Uji Aktivitas Hepatoprotektif Ekstrak Air Sarang Burung Walet Putih (Collocalia fuciphaga Thunberg, 1821). Terhadap Aktivitas SGPT & SGOT Pada Tikus Putih Jantan Galur Sprague-Dawley

(1)

UJI AKTIVITAS HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK

AIR SARANG BURUNG WALET PUTIH (

Collocalia

fuciphaga Thunberg.)

TERHADAP AKTIVITAS SGPT

DAN SGOT PADA TIKUS PUTIH JANTAN

GALUR

Sprague Dawley

SKRIPSI

AGENG HASNA FAUZIYAH 1111102000088

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA JULI 2015


(2)

UJI AKTIVITAS HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK

AIR SARANG BURUNG WALET PUTIH (

Collocalia

fuciphaga Thunberg.)

TERHADAP AKTIVITAS SGPT

DAN SGOT PADA TIKUS PUTIH JANTAN

GALUR

Sprague Dawley

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

AGENG HASNA FAUZIYAH 1111102000088

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA JULI 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

Nama : Ageng Hasna Fauziyah Program Studi : Farmasi

Judul : Uji Aktivitas Hepatoprotektif Ekstrak Air Sarang Burung Walet Putih (Collocalia fuciphaga Thunberg, 1821). Terhadap Aktivitas SGPT & SGOT Pada Tikus Putih Jantan Galur Sprague-Dawley

Sarang burung walet merupakan sarang yang dapat dikonsumsi (Edible nest). Sarang tersebut dihasilkan dari air liur burung walet. Salah satu komponen utamanya yaitu glikoprotein. Tujuan penelitian ini yaitu Uji Aktivitas Hepatoprotektif Ekstrak Air Sarang Burung Walet Putih (Collocalia fuciphaga Thunberg, 1821). Terhadap Aktivitas SGPT & SGOT Pada Tikus Putih. Hewan uji tikus Sprague-Dawley jantan dibagi menjadi enam kelompok yaitu kelompok normal, kelompok positif, kelompok negatif, kelompok perlakuan dosis 1mg/kgBB, 10mg/kgBB, dan 100mg/kgBB. Ekstrak air sarang burung walet putih (Collocalia fuciphaga T.) diberikan selama 16 hari lalu diinduksi dengan parasetamol (2g/kgBB) pada hari ke-15 dan 16. Parameter hepatoprotektif yang digunakan yaitu kadar SGPT dan SGOT. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan analisa One Way ANOVA yang menunjukan bahwa kelompok perlakuan dosis setelah induksi parasetamol terjadi peningkatan kadar SGPT dan SGOT secara tidak bermakna (p≥0,05) terhadap kelompok positif. Hasil analisa Paired-Sample T-Test menunjukan bahwa peningkatan kadar SGPT dan SGOT hari ke-17 pada kelompok perlakuan dosis 1mg/kgBB dan 100mg/kgBB secara bermakna. Namun pada kelompok perlakuan dosis 10mg/kgBB mengalami peningkatan secara tidak bermakna (p≤0,05). Berdasarkan hasil penelitian tersebut ekstrak air sarang burung walet putih berpotensi sebagai agen hepatoprotektif yang dapat dikembangkan.

Kata Kunci : Hepatoprotektif, Collocalia fuciphaga T, Ekstrak Air, tikus Sprague-Dawley jantan


(7)

Nama : Ageng Hasna Fauziyah Programme of Study : Pharmacy

Title : Study of Hepatoprotective Water Extract Edible Nest Bird (Collocalia fuciphaga Thunberg, 1821) Against SGPT and SGOT Activity in Male Albino Rats strain Sprague-Dawley Swiftlest nest is a nest that can be consumed (Edible nest). The nest was produced from swiftlest saliva. One of its main component called the glycoprotein. The purpose this Study of Hepatoprotective Water Extract Edible Nest Bird (Collocalia fuciphaga Thunberg, 1821) Against SGPT and SGOT Activity in Male Albino Rats. Sprague-Dawley rats that were used as testers were devided into six groups; normal group, positive group, negative group, the treatment group dose of 1mg/kgBB, 10mg/kgBB, and 100mg/kgBB. Extract of water edible bird nest (Collocalia fuciphaga T.) were given for 16 days and after that were induced with paracetamol (2g/kgBB) on the 15th and 16th day. The SGPT and SGOT levels were used as the hepatoprotective parameters. The obtained results were then analyzed using One Way ANOVA analysis which showed that the SGPT and SGOT levels from the treatment group dose increased insignificantly (p≥0,05) to the positive group. Results of analysis Paired-Sample T-Test showed that the elevated levels of SGPT and SGOT on th 17th day in the treatment group with the dose of 1mg/kgBB and 100mg/kgBB were significant. However, in the

experimental group dose of 10mg/kgBB did not significantly increase (p≤0,05).

Based on these results, extract of water edible bird nest has potential as a hepatoprotective agent that can be developed.

Keywords : Hepatoprotective, Collocalia fuciphaga T, Water Extract, male Sprague-Dawley rats


(8)

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT

atas segala rahmat, karunia, dan hidayah-Nya yang telah melimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi

dengan judul ‘’Uji Aktivitas Hepatoprotektif Ekstrak Air Sarang Burung Walet

Putih (Collocalia fuciphaga Thunberg 1821.) Terhadap Aktivitas SGPT & SGOT

Pada Tikus Putih Jantan Galur Sprague Dawley’’. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat serta pengikutnya.

Dalam penyelesaian penelitian dan penulisan skripsi ini penulis banyak menerima bantuan maupun dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis ingin memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan menyampaikan terima kasih yang tulus kepada :

1. Drs. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

2. Yardi, Ph.D., Apt selaku Kepala Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

3. Lina Elfita, M.Si., Apt dan Dr. Azrifitria, M.Si., Apt sebagai dosen pembimbing I dan II yang dengan Kesabarannya telah memberikan waktu, ilmu, arahan dan bimbingannya selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

4. Ayahanda Rijatno Suwarlo dan Ibunda Mardiningsih yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan moral dan materi, dan semangat yang tak terhingga disetiap langkah penulis.

5. Kakak dan Adiku M. Irfan F.R. dan M. Galih S. yang telah mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

semangat untuk penulis.

8. Teman seperjuangan penulis ‘’Sarang Burung Walet’’ Rahmi Sertiana, M.A.W. Khairurrijal, Ahmad Rifqi, Rais atas kebersamaan, bantuan dan motivasi sejak awal hingga terselesaikannya skripsi ini.

9. Teman-teman yang sudah membantu selama proses penelitian dan skripsi anak-anak ‘’Tableters’’, Hestiawati, Vina Fauziah, Lela Laelatu, Andis Saputra, Miyadah Samiyah, Qadrina Sufy, Khairunnisa, Rianisa K.D.

10. Kak Tiwi, Kak Lisna, Kak Eris, Kak Rani sebagai laboran Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu mempersiapkan alat dan bahan selama penelitian.

11. Teman-teman Farmasi Angkatan 2011 atas segala kebersamaannya, semangat selama dibangku perkuliahan hingga peengerjaan skripsi ini. 12. Dan kepada semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penulisan skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu

Semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis menharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Juli 2015


(10)

(11)

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI ... iv

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Sarang Burung Walet ... 4

2.1.1. Asal Usul dan Penyebaran ... 4

2.1.2. Klasifikasi Brurung Walet Putih ... 5

2.1.3. Kandungan Kimia ... 5

2.1.4. Manfaat Sarang Burung Walet ... 7

2.2. Hati ... 7

2.2.1. Anatomi Hati ... 7

2.2.2. Fisiologi Hati ... 8

2.2.3. Histologi Hati ... 9

2.2. Parasetamol ... 11

2.2.1. Mekanisme Hepatotoksik Parasetamol ... 12

2.2.2. Kerusakan yang Ditimbulkan ... 13

2.4. Enzim Transaminase ... 14

2.4.1. Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase ... 14


(12)

3.1. Jenis Penelitian ... 17

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

3.2.1. Tempat Penelitian ... 17

3.2.2. Waktu Penelitian ... 17

3.3. Alat dan Bahan Penelitian ... 17

3.3.1. Alat Penelitian ... 17

3.3.2. Bahan Penelitian ... 17

3.3.3. Hewan Uji ... 18

3.4. Desain Penelitian ... 18

3.4.1. Jumlah Sampel dan Cara Pengambilan Sampel ... 18

3.4.2. Dosis Perlakuan ... 18

3.4.3. Rancangan Penelitian ... 18

3.5. Prosedur Penelitian ... 20

3.5.1. Determinasi Sampel ... 20

3.5.2. Penyiapan Sarang Burung Walet ... 20

3.5.3. Ekstraksi Sarang Burung Walet ... 20

3.5.4. Uji Kualitatif Ekstrak Sarang Burung Walet ... 20

3.5.5. Penyiapan Dosis Ekstrak Sarang Burung Walet ... 21

3.5.6. Penyiapan Suspensi Parasetamol 15% dalam Gom Arab 5% ... 21

3.5.7. Persiapan Tikus ... 21

3.5.8. Pengambilan Sampel Darah Hewan Uji ... 22

3.5.9. Pengukuran Aktivitas SGOT dan SGPT Serum Darah 22 3.6. Rencana Pengolahan dan Analisis Data ... 23

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

4.1. Hasil Penelitian ... 24

4.1.1 Determinasi Sarang Burung Walet ... 24

4.1.2. Ekstraksi Sarang Burung Walet ... 24

4.1.3. Uji Kualitatif Ekstrak Air Sarang Burung Walet ... 24

4.1.4. Hasil Pengukuran Kadar SGPT Serum Darah ... 25

4.1.5. Hasil Pengukuran Kadar SGOT Serum Darah ... 27

4.2. Pembahasan ... 29

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 38


(13)

(14)

Gambar 2.1. Gambaran Makroskopik Hati Manusia dari Anterior ... 9

Gambar 2.2. Lobulus Hepatik ... 11

Gambar 4.1. Rata-rata Kadar SGPT ... 25


(15)

Tabel 2.1. Kandungan Gizi Sarang Walet Dan Beberapa Makanan

Pembanding Untuk Berat 100 gram ... 6

Tabel 3.1. Desain Pembagian Kelompok Percobaan ... 18

Tabel 4.1. Uji Kualitatif Ekstrak Air Sarang Burung Walet ... 24

Tabel 4.2. Rata-rata Kadar SGPT ... 25

Tabel 4.3. Persentase Perubahan Kadar SGPT ... 26

Tabel 4.4. Rata-rata Kadar SGOT ... 27


(16)

Lampiran 1. Hasil Determinasi. ... 44

Lampiran 2. Alur Penelitian . ... 45

Alur Kerja Pembuatan Ekstrak ... 45

Alur Kerja Hepatoprotektif ... 46

Lampiran 3. Perhitungan Dosis . ... 47

Perhitungan Dosis Untuk Hepatoprotektor ... 47

Perhitungan VAO ... 48

Lampiran 4. Hasil Uji Kualitatif Ekstrak Air Sarang Burung Walet . ... 50

Lampiran 5. Perhitungan Rendemen . ... 51

Lampiran 6. Rata-rata Berat Badan Tikus . ... 52

Lampiran 7. Gambar Kegiatan Penelitian . ... 55

Penyiapan Simplisia dan Pembuatan Ekstrak ... 55

Lampiran 8. Nilai SGPT dan SGOT . ... 56

Nilai SGPT ... 56

Nilai SGOT ... 57


(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit hati menduduki urutan kedelapan penyebab kematian di Indonesia (Riskesdas dalam Tuminah, 2009). Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi hepatitis tahun 2013 (1,2%) dua kali lebih tinggi dibanding tahun 2007. Dikonversikan ke dalam jumlah absolut penduduk Indonesia tahun 2013 sekitar 248.422.956 jiwa, maka bisa dikatakan bahwa 2.981.075 jiwa penduduk Indonesia terinfeksi Hepatitis (Balitbangkes RI, 2013).

Penyakit hati dapat terjadi dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. Faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan hati antara lain virus, bakteri, toksisitas dari obat-obatan atau bahan kimia (Pasiyan dalam Tuminah, 2009).

Di Indonesia sudah terdapat beberapa obat yang dapat melindungi hati (hepatoprotektor) yaitu obat sintetis dan obat non sintetis. Contoh obat sintesis antara lain: Aminoleban Infusion, Aminoleban Oral, Comafusin Hepar, Curliv, Cursii/Cursil 70, Hepachol, Methicol, Methioson (ISO, 2012). Contoh obat non sintetis (herbal) yang sudah dipasarkan adalah Hepasil dari Kalbe Farma, Hepacomb dari Sidomuncul, Hepagard dari Phapros, dan berbagai produk lainnya (ISO, 2012).

Pemanfaatan bahan-bahan alam sebagai obat tradisional mulai dikembangkan dan dilakukan pengujian untuk memperoleh hasil yang lebih memuaskan ditinjau dari segi pengobatan maupun efek samping yang ditimbulkan. Berdasarkan paparan diatas, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan bahan alam seperti bahan alam yang berasal dari dari hewan atau produk yang dihasilkan oleh hewan di Indonesia terutama dari segi pengobatan penyakit hati. Salah satu bahan alam yang dihasilkan oleh hewan yaitu sarang burung walet yang digunakan sebagai suplemen untuk kesehatan dan makanan yang lezat di China.


(18)

Burung walet merupakan burung yang dapat membuat sarang menggunakan air liurnya. Sarang yang dihasilkan tersebut bersifat edible nest (sarang yang dapat dimakan) (Nuroini, 2013). Mayoritas sarang burung walet yang dapat dimakan dan diperdagangkan di seluruh dunia berasal dari dua spesies, yaitu burung walet putih (Aerodramus fuciphagus atau Collocalia fuciphaga) dan burung walet hitam (Aerodramus maximus atau Collocalia maximus) yang habitatnya di Kepulauan Nicobar di Samudera Hindia hingga di gua pinggir laut daerah pesisir Thailand, Vietnam, Indonesia, Kalimantan dan Kepulauan Palawan di Filipina (Marcone, 2005).

Berdasarkan penelitian Marcone (2005) komposisi sarang burung walet dari genus Collocalia terdiri atas karbohidrat (25,62 - 27,26%), protein (62 - 63%), lemak (0,14 - 1,28%), dan abu (2,1%). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa sarang burung walet dari Indonesia memiliki kandungan protein yang tinggi sekitar 59,8%-65,8% (Hamzah dalam Arsih, 2014).

Penelitian baru-baru ini memperkirakan bahwa ekstrak sarang burung walet memiliki sifat bioaktivitas yang menarik (But, Paul. et al., 2013). Sifat bioaktivitas sarang burung walet antara lain efek menghambat hemaglutinasi terhadap virus influenza (Howe dalam Arsih, 2014), sebagai faktor pertumbuhan epidermal burung (Kong dalam Arsih, 2014) dan memberikan keuntungan intelektual dan saraf pada bayi (Chau et al., 2003).

Berdasarkan hasil tersebut, protein diperkirakan sebagai faktor kunci, karena protein merupakan zat utama yang berperan dalam aktivitas kehidupan (Liu et al., 2012). Menurut penelitian Nuroini (2013) salah satu komponen protein yaitu glikoprotein berfungsi menurunkan produksi TNF-α dalam proses inflamasi. Diprediksikan mekanisme kerja sarang burung walet yaitu glikoprotein dapat menurunkan produksi TNF-α sehingga proses terjadinya inflamasi dapat terhambat dan pengeluaran SGPT dan SGOT dapat dicegah.

Kandungan protein yang tinggi dan belum adanya publikasi ilmiah mengenai hepatoprotektif, maka peneliti tertarik untuk mengeksplorasi manfaat sarang burung walet putih yang ada di Indonesia dengan menguji aktivitas hepatoprotektif dari sarang burung walet pada tikus putih jantan


(19)

galur Sprague-dawley yang diinduksi dengan parasetamol. Dosis sarang burung walet putih yang digunakan pada tikus dalam penelitian ini berdasarkan skrining dosis yaitu 1 mg/kgBB, 10 mg/kgBB dan 100 mg/kgBB. Penelitian efek hepatoprotektif dilakukan untuk mengetahui kemampuan sarang burung walet untuk mencegah atau melindungi hati dari kerusakan. Adapun parameter yang diamati adalah aktivitas enzim serum glutamate piruvat transaminase (SGPT) dan serum glutamat oksaloasetat transaminase (SGOT) serum darah.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:

Apakah ekstrak air sarang burung walet putih (Collocalia fuciphaga) mempunyai efek hepatoprotektif dilihat dari aktivitas SGPT dan SGOT pada hewan uji?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya efek hepatoprotektif pada ekstrak air sarang burung walet putih dilihat dari aktivitas SGPT dan SGOT pada tikus putih jantan.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan dan memberikan informasi ilmiah tentang manfaat lain sarang burung walet putih sebagai pengobatan alternatif dalam melindungi hati.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sarang Burung Walet

2.1.1. Asal Usul dan Penyebarannya

Walet berasal dari family Apopidae yang penyebarannya hingga ke seluruh dunia. Pada dasarnya, family Apopidae terdiri atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah genus Chaetura (walet ekor berduri), genus Collocalia (walet gua), dan genus Cypseloides (walet hitam dari Amerika Utara). Walet gua atau Collocalia tercatat memiliki 2 spesies, dan 12 spesies diantaranya ditemukan di Indonesia. Namun, dari sekian banyak spesies, hanya dua spesies yang namanya terkenal dalam dunia bisnis walet, yaitu Collocalia fuciphaga dan Collocalia maxima (Redaksi Agromedia, 2007). Beberapa literature yang diterbitkan sekitar tahun 1990-an menyebutkan, Indonesia memiliki tiga spesies walet yang sarangnya dikategorikan sebagai edible nest swiflets atau bisa dikonsumsi sebagai makanan antara lain: Collocalia fuciphaga, Collocalias maxima dan Collocalia esculenta (burung sriti) (Redaksi Trubus, 2005). Ada satu jenis burung walet lagi yaitu Collocalia germani, tetapi menurut pendapat Chantler dan Driessens (1995), Collocalia germani termasuk dalam spesies Collacalia fuciphaga sehingga bukan merupakan spesies tersendiri (Redaksi Agromedia, 2007).

Hampir semua sarang yang diekspor ke negara-negara Hongkong, China, taiwan, Korea, Jepang, Singapura dan Malaysia. Sarang yang termahal dihasilkan oleh C. fuciphaga. Mutu sarang yang dihasilkan oleh C. fuciphaga tergantung dari warna, keberhasilan sarang, bentuk ukuran. Sarang yang bermutu tinggi berwarna putih, bersih dari kotoran atau bulu yang menempel pada sarang, bentuk mangkukan sempurna, tidak cacat atau pecah dan berukuran lebar minimal tiga jari. Untuk mendapatkan sarang yang bermutu baik ini dilakukan pembersihan, pembentukan ulang, penyortiran. Pada saat ini harga sarang burung walet (putih) dengan mutu baik bisa mencapai 5 juta rupiah per kg (± 120 keping sarang) (Mardiastuti, 1997).


(21)

Sarang burung walet terbuat dari saliva burung walet yang disekresikan oleh kelenjar ludah burung walet (Liu et al., 2012). Sebagai bahan makanan, sarang burung walet mengandung gizi yang lengkap dengan nilai yang tinggi. Sarang burung walet mengandung kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, vitamin, dan mineral. Asam amino yang dikandung dalam sarang walet juga lengkap, mulai dari asam amino esensial, asam amino semiesensial, dan asam amino nonesensial. Sarang walet juga berkhasiat sebagai obat.

2.1.2. Klasifikasi Burung Walet Putih (Collocalia fuciphaga)

Berdasarkan ilmu taksonomi, klasifikasi burung walet penghasil sarang walet putih adalah sebagai berikut (Redaksi AgroMedia, 2007):

Kingdom : Animal Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Aves

Ordo : Apodiformes Famili : Apodidae Genus : Collocalia

Species : Collocalia fuciphaga spp. 2.1.3. Kandungan Kimia

Sarang walet dari genus Collocalia mengandung lemak (0,14-1,28%), abu (2,1%), karbohidrat (25,62-27,26%), dan protein (62-63%) (Marcone, dalam Arsih, 2014). Salah satu glikonutrien utama pada sarang walet adalah sialic acid (9%) (Colombo et al., 2003; Kathan dan Weeks, 1969). Sialic acid memiliki peran penting pada perkembangan neurologi dan intelektual pada bayi (Chau et al., 2003). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa sarang burung walet dari Indonesia memiliki kandungan protein yang tinggi sekitar 59,8%-65,8% (Hamzah dalam Arsih, 2014).


(22)

Sarang burung walet mengandung asam amino yaitu Aspartat + asparagines, threonine, serin, glysine, alanine, valin, methionine, isoleusin phenylalanine, lysine, histidin, arginine, tryptophan, cysteine, proline (Lu et al dalam Ma dan Liu, 2012). Asam amino terbanyak yaitu fenilalanin dan tyrosin (Marcone dalam Ma dan Liu, 2012).

Tabel 2.1 kandungan gizi sarang walet dan beberapa makanan pembanding untuk berat 100 gram

No Kandungan Sarang walet

Susu kental

Daging sapi

Daging ayam

Telur ayam

Udang kering

Tempe kedelai murni

1 Kalori 281 336 273 302 162 295 149

2 Protein (g) 37,5 8,2 19,3 18,2 12,8 62,4 18,3

3 Lemak (g) 0,3 10 22 25 11,5 2,3 4

4 Karbohidrat (g)

32,1 55 0 0 0,7 1,8 12,7

5 Kalsium (mg)

485 275 10 14 54 1209 129

6 Fosfor (mg) 18 229 150 200 180 1225 154

7 Zat besi (mg)

3 0,2 2,7 1,5 2,7 6,3 10

8 Vit. A (SI) 0 510, 0 810 900 210 50

9 Vit. B1 (mg)

0 0,05 0,02 0,08 0,1 0,14 0,17

10 Vit. C (mg) 0 1 0 0 0 0 0

11 Air (g) 24,5 25 60 7 74 90 64

Sumber : Direktorat Gizi Dep. Kes. RI Dalam Budi Daya Walet : Pengalaman Pakar Dan Praktisi Seri I. 2001


(23)

2.1.4. Manfaat Sarang Burung Walet

Disamping rasanya yang sungguh lezat, sarang burung walet juga diyakini dapat meningkatkan kesehatan seperti membuat awet muda, meningkatkan pertumbuhan dan kekebalan (Adiwibawa, 2009). Pada akhir

abad XVII, pada zaman dinasti Qing, terdapat literature “Ben Cao Bei Yao”

(catatan-catatan penting bahan obat-obatan) oleh Wang pada tahun 1694, dan

“Ben Cao Feng Yuan” (bahan obat-obatan di alam terbuka) oleh Zhang, pada tahun 1695, yang menunjukan bukti bahwa orang cina percaya bahwa sarang burung walet mempunyai daya penyembuhan yang dapat dipakai untuk mengobati beberapa macam penyakit, seperti TBC, sakit lambung, dan perdarahan paru-paru. Kepercayaan itu berdasarkan data empiris yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman pribadi orang yang mengkonsumsinya dan dari mitos yang beredar di masyarakat (Adiwibawa, 2009).

Khasiat sarang walet berdasarkan laporan penelitian Riset Unggulan Terpadu IV-Dewan Riset Nasional (1998) adalah menjaga kesegaran tubuh, obat sakit pernapasan, meningkatkan vitalitas, obat awet muda, memelihara kecantikan, menambah tenaga dalam, menghambat pertumbuhan kanker, menghilangkan pengaruh alkohol, meningkatkan konsentrasi, obat diabetes melitus, sumber protein, dan menurunkan demam (Dewi et al., 2012).

2.2. Hati

Hati adalah salah satu organ tubuh terbesar dalam tubuh, yang terletak dibagian teratas dalam rongga abdomen disebelah kanan dibawah diafragma dan hati secara luas dilindungi oleh iga-iga, berat hati rata-rata sekitar 1500 gr, 2,5% dari berat tubuh pada orang dewasa normal (Pearce, 2009).

2.2.1. Anatomi Hati

Hati mempunyai konsistensi yang lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis tepat di bawah diaphragma. Sebagian besar hati terletak di profunda arcus costalis dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan hati dari pleura, pulmo, pericardium, dan cor. Hati terbentang ke sebelah kiri untuk mencapai hemidiaphragma sinistra (Snell, 2009).


(24)

Hati mempunyai bentuk seperti piramida dengan alasnya disebelah kanan dan puncaknya di ujung kiri. Facies diaphragmatica terletak tepat di bawah kubah diaphragm dan merupakan suatu kesatuan lengkungan dari facies anterior, superior, lateral dan posterior. Permukaan yang menghadap ke inferior berhubungan dengan alat-alat viscera abdomen, disebut facies viceralis. Facies visceralis berbatasan dengan facies diaphragma di depan pada batas yang tajam, disebut margo anterior. Namun tumpul di belakang dan disebut facies posterior (Widjaja, 2009).

Hati terbagi dengan adanya perlekatan ligamentum falciforme hepatis menjadi lobus kanan yang besar dan lobus kiri yang lebih kecil. Pada permukaan visceralis, dengan adanya lekuk (fossa) sagittalis kanan dan kiri serta porta hepatis, terpisah dari lobus kanan dua lobus kecil, yaitu lobus quadratus di depan dan lobus caudatus di belakang (Widjaja, 2009).

Hati mempunyai dua jenis persediaan darah, yaitu yang datang melalui arteri hepatica dan yang melalui vena porta. Arteri hepatika merupakan pembuluh darah yang keluar dari aorta dan memberikan seperlima darahnya kepada hati, darah ini mempunyai kejenuhan oksigen 95-100%. Vena porta terbentuk dari vena lienalis dan vena mesentrika superior, menghantarkan empat perlima darahnya ke hati, darah ini mempunyai kejenuhan oksigen hanya 70% sebab beberapa O2 telah diambil limpa dan usus. Darah dari vena

porta membawa zat makanan yang telah diabsorbsi mukosa usus halus ke hati (Pearce, 2009).

2.2.2. Fisiologi Hati

Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu: a. Metabolisme karbohidrat

Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat.

b. Metabolisme lemak


(25)

Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain: mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak dari protein dan karbohidrat.

c. Metabolisme protein

Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa lain dari asam amino.

d. Lain-lain

Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak dan hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.

Gambar 2.1. Gambaran makroskopik hati manusia dari anterior Putz & Pabst, 2007

2.2.3. Histologi Hati

Sel–sel yang terdapat di hati antara lain: hepatosit, sel endotel, dan sel makrofag yang disebut sebagai sel kuppfer, dan sel ito (sel penimbun lemak).


(26)

Sel hepatosit berderet secara radier dalam lobulus hati dan membentuk lapisan sebesar 1-2 sel serupa dengan susunan bata. Lempeng sel ini mengarah dari tepian lobulus ke pusatnya dan beranastomosis secara bebas membentuk struktur seperti labirin dan busa. Celah diantara lempeng-lempeng ini mengandung kapiler yang disebut sinusoid hati (Junquiera et al., 2007).

Sinusoid hati adalah saluran yang berliku–liku dan melebar, diameternya tidak teratur, dilapisi sel endotel bertingkat yang tidak utuh. Sinusoid dibatasi oleh 3 macam sel, yaitu sel endotel (mayoritas) dengan inti pipih gelap, sel kupffer yang fagositik dengan inti ovoid, dan sel stelat atau sel Ito atau liposit hepatik yang berfungsi untuk menyimpan vitamin A dan memproduksi matriks ekstraseluler serta kolagen. Aliran darah di sinusoid berasal dari cabang terminal vena portal dan arteri hepatik, membawa darah kaya nutrisi dari saluran pencernaan dan juga kaya oksigen dari jantung (Eroschenko, 2010; Junqueira et al., 2007).

Traktus portal terletak di sudut-sudut heksagonal. Pada traktus portal, darah yang berasal dari vena portal dan arteri hepatik dialirkan ke vena sentralis. Traktus portal terdiri dari 3 struktur utama yang disebut trias portal. Struktur yang paling besar adalah venula portal terminal yang dibatasi oleh sel endotel pipih. Kemudian terdapat arteriola dengan dinding yang tebal yang merupakan cabang terminal dari arteri hepatik. Dan yang ketiga adalah duktus biliaris yang mengalirkan empedu. Selain ketiga struktur itu, ditemukan juga limfatik (Junqueira et al., 2007).


(27)

Gambar 2.2. Lobulus hepatik Gartner, 2003

Aliran darah di hati dibagi dalam unit struktural yang disebut asinus hepatik. Asinus hepatik berbentuk seperti buah berry, terletak di traktus portal. Asinus ini terletak di antara 2 atau lebih venula hepatic terminal, dimana darah mengalir dari traktus portalis ke sinusoid, lalu ke venula tersebut. Asinus ini terbagi menjadi 3 zona, dengan zona 1 terletak paling dekat dengan traktus portal sehingga paling banyak menerima darah kaya oksigen, sedangkan zona 3 terletak paling jauh dan hanya menerima sedikit oksigen. Zona 2 atau zona intermediet berada diantara zona 1 dan 3. Zona 3 ini paling mudah terkena jejas iskemik (Junqueira et al., 2007).

2.3. Parasetamol

Parasetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat (SSP). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas (Lusiana Darsono, 2002).


(28)

Parasetamol merupakan salah satu obat yang paling sering menyebabkan kematian akibat keracunan (Neal, 2006). Toksisitas parasetamol terjadi pada penggunaan dosis tunggal 10 sampai 15 gr (150 sampai 250 mg/kg BB) (Goodman dan Gilman, 2008), dosis 20 sampai 25 gr atau lebih kemungkinan menyebabkan kematian (Wilmana dan Gunawan, 2007). Sedangkan dosis toksik untuk tikus atau LD50 tikus adalah 338 mg/kg BB (Wishart dan Knox, 2006). Akibat dosis toksik yang paling serius adalah nekrosis hati, walaupun nekrosis tubuli renalis dan koma hipoglikemik juga dapat terjadi. Sekitar 10% pasien yang mengalami keracunan yang tidak mendapatkan penanganan khusus mengalami kerusakan hati yang parah; sebanyak 10-20% di antaranya akhirnya meninggal karena kegagalan fungsi hati (Goodman dan Gilman, 2008).

2.3.1. Mekanisme Hepatotoksik Parasetamol

Pemberian parasetamol secara oral dengan penyerapan yang cepat dan hampir sempurna di saluran pencernaan. Penyerapan dihubungkan dengan tingkat pengosongan lambung, dan konsentrasi dalam plasma mencapai puncak dalam 30 sampai 60 menit (Katzung, 2002). Waktu paruh dalam plasma 1 sampai 3 jam setelah dosis terapeutik dengan 25% parasetamol terikat protein plasma dan sebagian dimetabolisme enzim mikrosom hati (Wilmana dan Gunawan, 2007). Hati merupakan tempat metabolisme utama parasetamol. Di dalam hati, 60% dikonjugasikan dengan asam glukuronat, 35% asam sulfat, dan 3% sistein; yang akhirnya menghasilkan konjugat yang larut dalam air serta diekskresi bersama urin. Jalur konjugasi pertama (terutama glukuronidasi dan sulfasi) tidak dapat digunakan lagi ketika asupan parasetamol jauh melebihi dosis terapi dan sebagian kecil akan beralih ke jalur sitokrom P450 (CYP2E1) (Defendi dan Tucker, 2009; Goodman dan Gilman, 2008).

Metabolisme melalui sitokrom P450 membuat parasetamol mengalami N-hidroksilasi membentuk senyawa antara, N-acetyl-para-benzoquinoneimine (NAPQI), yang sangat elektrofilik dan reaktif. Pada keadaan normal, senyawa antara ini dieliminasi melalui konjugasi dengan glutathione (GSH) yang


(29)

berikatan dengan gugus sulfhidril dan kemudian dimetabolisme lebih lanjut menjadi suatu asam merkapturat yang selanjutnya diekskresi ke dalam urin. Ketika terjadi overdosis, kadar GSH dalam sel hati menjadi sangat berkurang yang berakibat kerentanan sel-sel hati terhadap cedera oleh oksidan dan juga memungkinkan NAPQI berikatan secara kovalen pada makromolekul sel, yang menyebabkan disfungsi berbagai sistem enzim (Goodman dan Gilman, 2008). Ikatan kovalen dengan makromolekul sel terutama pada gugus tiol protein sel dan kerusakan oksidatif juga merupakan patogenesis utama terjadinya nefropati analgesik (Cotran et al., 2007; Neal, 2006).

Rangkaian metabolisme minor parasetamol ini dapat menyebabkan efek merugikan. Pengurangan GSH secara tidak langsung dapat menimbulkan terjadinya stres oksidatif akibat penurunan proteksi antioksidan endogen (antioksidan enzimatik), yang juga dapat menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid (Maser et al., 2002). Peroksidasi lipid merupakan suatu proses autokatalisis yang mengakibatkan kematian sel. Produk akhir peroksidasi lipid di dalam tubuh adalah malondialdehid (MDA) yang dapat menyebabkan kematian sel akibat proses oksidasi berlebihan dalam membran sel (Mayes, 2008; Winarsi, 2007). Selain itu, reaksi pembentukan NAPQI akibat detoksifikasi oleh sitokrom P450 memacu terbentuknya radikal bebas superoksida (O2-) yang dinetralisir oleh superoksida dismutase (SOD) menjadi

H2O2, suatu Reactive Oxygen Species (ROS) yang tidak begitu berbahaya

(Ojo et al., 2006). Namun, melalui reaksi Haber-Weiss dan Fenton, adanya logam transisi seperti Cu dan Fe akan membentuk radikal hidroksil yang sangat berbahaya yang akan menghancurkan struktur sel (Winarsi, 2007). 2.3.2. Kerusakan Yang Ditimbulkan

Perubahan histologi pada hati akibat efek hepatotoksik parasetamol terdiri dari nekrosis perivenular zona 3 dan kongesti sinusoidal yang disertai steatosis. Sedangkan profil biokimia yang dapat diamati secara signifikan adalah meningkatnya enzim transaminase secara drastis, hipoprotrombinemia dan pada cidera berat akan terjadi asidosis laktat. Rentang jumlah peningkatan


(30)

enzim aminotransferase akibat efek hepatotoksik parasetamol antara 50-1000 kali lipat (Burt et al., 2007).

2.4. Enzim Transaminase

2.4.1. Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase (SGOT)

SGOT adalah enzim mitokondria yang juga ditemukan dalam hati, jantung, ginjal, dan otak (Widmann, 1995). Bila jaringan tersebut mengalami kerusakan yang akut, kadarnya dalam serum meningkat. Diduga hal ini disebabkan karena bebasnya enzim intraseluler dari sel-sel yang rusak ke dalam sirkulasi. Kadar yang sangat meningkat terdapat nekrosis hepatoseluler atau infark miokard (Hadi, 1995).

SGOT melakukan reaksi antara asam aspartat dan asam alfa-ketoglutamat (Widmann, 1995). SGOT berada dalam sel parenkim hati. SGOT meningkat pada kerusakan hati akut, tetapi juga terdapat dalam sel darah merah dan otot skelet. Oleh karena itu, tidak spesifik untuk hati. SGOT berfungsi untuk mengubah aspartat dan alfa-ketoglutarat menjadi oxaloasetat dan glutamat. Terdapat 2 isoenzim, yaitu SGOT 1 merupakan isoenzim sitosol yang terutama berada dalam sel darah merah dan jantung. Kemudian SGOT 2 merupakan isoenzim mitokondria yang predominan dalam sel hati (Gaze, 2007). Kadar normal dalam darah 10-40 IU/ liter, sedangkan pada tikus berkisar 45,7-80, IU/L (Widmann, 1992). Meningkat tajam ketika terjadi perubahan infark miokardium (Sacher dan McPerson, 2002).

2.4.2. Serum Glutamat Piruvat Transaminase (SGPT)

Enzim ini mengkatalisis pemindahan satu gugus amino antara lain alanine dan asam alfa ketoglutarat. Terdapat banyak di hepatosit dan konsentrasinya relatif rendah di jaringan lain. Kadar normal dalam darah 5-35 IU/ liter dan SGPT lebih sensitif dibandingkan SGOT (Sacher dan McPerson, 2002). Sedangkan pada mencit berkisar 17,5-30,2 IU/L (Smith,1988; Widmann, 1992).

Kadar SGPT dan SGOT meningkat pada hampir semua penyakit hati. Kadar yang tertinggi ditemukan dalam hubungannya dengan keadaan yang menyebabkan nekrosis hati yang luas, seperti hepatitis virus yang berat,


(31)

cedera hati akibat toksin, atau kolaps sirkulasi yang berkepanjangan. Peningkatan yang lebih rendah ditemukan pada hepatitis akut ringan demikian pula pada penyakit hati kronik difus maupun local (Podolsky dan Isselbacher, 2000). Kadar mendadak turun pada penyakit akut, menandakan bahwa sumber enzim yang masih tersisa habis. Kalau kerusakan oleh radang hati hanya kecil, kadar SGPT lebih dini dan lebih cepat meningkat dari kadar SGOT (Widmann, 1995).

2.5. Tes Fungsi Hati

Fungsi hati mengatur banyak metabolit, ada juga test dan tindakan tertentu yang berkolerasi baik dengan keutuhan structural dan fungsional dari hati. Test-test itu diberi nama test fungsi hati (TFH) (Widmann, 1995). Penyakit hati yang berbeda akan menyebabkan kerusakan yang berbeda dan tes fungsi hati dapat menunjukkan perbedaan ini. Hasil tes fungsi hati dapat memberikan gambaran mengenai penyakit apa yang mungkin menyebabkan kerusakan, tetapi tes ini tidak mampu mendiagnosa akibat penyakit hati. Hasil tes ini juga bermanfaat untuk memantau perjalanan penyakit hati, tetapi sekali lagi, mungkin tidak memberi gambaran yang tepat. Namun, biasanya hasil tes fungsi hati memberi gambaran mengenai tingkat peradangan (Anonim, 2007). Pemeriksaan kimia darah digunakan untuk mendeteksi kelainan hati, menentukan diagnosis, mengetahui berat ringannya penyakit, dan penilaian hasil pengobatan. Pengukuran kadar bilirubin serum, aminotransferase, alkali fosfatase, gamma GT, dan albumin sering disebut sebagai tes fungsi hati atau LFTs. Tes-tes ini dapat dikelompokkan dalam 3 kategori utama (Amirudin, 2006), antara lain :

1) Peningkatan enzim aminotransferase (juga dikenal sebagai transaminase), SGPT, SGOT, biasanya mengarahkan pada perlukaan hepatoselular atau inflamasi.

2) Keadaan patologis yang mempengaruhi system empedu intra dan ekstra hepatis dapat menyebabkan peningkatan alkali fosfatase dan gamma GT.


(32)

3) Kelompok ketiga merupakan kelompok yang mewakili fungsi sintesis hati, seperti produksi albumin, urea, dan faktor pembekuan.

Produk yang biasanya diukur sebagai bagian dari tes fungsi hati (Anonim, 2007) :

1) SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) atau ALT (alanin aminotransferase)

2) SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau AST (aspartat aminotransferase)

3) Alkalin fosfatase

4) GGT (gamma-glutamil transpeptidase, atau gamma GT) 5) Bilirubin


(33)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan eksperimental laboratorik. Penelitian mengadakan perlakuan terhadap sampel yang telah ditentukan yaitu berupa hewan coba di laboratorium.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakologi, Laboratorium Pangan (PLT), Animal House, Laboratorium Biokimia / Klinik, Laboratorium Kimia Obat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan selama 4 bulan dari bulan Maret 2015 hingga Juni 2015.

3.3. Alat dan Bahan Penelitian 3.3.1. Alat Penelitian

Timbangan hewan, kandang hewan percobaan, neraca analitik AND GX-200, lumpang dan alu, blender, gelas ukur, beaker glass, batang pengaduk, sentrifugator Eppendorf, freeze dry, mikropipet 100-1000 µl, Eppendorf, pipet tetes, water bath TRW-42 TP, sonde oral, spuit, silet, seperangkat alat bedah hewan (scalpel, pinset, gunting, jarum, dan meja lilin), hot plate, kuvet 1 cm x 1 cm. Pengukuran aktivitas SGPT dan SGOT : spektrofotometer Vis Genesys 20.

3.3.2. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sarang burung walet putih (diperoleh dari Palu, Sulawesi Tengah), Hepa-Q® sebagai hepatoprotektor dari PT. Pyridam, parasetamol sebagai hepatotoksik dari PT. Brataco, tikus putih jantan galur Sprague dawley sebagai hewan uji yang diperoleh dari Institut Pertanian Bogor, makanan hewan percobaan (pellet),


(34)

aquadest, Gom Arab yang diproduksi oleh PT. Brataco, reagen SGOT dan SGPT merk ST Reagen.

3.3.3. Hewan Uji

Hewan uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih galur Sprague dawley yang sehat, berjenis kelamin jantan, dan berumur 3-6 bulan dengan berat badan 200-300 gram yang diperoleh dari Animal Facility and Modeling Provider Institut Pertanian Bogor (IPB).

3.4. Desain Penelitian

3.4.1. Jumlah Sampel dan Cara Pengambilan Sampel

Jumlah sampel ditentukan menurut WHO, yaitu minimal lima ekor tikus untuk setiap kelompok. Penelitian ini menggunakan enam kelompok tikus tiap masing-masing terdiri dari lima ekor. Cara pengambilan sampel dilakukan dengan metode randomisasi sederhana dari populasi yang ada. 3.4.2. Dosis Perlakuan

Dosis ekstrak air sarang burung walet putih yang digunakan pada tikus berdasarkan skrining dosis yaitu 1mg/kgBB, 10mg/kgBB, dan 100mg/kgBB. 3.4.3. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah The Pre and Post Test Control Group Design. Metode hepatoprotektif dilakukan selama 16 hari.

Tabel 3.1. Desain Pembagian Kelompok Percobaan

Klp Perlakuan (Hari ke-)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

K0 - ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ £ £ -

KN - ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ ⩟ √ √ -

KP - β β β β β β β β β β β β β β + √ β + √ -

KU1 - α α α α α α α α α α α α α α + √ α + √ -

KU2 - µ µ µ µ µ µ µ µ µ µ µ µ µ µ µ + √ µ + √ - KU3 - ¥ ¥ ¥ ¥ ¥ ¥ ¥ ¥ ¥ ¥ ¥ ¥ ¥ ¥ ¥ + √ ¥ + √ -


(35)

Keterangan :

K0 : Tikus normal (-) : Tanpa diberi perlakuan apapun KN : Kontrol negatif ⩟ : Aquadest

KP : Kontrol positif β : Hepa-Q

KU1 : Kelompok uji I (Hepatoprotektif α : Sarang burung walet dosis rendah

sarang burung walet dosis rendah)

KU2 : Kelompok uji II (Hepatoprotektif µ : Sarang burung walet dosis sedang

sarang burung walet dosis sedang)

KU3 : Kelompok uji III (Hepatoprotektif ¥ : Sarang burung walet dosis tinggi

sarang burung walet dosis tinggi)

√ : Parasetamol £ : Gom Arab

: Pengambilan sampel darah :Terminasi, pengambilan sampel untuk uji SGPT dan SGOT darah untuk uji SGPT dan SGOT a. K0 : Tikus normal, diberi Gom Arab5% pada hari ke-15 dan 16. b. KN : Sebagai kontrol negatif diberi suspensi parasetamol 15%

2g/kgBB (p.o) pada hari ke-15 dan 16.

c. KP : Sebagai kontrol positif diberi Hepa-Q® dengan dosis 150 mg/kgBB (p.o) setiap hari selama 16 hari. Pada hari ke-15, kemudian hewan uji diberi suspensi parasetamol 2g/kgBB (p.o) dosis tunggal pada hari ke-15 dan 16. Darah dianalisa pada hari ke 0, 15 dan 17 untuk mengamati aktivitas enzim SGPT dan SGOT.

d. KU1 : Sebagai kelompok uji 1 (Hepatoprotektif sarang burung walet dosis rendah) diberikan larutan sarang burung walet dengan dosis 1 mg/kgBB (p.o) setiap hari selama 16 hari. Pada hari ke-15, kemudian hewan uji diberi suspensi parasetamol 2g/kgBB (p.o) dosis tunggal pada hari ke-15 dan 16. Darah dianalisa pada hari ke 0, 15 dan 17 untuk mengamati aktivitas enzim SGPT dan SGOT.

e. KU2 : Sebagai kelompok uji 2 (Hepatoprotektif sarang burung walet dosis sedang) diberikan larutan sarang burung walet dengan dosis 10 mg/kgBB (p.o) setiap hari selama 16 hari. Pada hari ke-15, kemudian hewan uji diberi suspensi parasetamol 2g/kgBB (p.o) dosis tunggal pada hari ke-15 dan 16. Darah dianalisa pada hari ke 0, 15 dan 17 untuk mengamati aktivitas enzim SGPT dan SGOT.


(36)

f. KU3 : Sebagai kelompok uji 3 (Hepatoprotektif sarang burung walet dosis tinggi) diberikan larutan sarang burung walet dengan dosis 100 mg/kgBB (p.o) setiap hari selama 16 hari. Pada hari ke-15, kemudian hewan uji diberi suspensi parasetamol 2g/kgBB (p.o) dosis tunggal pada hari ke-15 dan 16. Darah dianalisa pada hari ke 0, 15 dan 17 untuk mengamati aktivitas enzim SGPT dan SGOT.

3.5. Prosedur Penelitian 3.5.1. Determinasi Sampel

Sampel sarang burung walet putih yang diperoleh dari Palu, Sulawesi Tengah, kemudian dideterminasi di Laboratorium Ornithologi, Puslit Biologi Bidang Zoologi LIPI Cibinong, Bogor, Jawa Barat.

3.5.2. Penyiapan Sarang Burung Walet

Sampel yang telah dideterminasi, kemudian dibersihkan dari bulu burung walet yang menempel pada sampel dengan menggunakan pinset. Selanjutnya sarang burung walet dibersihkan dibawah air mengalir selama ±5 menit, kemudian dikeringkan pada suhu ruang. Setelah bersih, sampel dihaluskan dengan menggunakan blender.

3.5.3. Ekstraksi Sarang Burung Walet

Sebanyak 150 gram sampel dilarutkan dalam 4,5 L aquabidest, kemudian dipanaskan (60OC) selama 30 menit lalu dihomogenizer 800 rpm selama 30 menit. Selanjutnya disonikasi selama 30 menit lalu di saring dengan menggunakan 2 lapis kain kasa. Filtrat yang diperoleh dikeringkan dengan metode pengeringan freeze dry dan disimpan pada suhu -20OC (Yida, 2014 dan Liu et al., 2012).

3.5.4. Uji Kualitatif Ekstrak Sarang Burung Walet 1. Reaksi Biuret

Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambahkan 2 ml larutan NaOH 2 M, kocok perlahan. Lalu tambahkan 10 tetes larutan CuSO4 0,1 M. Amati

perubahan yang terjadi. Reaksi positif mengandung protein jika terjadi perubahan warna menjadi warna ungu (Auterhoff, 2002).


(37)

2. Reaksi Molish

Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambahkan 5 tetes larutan naftol 3% dalam etanol, dikocok perlahan selama 5 detik, miringkan tabung dan ditambahkan 2 ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung secara hati–hati,

kemudian tegakkan kembali tabung. Hasil positif mengandung karbohidrat bila terlihat adanya cincin ungu diperbatasan kedua cairan (Auterhoff, 2002). 3. Reaksi Xantoprotein

Sebanyak 2 mL larutan asam nitrat pekat ditambahkan dengan hati-hati ke dalam larutan sampel, dikocok dan amati perubahan warnanya. Setelah dicampur akan terjadi endapan putih yang dapat berubah menjadi kuning apabila dipanaskan. Reaksi positif menandakan adanya asam amino yang bergugus benzen pada sampel (Sumardjo, 2009).

3.5.5. Penyiapan Dosis Ekstrak Sarang Burung Walet

Dosis pemberian ekstrak air sarang burung walet pada tikus dibedakan dalam tiga dosis yaitu 1 mg/kgBB, 10 mg/kgBB, dan 100 mg/kgBB kemudian disuspensikan dalam Gom Arab 5%.

3.5.6. Penyiapan Suspensi Parasetamol 15% dalam Gom Arab 5%

Parasetamol yang akan digunakan dibuat dalam bentuk suspensi dalam Gom Arab 5%, karena sifat dari parasetamol adalah tidak larut air (Depkes RI, 1995). Disiapkan Gom Arab 5%, ditimbang Gom Arab sebanyak 5 gram kemudian didispersikan ke dalam 100 ml aquadest hangat dengan menggunakan mortar dan alu. Suspensi parasetamol 15% dengan menimbang 15 gram parasetamol murni yang telah dihaluskan. Parasetamol dimasukkan dalam mortar didispersikan dengan larutan Gom Arab 5%, kemudian ad kan hingga 100 ml dengan larutan Gom Arab 5%.

3.5.7. Persiapan Tikus

Tikus diperoleh dari Institut Pertanian Bogor sebanyak 30 ekor. Tikus diaklimatisasi terhadap lingkungan selama 60 hari di Animal House Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta. Pada hari ke-61 dilakukan penimbangan untuk menentukan dosis dan dilakukan perlakuan.


(38)

3.5.8. Pengambilan Sampel Darah Hewan Uji

Pengambilan darah pada hewan uji dilakukan pada hari ke-0, 15 dan 17. Pada hari ke-15 pengambilan darah dilakukan setelah pemberian ekstrak sarang burung walet. Darah tikus diambil sebanyak 0,5-1 ml melalui bagian pleksus retro-orbital menggunakan mikrohematokrit, dibius terlebih dahulu menggunakan eter. Darah kemudian ditampung dalam tabung mikrosentrifugasi untuk diambil serumnya yang kemudian dilakukan pengujian terhadap aktivitas SGPT dan SGOT. Serum diambil dengan melakukan setrifugasi sampel darah pada 3000 rpm selama 5 menit pada suhu 20OC (Erguder, 2008).

3.5.9. Pengukuran Aktivitas SGOT dan SGPT Serum Darah

Pengukuran aktivitas SGPT dan SGOT serum darah dilakukan dengan menggunakan prinsip metode kinetic yang telah ditetapkan oleh International Federation of Chemical Chemistry (IFCC) menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Serum hewan percobaan, yang diperoleh pada hari ke- 0, 15, dan 17 diambil sebanyak 0,1 ml dicampur dengan reagen SGOT dan SGPT (1 ml) yang sebelumnya dihangatkan pada suhu 37oC selama 60 detik. Setelah itu dimasukkan ke dalam kuvet dan diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada λ 480 nm. Pengukuran diukur sebanyak empat kali dengan interval 60 detik (A0, A1, A2, A3). Hasil dari aktivitas SGPT dan SGOT dinyatakan dalam satuan unit/liter (U/L) yang merupakan banyak enzim dalam satu liter serum yang dapat menghasilkan NAD+ pada satuan waktu yang sama.

Cara perhitungan kadar SGPT dan SGOT mengikuti rumus berikut. SGPT/SGOT (U/L)

=

Dimana

Vt = Volume total sampel ditambah reagen (ml) Vs = Volume sampel (ml)


(39)

3.6. Rencana Pengolahan dan Analisa Data

Data kuantitatif direpresentatifkan secara statistik dengan SPSS (Statistical Product and Service Solution) 16,0 untuk windows. Analisa data meliputi uji normalitas, uji homogenitas,, uji parametric (one-way ANOVA, Paired sample T-Test), atau uji non parametric (Kruskal Wallis).


(40)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Determinasi Tanaman

Sampel sarang burung walet putih diperoleh dari Palu, Sulawesi tengah, dideterminasi di Laboratorium Ornithologi, Puslit Biologi Bidang Zoologi LIPI Cibinong, Bogor, Jawa Barat, hasil menunjukkan bahwa sampel benar merupakan sarang burung walet putih dari burung walet putih (Collocalia fuciphaga Thunberg, 1821). Hasil determinasi dapat dilihat pada lampiran 1.

4.1.2. Ekstraksi Sarang Burung Walet

Sebanyak 146 gram serbuk sarang burung walet putih diekstraksi dengan aquabidest melalui beberapa tahap. Filtrat yang diperoleh kemudian dilakukan pengerigan dengan metode freeze dry selama 8 hari yang dilakukan di Batan, Jakarta Selatan. Didapatkan ekstrak sebanyak 5,8 gram dengan rendemen 3,9%. Perhitungan rendemen dapat dilihat pada lampiran 6.

4.1.3. Uji Kualitatif Ekstrak Air Sarang Burung Walet

Uji kualitatif ekstrak air sarang burung walet putih (Collocalia fuchiphaga T.) dilakukan untuk mengetahui kandungan metabolit aktif. Hasil uji kualitatif ekstrak air sarang burung walet putih dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Uji Kualitatif Ekstrak Air Sarang Burung Walet Putih (Collocalia fuciphaga)

Uji Kualitatif Hasil Keterangan

Reaksi Biuret Terjadi perubahan warna dari bening menjadi warna biru keunguan

Positif adanya protein

Reaksi Molish Terbentuk cincin ungu di kedua cairan

Positif adanya karbohidrat Reaksi

Xantoprotein

Terdapat adanya endapan putih

Positif adanya asam amino bergugus benzene


(41)

4.1.4. Hasil Pengukuran Kadar SGPT Serum Darah

Hasil pengukuran kadar SGPT serum darah yakni pada kelompok Kontrol normal, Kelompok positif, Kelompok negatif, Kelompok uji 1 (1 mg/kgBB), Kelompok uji 2 (10 mg/kgBB) dan Kelompok uji 3 (100 mg/kgBB) yakni dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Rata-rata Kadar SGPT

Kelompok Tikus

Rata-rata SGPT (U/L) ± SD

Hari ke- 0 Hari ke- 15 Hari ke- 17

K0 152,12 ± 11,07 75,43 ± 4,53 140,41 ± 25,50 KN 97,7 ± 6,68 49,43 ± 4,93 213,98 ± 21,20 KP 123,42 ± 24,33 77,28 ± 14,07 169,95 ± 37,14 KU1 94,79 ± 3,28 52.52 ± 5,02 181,53 ± 22,14 KU2 121,31 ± 7,73 63.22 ± 8,57 113,97 ± 15,76 KU3 107,7 ± 6,75 58.09 ± 3,63 218,31 ± 17,21

Keterangan : K0 (Kontrol Normal), KN (Kontrol Negatif), KP (Kontrol Positif), KU1 (Kelompok Uji 1), KU2 (Kelompok Uji 2), KU3 (Kelompok Uji 3)

Hasil pengukuran kadar SGPT menunjukan bahwa adanya penurunan dan peningkatan kadar SGPT antara hari ke-0, hari ke-15 dan hari ke-17 untuk setiap kelompok.

Gambar 4.1. Grafik Rata-rata Kadar SGPT 0

50 100 150 200 250

K0 KP KN KU1 KU2 KU3

Rata-rata SGPT Hari ke-0

Rata-rata SGPT Hari ke-15

Rata-rata SGPT Hari ke-17


(42)

Persentase perubahan kadar SGPT pada hari ke-0, hari ke-15 dan hari ke-17 dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Persentase Perubahan Kadar SGPT Kelompok

Tikus

% Perubahan kadar SGPT dari

hari ke 0 - 15

% Perubahan kadar SGPT dari

hari ke 15 – 17

K0 50,42 86,17

KN 49,40 332,98

KP 37,38 119,91

KU1 44,59 245,63

KU2 47,88 80,27

KU3 46,06 275,81

Keterangan : K0 (Kontrol Normal), KN (Kontrol Negatif), KP (Kontrol Positif), KU1 (Kelompok Uji 1), KU2 (Kelompok Uji 2), KU3 (Kelompok Uji 3)

Tanda menunjukan peningkatan dan tanda menunjukan penurunan

Data yang telah diperoleh kemudian diolah secara statistik dengan menggunakan uji Paired samples T-Test. Penurunan kadar SGPT secara bermakna terjadi pada kelompok normal antara hari ke-0 sampai hari ke-15, dan terjadi peningkatan secara tidak bermakna jika dibandingkan antara hari ke-15 sampai hari ke-17. Kelompok negatif terjadi penurunan kadar SGPT secara tidak bermakna antara hari 0 sampai hari 15, dan peningkatan secara bermakna terjadi antara hari ke-15 sampai hari ke-17. Penurunan SGPT secara tidak bermakna terjadi pada kelompok positif antara hari ke-0 sampai hari ke-15, dan peningkatan secara bermakna antara hari ke-15 sampai hari ke-17.

Kelompok dosis kecil (1 mg/kgBB) terjadi penurunan kadar SGPT secara bermakna (p≤0,05) antara hari ke-0 sampai hari ke-15, dan peningkatan secara bermakna terjadi antara hari ke-15 sampai hari ke-17. Kelompok dosis sedang (10 mg/kgBB) terjadi penurunan kadar SGPT secara bermakna antara hari ke-0 sampai hari 15, dan peningkatan secara tidak bermakna antara hari 15 sampai hari ke-17. Kelompok dosis tinggi (1000 mg/kgBB) terjadi penurunan kadar SGPT secara


(43)

bermakna jika dibandingkan antara hari ke-0 sampai hari ke-15, dan peningkatan secara bermakna antara hari ke-15 sampai hari ke-17.

Hal ini menunjukan bahwa ekstrak air sarang burung walet putih dapat mempengaruhi kadar SGPT dan tergantung dengan dosis. Hasil analisa statistika dapat dilihat pada lampiran 9.

4.1.5. Hasil Pengukuran Kadar SGOT Serum Darah

Hasil pengukuran kadar SGOT serum darah yakni pada kelompok yakni kelompok Kontrol normal, Kelompok positif, Kelompok negatif, Kelompok uji 1 (1 mg/kgBB), Kelompok uji 2 (10 mg/kgBB) dan Kelompok uji 3 (100 mg/kgBB) dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4. Rata-rata Kadar SGOT

Kelompok Tikus

Rata-rata SGOT

Hari ke- 0 Hari ke-15 Hari ke-17

K0 127,91 ± 21,53 77,90 ± 5,32 179,23 ± 35,89 KN 75,86 ± 8,74 70,47 ± 3,90 196,47 ± 34,07 KP 69,86 ± 15,79 81,17 ± 6,49 223,89 ± 41,81 KU1 76,83 ± 9,57 66,93 ± 6,80 207,88 ± 26,51 KU2 58,84 ± 11,70 86,38 ± 7,72 124,59 ± 19,91 KU3 84,26 ± 9,24 74,44 ± 2,97 243,167 ± 10,82

Keterangan : K0 (Kontrol Normal), KN (Kontrol Negatif), KP (Kontrol Positif), KU1 (Kelompok Uji 1), KU2 (Kelompok Uji 2), KU3 (Kelompok Uji 3)

Hasil pengukuran kadar SGOT menunjukan bahwa adanya penurunan dan peningkatan kadar SGOT antara hari ke-0, hari ke-15 dan hari ke-17 untuk setiap kelompok.


(44)

Gambar 4.2. Grafik Rata-rata Kadar SGOT

Persentase perubahan kadar SGOT pada hari ke-0, hari ke-15 dan hari ke-17 dapat dilihat pada tabel 4.5.

Tabel 4.5. Persentase Perubahan Kadar SGOT Kelompok

Tikus

% Perubahan kadar SGOT dari

hari ke 0 - 15

% Perubahan kadar SGOT dari

hari ke 15- 17

K0 39,09 130,07

KN 7,10 178,79

KP 16,18 175,82

KU1 12,88 210,59

KU2 46,80 44,23

KU3 11,65 226,66

Keterangan : K0 (Kontrol Normal), KN (Kontrol Negatif), KP (Kontrol Positif), KU1 (Kelompok Uji 1), KU2 (Kelompok Uji 2), KU3 (Kelompok Uji 3)

Tanda menunjukan peningkatan dan tanda menunjukan penurunan

Data yang telah diperoleh kemudian diolah secara statistik dengan menggunakan uji Paired samples T-Test. Pada kelompok normal terjadi peningkatan kadar SGOT antara hari ke-0 sampai hari ke 15 berbeda tidak bermakna. Penurunan

0 50 100 150 200 250

K0 KP KN KU1 KU2 KU3

Rata-rata SGOT Hari ke- 0

Rata-rata SGOT Hari ke-15

Rata-rata SGOT Hari ke-17


(45)

secara bermakna terjadi antara hari ke-15 sampai hari ke-17. Penurunan pada kelompok negatif tidak berbeda secara bermakna, dan peningkatan kadar SGOT pada kelompok negatif berbeda secara bermakna setelah dua hari pemberian parasetamol

(p≤0,05).

Peningkatan kadar SGOT pada kelompok positif dan dosis sedang (10 mg/kgBB) antara hari ke-0 sampai hari ke-15 terjadi secara tidak bermakna. Kelompok dosis kecil dan kelompok dosis tinggi terjadi penurunan kadar SGOT secara tidak bermakna antar hari ke-0 sampai hari ke-15. Pada kelompok positif terjadi peningkatan kadar SGOT antara hari ke-15 sampai hari ke 17 secara bermakna

(p≤0,05). Peningkatan kadar SGOT antara hari ke-15 sampai hari ke 17 secara bermakna terjadi pada kelompok dosis kecil dan dosis tinggi. Peningkatan kadar SGOT pada kelompok dosis sedang antara hari ke-15 sampai hari ke 17 secara tidak bermakna. Hal ini menunjukan bahwa ekstrak air sarang burung walet putih dapat mempengaruhi kadar SGOT dan tergantung dengan dosis. Hasil analisa statistika dapat dilihat pada lampiran 10.

4.2. Pembahasan

Sarang burung walet merupakan salah satu makanan kesehatan yang sering dikonsumsi karena memiliki efek yang baik terhadap kesehatan. Sarang burung walet yang digunakan dalam penelitian ini adalah sarang burung walet putih, yang diperoleh dari Palu, Sulawesi Tengah. Determinasi sarang burung walet putih dilakukan di Laboratorium Ornithologi, Puslit Biologi Bidang Zoologi LIPI Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Hasil menunjukan bahwa sarang burung walet yang digunakan adalah benar sarang burung walet putih Collocalia fuciphaga Thunberg, 1821.

Tahap pertama dalam proses ekstraksi yaitu penyiapan simplisia dilakukan di Laboratorium Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebanyak 150 gram sarang burung walet putih (Collocalia fuciphaga T.) dibersihkan bertujuan untuk menghilangkan atau membersihkan kotoran-kotoran yang terdapat di sarang burung walet. Kemudian dihaluskan menggunakan blender untuk memperkecil partikel dan memperluas luas permukaan agar lebih mudah


(46)

pelarut berdifusi ke dalam sampel, sehingga didapat 146 gram serbuk sarang burung walet putih (Collocalia fuciphaga T.). Serbuk sarang burung walet dilarutkan dalam 4,5 liter aquabidest. Tujuan penggunaan aquabidest yaitu untuk menghindari atau meminimalisir adanya pertumbuhan bakteri selama proses ekstraksi. Kemudian dipanaskan pada suhu 60oC selama 30 menit untuk mengisolasi dan memurnikan protein pada sarang burung walet (Ma dan Liu, 2012). Hasil pemanasan, kemudian dihomogenizer 800 rpm selama 30 menit dengan tujuan untuk mengoptimalisasi ekstraksi. Kemudian disonikasi selama 30 menit dengan tujuan memberikan getaran sehingga menghasilkan efek yang menyebabkan sel pecah dan isi sel keluar (Lacoma, 2009). Hasil sonikasi kemudian disaring menggunakan kain kasa untuk memisahkan endapan. Hasil filtrat kemudian dipekatkan dengan cara pengeringan freeze dry selama 8 hari yang dilakukan di Batan, Jakarta Selatan. Hasil ekstraksi diperoleh sebanyak 5,8 gram dengan rendemen 3,9%.

Uji kualitatif ekstrak air sarang burung walet putih meliputi uji reaksi biuret, uji reaksi molish, dan uji reaksi xantoprotein. Tujuan uji kualitatif ekstrak air sarang burung walet yaitu untuk mengetahui kandungan yang terkandung dalam sarang burung walet. Uji reaksi biuret dilakukan untuk menunjukan adanya protein pada ekstrak air sarang burung walet. Hasil pengujian berupa terbentuknya warna biru keunguan setelah penambahan larutan NaOH dan larutan CuSO4. Terjadinya reaksi

warna merah muda sampai violet disebut reaksi biuret sebab warna senyawa yang terbentuk sama dengan warna senyawa biuret bila ditambah larutan natrium hidroksida dan tembaga sulfat (Sumardjo, 2009).

Uji reaksi molish dilakukan untuk menunjukan adanya karbohidrat yang terdapat di ekstrak air sarang burung walet. Hasil pengujian berupa terbentuknya cincin warna ungu di kedua cairan. Pada proses ini, karbohidrat akan mengalami hidrolisis menjadi protein sederhana dan karbohidrat. Karbohidrat yang terbentuk dengan alfa-naftol dalam alkohol dan asam sulfat akan memberikan warna violet (Sumardjo, 2009).

Uji reaksi xantoprotein merupakan uji kualitatif pada protein yang digunakan untuk menunjukan adanya gugus benzene (cincin fenil). Hasil pengujian berupa terbentuk adanya endapan putih setelah penambahan larutan HNO3 pekat yang


(47)

berfungsi untuk memecahkan protein menjadi gugus benzen dan endapan berubah menjadi warna kuning setelah dipanaskan. Reaksi xantoprotein positif untuk protein yang mengandung asam amino dengan gugus benzen seperti fenilalanin, triptofan, tirosin (Sumardjo, 2009).

Hasil pengujian kualitatif menunjukan bahwa ekstrak air sarang burung walet mengandung protein, karbohidrat, dan asam amino yang mempunyai gugus benzene seperti fenilalanin, triptofan, dan tirosin. Sarang burung walet memiliki kandungan yaitu protein (42-63%), karbohidrat (10,63-27,26%), lemak (0,14-1,28%), abu (2,1-7,3%), dan kadar air (7,5-12,9%) (Lu et al., 1995; Marcone, 2005; Wang, 1921a dalam Ma dan Liu, 2012). Sarang burung walet kaya akan protein. Protein tersusun atas 20 asam amino, 11 diantaranya dapat disintesis oleh tubuh (non-esensial), dan 9 diperoleh melalui makanan (esensial) (Suzana, 2012).

Penelitian lain juga menunjukan bahwa sarang burung walet dari Indonesia memiliki kandungan protein yang tinggi sekitar 59,8-65,8% (Hamzah dalam Arsih, 2014). Menurut Marcone, 2005 sarang burung walet memiliki kandungan terbanyak asam amino yang bergugus benzen yaitu fenilalanin dan tyrosin (Ma dan Liu, 2012). Asam amino yang terdapat dalam sarang burung walet yaitu aspartate + asparagin, treonin, serin, glutamik + glutamin, glicin, alanin, valin, metionin, isoleusin, tirosin, fenilalanin, lisin, histidin, arginine, tryptophan, sistein, prolin (Lu et al., 1995; Marcone., 2005 dalam Ma dan Liu, 2012).

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 ekor tikus putih jantan galur Sprague dawley yang berusia 3-6 bulan. Tikus bergalur Sprague dawley dipilih karena lebih ekonomis bila dibandingkan dengan tikus bergalur lainnya, lebih mudah diperoleh, memiliki sifat yang tenang, dan perkembangan tubuhnya yang pesat. Jenis kelamin jantan dipilih sebab sistem hormonal pada jantan lebih stabil dibandingkan dengan betina sehingga meminimalkan variasi biologis karena hormonal (Nugraha et al., 2008 dalam Anggraini, 2014). Tikus dibagi menjadi 6 kelompok yaitu kelompok normal, kelompok negatif, kelompok positif, kelompok dosis rendah (1 mg/kgBB), kelompok dosis sedang (10 mg/kgBB), dan kelompok dosis tinggi (100 mg/kgBB). Setiap kelompok masing-masing terdiri dari minimal


(48)

lima ekor tikus. Penentuan jumlah tikus berdasarkan World Health Organization (WHO).

Pada penelitian ini zat sebagai hepatotoksik adalah parasetamol karena lebih mudah diperoleh, mudah dan aman dalam pengerjaannya, dan paling banyak dikonsumsi. Pada perencanaan awal, dosis parasetamol yang digunakan yaitu 2 gr/kgBB yang diberikan selama satu hari. Berdasarkan Galal et al., 2012 pemberian parasetamol dengan dosis 2 g/kgBB selama 18 jam dihasilkan dapat meningkatkan 34 kali kadar SGPT dan 17 kali kadar SGOT. Namun setelah melakukan uji pendahuluan dengan 3 ekor tikus dosis parasetamol 2 gr/kgBB selama satu hari yang kondisi disesuaikan dengan penelitian berdasarkan Galal et al., 2012, belum mampu meningkatkan kadar SGPT dan SGOT secara signifikan, sehingga diputuskan frekuensi parasetamol yang digunakan menjadi 2 gr/kgBB selama 2 hari.

Pada penelitian ini metode hepatoprotektif yaitu selama 16 hari (Datta et al., 2013) Sebelum dilakukan perlakuan setiap tikus ditimbang terlebih dahulu untuk menentukan volume yang akan diberikan ke tikus. Sediaan ekstrak air sarang burung walet putih dibuat dengan cara mendispersikan antara ekstrak dan gom arab 5%. Menurut Evidence For The Safety Of Gum Arabic (Acacia Senegal (L.) Wild.) As A Food Additive-A Brief Review (2009), menyimpulkan bahwa tidak ada batasan untuk penggunaan gom arab sebagai bahan tambahan.

Parameter hepatoprotektif yang digunakan yaitu SGPT dan SGOT. Serum transaminase adalah indikator yang peka pada kerusakan sel-sel hati. SGOT atau AST adalah enzim sitosolik, sedangkan SGPT atau ALT adalah enzim mikrosomal, kenaikan enzim-enzim tersebut meliputi kerusakan sel-sel hati oleh virus, obat-obatan atau toksin yang menyebabkan hepatitis, karsinoma metastatik, kegagalan jantung, dan penyakit hati granulomatus dan yang disebabkan oleh alcohol (Candra, 2013)

Pada hari ke-0, hari ke-15 dan hari ke 17 (dua hari setelah pemberian parasetamol) dilakukan pengambilan darah melalui bagian pleksus retro-orbital menggunakan mikrohematokrit bersih yang sebelumnya dibius menggunakan eter (Sari, Azizahwati dan Retno Ariani, 2008). Pada hari ke-15 dilakukan pengambilan darah sebelum pemberian parasetamol pada hari pertama. Tujuan pengambilan darah pada hari ke-0 yaitu sebagai nilai normal untuk masing-masing kelompok, hari ke-15


(49)

untuk melihat kemampuan sarang burung walet dalam melindungi hati. Dan tujuan pengambilan darah pada hari ke-17 untuk melihat kemampuan sarang walet melindungi hati setelah pemberian parasetamol. Kemudian darah ditampung dan disentrifugasi. Supernatant diambil karena mengandung beberapa komposisi air, oksigen, karbondioksida, nitrogen, protein, albumin, fibrinogen, latosa piruvat (Dukes, 1955).

Pengukuran kadar SGPT dan SGOT dilakukan dengan metode enzimatis menggunakan spektrofotometer. Serum yang diperoleh setelah disentrifugasi kemudian ditambahkan larutan reagen SGPT atau SGOT yang dibaca pada panjang gelombang 480nm, sehingga terjadi reaksi seperti berikut :

Prinsip reaksi SGPT :

L-alanin + α-ketoglutaric acid => pyruvic acid + L-glutamic acid Pyruvic acid + NaDH + H+ => L-lactic acid + NaD+ + H2O

Prinsip reaksi SGOT :

L-aspartatic acid + α-ketoglutaric acid => oxalacetic acid Oxalacetic acid + NaDH + H+ => L-malic acid + NaD+ + H2O

Analisa statistika hasil uji normalitas (one-sample Kolmogorov-smirnov Test) menunjukan kadar SGPT pada hari ke-0, hari ke-15 dan hari ke-17 darah tikus terdistribusi normal (p≥0,05) dan uji homogenitas (Levene) menunjukan kadar SGPT pada hari ke-15 dan hari ke-17 bervariasi secara homogen (p≥0,05), karena syarat normalitas dan homogenitas sudah terpenuhi maka dilanjutkan dengan analisa uji One-way ANOVA. Hasil uji statistik One-way ANOVA menunjukan terdapat perbedaan yang bermakna (p≤0,05) pada hari ke-17, tetapi hari ke-15 menunjukan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p≥0,05). Uji homogenitas pada hari ke-0 menunjukan kadar SGPT tidak bervariasi secara homogen, sehingga dilanjutkan uji Kruskal wallis. Hasil uji Kruskal wallis menunjukan kadar SGPT pada hari ke-0 tidak

berbeda secara bermakna (p≥0,05).

Analisa statistika uji normalitas (one-sample Kolmogorov-smirnov Test) menunjukan kadar SGOT pada hari ke-0, hari ke-15 dan hari ke-17 darah tikus terdistribusi normal (p≥0,05). Uji Homogenitas (Levene) menunjukan kadar SGOT pada hari ke-0, hari ke-15 dan hari ke-17 bervariasi secara homogen, karena syarat


(50)

sudah terpenuhi maka analisa dilanjutkan dengan uji ANOVA. Hasil uji ANOVA menunjukan hari ke- 0 adanya perbedaan yang bermakna. Pada hari ke-15 dan hari ke-17 menunjukan tidak adanya perbedaan secara bermakna (p≥0,05).

Hasil data untuk kadar SGPT dan SGOT hari ke- 0 menunjukan nilai yang tinggi. Nilai normal SGPT untuk tikus putih yaitu 17,5-30,2 U/L (Girindra dalam Andriani, 2008) dan nilai normal SGOT untuk tikus putih yaitu 74-208 U/L (Mitruka, 1987). Penelitian-penelitian lain hepatorptektif juga menunjukan kadar SGPT dan SGOT yang tinggi sebelum dilakukan perlakuan seperti penelitian Pengaruh Air Perasan Kunyit Terhadap Kadar Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (SGOT), Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), Dan bilirubin Total Serum (Goenarwo, 2009), dan penelitian Uji Aktivitas Hepatorpotektif Dan Hepaokuratif Madu Hutan Sumbawa Terhadap Hati Tikus Putih Jantan Galur Sprague-Dawley (Anggraini, 2014).

Berdasarkan data yang diperoleh untuk kadar SGPT dan SGOT kelompok normal hari ke-15 mengalami penurunan sebanyak 50,40% dan 39,09%. Untuk nilai SGOT pada kelompok normal terjadi peningkatan dari 77,9 U/L menjadi 179,23 U/L. Peningkatan yang tinggi dapat disebabkan oleh variabel luar yang tidak dapat dikendalikan seperti kondisi fisiologis hewan uji. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan tingginya kadar enzim transaminase terutama SGOT yaitu kegiatan yang berat, cidera otot, dan hemolisis. Tikus adalah hewan yang aktif bergerak dan seringnya terjadi perkelahian antar tikus, maka kedua faktor kemungkinan berpengaruh terhadap tingginya kadar SGOT.

Kelompok normal dan negatif selama 14 hari diberikan aquadest, dan kelompok normal pada hari ke-15 dan 16 diberikan gom arab. Tujuan yaitu untuk membuktikan bahwa pemberian aquadest dan gom arab tidak dapat meningkatkan atau menurunkan nilai kadar SGPT atau SGOT. Namun hasil menunjukan adanya pengaruh pemberian gom arab dan aquadest terhadap kadar SGPT atau SGOT. Tetapi hal ini tidak dapat disimpulkan karena belum adanya penelitian lebih lanjut yang menyatakan bahwa gom arab dan aquadest akan memberikan nilai yang berpengaruh terhadap kadar SGPT dan SGOT.


(51)

Kelompok negatif setelah pemberian parasetamol selama dua hari, pada hari ke-17 kadar SGPT mengalami peningkatan sekitar 332,89% dan kadar SGOT sekitar 178,79%. Berdasarkan hasil tersebut, menunjukkan bahwa parasetamol dapat mengakibatkan kerusakan hati dengan ditandai adanya peningkatan kadar SGPT dan SGOT. Hal ini sesuai dengan uji pendahuluan yang membuktikan bahwa pemberian parasetamol 2gr/kgBB selama 2 hari akan mengalami peningkatan SGPT sebanyak 3-4 kali. Menurut Riswanto, 2009 peningkatan ringan (sampai 3 kali normal) mengalami sirosis atau kerusakan hati. Pemberian parasetamol dosis tinggi akan mengakibatkan peningkatan pembentukan Nacetyl-para-benzoquinoneimine (NAPQI), dan simpanan glutathion hati menjadi berkurang. Terbentuknya metabolit antara NAPQI dalam jumlah yang banyak dan penurunan jumlah glutathion hati, akan berakibat terjadi nekrosis atau kerusakan hati. Sel-sel hati yang rusak akan melepaskan enzim-enzim yang menandai kerusakan tersebut diantaranya SGOT, SGPT dan bilirubin total serum (Husadha dalam Candra, 2013).

Kelompok positif pada hari ke-15 mengalami penurunan sebanyak 37,38% untuk SGPT dan terjadi peningkatan 16,18% untuk SGOT. Setelah pemberian parasetamol selama 2 hari mengalami peningkatan. Peningkatan kadar SGPT dan SGOT lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok negatif. Obat hepatoprotektor standart yang digunakan dalam penelitian ini yaitu obat Hepa-Q®. salah satu kandungan dari obat Hepa-Q yaitu sylimarin. Menurut penelitian Panjaitan (2011) silymarin merupakan obat hepatoprotektor yang sudah terbukti dapat menurunkan kadar SGPT dan SGOT. Silymarin dapat menurunkan kadar SGPT dan SGOT secara signifikan (Yahya, 2013).

Kelompok uji mengalami penurunan kadar SGPT dan SGOT pada hari ke-15 dan peningkatan pada hari ke-17. Kelompok uji 2 (10mg/kgBB) pada hari ke-15 dapat menurunkan kadar SGPT dan SGOT lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok uji 1, kelompok uji 3 dan kelompok positif. Hal ini kemungkinan disebabkan karena sarang burung walet memiliki kandungan protein yang tinggi (Kathan dan weeks dalam Atiqah, 2012). Komponen utama yaitu glikoprotein (Marcone dalam Atiqah, 2012), yang berfungsi sebagai lubricant dan agen protektif (Murray dalam Atiqah, 2012).


(52)

Menurut penelitian Nuroini (2013) salah satu komponen protein yaitu glikoprotein yang berfungsi dapat menurunkan produksi TNF-α dalam proses inflamasi. Sehingga diprediksikan mekanisme kerja ekstrak air sarang burung walet putih yaitu glikoprotein dapat menurunkan produksi TNF-α sehingga proses terjadinya inflamasi dapat terhambat dan pengeluaran SGPT dan SGOT dapat dicegah, dan didalam sarang burung walet juga terdapat EGF (faktor pertumbuhan epidermal) yang berfungsi sebagai proliferasi sel (Ma dan Liu, 2012).

Kemampuan obat Hepa-Q® (kelompok positif) untuk melindungi hati lebih rendah daripada kelompok uji 2 (10mg/kgBB). Penggunaan obat Hepa-Q® untuk melindungi hati yaitu 3-6 bulan (ISO, 2012). Diduga karena pada pemberian obat Hepa-Q® ini hanya 16 hari, maka kerja obat belum optimal. Sehingga kemampuan obat Hepa-Q untuk melindungi hati dari kerusakan yang disebabkan oleh parasetamol belum menghasilkan efek farmakologis yang maksimal.

Kelompok uji 1 (1 mg/kgBB) kemampuan hepatoprotektif lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok uji 2. Kemungkinan hal ini disebabkan karena dosis kelompok uji 1 terlalu kecil, sehingga dengan dosis tersebut belum memberikan efek farmakologi sarang burung walet dalam melindungi hati dari kerusakan parasetamol.

Hasil data juga menunjukan bahwa Kelompok uji 3 (100mg/kgBB) persentase peningkatan kadar SGPT dan SGPT lebih besar dibandingkan dengan kelompok uji 2 (10mg/kgBB). Hal ini diduga karena sarang burung walet mengikuti model farmakokinetik nonlinear, yaitu dengan peningkatan dosis maka berbanding terbalik dengan efek farmakologi yang ditimbulkan (Smith, 1993). Dan kemungkinan dapat disebabkan karena salah satu komponen darang burung walet yaitu galactosamin. Menurut Ferencikova, 2003 d-galactosamin dikenal dapat menginduksi ciri hepatitis akut pada tikus. Efek toksik d-galactosamin dapat dihubungkan dengan kekurangan UDP-glukosa, UDP-galaktosa dan kehilangan kalsium intraselular dan dapat menghambat energi metabolisme hepatosit.


(53)

Pada penelitian ini, ekstrak air sarang burung walet dapat mempengaruhi kadar SGPT dan SGPT. Pada dosis 10mg/kgBB mampu mencegah kenaikan kadar SGPT dan SGOT akibat pemberian parasetamol dosis toksik jika dibandingkan dengan kelompok uji dosis 1mg/kgBB, dan 100mg/kgBB. Dari hasil penelitian ini maka ekstrak air sarang burung walet dapat berpotensi sebagai agen hepatoprotektif yang dapat dikembangkan.


(54)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.Kesimpulan

Dari hasil penelitian uji aktivitas hepatoprotektif pemberian ekstrak air sarang burung walet putih (Collocalia fuciphaga T.) terhadap aktivitas SGPT dan SGOT pada tikus putih jantan, diperoleh kesimpulan bahwa pemberian ekstrak dengan dosis 10mg/kgBB memperlihatkan aktivitas SGPT adanya perbedaan yang bermakna

(p≤0,05) dan aktivitas SGOT tidak adanya perbedaan yang bermakna (p≥0,05)

terhadap kontrol negatif. 5.2.Saran

1. Penelitian ini perlu dikembangakn lebih lanjut mengenai potensi hepatoprotektif ekstrak air sarang burung walet putih (Collocalia fuciphaga T.) dengan parameter lain seperti kadar albumin, bilirubin, dan GGT.


(1)

Pengambilan keputusan :

Bila nilai signifikansi ≥ 0,05 Ho diterima

Bila nilai signifikansi ≤ 0,05 Ho ditolak

Keputusan :

data kadar SGOT seluruh kelompok homogen (p≥0,05) sehingga bisa

dilanjutkan dengan uji ANNOVA

g.

Uji ANNOVA

Tujuan : untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data kadar SGOT yang

bermakna

Hipotesis :

Ho : Data kadar SGOT tidak berbeda secara bermakna

Ha : Data kadar SGOT berbeda secara bermakna

Pengambilan keputusan :

Bila nilai signifikansi ≥ 0,05 Ho diterima

Bila nilai signifikansi ≤ 0,05 Ho ditolak

ANOVA

Hari_17

Sum of

Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

28114.841

5

5622.968

1.231

.326

Within Groups

109653.893

24

4568.912

Total

137768.735

29

Keputusan : data kadar SGOT berbeda secara bermakna

Test of Homogeneity of Variances

Hari_17

Levene

Statistic

df1

df2

Sig.


(2)

h.

Uji Multiple Comparison tipe LSD (Least Significant Difference)

Tujuan : untuk menentukan data kadar SGOT yang abnormal kelompok mana yag

memberikan nilai yang berbeda secara bermakna dengaan kelompok lainnya.

Hipotesis :

Ho : Data kadar SGOT tidak berbeda secara bermakna

Ha : Data kadar SGOT berbeda secara bermakna

Pengambilan Keputusan :

Bila nilai signifikansi ≥ 0,05 Ho diterima

Bila nilai signifikansi ≤ 0,05 Ho ditolak

Multiple Comparisons

Hari_0 LSD (I) Kelompok _Uji

(J) Kelompok _Uji

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

normal positif 58.05120* 19.18318 .006 18.4591 97.6433

negatif 52.04980* 19.18318 .012 12.4577 91.6419

K1 51.07720* 19.18318 .014 11.4851 90.6693

K10 69.02740* 19.18318 .001 29.4353 108.6195

K100 43.64920* 19.18318 .032 4.0571 83.2413

positif normal -58.05120* 19.18318 .006 -97.6433 -18.4591

negatif -6.00140 19.18318 .757 -45.5935 33.5907

K1 -6.97400 19.18318 .719 -46.5661 32.6181

K10 10.97620 19.18318 .573 -28.6159 50.5683

K100 -14.40200 19.18318 .460 -53.9941 25.1901

negatif normal -52.04980* 19.18318 .012 -91.6419 -12.4577

positif 6.00140 19.18318 .757 -33.5907 45.5935

K1 -.97260 19.18318 .960 -40.5647 38.6195

K10 16.97760 19.18318 .385 -22.6145 56.5697


(3)

K1 normal -51.07720* 19.18318 .014 -90.6693 -11.4851

positif 6.97400 19.18318 .719 -32.6181 46.5661

negatif .97260 19.18318 .960 -38.6195 40.5647

K10 17.95020 19.18318 .359 -21.6419 57.5423

K100 -7.42800 19.18318 .702 -47.0201 32.1641

K10 normal -69.02740* 19.18318 .001 -108.6195 -29.4353

positif -10.97620 19.18318 .573 -50.5683 28.6159

negatif -16.97760 19.18318 .385 -56.5697 22.6145

K1 -17.95020 19.18318 .359 -57.5423 21.6419

K100 -25.37820 19.18318 .198 -64.9703 14.2139

K100 normal -43.64920* 19.18318 .032 -83.2413 -4.0571

positif 14.40200 19.18318 .460 -25.1901 53.9941

negatif 8.40060 19.18318 .665 -31.1915 47.9927

K1 7.42800 19.18318 .702 -32.1641 47.0201

K10 25.37820 19.18318 .198 -14.2139 64.9703

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Keputusan : data kadar SGOT seluruh kelompok tidak berbeda secara

bermakna (p≥0,05), kecuali antara kelompok normal dengan kelompok

positif, kelompok negatif, dan kelompok dosis berbeda secara bermakna.


(4)

Multiple Comparisons

Hari_15 LSD (I) Kelompo k_Uji

(J) Kelompo k_Uji

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

positif K1 14.23632 8.86084 .128 -4.5478 33.0205

K10 -5.21690 8.86084 .564 -24.0010 13.5672

K100 6.72028 8.86084 .459 -12.0639 25.5044

K1 positif -14.23632 8.86084 .128 -33.0205 4.5478

K10 -19.45322* 8.86084 .043 -38.2374 -.6691

K100 -7.51604 8.86084 .409 -26.3002 11.2681

K10 positif 5.21690 8.86084 .564 -13.5672 24.0010

K1 19.45322* 8.86084 .043 .6691 38.2374

K100 11.93718 8.86084 .197 -6.8470 30.7213

K100 positif -6.72028 8.86084 .459 -25.5044 12.0639

K1 7.51604 8.86084 .409 -11.2681 26.3002

K10 -11.93718 8.86084 .197 -30.7213 6.8470

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Keputusan : data kadar SGOT seluruh kelompok tidak berbeda secara bermakna

(p≥0,05), kecuali antara kelompok dosis 1 mg/kgBB dengan kelompok dosis 10

mg/kgBB berbeda secara bermakna.


(5)

Multiple Comparisons

Hari_17 LSD (I) Kelompok _Uji

(J) Kelompok _Uji

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

normal positif -44.65440 42.75003 .307 -132.8861 43.5773

negatif -17.24280 42.75003 .690 -105.4745 70.9889

K1 -28.64940 42.75003 .509 -116.8811 59.5823

K10 31.03680 42.75003 .475 -57.1949 119.2685

K100 -63.93100 42.75003 .148 -152.1627 24.3007

positif normal 44.65440 42.75003 .307 -43.5773 132.8861

negatif 27.41160 42.75003 .527 -60.8201 115.6433

K1 16.00500 42.75003 .711 -72.2267 104.2367

K10 75.69120 42.75003 .089 -12.5405 163.9229

K100 -19.27660 42.75003 .656 -107.5083 68.9551

negatif normal 17.24280 42.75003 .690 -70.9889 105.4745

positif -27.41160 42.75003 .527 -115.6433 60.8201

K1 -11.40660 42.75003 .792 -99.6383 76.8251

K10 48.27960 42.75003 .270 -39.9521 136.5113

K100 -46.68820 42.75003 .286 -134.9199 41.5435

K1 normal 28.64940 42.75003 .509 -59.5823 116.8811

positif -16.00500 42.75003 .711 -104.2367 72.2267

negatif 11.40660 42.75003 .792 -76.8251 99.6383

K10 59.68620 42.75003 .175 -28.5455 147.9179

K100 -35.28160 42.75003 .417 -123.5133 52.9501

K10 normal -31.03680 42.75003 .475 -119.2685 57.1949

positif -75.69120 42.75003 .089 -163.9229 12.5405

negatif -48.27960 42.75003 .270 -136.5113 39.9521

K1 -59.68620 42.75003 .175 -147.9179 28.5455


(6)

K100 normal 63.93100 42.75003 .148 -24.3007 152.1627

positif 19.27660 42.75003 .656 -68.9551 107.5083

negatif 46.68820 42.75003 .286 -41.5435 134.9199

K1 35.28160 42.75003 .417 -52.9501 123.5133

K10 94.96780* 42.75003 .036 6.7361 183.1995

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Keputusan : data kadar SGOT seluruh kelompok tidak berbeda secara

bermakna (p≥0,05), kecuali antara kelompok dosis 100 mg/kgBB dengan

kelompok dosis 10 mg/kgBB berbeda secara bermakna.


Dokumen yang terkait

Analisis Profil Protein dan Asam Amino Ekstrak Sarang Burung Walet (Collocalia fuciphaga) Asal Painan

0 4 1

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 70% Daun Pacing (Costus spiralis) terhadap Diameter Tubulus Seminiferus, Motilitas, dan Spermisidal pada Tikus Jantan Strain Sprague-Dawley

0 10 95

Uji Efek Antifertilitas Serbuk Bawang Putih (Allium Sativum L.) Pada Tikus Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo Dan In Vitro

3 25 115

Analisis Profil Protein dan Asam Amino Sarang Walet Putih (Collocalia fuciphago) dengan Menggunakan SDS-PAGE dan KCKT

3 21 68

Uji Antifertillitas Ekstrak Metanol Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L) pada Tikus Jantan Strain Sprague Dawley Secara In Vivo

4 11 134

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

Aktivitas antifertilitas ekstrak etanol 70% daun pacing (costus spiralis) pada tikus sprague-dawley jantan secara in vivo

1 32 0

EFEK HEPATOPROTEKTIF SARANG BURUNG WALET PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI DENGAN ALKOHOL

1 9 77

Deteksi kandungan enzim lisozim sebagai bahan antibakteri pada kelenjar air liur burung walet sarang putih (collocalia fuciphaga)

0 2 1

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor (Moringa Oleifera Lam) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa, Morfologi Spermatozoa, Dan Diameter Tubulus Seminiferus Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley

4 34 116