 Dan Potensi Produksinya Di Dataran Menengah

EVALUASI KERAGAAN POPULASI PUTATIF MUTAN
PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) GENERASI M3
DAN POTENSI PRODUKSINYA DI DATARAN MENENGAH

ANIF LAILATUSIFAH
A24063381

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

ii

RINGKASAN
ANIF LAILATUSIFAH. Evaluasi Keragaan Populasi Putatif Mutan
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Generasi M3 dan Potensi
Produksinya di Dataran Menengah. Dibimbing oleh FAIZA CHAIRANI
SUWARNO dan YUDIWANTI WAHYU E. K.
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi karakter morfologi dan
potensi produksi populasi putatif mutan tanaman purwoceng (Pimpinella pruatjan

Molk.) generasi M3 di Kebun Percobaan Balittro Cicurug (550 m dpl) yang
dilaksanakan pada bulan Januari hingga September 2010. Tanaman purwoceng
merupakan tanaman asli Indonesia yang tumbuh endemik di Dataran Tinggi
Dieng, Jawa Tengah (1 830 m dpl). Tanaman ini sangat prospektif untuk dijadikan
sumber bahan baku industri suplemen minuman karena mengandung senyawa
afrosidiak yaitu khasiat suatu obat yang dapat meningkatkan atau menambah
stamina. Selama ini purwoceng dibudidayakan secara sederhana dalam skala kecil
di habitat endemiknya. Perlu suatu upaya untuk dapat membudidayakan tanaman
purwoceng agar dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik serta dapat mendekati
pusat produksinya yang kebanyakan di dataran rendah.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih tanaman
purwoceng putatif mutan generasi M3 dengan dosis radiasi 10, 20, 30, dan 40 Gy
yang diperoleh dari Kebun Percobaan Gunung Putri. Bahan lain yang digunakan
adalah polybag, paranet dan media tanam campuran yaitu tanah, pupuk kandang
dan pasir dengan perbandingan yang sama. Penelitian dilakukan dengan
mengamati populasi tanaman yaitu karakteristik pertumbuhan, morfologi dan
potensi produksinya. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji-t pada
taraf 5 %.
Hasil pengamatan terhadap karakter kualitatif menunjukkan bahwa secara
umum tanaman purwoceng generasi M3 memiliki warna daun dan warna tangkai

daun yaitu merah dan hijau. Karakter kualitatif lainnya yaitu tipe kanopi yang
ditemukan pada tanaman purwoceng generasi M3 ada tiga macam yaitu tegak,
semi tegak dan rebah. Berdasarkan hasil analisis terhadap karakter kuantitatif
secara umum tidak berbeda nyata antar dosis irradiasi. Keragaman morfologi dan

iii

perbedaan karakteristik pertumbuhan pada populasi tanaman purwoceng generasi
M3 ini diduga selain akibat irradiasi sinar gamma, juga akibat faktor lingkungan.
Bobot segar tanaman purwoceng generasi M3 antar masing-masing dosis
irradiasi tidak berbeda nyata, yaitu berkisar 3.13–7.33 g/tanaman. Hasil analisis
kandungan metabolit sekunder tanaman purwoceng generasi M3 (sitosterol,
stigmasterol, saponin, dan bergapten) antar masing-masing perlakuan irradiasi
tidak berbeda nyata. Kandungan masing-masing jenis metabolit sekunder didalam
populasi tanaman purwoceng generasi M3 juga tidak berbeda nyata. Rata-rata
kandungan sitosterol, stigmasterol, saponin, dan bergapten berturut-turut 0.40,
0.70, 0.53, dan 0.82 %. Pada populasi yang dipelajari, korelasi antara jumlah
daun, panjang tangkai, panjang daun, dan diameter kanopi dengan bobot basah
tidak nyata. Korelasi positif dan nyata terjadi antara jumlah daun terhadap diameter
kanopi dan panjang tangkai terhadap panjang daun.


iv

EVALUASI KERAGAAN POPULASI PUTATIF MUTAN
PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) GENERASI M3
DAN POTENSI PRODUKSINYA DI DATARAN MENENGAH

Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Anif Lailatusifah
A24063381

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011

v


Judul

: EVALUASI KERAGAAN POPULASI PUTATIF MUTAN
TANAMAN PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.)
GENERASI

M3

DAN

POTENSI

PRODUKSINYA

DI DATARAN MENENGAH
Nama

: Anif Lailatusifah


NIM

: A24063381

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I

Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Faiza Chairani Suwarno, MS.

Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E. K, MS.

NIP. 19521008 198103 2 001

NIP. 19631107 198811 2 001

Mengetahui,
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura

Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr
NIP. 19611101 198703 1 003

Tanggal Lulus :

vi

RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Anif Lailatusifah, dilahirkan pada tanggal 30 Agustus
1988 di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penulis merupakan anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Tamzis dan Ibu Wasiyem.
Tahun 1992 penulis lulus dari TK Kusuma Mekar I dan melanjutkan
pendidikan sekolah dasar di SDN Bugel pada tahun 1994. Tahun 2000 penulis
melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan tingkat pertama di MTs M Darul
Ulum dan menyelesaikannya pada tahun 2003. Pendidikan sekolah menengah atas
dilalui di MAN Yogyakarta 1 dan lulus pada tahun 2006. Tahun 2006 penulis
diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis diterima di Departemen Agronomi

dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.
Selama sebagai mahasiswa penulis aktif dalam UKM Eco-Agrifarma
sebagai anggota divisi produksi, serta aktif mengikuti berbagai kepanitiaan di
lingkungan internal kampus. Penulis pernah mendapatkan hibah dari DIKTI
dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Kewirausahaan tahun 2008
dengan judul “Terarium In Vitro: Taman Mini dalam Ruang”, tahun 2010 dengan
“Kultur Seni : Flowerbed In D’Bottle” dan “Komersialisasi Martabak Buah
Kombinasi ‘Mabuk’ sebagai Kudapan Sehat dan Lezat”, serta PKM Penelitian
dengan judul “Pengaruh Konsentrasi Paclobutrazol dalam Induksi Pembungaan
(Flowering) Mawar Mini Hibrida Var. Rosmarun dan Yulikara secara In Vitro”,
dan pada tahun 2011 PKM bidang Kewirausahaan dengan judul “Kultur seni:
Terarium Berbasis Kultur Jaringan” dan “Pengembangan Martabak Buah
Kombinasi Berbasis Tepung Lokal: Mocaf, Tepung Ubi Jalar dan Tepung Biji
Nangka”. Penulis pada tahun 2008 menjadi Tim Pameran IPB dalam Lomba
Poster dan Gelar Produk Non-PKM Pekan “Ilmiah Mahasiswa Nasional XXI” di
Unissula, Semarang.
Pengembangan

Penulis pada tahun 2009 lolos seleksi Program


Kewirausahaan

Mahasiswa

yang

diselenggarakan

Career

Development and Alumni Affairs (CDA) Institut Pertanian Bogor dengan judul
“Souvenir Pertanian: Terarium In Vitro”.

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat, hidayat, dan kasih sayangNya yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
dengan baik dan lancar. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para

pengikutnya yang tetap istiqomah dalam mengikuti dan memegang teguh
ajaranNya.
Skripsi yang berjudul “Evaluasi Keragaan Populasi Putatif Mutan
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) Generasi M3 dan Potensi Produksinya di
Dataran Menengah”. diajukan sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar
Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Faiza Chairani Suwarno, MS., selaku Dosen pembimbing pertama yang
telah memberikan bimbingan serta arahan selama pelaksanaan penelitian dan
penyusunan skripsi.
2. Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E. K, MS., selaku Dosen pembimbing kedua yang
telah memberikan bimbingan serta arahan selama pelaksanaan penelitian dan
penyusunan skripsi.
3. Ir. Supijatno, MSi., selaku Dosen pembimbing akademik, yang telah
mendampingi dan mengarahkan selama menempuh studi di Departemen
Agronomi dan Hortikultura.
4. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS., selaku Dosen penguji yang telah memberikan
saran dan perbaikan dalam penulisan naskah skripsi.
5. Bapak Tamzis dan Ibu Wasiyem selaku orang tua, serta seluruh keluarga besar
penulis yang selalu mendoakan dan memberikan motivasi, nasehat, kasih

sayang, dan pengorbanannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi dan studi di Institut Pertanian Bogor.
6. Bapak Wawan, Bapak Mardiana, Mb’ Irni dan seluruh staf Kebun Percobaan
Balai Tanaman Obat Cicurug, Sukabumi yang telah memberikan arahan dan
membantu kelancaran penelitian.

viii

7. Sahabat-sahabat: Sulis Mardiana, Agustina Dewi L, Devi Mustikawati,
V. Susirani, Seriulina, Elisabeth T., Ana Y., Nurul F., Fitria Dwinanda, Winda H.,
Atrie Y., Linda O., Agustina S. dan seluruh penghuni Laboratorium
Ecotoxycology Waste and Bioagent; & kakak-kakak: Ahmawati P. Mahendra
R., Fitria Yuniarsih, Wacih Tresnasih, Teti M., dan Sri Hartati; juga kawankawan IKAMADITA (Ikatan Mahasiswa Daerah Istimewa Yogyakarta) yang
selalu menemani dan memberikan semangat selama menempuh perkuliahan
dan penyelesaian studi di IPB.
8. Florito’s team, 4Glam’s team dan Marbusi’s team atas kerjasama merangkai
mimpi-mimpi.
9. Seluruh teman-teman mahasiswa AGH-43 yang telah memberikan kenangan
yang tidak akan terlupakan serta pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah
membantu penulis selama kuliah dan penyelesaian tugas akhir ini. Semoga hasil
penelitian ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juni 2011

Penulis

ix

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................

x

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................

xi

DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................

xii

PENDAHULUAN
Latar Belakang ............................................................................................
Tujuan ..........................................................................................................
Hipotesis ......................................................................................................

1
3
3

TINJAUAN PUSTAKA
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) ....................................................
Syarat Tumbuh Purwoceng .........................................................................
Pemuliaan Mutasi ........................................................................................
Sinar Gamma ...............................................................................................

4
8
9
11

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian .....................................................................
Bahan dan Alat ............................................................................................
Metode Penelitian ........................................................................................
Pelaksanaan Penelitian ................................................................................
Pengamatan .................................................................................................

13
13
13
14
15

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum ............................................................................................
Karakter Kualitatif
Warna Daun ............................................................................................
Warna Tangkai Daun ..............................................................................
Tipe Kanopi ............................................................................................
Karakter Kuantitatif
Jumlah Daun ...........................................................................................
Panjang Tangkai .....................................................................................
Panjang Daun ..........................................................................................
Diameter Kanopi .....................................................................................
Bobot Tanaman.......................................................................................
Metabolit Sekunder.................................................................................
Korelasi Antar Karakter Kuantitatif .......................................................

17
22
24
25
26
29
30
31
33
35
37

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................

38

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

39

LAMPIRAN .....................................................................................................

43

x

DAFTAR TABEL
Nomor

Halaman

1. Kombinasi Warna Daun pada Tanaman Purwoceng Generasi M3 ...........

22

2. Hasil Uji-t Bobot Segar Tanaman Purwoceng Generasi M3 antar
Perlakuan Dosis Irradiasi ..........................................................................

33

3. Hasil Analisis Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Purwoceng
Generasi M3 ..............................................................................................

35

4. Nilai Uji Korelasi Antar Karakter Kuantitatif Tanaman Purwoceng
Generasi M3 ..............................................................................................

37

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1.

Tahapan Pertumbuhan Tanaman Purwoceng .........................................

4

2.

Sketsa Keragaman Tipe Kanopi Tanaman Purwoceng ..........................

16

3.

Gejala Kekurangan Unsur Nitrogen .......................................................

19

4.

Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) ...............................

20

5.

Gejala Penyakit pada Tanaman Purwoceng ...........................................

21

6.

Keragaman Warna Daun Purwoceng pada Dua Fase Umur ...................

22

7.

Warna Tangkai Daun Purwoceng ...........................................................

24

8.

Tipe Kanopi ............................................................................................

25

9.

Rata-rata Jumlah Daun Purwoceng Generasi M3 pada Beberapa
Perlakuan Dosis Irradiasi ........................................................................

26

10. Rata-rata Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M3 pada
Beberapa Perlakuan Dosis Irradiasi ........................................................

29

11. Rata-rata Panjang Daun Purwoceng Generasi M3 pada Beberapa
Perlakuan Dosis Irradiasi ........................................................................

31

12. Rata-rata Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M3 pada Beberapa
Perlakuan Dosis Irradiasi ........................................................................

32

13. Rata-rata Bobot Segar dan Kering Purwoceng Generasi M3 pada
Beberapa Perlakuan Dosis Irradiasi ........................................................

34

xii

DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1.

Halaman

Jumlah Tanaman Purwoceng Generasi M3 Tiap Perlakuan Irradiasi
pada Umur Berbeda ................................................................................

44

Kondisi Iklim di Kebun Percobaan Cicurug, Sukabumi Selama
Penelitian ................................................................................................

44

3.

Hasil Analisis Tanah Kebun Percobaan Balittro Cicurug ......................

45

4.

Perbandingan Karakter Agroekologi dan Sifat Fisik-Kimia Tanah di
Dieng, Tawangmangu, Tangkubanprahu, Manoko, Ciwidey, dan
Cicurug ...................................................................................................

46

Hasil Pengamatan Warna Daun, Warna Tangkai Daun dan Tipe
Kanopi Tanaman Purwoceng Generasi M3 ............................................

47

6.

Hasil Pengamatan Tipe Kanopi Tanaman Purwoceng Generasi M3......

49

7.

Hasil Uji-t Jumlah Daun Purwoceng Generasi M3 ................................

53

8.

Hasil Uji-t Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M3 .................

53

9.

Hasil Uji-t Panjang Daun Majemuk Tanaman Generasi M3 ..................

53

10. Hasil Uji-t Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M3 ..........................

53

11. Hasil Uji-t Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman Purwoceng
Generasi M3 antar Perlakuan Dosis Irradiasi .........................................

54

12. Hasil Uji-t antar Jenis Kandungan Metabolit Sekunder Tanaman
Purwoceng Generasi M3.........................................................................

54

13. Jumlah Daun Purwoceng Generasi M3 Umur 4–24 MSP ......................

54

14. Panjang Tangkai Daun Purwoceng Generasi M3 Umur 4–24 MSP.......

55

15. Panjang Daun Purwoceng Generasi M3 Umur 4–24 MSP .....................

56

16. Diameter Kanopi Purwoceng Generasi M3 Umur 4–24 MSP................

56

17. Bobot Segar dan Kering Purwoceng Generasi M3 Umur 6 BST ..........

57

18. Bobot Total Purwoceng Generasi M3 Umur 6 BST..............................

57

2.

5.

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki lahan yang subur dan
dikaruniai biodiversitas yang tinggi. Negara tropis ini sudah dikenal sebagai
penghasil berbagai macam komoditas pertanian termasuk tanaman obat. Kondisi
tanah dan iklim yang sesuai, serta keanekaragaman flora yang tinggi membuat
negara ini menjadi penghasil komoditas obat-obatan dari alam yang potensial.
Penggunaan tanaman obat oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional
di Indonesia sudah dilakukan sejak dahulu. Jenis tanaman yang digunakan pun
sangat beragam. Menurut Departemen Kesehatan (2007) diperkirakan 40 000
spesies tumbuhan hidup di muka bumi ini, 30 000 di antaranya tumbuh di
Indonesia. Sekitar 180 spesies dari jumlah spesies diatas yang dimanfaatkan
sebagai bahan oleh industri obat tradisional.
Perkembangan industri herbal medicine dan health food di Indonesia
dewasa ini meningkat dengan pesat. Pemanfaatan sumberdaya alam hayati,
khususnya dari jenis biofarmaka, akan terus berlanjut, sehubungan dengan
kuatnya keterkaitan bangsa Indonesia terhadap tradisi budaya memakai obat
tradisional. Kecenderungan ini telah meluas ke seluruh dunia dan dikenal sebagai
gelombang hijau baru (new green wave) atau tren gaya hidup kembali ke alam
(back to nature). Bahkan WHO menjelaskan bahwa hingga 65 % dari penduduk
negara-negara

maju

telah

menggunakan

pengobatan

tradisional

dimana

didalamnya termasuk penggunaan obat-obat bahan alam (Departemen Kesehatan,
2007).
Salah satu jenis tanaman obat yang kini kian marak baik di dunia industri
obat maupun dalam bidang biofarmaka adalah purwoceng (Pimpinella pruatjan
Molk.). Purwoceng merupakan tanaman yang mengandung senyawa afrodisiak
yaitu khasiat suatu obat yang dapat meningkatkan atau menambah stamina
(Raharjo dan Rostiana, 2006). Tanaman ini sangat prospektif untuk dijadikan
sumber bahan baku industri suplemen minuman yang berfungsi untuk
meningkatkan vitalitas tubuh. Selain itu, kandungan vitamin E di dalam herba

2
purwoceng dapat dimanfaatkan sebagai bahan kosmetika yang berfungsi untuk
peremajaan sel-sel tubuh dan memperbaiki kesuburan wanita (Balittro, 2008).
Tanaman purwoceng selama ini dibudidayakan secara sederhana dalam
skala kecil di habitat endemiknya yaitu di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah.
Menurut Yuhono (2004) tanaman ini berkembang di empat desa yaitu Sikunang,
Dieng, Petak Banteng, dan Sembungan. Umumnya tanaman ini dibudidayakan di
pekarangan petani dengan luasan yang sempit.
Meningkatnya permintaan tanaman purwoceng oleh industri jamu di
Indonesia dan status kelangkaan (endangered species) tanaman purwoceng di
habitat endemiknya, serta area budidaya yang sangat terbatas, mendorong adanya
suatu upaya peningkatan produksi. Selama ini kendala utama yang dihadapi
dalam produksi tanaman obat adalah kesesuaian lahan, iklim, dan masalah bibit.
Beberapa kendala tersebut juga menjadi faktor pembatas dalam pengembangan
budidaya tanaman purwoceng saat ini.
Iklim yang sesuai dan kondisi tanah yang cocok menentukan mutu
tanaman obat yang dihasilkan. Tidak semua jenis tanaman dapat tumbuh di segala
tempat. Apabila dapat tumbuh pun, maka hasil produksinya tidak akan maksimal.
Perlu suatu upaya untuk dapat membudidayakan tanaman purwoceng agar dapat
tumbuh dan berproduksi dengan baik serta dapat mendekati pusat produksinya
yang kebanyakan di dataran rendah. Upaya peningkatan produksi tanaman ini
dapat dilakukan melalui pemuliaan tanaman dan perbaikan teknik budidaya.
Pemuliaan tanaman merupakan suatu ilmu dan seni untuk merakit suatu
tanaman yang mempunyai sifat genetik yang diinginkan. Cara ini dapat dilakukan
untuk memperoleh tanaman yang mampu tumbuh dan berproduksi dengan baik di
luar habitat aslinya. Keberhasilan suatu program pemulian tanaman adalah adanya
keragaman tanaman. Menurut Poespodarsono (1988) keragaman genetik dapat
diperoleh dari koleksi, introduksi, hibridisasi, dan induksi mutasi (secara fisik atau
kimia).
Memperhatikan kekhasan habitatnya tanaman purwoceng diduga memiliki
keragaman yang kecil, sehingga perlu upaya untuk meningkatkan keragamannya.
Keragaman tanaman purwoceng dapat ditingkatkan dengan hibridisasi, tetapi cara

3
ini sulit untuk dilaksanakan. Cara lain yang lebih mudah untuk menimbulkan
keragaman pada tanaman adalah dengan mutasi.
Menurut Poespodarsono (1988) mutasi adalah perubahan genetik baik gen
tunggal ataupun sejumlah gen atau susunan kromosom. Mutasi juga dapat
menimbulkan perubahan fisiologis dan biokimia suatu tanaman. Mutasi secara
alami sulit terjadi. Kusumo, et al. (2008) melakukan mutasi buatan secara fisik
dengan irradiasi sinar gamma pada benih tanaman purwoceng untuk memperoleh
keragaman secara cepat. Populasi putatif mutan tanaman purwoceng telah
diperoleh hingga generasi M3.
Yuhono

(2004)

mengungkapkan

bahwa

peluang

pengembangan

purwoceng masih terbentang luas. Pemuliaan terhadap purwoceng perlu terus
dilakukan untuk mengkonservasi dan memelihara kelestarian tanaman, serta
memperoleh tanaman purwoceng yang mampu tumbuh baik (adaptif) di dataran
rendah dan mempunyai hasil produksi yang optimal.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keragaan populasi tanaman
purwoceng generasi M3 hasil irradiasi benih dengan sinar gamma dan potensi
produksinya di dataran menengah.

Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.

Terdapat perbedaan morfologi dan karakteristik pertumbuhan pada populasi
tanaman purwoceng generasi M3 hasil irradiasi benih dengan sinar gamma
yang ditanam di dataran menengah.

2.

Terdapat perbedaan potensi produksi dan kandungan metabolit sekunder pada
populasi tanaman purwoceng generasi M3 yang ditanam di dataran menengah.

4

TINJAUAN PUSTAKA
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.)
Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) merupakan salah satu tanaman
afrodisiak (obat kuat) asli Indonesia. Tanaman ini awalnya dijumpai tumbuh
secara liar di sekitar dataran tinggi Dieng, disekitar gunung Pangrango (Jawa
Barat) dan daerah-daerah pegunungan di Jawa Timur pada ketinggian 1 800–
3 000 meter di atas permukaan laut (m dpl) (Heyne, 1985). Purwoceng dikenal
dengan nama antanan gunung di daerah Jawa Barat (Sunda), purwoaceng atau
purwoceng di Jawa Tengah, dan di daerah lainnya disebut pula dengan suripandak
abang atau gebangan (Yuhono, 2004). Menurut Raharjo dan Yuhono (2006)
klasifikasi botani purwoceng sebagai berikut :
Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Famili

: Apiaceae

Genus

: Pimpinella

Spesies

: Pimpinella pruatjan Molk.; sinonim Pimpinella alpina Kds.

1

3

2

4

5

Gambar 1. Tahapan Pertumbuhan Tanaman Purwoceng. Tanaman (1), Bunga
kuncup (2), Bunga mekar (3), Buah (4), Akar dari tanaman berumur
6 bulan (5). (Sumber: Darwati dan Roostika, 2006).

5
Tanaman purwoceng adalah tanaman terna perennial, habitus tanaman
membentuk rosset, tangkai daun berada di atas permukaan tanah. Tangkai daun
tumbuh rapat menutupi batang tanaman, seolah batang tanaman tidak ada, jumlah
tangkai daun lebih kurang 46.50 buah/tanaman. Pangkal tangkai daun pada
umumnya berwarna merah kecoklatan dan sebagian kecil (< 2 %) berwarna
kehijauan. Panjang tangkai daun lebih kurang 18.80 cm. Biasanya tajuk tanaman
menutupi permukaan tanah hampir membentuk bulatan dengan diameter tajuk
berkisar lebih kurang 37.90 cm (Raharjo dan Yuhono, 2006).
Purwoceng mempunyai daun majemuk berhadapan berpasang-pasangan,
di ujung tangkai terdapat daun tunggal. Bentuk anak daun membulat dengan
pinggiran bergerigi. Warna permukaan daun hijau, dan permukaan bawahnya
berwarna hijau keputih-putihan. Purwoceng mempunyai perakaran tunggang, akar
bagian pangkal semakin umur tanaman bertambah, semakin membesar seolah
membentuk umbi seperti bentuk gingseng, tetapi tidak sebesar gingseng, akar-akar
rambut keluar di ujungnya (Raharjo et al., 2005).
Purwoceng banyak diinginkan oleh industri obat karena dapat digunakan
sebagai obat kuat pria. Kandungan metabolit sekunder pada tanaman ini antara
lain senyawa golongan kumarin, flavonoid, alkaloid, dan terpenoid-steroid.
Komponen kimia berkhasiat afrodisiak yang terdapat dalam jaringan tanaman
purwoceng dari golongan steroid adalah sitosterol dan stigmasterol, bergapten dari
turunan furanokumarin, serta saponin dari golongan triterpenoid (Rostiana et al.,
2007).
Khasiat utama tanaman ini berada pada bagian akar. Akan tetapi, saat ini
semua bagian tanaman baik akar, daun, maupun batang telah dimanfaatkan karena
terbukti juga mengandung senyawa aktif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Wahyuni (2010) kadar saponin dan fitosterol pada akar tidak berbeda jika
dibandingkan pada batang dan daun purwoceng. Akarnya dikenal sebagai
afrosidak (obat kuat) dan juga mengandung senyawa diuretik yang dapat
melancarkan air kemih. Tanaman purwoceng baik bagian tajuk maupun akar juga
mengandung vitamin E yang dapat meningkatkan fertilitas spermatozoid. Selain
mengandung vitamin E, di bagian tajuk juga mengandung bergapten yang
berfungsi dalam meningkatkan stamina tubuh (Raharjo et al., 2006).

6
Menurut pemaparan penduduk di Wonosobo yang mengkonsumsi
purwoceng, khasiat purwoceng tidak kalah dengan gingseng dari Cina atau Korea
(Raharjo et al., 2004). Penggunaan herbal purwoceng di Dataran Tinggi Dieng
bermula dari penduduk atau petani sekitar yang setiap selesai bekerja keras
kemudian mengkonsumsi air seduhan purwoceng dengan tujuan untuk menjaga
dan meningkatkan kesehatan, serta menjaga agar tidak masuk angin karena daerah
sekitar pegunungan Dieng memiliki lahan yang terjal, berbukit (tingkat
kecuraman sampai 800), dan cuaca yang sangat dingin sehingga menuntut para
petani setempat harus tetap prima kesehatannya. Perkembangan selanjutnya,
tanaman ini semakin dicari terutama oleh perusahaan industri obat tradisional
sebagai bahan baku obat kuat (Yuhono, 2004).
Industri obat tradisional biasanya menerima hasil panen tanaman
purwoceng dalam bentuk simplisia. Gunawan dan Mulyani (2004) menjelaskan
bahwa simplisia merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut bahan-bahan
obat alam yang berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan
bentuk.

Pengertian

simplisia

menurut

Departemen

Kesehatan

RI

(No.230/Menkes/IX/176) adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan
belum mengalami perubahan proses apapun juga dan kecuali dinyatakan lain
umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan. Umumnya simplisia purwoceng
diproses menjadi bentuk-bentuk olahan seperti bubuk (serbuk), ekstrak dan
kapsul.
Pemenuhan kebutuhan simplisia purwoceng selama ini berasal dari
budidaya di pekarangan rumah penduduk di Dieng, dengan cara sederhana dan
luasan yang terbatas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ermiati et al. (2005)
di Desa Sikunang, rata-rata kepemilikan lahan usahatani purwoceng per petani
sekitar 37 m2, dengan kisaran kepemilikan 4–200 m2.
Potensi tanaman purwoceng sebagai bahan subtitusi atau pengganti
gingseng sangat besar karena permintaan pasar cukup tinggi. Kemala dalam
Ermiati et al. (2005) menyebutkan bahwa perkiraan serapan purwoceng di Jawa
Tengah mencapai 6 900 kg tanaman segar per tahun. Berdasarkan penelitian
Yuhono (2004) beberapa industri obat tradisional meminta pasokan secara rutin
setiap minggu dengan kisaran 50–200 kg secara kontinyu, tetapi petani hanya

7
mampu menyiapkan 40–50 kg per bulannya. Djazuli et al. (2007) mengungkapkan
bahwa rendahnya tingkat produktivitas dan terbatasnya areal produksi khususnya
di daerah Dieng karena bersaing dengan tanaman hortikultura lainnya seperti
kentang dan bawang daun, sehingga menyebabkan harga purwoceng menjadi
relatif tinggi. Berdasarkan penelitian Ermiati et al. (2005) harga purwoceng basah
ditingkat petani berkisar Rp. 50 000,00 hingga Rp. 85 000,00 per kg. Rahardjo
dan Yuhono (2006) menerangkan bahwa harga herbal kering purwoceng dapat
mencapai Rp. 200 000,00 hingga Rp. 400 000,00 per kg.
Berdasarkan analisis usahatani yang dilakukan Yuhono (2004) dan
Ermiati et al. (2005) yang dilakukan di Desa Sikunang menunjukkan bahwa
usahatani purwoceng menguntungkan, layak dan mempunyai prospek yang bagus
untuk dikembangkan. Benefit Cost Rasio yang diperoleh dari analisis usahatani
purwoceng menunjukkan lebih dari satu (B/C Rasio > 1), berturut-turut adalah
4.63 dan 2.26. Keuntungan yang dihasilkan bisa mencapai lebih dari 25 juta
rupiah per luasan lahan 1 000 m2. Hal ini menguatkan bahwa budidaya purwoceng
secara luas merupakan peluang untuk menjamin kecukupan suplai bahan baku dan
meningkatkan pendapatan petani purwoceng.
Kendala perluasan budidaya purwoceng selama ini antara lain terbatasnya
area produksi akibat kesesuaian lahan dan tergesernya lahan potensial terutama di
Dieng oleh produk hortikultura, serta keterbatasan sumber bibit. Menurut
Rahardjo et al. (2006) yang harus diperhatikan dalam faktor kesesuaian lahan
mencakup elevasi, kelembaban, suhu dan kesuburan tanah. Hal ini sangat penting
karena kondisi agroklimat suatu lahan akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Berdasarkan penelitian sebelumnya Rahardjo et al. (2004) mengungkapkan bahwa
beberapa daerah yang berpotensi untuk pengembangan tanaman purwoceng
karena mempunyai sifat-sifat agroekosistem yang hampir mirip dengan habitat
aslinya yaitu Tawangmangu (1 120 m dpl), Gunung Putri (1 540 m dpl),
Tangkuban Perahu (1 680 m dpl), dan Manoko (1 240 m dpl).
Tanaman purwoceng diperbanyak secara generatif menggunakan biji. Biji
yang dihasilkan cukup banyak yaitu sekitar 2 260 biji per rumpun tanaman
purwoceng. Biji yang telah masak berwarna hitam, ukurannya sangat kecil dan
bobot 1 000 butirnya hanya 0.52 g (Rahardjo et al., 2005). Menurut penelitian

8
yang dilakukan Pulungan (2010), daya berkecambah benih purwoceng generasi
M1 sangat rendah yaitu kurang dari 10 %. Benih yang disemai mulai
berkecambah pada 7 minggu setelah semai. Berdasarkan penelitian Sukarman
et al. (2006) benih purwoceng yang mempunyai daya berkecambah paling bagus
adalah benih yang berumur 7 minggu setelah inisiasi pembungaan (MSA), yaitu
memiliki daya berkecambah 23 %. Menurut Rusmin (2010) masa masak fisiologis
benih pada tiga kelompok bunga (payung) berbeda-beda. Masak benih dari
payung pertama dan ketiga sekitar umur 7 MSA, dengan daya berkecambah
masing-masing 5.75 % dan 10.50 %, sedangkan pada payung kedua yaitu umur
8 MSA dengan daya berkecambah 22.75 %. Oleh karena daya berkecambah benih
purwoceng yang sangat rendah sedangkan permintaan terhadap bibit purwoceng
yang terus meningkat, menyebabkan harga bibit cukup mahal yaitu Rp. 4 000,00–
Rp. 10 000,00/bibit. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam perluasan area
budidaya purwoceng, ditambah lagi adanya mitos yang berkembang di
masyarakat bahwa tanaman purwoceng tidak dapat tumbuh selain di Desa
Sikunang.
Masalah lain yang mengancam pada setiap usaha budidaya tanaman adalah
hama dan penyakit. Menurut Rahardjo dan Yuhono (2006) hama yang sering
menyerang tanaman purwoceng yaitu kutu daun (Aphid sp.) dan keong (molusca
tidak bercangkang). Penyakit yang pernah ditemukan pada tanaman purwoceng
yaitu penyakit busuk batang, tetapi penyakit ini jarang ditemukan atau dapat
dikatakan tidak ada.

Syarat Tumbuh Purwoceng
Purwoceng merupakan tanaman yang tumbuh baik pada dataran dengan
ketinggian 1 800–3 300 m dpl. Habitat asli tanaman purwoceng di Dieng berada
pada ketinggian antara 1 850–2 050 m dpl, dengan suhu udara antara 15–21 0C,
dan kelembaban udara antara 60–75 %, dan curah hujan di atas 4 000 mm/tahun.
Purwoceng awalnya merupakan tumbuhan liar yang hidup di bawah tegakan
tanaman keras atau hutan, sehingga kurang bagus pertumbuhannya apabila
tanaman ini mendapat penyinaran matahari langsung. Oleh karena itu untuk
pertumbuhan yang baik saat budidaya, tanaman ini diperlukan naungan buatan

9
dengan tingkat naungan 45–55 %. Pertumbuhan tanaman purwoceng akan optimal
jika ditanam pada tanah yang kaya bahan organik dengan pH tanah5.7–6.0
(Rahardjo dan Yuhono, 2006).
Tanaman purwoceng di Dieng tumbuh pada tanah berjenis Andosol.
Tanaman ini tumbuh lebih baik pada tanah yang kaya bahan organik, gembur,
kurang kandungan liatnya, dan kemasaman tanahnya normal. Tanah Dieng
termasuk dalam tanah yang subur, kandungan C-organiknya sangat tinggi,
kapasitas tukar kation, kandungan Ca dan K tinggi, sedangkan kandungan N, P,
dan Na tergolong cukup. Selain sifat tanahnya yang gembur dan subur, kondisi
iklimnya memiliki curah hujan yang cukup, suhu udara dingin, dan kelembaban
udara tidak terlalu basah (Rahardjo et al., 2004).
Berdasarkan hasil penelitian Rahardjo dan Rostiana (2006) purwoceng
dapat tumbuh dan dibudidayakan secara optimal baik di dalam maupun di luar
lingkungan tumbuh aslinya. Purwoceng dapat tumbuh baik pada ketinggian
tempat 1 500–2 050 m dpl, curah hujan > 4 000 mm/tahun, suhu udara 15–25.8 0C,
tanah yang subur kaya bahan organik, gembur, dan memiliki pH 5.6–7 (netral).

Pemuliaan Mutasi
Pemuliaan tanaman merupakan suatu ilmu dan seni untuk merakit suatu
tanaman yang mempunyai sifat genetik yang diinginkan. Pemuliaan tanaman
dapat dilakukan secara konvensional maupun non-konvensional. Pemuliaan secara
konvensional sangat umum dilakukan, seperti hibridisasi, seleksi dan introduksi,
sedangkan pemuliaan non-konvensional misalnya mutasi.
Peningkatan keragaman populasi dasar dapat dilakukan salah satunya
melalui induksi mutasi atau mutasi buatan. Mutasi dapat dibedakan menjadi tiga
macam yaitu mutasi kromosom, gen, dan genom. Mutasi buatan dapat terjadi bila
digunakan mutagen dengan dosis dan waktu tertentu. Mutagen adalah substansi
atau perlakuan yang dapat mengakibatkan mutasi. Ada tiga kelompok mutagen
yaitu radiasi, non-radiasi dan kimia. Sumber radiasi yang sering digunakan antara
lain sinar-X dari alat Rontgen, sinar gamma dari Cobalt-60, sinar beta dari radio
isotop dan sinar neutron dari reaktor atom (Poespodarsono, 1988).

10
Mutasi dapat disebut sebagai perubahan materi genetik pada tingkat
genom, kromosom dan DNA atau gen sehingga menyebabkan terjadinya
keragaman genetik (Soeranto dalam Herison, 2007). Menurut Poespodarsono
(1988) mutasi merupakan perubahan genetik baik pada gen tunggal, sejumlah gen
atau susunan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada bagian yang sedang aktif
membelah (meristematik) seperti tunas dan biji yang tidak dalam keadaan dorman.
Sel meristematik memiliki radiosensitivitas tinggi terhadap mutagen yang
diberikan. Soeranto dalam Herison et al. (2008) mengungkapkan bahwa dari
sejumlah mutan yang dihasilkan terdapat peluang untuk mendapatkan genotipe
yang lebih baik dibandingkan plasma nutfah asal. Pada tanaman sorgum, induksi
mutasi fisik dengan irradiasi sinar gamma terhadap benih telah berhasil
meningkatkan keragaman genetik tanaman sorgum.
Keberhasilan upaya irradiasi untuk meningkatkan keragaman populasi
sangat ditentukan oleh radiosensitivitas genotipe yang diirradiasi. Tingkat
sensitivitas tanaman sangat bervariasi antar jenis tanaman dan antar genotipe
(Banerji and Datta dalam Herison et al., 2008). Menurut Handayani (2006)
berbagai faktor dapat mempengaruhi keberhasilan penggunaan irradiasi pada
tanaman, antara lain genotipe, bagian tanaman yang digunakan, stadia
perkembangan sel tanaman, jumlah kromosom, umur jaringan, oksigen,
temperatur dan dosis radiasi. Selain menghasilkan perubahan pada karakter
morfologi atau penampilan fenotipik tanaman seperti warna dan jumlah petal
bunga, induksi mutasi juga dapat menghasilkan mutan yang memiliki ketahanan
terhadap hama dan penyakit serta cekaman lingkungan.
Program pemuliaan tanaman melalui metode mutasi memiliki beberapa
kekurangan, antara lain sifat mutasi yang acak dan tidak dapat diarahkan untuk
bekerja pada gen yang spesifik, sehingga sulit meramalkan hasil yang diperoleh
dari proses mutasi. Kekurangan lain dari metode ini adalah bahwa kerusakan pada
struktur genetik dapat berubah normal kembali sebelum termanifestasi sebagai
mutasi dan terekspresi sebagai fenotipe mutan (Micke dan Donini, 1993).
Penelitian-penelitian mengenai pemuliaan mutasi telah banyak dilakukan.
Wijaya (2006) melakukan penelitian irradiasi sinar gamma pada benih tanaman
hortikultura yaitu seledri daun (Aphium graveolens L. subsp. Secalium Alef)

11
kultivar Amigo. Penelitian Wijaya menggunakan dosis radiasi sinar gamma antara
5 hingga 35 Gy. Dosis yang diberikan pada tanaman seledri daun sebesar 25 Gy
menghasilkan perubahan bentuk pada tanaman, sedangkan pada dosis 20 Gy
terjadi penyimpangan warna pangkal batang menjadi pucat kemerahan. Mutan
potensial yang terbentuk pada populasi tanaman seledri daun adalah tanaman
dengan perlakuan dosis irradiasi 20 dan 25 Gy. Pemuliaan pada tanaman hias
juga telah banyak dilakukan, salah satunya adalah penelitian Wegadara (2008)
pada Anthurium (Anthurium andreanum) dengan dosis irradiasi sinar gamma
sebesar 10 hingga 200 Gy. Umumnya pemuliaan mutasi tanaman hias dilakukan
untuk memperoleh keragaman jenis tanaman karena semakin unik tanaman yang
dihasilkan maka semakin disukai oleh konsumen tanaman hias. Wegadara (2008)
melaporkan bahwa perlakuan irradiasi sinar gamma menurunkan panjang akar,
panjang daun, lebar daun dan tinggi tanaman Anthurium. Tanaman dengan
perlakuan 10 Gy mempunyai bentuk daun yang berbeda yaitu asimetris dan
melengkung ke bawah. Tanaman yang mendapat perlakuan 20 Gy tumbuh kerdil
dengan jumlah daun yang banyak.

Sinar Gamma
Sinar gamma ditemukan pada tahun 1900 oleh P. Villard setelah
ditemukan sinar Alpha (α) dan Beta (β) oleh Rutherford dan F. Soddy. Sinar
gamma berasal dari inti atom dan dapat dikeluarkan oleh inti yang tidak stabil.
Sinar gamma merupakan radiasi elektromagnetik dengan gelombang pemancar
terpendek, sehingga menggambarkan radiasi elektromagnetik dengan level energi
tinggi. Tingkat radiasi yang dihasilkan dalam reaktor nuklir bisa mencapai
10 MeV dan biasanya diperoleh dari radio isotop Cobalt-60 (Co60) atau
Cesium-137 (Ce137). Cobalt-60 mempunyai dua macam energi radiasi yaitu
1.33 dan 1.17 MeV dengan waktu paruh 5.3 tahun. Satuan Standar International
(SI) yang digunakan untuk dosis radiasi adalah Gray (Gy). Satuan dosis radiasi
merupakan banyaknya energi yang diserap oleh suatu benda atau target. Satuan
Gray sebanding dengan 102 rad (radiation absorbed dose) atau 1 Gy = 100 rad
(Van Harten, 1988).

12
Induksi mutasi selain dapat meningkatkan keragaman genetik, juga dapat
mempercepat terjadinya variasi pada suatu spesies. Irradiasi sinar gamma dapat
menghasilkan energi yang tinggi sehingga dapat merusak ikatan kimia suatu
senyawa menjadi senyawa baru apabila diberikan pada biji, tunas tanaman, serbuk
sari, pucuk apikal, jaringan dan sel. Sinar gamma dihasilkan dari radioisotop dan
reaktor nuklir, sumber Cobalt-60. Apabila sinar gamma ditembakkan pada biji,
dapat menyebabkan di dalam inti sel terjadi mutasi genom, kromosom, gen atau
mutasi diluar inti seperti pada plastida dan mitokondria. Mutasi genom
menyebabkan perubahan jumlah kromosom yaitu penambahan atau pengurangan
seluruh kromosom atau sebagian set kromosom. Mutasi kromosom menyebabkan
translokasi, inversi, duplikasi dan delesi, sedangkan mutasi gen menyebabkan
perubahan pada satu basa suatu nukleotida (Poespodarsono, 1988).
Menurut Ichikawa dan Ikhusima dalam Astuti (2005) pemberian irradiasi
sinar gamma pada suatu tingkat dosis tertentu dapat merangsang pertumbuhan
tanaman. Hal ini disebabkan hilangnya kemampuan sebagian sel pada meristem
untuk membelah diri, menyebabkan aktivitas pembelahan sel-sel meristem yang
lain meningkat.

13

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman
Obat, Rempah dan Aromatik (Balittro), Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat. Areal
penelitian bertopografi datar dengan ketinggian 550 m dpl dan curah hujan ratarata 3 900–4 500 mm/tahun. Penelitian dilaksanakan mulai Januari sampai
September 2010.

Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan adalah benih tanaman purwoceng
generasi M3 yang diperoleh dari Kebun Percobaan Balittro Gunung Putri. Selain
itu bahan lain yang dibutuhkan yaitu pupuk kandang dan pasir sebagai campuran
media tanam serta polybag. Peralatan yang digunakan meliputi paranet 45 dan
50 %, peralatan olah tanah, peralatan tanam, dan peralatan ukur (meteran dan
timbangan).

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan mengamati populasi tanaman dengan empat
tingkat irradiasi pada benih yaitu 10, 20, 30, dan 40 Gy. Semua individu tanaman
diamati karakteristik pertumbuhan, morfologi dan potensi produksinya. Analisis
data dilakukan dengan menggunakan uji–t pada taraf 5% mengikuti cara Walpole
(1995). Persamaan yang digunakan pada pengujian adalah:

thitung =

(x
sp

1

− x2

)

dengan

1
1
+
n1 n 2

Sp =

(n1 − 1)s12 + (n 2 − 1)s 22

Keterangan
x 1 x 2 : Nilai tengah contoh 1 dan 2

s12, s22 : Ragam contoh 1 dan 2
n1, n2 : Banyaknya tanaman contoh 1 dan 2
Sp

: Simpangan baku gabungan

n1 + n 2 − 2

14

Nilai berbeda nyata apabila thitung > ttabel dan tidak berbeda nyata apabila

thitung ≤ ttabel, ttabel diperoleh dari nilai sebaran-t pada selang kepercayaan 5 % dan
db (n1-n2)-2 (Walpole, 1995).

Pelaksanaan Penelitian
Benih purwoceng yang diperoleh dari Gunung Putri merupakan benih M3
dari tanaman generasi M2. Benih dikecambahkan dengan menaburkannya pada
polybag besar berisi media campuran tanah-kompos-pasir dengan perbandingan
volume yang sama di bawah naungan paranet 50%. Benih dari tiap dosis irradiasi
dikecambahkan dalam polybag terpisah. Benih yang berkecambah dan tumbuh
membentuk 3–4 daun (daun tunggal membulat dengan pinggiran bergerigi)
kemudian dipindahkan ke polybag kecil. Setelah bibit berumur kurang lebih satu
bulan di persemaian dalam polybag kecil, maka tanaman siap dipindahkan ke
bedengan.
Persiapan lahan dilakukan dengan membuat bedengan di bawah naungan
paranet 45 % setinggi 1 m dengan tinggi bedengan 25–30 cm, dan lebar bedengan
masing-masing 1 m. Setelah itu dibuat lubang tanam dengan jarak 30 cm x 30 cm,
dan pada setiap lubang tanam ditambahkan kompos 0.25–0.5 kg. Populasi
tanaman per bedeng berbeda-beda disesuaikan dengan jumlah bibit yang tersedia
(22–42 tanaman). Jumlah seluruh tanaman adalah 102 tanaman.
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiangan, pemupukan,
dan pengendalian hama penyakit. Penyiangan dilakukan setiap 2 minggu
bersamaan dengan pengamatan. Penyiangan dilakukan secara manual dengan
mencabut gulma yang tumbuh di sekitar tanaman. Pemupukan dilakukan 1 bulan
setelah tanaman dipindahkan ke bedeng (BST). Dosis pupuk yang diberikan
adalah 4.5 g Urea /tanaman, 4 g SP-18 /tanaman dan 1 g KCl /tanaman. Pupuk
urea diberikan tiga kali yaitu 1, 3 dan 5 BST. Pengendalian terhadap hama dan
penyakit dilakukan sesuai kebutuhan di lapangan. Pengendalian hama Aphid sp.
dilakukan secara manual dengan tangan. Penyakit busuk akar dikendalikan
dengan segera mencabut tanaman yang terserang agar tidak menular.

15

Pemanenan purwoceng dilakukan pada umur 6 bulan setelah pindah
tanam. Cara pemanenan dilakukan dengan menggali dan mengangkat seluruh
bagian tanaman menggunakan kored. Akar dijaga agar tidak putus sehingga dapat
terangkat semua bagian tanaman. Setelah dipanen, tanaman dipisahkan antara
bagian akar, batang dan daun. Hasil panen kemudian dikeringanginkan (1–2 hari)
dan dioven pada suhu 400C selama 2 hari.

Pengamatan
Pengamatan dilakukan pada seluruh populasi tanaman pada petak
penelitian. Tanaman yang diamati adalah tanaman yang telah dipindahkan ke
bedengan. Pengamatan dimulai saat tanaman berumur 4 minggu setelah
dipindahkan ke bedeng (MSP), dan selanjutnya diamati setiap 4 minggu. Peubah
yang diamati pada penelitian ini dibedakan menjadi karakter kualitatif dan
kuantitatif. Karakter kualitatif meliputi warna daun, warna tangkai daun dan tipe
kanopi sedangkan karakter kuantitatif yang diamati yaitu jumlah daun, panjang
tangkai, panjang daun, diameter kanopi, bobot tanaman, dan kadar metabolit
sekunder. Berikut diuraikan cara pengamatan peubah:
A. Karakter Kualitatif
1. Warna daun
Pengamatan warna daun dilakukan pada daun muda dan daun tua, pada
permukaan atas dan bawah daun. Warna daun yang biasa ditemukan pada
tanaman purwoceng adalah hijau dan merah.
2. Warna tangkai daun
Pengamatan dilakukan pada pangkal tangkai daun dan kecenderungan warna
pada tangkai secara keseluruhan tiap tanaman. Warna tangkai yang ditemukan
sama seperti warna daun yaitu hijau dan merah.
3. Tipe kanopi
Tipe kanopi purwoceng ditentukan dengan melihat kecenderungan bentuk
tangkai-tangkai daun dalam satu tanaman yang dibedakan menjadi tiga tipe,
yaitu: tegak, semi tegak dan rebah (Gambar 2).

16

Gambar 2. Sketsa
Ske Keragaman Tipe Kanopi Tanaman Pur
urwoceng: Tegak
(ki Semi tegak (tengah), Rebah (kanan).
(kiri),
ntitatif
B. Karakter Kuantita
1. Jumlah Daun
Data jumlah daun
un diperoleh dengan menghitung seluruh daun
un majemuk yang
segar dan anak daunn
aunnya telah terbuka penuh.
2. Panjang tangkai daun
da
Panjang tangkai yang
y
diukur adalah tangkai pada daun majem
jemuk terpanjang,
yaitu mengukur
ukur panjang dari pangkal tangkai daun yang
ng tepat di atas
permukaan tanahh sampai
s
tempat munculnya anak daun terbawaah.
3. Panjang daun
Data panjang daun
da
diperoleh dengan mengukur daun
un majemuk yang
terpanjang, yaituu mengukur panjang dari pangkal tangkai daun
d
yang tepat
di atas tanah sampa
pai ujung daun.
4. Diameter kanopi
Data diameter kanopi
anopi purwoceng diperoleh dengan mengukur
ukur jarak dua ujung
daun terluar yangg letaknya berhadapan, misalnya menggunaka
akan penentu arah
mata angin: Barat--Timur atau Utara-Selatan.
5. Bobot tanaman
Data bobot diperol
roleh setelah tanaman dipanen (umur 6 bulan),
bula
yaitu bobot
segar dan bobot setelah dikeringkan. Bobot tanamann yang dipanen
menunjukkann pote
potensi produksi tanaman purwoceng.
6. Metabolit Sekunde
kunder
Metabolit sekunde
kunder yang dianalisis adalah sitosterol, stigmast
asterol, bergapten,
dan saponin. Ana
nalisis kandungan metabolit sekunder tanam
naman purwoceng
diambil dari setiap
ap perlakuan
pe
irradiasi.

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari sampai September 2010.
Penanaman dilakukan pada 4 Januari 2010 dan penyulaman dilakukan empat kali
yaitu pada 27 Januari, 4 Februari, 6 Maret, dan 20 Maret 2010. Pemanenan
purwoceng dilakukan pada umur tanaman 6 bulan atau 24 MSP, yaitu 4 Juli–
20 September. Tanaman dikelompokkan sesuai umur untuk pengolahan data
penelitian (Tabel 1).
Berdasarkan data iklim (Lampiran 2) suhu rata-rata per bulan di lokasi
penelitian adalah 25.5 0C, dengan rata-rata suhu pada pagi hari 22.1 0C, saat siang
hari 30.9 0C, dan ketika sore hari 23.4 0C. Rata-rata kelembaban udara berkisar
68.92–81.67 %. Apabila dibandingkan dengan kondisi di daerah Dieng, maka
suhu dan kelembaban di Kebun Percobaan Cicurug berada di atas kondisi habitat
aslinya yang mempunyai suhu berkisar 15–21 0C dan kelembaban udara antara
60–75 %. Suhu akan berpengaruh pada reaksi kimia atau proses metabolisme
tanaman. Suhu yang optimum akan menciptakan kondisi yang optimal pula pada
proses metabolisme tanaman dan apabila suhu berada diatas atau dibawah suhu
tersebut maka akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Menurut fungsi peluang
Maxwell-Bolztman, setiap kenaikan suhu 10 0C maka laju reaksi kimia tanaman
yang dikendalikan oleh enzim akan meningkatkan 2 kali lipat (Salisbury dan
Ross, 1995b). Berdasarkan Kartasapoetra (1986) kelembaban mampu mendorong
pertumbuhan tanaman dengan memperlambat hilangnya air di tanah. Akan tetapi,
kelembaban yang tinggi juga dapat mendorong perkembangan organisme
terutama cendawan, yang memungkinkan menyebabkan timbulnya penyakit dan
kematian pada tanaman.
Rata-rata jumlah curah hujan di lokasi Kebun Percobaan Cicurug pada saat
penelitian dilaksanakan yaitu 2 372.36 mm/bulan dengan rata-rata hari hujan
16 hari. Curah hujan tertinggi selama penelitian yaitu pada bulan Maret
(6 695 mm). Curah hujan dan jumlah hari hujan yang tinggi menyebabkan kondisi
kelembaban tanah tinggi. Hal ini berdampak pada tanaman, dimana hingga bulan

18

ketiga jumlah tanaman mati sangat tinggi. Menurut Kartasapeotra (1986) curah
hujan berpengaruh pada pengikisan dan pencucian unsur hara, serta menimbulkan
kerugian fisik tanah.
Hasil analisis tanah yang dilakukan sebelum penelitian menunjukkan
bahwa lahan penelitian memiliki kemasaman tanah (pH) masam sebesar 5.20 dan
bertekstur liat. Kandungan C-organik (2.31 %), kandungan N-total (0.21 %), dan
kandungan P (8.1 ppm) termasuk sedang. Kandungan K (0.64 me/100g) termasuk
tinggi, sedangkan Ca (3.76 me/100g) termasuk rendah. Hasil analisis tanah secara
lengkap disajikan pada Lampiran 3 .
Kondisi iklim (suhu, kelembaban dan curah hujan) dan kesuburan tanah di
Cicurug berbeda jauh dengan kondisi habitat endemik purwoceng di Dataran Tinggi
Dieng. Suhu dan kelembaban udara di Cicurug berada diatas kisaran habitat
endemiknya, sedangkan rata-rata curah hujan lebih rendah yaitu < 4 000 mm/th.
Tingkat kesuburan tanah di Cicurug sangat rendah jika dibandingkan dengan
beberapa lokasi yang telah disurvei oleh Rahardjo et al. (2004) yaitu Dieng,
Tawangmangu, Tangkuban Perahu, Manoko, dan Ciwidei. Survei ini dilakukan
untuk mengkarakterisasi lingkungan tumbuh tanaman purwoceng (Lampiran 4).
Dari kelima lokasi yang disurvei, empat lokasi kecuali Ciwi