Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos) selama Penyimpanan Suhu Chilling melalui Pengamatan Histologis

(1)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang cukup besar. Produksi perikanan Indonesia berasal dari kegiatan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Produksi perikanan tangkap pada tahun 2002 tercatat sebesar 4.378.495 ton, sedangkan produksi perikanan budidaya adalah 1.076.750 ton (Irianto dan Giyatmi 2009). Sebagian dari hasil produksi tersebut digunakan sebagai bahan baku pengolahan hasil perikanan.

Ikan bandeng merupakan salah satu ikan yang menjadi komoditas unggulan. Budidaya ikan bandeng telah lama dikenal oleh petani dan saat ini telah berkembang di hampir seluruh wilayah perairan Indonesia. Budidaya ikan bandeng tidak hanya berkembang di air payau saja, namun saat ini juga sedang berkembang di air tawar maupun laut dengan sistem keramba jaring apung (KJA). Produksi ikan bandeng di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun ke tahun yakni 23,60% pada tahun 2007; 5,32% pada tahun 2008; 18,6% pada tahun 2009. Data produksi ikan bandeng mengalami peningkatan tajam yaitu sebesar 47,19% pada tahun 2010 (Kelompok Kerja Data Statistik Kelautan dan Perikanan 2010).

Ikan bandeng merupakan ikan yang diminati oleh semua kalangan, karena ikan ini memiliki sumber protein yang tidak memiliki resiko kolesterol, sumber protein, lemak, vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kesehatan. Ikan bandeng menjadi komoditas unggulan dan olahannya pun menjadi makanan khas pada beberapa provinsi. Daging ikan yang sangat enak, rendah kolesterol dan mudah dicerna, tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen. Kandungan gizi per-100 gram daging ikan bandeng terdiri dari energi sebesar 129 kkal, protein sebesar 20 g, lemak sebesar 4,8 g, kalsium sebesar 20 mg, fosfor sebesar 150 mg, besi sebesar 2 mg, vitamin A sebesar 150 SI serta vitamin B1 sebesar 0,05 mg (DJPB 2010).

Kulit ikan merupakan salah satu bagian pada ikan yang banyak dimanfaatkan selain dagingnya. Kulit ikan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan maupun non pangan. Kulit ikan banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses pembuatan kerupuk kulit ikan, gelatin, kulit olahan, bahan perekat,


(2)

serta sumber kolagen untuk kosmetik. Kulit ikan merupakan penghalang fisik pertama terhadap perubahan lingkungan serta serangan mikroba dari luar tubuh (Robert 1978 diacu dalam Cinabut et al. 1991). Kandungan protein pada kulit ikan sangat tinggi. Komposisi protein yang tinggi pada kulit ikan menyebabkan kulit ikan mudah mengalami kebusukan.

Mutu ikan yang digunakan sebagai bahan baku di dalam pengolahan berpengaruh terhadap mutu produk yang dihasilkan. Semakin tinggi mutu bahan baku, semakin tinggi pula mutu produk olahan yang dihasilkan. Oleh karena itu syarat utama yang harus dipenuhi dalam proses pengolahan ikan adalah tersedianya bahan baku ikan yang bermutu tinggi.

Analisis mikrobiologi, kimia, dan metode sensori telah banyak dilakukan untuk mengevaluasi tingkat kesegaran ikan selama penyimpanan diikuti dengan penampakan, rasa, bau, tekstur serta atribut kesegaran lainnya (Olafsdottir et al. 1997). Informasi dan data mengenai kemunduran mutu secara histologi belum banyak diungkap, oleh karena itu pengukuran mutu secara histologi diperlukan untuk mengungkap karakteristik atau sifat-sifat mutu bahan baku yang tersembunyi.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan komposisi kimia kulit ikan bandeng, menentukan fase post mortem kulit ikan bandeng pada penyimpanan suhu chilling, serta membandingkan mikrostruktur kulit ikan bandeng pada setiap fase kemunduran mutu.


(3)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos)

Ikan bandeng merupakan salah satu komoditas ekspor yang dikenal dengan sebutan milkfish. Ikan ini memiliki karakteristik berbadan langsing, sirip bercabang serta lincah di air, memiliki sisik seperti kaca dan berdaging putih. Ikan bandeng memiliki keunikan, yakni mulutnya tidak bergigi dan makanannya adalah tumbuh-tumbuhan dasar laut. Selain itu panjang usus bandeng 9 kali panjang badannya (Murtidjo 1989).

Klasifikasi ikan bandeng (Saanin 1984) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata

Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Malacopterygii Famili : Chanidae Genus : Chanos

Spesies : Chanos chanos

Ikan bandeng mempunyai ciri-ciri morfologi badan memanjang, agak pipih, tanpa skut pada bagian perutnya, mata diseliputi lendir mempunyai sisik besar pada sirip dada dan sirip perut, sirip ekor panjang dan bercagak, sisik kecil dengan tipe cycloid, tidak bergigi, sirip dubur jauh di belakang sirip punggung (Saanin 1984). Morfologi ikan bandeng dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Morfologi ikan bandeng (Chanos chanos) (Anonim 2010). Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan budidaya air payau yang potensial dikembangkan. Jenis ikan ini mampu mentolerir salinitas perairan yang luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan euryhaline. Ikan bandeng


(4)

mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH dan kekeruhan air, serta tahan terhadap serangan penyakit (Ghufron dan Kardi 1997).

Komposisi gizi ikan bandeng sangat tinggi, terutama kandungan proteinnya. Komposisi ikan bandeng segar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia ikan bandeng segar

Kandungan gizi Kadar (%)

Air 74,00

Protein 20,00

Lemak 4,80

Abu 1,19

Sumber : Saparinto et al. (2006) 2.2 Anatomi Kulit Ikan

Kulit ikan terdiri dari daerah punggung, perut dan ekor sesuai dengan bentuk badannya. Kulit ikan tersusun dari komponen kimia protein,lemak, air, dan mineral. Kulit ikan mengalami kemunduran mutu seperti bagian ikan yang lain ketika mati. Kadar protein yang tinggi pada kulit menyebabkan kulit mudah rusak pada suasana asam, basa, serta aktivitas mikroba sehingga kulit mudah busuk (Rahmat et al. 2008). Enzim-enzim yang banyak berperan dalam kemunduran mutu kulit, seperti halnya pada ikan, adalah enzim-enzim proteolitik, yaitu enzim katepsin dan kolagenase.

Kulit ikan merupakan penghalang fisik terhadap perubahan lingkungan serta serangan mikroba dari luar tubuh. Kerusakan kulit akan mempermudah mikroba menginfeksi inang. Ikan teleostei memiliki tiga lapisan pada kulitnya, yaitu epidermis, dermis, dan hipodermis atau subkutis. Ikan teleostei tidak memiliki lapisan keratin pada epidermisnya, tetapi dilapisi oleh kutikula yang memiliki mukus, mukopolisakarida, immunoglobulin spesifik, lisozim, dan sejumlah asam lemak bebas (Robert 1978 diacu dalam Cinabut et al. 1991). Mikrostruktur kulit ikan dapat dilihat pada Gambar 2.


(5)

Gambar 2 Mikrostruktur kulit ikan catfish (H&E, perbesaran 52x) (T: taste buds, P: pigmen melanin, H: hipodermis) (Sumber: Chinabut

et al. 1991).

Epidermis tersusun atas tiga lapisan, lapisan luar adalah lapisan epitel pipih. Pada lapisan ini terdapat sel-sel lendir yang menyalurkan lendir ke kutikula. Lendir memiliki kemampuan protektif bagi hewan antara lain karena lendir melapisi permukaan tubuh sehingga mempemudah gerakan saat berenang, membentuk lapisan pelindung dari infeksi agensia patogenik, mengandung senyawa antimikroba dan berperan dalam proses osmoregulasi (Irianto 2005). Lapisan tengah epidermis tersusun oleh sel-sel gada, bentuknya bulat atau oval dan memiliki inti di tengah. Lapisan dalam epidermis adalah stratum germinativum, yang tersusun oleh lapisan tunggal sel kubus atau silinder. Sel ini mempunyai kemampuan diferensiasi yang tinggi (Yasutake dan Wales 1983).

Pada epidermis terdapat alarm sel, yaitu kelompok sel-sel eosinofil dan biasanya terdapat pada lapisan bawah dan tengah pada sejumlah spesies cyprinid. Sel-sel tersebut merupakan kelompok sel yang berperan dalam sekresi senyawa penanda bahaya (alarm substance). Sejumlah spesies lainnya memiliki sel-sel yang mirip yaitu sel-sel berukuran besar, jernih, tidak berlendir, tetapi tidak menghasilkan senyawa penanda bahaya, sel-sel bergranula, leukosit dan makrofag (Irianto 2005).

Lapisan dermis terletak dibawah epidermis. Lapisan ini berdiferensiasi menjadi stratum compactum dan stratum spongiosum (Schwinger et al. 2001).

Stratum compactum terletak di bawah stratum spongiosum. Stratum spongiosum

merupakan jaringan serat retikulin dan kolagen yang longgar, mengandung sel-sel pigmen, fibroblas, sel-sel penumpu sisik, dan sisik (Chinabut et al. 1991, Yasutake dan Wales 1983). Stratum compactum dicirikan oleh serabut kolagen


(6)

yang tersusun rapat di beberapa lapisan dan mengandung sedikit fibroblas (Putra 1992, Yasutake dan Wales 1983).

Hipodermis atau lapisan subkutan merupakan bagian kulit yang paling dalam dan paling tipis yang terletak antara stratum compactum dan serabut otot. Ciri yang paling mencolok dari lapisan ini adalah terdapatnya sel-sel adiposa (lemak), lapisan pigmen, pembuluh darah dan syaraf (Chinabut et al. 1991). 2.3 Kemunduran Mutu Ikan

Kemunduran mutu ikan digolongkan menjadi 4 tahap, yaitu prerigor, rigormortis,postrigor dan pembusukan oleh bakteri (Junianto 2003). Menurunnya tingkat kesegaran atau kemunduran mutu pada ikan disebabkan adanya reaksi kimia dan pembusukan oleh mikroba (Gram dan Dalgaard 2002). Jika dilihat dari keberadaan kandungan dan besarnya unsur biokimia makro yang terdapat di dalam tubuh ikan, perubahan utama yang terjadi pada proses kemunduran mutu ikan umumnya bersumberkan dari perubahan atau kerusakan komponen protein dan lemak yang terdapat dalam tubuh ikan itu sendiri. Proses kemunduran mutu ikan selama penyimpanan, proses perubahan tingkat kesegaran ikan pada periode penyimpanan awal didominasi oleh proses autolisis dan kemudian digantikan oleh perubahan akibat aktivitas bakteri (Mahmoud et al. 2006).

2.3.1 Prerigor

Tahap prerigor merupakan perubahan yang pertama kali terjadi setelah ikan mati. Fase ini ditandai dengan pelepasan lendir cair, bening, atau transparan yang menyelimuti seluruh tubuh ikan. Proses ini disebut hiperemia yang berlangsung 2-4 jam. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari glukoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri (Junianto 2003).

Tahap prerigor terjadi ketika daging ikan masih lembut dan lunak. Perubahan awal yang terjadi ketika ikan mati adalah peredaran darah berhenti sehingga pasokan oksigen untuk kegiatan metabolisme berhenti. Di dalam daging ikan mulai terjadi aktivitas penurunan mutu dalam kondisi anaerobik. Pada fase ini terjadi penurunan ATP dan keratin fosfat melalui proses aktif glikolisis. Proses glikolisis mengubah glikogen menjadi asam laktat yang menyebabkan terjadinya penurunan pH (Eskin 1990).


(7)

2.3.2 Rigormortis

Fase selanjutnya adalah rigormortis. Morkore et al. (2006) menyatakan bahwa fase rigormortis adalah tahap yang terjadi ketika ikan mengalami kekakuan (kekejangan). Fase ini ditandai dengan terjadinya penurunan pH akibat akumulasi asam laktat. Faktor yang mempengaruhi lamanya fase rigormortis yaitu jenis ikan, suhu, penanganan sebelum pemanenan, kondisi stress pra kematian, kondisi biologis ikan, dan suhu penyimpanan prerigor (Skjervold et al. 2001). Nilai pH daging ikan selama fase rigormortis turun dari 7-6,5 (Cheret 2007).

Fase rigormortis sangat penting dalam industri perikanan karena fase ini merupakan tahapan sebelum terjadinya kebusukan oleh mikroba. Selama berada dalam tahap ini, ikan masih memiliki kualitas yang baik dan diterima oleh konsumen. Fase ini dihindari oleh industri fillet karena daging ikan yang kaku sulit untuk diproses (Eskin 1990).

2.3.3 Postrigor

Fase postrigor merupakan fase awal kebusukan ikan. Fase ini terjadi ketika daging dan otot ikan secara bertahap menjadi lunak kembali. Hal ini disebabkan terjadinya degradasi enzimatik di dalam daging ikan (Papa et al. 1997 diacu dalam Ocano-Higuera et al. 2011). Pada awalnya fase ini akan meningkatkan derajat penerimaan konsumen (Eskin 1990).

Proses autolisis berlangsung pada tahap postrigor. Autolisis terjadi disebabkan adanya enzim-enzim endogenous yang ada di dalam otot ikan (Ocano-Higuera et al. 2009). Penurunan nilai pH menyebabkan enzim-enzim dalam jaringan otot menjadi aktif. Katepsin, yaitu enzim proteolitik yang berfungsi menguraikan protein menjadi senyawa sederhana, merombak struktur jaringan protein otot menjadi lebih longgar sehingga rentan terhadap serangan bakteri. Hal ini mengakibatkan daging ikan menjadi lunak kembali (Iriyanto dan Giyatmi 2009).

2.3.4 Busuk

Mikroorganisme dominan yang berperan penting di dalam proses penurunan kesegaran ikan adalah bakteri. Dekomposisi berjalan intensif, khususnya setelah ikan melewati fase rigormortis, pada saat jaringan otot longgar dan jarak antar serta diisi oleh cairan (Irianto dan Giyatmi 2009).


(8)

Bakteri mengeluarkan getah pencernaan, enzim yang merusak dan menghancurkan jaringan. Bakteri pada daging menyebabkan perubahan bau dan rasa yang pada mulanya terasa masam, beraroma seperti rumput atau asam. Bau dan rasa ini dapat berubah secara bertahap menjadi pahit atau sulfida serta dapat berubah menjadi ammonia pada tahap akhirnya. Selain perubahan bau dan rasa, bakteri menyebabkan perubahan tampilan dan ciri fisik lendir. Lendir pada kulit dan insang dapat berubah dari yang biasanya tampak jernih dan berair menjadi keruh dan kehitaman. Warna kulit ikan hilang dan menjadi tampak pucat dan pudar. Lapisan perut menjadi pucat dan hampir lepas dari dinding bagian dalam tubuh (DKP dan JICA 2008).

2.4 Pemeriksaan Histologi

Anatomi mikro atau histologi adalah mempelajari suatu organ atau bagian tubuh hewan atau tumbuhan secara cermat dan rinci. Usaha atau cara untuk dapat mengamati, mempelajari dan meneliti jaringan-jaringan tertentu dari suatu orgnisme dapat ditempuh dengan jalan penyiapan spesimen histologi. Untuk penyiapan spesimen histologi tersebut dikenal 4 cara yang umum dilakukan (Davenport 1960 diacu dalam Gunarso 1986) yaitu:

(1) Penyiapan preparat/spesimen secara keseluruhan (whole mount), yakni pengamatan perkembangan embrio dan lain sebagainya

(2) Penyiapan spesimen dengan metode penyayatan (sectioning methods) (3) Penyiapan dengan metoda remasan (teasing/squashing methods) (4) Penyiapan dengan menggunakan metode ulasan (smear methods).

Metode penyayatan (sectioning) merupakan metode yang lazim dan banyak digunakan dalam penyiapan spesimen histologi. Melalui metode ini spesimen disayat setipis mungkin, diwarnai, dan dijadikan spesimen awetan. Penyayatan umumnya dilakukan dengan mikrotom. Melalui metode ini, spesimen dipersiapkan untuk disayat dan untuk itu diperlukan perlakuan tertentu yang mampu untuk mengeraskan spesimen sehingga memungkinkan untuk dilakukan penyayatan. Pengerasan jaringan tersebut dapat dilakukan dengan cara membekukan ataupun dengan jalan penanaman dalam suatu substansi yang mampu mengeraskannya (Davenport 1960 diacu dalam Gunarso 1986).


(9)

2.5 Pembuatan Preparat Histologi dengan Metode Parafin

Pembuatan preparat dengan metode parafin merupakan suatu metode yang paling umum digunakan. Metode ini banyak digunakan karena lebih mudah dan lebih cepat serta material kering dapat disimpan lebih lama (Kiernan 1990). Langkah-langkah yang perlu dilakukan dan diperhatikan dalam teknik histologi secara manual adalah fiksasi atau pengawetan jaringan, perlakuan (processing) jaringan, pemotongan jaringan, pewarnaan jaringan serta pengamatan di bawah mikroskop (Angka et al. 1990). Tahapan dalam persiapan preparat adalah fiksasi, dehidrasi, clearing, impregnasi dan embedding, blocking dan trimming,

pemotongan, pewarnaan, dan perekatan jaringan. 2.5.1 Fiksasi

Tahap awal pembuatan preparat histologi yaitu fiksasi yang dilakukan untuk mencegah autolisis dan dekomposisi post-mortem dari suatu jaringan atau organ. Sel-sel dimatikan melalui fiksasi untuk memutuskan proses hidup dinamis sel secepat mungkin dan menjaga struktur dari pengaruh yang seminimal mungkin (Geneser 1994). Fiksasi bertujuan untuk mengawetkan morfologi dan komposisi jaringan sehingga jaringan tetap, seperti keadaan semula sewaktu hidup, mengeraskan jaringan agar dapat diiris, mencegah jaringan larut selama proses pembuatan preparat serta mengaktifkan jaringan dan komponennya sehingga mudah untuk diwarnai (Angka et al. 1990).

Larutan fiksasi disebut fiksatif. Beberapa fiksatif yang dapat digunakan diantaranya fiksatif Zenker, fiksatif Baker, fiksatif Carnoys, Buffer Normal Formalin (BNF), Formol Saline, larutan Helly, Larutan ORTH, fiksatif Bouin’s (Sastrohadinoto et al. 1973). Formula fiksatif BNF adalah (Angka et al. 1990): NaH2PO4.H2O : 40 g

Na2HPO4 (anhidrid) : 6,5 g

Akuades : 900 ml

Formaldehid 37-40% : 100 ml

Waktu minimum yang dibutuhkan untuk jaringan dalam fiksatif ini adalah 24 jam dan maksimum 1 minggu. Fiksasi dilakukan dengan cara membenamkan potongan kecil jaringan ke dalam larutan fiksatif. Pengambilan jaringan dilakukan menggunakan pisau yang tajam untuk menghindari kerusakan pada potongan


(10)

jaringan. Potongan jaringan berukuran beberapa millimeter untuk memastikan bahwa zat fiksasi cukup menembus dengan cepat kedalam semua bagian jaringan (Genesser 1994).

2.5.2 Dehidrasi

Jaringan yang telah difiksasi akan mempertahankan kandungan air yang tinggi, suatu kondisi yang menjadi penghambat untuk proses selanjutnya, sehingga jaringan perlu didehidrasi (penghilangan air). Cairan dalam jaringan dapat menyebabkan jaringan lunak, berisi lumen atau celah cekung dan mudah rusak oleh penyayatan. Dehidrasi bertujuan agar cairan di dalam sel/jaringan ditarik keluar untuk digantikan dengan parafin (Sass 1951).

Penarikan air keluar dari sel/jaringan dilakukan dengan cara merendam jaringan dalam bahan kimia yang berfungsi sebagai dehidrator (penarik air) yang secara progresif konsentrasinya meningkat, yakni alkohol. Perubahan konsentrasi bertahap, yakni alkohol 80%, 90%, 95%, 95% masing-masing selama 2 jam dan alkohol absolut selama 12 jam (Angka et al. 1990). Peningkatan konsentrasi ini dilakukan agar penghilangan air dari jaringan dapat dilakukan secara sempurna (Geneser 1994). Pemberian alkohol absolut bertujuan untuk mengurangi penyusutan pada jaringan (Sass 1951).

2.5.3 Clearing (penjernihan)

Clearing merupakan proses penjernihan yang bertujuan untuk menggantikan alkohol. Proses clearing dilakukan dengan menambahkan clearing agent yang berfungsi sebagai pelarut parafin. Pada proses ini jaringan menjadi jernih dan yang tidak tembus cahaya menjadi transparan. Bahan yang dapat digunakan sebagai clearing agent adalah xylol, kloroform dan benzol. Xylol banyak dipergunakan karena bekerja dengan cepat, membuat preparat cukup transparan dan bersifat dealkoholisasi (Sastrohadinoto et al. 1973). Setelah proses dehidrasi, air di dalam sel keluar. Bagian yang kosong diisi parafin agar jaringan terikat kuat dengan parafin. Alkohol tidak dapat melarutkan parafin, oleh karena itu digunakan xylol yang dapat melarutkan parafin dan dapat bercampur dengan alkohol (Angka et al. 1990).

Proses clearing dilakukan dengan merendam jaringan dalam alkohol-xylol (1:1), xylol I, xylol II, xylol III masing-masing selama 30 menit. Perendaman


(11)

dilakukan sama halnya seperti pada perendaman dengan alkohol pada suhu ruang. Perendaman berturut-turut dalam xylol bertujuan agar penghilangan alkohol dari jaringan berjalan sempurna (Angka et al. 1990). Jika selama penjernihan, clearing agent menjadi keruh, menunjukkan bahwa air masih ada pada jaringan dan jaringan tidak terhidrasi dengan sempurna dan dapat dilakukan pengulangan ke dalam alkohol absolut.

2.5.4 Impregnasi dan embedding

Impregnasi merupakan tahapan dimana medium untuk menanam dimasukkan ke dalam jaringan secara bertahap. Medium yang digunakan untuk menanam adalah parafin. Embedding adalah proses untuk memasukkan parafin cair ke dalam jaringan. Proses penggantian ini berlangsung di dalam oven pada suhu 60 oC karena titik cair parafin 54-58 oC. Proses ini bertujuan agar parafin menyusup ke dalam seluruh celah antar sel dan bahkan ke dalam sel sehingga jaringan lebih tahan saat pemotongan (Angka et al. 1990). Pada suhu yang lebih tinggi dari titik cair parafin sisa-sisa dehidratant dan clearing agent akan lebih cepat menguap (Sastrohadinoto et al. 1973). Proses pembenaman kedalam parafin membantu memudahkan pemotongan dalam pemotongan jaringan yang sangat tipis.

Penyusupan parafin ke dalam jaringan dilakukan dengan cara merendam jaringan dalam xylol : parafin (1:1), parafin I, parafin II, dan parafin III masing-masing selama 45 menit. Proses pemindahan berturut-turut dalam parafin bertujuan agar xylol yang ada dalam jaringan benar-benar tergantikan oleh parafin (Angka et al. 1990) .

2.5.5 Blocking dan Trimming

Jaringan yang telah diembedding dalam parafin cair lalu diblok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair yang kemudian dibekukan. Proses ini membutuhkan cetakan yang dapat dibuat dari kertas yang kaku seperti kertas kalender dengan ukuran 2x2x2 cm3. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakan hingga memenuhi sekitar 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga sedikit membeku. Setelah itu, jaringan disusun dalam cetakan dan dituangi parafin cair hingga material jaringan terendam. Selanjutnya dibiarkan beku dalam suhu ruang selama 24 jam (Angka et al. 1990).


(12)

Pada waktu menjadi dingin, parafin mengeras dan bersama-sama dengan potongan jaringan yang dibenamkan, membentuk blok jaringan yang keras. Blok parafin dikeluarkan dari cetakan setelah mengeras dan ditriming menggunakan silet. Tujuan dilakukannya trimming yakni membuang parafin yang berlebihan, mengatur bentuk potongannya agar rapi dan agar dapat disesuaikan dengan tempat blok alat pemotong (Sastrohadinoto et al. 1973, Angka et al. 1990).

2.5.6 Pemotongan jaringan

Pemotongan jaringan dilakukan menggunakan mikrotom. Ketebalan potongan diatur dengan cara menggeser bagian pengatur ketebalan hingga ketebalan yang diinginkan. Ketebalan sayatan untuk jaringan keras yakni 7-8 µm, sedangkan jaringan lunak 5-6 µm (daging, hati, ginjal dan lain-lain). Potongan diusahakan agar sambung menyambung membentuk pita parafin. Pita parafin awal tanpa jaringan dibuang sehingga diperoleh potongan yang mengandung preparat jaringan. Pita parafin diletakkan di permukaan air hangat/waterbath (45-50 oC) agar jaringan di dalam parafin teregang. Pita parafin kemudian diangkat dari permukaan air dengan menggunakan slide yang telah direndam di dalam metanol. Perendaman slide di dalam metanol bertujuan untuk membersihkan kotoran ataupun minyak yang menempel pada slide. Preparat yang telah merekat pada slide kemudian dibiarkan hingga mengering.

2.5.7 Pewarnaan dan perekatan jaringan

Sejumlah pita parafin ditempelkan pada slide dan diwarnai. Parafin yang ada di dalam jaringan harus dihilangkan sebelum pewarnaan dengan diberi xilene (xilol) kemudian dilakukan hidrasi dengan konsentrasi alkohol yang menurun, yakni alkohol 100%, 100%, 95%, 90%, 80%, 70%, dan 50% masing-masing selama 3 menit. Penghilangan parafin dari jaringan bertujuan agar jaringan menjadi jernih (Angka et al. 1990).

Pewarnaan histologi yang banyak dipakai adalah kombinasi hematoksilin dan eosin (HE). Hematoksilin dan Eosin adalah metode pewarnaan yang banyak digunakan dalam dalam pewarnaan jaringan sehingga pewarnaan ini diperlukan dalam diagnosis medis dan penelitian. Hematoksilin adalah pewarna yang sering digunakan pada pewarnaan histoteknik. Hematoksilin merupakan ekstrak dari pohon yang diberi nama logwood tree. Hematoksilin bekerja sebagai pewarna


(13)

basa, artinya zat ini mewarnai unsur basofilik jaringan. Hematoksilin memulas inti dan strukutur asam lainnya dari sel (seperti bagian sitoplasma yang kaya RNA dan matriks tulang rawan) menjadi biru. Eosin bersifat asam dan memulas komponen asidofilik jaringan seperti mitokondria, granula sekretoris, dan kolagen. Eosin mewarnai sitoplasma dan kolagen menjadi warna merah muda. Setelah pewarnaan, dilakukan hidrasi dengan konsentrasi alkohol yang meningkat, yakni alkohol 50%, 70%, 85%, 90%, 100%, 100% masing-masing selama 2 menit. Proses hidrasi dilakukan dengan tujuan agar preparat dapat direkatkan dengan kaca penutup. Setelah proses hidrasi dilakukan proses mounting (Angka et al.

1990).

Mounting merupakan proses perekatan sayatan jaringan pada kaca sediaan dengan mempergunakan bahan perekat (adhesive). Proses mounting menggunakan

mounting media. Mounting media adalah zat yang mengisi antara preparat yang telah diwarnai dan kaca penutup. Zat yang dapat digunakan sebagai mounting media harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni meningkatkan sifat tembus cahaya (transparansi) dari jaringan, index refraksinya harus sama dengan atau mendekati kaca obyek maupun kaca penutup serta merupakan alat perekat kaca obyek dan kaca penutup yang baik (Sastrohadinoto et al. 1973).

Zat yang dapat digunakan sebagai mounting media yakni gliserol, Canada Balsam. Gliserol memiliki sifat yang kurang baik karena hanya dipakai bagi preparat yang dipakai sebentar yakni selama satu atau dua hari. Canada Balsam index refraksinya hampir sama dengan kaca obyek (Sastrohadinoto et al. 1973). Penutupan kaca obyek dengan gelas penutup dilakukan agar preparat menjadi licin dan permukaan yang dihasilkan tidak menyebabkan pantulan cahaya selama pegamatan mikroskopis (Geneser 1994).


(14)

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-Agustus 2011 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan; Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; Laboratorium Histopatologi, Ruang Diskusi Histopatologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama berupa ikan bandeng (Chanos chanos) dengan ukuran 200-250 g/ekor. Ikan bandeng yang diamati adalah ikan bandeng yang disimpan pada suhu chilling. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis proksimat meliputi H2SO4 (MERCK p.a.), kjeltab Selenium (MERCK p.a.), NaOH (MERCK p.a.), H3BO3 (MERCK p.a.), n-heksana (MERCK p.a.), dan HCl (MERCK p.a.). Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histologi terdiri dari larutan Buffer Normal Formalin 10% (MERCK p.a.), alkohol 50-100% (MERCK p.a.), xylol (MERCK p.a.), parafin (MERCK p.a.), hematoksilin (MERCK), eosin (MERCK), dan mounting agent (MERCK).

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sokhlet (SIBATA SB 6), tabung kjehdahl (PYREX), tanur pengabuan (Yamato FM 38), timbangan analitik (AND HF 400), oven (Yamato DV 40), cetakan yang terbuat dari kertas kalender, rotary mikrotom (Yamato Kohki LR-85), Mikroskop Cahaya Olympus BX51, Microcular MD 130 Electron Eyepiece serta peralatan uji organoleptik. 3.3 Metode Pengambilan Sampel

Ikan bandeng yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari daerah tambak Kampung Melayu, Teluk Naga, Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang-Banten. Bobot ikan bandeng yang diamati berkisar antara 200-250 gram/ekor. Ikan bandeng ini diambil dengan menggunakan pancing. Setelah ditangkap, ikan langsung dimatikan. Ikan dimatikan dengan cara menusuk kepala bagian medula oblongata yang menyebabkan ikan langsung mati.


(15)

3.4 Prosedur Analisis

Pengujian organoleptik dilakukan terhadap sampel ikan bandeng untuk menentukan tahapan post mortem ikan bandeng tersebut. Sampel kulit ikan bandeng pada fase prerigor, rigormortis, post rigor, dan fase busuk diambil serta dilakukan analisis pembuatan dan pengamatan preparat jaringan kulit menggunakan mikroskop. Pada sampel kulit ikan bandeng juga dilakukan uji proksimat untuk mengetahui komposisi kimia kulit ikan bandeng tersebut.

3.4.1 Uji organoleptik (BSN 2006)

Penentuan fase kemunduran mutu pada ikan bandeng dilakukan menggunakan metode sensori, yaitu secara organoleptik. Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk. Pengujian organoleptik ini mempunyai peranan yang penting sebagai pendeteksian awal dalam menilai mutu untuk mengetahui penyimpangan dan perubahan dalam produk. Pada uji organoleptik ini, ada beberapa syarat yang harus disepakati oleh panelis, antara lain tertarik dan mau, terampil dan konsisten dalam mengambil keputusan, siap sedia pada saat dibutuhkan dalam pengujian, tidak menolak contoh yang akan diuji, berbadan sehat, bebas dari penyakit THT dan tidak buta warna, serta jumlah panelis minimum untuk satu kali pengujian adalah 15 orang (semi-terlatih). Penetapan fase kemunduran mutu pada ikan dilakukan menggunakan alat bantu berupa lembar nilai (score sheet) yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi nasional (BSN) dengan SNI 01-2346-2006 (Lampiran 1).

3.4.2 Analisis proksimat

Analisis proksimat adalah suatu metode analisis kimia untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi pada suatu bahan. Analisis proksimat terhadap kulit ikan bandeng meliputi analisis kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat.

(1) Analisis kadar air (AOAC 2005)

Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 102-105 oC selama 30 menit. Cawan tersebut diletakkan dalam desikator (kurang lebih 30 menit) hingga dingin kemudian ditimbang sampai beratnya konstan. Sampel sebesar 5 gram kemudian


(16)

ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan. Cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 150 oC selama 8 jam. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Perhitungan kadar air kulit ikan bandeng ditentukan dengan rumus :

kadar air % = B−C

B−A x 100% Keterangan :

A = Berat cawan kosong (gram)

B = Berat cawan yang diisi sampel (gram)

C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram) (2) Analisis kadar abu (AOAC 2005)

Cawan abu porselen dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven bersuhu 105 oC selama 30 menit. Cawan abu tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator (30 menit) dan ditimbang. Sampel sebesar 5 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan abu porselen. Selanjutnya dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap dan dimasukkan ke dalam tanur pengabuan (600 oC) selama 7 jam. Cawan dimasukkan ke dalam desikator dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang.

Perhitungan kadar abu kulit ikan bandeng ditentukan dengan rumus : Kadar abu % = C−A

B−A x 100% Keterangan :

A = Berat cawan abu porselen kosong (gram)

B = Berat cawan abu porselen dengan sampel (gram)

C = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah dikeringkan (gram) (3) Analisis kadar lemak (AOAC 2005)

Sampel sebesar 5 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring dan selongsong lemak, kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berta tetapnya (W2) dan disambungkan dengan tabung sokhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung sokhlet dan disiram dengan pelarut lemak. Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi sokhlet lalu dipanaskan pada suhu 40 oC menggunakan pemanas listrik selama


(17)

16 jam. Pelarut lemak yang ada di dalam labu lemak didestilasi hingga semuanya menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak. Selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC dan didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3).

Perhitungan kadar lemak kulit ikan bandeng ditentukan dengan rumus : kadar lemak % = W3−W2

W1 x 100%

Keterangan :

W1 = Berat sampel (gram)

W2 = Berat labu lemak tanpa lemak (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram) (4) Analisis kadar protein (AOAC 2005)

Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari destruksi, destilasi dan titrasi.

(a) Tahap destruksi

Kulit ikan bandeng ditimbang sebesar 1 gram kemudian sampel tersebut dimasukkan ke dalam tabung kjehdahl. Sebanyak 0,25 gram selenium dan 25 ml H2SO4 pekat ditambahkan ke dalam tabung tersebut. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas. Proses destruksi dilakukan sampai larutan berwarna bening .

(b) Tahap destilasi

Sampel yang telah didestruksi dituangkan ke dalam labu destilasi lalu ditambahkan akuades 50 ml. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 10 ml berisi larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator (cairan methyl red dan brom creosol green) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 10 ml destilat dan berwarna hijau kebiruan.

(c) Tahap titrasi

Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna larutan erlenmeyer berubah menjadi merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat.


(18)

Perhitungan kadar protein kulit ikan bandeng ditentukan dengan rumus : N % = ml HCl−ml HCl blanko x 0,1 N HCl x 14,007

mg sampel x 100%

Kadar protein = % N x 6,25

(5) Analisis kadar karbohidrat (AOAC 2005)

Kadar karbohidrat ditentukan dengan cara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar protein. Perhitungan kadar karbohidrat kulit ikan bandeng ditentukan dengan rumus :

Karbohidrat (%) = 100% - (% kadar air - % kadar abu - % kadar protein - % kadar lemak)

3.4.3 Pembuatan preparat dengan metode parafin (Angka et al. 1984)

Pengamatan jaringan kulit ikan diawali dengan pembuatan preparat kulit ikan bandeng (Chanos chanos) kemudian pengambilan gambar objek pada mikroskop. Pembuatan preparat dilakukan dengan metode parafin. Tahapannya terdiri atas fiksasi, dehidrasi, clearing, impregnasi, embedding, blocking, trimming, pemotongan jaringan, pewarnaan, serta perekatan jaringan menggunakan mounting agent (Lampiran 2).

Fiksasi dilakukan dalam larutan BNF (Buffer Normal Formalin) selama lebih dari 24 jam (3 hari), setelah itu larutan fiksasi dibuang, kemudian dilakukan dehidrasi melalui perendaman jaringan dalam alkohol pada suhu ruang dengan perincian:

1) Alkohol 70% selama 24 jam 2) Alkohol 80% selama 2 jam 3) Alkohol 90% selama 2 jam 4) Alkohol 95% selama 2 jam 5) Alkohol 95% selama 2 jam 6) Alkohol 95% selama 2 jam 7) Alkohol 100% selama 12 jam

Proses clearing dimulai dari perendaman sampel dalam clearing agent.

Jaringan direndam dalam alkohol:xilol (1:1) selama 30 menit yang dilanjutkan dengan tahap impregnasi dan embedding. Impregnasi adalah perendaman jaringan


(19)

ke dalam xilol:parafin (1:1) dalam gelas piala selama 45 menit. Embedding adalah perendaman jaringan di dalam parafin cair, yakni parafin I, parafin II, parafin III masing-masing selama 45 menit. Kedua proses ini berlangsung di dalam oven pada suhu 60 oC.

Jaringan yang telah diembedding dalam parafin cair lalu di blok (dicetak agar mudah dipotong) dengan parafin cair yang kemudian dibekukan. Proses ini membutuhkan cetakan yang dapat dibuat dari kertas yang kaku, seperti kertas kalender, dengan ukuran 2x2x2 cm3. Parafin cair dituangkan ke dalam cetakan hingga memenuhi sekitar 1/8 bagian cetakan dan dibiarkan hingga sedikit membeku. Setelah itu jaringan disusun dalam cetakan dan dituangi parafin cair hingga material jaringan terendam. Selanjutnya dibiarkan membeku dalam suhu ruang selama 24 jam. Setelah parafin beku dengan sempurna, blok parafin dikeluarkan dari cetakan lalu ditrimming menggunakan silet.

Pemotongan jaringan dilakukan menggunakan mikrotom putar setebal 4 μm. Pita-pita parafin yang terbentuk diambil dengan jarum kemudian diletakkan di permukaan air hangat (45 oC-50 oC). Pita-pita parafin kemudian direkatkan pada gelas obyek dan dibiarkan hingga mengering.

Proses pewarnaan dilakukan menggunakan hematoksilin dan eosin. Pewarnaan diawali dengan perendamaan gelas obyek ke dalam xilol I dan xilol II masing-masing selama 2 menit, dilanjutkan perendaman dalam alkohol absolut (100%), 95%, 90%, 80%, 70%, dan 50% masing-masing selama 2 menit. Setelah itu, obyek dibilas dengan akuades selama 2 menit. Kemudian obyek dimasukkan ke dalam pewarna hematoksilin selama 7 menit dan dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kelebihan zat warna yang tidak diserap. Obyek direndam kembali dalam pewarna eosin selama 3 menit dan dicuci kembali dengan akuades. Preparat jaringan kemudian direndam dalam alkohol 50%, 70%, 85%, 90%, 100%, 100%, xilol I, xilol II masing-masing selama 2 menit.

Proses selanjutnya adalah penutupan gelas obyek dengan pemberian

mounting agent atau Canada Balsam pada gelas obyek dan ditutupi dengan gelas penutup kemudian dikeringkan selama 24 jam. Pengamatan preparat awetan dilakukan dengan mikroskop cahaya Olympus BX51 dengan perbesaran 200x. Proses pengambilan gambar dilakukan dengan Microcular MD 130 Elektron


(20)

Eyepiece. Diagram alir pembuatan preparat kulit ikan bandeng (Chanos chanos) dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Diagram alir pembuatan preparat kulit ikan bandeng (Chanos chanos). Ikan bandeng

Pemotongan bagian kulit Fiksasi dengan larutan BNF 10%

Penjernihan (clearing) dengan alkohol-xilol (1:1) Dehidrasi dengan alkohol berseri

Impregnasi dengan menggunakan xilol-parafin (1:1) Penanaman (embedding) dalam parafin

Perekatan jaringan dengan mounting agent

Pewarnaan Hematoksilin-Eosin Pelekatan pita parafin pada gelas obyek

Pemotongan dengan mikrotom

Trimming

Pengamatan dengan mikroskop Preparat awetan


(21)

3.5 Analisis Data

Hasil yang diperoleh dari pengamatan dan pengukuran terhadap nilai organoleptik kulit ikan bandeng (Chanos chanos) dicari nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata tersebut dihitung menggunakan rumus berikut (BSN 2006):

�= ��

�=1

n

Keterangan:

X : nilai rata-rata Xi : nilai X ke-i N : jumlah data

Sampel kulit ikan bandeng pada setiap tahapan kemunduran mutu (prerigor, rigormortis, postrigor, dan busuk) diamati. Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan melihat preparat histologi menggunakan mikroskop.


(22)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Komposisi Kimia Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos)

Morfologi ikan bandeng yang diambil dari areal tambak di daerah Kampung Melayu, Teluk Naga, Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang-Banten dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Ikan bandeng (Chanos chanos) dari Tanjung Pasir.

Ikan bandeng yang diperoleh memiliki ciri tubuh pipih, sirip ekor bercabang dan mata diselaputi lendir. Sirip ekor bercabang dan mata yang diselaputi dengan lendir merupakan ciri bahwa ikan bandeng tergolong sebagai perenang cepat. Ikan bandeng memiliki warna putih keperakan di bagian ventral dan biru keperakan di bagian dorsal. Ikan bandeng yang digunakan dalam penelitian ini memiliki ukuran panjang dan bobot yang cukup seragam. Bobot ikan bandeng yang diamati berkisar antara 200-250 gram/ekor. Ikan bandeng yang diperoleh dari daerah Tanjung Pasir ini hidup di lingkungan air dengan kedalaman 3-4 meter.

Sampel ikan bandeng yang diperoleh, kemudian dipisahkan kulitnya untuk dianalisis komposisi kimianya melalui uji proksimat. Hasil dari analisis proksimat menunjukkan data kasar karena dalam satu fraksi hasil analisis masih terdapat zat lain yang berbeda sifatnya dalam jumlah yang sangat sedikit. Komposisi kimia yang diuji terdiri dari kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat. Kadar karbohidrat dihitung dengan cara by difference. Hasil analisis proksimat kulit ikan bandeng dapat dilihat pada Gambar 5.


(23)

Gambar 5 Hasil analisis proksimat kulit ikan bandeng (Chanos chanos). Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan. Kadar air merupakan karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan yang dapat mempercepat pembusukan (Winarno 2008).

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kulit ikan bandeng memiliki kadar air 64,74±0,68%. Nilai kadar air ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar air kulit ikan nila merah (red tilapia), yakni sebesar 70,43% (Jamilah et al. 2011). Perbedaan kadar air diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yakni perbedaan habitat, kondisi lingkungan, dan perbedaan jenis ikan.

Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam bahan tersebut, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Kadar abu total adalah bagian dari análisis proksimat yang digunakan untuk mengevaluasi nilai gizi suatu bahan pangan (Andarwulan et al. 2011).

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kulit ikan bandeng memiliki kadar abu sebesar 2,43±0,29%. Kadar abu dapat digunakan sebagai petunjuk keberadaan mineral suatu bahan. Kandungan mineral pada kulit ikan diduga berasal dari lapisan dermis. Angka et al. (1984) menyatakan bahwa sisik ikan teleostei

64,74 2,43 4,76 23,74 4,34 0 10 20 30 40 50 60 70

Air Abu Lemak Protein Karbohidrat

P er se n ( % )


(24)

merupakan tulang dermis yang terdiri dari suatu matriks mineral yang membungkus serabut-serabut kolagen yang tebal.

Kadar abu kulit ikan bandeng lebih tinggi dibandingkan dengan kadar abu kulit ikan nila merah (red tilapia), yakni sebesar 0,51% (Jamilah et al. 2011). Perbedaan kadar abu diduga disebabkan oleh perbedaan habitat, kondisi lingkungan, dan perbedaan jenis ikan. Habitat dan kondisi lingkungan yang berbeda memberikan asupan mineral yang berbeda terhadap organisme akuatik di dalamnya. Setiap organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral. Selain itu umur juga diduga memberikan pengaruh terhadap nilai kadar abu kulit ikan bandeng. Hasil penelitian Muyonga et al. (2004) menunjukkan bahwa ikan Lates niloticus dengan umur yang berbeda memiliki nilai kadar abu yang berbeda pada kulitnya. Ikan dewasa memiliki kadar abu lebih tinggi pada kulitnya dibandingkan dengan ikan yang masih muda.

Analisis kadar lemak dilakukan untuk mengetahui komposisi lemak pada kulit ikan bandeng. Lemak merupakan komponen yang larut dalam pelarut organik seperti heksana, eter dan kloroform. Menurut Poedjiadi (1994), lemak hewan umumnya berupa padatan pada suhu ruang, sedangkan lemak yang berasal dari tumbuhan berupa zat cair. Lemak dapat dikatakan sebagai sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Hal ini dikarenakan 1 gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal. Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan energi yang dihasilkan oleh 1 gram protein dan karbohidrat, yaitu 4 kkal. Lemak juga dapat digunakan sebagai sumber asam lemak esensial dan vitamin (A, D, E dan K) (Winarno 2008).

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kulit ikan bandeng memiliki kadar lemak sebesar 4,76±0,03%. Nilai kadar lemak ini cukup tinggi. Tingginya kadar lemak pada kulit ikan bandeng diduga disebabkan adanya lapisan hipodermis atau subkutan pada kulit ikan bandeng. Hipodermis atau lapisan subkutan merupakan bagian kulit yang paling dalam dan paling tipis. Ciri yang paling mencolok dari lapisan ini adalah terdapatnya sel-sel adiposa (lemak) (Chinabut et al. 1991).

Protein merupakan makromolekul yang terbentuk dari asam-asam amino yang berikatan peptida. Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, serta


(25)

berperan sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein merupakan sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun karbohidrat. Molekul protein juga mengandung unsur logam, yakni besi dan tembaga (Winarno 2008).

Hasil pengujian menunjukkan bahwa kulit ikan bandeng memiliki kadar protein dalam jumlah yang tinggi, yaitu 23,74±0,81%. Tingginya kadar protein pada kulit ikan bandeng diduga disebabkan adanya kandungan protein kolagen pada kulit ikan. Lapisan dermis pada kulit ikan terdiri dari stratum spongiosum

dan stratum compactum. Stratum spongiosum merupakan jaringan serat retikulin dan kolagen yang longgar dan mengandung sel-sel pigmen, mastosit (mast cell), sel-sel penumpu sisik, dan sisik (Chinabut et al. 1991). Stratum compactum

dicirikan oleh serabut kolagen yang tersusun rapat di beberapa lapisan dan terletak paralel terhadap permukaan kulit (Putra 1992). Sumber kolagen pada ikan banyak terdapat pada kulit dan sisik.

Karbohidrat memegang peranan penting di alam karena merupakan sumber energi utama. Karbohidrat banyak tersebar di alam. Karbohidrat sangat berperan dalam metabolisme hewan dan tumbuhan. Karbohidrat merupakan salah satu nutrisi dasar dan paling banyak digunakan sebagai sumber energi utama. Energi yang disumbangkan dari karbohidrat sebesar 4 kkal (Almatsier 2001).

Kadar karbohidrat pada kulit ikan bandeng dihitung dengan metode by difference. Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode tersebut menunjukkan bahwa kulit ikan bandeng mengandung karbohidrat sebesar 4,34±0,18%. Kadar karbohidrat yang terhitung diduga merupakan polisakarida yakni glikogen. Hadim et al. (2002) menyatakan bahwa glikogen terdapat dalam jumlah yang paling banyak dari karbohidrat yang terdapat pada ikan. Angka et al. (1984) menyatakan bahwa glikogen berasal dari kelebihan glukosa dalam darah. Stratum spongiosum pada dermis kulit ikan mengandung pembuluh darah yang membawa zat makanan bagi kulit.

4.2 Nilai Organoleptik Kulit Ikan Bandeng pada Penyimpanan Suhu Chilling

Penentuan fase kemunduran mutu kulit ikan bandeng (Chanos chanos) dilakukan menggunakan metode sensori, yaitu secara organoleptik. Pengujian


(26)

organoleptik/sensori merupakan cara pengujian menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk. Penilaian menggunakan alat indera ini meliputi spesifikasi mutu kenampakan, bau, rasa dan konsistensi/tekstur serta beberapa faktor lain yang diperlukan untuk menilai produk. Penentuan fase kemunduran mutu ini dilakukan oleh 15 orang panelis semi terlatih menggunakan

score sheet yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dengan SNI 01-2346-2006. Score sheet adalah alat bantu untuk membimbing panelis dalam menilai mutu suatu produk melalui spesifikasi yang menguraikan tingkatan mutu berdasarkan nilai (BSN 2006).

Kemunduran mutu ikan terdiri dari 4 fase, yaitu prerigor, rigormortis, postrigor, dan busuk (Junianto 2003). Penentuan fase kemunduran mutu kulit ikan bandeng dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap ikan bandeng yang disimpan pada suhu chilling. Ikan dimatikan dengan cara menusuk kepala pada bagian medula oblongata sehingga ikan yang diambil dari tambak langsung mati.

Kualitas ikan mengalami penurunan akibat kematian karena adanya reaksi kimiawi dan pembusukan oleh mikroba, akibatnya nilai sensori ikan semakin menurun (Ozogul et al. 2006). Kulit ikan bandeng mengalami kemunduran mutu seperti halnya ikan bandeng utuh. Kulit ikan bandeng terus mengalami penurunan mutu selama penyimpanan pada suhu chilling. Nilai organoleptik kulit ikan bandeng (Chanos chanos) dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Nilai organoleptik kulit ikan bandeng (Chanos chanos) pada penyimpanan suhu chilling; (

)

Nilai organoleptik kulit ikan bandeng semakin menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Berdasarkan hasil pengamatan, fase prerigor kulit ikan bandeng terjadi pada penyimpanan jam ke-0. Pada fase ini, kulit ikan


(27)

memiliki rata-rata nilai organoleptik 9 dengan ciri-ciri lapisan lendir jernih, transparan, dan mengkilat cerah. Fase rigormortis kulit ikan bandeng terjadi pada penyimpanan jam ke-174 (8 hari). Pada fase ini, kulit ikan memiliki nilai organoleptik 7 dengan ciri-ciri lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih dan kurang transparan. Berdasarkan SNI 01-2346-2006, ikan segar memiliki nilai organoleptik 7-9 (BSN 2006), oleh karena itu ikan pada fase prerigor dan

rigormortis tergolong pada ikan segar.

Kulit ikan bandeng memasuki fase postrigor pada penyimpanan jam ke-318 (14 hari). Nilai organoleptik kulit ikan bandeng turun nilainya menjadi 5 dengan ciri-ciri lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih dan keruh. Kulit ikan bandeng memasuki fase busuk pada penyimpanan jam ke-534 (23 hari). Pada fase ini kulit ikan memiliki nilai organoleptik 2 dengan ciri-ciri lendir tebal menggumpal warna kuning kecoklatan, warna kulit ikan hilang, dan menjadi tampak pucat dan pudar. Pada kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan dapat diperlambat. Dengan demikian, kesegaran ikan akan semakin lama dipertahankan (Junianto 2003).

4.3Histologi Kulit Ikan Bandeng pada Setiap Fase Kemunduran Mutu

Kulit menutupi seluruh permukaan luar tubuh. Kulit mempunyai fungsi yang sangat besar bagi organisme. Kulit merupakan barier terhadap invasi mikroorganisme dan mempunyai efek sebagai pelindung terhadap rangsang mekanis, rangsang termis dan rangsang osmotik. Kulit mempunyai kemampuan untuk absorpsi (Genesser 1994). Sebagian kulit (pada insang) berperan dalam sistem respirasi (pertukaran gas) dan osmoregulasi (dalam pertukaran ion-ion).

Selain itu, kulit mengeksresikan lendir dan terlibat dalam fungsi syaraf (Angka et al. 1984, Irianto 2005).

Ikan mudah mengalami kebusukan selama penyimpanan post mortem akibat aktivitas enzim proteolitik baik pada otot maupun jaringan ikat (Wang et al.

2011). Unsur utama penyusun kulit adalah jaringan ikat kolagen, oleh karena itu kulit ikan bandeng juga mengalami kemunduran mutu seperti ikan bandeng utuh. Mikrostruktur kulit ikan bandeng mengalami perubahan selama fase kemunduran mutu. Mikrostruktur kulit ikan bandeng selama fase kemunduran mutu dapat dilihat pada Gambar 7-10.


(28)

Pigmen melanin sel mukus Epidermis

a

inti sel Dermis

b

46,7 μm

d c Hipodermis

Gambar 7 Penampang melintang kulit ikan bandeng (Chanos chanos) fase prerigor (H&E); a: stratum spongiosum; b: stratum compactum;c: sel lemak; d: pigmen melanin.

Pigmen melanin

Epidermis a

degenerasi Inti sel

b

Dermis

37 μm d c

Gambar 8 Penampang melintang kulit ikan bandeng (Chanos chanos) fase

rigormortis (H&E); a: stratum spongiosum; b: stratum compactum; c: sel lemak; d: pigmen melanin.


(29)

a

Dermis

b

36,3 μm Hipodermis

Gambar 9 Penampang melintang kulit ikan bandeng (Chanos chanos) fase

postrigor (H&E); a: stratum spongiosum; b: stratum compactum. Keterangan: pemutusan jaringan kolagen

Hilangnya jaringan akibat nekrosis

a

Dermis

b 34,3 μm

bakteri Hipodermis

Gambar 10 Penampang melintang kulit ikan bandeng (Chanos chanos) fase busuk (H&E); a: stratum spongiosum; b: stratum compactum.


(30)

a b

Gambar 11 Koloni bakteri pembusuk pada fase busuk kulit ikan bandeng (Chanos chanos); a: kokus; b: basil (H&E).

Fase prerigor (Gambar 7) adalah fase sesaat setelah ikan mati. Kulit ikan bandeng belum mengalami kerusakan pada fase ini. Jaringan epidermis, dermis maupun hipodermis atau subkutan masih tersusun rapi, padat, dan kompak. Lapisan epidermis terdiri dari kelenjar mukus yang berwarna ungu-kebiruan dan pigmen melanin yang berwarna hitam. Lapisan dermis terdiri dari stratum spongiosum dan stratum compactum yang berwarna merah muda dan inti sel yang berwarna ungu-kebiruan.

Sel mukus dan inti sel berwarna ungu-kebiruan, sedangkan jaringan lainnya berwarna merah muda. Angka et al. (1990) menyatakan bahwa hematoksilin bekerja sebagai pewarna basa artinya zat ini mewarnai unsur basofilik jaringan menjadi ungu-kebiruan. Eosin bersifat asam dan memulas komponen asidofilik menjadi merah muda. Sel mukus bersifat basofillik sehingga dapat menyerap pewarna hematoksilin, sedangkan jaringan lainnya bersifat asidofilik sehingga menyerap pewarna eosin.

Pigmen melanin yang berwarna hitam terdapat pada lapisan epidermis dan lapisan dermis kulit ikan. Hawkes (1974) diacu dalam Yasutake and Wales (1983) menyatakan bahwa pigmen melanin terdapat pada kulit ikan di bagian epidermis antara sisik dengan kelenjar mukus dan pada lapisan subkutan di jaringan lemak. Lapisan hipodermis atau subkutan merupakan bagian kulit yang paling dalam dan paling tipis. Ciri yang paling mencolok dari lapisan hipodermis adalah terdapatnya lapisan lemak (Chinabut et al. 1991). Berdasarkan hasil sajian histologi, jaringan lemak pada lapisan hipodermis tampak seperti ruang-ruang bundar kosong. Cormack (1994) menyatakan bahwa ruang-ruang kosong yang terlihat pada sajian


(31)

histologi diakibatkan larutnya lemak yang dipakai dalam pembuatan sajian parafin.

Fase rigormortis (Gambar 8) adalah fase yang terjadi ketika ikan mengalami kekakuan (kekejangan). Morkore (2006) menyatakan bahwa pada fase ini terjadi akumulasi asam laktat yang menyebabkan terjadinya penurunan pH serta mulainya proses autolisis atau penghancuran diri sendiri akibat aktivitas enzim. Hasil pengamatan sajian histologi kulit ikan bandeng pada fase rigormortis

menunjukkan warna merah yang lebih pekat dibandingkan dengan fase prerigor.

Hal ini diduga disebabkan jaringan ikan menyerap pewarna eosin secara dominan karena jaringan bersifat asam. Cormack (1994) menyatakan bahwa kedalaman warna asidofil sangat tergantung pada pH yang dipakai selama pewarnaan. Pada pH asam tersedia lebih banyak ion bermuatan positif untuk menyerap eosin.

Kerusakan jaringan kulit ikan mulai terlihat pada fase rigormortis. Jaringan kulit ikan mengalami degenerasi. Clive dan Talor (2005) menyatakan bahwa degenerasi merupakan perubahan fungsi biokimiawi, perubahan struktural ataupun kombinasi dari keduanya. Degenerasi merupakan awal terjadinya nekrosis atau kematian sel yang bersifat ireversibel. Degenerasi terjadi akibat berkurangya pasokan oksigen sehingga metabolisme sel terganggu. Terjadinya degenerasi pada jaringan kulit ikan bandeng dapat terlihat dari adanya pembengkakan jaringan kulit ikan dan terjadinya penebalan pada jaringan ikat kolagen.

Fase postrigor (Gambar 9) adalah fase awal kebusukan ikan. Proses autolisis berlangsung pada tahap ini. Autolisis terjadi disebabkan adanya enzim-enzim endogenous yang ada di dalam tubuh ikan (Ocano-Higuera et al.

2009). Gambar 9 memperlihatkan bahwa lapisan hipodermis mengalami kerusakan. Lapisan stratum spongiosum tidak lagi tersusun rapi. Stratum spongiosum dan stratum compactum mengalami pemutusan jaringan ikat kolagen yang ditunjukkan dengan tanda panah berwarna hitam. Terjadinya degradasi jaringan ikat kolagen diduga disebabkan oleh enzim endogenous yang ada di dalam tubuh ikan.

Hannesson et al. (2003) diacu dalam Ofstad et al. (2005) menyatakan bahwa degradasi kolagen dapat disebabkan oleh enzim matriks metalokolagenase.


(32)

Lapisan stratum spongiosum pada fase postrigor mengalami kariolisis. Hal ini dapat dilihat dari hilangnya inti sel pada lapisan tersebut. Price dan Wilson (2006) menyatakan bahwa kariolisis merupakan salah satu jenis kematian sel (nekrosis) yang ditandai dengan menyusutnya inti sel dan lama kelamaan intinya menghilang.

Fase busuk (Gambar 10) menandai akhir dari kemunduran mutu dimana ikan tidak dapat dikonsumsi lagi. Fase ini ditandai dengan meningkatnya jumlah bakteri pembusuk pada ikan. Lapisan dermis pada fase ini mengalami nekrosis secara total. Inti sel pada lapisan stratum spongiosum dan stratum compactum

telah hilang. Selain itu, terdapat ruang-ruang kosong pada jaringan dermis. Hal ini diduga diakibatkan oleh proses nekrosis pada jaringan kulit ikan. Price dan Wilson (2006) menyatakan bahwa jaringan yang mengalami nekrosis lama kelamaan akan hancur dan hilang karena dicerna oleh enzim dan juga bakteri. Ketebalan jaringan kulit ikan semakin menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Hal ini diduga karena terjadinya proses nekrosis pada jaringan kulit ikan.

Koloni yang berwarna ungu pekat (Gambar 11) pada bagian hipodermis fase busuk diduga merupakan bakteri pembusuk. Sel tersebut bersifat basofilik sehingga menyerap pewarna hematoksilin secara dominan. Volk dan Wheeler (1993) diacu dalam Soni (2010) menyatakan bahwa hubungan antara bakteri dengan zat pewarna basa yang menonjol disebabkan kandungan asam nukleat dalam jumlah besar pada sel bakteri. Muatan negatif asam nukleat dari sel bakteri akan bereaksi dengan muatan positif dari zat pewarna basa, sedangkan zat pewarna asam akan ditolak oleh muatan negatif bakteri.


(33)

4 KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Kulit ikan bandeng mengandung protein yang tinggi yaitu sebesar 23,74%; lemak 4,76%; abu 2,43%; air 64,74%; dan karbohidrat sebesar 4,34%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fase prerigor kulit ikan bandeng terjadi sesaat setelah ikan mati (penyimpanan jam ke-0), rigormortis terjadi pada penyimpanan jam ke-174 (8 hari), postrigor penyimpananjam ke-318 (14 hari), dan fase busuk pada penyimpanan jam ke-534 (23 hari).

Kulit ikan bandeng pada fase prerigor belum mengalami kerusakan. Lapisan epidermis, dermis dan hipodermis masih tersusun rapi, padat dan kompak. Kulit ikan bandeng mulai mengalami kerusakan pada fase rigormortis, yakni mengalami degenerasi. Lapisan stratum spongiosum pada fase postrigor

mengalami kariolisis. Lapisan dermis kulit ikan pada fase busuk mengalami nekrosis secara total yang ditandai dengan hilangnya inti sel pada lapisan tersebut. Pada fase ini juga terlihat adanya koloni bakteri pembusuk yang berwarna ungu pekat. Ketebalan jaringan kulit ikan bandeng menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan.

4.2 Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah menggunakan pewarna lain agar dapat dijadikan sebagai pembanding dalam pembuatan preparat kulit ikan. Selain itu perlu dilakukan penelitian tentang mikrostruktur kulit ikan air tawar dan air laut yang masih memiliki sisik untuk mengamati perbedaan struktur kulit dari habitat ikan yang berbeda serta perlu dilakukannya identifikasi bakteri pembusuk pada jaringan kulit ikan yang disimpan pada suhu chilling.


(34)

SUHU CHILLING MELALUI PENGAMATAN HISTOLOGIS

MEDAL LINTAS PERCEKA C34070032

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(35)

Mutu Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos) Selama Penyimpanan Suhu Chilling

Melalui Pengamatan Histologis. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan SRI NURYATI.

Ikan bandeng merupakan ikan tambak komoditas unggulan. Produksi ikan bandeng di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Kulit ikan merupakan salah satu bagian pada ikan yang banyak dimanfaatkan selain dagingnya. Kulit ikan banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses pembuatan kerupuk kulit ikan, gelatin, kulit olahan, bahan perekat, serta sumber kolagen untuk kosmetik. Kulit ikan mudah mengalami kebusukan seperti halnya ikan utuh. Tingginya kandungan protein pada kulit ikan menyebabkan kulit ikan mudah mengalami kebusukan. Analisis mikrobiologi, kimia, fisik, dan metode sensori secara organoleptik telah banyak dilakukan untuk mengevaluasi tingkat kesegaran ikan. Informasi dan data mengenai kemunduran mutu secara histologi belum banyak diungkap, oleh karena itu pengukuran mutu secara histologi diperlukan untuk mengungkap karakteristik atau sifat-sifat mutu bahan baku yang tersembunyi.

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menentukan komposisi kimia kulit ikan bandeng, menentukan fase post mortem kulit ikan bandeng pada penyimpanan suhu chilling, serta membandingkan mikrostruktur kulit ikan bandeng pada setiap fase kemunduran mutu. Penelitian ini dilakukan dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah pengambilan dan preparasi sampel untuk pengujian proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat). Bagian kedua adalah pembuatan preparat kulit ikan awetan dan bagian ketiga adalah pengamatan struktur jaringan kulit ikan bandeng menggunakan mikroskop.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kulit ikan bandeng mengandung kadar air sebesar 64,74%, abu 2,43%, lemak 4,76%, protein 23,74%, dan karbohidrat sebesar 4,34%. Nilai organoleptik kulit ikan bandeng menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Kulit ikan bandeng memasuki fase prerigor

pada penyimpanan jam ke-0, fase rigormortis pada penyimpanan jam ke-174 (8 hari), fase postrigor pada jam ke-318 (14 hari), dan memasuki fase busuk pada jam ke-534 (23 hari). Kulit ikan bandeng mulai mengalami kerusakan pada fase

rigormortis, yaitu terjadi degenerasi pada lapisan dermis. Pada fase postrigor dan busuk terjadi kematian sel yang ditandai dengan hilangnya inti sel pada lapisan kulit ikan. Pada fase busuk terlihat adanya koloni bakteri pembusuk. Ketebalan jaringan kulit ikan bandeng menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Hal ini diduga diakibatkan oleh terjadinya proses nekrosis pada jaringan kulit ikan.


(36)

SUHU CHILLING MELALUI PENGAMATAN HISTOLOGIS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

MEDAL LINTAS PERCEKA C34070032

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(37)

Judul : Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos) selama Penyimpanan Suhu Chilling melalui

Pengamatan Histologis Nama : Medal Lintas Perceka NIM : C34070032

Menyetujui : Komisi Pembimbing

Pembimbing 1 Pembimbing II

(Dr. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si) (Dr. Sri Nuryati, S.Pi, M.Si) NIP 19700807 199603 2 002 NIP 19710606 199512 2 001

Mengetahui :

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil. NIP :19580511 198503 1 002


(38)

Saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos) selama Penyimpanan Suhu Chilling melalui Pengamatan Histologis” adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari kutipan atau karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di akhir bagian skripsi ini.

Bogor, Nopember 2011

Medal Lintas Perceka C34070032


(39)

Oktober 1988. Penulis merupakan anak kedua dari 3 bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Ahmad Marsuli dan Ibu Umi Kulsum.

Penulis telah menempuh jalur pendidikan SDN Leuwidaun 1 lulus pada tahun 2001, SLTPN 2 Garut lulus pada tahun 2004 dan SMAN 1 Tarogong (sekarang SMAN 1 Garut) lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di dalam kegiatan organisasi mahasiswa daerah Garut (OMDA Garut), Bina Desa BEM KM IPB, Pengembangan Kreatifitas Mahasiswa Bidang Penelitian (PKM-P) dan juga sebagai anggota Fisheries Processing Club (FPC). Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif sebagai Asisten Luar Biasa Mata Kuliah Ikhtiologi Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan tahun ajaran 2009, Asisten Mata Kuliah Teknologi Pengembangan Kitin dan Kitosan pada tahun ajaran 2011 serta Asisten Teknologi Penanganan Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan tahun ajaran 2011. Penulis juga merupakan finalis Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) XXIV di Makasar pada tahun 2011.

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos) selama Penyimpanan Suhu Chilling melalui Pengamatan Histologis dibawah bimbingan Dr. Tati Nurhayati S.Pi, M.Si dan Dr. Sri Nuryati S.Pi, M.Si.


(40)

Puji Syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

”Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos) selama Penyimpanan Suhu Chilling melalui Pengamatan Histologis” ini dengan baik. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada :

1. Dr. Tati Nurhayati S.Pi, M.Si dan Dr. Sri Nuryati S.Pi, M.Si selaku komisi pembimbing atas arahan, bimbingan, ilmu, nasehat, dan semangat kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini

2. Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb, Dipl.-Biol selaku Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah banyak membantu dan memberikan arahan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

3. drh. Ekowati Handharyani, MS., Ph.D., APVet yang telah banyak memberikan ilmu dan juga bantuan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS., MPhil. selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.

5. Ayah dan Ibu atas doa, dorongan dan dukungan serta Kakak dan Adek yang juga memberikan semangat kepada Penulis.

6. Seluruh staf, dosen dan TU THP atas bantuan dan dukungannya.

7. Bapak Ranta (BDP), Bapak Kasnadi (FKH) dan Mba Kiki (FKH) yang telah banyak membantu penulis.

8. Nani Deviyanti, Mery Purnamasarie, Leni Asnita BR Lingga, Ria Octavia, Ahmad Zahid, Khoerunnisa, Mariah, Desie Rachmania atas semua dukungan dan bantuannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.


(41)

10.Para panelis THP 44 yang telah bersedia melakukan tes organoleptik selama 24 hari sampai ikan mengalami kebusukan.

11.Teman-teman THP 44 yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

12.Seluruh civitas THP lain yang telah banyak membantu penulis

13.Semua pihak yang telah membantu Penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Nopember 2011

Medal Lintas Perceka C34070032


(42)

DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos) ... 3 2.2 Anatomi Kulit Ikan ... 4 2.3 Kemunduran Mutu Ikan ... 6 2.3.1 Prerigor ... 6 2.3.2 Rigormortis ... 7 2.3.3 Postrigor ... 7 2.3.4 Busuk... 7 2.4 Pemeriksaan Histologi ... 8 2.5 Pembuatan Preparat Histologi dengan Metode Parafin ... 9 2.5.1 Fiksasi ... 9 2.5.2 Dehidrasi ... 10 2.5.3 Clearing (penjernihan) ... 10 2.5.4 Impregnasi dan embedding ... 11 2.5.5 Blocking dan trimming ... 11 2.5.6 Pemotongan jaringan ... 12 2.5.7 Pewarnaan dan perekatan jaringan ... 12 3 METODOLOGI ... 14 3.1 Waktu dan Tempat ... 14 3.2 Bahan dan Alat ... 14 3.3 Metode Pengambilan Sampel ... 14 3.4 Prosedur Analisis ... 15 3.4.1 Uji organoleptik (BSN 2006) ... 15 3.4.2 Analisis proksimat (AOAC 2005) ... 15 3.4.3 Pembuatan preparat dengan metode parafin (Angka et al. 1984) ... 18 3.5 Analisis Data ... 21 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 22 4.1 Komposisi Kimia Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos) ... 22 4.2 Nilai Organoleptik Kulit Ikan Bandeng pada Penyimpanan Suhu Chilling . 25


(43)

5.1 Kesimpulan ... 33 5.2 Saran ... 33 DAFTAR PUSTAKA ... 34 LAMPIRAN ... 38


(44)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi kimia ikan bandeng (Chanos chanos) segar ... 4


(45)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Morfologi ikan bandeng (Chanos chanos) ... 3 2 Mikrostruktur kulit ikan catfish (H&E, perbesaran 52x)

(T: taste buds, P: pigmen melanin, H: hypodermis)... 5 3 Diagram alir pembuatan preparat kulit ikan bandeng

(Chanos chanos)... 20 4 Ikan bandeng (Chanos chanos) dari Tanjung Pasir ... 22 5 Hasil analisis proksimat kulit ikan bandeng (Chanos chanos) ... 23 6 Nilai organoleptik kulit ikan bandeng (Chanos chanos) pada

penyimpanan suhu chilling ... 26 7 Penampang melintang kulit ikan bandeng (Chanos chanos)

fase prerigor (H&E) ... 28 8 Penampang melintang kulit ikan bandeng (Chanos chanos)

fase rigormortis (H&E) ... 28 9 Penampang melintang kulit ikan bandeng (Chanos chanos)

fase postrigor (H&E) ... 29 10 Penampang melintang kulit ikan bandeng (Chanos chanos)

fase busuk (H&E) ... 29 11 Koloni bakteri pembusuk pada fase busuk kulit ikan bandeng


(46)

Halaman 1 Score sheet uji organoleptik ikan segar ... 38 2 Pembuatan preparat kulit ikan dengan metode parafin ... 40


(47)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki sumber daya perikanan yang cukup besar. Produksi perikanan Indonesia berasal dari kegiatan perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Produksi perikanan tangkap pada tahun 2002 tercatat sebesar 4.378.495 ton, sedangkan produksi perikanan budidaya adalah 1.076.750 ton (Irianto dan Giyatmi 2009). Sebagian dari hasil produksi tersebut digunakan sebagai bahan baku pengolahan hasil perikanan.

Ikan bandeng merupakan salah satu ikan yang menjadi komoditas unggulan. Budidaya ikan bandeng telah lama dikenal oleh petani dan saat ini telah berkembang di hampir seluruh wilayah perairan Indonesia. Budidaya ikan bandeng tidak hanya berkembang di air payau saja, namun saat ini juga sedang berkembang di air tawar maupun laut dengan sistem keramba jaring apung (KJA). Produksi ikan bandeng di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun ke tahun yakni 23,60% pada tahun 2007; 5,32% pada tahun 2008; 18,6% pada tahun 2009. Data produksi ikan bandeng mengalami peningkatan tajam yaitu sebesar 47,19% pada tahun 2010 (Kelompok Kerja Data Statistik Kelautan dan Perikanan 2010).

Ikan bandeng merupakan ikan yang diminati oleh semua kalangan, karena ikan ini memiliki sumber protein yang tidak memiliki resiko kolesterol, sumber protein, lemak, vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kesehatan. Ikan bandeng menjadi komoditas unggulan dan olahannya pun menjadi makanan khas pada beberapa provinsi. Daging ikan yang sangat enak, rendah kolesterol dan mudah dicerna, tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi konsumen. Kandungan gizi per-100 gram daging ikan bandeng terdiri dari energi sebesar 129 kkal, protein sebesar 20 g, lemak sebesar 4,8 g, kalsium sebesar 20 mg, fosfor sebesar 150 mg, besi sebesar 2 mg, vitamin A sebesar 150 SI serta vitamin B1 sebesar 0,05 mg (DJPB 2010).

Kulit ikan merupakan salah satu bagian pada ikan yang banyak dimanfaatkan selain dagingnya. Kulit ikan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan maupun non pangan. Kulit ikan banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses pembuatan kerupuk kulit ikan, gelatin, kulit olahan, bahan perekat,


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia

Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta: Dian Rakyat.

Angka SL, Mokoginta I, Dana D. 1984. Pengendalian Penyakit Ikan Histologi dan Hematologi Ikan-ikan Air Tawar yang Dibudidayakan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Institut Pertanian Bogor.

Angka SL, Mokoginta I, Hamid H. 1990. Anatomi dan Histologi Banding Beberapa Ikan Air Tawar yang Dibudidayakan di Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Institut Pertanian Bogor.

Anonim. 2010. Ikan Bandeng. http://www.google.co.id [01 Februari 2011]

[AOAC] Association of Official Analytical Chemyst. 2005. Official Method of Analysis of The Assosiation of Official Analytical Chemist. Arlington, Virginia, USA: Association of Official Analytical Chemist, Inc.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. Petunjuk Organoleptik Ikan Segar. Jakarta: Standar Nasional Indonesia 01-2346-2006.

Cheret R, Delbarre-Ladrat C, Lamballerie-Anton M, Verrez-Bagnis V. 2007. Calpain and cathepsin activities in post mortem fish and meat muscles. J Food Chem 101(4):1474-1479.

Chinabut S, Limsuwan C, Kitsawat P. 1991. Histology of The Walking Catfish, Clarias Bathracus. Departement of Fisheries Thailand.

Clive R, Taylor. 2005. Patologi Anatomi. http://www.scribd.com/doc [16 Oktober 2011].

Cormack DH. 1994. Ham’s Histology. Tambajong J, penerjemah. Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Ham’s Histology.

[DJPB] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2010. Sepuluh Besar Provinsi Penghasil Bandeng Nasional. http://www.litbang.kkp.go.id [01 Februari 2011] Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Foods. Second edition. San Diego: Academic

Press.

Geneser F. 1994. Buku Teks Histologi. Gunawijaya A, Kartawiguna E, Arkeman H, penerjemah. Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Text of Histology.


(2)

35

Ghufron M dan Kardi H. 1997. Budidaya Kepiting dan Ikan Bandeng di Tambak Sistem Polikultur. Semarang: Dahara Prize.

Gram L, Dalgaard P. 2002. Fish spoilage bacteria problems and solutions. Current Opinion in Biotechnology 13(3):262–266.

Gunarso W. 1986. Pengaruh pemakaian dua jenis cairan fiksatif yang berbeda pada pembuatan preparat dari jaringan hewan dalam metoda mikroteknik dengan parafin. Di dalam: Proyek Peningkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi, Institut Pertanian Bogor. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Hadim E, Djawad MI, Karim MY. 2002. Kondisi glikogen dalam hati juvenil ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) yang dibantut. Jurnal Teknologi Pangan (3)3:1-9

Irianto A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Yogyakarta : Gajah mada University Press.

Irianto dan Giyatmi. 2009. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Jamilah, Tan, Umi Hartina, dan Azizah. 2011. Gelatins from three cultured freshwater fish skin obtained by liming process. J Food Hydrocolloids 25(5):1256-1260.

Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya.

Kelompok Kerja Data Statistik Kelautan dan Perikanan. 2010. Kelautan dan Perikanan dalam Angka. Jakarta: Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kiernan. 1990. Histological and Histochemical Methods. Oxford: Pergamon Press Mahmoud BSM, K Yamazaki, K Miyashita, II Shin, T Suzuki. 2006. A new

technology of fish preservation by combined treatment with electrolysed NaCl solutions and essential oil compounds. J Food Chem 99(4):656-662.

Morkore. 2006. Relevance of dietary oil source for contraction and quality of pre-rigor filleted atlantic cod, Gadus Morhua. J Aquaculture 251(1):56-65.

Murtidjo BA. 1989. Budidaya Udang dan Bandeng. Yogyakarta: Kanisus.

Muyonga, Cole, Duodu. 2004. extraction and physico-chemical characterisation of nile perch (Lates niloticus) skin and bone gelatin. J Food Hydrocolloids 18(4):581-592.


(3)

Ocano-Higuera, Maeda-Martinez, Lugo-Sanchez, Pacheco-Anguilar. 2006. Postmorten biochemical and textural changes in the adductor muscle of catarina scallop stored at 0 oC. J Food Biochem 4: 373-389.

Ocano-Higuera VM, Marquez-Rios E, Canizales-Davila M, Castillo-Yanez, Pacheco-AguilarR, Lugo-Sanchez ME, Garcia-Orozco, Graciano-Verdugo. 2009. Postmortem changes in cazon fish muscle stored on ice. J Food Chem 116(4):933-938

Ocano-Higuera VM, Maeda-Martinez AM, Marquez-Rios E, Canizales-Rodríguez DF, Castillo-Yanez FJ, Ruíz-Bustos E, Graciano-Verdugo AZ, Plascencia-Jatomea M. 2011. Freshness assessment of ray fish stored in ice by biochemical, chemical and physical methods. J Food Chem 125(1): 49-54. Ofstad R, Olsen LR, Taylor R, Hanesson KO. 2005. Breakdown of intramuscular

connective tissue in cod (Gadus morhua L.) and spotted wolffish (Anarhichas minor O.) related to gaping. J Food Sci Technol 39(10):1143-1154.

Olafsdottir, Martinsdottir, Oehlenschbger, Dalgaard, Jensen, Undeland, Mackie, Henehan, Nielsen, dan Nilsen. 1997. Method to evaluate fish freshness in research and industry. Trends in Food Sci Technol 8(8):258-265.

Ozogul Y, Ozogul F, Kuley E, Ozkutuk, Gokbulut C, Kose S. 2006. Biochemical, sensory and microbiological attributes of wild turbot (Schophthalmus

maximus) from the black sea during chilled storage. J Food Chem 99(4):752-758.

Poedjiadi A. 1994. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta: UI Press.

Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi. Volume 1. Philadelphia: EGC.

Putra AM. 1992. Patologi ikan lele dumbo (Clarias sp.) ukuran fingerling yang disuntik intramuskuler dengan bakteri Aeromonas hydrophila galur virulen [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Rahmat A, Sahubawa L, Yusuf I. 2008. Pengaruh pengulangan pengapuran dengan kapur tohor (CaO) terhadap kualitas fisik kulit pari tersamak. Majalah Kulit, Karet dan Plastik 24:19-24

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid I dan II. Bandung: Bina Cipta.

Saparinto C, Ida P, Diana H. 2006. Bandeng Duri Lunak. Yogyakarta: Kanisus. Sass JE. 1951. Botanical Microtechnique. Iowa: The Iowa State Collage Press. Sastrohadinoto S, Hartono R, Sikar S, Soegiri N, Sukra J. 1973. Makro dan


(4)

37

Schwinger G, Zanger K, Greven H. 2001. Structural and mechanical aspect of the skin of Bufo marinus (Anura, Amphibia). J Tissue and Cell 33(5):541-547. Skjervold PO, Rora AM, Fjara SO, Vegusdal A, Vorre A, Einen O. 2001. Effects

of pre-, in-, or post-rigor filleting of live chilled Atlantic salmon. J Aquaculture 194(3-4):315-326.

Soni A. 2010. Pewarnaan Sel (Bakteri dan Jamur) dan Pewarnaan Endospora. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Brawijaya, Malang.

Wang PA, Vang B, Pedersen AM, Martinez I, Olsen RL. 2011. Post-mortem degradation of myosin heavy chain in intact fish muscle: effects of pH and enzyme inhibitors. J Food Chem 124(3):1090-1095.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.

Yasutake WT, Wales JH. 1983. Microscopic Anatomy of Salmonids: An Atlas. Washington: United States Department of The Interior Fish and Wildlife Service.


(5)

a. Fiksasi b. dehidrasi c. clearing

f. trimming e. blocking d. impregnasi dan embedding

g. pemotongan h. pewarnaan i. perekatan


(6)

RINGKASAN

MEDAL LINTAS PERCEKA. C34070032. Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Kulit Ikan Bandeng (Chanos chanos) Selama Penyimpanan Suhu Chilling Melalui Pengamatan Histologis. Dibimbing oleh TATI NURHAYATI dan SRI NURYATI.

Ikan bandeng merupakan ikan tambak komoditas unggulan. Produksi ikan bandeng di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Kulit ikan merupakan salah satu bagian pada ikan yang banyak dimanfaatkan selain dagingnya. Kulit ikan banyak digunakan sebagai bahan baku dalam proses pembuatan kerupuk kulit ikan, gelatin, kulit olahan, bahan perekat, serta sumber kolagen untuk kosmetik. Kulit ikan mudah mengalami kebusukan seperti halnya ikan utuh. Tingginya kandungan protein pada kulit ikan menyebabkan kulit ikan mudah mengalami kebusukan. Analisis mikrobiologi, kimia, fisik, dan metode sensori secara organoleptik telah banyak dilakukan untuk mengevaluasi tingkat kesegaran ikan. Informasi dan data mengenai kemunduran mutu secara histologi belum banyak diungkap, oleh karena itu pengukuran mutu secara histologi diperlukan untuk mengungkap karakteristik atau sifat-sifat mutu bahan baku yang tersembunyi.

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menentukan komposisi kimia kulit ikan bandeng, menentukan fase post mortem kulit ikan bandeng pada penyimpanan suhu chilling, serta membandingkan mikrostruktur kulit ikan bandeng pada setiap fase kemunduran mutu. Penelitian ini dilakukan dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah pengambilan dan preparasi sampel untuk pengujian proksimat (kadar air, abu, lemak, protein, dan karbohidrat). Bagian kedua adalah pembuatan preparat kulit ikan awetan dan bagian ketiga adalah pengamatan struktur jaringan kulit ikan bandeng menggunakan mikroskop.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kulit ikan bandeng mengandung kadar air sebesar 64,74%, abu 2,43%, lemak 4,76%, protein 23,74%, dan karbohidrat sebesar 4,34%. Nilai organoleptik kulit ikan bandeng menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Kulit ikan bandeng memasuki fase prerigor pada penyimpanan jam ke-0, fase rigormortis pada penyimpanan jam ke-174 (8 hari), fase postrigor pada jam ke-318 (14 hari), dan memasuki fase busuk pada jam ke-534 (23 hari). Kulit ikan bandeng mulai mengalami kerusakan pada fase rigormortis, yaitu terjadi degenerasi pada lapisan dermis. Pada fase postrigor dan busuk terjadi kematian sel yang ditandai dengan hilangnya inti sel pada lapisan kulit ikan. Pada fase busuk terlihat adanya koloni bakteri pembusuk. Ketebalan jaringan kulit ikan bandeng menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Hal ini diduga diakibatkan oleh terjadinya proses nekrosis pada jaringan kulit ikan.