Kesesuaian Penerapan Manajemen Mutu Ikan Pindang Bandeng (Chanos Chanos) Terhadap Standar Nasional Indonesia.

(1)

KESESUAIAN PENERAPAN MANAJEMEN MUTU

IKAN PINDANG BANDENG (

Chanos chanos

)

TERHADAP STANDAR NASIONAL INDONESIA

ELIS MASRIFAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(2)

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kesesuaian Penerapan Manajemen Mutu Ikan Pindang Bandeng (Chanos chanos) Terhadap Standar Nasional Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Elis Masrifah


(4)

RINGKASAN

ELIS MASRIFAH. Kesesuaian Penerapan Manajemen Mutu Ikan Pindang Bandeng (Chanos chanos) Terhadap Standar Nasional Indonesia. Dibimbing oleh BAMBANG PRAMUDYA NOORACHMAT dan ANGGRAINI SUKMAWATI.

Pengolahan hasil perikanan memegang peranan penting dalam kegiatan pascapanen, mengingat hasil perikanan merupakan komoditi yang sifatnya mudah rusak (perishable goods). Oleh karena itu diperlukan penanganan cepat dan tepat untuk menjaga mutunya hingga produk sampai ke tangan konsumen. Ikan pindang merupakan salah satu produk olahan ikan tradisional yang sangat populer dan banyak disukai oleh masyarakat Indonesia. Namun, pengolahan ikan pindang secara tradisional biasanya kurang memerhatikan aspek sanitasi dan higiene sehingga menyebabkan rendahnya mutu simpan dan keamanan ikan pindang.

Mutu adalah keseluruhan ciri atau karakteristik produk dalam tujuannya untuk memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen. Selain itu, mutu produk merupakan hal yang sangat penting dalam menciptakan strategi bersaing dengan perusahaan lain, memberikan nilai tambah, memperpanjang masa simpan dan edar serta memperluas jangkauan pemasaran. Upaya yang harus dilakukan dalam rangka peningkatan mutu produk hasil perikanan adalah dengan cara mengendalikan proses pengolahan dengan penerapan sistem manajemen keamanan pangan berupa Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP).

Salah satu unit pengolahan ikan (UPI) pemindangan di Kabupaten Bogor adalah Cindy Group . Berbagai macam jenis ikan diolah menjadi ikan pindang salah satunya adalah ikan bandeng (Chanos chanos). Keberhasilan proses pengolahan ikan sangat dipengaruhi oleh mutu bahan baku, cara penanganan dan pengolahan, serta kondisi lingkungan. Untuk menghasilkan produk pengolahan ikan yang berkualitas dan terjamin keamanannya perlu perhatian cara pengawasan dan penanganan produk mulai dari proses pengolahan hingga produk sampai ke tangan konsumen.

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah 1) Menganalisis tingkat penerapan kelayakan dasar (GMP dan SSOP) pengolahan ikan pindang bandeng yang diproduksi oleh Cindy Group, 2) Menganalisis kesesuaian mutu setiap karakteristik ikan pindang bandeng yang di produksi oleh Cindy Group terhadap persyaratan SNI Ikan Pindang, (3) Menganalisis permasalahan manajemen mutu di Cindy Group. Metode penelitian bersifat deskriptif, responden 30 orang. Proses pengambilan data dilakukan dengan cara survey, observasi dan wawancara. Pengambilan contoh produk pindang ikan bandeng mengacu pada SNI 2326:2010 tentang metoda pengambilan contoh pada produk perikanan. Tipe contoh yang digunakan adalah contoh tunggal. Jumlah contoh yang mewakili populasi yaitu sebanyak lima unit untuk setiap lot. Contoh produk dianalisis organoleptik, mikrobiologi dan kimia. Uji statistik dilakukan dengan uji Anova (Program SPSS versi 20).


(5)

Hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan penilaian terhadap tingkat penerapan kelayakan dasar (GMP dan SSOP) menggunakan daftar penilaian UPI yang diterbitkan oleh Ditjen P2HP tahun 2007 menunjukkan bahwa Cindy Group memperoleh nilai SKP dengan rating “B” karena terdapat beberapa penyimpangan, yaitu 4 penyimpangan minor, 2 penyimpangan mayor, dan 1 penyimpangan serius. Nilai SKP pada hasil penelitian ini berbeda dengan nilai SKP yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2013 yaitu rating “A”. Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu dilakukan tindakan koreksi untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sehingga rating SKP Cindy Group dapat meningkat.

Secara Organoleptik dan kimia pada umumnya mutu produk ikan pindang bandeng sudah memenuhi standar mutu menurut SNI. Hasil uji organoleptik menggunakan uji hedonik menunjukkan nilai rataan diatas angka 7. Hal ini menunjukan bahwa mutu produk ikan pindang bandeng produksi Cindy Group dikaji dari karakteristik sensori maupun penerimaan konsumen telah memenuhi standar SNI. Secara keseluruhan, tingkat penerapan program kelayakan dasar pada pengolahan ikan pindang bandeng Cindy Group sudah cukup baik, persentase tingkat penerapan kelayakan dasar sebesar 92%. Sehingga secara umum produk ini layak untuk didaftarkan ke BSN agar dapat mencantumkan label SNI pada kemasan produknya.

Permasalahan manajemen mutu yang terjadi di Cindy Group adalah kurangnya modal usaha sehingga kapasitas produksi yang dihasilkan rendah, hal ini menjadi kendala bagi perusahaan dalam upaya perluasan pangsa pasar. Berdasarkan analisis identifikasi permasalahan dengan menggunakan fishbone diagram, ditetapkan beberapa faktor yang berpengaruh terhadap permasalahan tersebut yaitu: modal, material, prosedur, manusia dan lingkungan. Hasil analisis Pareto diagram menunjukkan bahwa permasalahan yang paling dominan yang sedang dihadapi perusahaan adalah modal, material dan sumberdaya manusia, sehingga ketiga permasalahan tersebut perlu diatasi terlebih dahulu.


(6)

SUMMARY

ELIS MASRIFAH. Implementation Conformance of Quality Management Preserved Milkfish (Chanos chanos) Against the Indonesian National Standard. Superviced by BAMBANG PRAMUDYA NOORACHMAT and ANGGRAINI SUKMAWATI.

Fish processing is an important role in post-harvest activities, because fishery products are perishable goods. Therefore we need a fast and precise handling to maintain its quality before it reaches the consumer. Boiled fish is one of the traditional processed fish products are very popular and much liked by the people of Indonesia. However, traditionally boiled fish processing are usually less noticed aspects of sanitation and hygiene resulting in low quality and safety of fish boiled store.

Quality is a whole traits or characteristics of the product in its aim to meet the needs and expectations of consumers. In addition, the product quality is very important in creating a strategy to compete with other companies, provide added value, extend shelf life and distribution and expand marketing reach. Control processing with the application of food safety management system such as Integrated Quality Management Program (PMMT) is based on the concept of Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) is one way to improve the quality.

Controls and quality supervision is not conducted only by the manufacturer, but other parties who have competence in monitoring and accreditation of products. One of the accreditation agency that has authority in the accreditation process in Indonesia is Badan Standarisasi Nasional (BSN) which is an independent organization and is considered more objective and can satisfy the producers and consumers.

One of the fish processing units (UPI) pemindangan in Bogor is Cindy Group. Various types of fish processed into fish boiled one of which is the milkfish (Chanos Chanos). The success of the fish processing process is strongly influenced by the quality of raw materials, handling and processing, as well as environmental conditions. To produce quality fish processing and secured necessary attention to how supervision and handling of products ranging from processing until the product reaches the consumer.

The purpose of this study were 1) Analyzing the level of implementation of the basic eligibility (GMP and SSOP) boiled fish processing milkfish in SMEs Cindy Group, 2) Analyzing the suitability of each characteristic quality of boiled fish produced by SMEs Cindy Group to the requirements of SNI, (3) Analyzing quality management problems at Cindy Group. The sampling process conducted through surveys, observation and interviews. Method Sampling products refers to the SNI 2326: 2010, concerning the method of sampling on fishery products. Type of sampling is the single sampling. In single sampling, the decision is determined based on the results of the sampling lot. Amount of sample representative of the population that is five units for each lot. Samples were analyzed by


(7)

organoleptic products, microbiology and chemistry. Statistical tests conducted by ANOVA test (SPSS version 20).

The results showed that based on the assessment of the level of implementation of the basic eligibility (GMP and SSOP) using UPI Assessment Checklist published by Directorate General of the processing and marketing of fishery products, Ministry of Maritime Affairs and Fisheries (2007) showed that SMEs Cindy Group obtained SKP the feasibility value "B" consisting of 4 minor irregularities, 2 major irregularities, and 1 serious irregularities, it is not in accordance with the Eligibility Certificate Processing (SKP) issued by the Directorate General of Processing and Marketing of Fisheries, Ministry of Maritime Affairs and Fisheries in 2013 with feasibility value "A", therefore is required corrective actions to improve irraegulaties that occured.

In quality, preserved milkfish products based on the results of testing Organoleptic and chemical has met quality standards according to SNI 2717:2009. The results of organoleptic test using hedonic test showed an average value over 7. This shows that the quality of fish products preserved milkfish production SMEs Cindy Group assessed the characteristics of sensory and consumer acceptance has complied the SNI standard. Overall, the level of implementation of the basic eligibility processing program on processing of milkfish boiled fish in Cindy Group has been quite good, percentage rate of application of the basic feasibility is 92%. This product can be registered to BSN to get the registration number of SNI and feasible to labeled SNI on product packaging .

Quality management problems that occur in Cindy Group is a lack of business capital, thus generated production capacity is low, this is obstacle for the company. Based on the analysis of the identification of the problems using fishbone diagram are: capital, materials, procedures, people and the environment. Pareto diagram analysis results showed that the most dominant issue is capital, material and human resources, so the three issues need to be addressed first.


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional

pada

Program Studi Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

ELIS MASRIFAH

KESESUAIAN PENERAPAN MANAJEMEN MUTU

IKAN PINDANG BANDENG (

Chanos chanos

)


(10)

Penguji pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir H. Musa Hubeis, MS Dipl.Ing DEA


(11)

Judul Tesis : Kesesuaian Penerapan Manajemen Mutu Ikan Pindang Bandeng (Chanos chanos) Terhadap Standar Nasional Indonesia

Nama : Elis Masrifah NIM : P054124185

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Bambang Pramudya N, M.Eng Ketua

Diketahui oleh

Dr Ir Anggraini Sukmawati, MM Anggota

Ketua Program Studi Industri Kecil Menengah

Prof Dr Ir H Musa Hubeis, MS Dipl.Ing DEA

Dekan Sekolah Pascasarjana


(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih adalah “Kesesuaian Penerapan Manajemen Mutu Ikan Pindang Bandeng (Chanos chanos) Terhadap Standar Nasional Indonesia”. Penelitian ini dilaksanakan di Cindy Group , Kabupaten Bogor sejak bulan Mei hingga bulan Desember 2014 berlokasi di Desa Waru Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Jawa Barat.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof Dr Ir Bambang Pramudya Noorachmat, M.Eng dan Ibu Dr Ir Anggraini Sukmawati, MM selaku komisi pembimbing dan Prof Dr Ir H Musa Hubeis, MS Dipl.Ing DEA selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan arahan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pihak Cindy Group tempat penulis melaksanakan penelitian, rekan kerja di Dinas Peternakan dan Perikanan tempat penulis bekerja, serta seluruh mahasiswa Program Studi Magister Profesional Industri Kecil Menengah Angkatan 17 atas saran dan kritiknya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami dan anak serta seluruh keluarga, atas do’a dan dukungannya baik secara moril maupun materil.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pengelolaan perikanan dan pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Bogor, September 2015 Elis Masrifah


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

PERNYATAAN i

RINGKASAN ii

SUMMARY iv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Ikan Bandeng (Chanos chanos) 4

Keamanan Pangan 5

Definisi dan Konsep Mutu 5

Program Kelayakan Dasar 6

Standar Nasional Indonesia Ikan Pindang 9

Penelitian Terdahulu yang Relevan 12

3 METODOLOGI 14

Kerangka Pemikiran 14

Lokasi dan Waktu Penelitian 15

Metode Penelitian 15

Populasi dan Contoh 15

Tahapan Penelitian 16

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 26

Gambaran Umum Perusahaan 26

Penilaian Penerapan Program Kelayakan Dasar 27 Tingkat Penerapan Program Kelayakan Dasar 35 Pengujian Contoh Produk Ikan Pindang Bandeng 36 Analisis Identifikasi Permasalahan Penerapan Manajemen Mutu 44

Implikasi Manajerial 48

5 KESIMPULAN DAN SARAN 49

Kesimpulan 49

Saran 49

DAFTAR PUSTAKA 51


(14)

DAFTAR TABEL

1 Syarat mutu dan keamanan pangan ikan pindang 10

2 Persyaratan dan Bahan Baku Ikan Pindang 11

3 Penelitian terdahulu yang relevan 12

4 Aspek penilaian sertifikasi kelayakan dasar UPI 17 5 Penentuan nilai unit pengolahan berdasarkan jumlah penyimpangan 19

6 Deskripsi umum hasil uji organoleptik 37

7 Deskripsi tingkat nyata parameter uji organoleptik 38 8 Hasil pengujian identifikasi bakteri Salmonella 40 9 Tingkat Signifikansi hasil uji kadar garam 44 10 Identifikasi masalah yang terjadi pada Cindy Group 44 11 Persentase skor permasalahan yang terjadi di Cindy Group 47

DAFTAR GAMBAR

1 Ikan Bandeng (Chanos chanos) 4

2 Kerangka Pemikiran Penelitian 14

3 Skema tahapan penelitian 16

4 Diagram Sebab Akibat atau Fish Bone Diagram 24

5 Grafik nilai uji organoleptik 37

6 Grafik Nilai ALT 39

7 Grafik Nilai uji Staphylococcus aureus 42

8 Grafik nilai hasil uji KA 42

9 Grafik nilai hasil uji kadar garam 43

10 Fishbone diagram permasalahan Cindy Group 45 11 Diagram Pareto Permasalahan Penerapan Manajemen Mutu di Cindy

Group 47

DAFTAR LAMPIRAN

1 Penilaian Kelayakan Dasar UPI 56

2 Rekapitulasi hasil penilaian uji organoleptik (hedonic test) 66 3 Hasil Analisis Data uji organoleptik (hedonic test) 67

4 Hasil Analisis Data Mikrobiologi 70

5 Hasil Analisis Data Kadar Air 72

6 Hasil Analisis Data Kadar Garam 74

7 Laporan Hasil Uji Mikrobiologi oleh LsPro KKP 76


(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan merupakan salah satu produk pangan hewani yang mempunyai kontribusi cukup besar dalam pemenuhan sumber protein penduduk Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat rataan konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada tahun 2014 mencapai 35 kg per kapita per tahun. Angka tersebut masih berada dibawah rekomendasi para ahli yang menyatakan bahwa sebaiknya penduduk Indonesia mengonsumsi ikan sebanyak 38 kg per kapita per tahun (KKP, 2014). Tingkat konsumsi ikan Kabupaten Bogor terus mengalami kenaikan dari 23,97 kg per kapita per tahun pada tahun 2013 menjadi 25,18 kg per kapita per tahun pada tahun 2014, meskipun angka tersebut masih jauh dari target nasional. Rendahnya tingkat konsumsi ikan disebabkan oleh beberapa faktor seperti kondisi ekonomi masyarakat, kurang optimalnya suplai ikan bermutu dan pengetahuan mengenai gizi dan teknik pengolahan ikan yang masih terbatas serta kendala mendapatkan ikan yang bervariasi (DPP, 2014).

Upaya peningkatan konsumsi ikan di semua lapisan masyarakat salah satunya adalah dengan menyediakan produk olahan ikan yang bermutu, memiliki daya saing di pasar global dan harga terjangkau. Pengolahan hasil perikanan memegang peranan penting, mengingat hasil perikanan merupakan komoditi yang sifatnya mudah rusak (perishable goods). Kerusakan dapat disebabkan oleh proses biokimia maupun aktivitas mikrobiologi (Wulandari et al. 2009). Oleh karena itu diperlukan penanganan cepat dan tepat untuk menjaga mutunya hingga produk sampai ke tangan konsumen. Ikan pindang merupakan salah satu produk olahan ikan tradisional yang sangat populer dan banyak disukai oleh masyarakat Indonesia. Berdasarkan urutan disposisi dalam pengolahan tradisional, produk ikan pindang menduduki posisi kedua setelah ikan asin (Ariyani dan Yennie, 2008). Pada prinsipnya pemindangan dilakukan untuk menghentikan atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas enzim pada tubuh ikan yang dapat menyebabkan kerusakan. Pengolahan ikan pindang secara tradisional biasanya kurang memerhatikan aspek sanitasi dan higiene sehingga menyebabkan rendahnya mutu simpan dan keamanan ikan pindang (Jenie et al. 2001).

Industri pengolahan hasil perikanan harus terus didorong dan dikembangkan agar bisa menghasilkan produk yang dicintai konsumen (Sakti, 2012). Produk hasil pengolahan tersebut harus memiliki mutu baik, aman dikonsumsi, tersedia secara berkesinambungan, berdaya saing secara ekonomis dan sesuai dengan selera masyarakat. Suharna (2006) menyatakan bahwa pada pengolahan pangan, sistem manajemen mutu yang efektif dapat menjamin mutu produk dan keamanan produk adalah Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berkonsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Mutu adalah keseluruhan ciri atau karakteristik produk dalam tujuannya untuk memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen. Jika konsumen merasa puas atas produk tersebut, maka perusahaan mendapatkan


(16)

2

posisi terbaik di hati konsumen. Selain itu, mutu produk merupakan hal yang sangat penting dalam menciptakan strategi bersaing dengan perusahaan lain, memberikan nilai tambah, memperpanjang masa simpan dan edar serta memperluas jangkauan pemasaran. Suatu produk dikatakan memiliki mutu yang baik apabila produk tersebut telah memiliki kesesuaian dengan standar yang telah ditetapkan. Standarisasi merupakan salah satu instrumen regulasi teknis yang dapat melindungi kepentingan konsumen nasional dan produsen dalam negeri (Herjanto, 2011).

Sebagai salah satu upaya perlindungan terhadap industri dalam negeri sekaligus perlindungan terhadap konsumen pengguna produk, pemerintah Indonesia mengeluarkan regulasi teknis berupa pemberlakuan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib. Pemberlakuan wajib SNI berarti semua produk SNI terkait yang dipasarkan di Indonesia harus memenuhi persyaratan SNI. Pembuktian atas kesesuaian terhadap persyaratan SNI dilakukan melalui mekanisme Sertifikasi Produk Pengguna Tanda SNI (SPPT-SNI). Sertifikat dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).

Guna mendorong penerapan SNI pada produk perikanan, KKP menerbitkan Keputusan Menteri nomor 8/KEPMEN-KP/2014 yang mengatur tentang pemberlakuan penerapan SNI produk perikanan. Dalam kaitannya dengan menghadapi Asean Economic Community (AEC) 2015 penerapan SNI menjadi sangat penting karena akan berperan dalam meningkatkan kemampuan industri dalam negeri untuk bersaing di pasar global. Namun saat ini penerapan SNI produk perikanan masih bersifat sukarela, sehingga kesadaran dan komitmen pelaku usaha masih sangat rendah. Diperlukan sosialisasi SNI kepada semua pihak yang memiliki kepentingan mulai dari produsen hingga konsumen. Pembinaan intensif terhadap Usaha Kecil Menengah (UKM) pengolahan hasil perikanan sangat diperlukan, terutama dalam penerapan kelayakan dasar yaitu cara berproduksi yang baik dan benar atau Good Manufacturing Practice (GMP) dan standar sanitasi atau Sanitation Standard Operating Procedures (SSOP) sebagai bagian dari penilaian terhadap mutu produk tersebut.

Menurut Taufiq (2008) UKM dituntut untuk menghasilkan produk yang memiliki daya saing yang tinggi dengan kriteria: (1) produk tersedia secara teratur dan sinambung, (2) produk harus memiliki mutu yang baik dan seragam, (3) produk dapat disediakan secara masal. Bagi UKM yang berusaha dalam bidang argibisnis (termasuk sektor perikanan) untuk memenuhi syarat ini tidaklah mudah, karena masih besarnya faktor alam dan terbatasnya teknologi produksi, processing, dan sumberdaya manusia.

Perumusan Masalah

Dalam upaya meningkatkan mutu produk dan memberikan jaminan keamanan pangan bagi konsumen, diharapkan setiap Unit Pengolahan Ikan (UPI) menerapkan program standar kelayakan dasar (GMP & SSOP) sehingga mampu menghasilkan produk yang bermutu dan aman di konsumsi serta sesuai dengan persyaratan SNI. Namun UPI skala kecil dan menengah


(17)

umumnya belum memiliki sistem kerja yang mampu menjamin dihasilkannya produk pangan yang bergizi, aman dan sehat. Hal ini menjadi kendala yang terus dihadapi oleh UPI dalam rangka penerapan program kelayakan dasar. Selain perlunya penerapan program kelayakan dasar, cemaran mikroba dalam bahan pangan juga harus diperhatikan. Bahan pangan yang tercemar mikroba akan menimbulkan infeksi dan intoksikasi pada manusia setelah dikonsumsi. Berdasarkan hal tersebut perlu adanya penelitian tentang mutu produk olahan ikan. Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah dengan cara menguji kesesuaian mutu produk tersebut terhadap persyaratan SNI.

Mengingat keterbatasan waktu dan biaya, berdasarkan uraian permasalahan diatas maka penelitian ini difokuskan pada salah satu jenis ikan olahan yang di produksi oleh Cindy Group yang memiliki tingkat permintaan paling tinggi, yaitu produk ikan bandeng higienis dengan merk Kapal Nelayan. Berdasarkan uraian diatas maka beberapa pokok permasalahan yang berkaitan proses penanganan dan pengolahan ikan pindang bandeng, munculah beberapa pertanyaan sekaligus menjadi batasan dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana penerapan program kelayakan dasar (GMP dan SSOP) pengolahan ikan pindang bandeng di Cindy Group?

2. Bagaimana kesesuaian mutu setiap karakteristik pindang ikan bandeng yang di produksi oleh Cindy Group terhadap persyaratan SNI Ikan Pindang?

3. Apakah ada permasalahan yang berkaitan dengan penerapan manajemen mutu di Cindy Group?

Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis tingkat penerapan kelayakan dasar (GMP dan SSOP) pengolahan ikan pindang bandeng di Cindy Group.

2. Menganalisis kesesuaian mutu setiap karakteristik ikan pindang bandeng yang di produksi oleh Cindy Group terhadap persyaratan SNI.

3. Menganalisis permasalahan manajemen mutu di Cindy Group. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada Cindy Group tentang pentingnya penerapan kelayakan dasar (GMP dan SSOP) sebagai bahan acuan tindakan perbaikan proses pengolahan ikan pindang yang sesuai dengan SNI. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pedoman awal dalam penyusunan dokumentasi pengajuan registrasi SPPT-SNI.


(18)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Bandeng (Chanos chanos)

Ikan Bandeng (

chanos chanos

) adalah ikan pangan populer di

Asia Tenggara. Ikan ini merupakan satu-satunya spesies yang masih

ada dalam famili

Chanidae

. Dalam bahasa Inggris ikan ini dikenal

dengan sebutan

Milkfish.

Ikan Bandeng mempunyai ciri-ciri seperti badan memanjang, padat, kepala tanpa sisik, mulut kecil terletak di depan mata. Mata diselaputi oleh selaput bening (subcutaneus). Pertama kali ditemukan oleh Dane Forsskal pada tahun 1925 di laut merah. Menurut Saanin (1984), klasifikasi ikan bandeng (Chanos chanos) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Class : Pisces Sub class : Teleostei Ordo : Malacopterygii Family : Chanidae Genus : Chanos

Species : Chanos chanos

Gambar 1 Ikan Bandeng (Chanos chanos)

Ikan Bandeng (Chanos chanos) dapat tumbuh hingga mencapai 1,8m, anak ikan Bandeng (Chanos chanos) disebut nener, biasa ditangkap di pantai panjangnya sekitar 1-3 cm, sedangkan gelondongan berukuran 5-8cm. Kumagai dan Bagarinao (1981) menyatakan bahwa ikan Bandeng dapat hidup dan tumbuh pada semua jenis perairan (tawar, payau dan laut). Di perairan yang kaya akan bahan makanan ikan tumbuh dan berkembang secara cepat, sedangkan di perairan yang kurang kandungan bahan makanannya, ikan tumbuh lambat. Perbedaan ini dianggap sebagai adaptasi dari ikan pada habitat yang berbeda.

Ikan Bandeng disukai sebagai makanan karena rasanya gurih, rasa daging netral (tidak asin seperti ikan laut) dan tidak mudah hancur jika dimasak. Dari sisi harga, bandeng termasuk ikan kelas menengah ke atas. Kelemahan


(19)

Bandeng yaitu dagingnya berduri dan kadang-kadang berbau lumpur atau tanah. Penyebab gejala bau lumpur adalah terdapat beberapa (bakteri penghasil geosmin). Apabila ikan tinggal di tempat yang kaya geosmin, maka dagingnya akan memiliki cita rasa tanah. Geosmin (C12H22O) merupakan senyawa metabolit yang berbau tanah, konsumen dapat mendeteksi bau meskipun dalam konsentrasi yang sangat rendah (Hurlburt, 2009).

Keamanan Pangan

Keamanan pangan merupakan jaminan bahwa makanan tersebut aman dikonsumsi. Keamanan pangan menjadi isu global yang mempengaruhi miliaran orang yang terkena penyakit akibat mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi (Ansari, et.al. 2013). Banyaknya kasus keracunan makanan yang terjadi adalah akibat dari terkontaminasinya makanan oleh sumber penyakit yang mungkin mencemari makanan selama proses produksi ataupun penggunaan bahan tambahan makanan yang mengandung senyawa kimia berbahaya. Sumber kontaminasi yang paling potensial mencemari makanan adalah peralatan pengolahan makanan dan peralatan makan serta adanya kontaminasi silang. Agar terhindar dari bahaya kontaminan perlu dilakukan upaya-upaya untuk peningkatan sanitasi dan higiene makanan, melalui upaya peningkatan mutu kesehatan tempat pengolahan makanan, baik pada suatu industri maupun pengolahan pada skala rumah tangga.

Pengetahuan konsumen terhadap keamanan pangan dan kesadaran akan bahaya dalam makanan akan mengurangi kasus yang ditimbulkan oleh penyakit bawaan makanan (Ajayi dan Salaudeen, 2014). Pembentukan sistem keamanan pangan merupakan hal yang penting, karena secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan suply makanan manusia. Hal ini disadari sejak awal sejarah kehidupan manusia dimana usaha pengawetan makanan telah dilakukan, seperti penggaraman, pengawetan dengan penambahan gula, pengasapan, pemindangan, dan lain sebagainya.

Keamanan pangan juga merupakan karakteristik yang sangat penting dalam kehidupan baik oleh produsen pangan maupun oleh konsumen. Bagi produsen harus tanggap bahwa kesadaran konsumen semakin tinggi sehingga menuntut perhatian yang lebih besar para aspek ini. Kebersihan suatu produk pangan untuk menembus dunia internasional sangat ditentukan oleh faktor ini pula. Di lain pihak sebagai konsumen sebaiknya mengetahui bagaimana cara menentukan dan mengkonsumsi makanan yang aman. Bahan-bahan atau organisme yang mungkin terdapat didalam makanan dan dapat menimbulkan keracunan atau penyakit menular terdiri dari bahan kimia beracun (misalnya beberapa bahan tambahan makanan, obat-obatan, logam dan pestisida).

Definisi dan Konsep Mutu

Produk dan jasa yang bermutu adalah produk dan jasa yang sesuai dengan keinginan konsumen. Nasution (2004) menyatakan bahwa mutu terdiri dari (1) usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan, (2) mutu


(20)

6

mencakup produk, jasa manusia, proses dan lingkungan, dan (3) mutu merupakan kondisi yang selalu berubah misalnya peubah atau parameter yang dianggap merupakan mutu saat ini mungkin akan dianggap kurang bermutu pada masa mendatang.

Mutu merupakan fokus utama saat ini dalam suatu perusahaan. Pentingnya mutu dapat dijelaskan dari dua sudut, yaitu sudut manajemen operasional dan manajemen pemasaran. Ditinjau dari manajemen operasional, mutu produk merupakan salah satu kebijaksanaan yang penting dalam meningkatkan daya saing produk yang harus memberi kepuasan kepada konsumen melebihi atau sama dengan mutu produk pesaing. Sementara dari sudut manajemen pemasaran, mutu produk merupakan salah satu unsur utama dalam bauran pemasaran yaitu produk, harga, promosi dan saluran distribusi yang dapat meningkatkan volume penjualan dan memperluas pangsa pasar (Nasution, 2004).

Juran diacu Muhandri dan Kadarisman (2006) mendefinisikan mutu sebagai “fitness for use” (cocok atau layak untuk digunakan), artinya suatu produk atau jasa harus dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Crosby diacu Muhandri dan Kadarisman (2006) medefinisikan mutu sebagai “Conformance to Requirement”. Dengan definisi ini Crosby menitikberatkan kegiatan mutu perusahaan untuk (1) mencoba mengerti harapan-harapan konsumen, (2) memenuhi harapan-harapan tersebut sehingga (3) perlu pandangan eksternal mengenai mutu agar penyusunan sasaran mutu lebih realistis dan sesuai dengan permintaan atau keinginan. Menurut Airani yang diacu Susianawati (2006), terdapat dua perspektif mutu yaitu perspektif produsen dan perspektif konsumen, bila kedua perspektif tersebut disatukan, maka akan dapat tercapai kesesuaian antar kedua sisi tersebut yang dikenal sebagai kesatuan untuk digunakan oleh konsumen.

Gaspersz (1997) menyatakan bahwa manajemen mutu dapat dikatakan sebagai aktivitas dari fungsi manajemen secara keseluruhan yang menentukan kebijaksanaan mutu, tujuan dan tanggungjawab serta mengimplementasikannya melalui alat-alat manajemen mutu, seperti perencanaan mutu, pengendalian mutu, penjamin mutu dan peningkatan mutu. Manfaat dari penerapan manajemen mutu adalah (1) mampu membuat sistem kerja dalam organisasi menjadi standar kerja yang terdokumentasi; (2) meningkatkan semangat kerja karyawan karena adanya kejelasan kerja sehingga tercapai efisiensi; (3) dipahaminya berbagai kebijakan dan prosedur operasi yang berlaku diseluruh organisasi; (4) meningkatnya pengawasan terhadap pengelolaan pekerjaan; dan (5) termonitornya kualitas pelayanan organisasi terhadap mitra kerja.

Program Kelayakan Dasar

Program kelayakan dasar yang efektif diperlukan sebelum fasilitas secara efektif dapat menerapkan sistem manajemen pangan terpadu seperti HACCP. Keberhasilan program kelayakan dasar diperlukan untuk menjamin fasilitas pengolahan pangan telah dalam keadaan kondusif untuk memproduksi makanan yang aman. Program ini harus ditempatkan dan


(21)

dijalankan setiap saat untuk menjamin keberhasilan sistem manajemen keamanan pangan secara keseluruhan. Kelayakan UPI meliputi cara berproduksi yang baik dan benar (GMP) dan prosedur operasional standar sanitasi (SSOP).

a. Good Manufacturing Practice

Cara berproduksi yang baik dan benar terdiri dari berbagai macam persyaratan yang secara umum yang meliputi: persyaratan mutu dan keamanan bahan baku/bahan pembantu, persyaratan penanganan bahan baku/bahan pembantu, persyaratan pengolahan, persyaratan pengemasan produk, persyaratan penyimpanan produk dan persyaratan distribusi produk. Persyaratan-persyaratan tersebut dapat dijabarkan lebih spesifik lagi sesuai dengan jenis produk yang diolah.

Penerapan GMP pada sebuah perusahaan memiliki banyak keuntungan, diantaranya (1) meningkatkan kepercayaan pelanggan, (2) meningkatkan citra dan kompetensi perusahaan/organisasi, (3) meningkatkan kesempatan perusahaan/organisasi untuk memasuki pasar global melalui produk/kemasan yang bebasbahan beracun (kimia, fisika dan biologi), (3) meningkatkan wawasan dan pengetahuan terhadap produk, (4) berpartisipasi dalam program keamanan pangan, (5) menjadi pendukung dari penerapan sistem manajemen mutu.

GMP diterapkan oleh industri yang produknya dikonsumsi dan atau digunakan oleh konsumen dengan tingkat risiko yang sedang hingga

tinggi yang meliputi produk

rumah tangga dan semua industri yang terkait dengan produksi produk tersebut. Pada dasarnya tidak ada referensi aturan GMP yang bersifat global seperti halnya ISO. Regulasi GMP di Indonesia sendiri dilakukan oleh Badan Sertifikasi Obat dan Makanan (BPOM). Sedangkan untuk sertifikasi bisa melalui BPOM atau lembaga sertifikasi GMP yang legal.

b. Sanitation Standard Operating Procedures

Sanitasi adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan pathogen, serta membahayakan manusia. Sanitasi hasil perikanan adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam hasil perikanan dan membahayakan manusia. SSOP adalah Prosedur Pelaksanaan Sanitasi Standar yang harus dipenuhi oleh suatu UPI (Unit Pengolahan Ikan) untuk mencegah terjadinya kontaminasi terhadap produk yang diolah.

Susianawati (2006), mengacu pada peraturan dalam Sea Food HACCP Regulation oleh Food and Drug Administration (FDA) ketentuan ketentuan dalam penerapan SSOP terdapat delapan kunci SSOP, yaitu:

1) Menjaga keamanan air proses dan es yang dipergunakan terutama yang kontak langsung dengan ikan. Air yang dipergunakan berasal dari air ledeng yang sumbernya cukup aman dan dikelola dengan sistem baik. 2) Menjaga kondisi dan kebersihan peralatan yang kontak langsung dengan

produk atau yang kontak dengan pekerja meliputi alat, sarung tangan dan pakaian kerja. Pengendalian dan pengawasan:


(22)

8

i. Permukaan yang kontak dengan pangan harus bersih dan diinspeksi oleh supervisor sanitasi untuk memastikan bahwa kondisinya cukup bersih.

ii. Permukaan yang kontak pangan harus bersih dan disanitasi.

1. Sebelum kegiatan dimulai, permukaan yang kontak dengan pangan dibersihkan dengan air dingin dan disanitasi dengan jenis sanitizer Sodium hypoklorite 100 mg/L.

2. Selama istirahat, kotoran dalam bentuk padatan harus dihilangkan dari lantai, peralatan dan permukaan yang kontak dengan pangan. Peralatan dan permukaan yang kontak dengan pangan dibersihkan dengan sikat dengan pembersih alkalin terklorinasi pada air hangat. Permukaan dan lantai dibersihkan dengan air dingin.

3. Di akhir kegiatan, padatan dibersihkan dari lantai, peralatan dan permukaan yang kontak dengan pangan.

iii. Karyawan memakai sarung tangan dan pakaian luar yang bersih. Karyawan yang bekerja di ruang bahan baku dan proses menggunakan sarung tangan dan pakaian luar yang bersih dan sepatu yang ditentukan. Pakaian karyawan dibersihkan dan disanitasi setiap dua hari sekali pada setiap pergantian shift. Karyawan yang bekerja di bagian lainpun apabila akan masuk kearea proses harus menggunakan baju luar dan sepatu yang ditentukan.

3) Mencegah kontaminasi silang (cross contamination) terhadap produk yang diolah. Pengendalian dan pengawasan:

i. Kegiatan karyawan tidak boleh menghasilkan kontaminasi pangan; 1. Karyawan menggunakan tutup kepala, sarung tangan (ganti sesuai

kebutuhan) dan tidak diperbolehkan memakai perhiasan;

2. Karyawan harus mencuci tangan dan sarung tangan serta mensanitasinya sebelum pekerjaan dimulai.

3. Karyawan tidak diperbolehkan memakan makanan dan minuman serta merokok di area produksi.

4. Karyawan mensanitasi sepatu pada bak yang berisi Ammonium klorida 800 mg/L sebelum memasuki area proses.

5. Supervisor produksi mengawasi kegiatan karyawan dengan frekuensi sebelum kegiatan dan setiap 4 jam selama proses berlangsung.

ii. Lantai pabrik harus pada kondisi dimana adanya perlindungan untuk menghindari kontaminasi pada pangan dengan frekuensi monitor setiap hari sebelum kegiatan mulai.

iii. Sampah dipindahkan dari area proses selama kegiatan produksi berlangsung dengan frekuensi monitor setiap 4 jam.

iv. Lantai dalam bentuk sudut untuk memudahkan pembersihan dengan frekuensi monitor setiap hari sebelum kegiatan dimulai.

v. Lay out pabrik di bangun pada kondisi yang baik. Lokasi area bahan baku dan proses terpisah.

vi. Pembersih dan peralatan sanitasi diberi kode setiap area spesifik di lingkungan pabrik.

4) Menjaga fasilitas pencuci tangan (bak cuci tangan), sanitizer (bahan sanitasi) dan toilet. Toilet dan fasilitasnya harus dilengkapi dengan


(23)

pintu yang dapat tertutup secara otomatis, selalu terpelihara dengan baik dan tetap bersih, disanitasi setiap hari pada akhir operasional. Bak cuci tangan dan fasilitasnya harus ada air mengalir, sabun pembersih berbentuk cair dan penyediaan handuk/lap.

5) Perlindungan produk dari bahan kontaminan, seperti bahan packing produk yang berhubungan dengan permukaan bahan yang memakai minyak, pestisida, solar, sanitizer dan lain-lain. Pengendalian dan pengawasan :

i. Bahan kimia disimpan secara terpisah diluar area proses dan pengemasan.

ii. Makanan, bahan kemasan makanan dan permukaan yang kontak langsung dengan pangan harus terlindung dari bahaya biologi, fisik dan kimia. Lampu yang berpelindung digunakan di area proses dan pengemasan dengan frekuensi pengawasan setiap sebelum kegiatan dan setiap 4 jam sekali.

iii. Kotoran tidak boleh mengkontaminasi makanan atau bahan kemasan dengan frekuensi pengawasan setiap 4 dan 8 jam.

6) Pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan-bahan harus sesuai petunjuk. Pengendalian dan pengawasan bahan-bahan pembersih, bahan sanitasi, minyak pelumas, bahan kimia/pestisida dan bahan kimia beracun lainnya harus diberi label dan disimpan dalam ruangan khusus yang kering dan dapat dikunci, terpisah dari ruang pengolahan dan pengepakan.

7) Pengawasan kesehatan karyawan. Pada saat bekerja kondisi karyawan harus bersih dan sehat, karena kondisi kesehatannya dapat mengkontaminasi bahan makanan.

8) Pengawasan pest/hama dari unit pengolahan, perlu dilakukan pada bagian dalam bangunan dengan menggunakan bahan-bahan kimia yang dianjurkan, lingkungan harus dijaga tetap bersih dan kondisi yang menjadi daya tarik pest/hama.

Standar Nasional Indonesia Ikan Pindang

Salah satu upaya dalam yang dilakukan dalam peningkatan kualitas makanan adalah dengan membuat aturan yang mengatur standarisasi kelayakan dasar terhadap jenis makanan tertentu. Standar mutu yang berlaku adalah standar mutu yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional sebagai SNI. KKP menetapkan produk perikanan wajib mengikuti tata cara prosedur penentuan SNI. Tujuan disusunnya standar ini adalah untuk meningkatkan mutu produk ikan Indonesia, sehingga dapat meningkatkan kemampuan industri dalam negeri untuk bersaing di pasar global. SNI juga akan menjadi penjaga dalam menekan masuknya produk tidak bermutu ke pasar Indonesia.

Standar produk ikan pindang dibuat mengingat produk ini telah dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, namun dalam pengolahannya masih banyak mempergunakan cara dan peralatan yang tidak selalu memenuhi persyaratan teknis, sanitasi dan higiene. SNI ikan pindang ditetapkan sejak tahun 1992, kemudian mengalami revisi pada tahun 2009. Ketentuan yang


(24)

10

diatur dalam SNI Ikan Pindang meliputi: (1) Spesifikasi (mencakup teknik sanitasi dan higiene), syarat mutu dan keamanan pangan komoditas ikan pindang (standar ini berlaku untuk ikan pindang dan tidak berlaku untuk produk yang mengalami pengolahan lebih lanjut); (2) persyaratan bahan baku, standar ini menerapkan persyaratan bahan baku ikan pindang; dan (3) penanganan dan pengolahan, standar ini menetapkan penanganan dan pengolahan ikan pindang.

Secara umum ikan pindang yang memenuhi persyaratan SNI 2717 :2009 adalah sebagai berikut:

a. Teknik Sanitasi dan Higiene

Adalah penanganan, pengolahan, penyimpanan, pendistribusian dan pemasaran ikan pindang dilakukan dengan menggunakan wadah, cara dan alat yang sesuai dengan petunjuk teknis sanitasi dan higiene dalam unit pengolahan hasil perikanan.

b. Syarat Mutu dan Keamanan Pangan

Syarat mutu dan keamanan pangan ikan pindang menurut 2717.1:2009 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Syarat mutu dan keamanan pangan ikan pindang

Jenis Uji Satuan Pindang Air Garam a. Organoleptik

- Nilai Angka (1-9) Min 7

- Kapang Negatif

b. Cemaran Mikroba*:

- ALT Koloni g-1 Maks 5,0 x 105

- Escherichia coli APM g-1 Maks < 3

- APM 25 g-1 Negatif

- APM 25 g-1 Negatif

- Koloni g-1 1 x 103

- % fraksi massa Maks 60

- % fraksi massa Maks 10

- Histamin*) Mg kg-1 Maks 100

Sumber: BSN, 2009

*dilakukan tes apabila diperlukan c. Persyaratan Bahan Baku

Semua ikan dari berbagai jenis dan berbagai tingkat kesegaran bisa digunakan sebagai bahan baku pemindangan. Akan tetapi, ini akan sangat berpengaruh terhadap mutu dan harga jual ikan pindang yang dihasilkan. Bila bahan baku ikan kurang segar, maka akan menghasilkan ikan pindang yang terlalu asin dan dagingnya hancur. Adapun syarat bahan baku yang sesuai SNI dapat dilihat pada Tabel 2.


(25)

Tabel 2 Persyaratan dan Bahan Baku Ikan Pindang

Persyaratan Spesifikasi

Bahan baku Ikan segar yang belum mengalami pengolahan Jenis Ikan segar yang biasa dikonsumsi

Ikan utuh yang belum mengalami pengolahan

Bahan baku berasal dari perairan yang tidak tercemar

Sesuai SNI 2717.1:2009 dan SNI 01-2729.2-2006 Bahan baku disimpan dalam wadah yang baik

dengan menggunakan es pada suhu pusat bahan baku maksimal 5 0C untuk bahan baku segar dan -18 0C untuk bahan baku beku, secara saniter dan higienis.

Sumber: BSN, 2009 d. Pengemasan

Produk ikan pindang dikemas sesuai SNI 2717.3:2009, sebagai berikut:

1. Bahan kemasan ikan pindang bersih, tidak mencemari produk yang dikemas, terbuat dari bahan yang baik dan memenuhi persyaratan bagi produk ikan pindang.

2. Teknis pengemasan produk akhir dilakukan dengan cepat, cermat secara saniter dan higienis. Pengemasan dilakukan dalam kondisi yang dapat mencegah terjadinya kontaminasi dari luar terhadap produk. e. Syarat pelabelan

Setiap kemasan produk ikan pindang yang akan diperdagangkan agar diberi tanda dengan benar dan mudah dibaca, mencantumkan bahasa yang dipersyaratkan disertai keterangan sekurang-kurangnya sebagai berikut:

1. Nama produk;

2. Daftar bahan yang digunakan; 3. Berat bersih atau isi bersih; 4. Nama dan alamat produsen;

5. Tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. f. Penyimpanan

Ikan pindang disimpan dalam ruangan yang terlindung dari penyebab-penyebab yang dapat merusak atau menurunkan mutu produk seperti panas, insekta dan binatang pengerat. Kelembapan udara ruangan dijaga serendah mungkin. Untuk memperpanjang daya simpan ikan pindang disimpan pada ruang dengan suhu dingin/beku.


(26)

12

Penelitian Terdahulu yang Relevan Tabel 3 Penelitian terdahulu yang relevan

No Nama Penulis Judul Metodologi Hasil dan Kesimpulan

1 Susianawati,

2006

Kajian Penerapan GMP dan SSOP Pada Produk Ikan Asin Kering Dalam Upaya Peningkatan Keamanan Pangan di Kabupaten Kendal.

Deskriptif - Hasil Penelitian tersebut menunjukan bahwa produk ikan asin kering secara organoleptik, TPC, E. coli telah memenuhi persyaratan SNI (organoleptik > 6,5, TPC < 1x105 koloni gr-1, negatif E. coli) meskipun belum memenuhi standar

coliform <3 MPN gr-1, yaitu 23 – 460 MPN gr-1;

- Tingkat penerapan kelayakan dasar pengolah di daerah penelitian berkisar antara 27-77%;

- Pengalaman kerja pengolah berkorelasi kuat (rs <0,6) dengan tingkat penerapan kelayakan dasar sedangkan pendidikan tidak terdapat korelasi (rs >0,6) dengan tingkat kelayakan dasar.

2 Suharna, 2006 Kajian Sistem

Manajemen Mutu pada Pengolahan Ikan Jambal Roti di Pangandaran Kabupaten Ciamis.

Deskriptif

- Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pada umumnya mutu bahan baku dan

produk ikan jambal roti di Pangandaran secara organoleptik telah memenuhi syarat standar mutu SNI (rerata nilai mutu bahan baku = 7 dan nilai mutu produk = 6,6),

- Tingkat penerapan Program Kelayakan Dasar masih rendah, pada taraf

kepercayaan 5%, terdapat korelasi nyata antara sudut post rigor mortis dengan nilai organoleptik bahan baku (r = 0,956).

- Demikian juga, nilai organoleptik bahan baku dan tingkat penerapan Kelayakan Dasar berkorelasi nyata dengan nilai organoleptik produk (R = 0,978).

- Pengalaman usaha berkorelasi nyata dengan tingkat penerapan Kelayakan dasar (ρ = 0,847), sedangkan antara tingkat pendidikan dengan tingkat penerapan program kelayakan dasar tidak terdapat korelasi nyata ( ρ = 0,020).

- Tahap proses yang dinyatakan sebagai CCP adalah tahap penerimaan bahan baku dan penjemuran.


(27)

No Nama Penulis Judul Metodologi Hasil dan Kesimpulan Yuwono, 2012 Faktor-faktor yang

mempengarui Penerapan Cara Produksi yang Baik dan Standar Prosedur Operasi Sanitasi Pengolahan Fillet Ikan di Jawa

Deskriptif - Hasil penelitian menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

keberlanjutan penerapan CPB dan SPOS para pengolah fillet ikan yang ada di Jawa adalah:

1. Faktor internal:

-Rendahnya tingkat pengetahuan dan kurangnya pengalaman. 2. Faktor eksternal

-Kurangnya sosialisasi.

-Kurangnya fasilitas sumber air bersih, es dan rantai dingin. -Kurangnya pembinaan.

-Lemahnya pengawasan dan penegakan hokum. -Serta tidak adanya permintaan pasar.

3. Faktor karakteristik inovasi. Kelompok responden mempersepsikan secara negatif inovasi penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan, yaitu tidak dirasakannya keuntungan relatif, (tidak sesuainya penerapan CPB dan SPOS dengan nilai-nilai yang dianut dan rumitnya penerapan CPB dan SPOS).

- Penerapan CPB dan SPOS pengolahan fillet ikan di unit pengolahan kelompok responden sangat buruk kondisinya. Hal ini dapat dilihat dari besarnya jumlah penyimpangan minor dan mayor yang terjadi serta masih adanya penyimpangan serius dan kritis melebihi batas yang ditentukan. Penyimpangan yang terjadi pada umumnya meliputi aspek lingkungan, konstruksi bangunan dan lay out, ventilasi dan fasilitas karyawan, penerangan, saluran pembuangan, persyaratan konstruksi ruang penanganan dan pengolahan fillet, bahan baku, penanganan limbah, pencegahan hewan penggangu, kebersihan dan kesehatan karyawan, proses sanitasi, perlindungan produk dari kontaminasi dan penanganan produk yang tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan.


(28)

3

METODOLOGI

Kerangka Pemikiran

Dalam menghadapi AEC yang diberlakukan di 9 Negara Asean pada akhir tahun 2015, setiap pelaku usaha yang ingin memenangkan kompetisi dalam dunia industri akan memberikan perhatian penuh pada mutu produknya. Proses produksi yang memperhatikan standar akan menghasilkan produk yang berkualitas dan memiliki daya saing serta mampu meminimalisir kerusakan sehingga dapat meningkatkan kepuasan konsumen atas produk tersebut. Suatu produk dikatakan memiliki kualitas yang baik apabila produk tersebut telah memiliki kesesuaian dengan standar yang telah ditetapkan. Salah satu standar yang ditetapkan oleh pemerintah adalah SNI. SNI akan berperan dalam meningkatkan kemampuan industri dalam negeri untuk bersaing di pasar global. SNI juga akan menjadi penjaga dalam masuknya produk yang tidak bermutu ke pasar Indonesia.

Untuk mencapai hal tersebut diperlukan penelitian yang bertujuan menganalisis penyimpangan yang terjadi terhadap standar yang ada. Hasil analisis tersebut digunakan untuk perbaikan sistem kerja, sehingga produk atau proses produksi sesuai dengan standar yang ditentukan. Cindy Group merupakan salah satu industri yang menaruh perhatian pada mutu produknya dalam rangka menciptakan produk yang aman untuk dikonsumsi dan memiliki tujuan jangka panjang menjadi produk unggulan Kabupaten Bogor yang dapat menembus pasar eksport. Kerangka pemikiran penelitian dilihat pada Gambar 2.

Cindy Group

Peningkatan Mutu Produk

Pengujian Mutu Produk - Uji Organoleptik

- Uji Mikrobiologi - Uji Kimia Program Kelayakan Dasar

- Penerapan GMP - Penerapan SSOP

Evaluasi Kesesuaian dengan SNI Analisis Data

Implikasi Manajerial


(29)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Unit Pengolahan Ikan Cindy Group yang beralamat di Kampung Tulang Kuning RT 02 RW 02 Desa Waru Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Jawa Barat. Waktu pelaksanaan penelitian pada bulan Oktober – Desember 2014. Pengujian kualitas contoh produk dilakukan di Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian IPB, sedangkan uji organoleptik dilakukan dengan menyebarkan kuesioner pada responden yang merupakan konsumen produk tersebut.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Menurut Nawawi (2003) metode deskriptif adalah metode penelitian yang memusatkan perhatian pada masalah-masalah atau fenomena yang bersifat aktual pada saat penelitian dilakukan, kemudian menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interprestasi yang rasional dan akurat. Dengan demikian penelitian ini akan menggambarkan fakta-fakta dan menjelaskan keadaan dari obyek penelitian berdasarkan fakta yang ada dan menganalisis kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh. Proses pengambilan data dilakukan dengan cara survei, observasi dan wawancara dengan menggunakan panduan kuesioner. Penelitian dibagi menjadi dua tahap yaitu (1) penilaian terhadap tingkat penerapan program kelayakan dasar (GMP dan SSOP), (2) pengujian contoh produk ikan pindang bandeng sesuai persyaratan SNI 2717:2009 yaitu uji organoleptik, uji mikrobiologi dan uji kimia. Penilaian terhadap tingkat penerapan Program Kelayakan Dasar menggunakan kuesioner sertifikat kelayakan pengolahan (SKP) Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (P2HP KKP) tahun 2007.

Populasi dan Contoh

Definisi populasi dalam penelitian ini adalah lot (kumpulan) suatu produk yang sudah selesai. Produk yang dianalisis adalah produk ikan pindang bandeng higienis yang dihasilkan oleh Cindy Group yang diproduksi dalam satu kali produksi dalam waktu satu hari dengan jumlah atau satuan bahan yang dihasilkan dan ditangani dalam kondisi yang sama. Hasil analisis dari contoh yang ditarik tersebut digunakan untuk mempertimbangkan metode proses yang akan datang dan untuk memperoleh data sebagai dasar pengambilan langkah-langkah suatu tindakan.

Pengambilan contoh produk pindang ikan bandeng mengacu pada SNI 2326:2010 tentang metode pengambilan contoh pada produk perikanan. Tipe penarikan contoh yang digunakan adalah contoh tunggal. Pada contoh tunggal, keputusan ditentukan berdasarkan hasil sampling lot. Bila hasil pemeriksaan contoh memenuhi syarat maka lot diterima, tetapi bila pemeriksaan contoh tidak memenuhi syarat maka lot ditolak. Berdasarkan pada kondisi riil di lokasi penelitian, yaitu jumlah produksi ikan pindang higienis 200-350 kg per hari maka jumlah pengambilan contoh yang mewakili (refresentatif) populasi adalah lima ekor. Contoh yang telah


(30)

16

diambil segera diperiksa dan dianalisis untuk menghindari terjadinya kerusakan pada produk, mengingat produk tersebut merupakan barang yang mudah terkontaminasi oleh berbagai jenis mikroorganisme sehingga mudah rusak.

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan beberapa tahapan kegiatan menurut tujuan penelitian dan hasil yang diharapkan. Skema tahapan penelitian dilihat pada Gambar 3.

1. Pengumpulan dan Analisis Data

Data yang digunakan meliputi data primer dan sekunder. Untuk memperoleh data primer dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan dan memberikan berbagai pertanyaan dengan menggunakan

Mulai

- Penilaian Penerapan Program Kelayakan Dasar (GMP & SSOP)

- Pengujian Contoh Produk (Organoleptik, Mikrobiologi, Kimia)

Kesimpulan & Rekomendasi

Selesai

- Menentukan tingkat (rating) penerapan program kelayakan dasar berdasarkan penyimpangan (deficiency)

- - Analisis data hasil uji (organoleptik, Mikrobiologi dan kimia) dengan menggunakan SPSS

- Analisis Fishbone Diagram dan Pareto Diagram Pengumpulan Data

(Primer & Sekunder)

Pembahasan


(31)

kuesioner. Kuesioner merupakan sejumlah pertanyaan dan dijawab secara tertulis yang akan digunakan untuk memperoleh tanggapan dan informasi dari responden terhadap aspek yang dikaji. Kuesioner dibuat sedemikian rupa dengan mengacu pada berbagai sumber yang terkait langsung dengan program kelayakan dasar (GMP dan SSOP) pengolahan ikan, diantaranya: (1) Peraturan perundang-undangan terkait dengan kelayakan dasar pengolahan ikan; (2) Dokumen Supervisi SKP Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan; (2) SNI Pengolahan Ikan Pindang Nomor 2717:2009; (3) SNI 2326:2010 Metode pengambilan contoh pada produk perikanan; (4) SNI 2346:2011 petunjuk pengujian organoleptik dan atau sensori pada produk perikanan.

Data sekunder merupakan data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain dan telah tersedia pada saat penelitian dilakukan. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui penelusuran berbagai literatur diantaranya: (1) Dokumen yang dimiliki oleh Cindy Group yang diperoleh resmi dari manajemen langsung, (2) Studi pustaka hasil penelitian terdahulu, (3) Informasi dari sumber terpercaya seperti laporan dan publikasi dari lembaga/instansi terkait, buku-buku, majalah, dan jurnal.

2. Penilaian Penerapan Program Kelayakan Dasar

Pelaksanaan penilaian penerapan program kelayakan dasar berpedoman pada pedoman kuesioner supervisi Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) pada Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, KKP). Ada 21 aspek yang menjadi perhatian dalam penilaian penerapan kelayakan dasar tersebut. Aspek-aspek tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Aspek penilaian sertifikasi kelayakan dasar UPI

Klausul Aspek Manajemen/Aspek Teknis

I Komitmen Manajemen Manajemen II Lingkungan Lokasi Area UPI

III Bangunan Pintu, lantai, dinding, langit-langit/atap, jendela, ventilasi, penerangan, saluran pembuangan, tempat penyimpanan bahan kimia. IV Penataan dan

Pemeliharaan alat

Penataan dan penempatan alat, desinfeksi

V Penerimaan Bahan

Baku/Penolong/Tambahan

Persyaratan dan pemakaian bahan Penerimaan bahan

VI Bahan Pembungkus dan Pengemas

Bahan pembungkus dan pengemas VII Penyimpanan Produk

(sesuai perlakuan)

Suhu Penanganan Produk segar, mentah dan masak serta suhu penyimpanan produk beku. Cara penyimpanan produk lainnya. VIII Air Persyaratan Air dan saluran pipa air.


(32)

18

Klausul Aspek Manajemen/Aspek Teknis

X Peralatan dan

Perlengkapan yang kontak dengan produk

Bahan dan desain

XI Fasilitas pencucian produk Desain kebersihan dan fasilitas

pencucian pasokan air dan pencucian XII Konstruksi dan Tata Letak

Alur Proses

Konstruksi UPI, tata letak dan alur proses UPI, ruangan unit proses XIII Kebersihan Ruangan dan

Peralatan Pengolahan

Kondisi ruang pengolahan,

Ketersediaaan peralatan kebersihan , kondisi peralatan pengolahan.

XIV Fasilitas Karyawan Bak cuci kaki, tempat cuci tangan, ruang ganti pakaian, loker, dll. XV Bahan Kimia dan Bahan

Berbahaya

Pemberian label dan penyimpanan bahan kimia berbahaya, penggunaan bahan kimia dan bahan berbahaya. XVI Limbah Padat dan Limbah

Lainnya

Penanganan limbah, tempat penampungan limbah

XVII Pengemasan dan Pelabelan Cara Pengemasan, penyimpanan bahan pengemas, pemberian label pada kemasan dan bahan pembuat kemasan dan label.

XVIII Kebersihan dan Kesehatan Karyawan

Pakaian kerja, tingkat kebersihan dan kesehatan karyawan

XIX Peningkatan

kemampuan/Keterampilan SDM

Pelatihan karyawan XX Pengendalian

BinatangPengganggu

Fasilitas pengendalian binatang pengganggu

XXI Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)

Instalasi pengolahan air limbah (IPAL)

Sumber: KKP, 2012

Untuk memudahkan pemeriksaan, daftar pertanyaan dan penilaian berupa pernyataan negatif, disiapkan bentuk formulir kuesioner supervisi SKP. Pertanyaan lain yang berhubungan dapat diajukan untuk memperkuat penilaian, dilakukan pencatatan atas hal-hal khusus yang ditemukan selama penilaian.

Penerapan kelayakan dasar pada UPI sering mengalami kendala-kendala teknis, sehingga melahirkan berbagai penyimpangan, baik terhadap operasi sanitasi, keamanan pangan, keutuhan dan keterpaduan ekonomi, maupun penyimpangan lainnya. Bentuk-bentuk penyimpangan dalam kelayakan dasar menurut Dirjen P2HP meliputi:

a. Penyimpangan minor (minor deficiency)

Kegagalan sebagian dari sistem HACCP dalam hal operasi sanitasi tetapi persyaratan sanitasi masih dapat dipenuhi.


(33)

Penyimpangan yang mencolok dari seharusnya, misalnya dalam hal keamanan pangan, keutuhan dan keterpaduan ekonomis.

c. Penyimpangan serius (serious deficiency)

Penyimpangan yang sangat mencolok dari yang diharuskan misalnya tentang keamanan produk, keutuhan dan keterpaduan ekonomi dan jika ini berlangsung terus akan menghasilkan produk yang tidak aman, tidak utuh dan salah label.

d. Penyimpangan kritis (critical deficiency)

Suatu penyimpangan dari yang diharuskan seperti tidak adanya keamanan pangan, keutuhan dan keterpaduan ekonomi sehingga menghasilkan ketidakutuhan dan kekeliruan label produk.

Kemungkinan pilihan keempat tingkat penyimpangan tersebut sudah diberikan didalam formulir pemeriksaan. Format penilaian SKP pengolahan dapat dilihat pada Lampiran 1. Untuk menentukan tingkat (rating) kelayakan unit pengolahan berdasarkan penyimpangan yang ada digunakan daftar seperti Tabel 5.

Tabel 5 Penentuan nilai unit pengolahan berdasarkan jumlah penyimpangan

Tingkat (Rating) Mn My Sr Kr

A (Baik Sekali) 0-6 0-5 0 0

B (Baik)* ≥ 7 6 -10 1- 2 0

C (Cukup) NA ≥ 11 3-4 0

D (Tidak Memenuhi Syarat ) NA NA ≥ 5 ≥ 1 Catatan : *) Jumlah penyimpangan Mayor + Serius tidak lebih dari 10

NA = Not Applicable

3. Pengujian Contoh Produk Ikan Pindang Bandeng

Pengujian contoh merupakan bagian dari tahapan analisis mutu untuk mengurangi biaya yang besar, namun masih dapat mewakili kelompok yang besar. Untuk mengkaji kualitas produk pindang ikan bandeng dilakukan pengujian terhadap contoh produk. Pengujian kualitas produk terdiri dari uji organoleptik, uji mikrobiologi (ALT, Escherichia coli, Salmonella, Vibro cholerae dan dan uji kimia (kadar air dan kadar garam).

a. Uji Organoleptik

Pelaksanaan uji organoleptik mengacu pada standar yang ditetapkan oleh BSN yaitu SNI 2346:2010 petunjuk pengujian organoleptik dan atau sensori pada produk perikanan. Pengujian secara sensoris/organoleptik dilakukan dengan sensasi dari rasa, bau/aroma, penglihatan, dan sentuhan/rabaan pada saat makanan dimakan. Kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui kualitas organoleptik pada produk pindang ikan bandeng terdiri dari: (1) kelunakan, (2) rasa, (3) tekstur, (4) aroma, (5) warna. Beberapa kriteria dalam pelaksanaan uji organoleptik diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Pelaksanaan uji organoleptik menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk menilai mutu produk perikanan;


(34)

20

2. Pelaksanaan uji organoleptik dilakukan sekitar pukul 09.00-11.00 dan atau pukul 14.00-16.00 pada saat panelis tidak dalam kondisi lapar atau kenyang.

3. Metode pengujian yang dilakukan pada penelitian ini yaitu metode afektif (Afective test). Metode afektif digunakan untuk mengukur sikap subjektif konsumen terhadap produk berdasarkan sifat-sifat organoleptik. Metode afektif yang digunakan adalah uji hedonik, yaitu mengukur tingkat kesukaan konsumen terhadap produk. Skala hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala yang dikehendaki. Dalam analisa datanya, skala hedonik ditransformasikan kedalam skala angka dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan (nilai 9 jika sangat suka, nilai 7 jika suka, nilai 5 jika agak suka, dan nilai 3 jika tidak suka). Dengan adanya skala hedonik ini secara tidak langsung uji dapat digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan.

4. Jumlah minimal panelis 30 orang panelis non standar (Ketentuan SNI bahwa standar dalam satu kali pengujian adalah 30 orang panelis non standar yang memenuhi persyaratan telah ditetapkan). Penentuan panelis menggunakan metode purposive sampling yaitu konsumen yang merupakan pelanggan produk tersebut. Kriteria panelis bersifat acak dan tidak memerlukan seleksi, namun dapat mewakili konsumen untuk melihat tingkat kesukaan. Metode afektif digunakan untuk mengukur sifat subjektif konsumen terhadap produk berdasarkan sifat-sifat organoleptik. Hasil yang diperoleh adalah kesukaan (tingkat suka/tidak suka) terhadap produk.

Perhitungan nilai organoleptik dilakukan dengan menggunakan score sheet dari panelis, kemudian ditabulasi dengan mencari hasil rataan setiap panelis pada taraf kepercayaan 95% (BSN, 1994). Analisis dilakukan dengan menggunakan analisis keragaman/analisis peragaman (Analyis of Varian atau ANOVA) dengan menggunakan program SPSS Versi 20. Langkah ini merupakan langkah penegasan terhadap hasil analisis masing-masing kriteria contoh.

b. Uji Mikrobiologi

Penyebab mikrobiologi selama pengolahan pangan antara lain adanya mikroba patogen. Faktor yang mempengaruhi adanya mikroba adalah faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik adalah faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh usaha apapun juga dari manusia, artinya faktor yang berasal dari individu ikan itu sendiri misalnya adanya komponen zat makanan yang diperlukan oleh mikroba, pH daging ikan. Sedangkan faktor ekstrinsik merupakan faktor yang dapat dikendalikan oleh manusia di dalam mempelajari kedua aspek tersebut, misalnya cara-cara penangkapan, pengambilan contoh, media pertumbuhan yang digunakan, suhu inkubasi. Uji mikrobiologi pada produk ikan pindang bandeng yang di syaratkan oleh SNI terdiri dari ALT, E. Coli, Salmonella, Vibrio Cholerae, dan Staphylococcus aureus, dan uji kimia terdiri dari kandungan kadar air dan kadar garam.

Pengujian mikrobiologi pada produk perikanan dengan menggunakan Angka Lempeng Total (ALT) bertujuan untuk mengetahui jumlah bakteri total yang terdapat dalam produk yang diujikan mengacu pada SNI


(35)

01-2332.3-2006 (BSN 2006). Pengujian Escherichia coli mangacu pada SNI 01-2332.1- 2006, BSN (2006). Pengujian Salmonella mengacu pada SNI 01-2332.2-2006, BSN (2006). Pengujian Vibrio cholerae mengacu pada SNI 01-2332.4-2006, BSN (2006). Pengujian Staphylococcus aureus mengacu pada SNI 01-2332.9-2011, BSN (2011). Penghitungan jumlah koloni bakteri merupakan salah satu uji yang penting dalam menilai kualitas suatu bahan pangan, karena selain dapat menduga daya tahan suatu makanan juga dapat digunakan sebagai indikator sanitasi dan keamanan makanan (Fardiaz 1996). Berikut ini dijelaskan prosedur pengujian terhadap:

1. Angka Lempeng Total

Angka Lempeng total (ALT) adalah jumlah koloni yang tumbuh pada media dari pengenceran contoh. Penentuan ALT pada pengujian contoh digunakan metode penuangan agar. Untuk media ini dilakukan pengenceran serial. Jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada media agar dihitung setelah inkubasi selama ± 18 jam pada suhu 37 0C. Perhitungan pada koloni hanya dihitung dengan jumlah koloni antara 25-250. Hal ini dikarenakan media agar dengan jumlah koloni tinggi (>300 koloni) sulit untuk dihitung, sehingga kemungkinan kesalahan perhitungan sangat besar, sedangkan untuk jumlah koloni sedikit (<25 koloni) tidak absah dihitung secara statistik.

2. Eschericia Coli

Eschericia Coli atau biasa disingkat E. coli adalah salah satu jenis spesies utama bakteri gram negatif. Pada umumnya bakteri ini ditemukan dalam usus besar manusia. Kebanyakan E.Coli tidak berbahaya, tetapi beberapa tipe dapat mengakibatkan keracunan makanan yang serius pada manusia yaitu diare berdarah karena eksotoksin yang dihasilkan bernama verotoksin. Beberapa cara masuknya bakteri kedalam makanan antara lain adalah: (1) Daging atau ikan yang kontak dengan bakteri dari usus hewan saat sedang diolah; (2) Air yang tidak higienis mungkin mengandung kotoran hewan atau manusia; (3) Penanganan makanan yang tidak aman pada toko-toko kelontong atau rumah makan.

Media yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kehadiran bakteri pada pengujian contoh adalah Eosin Methylene Blue Agar (EMBA). Media ini memiliki keistimewaan mengandung lakstosa dan berfungsi untuk memilah mikroba yang memfermentasikan laktosa seperti S. aureus, P.aerugenosa, dan Salmonella. Mikroba yang memfermentasi laktosa menghasilkan koloni dengan inti berwarna gelap dengan kilap logam.

EMBA merupakan media padat yang dapat digunakan untuk menentukan jenis bakteri E. coli dengan memberikan hasil positif dalam tabung. EMBA yang menggunakan eosin dan mehtylene blue sebagai indikator memberikan perbedaan yang nyata antara koloni yang meragikan laktosa dan yang tidak. Untuk mengetahui jumlah bakteri E.coli umumnya digunakan tabel Hopkins yang lebih dikenal dengan nama MPN (Most Probable Number) atau tabel JPT (jumlah perkiraan terdekat), tabel tersebut dapat digunakan untuk memperkirakan jumlah bakteri E.coli dalam 100 ml dan 0,1 ml contoh air (Bitton, 1994).


(36)

22

3. Salmonella

Salmonella adalah enterobacteriaceae yang terdistribusi secara luas di dalam lingkungan, dan meliputi lebih dari 200 tipe. Salmonella thypi adalah agen infeksi demam tipus, suatu penyakit yang tidak segera diobati dapat menyebabkan kematian. Salmonella thypi tersebut menghasilkan endoktrin yang dapat menyebabkan demam, mual dan diare (Bitton, 1994). Pengujian Salmonella didasarkan pada pertumbuhan bakteri ini pada media selektif melalui tahapan pra pengayaan, pengayaan dan tahap isolasi, kemudian dilanjutkan dengan uji biokimia dan serologi. Penentuan Salmonella pada produk perikanan mengacu pada SNI 01-2332.2-2006, BSN (2006).

4. Vibrio cholerae

V. cholerae adalah bakteri gram negatif berbentuk batang melengkung, bakteri ini berpindah melalui air. V. cholerae mengeluarkan suatu endoxtrin yang menyebabkan diare ringan sampai diare hebat, muntah dan dapat menyebabkan kehilangan cairan dengan cepat, serta dapat menyebabkan kematian dalam waktu yang relatif singkat. Pengujian V. cholerae didasarkan pada pertumbuhan bakteri pada contoh yang diuji. Contoh ditumbuhkan terlebih dahulu pada media pengayaan dan dideteksi dengan menumbuhkan pada media agar selektif. Koloni-koloni yang diduga V. cholerae pada media agar selektif diisolasi kemudian dilanjutkan dengan konfirmasi melalui uji biokimia dan uji serologi untuk meyakinkan ada atau tidaknya V. cholerae. Selama melakukan pengujian diterapkan teknis aseptis dan dilakukan di ruangan atau laminar air flow yang terkontrol. Komposisi dan berat contoh yang akan diuji diambil dengan ketentuan yang diatur dalam SNI 01-2332.4-2006, BSN (2006).

5. Staphylococcus aureus

S. aureus merupakan bakteri Gram-positif berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur, fakultatif anaerob, tidak membentuk spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum 370C, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-250C). Keracunan makanan dapat disebabkan kontaminasi enterotoksin dari S. aureus. Waktu on set dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut yaitu tergantung pada daya tubuh dan banyaknya toksin termakan. Jumlah toksin yang dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0 µg gr-1 makanan. Gejala keracunan ditandai oleh rasa mual, muntah-muntah, dan diare yang hebat tanpa disertai demam (Warsa diacu Kusuma, 2009).

Penentuan S. aureus pada produk perikanan mengacu pada SNI 01-2332.9-2011, BSN (2011). Dalam standar ini cara penentuan S. aureus dengan dua metode yaitu metode cawan hitung (Plate Count) agar sebar dan metode angka paling memungkinkan (APM). Metode cawan hitung agar sebar dilakukan dengan menuangkan media baird parker agar (BPA) kedalam cawan Petri steril, biarkan membeku, kemudian contoh sebanyak satu ml disebar di atas permukaan media. Konfirmasi koloni terduga S. aureus dilakukan dengan uji koagulase dan uji tambahan. Metode ini sesuai untuk menganalisis makanan yang diduga mengandung koloni lebih dari 100 S. aureus g-1. Sedangkan Metode APM dilakukan dengan menumbuhkan bakteri pada media cair dalam tabung reaksi. Menggunakan


(37)

tiga tabung seri pengenceran setelah diinkubasi pada waktu dan suhu tertentu. Tabung yang menunjukkan kekeruhan diinokulasi kedalam media BPA. Konfirmasi koloni terduga S. aureus dilakukan dengan uji koagulase dan uji tambahan. Metoda ini sesuai untuk pengujian rutin pada produk yang diduga mengandung jumlah S. aureus dengan populasi rendah. Selama melakukan analisis perlu untuk menjaga keamanan, keselamatan dan lingkungan kerja.

c. Uji Kimia (KA dan Garam) 1. KA

Pengujian KA mengacu pada SNI 01-2354.2-2006, BSN (2006). Prosedur kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut: Contoh dilumatkan hingga homogen dan di masukkan ke dalam wadah plastik atau gelas yang bersih dan tertutup. Kondisikan contoh pada suhu ruang dan dipastikan contoh masih tetap homogen sebelum ditimbang. Oven dikondisikan pada suhu yang akan digunakan hingga stabil, setelah itu cawan kosong di masukkan ke dalam oven minimal dua jam. Cawan kosong tadi di pindahkan ke dalam desikator sekitar 30 menit sampai mencapai suhu ruang dan ditimbang bobot kosong (A). Contoh yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak dua gram ke dalam cawan (B). Cawan yang telah berisi contoh di masukkan ke dalam oven tidak vakum pada suhu 105ºC selama 16–24 jam. Cawan yang berisi contoh dipindahkan menggunakan penjepit ke dalam desikator selama 30 menit (C). Pengujian dilakukan minimal duplo (dua kali).

Penghitungan KA menggunakan rumus sebagai berikut:

% KA = � − �

B−A � 100%

Keterangan :

A : berat cawan kosong dinyatakan dalam gram B : berat cawan + contoh awal dinyatakan dalam gram C : berat cawan + contoh kering dinyatakan dalam gram 2. Kadar Garam

Pengujian kadar garam contoh mengacu pada SNI 01-2359-1991. Prosedur kerja yang dilakukan adalah sebelum dilakukan pengujian kadar garam, terlebih dahulu harus diketahui jumlah KA pada contoh yang akan diuji sesuai dengan SNI pengujian KA. Selanjutnya untuk pengujian kadar garam, satu sampai tiga gram contoh ditimbang dengan akurat dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml. 25-50 ml AgNO3 0,1 N dipipet ke dalam labu erlenmeyer, HNO3 pekat ditambahkan dan dididihkan perlahan menggunakan hotplate dalam kamar asam. Setelah itu ditambahkan 50 ml air bebas halogen dan didinginkan pada suhu kamar, tiga ml indikator Ferri ditambahkan dan ditittrasi dengan NH4 CNS 0,1 N sampai larutan berwarna coklat muda yang permanen.

Untuk menghitung kadar garam pada produk perikanan digunakan rumus berikut:


(38)

24

% NaCl =[(vol AgNO 3 × N AgNO 3)−(vol NH4 CNS × NH4 CNS)] × 54,44 × 100 berat contoh × 1000

Hasil uji kimia ditabulasi dengan Microsoft Excel, kemudian analisis dengan analisis keragaman (ANOVA) kemudian dilakukan uji lanjutan dengan program Statistical Package Social Science (SPSS) Versi 20 untuk mengetahui apakah contoh yang diamati memenuhi standar SNI atau tidak. Langkah ini merupakan penegasan terhadap hasil analisis contoh.

4. Analisis Fishbone Diagram

Diagram sebab akibat merupakan analisis yang dapat digunakan untuk menggambarkan dengan jelas macam-macam penyebab yang dapat mempengaruhi mutu produk dan menganalisis hal-hal yang sesungguhnya terjadi dalam suatu proses. Menurut Gaspersz (1997), langkah-langkah pembuatan diagram sebab akibat adalah:

1. Penentuan karakteristik mutu, karakter inilah yang akan diperbaiki dan dikendalikan.

2. Menggambar panah besar dari kiri ke kanan. Menulis karakteristik mutu (efek/akibat) pada sisi kanan panah.

3. Penulisan faktor utama yang mungkin menyebabkan efek pada pangkal panah yang mengarah pada panah utama.

4. Pada setiap item cabang, dituliskan faktor rinci yang dapat dianggap sebagai penyebab yang akan menyerupai ranting. Pada setiap ranting, dituliskan faktor lebih rinci dengan gambar panah yang lebih kecil; dan 5. Memastikan semua item telah masuk pada semua diagram sebab akibat.

Diagram sebab akibat (fishbone diagram) dilihat pada Gambar 4.

5. Analisis Pareto Diagram

Diagram Pareto (Pareto Chart) adalah diagram yang dikembangkan oleh seorang ahli ekonomi Italia yang bernama Vilfredo Pareto pada abad XIX (Nasution, 2004). Diagram Pareto digunakan untuk membandingkan berbagai kategori kejadian yang disusun menurut ukurannya, dari yang

Gambar 4 Diagram Fishbone diagram Lingkungan

Efek

Manusia Prosedur

Material

Masalah utama


(39)

paling besar di sebelah kiri ke yang paling kecil di sebelah kanan. Susunan tersebut membantu menentukan pentingnya atau prioritas kategori kejadian-kejadian atau sebab-sebab kejadian-kejadian yang dikaji atau untuk mengetahui masalah utama proses. Kegunaan Diagram Pareto sebagai berikut: (1) Menunjukkan prioritas sebab-sebab kejadian atau persoalan yang perlu ditangani, (2) Membantu memusatkan perhatian pada persoalan utama yang harus ditangani dalam upaya perbaikan, (3) Menunjukkan hasil upaya perbaikan. Setelah dilakukan tindakan koreksi berdasar proritas, kita dapat mengadakan pengukuran ulang dan memuat diagram Pareto baru. Apabila terdapat perubahan dalam diagram Pareto baru, maka tindakan korektif ada efeknya, (4) Menyusun data menjadi informasi yang berguna, data yang besar dapat menjadi informasi yang signifikan.

Menurut Mitra (1993) dan Bestfield (1998), proses penyusunan Diagram Pareto meliputi enam langkah, yaitu:

1. Menentukan metode atau arti dari pengklasifikasian data, misalnya berdasarkan masalah, penyebab, jenis ketidaksesuaian dan sebagainya. 2. Menentukan satuan yang digunakan untuk membuat urutan

karakteristik-karakteristik tersebut, misalnya rupiah, frekuensi, unit dan sebagainya.

3. Mengumpulkan data sesuai dengan interval waktu yang telah ditentukan 4. Merangkum data dan membuat rangking kategori data tersebut dari

yang terbesar hingga yang terkecil

5. Menghitung frekuensi kumulatif atau persentase kumulatif yang digunakan.

6. Menggambar diagram batang menunjukkan tingkat kepentingan relative masing-masing masalah. Mengidentifikasi beberapa hal yang penting untuk mendapatkan perhatian.


(40)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Perusahaan

Cindy Group merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri pemindangan ikan, khususnya pindang ikan bandeng (milkfish). Perusahaan berlokasi di Kampung Tulang Kuning RT 02 RW 02 Desa Waru Kecamatan Parung. Usaha pemindangan ini sudah dirintis sejak tahun 2003, namun resmi terdaftar tahun 2009 dengan bentuk perusahaan berupa Usaha Dagang (UD) nomor SIUP 141/10-20/PK/II/2009 dan memiliki total investasi (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha) Rp60.000.000,-00 Pada awalnya proses pemindangan dilakukan secara tradisional dengan teknik penggaraman dengan menggunakan alat sederhana. Karena keterbatasan yang dimiliki, tenaga pengolah merangkap sebagai tenaga pemasar hanya tiga orang, sehingga kapasitas produksi hanya mampu memenuhi kebutuhan pasar di wilayah Kabupaten Bogor.

Seiring dengan meningkatnya permintaan pasar, pemilik usaha pun melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Tahun 2013 pemilik Cindy Group berhasil mengembangkan usahanya dan mencoba melakukan pengolahan ikan pindang secara higienis. Pembangunan UPI mengacu pada standar teknis yang sesuai dengan program kelayakan dasar UPI (GMP dan SSOP). Hingga saat ini pengolahan pindang ikan secara tradisional masih tetap dilakukan, namun hanya pengolah ikan pindang skala kecil saja yang melakukan kegiatan tersebut. Para pengolah tersebut berasal dari wilayah sekitar lokasi usaha. Cindy Group bertindak sebagai pemasok bahan baku dan memberikan fasilitas tempat pengolahan ikan secara tradisional secara gratis. Hingga saat penelitian dilakukan terdapat 22 orang pelaku usaha yang rutin melakukan aktifitas pengolahan ikan di Cindy Group.

Dilihat dari sisi jumlah tenaga kerja, Cindy Group dapat diklasifikasikan ke dalam UKM kelas menengah, sesuai dengan pengertian UKM menurut Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa berdasarkan kuantitas tenaga kerja, usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5-19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitas usaha yang memiliki tenaga kerja 20-99 orang. Cindy Group sampai tahun 2014 telah mempunyai karyawan 22-25 orang distributor sebagai tenaga pemasaran. Dikaji dari sisi omset penjualan Cindy Group juga diklasifikasikan kedalam UKM menengah sesuai dengan pengertian UKM berdasarkan keputusan Menteri Keuangan Nomor 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994 bahwa perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan usaha yang mempunyai penjualan atau omset per tahun tingginya Rp600.000.000,00 atau aset atau aktiva setinggi-tingginya Rp600.000.000,00 (diluar tanah dan bangunan yang ditempati) terdiri dari: (1) bidang usaha (Fa, CV, PT dan Koperasi); (2) Perorangan (Pengrajin/indutri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, perambah hutan, penambang, pedagang barang dan jasa).


(41)

27 Penilaian Penerapan Program Kelayakan Dasar

Menurut Tjiptono dan Diana (1995) mutu secara umum mengandung unsur-unsur yang dapat diterima secara universal, yaitu usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan, mencakup produk, jasa manusia, proses, dan lingkungan, serta merupakan kondisi yang selalu berubah. Mutu produk pangan yang baik harus menjamin keamanan produk tersebut untuk dikonsumsi oleh manusia, baik dilihat dari aspek mikrobiologi maupun aspek fisika-kimia dari produk tersebut. Pengendalian mutu pangan menurut Hubeis (1999) erat kaitannya dengan sistem pengolahan yang melibatkan bahan baku, proses, pengolahan, penyimpangan yang terjadi dan hasil akhir. Program kelayakan dasar terdiri atas dua bagian pokok yaitu GMP dan SSOP (Wiryanti dan Witjaksono, 2001).

Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 20 ayat 3 bahwa setiap orang yang melakukan penanganan dan pengolahan ikan wajib memenuhi dan menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan dan ayat empat bahwa setiap orang yang memenuhi persyaratan kelayakan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat 3, memperoleh Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), serta sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.19/MEN/2010 pasal 5 ayat 4 bahwa SKP diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan sebagai hasil dari pembinaan terhadap UPI yang telah menerapkan GMP dan SSOP. Penerbitan SKP sebagai proses pembinaan jaminan mutu dan keamanan pangan merupakan bentuk tanggungjawab pemerintah dalam menjamin keamanan pangan untuk masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi produk perikanan baik yang diproduksi oleh UPI skala besar maupun kecil. UPI bersertifikat SKP dijamin produknya aman dikonsumsi oleh masyarakat.

Good Manufacturing Practice

GMP merupakan suatu pedoman cara memproduksi makanan dengan tujuan agar produsen memenuhi persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen (Thaheer, 2008). Ruang lingkup GMP meliputi cara berproduksi yang baik, sejak bahan baku masuk ke pabrik sampai produk dihasilkan, termasuk persyaratan-persyaratan lainnya yang harus dipenuhi.

Tahapan proses pembuatan ikan pindang bandeng di Cindy Group adalah sebagai berikut:

1. Penerimaan bahan baku

Bahan baku berupa ikan bandeng (Chanos chanos) berasal dari Jakarta. Ikan diangkut dengan menggunakan mobil box pendingin. Ikan di packing sedemikian rupa untuk menjaga kesegarannya selama pengangkutan. Selanjutnya, karyawan receiving segera menimbang ikan, setelah itu segera dimasukkan kedalam ruang penyimpanan bahan baku (cold storage). Penerimaan bahan baku dilakukan dengan cepat, higienis dan hati-hati untuk


(42)

28

mencegah kenaikan suhu dan kerusakan fisik. Penanganan bahan baku harus diterapkan sesuai sistem First In First Out (FIFO). Bahan baku yang menunggu proses lebih lanjut harus ditempatkan pada tempat bersih untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Bahan baku ikan pindang disimpan di ruang pendingin sebagai stock pada temperature -20 sampai -30 ºC. Jika akan diolah, ikan dikeluarkan dari ruang pendingin kemudian didiamkan dalam ruangan terbuka kurang lebih tiga jam sampai ikan sudah tidak keras lagi tetapi masih tetap dingin.

2. Pencairan

Bahan baku yang telah dibekukan sebelum diolah lebih lanjut perlu mengalami pencairan (thawing), untuk memperoleh kondisi seperti keadaan segar. Proses thawing yang dilakukan di Cindy Group adalah thawing di ruang terbuka dengan dialiri air kran yang mengalir. Untuk menghindari resiko tumbuhnya bakteri, proses pengolahan dilakukan dalam waktu cepat. Air kran mengalir pelan dan berasal dari air sumur yang telah diendapkan dalam penampungan air (torn).

3. Penyiangan dan Pencucian

Proses penyiangan dilakukan dengan cara membelah badan ikan dan membuang isi perut sedangkan insangnya dibiarkan dan dicuci sampai bersih. Ikan dibelah dari punggung kemudian diteruskan sampai insang dan kepala tetapi jangan sampai putus, seperti pembelahan bentuk “butterfly”. disiangi dengan cara menyobek bagian perut ikan dalam posisi membujur di bagian bawah sisi luar perut mulai dari atas sirip dubur ke arah depan sebelum sirip dada, kemudian isi perut dibuang. Insang tidak dibuang tetapi cukup dicuci sampai bersih. Hal ini dilakukan agar kepala tidak kempes setelah direbus. Isi perut dan kotoran-kotoran lainnya ditampung dalam ember kecil. Penyiangan dilakukan agar proses pembusukan dapat diperlambat karena isi perut merupakan sumber kontaminasi bakteri patogen. Ikan yang sudah disiangi, langsung dicuci dengan air bersih (air sumur yang telah diendapkan) yang mengalir sebanyak 4-5 kali sampai kotoran yang menempel pada tubuh ikan hilang. Ikan yang sudah dicuci bersih ditempatkan dalam ember untuk persiapan proses pelumuran bumbu. Pencucian pada ikan bertujuan agar kotoran, darah dan lendir yang menempel pada permukaan tubuh ikan hilang. Tujuan pencucian adalah untuk membebaskan ikan dari bakteri pembusuk. Ikan yang sudah disiangi harus dicuci sampai bersih karena sisa lendir maupun kotoran lain yang ada pada ikan karena dapat mempercepat proses pembusukan.

4. Penyusunan Ikan

Proses pengolahan dengan menggunakan autoclave. Sebelum ikan disusun dalam autoclave, air bersih dimasukkan ke dalam autoclave sebanyak 1-2 liter. Ikan yang telah dibumbui disusun berlapis-lapis. Lapisan pada penyusunan ikan terdiri dari 4-5 lapisan. Jika lapisan dasar posisi kepala ikan berada dalam satu sisi, maka lapisan diatasnya harus di sisi yang berlawanan. Demikian seterusnya sampai panci penuh dan padat. Perlakuan seperti itu dimaksudkan agar ikan teratur rapi, sehingga autoclave dapat menampung ikan lebih banyak dan mengurangi kerusakan fisik ikan. Kapasitas autoclave yang digunakan dapat bermacam-macam tergantung kebutuhan antara lain 5 kg, 10 kg, 15 kg dan lain-lain.


(43)

29 5. Pemasakan

Proses pemasakan menggunakan autoclave, setelah ikan tersusun rapi, autoclave ditutup rapat. Cara menutup autoclave adalah pengunci diputar searah jarum jam dan pengunci yang berlawanan arahnya juga ikut diputar bersamaan sampai terasa berat atau tidak dapat diputar lagi kemudian stick penyangga dirapatkan dengan tangkai penutup dan dikunci dengan cara ditekan sampai berbunyi “klik”. Sesuai dengan pendapat Djarijah (1995) bahwa ketika dipakai, pengunci dan stik berfungsi secara bersamaan. Stik berfungsi sebagai penyangga tangkai penutup, sementara pengunci berfungsi sebagai penekannya. Dengan demikian kerapatan badan autoclave dan penutupnya menjadi kuat saat disatukan.

Autoclave yang digunakan harus dalam keadaan bersih dan kering. Bagian terpenting dari autoclave terletak pada kekuatan alat pengunci dan kelenturan tangkainya untuk menahan tekanan di dalam alat tersebut sehingga sebelum digunakan harus diteliti terlebih dahulu, agar tidak terjadi gangguan selama pengolahan. Di bagian penutup yang dilengkapi dengan karet harus dikontrol kerapatannya. Posisi karet harus melingkar dan lekat tak terpisahkan dengan komponen penutup lainnya. Karet harus utuh dan keras namun elastis. Bagian pengunci harus terpasang dengan baik. Demikian pula stik harus tegak dan kuat dan tidak goyah. Selama pemasakan api kompor gas harus terus dikontrol. Nyala api dijaga agar tidak terlalu besar atau terlalu kecil, apabila nyala api terlalu besar kemungkinan penguapan air terlalu cepat sehingga air habis sebelum waktunya sedangkan ikan belum lunak (Djariyah, 1995).

6. Pendinginan

Selama proses pendinginan autoclave didiamkan selama setengah jam sampai tidak mengeluarkan suara mendesis, agar uap yang ada di dalam panci keluar semua dan tekanan dalam panci turun. Hal ini dilakukan untuk mencegah rusaknya karet katup pengaman panas. Setelah dingin, ikan diangkat satu persatu dengan hati-hati, kemudian diletakkan berjajar di atas rak besi untuk diangin-anginkan pada suhu ruangan

7. Pelumuran Bumbu

Pada pengolahan pindang higienis dilakukan proses pelumuran bumbu. Pelumuran bumbu dilakukan apabila ikan sudah dimasak. Bumbu yang digunakan untuk bagian dalam ikan sama dengan bumbu yang digunakan untuk dioleskan bagian luar tubuh ikan, gunanya untuk mempertegas warna dan kenampakan ikan pindang. Penambahan bumbu dalam proses pembuatan pindang bertujuan untuk mempertegas rasa dan aroma, apabila tidak ditambahkan kunyit dalam bumbu warna pindang akan terlihat pucat dan kurang menarik. Kunyit merupakan zat pewarna alami karena mengandung kurkumin yang akan memberikan warna kuning.

8. Pengemasan

Daya awet ikan pindang tergantung dari proses pengemasannya. Ada pengolah yang hanya menggunakan plastik ada juga yang menggunakan plastik dan kertas karton. Kantong plastik yang digunakan adalah jenis kantong plastik polyethylene. Sedangkan kertas yang digunakan adalah kertas karton dengan berbagai macam ukuran tergantung satuan produk yang akan dikemas. Pada kemasan mencantumkan komposisi bumbu,


(1)

75

Multiple Comparisons Dependent Variable: nilai

D .0011200* .0003386 .026 .000107 .002133 E 0E-7 .0003386 1.000 -.001013 .001013 D

A .0008200 .0003386 .150 -.000193 .001833 B .0004200 .0003386 .729 -.000593 .001433 C -.0011200* .0003386 .026 -.002133 -.000107 E -.0011200* .0003386 .026 -.002133 -.000107 E

A .0019400* .0003386 .000 .000927 .002953 B .0015400* .0003386 .002 .000527 .002553 C 0E-7 .0003386 1.000 -.001013 .001013 D .0011200* .0003386 .026 .000107 .002133

Homogeneous Subsets

Nilai

Tukey HSDa

contoh N Subset for alpha = 0.05

1 2

A 5 .012640

B 5 .013040

D 5 .013460

C 5 .014580

E 5 .014580

Sig. .150 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000.


(2)

76


(3)

77

Lampiran 8 Dokumen Legalitas Cindy Group

1.

Sertifikat Kelayakan Pengolahan dari DJP2HP KKP


(4)

78

3.

Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (P-IRT)


(5)

79

5.

Surat Keterangan Usaha


(6)

80

7.

Tanda Daftar Perusahaan