Analisis Kemunduran Mutu Daging dan Mata Ikan Bandeng (Chanos chanos) melalui Pengamatan Histologis

1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bandeng merupakan salah satu komoditas penting perikanan Indonesia.
Permintaan pasar menunjukkan peningkatan terhadap ikan ini setiap tahunnya.
Peningkatan permintaan tersebut diiringi dengan peningkatan produksi ikan
bandeng yang pada tahun 2007 hanya 269.530 ton kemudian meningkat pada
tahun 2010 menjadi 483.948 ton dan target pemerintah tahun ini untuk produksi
bandeng diperkirakan mencapai 500.000 ton. Indonesia juga merupakan
pengekspor

nener bandeng untuk negara-negara Asia terutama Filipina yang

mengimpor 400 juta ton nener (anakan bandeng) per tahun dari Indonesia (Ditjen
Perikanan Budidaya 2007; KKP 2010; KKP 2011).
Mutu ikan berkaitan dengan tingkat kesegaran ikan. Ikan dikategorikan
masih segar jika perubahan-perubahan biokimiawi, mikrobiologi, dan fisikawi
yang terjadi belum menyebabkan kerusakan berat pada ikan. Temperatur yang
relatif tinggi di negara-negara tropis dapat mempercepat pembusukan karena

peningkatan aktivitas bakteri, enzim dan oksidasi kimia lemak pada ikan segar
(Bernard et al. 2010). Berdasarkan kesegarannya, ikan dapat digolongkan menjadi
empat kelas mutu, yaitu ikan yang kesegarannya masih baik sekali (prima), ikan
yang kesegarannya masih baik (advance), ikan yang kesegarannya sudah mulai
mundur (sedang), dan ikan yang sudah tidak segar lagi (mutu rendah/busuk).
Proses kemunduran mutu ikan dapat diamati secara mikroskopis dengan
pengamatan histologis. Pengamatan dengan cara ini dilakukan untuk mengamati
perubahan kondisi jaringan ikan pada setiap fase kemunduran mutu. Perubahan
tersebut dapat diamati sejak dari fase prerigor sampai fase busuk. Pada fase
prerigor keadaan ikan masih sangat segar yang ditunjukkan dengan tampilan
histologisnya yang kompak dan belum rusak, sedangkan saat ikan telah masuk
fase busuk, penampakan jaringan ikan terlihat longgar dan menunjukkan tandatanda kebusukan (terurai).
Pengamatan histologis daging dan mata ikan bandeng yang didukung
dengan pengujian tekstur, proksimat dan organoleptik penting untuk dilakukan
guna memperoleh data dan pemahaman kondisi jaringan ikan selama fase

2

kemunduran mutu. Ikan memiliki tiga tipe sel otot: (1) lurik, tidak bercabang,
bekerja secara sadar; (2) otot jantung yang terdiri dari serabut otot bercabang dan

(3) otot halus yang bekerja secara tidak sadar (Morrison et al. 2007). Peranan
jaringan otot yang utama sebagai alat gerak, karena sifatnya yang mampu
berkontraksi. Kontraksi dapat berlangsung bila ada rangsangan (stimulus) dari
syaraf atau pengaruh lain (Hartono 1989). Mata terdiri dari tiga bagian dasar atau
lapisan. Bagian paling luar disebut fibrous tunic, yang dibagi menjadi kornea dan
sklera. Bagian tengah mata terdiri dari koroid, ciliary body dan iris. Bagian
posterior mata adalah retina dan saraf optik yang merupakan bagian paling sentral
(Samuelson 2007).

1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1

memperoleh informasi mengenai komposisi kimia ikan bandeng.

2

mengamati kemunduran mutu ikan secara organoleptik.

3


mengamati kemunduran mutu ikan secara fisik dan histologis.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi, Klasifikasi dan Komposisi Kimia Ikan Bandeng
Deskripsi dan klasifikasi merupakan bagian yang penting dalam
mempelajari suatu jenis ikan.
2.1.1 Deskripsi dan klasifikasi ikan bandeng
Bandeng (Gambar 1) mampu mentolelir salinitas perairan yang luas (0158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan eurihalin. Ikan muda dan dewasa
dapat menyesuaikan diri pada perubahan salinitas. Ikan ini juga dapat bertahan
pada perubahan jumlah makanan yang tiba-tiba. Makanan alami mereka adalah
bentos dan fitoplankton. Ikan bandeng mampu beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan yakni suhu, pH, dan kekeruhan air serta tahan terhadap serangan
penyakit (Schuster 1959; Ghufron dan Kardi 1997).
Klasifikasi ikan bandeng menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut :
Filum


: Chordata

Subfilum

: Vertebrata

Kelas

: Pisces

Subkelas

: Teleostei

Ordo

: Malacopterygii

Famili


: Chanidae

Genus

: Chanos

Spesies

: Chanos chanos

Tipe ikan bandeng yang ditemukan di Indonesia memiliki ciri dengan
adanya perpanjangan sirip dorsal dan pektoral. Tipe ikan dengan perpanjangan ini
hanya ditemukan di Indonesia (Schuster 1959).

Gambar 1 Ikan bandeng (Chanos chanos) (FAO 2011).

4

Swanson (1998) menyatakan bahwa kadar garam perairan (salinitas)
berpengaruh terhadap fisiologi dan tingkah laku ikan. Pertumbuhan ikan yang

lebih tinggi pada salinitas 50‰ dibandingkan salinitas 35‰ dan pertumbuhannya
sedang pada salinitas 15‰, sedangkan aktivitas paling tinggi ditunjukkan ikan
dengan salinitas air 35‰. Pola yang bervariasi tersebut berhubungan dengan laju
metabolisme ikan dengan kisaran salinitas yang relatif tinggi, yaitu 15‰ dan
55‰.
Toleransinya yang besar terhadap salinitas tersebut sangat menguntungkan
petani ikan. Ikan bandeng juga dapat dibudidaya secara polikultur. Suharyanto
(2008)

melakukan

penelitian

tentang

kemungkinan

polikultur

rajungan


(Portunus pelagius), udang vanamei (Litopenaeus vannamei), ikan bandeng
(Chanos chanos), dan rumput laut (Gracilari sp.) di tambak dan pakan yang
diberikan ikan rucah (Clupea sp.) selama 105 hari mendapatkan hasil, produksi
rajungan adalah 32,6% (18 kg), udang vanamei 70% (10%), ikan bandeng 100%
(30 kg), dan rumput laut 125% (36,25 kg).
Temperatur adalah faktor utama yang bertanggung jawab terhadap
pembatasan habitat spesies pada daerah tropis dan subtropis di Samudera Hindia
dan Pasifik. Batas maksimal toleransi suhu Chanos chanos di atas spesies laut
lainnya, Chanos chanos dapat bertahan pada suhu di atas 40 ºC (Schuster 1959).
Chanos chanos juga ditemukan di pantai-pantai sekitar Laut Merah, pantai
timur Afrika termasuk Zanzibar dan Madagaskar, Teluk Aden, pantai barat daya,
selatan dan barat India, pantai Ceylon, Malaysia, Thailand, Vietnam dan Taiwan,
perairan antara Filipina dan Indonesia, pantai-pantai di Australia, New Zealand,
New Guinea, Fiji, Samoa, the Society, Gilbert, Lau dan Pulau Tuamoto,
kepulauan Hawai, pantai barat USA (selatan San Francisco), teluk California dan
pantai Meksiko. Berdasarkan informasi ini, sebaran geografis spesies ini adalah
dari 40º BT-100º BB dan 30º-40º LU sampai 30º-40º LS (Schuster 1959).
2.1.2 Komposisi kimia ikan bandeng
Ikan merupakan pangan yang bergizi. Tabel 1 menunjukkan komposisi

kimia ikan bandeng.

5

Tabel 1 Komposisi kimia ikan bandeng (Chanos chanos)
Zat gizi

Jumlah

Satuan

Kalori

126

Kalori

Protein

17,4


Gram

Lemak

5,7

Gram

Air

60,2

Gram

Kalsium

43,4

Milligram


Fosfor
Besi
Vitamin A

138
0,3
85

Milligram
Milligram
Milligram

Vitamin B6

0,4

Milligram

Vitamin B12


2,9

Milligram

Sumber: www.nutritiondata.com (2007)

Jaringan ikan sebagian besar terdiri dari protein. Kandungan protein dalam
daging ikan sehat adalah 16-18%. Protein ditemukan di dalam semua sel dan
semua bagian sel (Lehninger 1982; Burgess et al. 1967). Satu molekul protein
dapat terdiri dari 12 sampai 18 macam asam amino dan dapat mencapai jumlah
ratusan dari setiap macam asam aminonya. Berdasarkan kelarutannya dalam air,
protein dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu protein miofibril, protein
sarkoplasma, dan protein stroma (Suhardjo dan Kusharto 1987; Muchtadi et al.
1993).
Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging dan
merupakan jenis protein yang larut dalam larutan garam. Protein ini terdiri dari
miosin, aktin, dan protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktin). Penyusun
utama protein miofibril adalah aktin (hampir 20% dari total miofibril) dan miosin
(sebesar 50-60% dari total protein miofibril). Gabungan aktin dan miosin
membentuk aktomiosin. Miosin merupakan protein esensial yang dapat
meningkatkan elastisitas gel protein. Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi
otot (Muchadi et al. 1993; Suzuki 1981). Menurut Nurjanah et al. (2004), protein
larut garam pada ikan merupakan protein miofibril. Kadar miofibril dalam daging
ikan 65-75% yang terdiri dari miosin, aktin, dan komponen minor lainnya.
Sarkoplasma merupakan protein terbesar kedua di dalam protein daging, memiliki

6

sifat larut dalam air dan secara umum ditemukan dalam plasma sel. Protein
sarkoplasma tidak berperan dalam pembentukan gel dan kemungkinan
mengganggu pembentukan gel (Hall dan Ahmad 1992). Sarkoplasma memiliki
bobot molekul yang relatif rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur berbentuk
bulat. Karakteristik fisik ini mungkin yang bertanggung jawab untuk daya larut
sarkoplasma yang tinggi dalam air (Muchtadi et al.1993). Protein stroma adalah
protein yang membentuk jaringan ikat. Protein stroma tidak dapat diekstrak
dengan larutan asam, alkali atau larutan garam netral pada konsentrasi
(0,01-0,10) M. Protein stroma terdapat pada bagian luar sel otot. Selain protein
stroma, protein kontraktil, seperti konektin dan desmin juga tidak dapat terekstrak
(Suzuki 1981).
Analisis protein untuk bahan pangan, umumnya lebih ditujukan pada
kadar total protein daripada keberadaan protein spesifik dalam bahan pangan
tersebut. Jumlah gram protein dalam bahan pangan biasanya dihitung sebagai
hasil perkalian jumlah gram nitrogen dengan faktor 6,25 dan kadar protein yang
dilaporkan adalah kadar protein kasar (crude protein) (Danitasari 2010).
Kandungan lemak pada suatu makanan dapat rendah maupun tinggi hal
tersebut tergantung pada bahannya. Asam lemak dibagi menjadi dua golongan,
yaitu asam lemak jenuh dan tak jenuh, asam lemak jenuh bertitik leleh lebih tinggi
dibandingkan dengan asam lemak tidak jenuh (deMan 1997). Asam lemak tak
jenuh yang mengandung satu ikatan rangkap disebut asam lemak tak jenuh
tunggal (Monounsaturated fatty acid/MUFA). Asam lemak yang mengandung dua
atau

lebih

ikatan

rangkap

disebut

asam

lemak

tak

jenuh

majemuk

(Polyunsaturated fatty acid/PUFA) (Muchtadi et al. 1993).
Asam lemak yang mengandung dua atau lebih ikatan rangkap disebut
asam lemak tak jenuh majemuk. Asam lemak tidak jenuh umumnya terdapat
dalam bentuk cis, sedangkan bentuk trans banyak terdapat pada asam lemak susu
ruminansia pada hewan teresterial dan lemak yang telah dihidrogenasi
(Muchtadi et al. 1993). Lemak daging ikan mengandung asam-asam lemak jenuh
dengan panjang rantai C14-C22 dan asam lemak tidak jenuh dengan jumlah ikatan
1-6. Lemak ikan berbeda dengan lemak pada tanaman dan hewan darat. Lemak

7

tanaman dan hewan darat jarang yang memiliki asam lemak dengan rantai karbon
lebih dari 18 (Adawyah 2006; Nurjanah dan Abdullah 2010).
Ikan tidak makan terlalu banyak karbohidrat, tetapi makanan mereka
mengandung banyak protein dan lemak. Ketiga jenis makanan, karbohidrat, lemak
dan protein dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan
energi. Jika total pemasukan makanan kurang dari total kebutuhan energi yang
dibutuhkan, maka jaringan lemak akan digunakan untuk melengkapinya. Lemak
tidak dapat menggantikan protein yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tetapi
dapat menjaga cadangan protein (Burgess et al. 1967).
Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida yaitu glikogen
yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril. Glikogen terdapat
dalam jumlah jumlah terbanyak dari karbohidrat yang terdapat pada daging ikan
yaitu 0,05 – 0,085 %, selain itu terdapat juga glukosa (0,038 %), asam laktat
(0,005 – 0,43 %) dan berbagai senyawa antara dalam metabolisme karbohidrat
(Hadiwiyoto 1993).
Mineral dalam makanan ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi
(pembakaran). Pada proses pembakaran yang terbakar adalah bahan-bahan
organik karena itulah disebut abu (deMan 1997; Winarno 1992). Akan tetapi
mineral yang didapat dengan pembakaran tidak mengandung nitrogen yang ada
dalam protein, sehingga jumlahnya berbeda dengan kandungan mineral bahan
yang sebenarnya. Karbonat dalam abu dapat dibentuk karena penguraian bahan
organik. Beberapa unsur sesepora (trace elements) dan beberapa garam dapat
hilang karena penguapan. Oleh karena itu, jumlah mineral dalam makanan
bergantung kepada metode analisisnya (deMan 1997).
Mineral dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu komponen garam utama
dan unsur sesepora (trace elements). Komponen garam utama mencakup kalium,
natrium, kalsium, magnesium, klorida, sulfat, fosfat, dan bikarbonat. Unsur
sesepora dapat dibagi menjadi tiga golongan yang pertama adalah unsur gizi
esensia, termasuk Fe, Cu, I, Co, Mn, dan Zn, yang kedua adalah unsur gizi
nontoksik, termasuk Al, B, Ni, Sn, dan Cr, dan yang terakhir adalah unsur nongizi
dan toksik, termasuk Hg, Pb, As, Cd, dan Sb (deMan 1997).

8

Vitamin yang terdapat pada daging ikan terbagi menjadi dua golongan,
yaitu vitamin yang larut dalam air seperti vitamin B kompleks dan vitamin yang
larut dalam lemak seperti vitamin A, D, dan E. Vitamin A dan D banyak
ditemukan pada spesies-spesies ikan berlemak, terutama dalam hati, seperti pada
ikan cod (Junianto 2003).
2.2 Kemunduran Mutu Ikan
Ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan dan
kemunduran mutu (perishable food). Kerusakan ini dapat terjadi secara
biokimiawi maupun mikrobiologi. Proses kerusakan ikan ini berlangsung cepat
terutama di daerah tropis yang mempunyai kelembaban harian yang tinggi. Proses
tersebut dipercepat dengan praktek-praktek penangkapan atau pemanenan yang
tidak baik, cara penanganan yang kurang tepat, sanitasi dan higiene yang tidak
memadai, terbatasnya sarana distribusi dan sarana pemasaran dan sebagainya
(Yuniarti 2010).
Menurut Eskin (1990) ikan yang telah mati akan mengalami perubahanperubahan yang mengakibatkan penurunan mutu ikan. Perubahan biokimia dan
fisikokimia mengakibatkan turunnya kesegaran ikan. Proses perubahan tersebut
dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pre rigor, rigor mortis dan post rigor. Jika masih
ingin dilanjutkan penyimpanan ikan yang telah mencapai fase post rigor
selanjutnya ikan akan masuk pada kebusukan. Ikan yang busuk sudah tidak layak
konsumsi lagi, biasanya ikan ini hanya digunakan sebagai tepung ikan.
Kondisi daging ikan pada fase pre rigor masih lembut dan lunak, dan
secara kimiawi ditandai dengan penurunan jumlah ATP dan kreatin fosfat, seperti
halnya pada reaksi aktif glikolisis. Sirkulasi darah berhenti pada awal kematian
dan terjadi perubahan susunan yang kompleks pada daging. Sirkulasi darah yang
terhenti pada ikan mati akan mengakibatkan habisnya aliran oksigen di dalam
jaringan. Tahap berikutnya adalah terjadinya perubahan ATP yang telah terbentuk
selama ikan masih hidup sebagai sumber energi, sehingga sumber ATP semakin
berkurang. Adenosin trifosfat (ATP) mengalami perubahan akibat aktivitas enzim
ATPase, bersamaan dengan itu glikogen akan diurai menjadi asam laktat. Proses
ini menyebabkan terjadinya akumulasi asam laktat sehingga pH jaringan otot ikan
akan terus menurun, kondisi ini disebut rigor mortis. Rigor mortis ditandai dengan

9

keadaan otot yang kaku dan keras. Lamanya tahap rigor dipengaruhi oleh
kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungan. Kandungan glikogen
yang tinggi dapat menunda datangnya proses rigor. Pada fase rigor mortis terjadi
penurunan kelenturan otot terus berlangsung seiring dengan semakin sedikitnya
jumlah ATP. Kelenturan otot yang hilang ini diakibatkan ion Ca2+ yang berikatan
dengan protein troponin sehingga menyebabkan terjadinya ikatan elektrostatik
antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin) yang ditandai dengan terjadinya
pengkerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible).
Adenosin trifosfat merupakan sumber energi tertinggi bagi aktivitas ikan. Pada
ikan mati, ATP diperoleh dari penguraian kreatin fosfat. Kemudian ATP mulai
mengalami penguraian ketika kandungan kreatin fosfat dan ATP mencapai titik
yang sama. Hidrolisis ATP menjadi ADP dengan bantuan enzim ATPase akan
menghasilkan energi. Penguraian tersebut terjadi berdasarkan reaksi berikut ini
(Eskin 1990):
ATP + H2O

ATPase

ADP + H3PO4

Otot ikan ketika baru mati memiliki pH netral atau sedikit basa. Selama
rigor mortis, nilai pH perlahan-lahan turun menjadi 6,2-6,5 karena akumulasi
asam laktat. Kandungan glikogen yang lebih banyak pada otot ikan mati akan
memperpanjang fase rigor mortis (Govidan 1985). Penguraian ATP berkaitan erat
dengan terjadinya rigor mortis. Pada saat ATP mulai mengalami penurunan, rigor
mortis pun mulai terjadi dan mencapai kejang penuh (full-rigor) ketika kandungan
ATP sekitar 1 µmol/g. Energi pada jaringan otot ikan setelah mati diperoleh
secara anaerobik dari pemecahan glikogen melalui proses glikolisis menghasilkan
ATP dan asam laktat. Akumulasi asam laktat selain menurunkan pH otot, juga
diikuti oleh peristiwa rigor mortis (Eskin 1990).
Fase post rigor terjadi pada saat otot ikan melunak setelah melewati fase
rigor mortis terjadi kenaikan pH ikan secara perlahan-lahan dengan meningkatnya
laju perubahan autolitik yang ditandai dengan proses pelunakan daging ikan
(Govidan 1985). Serabut otot daging ikan hidup mengandung protein dalam gel
lunak. Selama rigor, gel ini menjadi kaku dan bila rigor telah berlalu, otot daging
menjadi lunak, keadaan ini berlangsung selama 1-7 jam sesaat setelah ikan mati.

10

Nilai pH daging ikan pada fase ini sekitar 6-7. Kelenturan ikan yang hilang
tersebut karena terbentuknya aktomiosin yang berlangsung lambat pada tahap
awal dan kemudian menjadi cepat pada tahap selanjutnya. Lama tahap rigor
dipengaruhi oleh kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan suhu lingkungannya.
Kandungan glikogen yang tinggi dapat menunda datangnya proses rigor (Eskin
1990). Penguraian protein daging ikan karena aktivitas enzim proteolitik
mengakibatkan daging ikan menjadi lunak, mudah dilepaskan dari tulang,
kehilangan elastisitasnya, dan meninggalkan bekas jari pada saat ditekan
(Govidan 1985).
Reaksi kimiawi yang terjadi selama proses kemunduran kesegaran ikan
adalah penguraian lemak oleh aktivitas enzim jaringan tubuh dan enzim yng
dihasilkan oleh bakteri serta berlangsung akibat oksidasi dengan adanya oksigen
menjadi asam lemak. Akibat dari reaksi ini adalah terjadinya ketengikan,
perubahan warna daging menjadi pucat yang mengarah pada rasa, bau dan
perubahan lain yang tidak dikehendaki. Geesink et al. (2006) melakukan
penelitian mengenai peran µ-kalpain terhadap proteolisis post mortem pada
protein otot menghasilkan kesimpulan bahwa µ -kalpain memiliki peran yang
sangat besar dalam aktivitas proteolisis post mortem.
Mikroorganisme dominan yang berperan penting di dalam proses
penurunan kesegaran ikan adalah bakteri. Pada daging ikan yang masih segar
bakteri dapat ditemukan di permukaan kulit, insang, dan saluran pencernaan. Pada
ikan mati, bakteri yang terkonsentrasi pada ketiga tempat tersebut perlahan-lahan
berpenetrasi dan bergerak aktif menyebar ke seluruh jaringan dan organ ikan
selanjutnya mulai dijadikan tempat berkembangnya bakteri. Dekomposisi berjalan
intensif, khususnya setelah ikan melewati fase rigor mortis, saat itu jaringan otot
longgar dan jarak antar serta diisi oleh cairan (Irianto dan Giyatmi 2009).
2.3 Histologi
Histologi (Histos = jaringan, Logos = ilmu) mempelajari struktur jaringan
tubuh hewan. Histologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dari hewan atau
tumbuhan secara terperinci dan hubungan antara pengorganisasian sel dan
jaringan serta fungsi-fungsi yang dilakukannya. Histologi dapat juga disebut
sebagai ilmu anatomi mikroskopis (Hartono 1989).

11

2.3.1 Jaringan otot
Peranan jaringan otot yang utama ialah sebagai alat gerak, karena sifatnya
yang mampu berkontraksi. Kontraksi dapat berlangsung bila ada rangsangan
(stimulus) dari syaraf atau pengaruh lain (Hartono 1989).

Ikan seperti juga

vertebrata lainnya memiliki tiga tipe sel otot: (1) lurik, tidak bercabang, bekerja
secara sadar; (2) otot jantung yang terdiri dari serabut otot bercabang dan (3) otot
halus yang bekerja secara tidak sadar. Otot lurik dibagi menjadi dua jenis, yaitu
merah and putih. Otot merah (Gambar 2) memiliki jumlah mitokondria dan
aktivitas respirasi yang lebih besar dibandingkan dengan otot putih (Gambar 3)
(Morrison et al. 2007).

Gambar 2 Otot merah ikan (Morrison et al. 2007).

Gambar 3 Otot putih ikan (Morrison et al. 2007).

12

2.3.2 Mata
Mata terdiri dari tiga bagian dasar atau lapisan (Gambar 4). Bagian paling
luar disebut fibrous tunic, yang dibagi menjadi kornea dan sklera. Fibrous tunic
memberikan mata bentuk yang cocok sebagai sistem visual. Bagian luar dari
fibrous tunic adalah kornea yang transparan sehingga memungkinkan cahaya
masuk dan bentuknya cocok sebagai refraktor (pembelok) cahaya dengan tepat
menuju retina mata (Samuelson 2007).
Bagian tengah mata (Gambar 4) terdapat uvea atau vaskular tunic atau
pembungkus yang terdiri dari koroid, ciliary body dan iris. Koroid terletak pada
pertengahan posterior mata diantara sklera dan retina. Fungsi koroid adalah
menyediakan makanan untuk retina yang sangat tinggi metabolismenya. Ciliary
body berfungsi sebagai tempat pelekatan lensa dan tempat produksi cairan
aqueous humor. Bagian anterior dari vaskular tunic adalah iris, yaitu
perpanjangan ciliary body. Iris sangat kaya pigmen dan otot (pupil) yang mampu
mengatur jumlah cahaya untuk masuk ke bagian posterior (retina). Bagian ketiga
dan yang paling sentral adalah retina (Gambar 5) dan saraf optik. Retina terdiri
dari sel-sel sensitif cahaya dan fotoreseptor yang mentransmisikan rangsangan
kepada otak melalui saraf optik. Bagian lainnya dari mata adalah cairan
intraokular yang terdiri dari vitreous dan aquaeos humor yang bersama-sama
menciptakan sebuah medium transparan

untuk mentransmisikan cahaya

(Samuelson 2007).

Gambar 4 Anatomi mata (Care and healed 2010).

13

Gambar 5 Retina mata ikan normal (Morrison et al. 2007).
2.4 Pembuatan Preparat Histologi
Proses pembuatan preparat histologis disebut mikroteknik. Jaringan yang
diambil kemudian diproses secara fiksatif untuk menjaga agar sediaan tidak rusak
(bergeser posisinya, membusuk atau rusak). Proses ini juga dapat mengawetkan
morfologi jaringan sehingga tetap seperti keadaan sewaktu hidup dan
mengeraskan jaringan agar dapat diiris serta mencegah jaringan larut selama
proses pembuatan preparat. Zat fiksatif yang baik adalah zat yang dapat
mengeraskan jaringan dengan cukup cepat sehingga tidak terjadi perubahan
bentuk pada saat proses-proses selanjutnya dilakukan (Tabel 3). Zat yang umum
digunakan adalah formalin sebab memiliki karakteristik mampu menembus dan
memfiksasi jaringan dengan cepat, menyimpan dan mempertahankan lemak,
myelin, serabut-serabut saraf, amiloid, homosiderin dan komponen alat tubuh
lainnya (Salim 2010; Rumawas et al. 1974).
Menurut Samuelson (2007), fiksasi dilakukan dengan mengekspos
jaringan pada pengawet kimia seperti formaldehid. Pengeksposan ini dapat
dilakukan dengan cara aktif dan pasif (Tabel 2).

14

Tabel 2 Perbedaan fiksasi aktif dan pasif
Kriteria
Waktu
Jumlah fiksatif
(agen fiksasi)
Cara fiksasi
Ukuran spesimen

Fiksasi aktif (perfusion
fixation)
relatif lebih cepat
relatif lebih sedikit
Fiksatif diinjeksi ke dalam
arteri utama
relatif besar

Fiksasi pasif (immersion
fixation)
lebih lambat
perbandingan dengan
sampel 5:1
merendam sampel dalam
fiksatif
kecil (ketebalan 2 cm
atau lebih kecil)

Sumber: Samuelson (2007)

Proses fiksasi dilanjutkan dengan dehidrasi yang merupakan proses
menarik air dalam jaringan sehingga jaringan menjadi keras dan kadar airnya
menjadi sangat kecil. Proses selanjutnya adalah clearing atau penjernihan yang
bertujuan menarik alkohol dari jaringan sehingga jaringan menjadi jernih,lebih
keras tetapi elastis (Rumawas et al. 1974).
Embedding merupakan proses memasukkan parafin cair ke dalam sel.
Tujuannya adalah untuk memudahkan dalam pemotongan jaringan menjadi sangat
tipis. Parafin menerobos masuk ke dalam jaringan tanpa mengganggu struktur selsel dan zat-zat dalam jaringan. Jaringan yang telah dibenamkan dalam parafin cair
lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair yang kemudian
dibekukan dan selanjutnya akan dipotong (Rumawas et al. 1974).

Hidrasi

merupakan proses pemasukan air ke dalam preparat jaringan pada gelas objek
yang dilakukan setelah proses dewaxing (pengeluaran parafin).
Preparat siap diwarnai, pewarna yang sering digunakan adalah pewarna
hematoksilin-eosin. Hematosikslin adalah zat warna alami yang pertama
digunakan pada tahun 1863. Zat ini memiliki afinitas yang kecil terhadap jaringan
jika digunakan sendiri, sehingga dikombinasikan dengan aluminium, besi,
kromium, tembaga dan wolfram (yang berfungsi sebagai penajam atau katalisator)
akan menjadi pewarnaan yang baik untuk inti dan kromatin. Bahan aktifnya, yaitu
hematein, dibentuk dengan mengoksidasi hematosiklin. Proses ini dikenal dengan
nama “pamatangan” selama beberapa hari/minggu jika tidak dipercepat dengan
penambahan suatu bahan oksidator (oxydizing agent), seperti HgO dan H2O2.
Formula yang paling sering dimasukkan pada pewarnaan dengan hematosiklin

15

adalah pengkombinasian dengan aluminim dalam bentuk tawas. Potongan
jaringan yang diwarnai dengan hematosiklin ini biasanya ditambahkan dengan
eosin, safranin atau pewarna kontras lainnya. Kombinasi hematosiklin dengan
besi atau wolfram/tungsten sering digunakan dalam pewarnaan khusus. Preparat
jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat yang lebih awet dengan cara
mounting menggunakan mounting agent misalnya enthelan (Rumawas et al.
1974).
Tabel 3 Kelebihan dan kekurangan berbagai larutan pengawet
Larutan
Pengawet
Formalin

Kelebihan

Kekurangan

Cairan pengawet umum, pH netral,
potongan jaringan dapat
ditinggalkan dalam pengawet tanpa
terjadi perubahan berarti (sampai 1
tahun)

Waktu perendaman > 24 jam,
terjadi pengerutan jaringan

Muller

Daya penetrasi cepat dan baik,
memfiksasi nukleus dan sitoplasma
dengan baik

Jika sampel direndam dalam
pengawet (> 24 jam), jaringan
menjadi rapuh, tidak dapat
dipakai untuk pewarnaan
dengan metode histokimia,
harus dicuci dulu dengan air
kran mengalir sebelum
dilakukan dehidrasi

Bouin

Daya penetrasi cepat dan merata
tetapi menyebabkan pengerutan,
memberikan warna cemerlang bila
diwarnai dengan metode trichrome,
sangat baik untuk nukleus dan
kromoson, warna kuning membuat
jaringan mudah dilihat saat
perendaman dan pengirisan
jaringan

Bila direndam dalam
pengawet (> 24 jam), jaringan
menjadi rapuh, harus dicuci
dulu dengan air kran untuk
menghilangkan kelebihan
pikrat

Zenker
Formol
(Cairan
Helly)

Daya fiksasi cepat dan kuat, sangat
baik untuk fiksasi sumsum tulang,
limpa dan organ lain yang banyak
mengandung darah, warna
sitoplasma menjadi lebih cemerlang

Pemaparan jaringan dalam
larutan yang melebihi waktu
yang ditentukan
mengakibatkan jaringan rapuh

Sumber: Zulham (2009)

16

Pada proses pembuatan preparat histologis sering terjadi beberapa
kesalahan sehingga terjadi kegagalan. Samuelson (2007 menguraikan beberapa
masalah yang mungkin terjadi beserta langkah koreksinya (Tabel 4).
Tabel 4 Masalah-masalah dalam preparasi histologis spesimen
Problem
Fiksasi yang
tidak cukup
(inadequate
fixation)

Penyebab
Agen fiksasi
yang tidak
cocok, ukuran
spesimen yang
terlalu besar

Hasil
Kesulitan embedding
(uneven embedding),
lautan hipotonik akan
mengembungkan
spesimen, larutan
hipertonik akan
mengerutkan
spesimen, improper
staining

Langkah koreksi
Uukuran specimen
diperkecil atau
dilakukan fiksasi
dengan metode
perfusion, lihat
kembali kekuatan
agen fiksatif untuk
mendapat tonisitas
yang terbaik

Improper
embedding

Fiksasi yang
tidak cukup dan
atau dehidrasi,
medium
embedding yang
tidak cukup

Specimens section
unevenly, adanya
lubang-lubang di
dalam section

Tingkatkan fiksasi,
gunakan mediam
embedding yang
seharusnya

Irregular
sections

Embedding yang
tidak cukup,
penggunaaan
pisau yang
tumpul,
kesalahan
microtome

Adanya bekas tekanan,
spesimen terburai

Gunakan pisau sekali
pakai yang baru atau
pisau yang tajam,
perbaiki mikrotom

Inadequate
staining

Fiksasi yang
tidak cukup,
stain dan
pewarna yang
sudah lama

Sedikit atau didak ada Tingkatkan fiksasi,
warna yang terbagi
buat larutan stain dan
oleh stain atau pewarna pewarna yang baru

Sumber: Samuelson (2007)

17

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari-Juni 2011 di Laboratorium
Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan
(Departemen

Teknologi

Hasil

Perairan),

Laboratorium

Kesehatan

Ikan

(Departemen Budidaya Perairan), Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan
(Departemen Teknologi Pangan), dan Laboratorium Histopatologi (Fakultas
Kedokteran Hewan), Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama
berupa ikan bandeng (Chanos chanos) dengan ukuran 200-250 g/ekor. Ikan
bandeng yang diamati adalah ikan bandeng yang disimpan pada suhu chilling.
Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat meliputi H2SO4
(MERCK p.a.), kjeltab Selenium (MERCK p.a.), NaOH (MERCK p.a.), H3BO3
(MERCK p.a.), n-heksana (MERCK p.a.), dan HCl (MERCK p.a.). Bahan-bahan
yang digunakan untuk pembuatan preparat histologi terdiri dari larutan Buffer
Normal Formalin 10% (MERCK p.a.), Bouin’s 10% (MERCK p.a.), alkohol 50100% (MERCK p.a.), xylol (MERCK p.a.), parafin (MERCK p.a.), hematoksilin
(MERCK), eosin (MERCK), dan mounting agent (MERCK).
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sokhlet (SIBATA
SB 6), tabung kjehdahl (PYREX), tanur pengabuan (Yamato FM 38), timbangan
analitik (AND HF 400), oven (Yamato DV 40), cetakan yang terbuat dari kertas
kalender, rotary mikrotom (Yamato Kohki LR-85), Mikroskop Cahaya Olympus
BX51, Microcular MD 130 Electron Eyepiece serta peralatan uji organoleptik,
kamera digital canon A495, dan penetrometer (Precision, Scientific Petroleum
Instruments).
3.3 Metode Penelitian
Sampel ikan bandeng dimatikan dengan menusuk oblongata setelah itu
sebagian ikan diambil dan diuji proksimat. Ikan lainnya disimpan pada suhu
chilling (±5°C) selama 23 hari (sampai ikan busuk). Ikan yang disimpan tersebut

18

diamati setiap hari dan dilakukan pengujian tekstur dan pengamatan histologis
pada setiap fase kemunduran mutu (pre rigor, rigor, post rigor, dan busuk).
Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

Ikan Bandeng

Dimatikan

Penyimpanan pada suhu chilling
(± 5 °C) selama 23 hari

Analisis
proksimat

Pre rigor

Rigor

Post rigor

Busuk

Analisis tekstur
& Histologi
Gambar 6 Diagram alir penelitian.
3.3.1 Analisis proksimat (AOAC 1995)
Analisis proksimat adalah metode analisis kimia untuk mengidentifikasi
kandungan nutrisi pada suatu bahan. Analisis proksimat dilakukan pada daging
ikan bandeng, meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat.
(1) Kadar air (AOAC 1995)
Sejumlah sampel (± 5 g) dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui
beratnya. Kemudian cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 100 ºC hingga
diperoleh berat yang konstan. Perhitungan kadar air dilakukan berdasarkan berat
basah dengan menggunakan rumus :

19

Kadar air (% bb) =

x 100%

Keterangan:
a

= berat cawan dan sampel awal (g)

b

= berat cawan dan sampel akhir (g)

c

= berat sampel awal (g)

(2) Kadar lemak (AOAC 1995)
Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 110 ºC,
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram,
dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet)
yang telah berisi pelarut heksana. Proses reflux dilakukan sampai larutan jernih
dan pelarut yang ada di dalam labu lemak terdistilasi. Selanjutnya labu lemak
yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 ºC hingga
beratnya konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak
dihitung dengan rumus:
Kadar lemak =

x 100%

(3) Kadar abu (AOAC 1995)
Cawan porselin dikeringkan dalam oven bersuhu 110 ºC, kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel ditimbang
dan dimasukkan ke dalam cawan porselin. Selanjutnya sampel dipijarkan di atas
nyala pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi, kemudian dilakukan pengabuan
di dalam tanur listrik pada suhu 400-600 ºC selama 4-6 jam atau sampai terbentuk
abu berwarna putih. Kemudian sampel didinginkan dalam desikator, selanjutnya
ditimbang. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan rumus:
Kadar abu =

x 100%

(4) Kadar protein, metode mikro-kjeldahl (AOAC 1995)
Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari destruksi,
destilasi dan titrasi.

20

(a) Tahap destruksi
Daging ikan bandeng ditimbang sebesar 1 gram kemudian sampel tersebut
dimasukkan ke dalam tabung kjehdahl. Sebanyak 0,25 gram selenium dan 25 ml
H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan
tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas. Proses destruksi dilakukan sampai
larutan berwarna bening .
(b) Tahap destilasi
Sampel yang telah didestruksi dituangkan ke dalam labu destilasi lalu
ditambahkan akuades 50 ml. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi
dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung tabung
kondensor ditampung dalam erlenmeyer 10 ml berisi larutan H3BO3 dan 2 tetes
indikator (cairan methyl red dan brom creosol green) yang ada di bawah
kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 10 ml destilat dan berwarna
hijau kebiruan.
(c) Tahap titrasi
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan
erlenmeyer berubah menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat.
Perhitungan kadar protein kulit ikan bandeng ditentukan dengan rumus :

(5) Kadar karbohidrat (by difference) (AOAC 1995)
Kadar karbohidrat (%) = 100% - (P + KA + A + L)
Keterangan:
P

= kadar protein (%)

KA

= kadar air (%)

A

= kadar abu (%)

L

= kadar lemak (%)

3.3.2 Uji organoleptik (BSN 2006)
Metode yang digunakan untuk uji organoleptik atau uji sensori adalah
dengan menggunakan score sheet berdasarkan SNI 01-2729.1-2006. Pengujian
menggunakan 15 panelis semi terlatih yang memiliki kriteria, antara lain tertarik

21

dan mau berpartisipasi dalam uji organoleptik, terampil, dan konsisten dalam
mengambil keputusan, siap sedia pada saat dibutuhkan dalam pengujian, tidak
menolak contoh yang akan diuji, berbadan sehat, bebas dari penyakit THT dan
tidak buta warna, dan tidak merokok. Berdasarkan data yang diperoleh, kemudian
dilakukan analisis kesegaran ikan dengan kriteria sebagai berikut (SNI 01-2729.12006):
Segar

: nilai organoleptik berkisar antara 7-9

Agak segar : nilai organoleptik berkisar antara 5-6
Tidak segar : nilai organoleptik berkisar antara 1-3
3.3.3 Analisis kekerasan (Precision, Scientific Petroleum Instruments)
Prinsip pengukuran tekstur bahan pangan dengan penetrometer adalah
dengan memberikan gaya tekan kepada bahan dengan besaran tertentu sehingga
bahan dapat ditentukan. Ikan bandeng dengan ukuran 200-250 gram dianalisis
menggunakan penetrometer.
3.3.4 Pembuatan preparat histologis (Angka et al. 1990)
Pembuatan preparat histopatologi terdiri dari tiga tahapan besar yaitu
fiksasi jaringan dan parafinisasi, pemotongan jaringan, serta pewarnaan jaringan
(Gambar 7).
Organ target, misal otot, diambil menggunakan alat bedah yang sesuai.
Otot ikan disayat menggunakan pisau scalpel yang tajam agar jaringan otot tidak
rusak. Ikan disayat membentuk persegi panjang dengan ketebalan 5 mm agar
bahan fiksatif dapat meresap sempurna. Jaringan otot yang diperoleh direndam
dalam larutan fiksatif selama 48 jam, perendaman dilakukan sebanyak 15-20 kali
volume jaringan dan dilanjutkan dengan dehidrasi. Larutan fiksatif dibuang,
kemudian alkohol 70% dimasukkan ke dalam botol film hingga jaringan
terendam, selanjutnya organ diambil dari dalam botol film dan dibungkus
menggunakan kain kasa lalu diikat menggunakan benang yang dibentuk seperti
teh celup, agar memudahkan dalam proses pergantian alkohol setelah 24 jam,
organ yang dibungkus kain kasa diambil dan ditiriskan di atas kertas tisu lalu
dimasukkan ke dalam botol berisi alkohol 80%, 90%, 95% masing-masing selama

22

dua jam dan alkohol 100% selama 12 jam dengan cara yang sama. Perendaman
dilakukan pada suhu ruang (Rumawas et al. 1974).
Proses selanjutnya adalah clearing. Jaringan direndam dalam alkohol-xylol
(1:1) selama 30 menit, dilanjutkan dengan xylol I, xylol II dan xylol III masingmasing selama 30 menit. Perendaman dilakukan pada suhu ruang. Selanjutnya
dilakukan tahap impregnasi, yaitu penggantian xylol dengan paraffin cair yang
berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 °C. Proses ini dilakukan dengan
perendaman jaringan ke dalam xylol-parafin (1:1) yang diletakkan dalam gelas
piala selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara yang sama
seperti proses perendaman sebelumnya kemudian dilanjutkan dengan embedding
yang merupakan proses memasukkan parafin cair ke dalam sel. Proses ini
berlangsung di dalam oven dengan suhu 60 °C. Jaringan direndam secara berturutturut ke dalam gelas piala yang berisi parafin I, parafin II dan parafin III masingmasing selama 45 menit. Proses perendaman dilakukan dengan cara sama, seperti
proses perendaman sebelumnya.
Jaringan yang telah diembedding dalam parafin cair lalu diblok (dicetak
agar mudah dipotong) dengan parafin cair, kemudian dibekukan. Proses ini
membutuhkan cetakan yang dapat dibuat dari kertas kaku, seperti kertas kalender
dengan ukuran 2x2x2 cm. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakan hingga
memenuhi 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga sedikit membeku. Proses
selanjutnya, jaringan disusun dalam cetakan dengan bagian sayatan yang
diperlukan menghadap dasar cetakan dan dituangi parafin cair hingga material
jaringan terendam selanjutnya dibiarkan beku dalam suhu ruang selama 24 jam
setelah parafin beku dengan sempurna, blok parafin dikeluarkan dari cetakan lalu
dipotong tipis menggunakan silet bermata satu agar dapat disesuaikan dengan
tempat blok pada alat pemotong.
Pemotongan jaringan dimulai dengan meletakkan blok parafin yang
mengandung preparat pada tempat duduknya di mikrotom. Tempat duduk blok
parafin beserta blok parafinnya kemudian diletakkan pada pemegangnya (holder)
pada mikrotom dan dikunci dengan kuat. Mata pisau mikrotom harus tajam agar
proses pemotongan dapat dilakukan dengan sempurna. Ketebalan potongan diatur
dengan cara menggeser bagian pengatur ketebalan hingga ketebalan yang

23

diinginkan. Ketebalan sayatan yaitu 4 µm. Blok preparat digerakkan ke arah pisau
sedekat mungkin lalu blok preparat dipotong secara teratur dan ritmis. Pita-pita
parafin yang awal tanpa jaringan dibuang hingga diperoleh potongan yang
mengandung preparat jaringan. Hasil irisan diambil dengan jarum lalu diletakkan
di permukaan air hangat dalam 45-50 °C waterbath hingga mengembang setelah
pita parafin terkembang dengan baik, pita parafin tersebut ditempelkan pada gelas
objek yang telah diberi zat perekat, seperti albumin dengan cara memasukkan
kaca objek itu ke dalam waterbath dan menggerakkannya ke arah pita parafin.
Setelah melekat, gelas objek digerakkan keluar dari waterbath dengan hati-hati
agar pita parafin tidak melipat dan dibiarkan hingga mengering setelah itu
dilanjutkan dengan dewaxing yang dimulai dengan meletakkan gelas objek yang
berisi jaringan dalam keranjang preparat yang ukurannya sesuai dengan gelas
objek. Keranjang tersebut dapat diisi dengan 10 gelas objek. Jaringan pada gelas
objek yang telah diletakkan dalam keranjang direndam ke dalam xylol I dan xylol
II masing-masing selama 2 menit. Lilin akan terlepas dari jaringan dan jaringan
akan tampak jernih selanjutnya dilakukan hidrasi yang merupakan proses
pemasukkan air ke dalam preparat jaringan pada gelas objek setelah proses
dewaxing. Jaringan pada gelas direndam dalam alkohol 100% dalam wadah
perendaman, lalu secara berturut-turut dimasukkan ke dalam alkohol 95%, 90%,
80%, 70% dan 50% masing-masing selama dua menit dengan cara yang sama
pula selanjutnya preparat jaringan direndam ke dalam akuades selama dua menit
setelah hidrasi preparat jaringan diberi pewarna hematoksilin-eosin. Preparat
jaringan direndam dengan pewarna hematoksilin selama 7 menit kemudian dicuci
dengan air mengalir untuk menghilangkan kelebihan zat warna yang tidak diserap,
lalu preparat jaringan direndam dengan pewarna eosin selama 3 menit dan dicuci
dengan akuades. Preparat jaringan kemudian direndam dalam alkohol 70%, 85%,
90% dan 100% masing-masing dilakukan selama dua menit selanjutnya preparat
jaringan lalu direndam dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama dua
menit.

24

Ikan bandeng

daging dan mata
Fiksasi larutan Bouin’s
Dehidrasi alkohol (80%, 90%, 95%, 100%)
Penjernihan (clearing) alkohol-xilol (1:1)
Impregnasi xilol-parafin (1:1)
Penanaman (embedding) dalam parafin

Trimming

Pemotongan dengan mikrotom ketebalan ± 4 µm

Pelekatan pita parafin pada gelas obyek
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin
Perekatan jaringan dengan mounting agent

Preparat awetan

Pengamatan mikroskop (100x)
Pengambilan gambar
Gambar 7 Diagram alir proses pembuatan preparat histologi (Angka et al. 1990)

25

Preparat jaringan yang telah diwarnai dapat dibuat preparat yang lebih
awet dengan cara mounting menggunakan mounting agent seperti enthelan.
Preparat jaringan ditutup dengan gelas penutup yang sudah ditetesi enthelan dan
dikeringkan dalam oven pada suhu 40 °C selama 24 jam, kemudian diamati di
bawah mikroskop. Preparat histologi diamati dengan menggunakan mikroskop
dengan perbesaran mulai dari 40x hingga 1000x sesuai dengan kejelasan objek
selanjutnya dilakukan dokumentasi menggunakan foto untuk dijadikan bahan
analisis deskriptif.
3.3.5 Analisis data secara deskriptif
Data dianalisis dengan caradeskripsi kualitatif dengan melihat preparat
histologi di bawah mikroskop selanjutnya dari preparat tersebut dianalisis
perubahan yang terjadi dari setiap jaringan pada fase-fase pasca kematian
(prerigor, rigor, postrigor, busuk) sebagai pendukung dalam analisis juga
diikutsertakan hasil pengujian proksimat, organoleptik dan kekerasan.

26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi Proksimat Ikan Bandeng
Tipe ikan bandeng yang ditemukan di Indonesia memiliki ciri adanya
perpanjangan sirip dorsal dan pektoral. Tipe ikan dengan perpanjangan ini hanya
ditemukan di Indonesia (Schuster 1959). Bandeng mampu mentolelir salinitas
perairan yang luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan eurihalin. Ikan
bandeng mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH, dan
kekeruhan air serta tahan terhadap serangan penyakit (Ghufron dan Kardi 1997).
Hasil pengujian proksimat yang dilakukan pada daging ikan bandeng
disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil pengujian proksimat daging ikan bandeng
Komponen
proksimat
Air
Protein
Lemak
Abu
Karbohidrat

Rata-rata
77,54 ± 0,46%
12,45 ± 1,79%
1,08 ± 0,12%
1,55 ± 0,03%
7,38 ± 2,10%

Kandungan protein ikan bandeng dari pengujian adalah 12,45 ± 1,79%.
Kadar protein tersebut lebih rendah dibandingkan kadar protein yang diperoleh
Wibowo (2000) yaitu 22,84%. Perbedaan tersebut dapat disebabkan pakan yang
diberikan tidak mengandung jumlah protein yang cukup. Berdasarkan hasil
penelitian Fatimatussholikhah (2007) diketahui bahwa pemberian bungkil kelapa
yang memiliki kadar protein besar sangat berpengaruh terhadap kadar protein ikan
lele dumbo. Murray et al. (1977) mengatakan bahwa peningkatan suplementasi
lemak pada pakan ikan dapat meningkatkan jumlah protein jaringan ikan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan yang cukup nutrisi sangat
berpengaruh terhadap komposisi protein ikan. Menurut Burgess et al. (1967) ikan
sangat beragam dalam konsumsi makanannya, tergantung dari musim dan lokasi
dimana mereka hidup. Temperatur juga memiliki efek langsung selain musim dan
geografis terhadap nafsu makan ikan.

27

Lemak merupakan bentuk cadangan energi. Lemak tidak dapat
menggantikan protein untuk pertumbuhan tetapi dapat menjaga cadangan protein
(Burgess et al. 1967). Kadar lemak ikan bandeng berdasarkan hasil penelitian
adalah 1,08 ± 0,12%, sedangkan menurut Wibowo (2000) adalah 1,51%.
Kandungan lemak yang kecil tersebut dapat disebabkan oleh komposisi pakan
yang diberikan pembudidaya jumlah lemaknya sangat sedikit. Jumlah lemak pada
ikan menurut Tarr (1954) dipengaruhi oleh spesies, musim, umur, lingkungan dan
kematangan seksual. Faktor lingkungan dan pakan dapat menjadi kontributor
utama rendahnya kadar lemak pada ikan bandeng yang diambil dari tambak ini.
Burgess et al. (1967) mengatakan bahwa otot ikan yang diambil dari lokasi yang
berbeda menunjukkan perbedaan dalam kandungan lemaknya. Faktor lain dari
rendahnya komposisi lemak tersebut adalah distribusi lemak tidak sama pada
tubuh ikan. Lemak paling banyak terdapat pada lapisan tipis dan dikenal dengan
nama jaringan adiposa yang terdapat di bawah kulit. Pengujian proksimat lemak
ikan pada penelitian ini tidak mengikutkan kulit ikan sehingga lemak di bawah
kulit tidak diperhitungkan.
Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida, yaitu glikogen
yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril (Hadiwiyoto 1993).
Komposisi karbohidrat dari hasil penelitian adalah 7,38 ± 2,10%. Perhitungan
komposisi karbohidrat dilakukan berdasarkan metode by difference sehingga
sangat tergantung pada jumlah protein dan lemaknya. Jumlah protein dan lemak
yang kecil menyebabkan jumlah karbohidrat menjadi tinggi. Pakan merupakan
faktor yang sangat penting terhadap komposisi ketiga unsur tersebut. Pakan yang
diberikan pembudidaya kemungkinan memiliki kandungan karbohidrat tinggi,
rendah lemak serta protein.
Air merupakan komponen sel hidup yang ada dimana-mana dan
merupakan 60-95% dari berat organisme (Amstrong 1995). Air dalam makanan
biasanya terbagi dua yaitu air imbibisi dan air kristal. Air imbibisi adalah air yang
masuk ke dalam bahan pangan dan menyebabkan pengembangan volume. Air
kristal merupakan air yang terikat dalam semua bahan, baik pangan maupun non
pangan yang berbentuk kristal, yaitu gula, garam, dan CuSO 4, dan lain-lain
(Winarno 1992). Komposisi air ikan bandeng dari hasil pengujian adalah 77,54 ±

28

0,46% sedangkan menurut Wibowo (2000) adalah 70,45%. Perbedaan kadar air
tersebut diduga karena adanya kemampuan bahan mengikat air yang disebut water
holding capacity (WHC). Molekul air akan terikat melalui ikatan hidrogen
berenergi besar. Molekul air akan membentuk hidrat dengan molekul yang
mengandung atom O dan N layaknya protein dan karbohidrat (Pearson dan
Dutson 1999; Winarno 1997).
Mineral dalam makanan ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi
(pembakaran) (deMan 1997). Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik
terbakar tetapi zat anorganiknya tetap yang disebut abu (Winarno 1992). Elemenelemen yang termasuk mineral adalah potasium, sodium, kalsium, magnesium,
besi, tembaga, mangan, zink, dan kobalt. Ada juga elemen yang tidak termasuk
metal, yaitu fosfor, sulfur, klorin, iodin dan elemen lain dengan jumlah yang
sangat kecil. Semua elemen di atas ditemukan dalam daging ikan. (Burgess et al.
1967). Kadar abu ikan bandeng yang didapat dari penelitian adalah 1,55 ± 0,03%,
sedangkan Wibowo (2000) memperoleh kadar abu ikan bandeng 2,15 %.
Perbedaan kadar abu ini diduga akibat perbedaan lingkungan ikan, sehingga
mineral yang terakumulasi pun berbeda tergantung habitatnya.
4.2 Organoleptik Daging dan Mata Ikan Bandeng
Pengujian organoleptik adalah salah satu jenis pengujian kesegaran yang
paling awal yang dikenal manusia. Uji ini menggunakan sensor (indera) yang
dimiliki oleh manusia. Berdasarkan hasil pengujian organoleptik (Gambar 8)
diketahui bahwa pada jam ke-0, kondisi mata dan daging ikan bandeng masih
sangat segar yang ditunjukkan dengan penampakan mata yang cerah, bola mata
menonjol, dan kornea jernih. Kondisi daging juga sangat baik yang dapat dilihat
dari sayatannya yang sangat cemerlang dan dinding perut utuh. Pada jam ke-120
sampai 192, ikan berada dalam kondisi yang agak segar dengan ciri-ciri mata agak
cerah, bola mata rata sampai agak cekung, pupil agak keabu-abuan sampai keabuabuan dan kornea agak keruh, pada daging terlihat sayatan daging sedikit kurang
cemerlang. Pada jam ke-264 sampai 480 ikan telah berada dalam keadaan tidak
segar, bola mata telah cekung, pupil menjadi putih susu dan kornea keruh sampai
agak kuning, sayatan daging terlihat sangat kusam dan dinding perut ikan sangat
lunak. Pengelompokan tersebut dilakukan berdasarkan pada SNI 01-2346-2006.

29

10
8
6
4
2
0
0

120

192

Nilai Organoleptik Daging

264

336

480

Nilai Organoleptik Mata

Gambar 8 Hasil pengujian organoleptik daging dan mata ikan bandeng.
Menurut Sulaksana (1999) semakin lama waktu pengamatan (jam postmortem) kecenderungan degenerasi serabut otot semakin meningkat, hal ini
disebabkan oleh semakin banyaknya asam laktat yang tertimbun sehingga terjadi
denaturasi protein otot dan menyebabkan degradasi serabut otot.
Selama proses kemunduran mutu mata ikan mengalami perubahan yang
diakibatkan oleh berhentinya aliran darah yang menyumplai oksigen. Winkler dan
Hopkins (1982) menyatakan bahwa aktivitas ATPase pada retina manusia
menurun setelah 24 jam postmortem, mencapai titik stabil setelah 48 jam. Hal ini
disebabkan oleh rendahnya aktivitas Mg2+ dan N+-K+ untuk menstimulasi
ATPase. Hal yang sama terjadi pada vertebrata lainnya. Retina dan pigmen
epitelium dari berbagai jenis vertebrata memiliki beberapa jenis ATPase yang
aktivitasnya distimulasi oleh Mg2+, N+ dan K+, HCO3- (atau anion yang lain) dan
Ca2+.
4.3 Kekerasan Daging dan Mata Ikan Bandeng
Setiap fase kemunduran mutu memiliki karakteristik kekerasan daging
yang berbeda akibat adanya perubahan kimia dan biologi pada daging ikan. Hasil
pengujian kekerasan ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 6.

30

Tabel 6 Hasil pengujian kekerasan daging ikan bandeng
Fase Pasca
Kematian

Rata-rata
(mm/10''/50g)

Prerigor
Rigor
Postrigor
Busuk

2,34 ± 0,08
1,42 ± 0,17
3,75 ± 0,07
33,00 ± 2,83

Hasil pengujian penetrometer fase prerigor menunjukkan nilai 2,34 ± 0,08
mm/10''/50g yang artinya bahwa penetrasi jarum pada daging ikan sampai
kedalaman 2,34 mm dari permukaan dengan pemberat 50 g. Eskin (1990)
menyatakan saat fase pre rigor kondisi daging ikan masih lembut dan lunak,
secara kimiawi terjadi penurunan jumlah ATP dan kreatin fosfat yang disebabkan
terhentinya su