Karakteristik Lingkungan Rumah dan Produksi Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga) di Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat

ABSTRACT
Swiftlet’s House Environment Characteristics and The Production of
Edible-Swiftlet Nest of Collocalia fuciphaga in Haurgeulis,
Indramayu District, West Java
Hakim, A., M. Ulfah and P. H. Siagian
Swiftlets farmings have various problems such as the reduction in population and
swiftlets’s nest production due to the variabilities of environment characterictics
around the swiftlets’s house. The purposes of this research were to detect the factors
that influence swiftlets’s nest production, characteristics of the swiftlets’s houses,
and also location and condition of the swiftlets’s nest production in Haurgeulis,
Indramayu District, West Java. The general characteristics of swiftlets houses and
their surrounding, microclimate inside the swiftlet’s houses (temperature, relative
humidity, light intensity and their edible-swiftlet nest production) were observed in
this study. There were four swiftlet’s houses (A, B, C and D) observed in this study.
The design and construction of those houses affected the microclimate inside the
houses, thus affected the population and production of edible-swiftlet nest of
Collocalia fuciphaga. The daily temperature inside the swiftlet’s house of A, B, C
and D were 26.10-29.73°C, 30.03-31.98oC, 25.35-27.5oC and 27.7-29.25oC,
respectively. The daily humidity inside the swiftlet’s house of A, B, C and D were
69.5-85.5%, 59-65%, 77.75-92% and 83.25-93.25%, respectively. The light intensity
of all houses was 0 lux. The production of nest and swiftlets population inside the

swiftlet’s house of A, B, C and D were 76 nests (190 heads), 136 nests (340 heads),
10 nests (25 heads) and 81 nests (203 heads), respectively. Haurgeulis had 3997 ha
of paddy field and 204 ha of garden area (65.71% and 3.35% of total area in
Haurgeulis). Haurgeulis is also surrounded by 4.753,55 ha teak plantation (Tectona
grandis), located in Gantar, Cikandung, and Tamansari (BKPH Haurgeulis, 2011).
The reduction in swiftlet population and swiftlet’s nest production, the presence of
nuisance animals in the swiftlet’s house, thieve of the nest, and illegal payments were
identified as farmer’s problem in increasing edible-swiftlet nest production.
Keywords: swiftlets houses, microclimate, location, population and edible-swiftlet
nest production

iv

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Collocalia

fuciphaga

merupakan


spesies

dari

burung

walet

yang

menghasilkan sarang putih dengan nilai ekonomi tinggi. Indonesia merupakan negara
yang menghasilkan sebagian besar sarang burung walet di dunia. Pengusahaan
budidaya burung walet di Indonesia dilakukan sejak abad ke-18 dan banyak
dikembangkan di luar habitat aslinya, yaitu pada rumah burung walet. Salah satu
daerah di Indonesia yang mengalami peningkatan pesat dalam usaha budidaya
burung walet di dalam rumah adalah Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu,
Jawa Barat. Haurgeulis terletak di dekat pantai utara, dikelilingi hutan dan
persawahan sehingga merupakan daerah yang cocok untuk burung walet dalam
beraktivitas mencari pakan.

Produksi sarang burung walet dipengaruhi oleh kondisi habitatnya.
Peningkatan jumlah rumah burung walet di Kecamatan Haurgeulis tidak menambah
produksi sarang burung walet di wilayah tersebut, banyak rumah burung walet yang
tetap kosong selama bertahun-tahun. Permasalahan lain pada rumah burung walet
yang telah berdiri lama adalah populasi burung walet yang semakin lama semakin
berkurang. Sampai saat ini belum tersedia data yang lengkap tentang faktor-faktor
yang menyebabkan berkurangnya populasi burung walet di Kecamatan Haurgeulis.
Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang karakteristik lingkungan rumah burung
walet sebagai dasar pengembangan budidaya dan peningkatan produksi sarangnya.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan informasi
mengenai karakteristik lingkungan rumah burung walet, sehingga dapat menjadi
acuan untuk meningkatkan produksi sarang burung walet. Selain itu, diharapkan juga
dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan strategi-strategi baru dalam
mengelola rumah burung walet serta perbaikan manajemen budidayanya.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami dan mengevaluasi
karakteristik bangunan rumah burung walet, kondisi lingkungan di dalam dan di luar
rumah burung walet, dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi sarang burung
walet di Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.


1

TINJAUAN PUSTAKA
Burung Walet (Collocalia fuciphaga)
Collocalia fuciphaga merupakan spesies dari burung walet yang paling
banyak dibudidayakan di Indonesia. Menurut MacKinnon (1995), spesies ini
berukuran sedang (12 cm), tubuh bagian atas berwarna coklat kehitam-hitaman
dengan tungging abu-abu pucat, tubuh bagian bawah berwarna coklat, sayap
berbentuk bulan sabit memanjang dan runcing, memiliki ekor yang menggarpu dan
kuku yang tajam. Kedua jenis kelamin pada burung ini sulit dibedakan, memiliki
bobot tubuh 8,7-14,8 gram (Dunning, 2008) dan bentang sayap 110-118 mm
(Campbell dan Lack, 1985). Menurut Campbell dan Lack (1985), burung ini bersifat
monogami dan induk betina menghasilkan dua butir telur yang dierami oleh kedua
induk selama 23±3 hari.
Burung walet sarang putih memiliki klasifikasi zoologis sebagai berikut (Bird
Life International, 2009):
Kerajaan

: Animalia


Filum

: Chordata

Kelas

: Aves

Ordo

: Apodiformes

Famili

: Apodidae

Genus

: Collocalia


Spesies

: Collocalia fuciphaga (Thunberg, 1812)

Burung ini merupakan penerbang yang kuat, mampu terbang sekitar 40 jam
secara terus menerus, menjelajahi home range dengan radius 25-40 km (Mardiastuti
et al., 1998). Burung walet menggunakan ekholokasi sehingga mampu terbang di
tempat yang gelap (Soehartono dan Mardiastuti, 2003). Sarang Collocalia fuciphaga
terbentuk dari air liur burung tersebut yang mengeras (Mardiastuti et al., 1998).
Habitat Burung Walet
Habitat adalah tempat yang digunakan untuk mencari pakan, minuman dan
berkembangbiak. Secara alami burung walet merupakan penghuni gua batu kapur
yang dikelilingi hutan yang lebat (MacKinnon, 1995). Burung tersebut menggunakan
langit-langit gua untuk menempelkan sarang sebagai tempat istirahat atau tidur dan

2

berbiak. Menurut Kepmenhut Nomor 449/Kpts-II/1999, burung walet (Collocalia
fuciphaga) menempati habitat dua habitat, yaitu habitat alami dan habitat buatan.
Habitat alami (In-Situ) burung walet adalah gua-gua alam, tebing/lereng bukit yang

curam beserta lingkungannya sebagai tempat burung walet hidup dan berkembang
biak secara alami, baik yang berada di kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.
Habitat buatan (Ex-Situ) burung walet adalah bangunan sebagai tempat burung walet
hidup dan berkembang biak. Habitat untuk burung walet dapat diklasifikasikan ke
dalam dua kelas, yaitu habitat makro dan mikro.
Habitat Makro Burung Walet
Habitat makro merupakan daerah tempat burung walet mencari pakan.
Habitat makro burung walet adalah di sekitar pantai dan daerah yang ditumbuhi
banyak tanaman atau hutan (Gosler, 2007). Habitat mencari pakan yang paling
cocok untuk spesies Collocalia fuciphaga adalah campuran antara sawah dan tegalan
(50%), lahan basah (20%), dan daerah berhutan (30%) yang terletak hingga 1.500 m
di atas permukaan laut (dpl) (Soehartono dan Mardiastuti, 2003). Faktor pakan
sangat bergantung dengan habitat makro, sehingga habitat makro sangat penting bagi
kelangsungan hidup burung walet (Sumiati, 1998).
Habitat Mikro Burung Walet
Habitat mikro burung walet adalah tempat burung tersebut tinggal, bersarang,
dan berkembangbiak. Habitat mikro tersebut ada dua, yaitu gua dan rumah, yang
pada hakekatnya mempunyai sifat ekologis yang serupa dalam hal kelembaban, suhu,
dan cahaya (Sumiati, 1998). Habitat mikro burung walet yang ideal adalah daerah
yang mempunyai kondisi udara dengan suhu 27-29oC dan kelembaban 70-95%

(Sofwan dan Winarso, 2005), tenang, aman, tersembunyi dan tidak banyak terganggu
predator serta burung walet mudah menempelkan sarangnya dan mudah keluar
masuk ruangan. Sedangkan intensitas cahaya yang disukai burung walet adalah
mendekati 0 lux (gelap total) (Francis, 1987).
Suhu yang terlalu rendah dapat mengurangi produktivitas sarang, sedangkan
kelembaban yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan jamur pada tempat
peletakan sarang dan terjadi pertumbuhan nyamuk pada genangan air di dalam rumah
burung walet (Ibrahim et al., 2009). Selain itu, kondisi sirip burung walet yang

3

terlalu lembab juga tidak disukai burung walet karena dapat menyebabkan sarang
mudah lepas dan terjatuh. Menurut Sawitri (2007), upaya untuk menstabilkan suhu
dan kelembaban dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya: (1) membuat
lubang sirkulasi udara dengan PVC berdiameter 0,75-1” dengan jarak 60 cm di
sepanjang dinding, (2) menyediakan air atau arang di dalam tempayan-tempayan, (3)
memasang jaringan pipa air pada dinding, (4) membasahi permukaan tembok dan
lantai dalam ruangan secara berkala, (5) membuat kolam depan rumah burung walet,
(6) melapisi atap plafon dengan aluminium foil, sekam padi, atau kulit kerang, dan
(7) memasang sprayer di atap rumah burung walet untuk pengkabutan, terutama

pada musim kemarau. Selain itu, menurut Taufiqurohman (2002), dapat juga
dilakukan dengan membuat saluran air atau kolam dan atap rumah burung walet
berbahan genting. Kolam yang dibuat di atap bertujuan meredam panas radiasi
matahari pada siang hari.
Saat terbang dalam kegelapan di dalam gua maupun rumah burung walet,
burung ini menggunakan daya ekholokasi untuk melakukan navigasi (Mardiastuti et
al., 1998). Daya ekholokasi adalah suatu sistem yang digunakan oleh burung untuk
mengenal keadaan lingkungan suatu tempat (terutama dalam keadaan gelap), dengan
mengeluarkan suara putus-putus berfrekuensi tertentu dan kemudian menangkap
kembali pantulan suara itu dengan telinganya untuk menentukan jarak dan arah dari
benda yang memantulkannya. Menurut Thomassen dan Povel (2006), daya
ekholokasi digunakan juga sebagai pendeteksi sarang milik burung walet tersebut.
Rumah Burung Walet
Burung walet berkembangbiak dan membuat sarang di gua-gua atau rumah
burung walet. Rumah burung walet berbeda dengan gua, namun burung walet
terbukti mampu beradaptasi dan dapat bersarang di dalamnya. Menurut Mardiastuti
et al. (1998), jumlah rumah burung walet pada tahun 1998 diperkirakan mencapai
7.500 sampai 10.000 rumah yang sebagian besar terdapat di Pulau Jawa dan
Sumatera Utara. Rumah burung walet di Jawa banyak ditemukan di sepanjang pantai
utara, dengan peningkatan pesat terjadi di Indramayu (Jawa Barat) dan Gresik (Jawa

Timur) (Mardiastuti et al., 1998).
Mardiastuti et al. (1998) menyatakan bahwa rumah burung walet dapat
berupa bangunan tua, bangunan hasil rehabilitasi rumah seriti, atau bangunan baru
4

yang dikondisikan iklim mikronya sesuai habitat asli burung walet. Bangunan tua
yang menjadi rumah burung walet pada umumnya berasal dari rumah-rumah tua
peninggalan zaman Belanda. Secara umum bangunan tersebut berbentuk seperti
gedung besar berukuran 10 x 15 m sampai 10 x 20 m, dengan ketinggian tembok
5-6 m. Menurut Taufiqurohman (2002), ruangan dapat dibuat bertingkat berdasarkan
ketinggian minimum 2 m, setiap tingkat dipetak-petak lagi menjadi beberapa ruangan
sehingga akan menciptakan suasana dalam gua-gua batu karang alami.
Penggunaan ruangan oleh burung walet menurut Mardiastuti et al. (1998)
terbagi menjadi tiga ruang (Gambar 1), yaitu:
1. Roving area adalah tempat untuk terbang berputar-putar di halaman rumah
burung walet. Ukuran roving area tergantung banyaknya populasi burung walet.
Setidaknya diberi lahan kosong di depan pintu burung walet seluas 4 x 4 x 4 m3.
Burung walet mempunyai kebiasaan terbang berputar-putar dulu di roving area
sebelum masuk ke dalam rumah burung walet pada sore hari.
2. Roving room adalah ruangan di dalam rumah burung walet dan terletak setelah

lubang masuk burung walet, berfungsi sebagai tempat terbang berputar-putar
sebelum hinggap di tempat bersarang.
3. Resting/Nesting room adalah ruangan di dalam

rumah burung walet tempat

burung tersebut beristirahat pada malam hari. Ruangan tersebut juga berfungsi
sebagai tempat untuk bersarang, biasanya terdiri dari sekat-sekat yang beraturan.
Lubang masuk
burung

Pintu masuk

Tampak samping

Tampak depan

Gambar 1. Denah Penempatan Ruang di dalam Rumah Burung Walet (Mardiastuti
et al., 1998)

5

Atap rumah burung walet terbuat dari genteng dan berdinding bata plester
tebal yang biasanya berkapur putih juga memiliki plafon dan wuwungan yang tinggi
(empat meter atau lebih) (Mardiastuti et al., 1998). Kemiringan atap yang tajam baik
digunakan untuk rumah burung walet di daerah panas karena memiliki sirkulasi
udara yang baik dan menyejukkan udara di dalamnya. Rumah burung walet dalam
kondisi tertutup dan hanya terdapat satu pintu untuk manusia, sedangkan lubang
masuk burung walet dalam satu rumah biasanya terdapat lebih dari satu buah yang
terletak di atas dengan tinggi minimum dua meter dari tanah. Lubang masuk burung
walet berbentuk persegi panjang dengan ukuran yang bervariasi namun cukup untuk
burung walet bergerak bebas keluar masuk. Ukuran lubang tersebut pada umumnya
adalah panjang 30 cm dan lebar atau tinggi 18-20 cm. Posisi lubang ini sebaiknya
tidak menghadap ke Timur atau Barat karena merupakan arah matahari terbit dan
terbenam sehingga memungkinkan cahaya masuk ke dalam rumah secara langsung.
Disamping itu, upaya lain untuk meminimalkan cahaya yang masuk dapat dilakukan
dengan pemasangan karung goni di depan lubang masuk burung walet.
Pakan Burung Walet
Campbell dan Lack (1985) menyatakan bahwa burung walet adalah aerial
insectivore, yaitu jenis burung yang menangkap serangga pada saat burung terbang.
Menurut Mardiastuti et al. (1998), burung walet sering dijumpai berkumpul mencari
pakan di tempat yang sama sehingga tampak bahwa burung walet mencari pakan
secara bergerombol meskipun pada dasarnya burung walet mencari pakan secara
soliter. Hal ini dikarenakan serangga pakan burung walet seringkali terdapat dalam
suatu kumpulan yang besar. Jenis-jenis pohon yang sering didatangi burung walet
adalah beringin (Ficus benjamina), kenari (Canarium commune), kihujan (Samanea
saman), angsana (Pterocarpus indicus), dan flamboyan (Delonix regia). Selain itu,
menurut MacKinnon (1995), pohon yang sering didatangi burung walet adalah pohon
Ara (Ficus annulata) karena banyak tawon yang sering beterbangan di atasnya.
Serangga pakan burung walet merupakan serangga yang sangat kecil,
diperkirakan memiliki panjang 1 sampai 2 mm (Mardiastuti et al., 1998). Serangga
pakan burung walet yang terbanyak dikonsumsi adalah ordo Hymenoptera dan
Diptera (Lourie dan Tompkins, 2000). Menurut Mardiastuti et al. (1998), empat ordo
serangga yang menjadi pakan burung walet dengan urutan dominasi serangga pakan
6

adalah Hymenoptera (89,8%) (lebah, tawon, semut terbang), Coleoptera (8,3%)
(kumbang, kepik, kunang-kunang), Homoptera (1,7%) (lalat putih, kutu loncat,
wereng) dan Diptera (0,2%) (nyamuk, lalat). Sedangkan jika dilihat pada tingkat
famili, maka famili Formicidae merupakan jenis seranggga pakan yang paling
banyak dikonsumsi oleh burung walet, yakni mencapai 98,2% dari ordo
Hymenoptera atau 88,2% dari keseluruhan pakan burung walet.
Kebiasaan Burung Walet
Burung walet hidup di rumah yang disukainya secara berkoloni dan memiliki
homing instinct, yang akan membuatnya selalu kembali dan tinggal di rumah yang
sama selama mereka nyaman dan keamanannya tidak terganggu. Menurut Chantler
dan Driessens (1995), burung walet sangat setia pada tempat bersarangnya dan akan
kembali pada tempat yang sama pada musim biak.
Burung walet mempunyai kebiasaan membuat sarang di gua-gua kapur atau
di rumah burung walet. Collocalia fuciphaga memilih bersarang pada permukaan
yang kering dengan bidang vertikal (Solihin et al., 1999). Burung ini mempunyai
kebiasaan bersarang dalam kelompok. Jarak satu sarang dengan sarang lainnya
sangat berdekatan, bahkan beberapa “kaki sarang” saling bersinggungan. Perilaku
bersarang ini diduga berkaitan dengan keamanan terhadap berbagai gangguan dan
sebagai upaya meningkatkan suhu saat mengerami telur (Mardiastuti et al., 1998).
Viruhpintu et al. (2002) menyatakan bahwa pada sebuah gua di Thailand, Collocalia
fuciphaga bersarang secara berkelompok dengan jumlah sarang sekitar 10 sampai
lebih daripada 1.000 keping dengan luasan rata-rata 12,32 m2.
Kebiasaan mencari pakan oleh burung walet dilakukan sejak keluar rumah
pada pagi hari hingga sore hari. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan Purwaka
(1989), burung walet (Collocalia fuciphaga) mulai keluar pada pagi hari sejak pukul
04.57 sampai 05.23 WIB dan masuk rumah pada sore hari pukul 17.47 sampai 18.12
WIB. Pukul 05.00 sampai pukul 07.00 WIB, burung walet mencari pakan di
pesawahan dekat dengan sarangnya. Udara yang panas pada siang hari menyebabkan
serangga tidak keluar lagi sehingga burung walet melanjutkan perjalanannya mencari
pakan di atas pohon-pohon besar sampai pukul 11.00 WIB. Burung walet banyak
ditemukan bergerombol di daerah sungai pada tengah hari. Burung ini menggunakan
sungai dan rawa sebagai tempat minum, mandi dan mencari pakan pada siang hari.
7

Sebelum kembali ke sarang, burung walet mencari pakan kembali ke sawah-sawah
dan kemudian pulang menjelang sore sekitar pukul 18.00 WIB.
Sarang Burung Walet
Sarang burung Collocalia fuciphaga terbuat dari sejumlah besar air liur yang
mengeras (MacKinnon, 1995). Air liur ini mengeras oleh udara di tempat yang tidak
terlindung membentuk substansi berwarna putih bersih menyerupai kaca (Gosler,
2007). Sarang tersebut pada umumnya berwarna kecoklatan atau putih kotor, bagian
luar padat dan keras, serta bagian dalam memiliki tekstur yang spongy. Sarang ini
rapuh, mudah patah dan sebagian besar seperti lem perekat. Ujung-ujung sarang dan
bagian sarang yang menempel pada dinding (kaki sarang) memiliki tekstur yang
lebih keras dan kurang kenyal seperti pada bagian lainnya. Sarang tersebut memiliki
bau yang khas seperti bau amis (Mardiastuti et al., 1998).
Waktu pembuatan sarang sangat bervariasi tergantung musim. Burung walet
biasanya memulai membuat sarangnya beberapa minggu sebelum burung tersebut
siap untuk bertelur. Menurut Francis (1987), sarang burung walet dibuat oleh burung
jantan dan betina selama 30-45 hari. Musim hujan saat serangga melimpah ruah,
sarang dapat diselesaikan dalam 30 hari. Bulan September-April, sarang diselesaikan
dalam 40 hari. Sarang burung walet umumnya dipanen tiga kali dalam setahun,
pertama pada bulan April atau Mei, kedua pada bulan Juli atau Agustus dan ketiga
pada bulan November atau Desember. Sarang burung walet biasanya dibentuk secara
bergantian oleh induk jantan dan betina. Seekor induk dapat menghabiskan 25-60
menit sehari untuk membuat sarang.
Komposisi zat gizi sarang burung walet bervariasi tergantung pada jenis
burung, jenis pakan dan musim pembuatannya. Lau dan Melville (1994)
mengemukakan bahwa komposisi kimia sarang burung walet terdiri dari 50-60%
protein, 25% karbohidrat dan 10% air dengan sedikit mineral terutama kalsium,
fosfor, potassium dan sulfur. Selain itu, diketahui sarang burung walet dibuat dari
suatu glycoprotein yang tersusun dari protein dan karbohidrat, yang mempunyai
pengaruh nyata terhadap sel darah manusia. Menurut Wieruszeski et al. (1987),
glycoprotein merupakan suatu zat yang terdapat pada sarang yang dihasilkan oleh
kelenjar ludah burung walet (genus Collocalia), sebagian besar berasal dari sialic
acid o-glycosylproteins. Kandungan protein yang tinggi berfungsi mempercepat
8

regenerasi sel. Selain itu menurut Mardiastuti et al. (1998), di dalam sarang burung
walet terdapat senyawa aktif 9-octadecenoic acid (ODA) dan hexadecenoic acid
(HAD) sebesar 3,9-6,8%. ODA memiliki fungsi di dalam tubuh, yaitu dapat
menghambat kanker, menurunkan kadar kolesterol dan sebagai media pelarut
vitamin A, D, E dan K. HAD berfungsi untuk menstimulus kerja enzim sehingga
dapat meningkatkan produksi energi metabolisme tubuh. Sarang burung walet dapat
digunakan sebagai pangan yang dikonsumsi untuk tujuan kesembuhan bagi orang
yang menderita sakit TBC dan juga dipercaya dapat memberikan kelembaban pada
saluran pernafasan dan kulit, menambah energi hidup, menyehatkan tubuh dan
membantu pencernaan dan penyerapan nutrisi pakan (Lau dan Melville, 1994).
Proses pemanenan sarang burung walet menurut Kepmenhut Nomor
449/Kpts-II/1999 dapat dilakukan dengan cara penen rampasan dan panen tetasan
dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Panen rampasan adalah sistem
pemanenan sarang burung walet yang dilakukan pada saat sarang burung walet
sempurna dibuat dan belum berisi telur. Panen tetasan adalah sistem pemanenan
sarang burunng walet yang dilakukan setelah anakan burung walet menetas dan
sudah bisa terbang serta dapat mencari makan sendiri. Pemanenan sarang burung
walet

dengan cara panen tetasan wajib dilakukan minimal satu tahun sekali,

sedangkan panen rampasan dapat dilakukan tiga kali dalam satu tahun.

9

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2011 sampai dengan bulan Juli
2011. Penelitian dilakukan di empat unit rumah burung walet yang terletak di Desa
Sukajati (rumah A dan B), Desa Haurgeulis (rumah C) dan Desa Mekarjati (Rumah
D), Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Materi
Materi yang digunakan pada penelitian ini adalah populasi burung walet sarang
putih (Collocalia fuciphaga) pada empat rumah burung walet yang terletak di
Kecamatan Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah thermohygrometer,
lightmeter, pita ukur, senter, kamera digital, kompas dan alat tulis.
Prosedur
Pengambilan Data
Penelitian ini diawali dengan melakukan survei ke rumah burung walet di
Kecamatan Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat. Penentuan rumah burung walet yang
dijadikan sebagai lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling,
yaitu berdasarkan rumah burung walet yang telah berproduksi dan memiliki
karakteristik fisik yang hampir sama (terdiri dari 2-3 lantai).
Data penelitian diperoleh dengan metode observasi, wawancara terbuka dan
recall method. Observasi dilakukan di dalam rumah burung walet dan di sekitarnya.
Wawancara dilakukan kepada pengelola rumah burung walet dan recall method
dilakukan terhadap data luasan tutupan lahan hutan di Kecamatan Haurgeulis.
Peubah yang Diamati
1. Tata Letak dan Desain Rumah Burung Walet
Tata letak rumah burung walet diamati dengan melihat langsung dan
kemudian dilakukan pembuatan sketsa denah rumah burung walet.
2. Karakteristik Fisik Rumah Burung Walet
Karakteristik fisik rumah burung walet diamati dengan memperhatikan
keadaan dan fasilitas yang ada di luar dan di dalam rumah burung walet. Selain

10

itu, dilakukan juga pengukuran terhadap ukuran rumah burung walet, kondisi
lantai di dalam rumah walet, ukuran kolam air, jumlah dan ukuran lubang masuk
burung walet, ukuran pintu masuk untuk pengelola dan pipa sprayer.
3. Kondisi Lingkungan Makro
Lingkungan makro yang diamati berupa kondisi dan jarak area
bervegetasi dan berair di sekitar rumah walet serta arah angin. Selain itu,
dilakukan pula pengamatan terhadap burung walet di lingkungan makro tersebut.
4. Iklim Mikro di dalam Rumah Burung Walet
Data iklim mikro yang diamati terdiri dari suhu, kelembaban dan intensitas
cahaya. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan menggunakan
thermohygrometer, sedangkan intensitas cahaya diukur menggunakan lightmeter.
Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan selama tujuh hari. Rataan
suhu (T) dan kelembaban (Rh) harian dihitung dengan rumus (Guslim, 1997):
Rataan � harian =

Keterangan:

(2 × �6 ) + � + � 8
4

Rataan T harian = rataan suhu harian
T 6 , T 12 , T 18

= pengamatan suhu pada jam 06.00, 12.00 dan 18.00
WIB.

Keterangan :

Rataan �ℎ harian =

(2 × �ℎ6 ) + �ℎ
4

+ �ℎ

8

Rataan Rh harian = rataan kelembaban harian
Rh 6 , Rh 12 , Rh 18

= pengamatan kelembaban udara pada jam 06.00,

12.00
dan 18.00 WIB.
5. Populasi dan Jumlah Sarang Burung Walet
Jumlah sarang burung walet dihitung secara langsung, sedangkan populasi
burung walet dihitung melalui pendekatan jumlah sarangnya menurut Mardiastuti
dan Mranata (1996) dengan rumus:
Populasi = (∑sarang x 2) + 25% (∑sarang x 2)
Asumsi : Monogami dan 25% non breeding.

11

Selain itu, dilakukan juga pengamatan mengenai pemanenan sarang dan
kualitas sarang burung walet yang dihasilkan.
Analisis Data
Data suhu dan kelembaban hasil penelitian yang telah diperoleh diolah
dengan rumus sebagai berikut:
∑�
� + � + ⋯ + ��
�= ��
�̅ =
=



Keterangan:

∑��= (�� − ��)

�=
�−1

�̅ = Rataan data contoh
�� = Data contoh

n = Banyak data contoh
� = Simpangan baku

Pengkajian data mengenai karakteristik fisik rumah burung walet, kondisi

habitat mikro dan habitat makro, populasi dan jumlah sarang burung walet, serta
pengelolaan rumah burung walet dan kendalanya dilakukan dengan menggunakan
analisis deskriptif. Analisis deskriptif adalah penguraian, penggambaran, dan
penjelasan mengenai data dan hasil yang telah diperoleh.

12

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Haurgeulis secara geografis terletak di ujung Barat Kabupaten
Indramayu dan terletak antara 107o51’-107o54’ Bujur Timur dan 6o35’-6o35’ Lintang
Selatan. Kecamatan ini secara topografi berupa dataran yang terletak pada ketinggian
23 meter di atas permukaan laut (dpl) dengan curah hujan 1.345 mm per tahun dan
rataan hari hujan 11 hari per bulan sepanjang tahun 2010 (BPS Haurgeulis, 2011).
Kecamatan Haurgeulis secara administratif merupakan salah satu dari 31
kecamatan dalam wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu, Jawa Barat.
Kecamatan ini berada di ujung Barat wilayah Indramayu yang berbatasan langsung
dengan Kabupaten Subang (Gambar 2). Kecamatan Haurgeulis terbagi menjadi 10
desa, yaitu Cipancuh, Haurgeulis, Haurkolot, Karangtumaritis, Kertanegara,
Mekarjati, Sidadadi, Sukajati, Sumbermulya, dan Wanakaya. Perbatasan wilayah
Kecamatan Haurgeulis adalah sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Anjatan,
sebelah Timur dengan Kecamatan Kroya, sebelah Selatan dengan Kecamatan Gantar
dan sebelah Barat dengan Kecamatan Compreng dan Cipunagara (Kabupaten
Subang) (BPS Haurgeulis, 2011). Jumlah penduduk yang tercatat pada tahun 2010 di
Kecamatan Haurgeulis adalah 93.509 jiwa dengan 24.145 kepala keluarga dan
kepadatan penduduknya mencapai 1.511 jiwa per km2 (BPS Kecamatan Haurgeulis,
2011). Luas wilayah Kecamatan Haurgeulis adalah 6.083 Ha, dengan perincian
penggunaan lahan diperlihatkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Penggunaan Lahan di Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, Jawa
Barat
No.

Jenis Penggunaan

Luas (ha)

Persentase (%)

1.

Pemukiman dan pekarangan

1.641

26,98

2.

Lahan sawah

3.997

65,71

3.

Kebun

204

3,35

4.

Lain-lain

241

3,96

6.083

100

Jumlah
Sumber: BPS Kecamatan Haurgeulis (2011)

13

Penggunaan lahan terbesar di wilayah Kecamatan Haurgeulis adalah untuk
lahan sawah, yaitu mencapai 65,71% dari luas keseluruhan (Tabel 1). Area
persawahan terluas terletak di Desa Sidadadi, Sumbermulya dan Kertanegara (BPS
Kecamatan Haurgeulis, 2011). Lahan sawah yang luas memungkinkan berlimpahnya
ketersediaan serangga sebagai pakan burung walet karena pada dasarnya serangga
hidup di daerah bervegetasi seperti sawah.
Rumah burung walet yang dijadikan objek penelitian berjumlah empat unit
yang terletak di Desa Sukajati, Desa Haurgeulis dan Desa Mekarjati. Total jumlah
rumah burung walet pada masing-masing desa tersebut (berdasarkan hasil
pengamatan) adalah 25 unit (Desa Sukajati), 54 unit (Desa Haurgeulis) dan 36 unit
(Desa Mekarjati). Rumah burung walet terbanyak terdapat di desa Haurgeulis, yaitu
46,96% dari jumlah rumah burung walet pada ketiga desa lokasi penelitian.

Gambar 2. Peta Lokasi Sampel Rumah Burung Walet yang digunakan pada
Penelitian di Kecamatan Haurgeulis (BPS Kecamatan Haurgeulis,
2011)
Profil Pemilik Rumah Burung Walet yang Diamati
Rumah burung walet yang dijadikan objek penelitian pada mulanya didirikan
karena melihat prospek yang baik dalam pengusahaan rumah burung walet di
Kecamatan Haurgeulis. Banyak rumah burung walet yang telah berkembang dan

14

dapat memproduksi sarang burung walet hingga puluhan kilogram setiap panennya.
Hal ini menarik pemilik untuk membangun rumah burung walet di daerah tersebut.
Pemilik rumah burung walet yang berada di Kecamatan Haurgeulis tidak semua
berasal dari daerah tersebut, banyak pemilik rumah burung walet yang berasal dari
luar daerah dan mempercayakan pengelolaannya kepada warga sekitar. Pemilik
rumah burung walet biasanya memiliki lebih dari satu unit rumah burung walet yang
tersebar di beberapa daerah di luar Kecamatan Haurgeulis. Profil dan jumlah
kepemilikan rumah burung walet di lokasi penelitian ditampilkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Profil Pemilik Rumah Burung Walet yang Diamati
Rumah
Burung walet
A

Asal Daerah
Pemilik
Tangerang

Pengusaha

Jumlah Rumah Burung Walet
(Unit)
6

B

Jakarta

Pengusaha

12

C

Haurgeulis

Dokter

1

D

Jakarta

Pegawai Negeri

6

Pekerjaan

Desain dan Tata Ruang Rumah Burung Walet
Kondisi rumah burung walet di Kecamatan Haurgeulis saling berdekatan
(Gambar 3), ramai dan sangat berbeda dengan suasana yang sepi di sekitar habitat
aslinya di dalam gua. Namun menurut Mardiastuti et al. (1998), burung walet dapat
berkembangbiak dengan baik dan mampu beradaptasi dengan suasana kota karena
burung walet memiliki indra pendengaran yang kurang baik dan toleransi yang tinggi
terhadap aktivitas manusia.

Gambar 3. Rumah Burung Walet yang Saling Berdekatan
15

Rumah burung walet A, B, C dan D (Gambar 4) memiliki desain yang
berbeda. Rumah burung walet A, B dan D merupakan bangunan yang terpisah dari
rumah pemilik, sedangkan rumah burung walet C menempel dengan bangunan
rumah pemilik.

(a)

(c)

(b)

(d)

Gambar 4. Rumah Burung Walet yang Diamati: (a) Rumah Burung Walet A, (b)
Rumah Burung Walet B, (c) Rumah Burung Walet C dan (d) Rumah
Burung Walet D
Pembuatan rumah burung walet tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan
modal yang dimiliki oleh pemilik. Jika kepadatan populasi burung walet yang
menempati rumah burung walet tersebut terlalu tinggi, biasanya pemilik membangun
rumah burung walet dengan menambah luas bangunan atau menambah lantai
menjadi lebih tinggi. Hal tersebut terjadi pada rumah burung walet B yang
merupakan hasil perombakan dari bangunan lama karena populasi burung walet
sudah cukup tinggi. Rumah burung walet A, B, C dan D dikelilingi oleh pagar besi
dan beton yang berukuran 1,2-3 meter.

16

Rumah burung walet A berupa ruangan tanpa sekat (Gambar 4 dan 5) dengan
seluruh bagian atap plafon dipasangi papan-papan sirip. Lubang masuk burung walet
terdapat dua buah yang terletak pada sisi kanan di lantai dua dan mengarah ke
selatan. Rumah burung walet A memiliki dua kolam air yang terletak pada sisi kiri
dan kanan di lantai satu, serta satu kolam air pada sisi kanan di lantai dua. Selain itu,
di sisi kiri di lantai dua terdapat 58 tempayan tanah liat dengan diameter 30 cm dan
tinggi 35 cm yang disusun membentuk huruf U. Peletakan tempayan tersebut
dikarenakan pada sisi kiri ruangan di lantai dua tidak terdapat kolam air.
U

T

B

S
30o

6,6 m

Lantai 2

Lantai 1
2m

5m

1,5 m

3m

15 m

Keterangan:
= lubang masuk burung walet
= lubang pemisah lantai
= kolam air

= tempat peletakan tempayan
= pipa sprayer

Gambar 5. Desain Rumah Burung Walet A
Rumah burung walet B (Gambar 4 dan 6) memiliki tata ruang yang sama
dengan rumah burung walet A, yaitu berupa ruangan tanpa sekat dengan seluruh
bagian atap plafon dipasangi papan-papan sirip. Namun, rumah burung walet B
memiliki bentuk dengan pola huruf L (Gambar 6). Rumah burung walet B memiliki
satu lubang masuk burung walet yang terletak pada lantai dua dan mengarah ke
barat. Meskipun lubang masuk burung walet menghadap ke arah datangnya sinar
matahari pada sore hari (barat), namun sinar yang datang tidak akan langsung masuk
ke dalam rumah burung walet tersebut karena di depan lubang masuk burung
17

tersebut terhalang oleh tembok (Gambar 11). Rumah burung walet B memiliki dua
kolam air yang terletak berdampingan pada sisi kiri di lantai satu, sedangkan di lantai
dua rumah burung walet B tidak terdapat kolam air. Sumber air di lantai dua rumah
burung walet B hanya dari pipa sprayer yang dioperasikan setiap dua kali sehari
sehingga kondisi di dalam rumah burung walet B kering dan panas (Tabel 6).
B

U

S

T

8m

30o

Lantai 2
9,7 m
Lantai 1

4m

27 m

9m
10,28 m
Keterangan:
= lubang masuk burung walet
= lubang pemisah lantai

4m

3m

= kolam air
= pipa sprayer

Gambar 6. Desain Rumah Burung Walet B
Rumah burung walet C (Gambar 4 dan 7) terdiri dari dua bangunan yang
menyatu, masing-masing memiliki dua dan tiga lantai. Namun, bangunan yang
difungsikan di rumah burung walet tersebut hanya lantai dua dan tiga pada bagian
depan, sedangkan bagian belakang merupakan bangunan baru yang tidak difungsikan
karena belum selesai dibangun dan populasi burung walet di dalamnya hanya sedikit
(Gambar 7). Tata ruang pada rumah burung walet C sama dengan rumah burung
walet A dan B, yaitu berupa ruangan tanpa sekat dengan seluruh bagian atap plafon
dipasangi papan-papan sirip. Rumah burung walet C memiliki dua lubang masuk
burung walet yang terletak di sisi kiri pada lantai tiga dan menghadap ke arah utara.
Rumah burung walet C memiliki 16 kolam air yang terletak pada lantai dua
dan tiga. Lantai dua rumah burung walet C memiliki 15 kolam air, 5 kolam air

18

terletak pada tengah ruangan dan 10 kolam air mengelilingi ruangan tersebut.
Sedangkan pada lantai tiga hanya terdapat satu kolam air yang terletak pada sisi kiri
ruangan dengan 100 tempayan plastik berukuran 30 x 20 x 3 cm yang disusun
membentuk huruf U pada sisi kanan ruangan. Penempatan tempayan tersebut sama
halnya pada rumah burung walet A, yaitu karena pada sisi kanan ruangan di lantai
tiga tidak terdapat kolam air.
U

T

B

S

45o

Lantai 3
2,85 m
5,7 m
Lantai 2
2,85 m
Lantai 1
2,85 m
12 m
7m
Keterangan:
= lubang masuk burung walet
= lubang pemisah lantai

= kolam air
= tempat peletakan tempayan

Gambar 7. Desain Rumah Burung Walet C
Rumah burung walet D (Gambar 4 dan 8) memiliki tata ruang yang berbeda
jika dibandingkan rumah burung walet A, B dan C. Rumah burung walet D memiliki
pembagian ruang roving room dan nesting room di dalamnya (Gambar 8), berbeda
dengan rumah burung walet A (Gambar 5), B (Gambar 6) dan C (Gambar 7) yang
hanya berupa ruangan tanpa sekat. Roving room pada rumah burung walet D terletak
pada sisi kanan ruangan, sedangkan nesting room terletak pada sisi kiri ruangan di
lantai dua dan tiga masing-masing berjumlah dua dan tiga ruang. Terdapat sekat
tembok yang terletak pada atap setiap lantai yang menyatukan roving room dengan
ketiga lantai tersebut, masing-masing berukuran 20, 30 dan 40 cm. Sekat tembok
tersebut bertujuan untuk membuat kondisi cahaya pada setiap lantai menjadi gelap.
Rumah burung walet D memiliki dua lubang masuk burung walet yang menghadap

19

ke arah utara. Lubang masuk burung walet tersebut terletak pada sisi kanan atas
roving room dan pada sisi kiri di lantai tiga. Kolam air yang terdapat pada rumah
burung walet D berjumlah empat kolam. Tiga kolam air terdapat di dalam rumah
burung walet yang terletak mengelilingi ruangan di setiap lantai, sedangkan satu
kolam air terdapat pada atap rumah burung walet tersebut.
S
T

B
U

Lantai 3
2,5 m

20 cm

Lantai 2
2,7 m

9,9 m
30 cm

Lantai 1
3m

40 cm

12,45 m

40 cm
8,45 m
Keterangan:
= roving room
= nesting room
= kolam air

= lubang masuk burung walet
= lubang pemisah lantai
= pipa sprayer

Gambar 8. Desain Rumah Burung Walet D
Tata letak rumah burung walet yang terbaik adalah pada rumah burung walet
D (Gambar 8). Hal ini dikarenakan pada rumah burung walet D memiliki pembagian
ruang yang jelas (terdapat roving room dan nesting room), penempatan kolam air
yang merata di setiap lantai, lubang masuk burung walet yang mengarah ke utara
(berlawanan dengan arah datangnya sinar matahari), dan terdapat kolam air pada atap
rumah burung walet. Tata letak tersebut berpengaruh terhadap kondisi iklim mikro di
dalamnya menjadi lebih stabil (Tabel 6).
Karakteristik Fisik Rumah Burung Walet
Rumah burung walet yang diamati memiliki karakteristik fisik yang berbeda,
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.

20

Tabel 3. Karakteristik Fisik Rumah Burung Walet di Kecamatan Haurgeulis,
Kabupaten Indramayu, Jawa Barat
No.
1.
2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Karakteristik
Ukuran p x l x t (m)
Lantai
Jumlah
Bahan
Dinding
Bahan
Ketebalan (cm)
Warna
Atap
Bahan
Kemiringan
Penggunaan Ruang
Roving area
Keberadaan/Letak
Roving room
Keberadaan
Ukuran (m3)
Nesting room
Keberadaan
Ukuran (m2)
Jumlah (ruang)
Pintu untuk Manusia
Bahan
Ukuran (m2)
Jumlah
Lubang Burung Walet
Ukuran (cm)
Jumlah
Letak
Arah
Sirip
Bahan
Ukuran (cm)
Ketebalan (cm)
Jarak (cm)
Posisi
Kolam
Keberadaan
Ukuran (m)

Jumlah
Letak (jumlah)
10.
11.

Lubang udara
Diameter (inc)
Pipa sprayer
Keberadaan
Diameter (inc)
Letak

Rumah Burung Walet
B
C
27x19,28x8
12,7x7x8,55

D
12,45x8,45x9,9

2
Papan kayu dan
dilapisi semen

2
Dak beton

3
Dak beton

3
Dak beton

Bata merah
15
Kapur (putih)

Bata merah
40
Kapur (putih)

Bata merah
20
Semen (abu)

Bata merah
70
Semen (abu)

Genteng dan
Asbes
30o

Genteng

Genteng

Dak beton

30o

45o

-

Ada/Lantai 2

Ada/Lantai 2

Ada/Lantai 3

Ada/Lantai 3

-

-

-

Ada
3x8,45x9,9

-

-

-

Ada
1,8x1,8
5

Baja double
1,8 x 1
1

Besi single
2x1
1

Kayu
2x1
1

Baja beton
1,7x0,7
1

70x15x15
2
Lantai 2
Selatan

50x20x40
1
Lantai 2
Barat

40x20x20
2
Lantai 3
Utara

30x20x70
2
Lantai 3
Utara

Kayu Jati
300x15
2
20
Tegak lurus

Kayu Jati
300x15
1
20
Tegak lurus

Kayu Jati
300x12
1
30
Tegak Lurus

Kayu Jati
300x12
2
30
Sejajar

Ada
3,5x3x0,2

Ada
6x6x0,6

Ada
2,5x2,5

3
Lantai 1 (2)
Lantai 2 (1)

2
Lantai 1

16
Lantai 2 (15)
Lantai 3 (1)

Ada
Mengelilingi
setiap lantai
(l=0,7,t=0,4)
3
Lantai 1-3

1

2

1

1

Ada
½
Lantai 1, 2 dan
luar

Ada
½
Lantai 1 dan
2

-

Ada
½
Lantai 1, 2 dan 3

A
15x5x5,6

21

Ukuran Rumah Burung Walet
Rumah burung walet yang diamati memiliki ukuran bangunan yang berbeda.
Ukuran rumah burung walet dari yang terbesar sampai terkecil secara berurutan
adalah rumah burung walet B (27 x 19,28 x 8 m3), rumah burung walet D (12,45 x
8,45 x 9,9 m3), rumah burung walet C (12,7 x 7 x 8,55 m3) dan rumah burung walet
A (15 x 5 x 5,6 m3). Ukuran dari bangunan rumah burung walet dapat mempengaruhi
populasi burung walet yang terdapat di dalamnya. Hal ini terbukti dari hasil
pengamatan produksi sarang burung walet pada keempat rumah yang diamati,
populasi burung walet tertinggi terdapat pada rumah burung walet B, diikuti oleh
rumah burung walet D, A dan C (Tabel 9). Namun, populasi burung walet pada
rumah burung walet A lebih tinggi dibandingkan dengan populasi pada rumah
burung walet C yang ukurannya lebih besar. Hal ini dikarenakan pada rumah burung
walet A dilakukan pengelolaan yang baik, seperti penyemprotan cacing sutera setiap
pemanenan sarang dan pengoperasian tweeter setiap hari.
Jumlah Lantai pada Rumah Burung Walet
Rumah burung walet A dan B terdiri dari dua lantai, sedangkan rumah burung
walet C dan D terdiri dari tiga lantai. Namun, pada rumah burung walet C, hanya dua
lantai yang difungsikan, yaitu lantai dua dan tiga (Gambar 7). Lantai pada rumah
burung walet A terbuat dari papan kayu yang dilapisi dengan semen. Sedangkan pada
rumah burung walet B, C dan D terbuat dari dak beton. Lantai yang terbuat dari
papan kayu dengan lapisan semen pada rumah burung walet A kurang baik jika
dibandingkan dengan lantai yang terbuat dari dak beton. Lantai pada rumah burung
walet A yang terbuat dari papan kayu tidak memerlukan biaya yang tinggi dalam
pembuatannya. Namun kekurangannya adalah tidak tahan lama, mudah rusak dan
dapat menimbulkan getaran pada papan sirip yang dapat menyebabkan kenyamanan
burung walet terganggu saat berada di dalam sarangnya. Sedangkan lantai yang
terbuat dari dak beton sangat awet, tidak menimbulkan getar pada papan sirip, tetapi
membutuhkan biaya yang tinggi dalam pembuatannya.
Lantai satu dengan lantai yang lainnya pada rumah burung walet A, B, C dan
D dihubungkan oleh tangga dengan bahan yang berbeda. Rumah burung walet A, C
dan D menggunakan tangga portable yang terbuat dari bambu dan kayu yang hanya
digunakan pada saat pengelola memeriksa keadaan ruangan. Sedangkan tangga pada
22

rumah burung walet B merupakan tangga permanen yang terbuat dari beton. Rumah
burung walet sebaiknya menggunakan tangga portable agar burung yang akan masuk
ke lantai lain tidak terhalangi tangga. Selain itu, tangga portable juga dapat
mencegah pencurian sarang burung walet pada setiap lantai karena pencuri tersebut
akan kesulitan untuk mencapai lantai satu dengan lantai lainnya.
Dinding Rumah Burung Walet
Dinding pada rumah burung walet A, B, C dan D menggunakan bata merah
sebagai bahan pembuatnya. Penggunaan bata merah sebagai bahan pembuat dinding
dikarenakan bata merah memiliki pori-pori sehingga mampu meredam panas,
menstabilkan suhu dan kelembaban ruangan (Mardiastuti et al., 1998). Warna
dinding rumah burung walet A dan B adalah putih (dikapur), sedangkan dinding
rumah burung walet C dan D berwarna semen (abu-abu tanpa dikapur) (Gambar 9).
Pengapuran pada dinding rumah burung walet bertujuan untuk menghindari
masuknya binatang pengganggu kedalamnya, seperti semut, kecoak dan cicak.

(a)

(c)

(b)

(d)

Gambar 9. Warna Dinding pada Rumah Burung Walet: (a) Rumah Burung Walet A,
(b) Rumah Burung Walet B, (c) Rumah Burung Walet C dan (d) Rumah
Burung Walet D
23

Ketebalan dinding pada keempat rumah burung walet yang diamati berbeda
satu sama lain. Dinding pada rumah burung walet A dan D memiliki ketebalan yang
berbeda antara lantai satu dengan lantai lainnya. Dinding di lantai satu pada rumah
burung walet A memiliki ketebalan 100 cm, sedangkan dinding di lantai dua
memiliki ketebalan 15 cm. Dinding di lantai satu pada rumah burung walet D
memiliki ketebalan 70 cm, sedangkan dinding di lantai dua dan tiga memiliki
ketebalan 30 cm. Dinding pada rumah burung walet B dan C memiliki ketebalan
masing-masing 40 dan 20 cm. Menurut Mardiastuti et al. (1998), dinding yang dibuat
lebih tebal pada lantai satu bertujuan untuk mencegah pencurian sarang burung walet
dengan cara membobolnya dan juga untuk menjaga iklim mikro di dalam rumah
burung walet lebih stabil.
Atap Rumah Burung Walet
Rumah burung walet pada umumnya menggunakan genteng sebagai bahan
atap, kecuali pada rumah burung walet D menggunakan atap yang terbuat dari dak
beton. Penggunaan genteng sebagai bahan atap dikarenakan genteng memiliki poripori sehingga suhu di dalam ruangan menjadi lebih sejuk. Namun pada rumah
burung walet A, penggunaan genteng sering menyebabkan kebocoran sehingga
genteng yang retak diganti dengan asbes. Kebocoran atap genteng tersebut membuat
air hujan merembes ke dalam rumah dan membuat papan sirip basah sehingga sarang
banyak yang jatuh dan tidak ditempati oleh burung walet. Selain itu, papan sirip juga
menjadi tidak tahan lama, berjamur dan harus sering diganti.
Atap pada rumah burung walet A dan B memiliki kemiringan 30o (Gambar 5
dan 6), sedangkan kemiringan atap pada rumah burung walet C adalah 45o (Gambar
7). Menurut Mardiastuti et al. (1998), penggunaan genteng dengan kemiringan yang
tajam di dalam rumah burung walet baik digunakan di daerah panas karena akan
membuat rumah tersebut memiliki udara sejuk dengan sirkulasi yang baik.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap iklim mikro, rumah burung walet D dengan
atap dak beton memiliki kondisi suhu yang lebih stabil (28,60±0,61oC). Hal ini
dikarenakan pada atap burung walet D terdapat kolam air (Gambar 8) yang dapat
berfungsi meredam panas matahari dan membuat iklim mikro di dalamnya lebih
stabil. Sedangkan menurut Mardiastuti et al. (1998), kemiringan atap yang baik pada
rumah burung walet adalah >30o.
24

Penggunaan Ruangan pada Rumah Burung Walet
Pembagian ruang pada rumah burung walet menurut Mardiastuti et al. (1998)
terdiri dari roving area, roving room dan nesting room. Rumah burung walet A, B, C
dan D memiliki roving area yang terletak di depan lubang masuk burung walet.
Ukuran roving area sulit ditentukan, tetapi di depan pintu burung walet harus
tersedia lahan kosong setidaknya 4 x 4 x 4 m3 tanpa terhalangi pohon atau tiang
listrik yang bertujuan untuk memudahkan burung walet berputar-putar sebelum
memasuki rumah burung walet (Mardiastuti et al.,1998). Roving area pada salah satu
lubang masuk burung di rumah burung walet D terhalang oleh pohon petai (Parkia
speciosa) (Gambar 9 d). Hal tersebut harus dihindari dengan cara menebang bagian
pohon yang menghalangi lubang masuk burung walet tersebut.
Roving room dan nesting room hanya terdapat di dalam rumah burung walet
D (Gambar 8). Roving room tersebut berjumlah satu ruang yang berukuran 3 x 8,45 x
9,9 m3. Roving room berfungsi sebagai tempat peralihan dari suasana terang menjadi
gelap atau sebaliknya (pada saat burung keluar dan masuk ruangan), tempat anakan
belajar terbang sebelum meninggalkan sarang dan sering digunakan sebagai tempat
burung seriti membuat sarang. Nesting room di rumah burung walet D berjumlah
lima ruang yang terletak di lantai dua dan tiga serta berukuran 1,8 x 1,8 m2, masingmasing berjumlah tiga dan dua ruang. Menurut Mardiastuti et al. (1998), nesting
room berfungsi menciptakan suasana yang lebih gelap di dalam rumah burung walet
Pembagian ruang di dalam rumah burung walet ini dapat membuat kondisi ruangan
tersebut sesuai dengan habitat asli walet di dalam gua sehingga burung walet dapat
lebih nyaman tinggal dan bersarang didalamnya. Hal ini dibuktikan dengan populasi
burung walet yang cukup banyak pada rumah burung walet D (Tabel 9).
Pintu Masuk Manusia
Setiap rumah burung walet yang diamati memiliki satu pintu masuk untuk
manusia. Pintu masuk pada rumah burung walet A, B dan C terdapat di dalam
ruangan, sedangkan pada rumah D, pintu masuk terdapat di luar ruangan yang
terletak di belakang rumah pengelola. Pintu masuk manusia pada rumah burung
walet A, B, C dan D memiliki karakteristik yang berbeda (Gambar 10).

25

(a)

(c)

(b)

(d)

Gambar 10. Pintu Masuk Manusia pada Rumah Burung Walet: (a) Pintu Baja Ganda
dengan Kunci Perancis (Rumah Burung Walet A), (b) Pintu Besi Satu
Lapis (Rumah Burung Walet B), (c) Pintu Kayu Ganda (Rumah
Burung Walet C) dan (d) Pintu Baja Beton (Rumah Burung Walet D)
Pintu masuk pada rumah burung walet A merupakan pintu ganda yang terbuat
dari baja dan berukuran 1,8 x 1 m. Rumah burung walet B memiliki pintu masuk
dengan ukuran 2 x 1 m yang terbuat dari besi satu lapis dan dilengkapi dengan
electric alarm. Pintu masuk pada rumah burung walet C terbuat dari kayu ganda
dengan ukuran 2 x 1 m. Sedangkan pintu masuk pada rumah burung walet D terbuat
dari baja yang dilapisi beton dan berukuran 1,7 x 0,7 m. Pintu yang terbuat dari besi
dan beton bertujuan untuk mencegah pencurian sarang burung walet dan dapat
menjaga kestabilan iklim mikro. Namun, biaya untuk pembuatan pintu-pintu tersebut
mahal. Sedangkan pintu yang terbuat dari papan kayu membutuhkan biaya yang
murah, tetapi kurang dapat menjaga kestabilan iklim mikro di dalamnya.

26

Lubang Masuk Burung Walet
Rumah burung walet A, C dan D memiliki lubang masuk burung walet
sebanyak dua buah yang terletak di lantai dua (pada rumah burung walet A) dan di
lantai tiga (pada rumah burung walet C dan D). Sedangkan pada rumah burung walet
B hanya memiliki satu lubang masuk burung walet pada lantai dua yang terhalangi
tembok setinggi atap (Gambar 11).

(a)

(b)

Gambar 11. Tembok Lubang Masuk Burung pada Rumah Burung Walet B: (a)
Rumah Burung Walet B Tampak Samping dan (b) Pintu Masuk
Rumah Burung Walet B
Tembok pada lubang masuk burung walet tersebut dapat berfungsi sebagai
penghalang cahaya yang masuk dan disesuaikan dengan cara burung terbang saat
memasuki dan keluar rumah. Menurut Mardiastuti et al. (1998), pada saat memasuki
rumah burung walet, burung walet meluncur dan sedikit menjatuhkan diri,
sebaliknya pada saat akan meninggalkan sarang, burung tersebut akan menjatuhkan
diri terlebih dahulu dan kemudian meluncur terbang setelah berputar-putar beberapa
saat. Kondisi lubang burung walet ini berbeda dengan lubang burung walet pada
umumnya yang terbuka dan memberikan ruang gerak yang bebas bagi burung walet
memasuki rumah. Namun, lubang masuk burung walet yang terhalangi tembok justru
disukai burung walet. Hal ini terlihat dari banyaknya burung walet yang memasuki
rumah dan berputar-putar di sekitar pintu burung walet yang kemudian akan
memasuki rumah tersebut dengan cara meluncur. Berdasarkan pola terbang burung
walet tersebut, lubang masuk yang paling sesuai untuk burung walet adalah yang
terhalang oleh tembok. Hal ini juga terbukti dari banyaknya populasi burung walet
yang terdapat pada rumah burung walet B (Tabel 9).

27

Kedua lubang masuk burung walet pada rumah burung walet A dan C
berdekatan, sedangkan kedua lubang masuk burung walet pada rumah burung walet
D terletak pada sisi kanan dan kiri bangunan. Berdasarkan hasil pengamatan pada
rumah burung walet A dan C, terlihat bahwa kedua lubang masuk burung walet
tersebut sering dilewati. Sedangkan pada rumah burung walet D, lubang masuk
burung walet yang sering dilewati adalah lubang yang terletak pada sisi kanan atas
roving room, padahal di depan lubang masuk burung walet tersebut terhalang pohon
petai. Hal ini dikarenakan pada saat burung walet akan memasuki rumahnya, burung
tersebut akan berputar-putar untuk mencari serangga pakan terlebih dahulu
sedangkan serangga banyak terdapat pada area bervegetasi. Selain itu, pada lantai
dasar roving room terdapat tumpukan pellet yang dapat menyebabkan serangga
banyak terdapat disekitarnya.
Lubang masuk burung walet pada rumah burung walet A, B, C dan D
berbentuk kotak dengan masing-masing ukuran adalah 70 x 15 x 15 cm3, 50 x 20 x
40 cm3, 40 x 20 x 20 cm3 dan 30