Pengaruh Imbangan Protein dan Energi dalam Ransum terhadap Performans Dua Galur Ayam Petelur Tipe Medium

Bibit unggul
telur tipe ringan,

yang masuk k e Indonesia selain janis pejuga petelur tipe medium.

medium lebih disenangi

dibandingkan

Alasannya mungkin karena
telur berkerabang coklat.

Petelur tipe

dengan

tipe ringan.

petelur tipe medium

memproduksi


Masyarakat kita pada umumnya le-

bih menyukai telur yang berkerabang coklat,

karena

selain

kerabangnya kuat juga mirip dengan warna kerabang telur ayam
kampung.

Oleh karena itu telur berkerabang coklat lebih ce-

pat laku di pasar dan harganya lebih mahal daripada

telur

yanq berkerabang putih, sehingga peternak ayam banyak


yang

ber~slih dari beternak petelur tipe ringan k e

tipe

petelur

med ium.
Dengan

meningkatnya jurnlah peminat terhadap peternak-

an dyam tipe medium,

maka timbul masalah

kaidn ransum standar

untuk ayam tersebut.


untuk petelur tipe ringan di daerah tropik

baru dalam pemaRansum
telah

standar
diteliti

oleh Sugandi (1973), hasilnya menunjukkan imbangan

energi

dan protein berturut-turut 2850 kkal EM/kg

persen

dan

18


ada.Lah imbangan yang sesuai dengan faktor lingkungan didaerah tropik.

Imbangan energi-protein tersebut dapat

menca-

pai produksi telur 267 butir per tahun, yang memperlihatkan
jum:Lah yang sama dengan rataan produksi telur per tahun terbaik pada petelur dengan galur yang sama di Amerika
kat.

Phelps ( 1 9 7 0 ~ )menyatakan bahwa petelur yang

Serimempu-

nya:. sifat genetik yang berbeda membutuhkan pola ransum yang

berbeda pula s e s u a i dengan potensi produksi d a n .sifat

fi-


s i k dari petelur tersebut.
Ayam Leghorn
mengandung zat-zat

makanan tinggi, s e b a g a i kompensasi d a r i

konsumsinya yang sedikit.
ngan

ini

ransum yang

berbadan kecil membutuhkan

Ransum untuk

petelur tipe ri-


apabila diberikan kepada t=i- medium akan meng-

a k i b a t k a n kelebihan konsumsi ("over consumption").
( 1 9 8 2 ) pada penelitiannya menggunakan

ransum untuk petelur

t i p e ringan yang diberikan kepada petelur t i p e
bagai lanjutan hasil

Ruhyat

penelitian Sugandi

medium se-

(1973).

Ransum


u n t u k petelur t i p e ringan yang diberikan kepada t i p e medium
denqan menggunakan cara pemberian makanan
1 0 :sampai 2 0 persen dari ransum

ad

terbatas antara

libitum

berdasarkan

per-

hitungan kebutuhan hidup pokok d a n m e n c e g a h kelebihan energ i d a n penimbunan l e m a k t u b u h s e l a m a berproduksi, hasilnya
yang terbaik adalah
persen dari konsumsi
2850

: Untuk g a l u r Super-Harco


ad

libitum ransum

kkal energi rnetabolis/kg

pemberian 90

yang

mengandung

d a n 1 8 persen protein.

t u k galur Shaver pemberian 90 persen d a r i konsumsi
tum ransum
-

yang mengandung 2 6 5 0 kkal energi


Un-

ad li-

metabolis/kg

dan 1 8 persen protein.
Dillon

dan Mohr

( 1 9 7 2 ) menyatakan bahwa tingkat ener-

g i yang optimal dalam ransum untuk ayam yang
d a n d u a kilogram y a i t u 2 5 0 0

-

berbobot ba-


3 1 0 0 k k a l EM/kg,

untuk ayam yang berbobot badan 2.5

kilogram

sedangkan

yaitu 2 3 0 0

-

2900 kkal EM/kg.

Ayam tipe medium

dua sampai dua setengah kilogram.

berbobot badan

pilaporkan

antara

pula bahwa,

apabila konsumsi energi kurang dari optimal protiuksi telur
kecil-kecil dan akhirnya produksi telur akan menurun.

De-

ngan keadaan konsumsi energi melebihi optimal, maka terjadi penimbunan lemak.
Pada

penelitian

ini

irnbangan

energi-protein dalam

ransum ditekankan kepada kebutuhan protein dan

energi un-

tuk produksi telur, hidup pokok dan pertumbuhan tiap hari.
Tujuan

penelitian ini adalah untuk menernukan imbang-

an energi dan protein dalam ransum yang optimal untuk
tel'ur tipe medium, sehingga dapat

pe-

mencapai rati~anproduk-

si telur per tahun sama atau lebih tinggi daripcrda yang dicapai di negara asalnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan Energi
Ayam memerlukan energi untuk proses -proses fisiologis
seperti bernafas,

an, pergerakan,

sirkulasi darah, absorpsi zat-zat makan-

reproduksi,

gainya (Card, 1962).

mengatur suhu badan dan seba-

Menurut Scott

et al.

NRC

(1976) dan

(1977)' untuk ransum unggas, pengukuran nilai energi

meta-

bolis dari bahan makanan.paling banyak dilakukan dan paling
praktis, sebab energi

metabolis

selain energi untuk

duksi, juga energi untuk hidup pokok,

pro-

~ertumbuhant Perge-

rakan dan sebagainya.
Besarnya

energi net0

kurang

lebih 70- 9 0 persen da-

ri energi dalam ransum (Bell dan Freeman, 1971).
al.
-

Scott

(1976), ~ t u r k i e (1976) dan Wahju (1985) menyatakan

et

bahwa

energi yang dimetaboliskan sebagian hilang selama metabolisme berlangsung, sisanya dinamakan energi neto.

Energi net0

ini yang dipakai untuk hidup pokok, seperti aktivitas,

me-

ngatur panas badan dan untuk produksi telur, lemak, pertumbuhan dan sebagainya. Energi untuk

hidup

-pokok ya-ng harus

dipenuhi lebih dahulu, setelah itu baru untuk yang lainnya.
Card

(1972) mengemukakan

bahwa energi untuk hidup

pokok

kurang lebih 75 persen dari energi metabolis, sedangkan Scott
et al.
-

(1976) menyatakan

sen dari

bahwa kebutuhan

energi metabolis.

energi net0 82 per-

Energi untuk aktivitas kurang

lebih 37 persen dari energi hidup pokok, bagi ayam yang di-

kandangkan di kandang

sistom sangkar (cage) dan 5 0 persen

bagi sistem serasah (litter).
Kebutuhan energi pada unggas
adaan temperatur
sangat

kebutuhan

(Balnave, 1978).

ngin.

untuk

hidup

pokok

Costa (1978) melaporkan bahwa kebutuhan
pada daerah

lebih rendah daripada daerah beriklim

Ini disebabkan

di daerah

energi

rnemproduksi satu kilogram telur

beriklim panas

ke-

lingkungan, karena temperatur lingkungan

menentukan

energi untuk

sangat dipengaruhi

kebutuhan energi untuk hidup pokok

panas relatif rendah.

produksi telur saja

sangat

temperatur lingkungan

di-

Kebutuhan

sedikit

(Bierly

energi untuk

pengaruhnya terhadap

et al.,

1978).

Menurut

Scott (1976) ayam yang diberi ransurn dengan tingkat energi
2 8 5 0 kkal EM/kg,
tuhan.

akan mengkonsumsi energi melebihi kebu-

Akan tetapi

apabila diberi ransurn dengan tingkat

energi 2 6 5 0 kkal EM/kg,
dari kebutuhan.
tipe medium

maka konsumsi energi lebih rendah

Ruhyat (1982) melaporkan bahwa pada ayam

pemberian ransum

dengan

tingkat energi 2 650

kkal EM/kg, pada ayam yang dikandangkan pada kandang
tern

sangkar,

energi.

masih terlihat adanya

kelebihan

sis-

konsumsi

Tingkat energi 2 6 5 0 kkal EM/kg dan 2 8 5 0 kkal EM/

kg ransum pada dua galur petelur tipe medium tidak berbeda
nyata terhadap produksi telur,
kkal EM/kg

tetapi tingkat energi 2650

lebih cocok untuk petelur tipe medium di daerah

tropik daripada 2 8 5 0 kkal E ~ / k g .

Sugandi
ringan
EM/kg

ransum t i d a k

tingkat

melaporkan

bahwa u n t u k petelur

nyata mempengaruhi produksi telur.

CresweLl

(1979)

mengemukakan

t i d a k berpengaruh nyata terhadap produksi

produksi

(1956)

telur

3000

kkal

telur.

melaporkan bahwa pada musim dingin

tertinggi

dihasilkan

tingkat energi tinggi dan produksi
sum dengan

De-

bahwa kisaran

energi dalam ransum antara 2 5 0 0 sampai

Hill et al.

tipe

tingkat energi 2 6 5 0 1 2 8 5 0 dan 3 0 5 0 k k a l

perbedaan

mikian pula

EM/kg

(1973)

dari

ransum dengan

telur terendah dari ran-

tingkat energi rendah, sedangkan pada musim gu-

gur, musim semi dan musim p a n a s l produksi telur t i d a k nyata
dipengaruhi
d a n Aitken

oleh

tingkat energi dalam

ransum.

MacIntyre

( 1 9 5 7 ) mengemukakan bahwa kandungan energi dalam

ransum t i d a k berpengaruh nyata t e r h a d a p produksi telur, bobot telur, k u a l i t a s putih telur dan a d a n y a bintik darah d a n
bintik daging dalam telur.
pula

Pepper et al.

bahwa produksi telur d a n

t i d a k nyata dipengaruhi
G r o v e r et al.

efisiensi penggunaan ransum

o l e h tingkat energi dalam ransum.

(1972),

pada ayam persilangan

R h o d e Island Red x Barred Plymouth Rock
d a n g a n d e n g a n sistem sanqkar,

produksi

d e n g a n naiknya tingkat energi dalam
r u n a n produksi

telur ini tidak

antara

dan pada

pengan-

telur akan

menurun

ransum. Pengaruh penu-

langsung, melainkan karena

d e n g a n kenaikan energi dalam ransum
berkurang,

( 1 9 5 9 ) menyatakan

maka

konsumsi

ransum

demikian pula konsumsi proteinnya sehingga

me-

nyebabkan
bahwa,

produksi telur turun.

ransum yang berkadar

memproduksi telur

Sugandi

( 1 9 7 3 ) melaporkan

energi tinggi cenderung untuk

yang besar-besar

dan mempunyai d a y a cer-

na ransum efisien karena k a d a r serat k a s a r rendah.

et g .

Tokinson

( 1 9 6 8 ) menyatakan bahwa konsumsi ener-

. g i 3 4 1 kkal/ekor/hari

s u d a h c u k u p untuk merangsang

dan besar telur yang memadai.

Menurut

produksi

Karunajeewa

(1972)

untuk merangsang produksi dan besar telur yang optimal, memerlukan k o n s u m s i energi 3 1 6 kkal/ekor/hari.
t i p e medium dan t i p e berat

Untuk petelur

yang dipelihara pada temperatur

l i n g k u n g a n 6 5 sampai 70°F kebutuhan energi 3 3 3 kkal dan 3 6 0
kkal/ekor/hari

(North, 1972).

U n t u k petelur
produksi secara

tipe ringan d i d a e r a h tropik

maksimal

kebutuhan energi

s a m p a i 2 8 0 kkal/ekor/hari

(Williamson dan

agar ber-

metabolis

265

Payne,

1978).

Ruhyat (1982) melaporkan bahwa pada pemberian ransum

seca-

ra

ad

libitum,

per-Harco

adalah 335.05

Jackson
mak tubuh

konsumsi energi u n t u k g a l u r Shaver dan Su-

et g .

pada

mengkonsumsi
kebutuhan.
ngan s a n g g u p

kkal dan 340.61

kkal/ekor/hari.

( 1 9 6 9 ) menyatakan bahwa penirobunan le-

petelur

disebabkan karena petelur

energi s e b a n y a k 1 0 sar.ipai
Menurut Sugandi

rnampu

1 5 persen melebihi

(1973), pada petelur tipe ri-

mengatur konsumsi

hingga t i d a k terjadi penimbunan

energi secara teliti,
lemak.

se-

Petelur yang meng-

9

konsumsi

energi berlebih

tersebut

terutama pada

petelur

tipe medium dan tipe berat (Balnave, 1978).
Hafez

dan Dyer (1969)

mengkonsumsi energi

melaporkan bahwa

berlebihan mempunyai kadar lemak

yang tinggi.

Bila lemak

mak tersebut

akan

berinfiltrasi k e dalam

menderita penyakit

ini biasanya

tiba, karena terjadi perdarahan
(1980) mengemukakan

bahwa

melewati puncak produksi,
berlebih,

80 persen

hati

hati sudah tertimbun maka sel lehati.

ini disebut FLHS (Fatty Liver Haemorragic
yang

petelur yang

pada

petelur yang

Penyakit

Syndrom).

Ayam

mati secara
hati.

tiba-

Snetsinger

produksinya sudah

maka apabila mengkonsumsi energi

dari energi

tersebut dirubah menjadi

lemak tubuh.
Kebutuhan Protein
Berg
porkan

dan Bearse (1957) dari hasil penelitiannya mela-

bahwa pada

pemberian ransum dengan tingkat protein

14, 16, dan 18 persen dan energi metabolis 1100 kkal/lb dan
1 4 5 0 kkal/lb pada empat galur petelur tipe ringan,
hasil sebagai berikut
tinggi

:

Pada ransum dengan

dan protein rendah,

tingkat energi

produksi telur menurun, tetapi

pada tingkat energi tinggi dengan protein 16 persen
persen, produksi telur sama.

dan 18

Pada tingkat protein 16

sen dalam ransum, tingkat energi tidak
produksi telur,

dengan

nyata

per-

mempengaruhi

Kebutuhan
pada

beberapa

galur ayam,
ayam,

protein untuk mernproduksi telur tergantung
faktor

yaitu tingkat energi dalam ransum,

tingginya tingkat produksi, tipe kandang, umur

temperatur lingkungan, cekaman akibat keadaan ling-

kungan yang berbeda,

kualitas protein yang terkandung da-

lam ransum (Thornton dan Whittet, 1960). Reid dan Majorino
(1980) menyatakan

bahwa

dengan menaikkan tingkat energi

rnetabolis 2.42 kkal menjadi 3.08 kkal/kg ransum pada tingk a t protein 1 4 persen,
tingkat

protein 16

maka produksi telur menurun.

dan 1 8

persen

Pada

dalarn ransun kenaikan

energi rnetabolis akan menaikkan produksi telur.
Pada
dan 25

pemberian

ransum dengan tingkat protein 15, 2 0

persen dan tingkat

energi net0 750 kkal

atau 9 6 0

kkal/kg, tidak memberikan pengaruh nyata terhadap produksi
telur.

Hanya kebutuhan ransum untuk memproduksi satu lu-

sin telur berkurang,

pada ransum

(McDaniels et al., 1959).

yang berenergi

tinggi

Demikian pula dari hasil pene-

litian Robblee dan Clandinin (19591 melaporkan bahwa
pemberian ransum dengan tingkat protein 1 5 dan
pada kalkun bibit, maka tingkat energi tidak
nyata terhadap laju produksi telur,

fertilitas

17

pada
persen

berpengaruh
dan

daya

tetas telur.
Imbangan energi dan protein yang paling efisien dalam
r a n s u m petelur,

EM/kg

rnenurut Karunajeewa (1972) ialah 2840 kkal

dan 1 5 persen.

Demikian pula NRC (1977) menyatakan

bahwa kombinasi

energi dan protein yang terbaik dalam ran-

sum petelur 2 8 5 0

kkal

bangan energi protein
ringan

EM/kg dan 15 persen,

dalam ransum untuk ayam petelur tipe

di daerah tropik

kkal EM/kg

yang paling

efisien yaitu

2850

dan 18 persen (Sugandi, 1973).

Interaksi antara galur
sum berpengaruh sangat
si telur,

sedangkan im-

dan tingkat protein dalam ran-

nyata terhadap bobot badan, produk-

bobot telur,

efisiensi penggunaan

makanan,

dan tebal kerabang (Deaton dan Quesenberry, 1965).
an pula Harms et al. (1966) mengemukakan

bahwa

HU

Demikiinteraksi

antara galur dan tingkat protein dalam ransum, nyata mempengaruhi bobot badan.
tein dalam ransum

Pada ayam

New Hamshire tingkat

nyata mempengaruhi

sedangkan

kebutuhan protein

ruhi oleh

produksi

pro-

kenaikan bobot badan

dalam ransum petelur dipenga-

dan bobot telur,

efisiensi penggunaan

makanan dan pertambahan bobot badan,
Robert
minimal

dan Denton

(1964) melaporkan

konsumsi protein untuk

bahwa kebutuhan

Rhode Island Red ( R I R )

gram dan untuk Barred Plymounth Rock

17

20

gram per ekor per

hari, sedangkan New Hamshire membutuhkan 3 3 gram/ekor/hari.
Dilaporkannya
perlukan untuk

pula bahwa rataan
mencapai

ruhi oleh beberapa

konsumsi protein yang di-

performans

Faktor. seperti

yang optimal dipengagalur,

bobot

tingkat produksi telur, kandungan energi dan protein
ransum,

badan,
dalam

kandungan asam-asam amino dan temperatur lingkung-

an.

Sharpe dan Morris (1965)

protein dalam ransum
Sussex adalah

12.5

untuk

menyatakan bahwa kebutuhan

ayam persilangan

persen,

sedangkan

untuk

RIR x Light
ayam White

Leghorn 16.5 persen agar berproduksi secara maksimal.
Speers dan Balloun

an

(1967) mengemukakan bahwa kebutuh-

protein untuk memproduksi

beberapa

secara maksimal pada

galur petelur White Leghorn berbeda.

Smith (1975)
yang

telur

menyatakan bahwa pada

diberi tiga

Miller dan

petelur White Leghorn

macam ransum dengan tingkat protein 10,

12.5 dan 15 persen, maka produksi telur tertinggi dan pertambahan bobot badan terbesar pada tingkat protein 15 persen.

Kebutuhan protein dalam ransum untuk petelur Hubbard

Golden Comet lebih besar dari rataan kebutuhan protein bagi petelur berkerabang coklat lainnya, sebab Hubbard Golden
Comet berbadan kecil sehingga konsumsi ransum sedikit.
Heuser (1936) menyatakan bahwa pemberian ransum dengan
tingkat protein 16 persen

adalah tingkat yang optimal un-

Demikian pula Reid et al. (1951), melaporkan

tuk petelur.

bahwa performans yang

optimal bagi

apabila diberi ransum dengan
15 persen.

petelur dapat dicapai

tingkat

protein

lebih dari

Ousterhout (1981) mengemukakan bahwa pada

pe-

telur yang diberi ransum dengan tingkat 15, 16, 1 7 dan
persen
ta

dan

terhadap

bahwa

pada

tingkat
produksi

energi
telur.

18

sama, tidak berpengaruh nyaHamilton (1978) menyatakan

petelur White Leghorn

yang dipelihara

dalam

kandang sistem sangkar, pemberian tingkat protein
1 7 persen

dalam

ransum tidak

15

dan

berpengaruh nyata terhadap

produksi telur.
Selama musim panas,
ransum
al.,
-

tingkat

protein 15 persen dalam

sudah cukup untuk memproduksi
Menurut

1955)

Hochreich et al.

penggunaan makanan lebih
protein tinggi
kemukakannya

telur

(1957)

et

efisiensi

baik pada ransum yang mengandung

daripada protein rendah.
bahwa

(Heywang

untuk

mempertahankan

Lebih lanjut diproduksi telur

maksimal diperlukan kandungan protein 1 7 persen dalam ranReid (1976) melaporkan bahwa pada pemberian ransum

sum.

sampai 19.5 persen tidak ber-

dengan tingkat protein 13.5
pengaruh nyata
pula bahwa

terhadap produksi telur, dan dilaporkannya

apabila ayam diberi ransum dengan tingkat pro-

tein 1 0 dan 11.5 persen

kematian mencapai

55.3 dan

31.1

persen.
Miller et al. (1957) menyatakan bahwa dengan pemberian protein
cukup

13 sampai 15 persen dalam ransum petelur sudah

untuk produksi telur.

Demikian pula Shutze (1969)

mengemukakan bahwa untuk rnenghasilkan bobot telur dan produksi telur yang optimal,

maka ransum yang diberikan mem-

butuhkan tingkat protein 13 sampai 1 8 persen,
kakannya pula bahwa selama

petelur

dan dikemu-

berproduksi maka ran-

sumnya mernbutuhkan protein 15 sampai 16 persen.

Lee et al.
bagi petelur

(1944) melaporkan bahwa kebutuhan protein

untuk

berproduksi

secara

optimal ialah 1 5

sampai 1 6 persen. Scott et al. (1976) menyatakan bahwa kebutuhan

protein

tersebut sudah cukup

dengan

15 persen.

Kebutuhan protein untuk petelur maksimum 17 persen dan minimum 11 persen, tetapi ini masih ter.gantung pada temperatur lingkungan

dan kandungan energi dalam ransum tersebut

(Harms et al., 1962).
Menurut Haberman (1956), penggunaan makanan yang efisien dapat dicapai bila ransum tersebut mengandung protein
15.5 sampai 1 7 persen.

Ayam yang diberi ransum dengan ka-

dar protein 1 5 persen ditambah dengan 0.23 persen metionin
mempunyai

performans yang sama dengan ransum yang mengan-

dung 1 7 persen protein
al.
-

(1973)

(Karunajeewa, 1972).

Fernandes

et

mengemukakan bahwa pemberian protein 1 3 persen

dalam ransum

dengan ditambah

menghasilkan

produksi

dan

lisin dan metionin,
besar telur

dapat

yang sama dengan

protein 15, 1 7 atau 1 8 persen.
Miller dan Smith (1975) menyatakan bahwa pada petelur
ripe medium,

pemberian

ransum

dengan tingkat protein 16

dan 1 7 persen atau 18 persen,. tingkat kepadatan ayam dalam
kandang sistem

sangkar tidak mempengaruhi produksi telur.

Menurut Ewing

(1963),

makin tua umur ayam rnakin

ba-

nyak kebutuhan protein bila dibandingkan dengan ayam muda,
tetapi Liwa (1972)

melaporkan

bahwa

tingkat

protein 14

persen dalam ransum

efisien penggunaannya pada ayam

lebih dari 1 3 bulan.
l a n maka
16

umur

Apabila umur ayam kurang dari 13 bu-

ransum yang efisien yaitu dengan tingkat protein

persen.

Lebih lanjut

dilaporkannya pula

bahwa ayam

berumur 1 0 b u l a n r peningkatan tingkat protein dalam ransum
14

dari

ke 1 6 persen

sangat nyata (P c 0.01)

mempenga-

r u h i produksi d a n bobot telur.
Milton dan Ingram

(1957)

mengatakan

bahwa kebutuh-

a n protein dalam ransum 1 8 persen dapat berhasil baik pada
temperatur lingkungan antara 7 0
Reddy

sampai

9 0 " F.

Ponda dan

(1976) melaporkan hasil penelitfannya di India bahwa

pada musim

panas

petelur

sebaiknya d i b e r i ransum dengan

tingkat protein 1 8 p e r s e n l sedangkan pada musim dingin cuk u p dengan 1 5 persen.
Konsumsi protein untuk petelur t i p e medium supaya dapat mencapai produksi telur m a k s i m a l r
protein s e b a n y a k 21 gram/ekor/hari.

harus

mengkonsumsi

Apabila konsumsi pro-

tein tersebut hanya 16 sampai 1 7 gram/ekor/hari,

maka pro-

d u k s i telur turun menjadi 50 sampai 60 persen (North, 1972).
Ruhyat

( 1 9 8 2 ) j u g a melaporkan bahwa pada ayam tipe

medium

yang diberi ransum dengan tingkat energi 2 8 5 0 kkal EM/kg
mengkonsumsi protein sebanyak 20.83 grarn/ekor/hari
g a l u r S h a v e r dan 21.04 gram/ekor/hari
Harco.

untuk galur

Ransum d e n g a n tingkat energi 2 6 5 0

konsumsi oleh

galur

untuk
Super-

kkal EM/kg

Shaver d a n Super-Harco

,

di-

berturut-tu-

rut sebanyak 20.92 gram/ekor/hari

dan 21.28 grarn/ekor/hari.

Mawi (1975), dari hasil penelitiannya menyatakan bahwa
pada petelur

galur Kimbrown rataan konsumsi protein

21.43

g,ram/ekor/hari pada tingkat energi 2 6 5 0 kkal EM/kg dan 21.21
gram/ekor/hari
EM/kg.

pada ransum dengan tingkat energi 2 8 5 0 kkal

Karunajeewa (1972) mengemukakan bahwa konsumsi pro-

tein sebanyak 1 7 gram/ekor/hari

sudah cukup untuk memperta-

hankan produksi dan bobot telur yang normal.
Menurut Tokinson et al.

(1968) untuk mencapai produksi

dan bobot telur yang optimal, dibutuhkan
16.6 gram.

konsumsi

Demikian pula dengan pendapat-pendapat

protein
lain ya-

itu N.RC (1977), mengemukakan bahwa pemberian protein
gram/ekor/hari
rnernadai.

16.5

dengan tingkat energi 2 8 5 0 kkal EM/kg

sudah

Nesheim et al.,(1979) menyatakan bahwa untuk men-

capai produksi telur yang maksirnal, ayam harus mengkonsumsi
protein 1 7 gram/ekor/hari.
Aitken et al. ( 1 9 7 3 ) melaporkan dari hasil penelitiannya terhadap tujuh galur ayam petelur, ternyata rataan
butuhan akan protein 1 7 gram/ekor/hari,

sedangkan untuk ayam

dara, kebutuhan protein 1 4 sampai 1 5 gram/ekor/hari
et dl.,
-

1974).

ke-

(Thayer

Menurut Creswell (19791, produksi telur dan

bobot telur akan menurun apabila konsumsi protein yang
timal tidak tercapai.

Untuk petelur tipe ringan

kan protein 16 sampai 1 8 grarn/ekor/hari

op-

membutuh-

untuk mencapai pro-

duksi telur dan bobot telur yang optimal.

Untuk

menstirnulasi produksi telur, pertambahan bobot

badan dan besar

telur

ransum

harus

0.28 persen, sistin 0.25 persen

mengandung metionin

(Leong dan McGinnis, 1952).

Menurut NRC (1977) kebutuhan zat-zat makanan untuk petelur
adalah metionin 0.27 persen, sistin 0.23 persen, lisin 0.6
persen, riboflavin 2.2 mg, Ca 3.25 persen dan P 0.05
sen.

per-

Dinyatakannya pula bahwa ayam petelur yang dipeliha-

ra dalam kandang sistem sangkar lebih banyak

membutuhkan

Ca dan P daripada sistem serasah.
Kroutrnan (1972) mengemukakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan produksi telur, ayarn cukup mengkonsurnsi ransum 105
sampai 1 1 0 gram/ekor/hari

dengan tingkat protein 1 5 persen.

Bila konsumsi menurun sampai 85

-

90 grarn/ekor/hari,

sum harus mengandung 18 sampai 1 9 persen

ran-

protein

dengan

dengan

tingkat

tingkat metionin 0.34 sampai 0.36 persen.
Sugandi (1973)

dalarn

energi 2 8 5 0 kkal EM/kg
mendapatkan konsumsi
dan lisin 1161.96 mg.

penelitiannya

dan protein 18 persen dalam

metionin 489.89 mg, sistin 336.36 mg
Jensen

et

e.(1974)

mengemukakan

bahwa konsumsi lisin 666 sarnpai 788 mg/ekor/hari
rangsang

ransum

cukup me-

performans yang optimal.

Kebutuhan Calsiurn dan Phosphor
Norris et al.

(1934) menyatakan bahwa ransum yang me-

ngandung Ca 1.5 persen

tidak cukup

menghasilkan produksi

yang optimal.

Untuk mencapai produksi yang diharapkan ke-

butuhan Ca harus ditingkatkan
akhirnya
sen.

menjadi

persen,

tapi

dikatakan pula bahwa kebutuhan Ca cukup 1.8 per-

Menurut Evans et al. (1944), kandungan Ca tiga

sen dalam ransum, optimal vntuk
baik.

2.65

per-

pembentukan kerabang yang

Damron dan Harms ('1980) mengemukakan bahwa

si telur lebih baik pada pemberian Ca 3.5

produk-

persen daripada

2.5 persen atau enam persen.

~ o i s t e r t(1960) melaporkan
kualitas

bahwa

kerabang yang optimal,

dalam kandang sistem sangkar

petelur

membutuhkan

sampai 3.5 persen dalam ransum.
petelur yang dikandangkan

untuk

Menurut

dalam

memperoleh

yang dipelihara
tingkat Ca

2.5

Bergdoll (1968),

sistern

sangkar,

dengan

tingkat produksi telur 80 sampai 90 persen, rnernbutuhkan Ca
lebih kurang 3.75 persen dalam ransum.

Untuk petelur yang

dikandangkan dalam sistem serasahmembutuhkan Ca lebib sedikit daripada kandang sistem sangkar.
NRC

(1971) menyatakan bahwa kebutuhan Ca untuk

pete-

lur yang dipelihara pada temperatur 32O C (90°F) yaitu tiga sampai 3.5 persen dalam ransum.

Menurut Nesheim et al.

(19791, kebutuhan Ca dalam ransun untuk petelur

3.7

per-

sen, sedangkan menurut NRC (1977) kebutuhan Ca 3.25 persen.
Massengale dan Flatt (1930) menyatakan bahwa kebutuhan P untuk petelur'

agar memproduksi telur

yaitu

Menurut Miller dan Berse (1934)

0.5 persen.

secara optimal
kebu-

tuhan P untuk petelur 0.8 persen agar mencapai produksi telur yang

Lebih lanjut NRC (1977)

optimal.

mengemukakan

bahwa kebutuhan P untuk petelur 0.5 persen.
melaporkan bahwa kebutuhan
dium

Ca dan P pada

yang berumur 2 0 sampai 40

dan 0.6 persen, sedang

yang

North (1972)
petelur tipe me-

minggu berturut-turut tiga

berumur

lebih dari 40 minggu

mengemukakan bahwa

kadar lemak yang op-

3.25 dan 0.6 persen.
Lubis (1963)

timal dalam ransum petelur
pula

North

medium

adalah lima persen.

(1972) rnenyatakan

yang dipelihara

dalam

Dernikian

untuk ransurn petelur

kandang sistern sangkar, se-

baiknya kandungan

lemak dalam ransum 4.61 persen,

kan

lain

ada pendapat

tipe

menyatakan

sedang-

bahwa pemberian

tiga sampai delapan persen dalam ransum

masih

lemak

baik untuk

produksi telur ( ~ c h a i b l e ,1970).
Lubis
ransurn
pendapat

ayam

(1963)

tidak

mengemukakan bahwa

kasar dalam

kandang sistern

ransum

dalam

tipe medium yang di-

sangkar

sebaiknya 2.5 persen.

Olentine (1978) menyatakan
nyai

kasar

boleh melebihi delapan persen. Menurut

North (19721, untuk petelur

kandangkan dalarn

serat

kandungan

serat

Ensminger

dan

bahwa untuk petelur yang mempu-

tingkat produksi antara 67 sampai 7 7 persen,

nya kandungan serat kasar dalam ransum 2.5 persen.

sebaik-

Pengaruh Temperatur
Jull (1951) mengemukakan bahwa ayam memproduksi telur
tertinggi, apabila temperatur lingkungan 1 0 sampai 15.5OC.
Menurut EL ~ o u s h ydan Morle (1978),
petelur yaitu sekitar

10

suhu yang cocok untuk
tetapi

sampai 2 0 ' C n

suhu ling-

kungan yang paling ideal bagi petelur adalah 15OC.

Lebih

lanjut El Boushy dan Morle (1978) melaporkan pula bahwa produksi telur tertinggi dapat dicapai pada suhu 7.2
12.E°C, sedangkan efisiensi penggunaan ransum

sampai

terbaik da-

pat dicapai pada suhu 17 sampai 18OC.
Card (1962) menyatakan bahwa suhu lingkungan yang paling ideal

untuk

ayam

petelur antara 12.8

sampai 23.g°C.

Menurut North (1972), suhu lingkungan yang baik untuk ayam
petelur

adalah

65O F

sampai 7 5 - F. Bundy et dl.

(1978)

melaporkan bahwa suhu lingkungan yang masih bisa ditolelir
oleh petelur yaitu 4.4 sampai 15.5"C, sedangkan NRC (1977)
mengemukakan bahwa suhu lingkungan yang normal untuk petelur 60 sampai 75°F (16-24-C).
al.
-

Demikian

pula

(1979) mengatakan bahwa suhu optimal untuk

Nesheim

et

ayam pete-

lur berkisar antara 55 sampai dengan 75OF.
Winter dan Funk

(1960) dan McArdle (1972) melaporkan

bahwa untuk menghasilkan

produksi

telur tertinggi,

butuhkan temperatur lingkungan kurang

lebih

55°F.

memLebih

l a n j u t Winter dan Funk (1960) melaporkan bahwa apabila tem-

peratur naik, bobot telur berkurang,

kerabang tipis, kon-

sumsi a i r minum bertambah, faeces berair dan ayam susah bernafas.
Pengaruh-pengaruh akibat penurunan ternperatur pada ayam
White Leghorn lebih peka daripada ayam petelur New
d a n Rhode Island Red

(Campos

et

s . ,1962).

( 1 9 7 6 ) berpendapat bahwa semakin naik

Hamshire

et

Rogler

temperatur

lingkung-

an, maka produksi telur berkurang, bobot telur turun,
kerabang berkurang dan berpengaruh pula terhadap

s.

tebal

Ca dan C 0 2

dalam darah, tetapi sebaliknya apabila temperatur lingkungan
t u r u n s a m p a i 10°F maka produksi telur, tebal kerabang,
sumsi ransum dan bobot badan akan menurun pula,

kon-

jengger

lu-

ka-luka dan berpengaruh terhadap bobot telur dan HU.
Mengenai pengaruh kelembaban udara t e r h a d a p produksi tel u r Card dan Nesheim

( 1 9 7 2 ) melaporkan bahwa apabila

kelem-

baban udara terlalu tinggi disertai pula dengan

temperatur

tinggi, maka akan menyebabkan pembuangan u a p air

berlebihan

dari badan d e n g a n jalan "panting" tidak berhasil baik, karena udara sudah jenuh dengan uap air.

Keadaan ini akan meru-

pakan cekaman bagi ayam tersebut sehingga produksi telur akan
menurun.

Dan dilaporkannya pula bahwa kelembaban yang ting-

g i disebabkan karena ventilasi kandang kurang baik.
( 1 9 7 8 ) mengemukakan

Nowland

bahwa kelembaban relatif yang baik untuk

petelur yaitu sekitar 5 5 sampai 75 persen.

Konsumsi Ransum
Winter dan Funk (1960) melaporkan bahwa konsumsi ransum pada

unggas

dipengaruhi oleh bangsa ayam,

kecepatan

tumbuh serta imbangan enerqi dan protein dalam ransum. Demikian pula Shutze (1969) menyatakan
yang rnempengaruhi konsumsi

bahwa faktor-faktor

ransum yaitu bobot badan,

ga-

lur, tingkat produksi, kandungan energi dalam ransurn, temperatur lingkungan dan tipe kandang.
Bolton et al. (1970) mengemukakan bahwa ayam tipe medium mengkonsumsi ransum lebih
tipe

ringan,

ini

disebabkan

banyak

dibandingkan

ayam tipe medium

ayam

memerlu-

kan energi dan protein lebih banyak untuk hidup pokoknya.
Pengaruh tingkat
beberapa

pendapat,

energi terhadap konsumsi ransum ada

MacIntyre dan Aitken (1957)

kan bahwa konsumsi ransum per ekor per

hari

dan

melaporkonsumsi

ransum untuk menghasilkan satu lusin telur pada ransum yanq
berenergi

tinggi nyata lebih rendah daripada ransum

berenergi rendah.
kkal/kg

ransum,

Tiap kenaikan energi neto

yang

sebesar

100

konsumsi ransum berkurang 11 persen.

Me-

nurut Hadipurnomo (19731, perbedaan tingkat energi 400 kkal
EM/kg

yaitu dari 2 6 5 0 sampai dengan 3 0 5 0 kkal EM/kg

sum dengan protein 1 5 persen, tidak nyata mempengaruhi
sumsi ransum.

Carew et al.

(1980) rnenyatakan

kon-

bahwa makin

tinggi tingkat energi dalam ransum, konsumsi ransum
berkurang.

ran-

makin

MacIntyre dan Aitken (1957) mengemukakan bahwa dengan
meningkatnya

kadar protein dalam ransum,

sangat nyata meningkat.

konsumsi ransum

Berbeda dengan pendapat Dewan dan

Gleaves (1969) yang menyatakan bahwa tingkat
berbeda dalam
sum yang

ransum tidak nyata mempengaruhi jumlah ran-

dikonsumsi.

porkan bahwa

protein yang

Demikian pula Hamilton (1978) mela-

pernberian ransum dengan tingkat protein yang

berbeda dua persen

(dari 15-17%) pada ayam petelur

White

Leghorn tidak nyata berpengaruh terhadap konsumsi ransum.

Ivy dan Gleaves

(1976) melaporkan bahwa pada tingkat

telur 70.5 persen,

produksi

gram/ekor/hari.

ayam mengkonsumsi ransum 128

Pada ayam White Leghorn pada tingkat pro-

telur 75 persen, konsumsi ransum 105 gram/ekor/hari

duksi

(Byerly et al., 1980).
gram/ekor/hari

sum 108
kilogram

dan

produksi

Menurut NRC (19771,
untuk

konsumsi ran-

ayam dengan bobot badan dud

telur

70 persen.

Demikian pula

North (1972), menyatakan bahwa konsumsi ransum untuk

ayam

tipe medium 1 2 0 gram/ekor/hari.
Costa (1978) mengemukakan bahwa ayam tipe medium dan
tipe berat
dengan
but

tidak bisa menyesuaikan antara konsumsi ransum

kebutuhan.

cenderung

dari 40

minggu.

Konsumsi ransum pada kedua tipe terse-

berlebihan

terutama pada ayam umur

Wahju (1978)

lebih

menyatakan bahwa konsumsi

ransum untuk petelur tipe medium 1 2 0 sampai 1 5 0 grarn/ekor/
hari.

Demikian pula Ruhyat

(1982) dari hasil penelitian-

nya

melaporkan

120'.4 gram,
hari

bahwa

konsumsi ransum untuk galur Shaver

sedangkan galur Super-Harco 122.29 gram/ekor/

.

Konsumsi Air Minum
Heywang
diperlukan
sum,

(1941)

menyatakan

bahwa banyaknya air yang

oleh seekor ayam dipengaruhi oleh susunan ran-

temperatur lingkungan, tingkat produksi telur, bobot

tubuh dan

umur.

(1973) mengemukakan

bahwa

naiknya tingkat energi 2 6 5 0 sampai 3 0 5 0 kkal EM/kg

ransum

tidak

minum.

nyata

Hadipurnomo

berpengaruh

terhadap

k ~ n s u m s i air

Sugandi (1973) menyatakan bahwa dengan ransum yang mengandung energi berkisar antara 2 650 sampai 3 050 kkal
konsumsi air minum akan menurun.

Ruhyat

EM/kgr

(1982) melaporkan

bahwa konsumsi air minum pada tingkat energi 2850kkal
kg ransum nyata (Pc0.05)

lebih

banyak

daripada

EM/

tingkat

enerqi 2 6 5 0 kkal EM/kg ransum.
Sugandi (1973) melaporkan bahwa

pada

petelur

White

Leghorn yang dipelihara dalam kandang sistem sangkar, ternyata konsumsi air minum pada pemberian ransum dengan tingkat protein 1 0 persen lebih banyak daripada pada pemberian
ransum dengan tingkat protein 1 5 persen.
Faktor lain yang mempengaruhi konsumsi air minum adalah

kadar garam dalam ransum.

Kare dan Biely (1948)

me-

laporkan bahwa apabila kandungan garam dalam ransum menca-

pai 5.18 persen, maka ayam akan mati.

Menurut

Heuser (1955),

petelur yang diberi ransum dengan kadar garam 0.5 sampai 1.0
persen akan menghasilkan pertumbuhan, efisiensi
makanan dan

produksi telur yang lebih baik daripada ransum

tanpa garam.
kan

penggunaan

Demikian pula Winter dan Funk (1960) menyata-

bahwa kadar garam yang optimal dalam ransum adalah 0.5

sampai 1.0 persen.

Phelp (1969) berpendapat bahwa

petelur

membutuhkan garam dalam ransumnya tetapi jangan lebih

dari

0.25 persen.
Pengaruh temperatur

lingkungan terhadap konsumsi ran-

sum Wilson (1948) mengemukakan bahwa perbandingan banyaknya
konsumsi ransum dengan konsumsi air minum, pada petelur yaitu pada temperatur 65OF = 1 : 2, sedangkan pada temperatur
9 5 O F = 1 : 4.7.

Fox (1951)

melaporkan bahwa pada

keadaan

cuaca panas ayam White Leghorn lebih banyak minum

daripada

ayam Rhode Island Red dan New Hamshire.
Petelur
2SoC,

yang

pada temperatur

maka konsumsi air minum meningkat,

kualitas telur

menurun

jauh Rahman (1979)
diminum

dipelihara

bahwa temperatur

antara 10 sampai 1 3 - C .

1977).

bahwa temperatur

juga mempengaruhi banyaknya

porkan pula

bobot telur

(Hvidsten dan Haugen,

melaporkan

lingkungan

yang ideal

Bila temperaturnya antara

Lebih

air

konsumsi air.

air minum

dan

yang
Dilayaitu

32 sam-

pai 35°C maka konsumsi air minum berkurang setengahnya.

Mengenai pengaruh tingkat produksi telur terhadap konsumsi a i r minum, J u l l ( 1 9 4 9 ) menyatakan bahwa petelur dengan
tingkat produksi 1 8 0 sampai 2 4 0 butir mengkonsumsi air
banyak 1 3 0 sampai 1 8 0 lb.

Lebih lanjut dikatakannya

sebahwa

kandungan air pada bagian-bagian s e b u t i r telur adalah sebag a i berikut
a i r 65.6

s e b u t i r telur dengan kerabangnya

mengandung

persen, kuning telur 48.7 persen, kuning dan putih

telur 73.6
87.9

:

persen, sedangkan putih telurnya saja mengandung

persen.

Lipschitz et al.

( 1 9 6 7 ) melaporkan bahwa kon-

sumsi a i r minum dipengaruhi pula oleh perbedaan seks.

Ayam

betina yang sedang berproduksi mengkonsumsi a i r sebanyak 1.7
k a l i ayam jantan.
Mongin dan Sauveur ( 1 9 7 4 ) dan Howard

( 1 9 7 5 ) mengemuka-

k a n bahwa apabila produksi telur meningkat maka konsumsi air
pun meningkat.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa ayam yang se-

dang mengalami proses

"oviposition" membutuhkan

air

s e b a n y a k 5 0 c c per jam dan proses mengsekresi albumen
butuhkan 3 7 c c per

jam.

Demikian pula Howard

minum
mem-

( 1 9 7 5 ) menya-

t a k a n bahwa konsumsi air minum pada petelur yang sedan9 berproduksi

sebanyak 3 0 5 . c ~per

hari,

sedangkan

yang tidak

berproduksi 1 4 6 c c per hari.
Heywang

( 1 9 4 1 ) melaporkan bahwa konsumsi air minum me-

ningkat dengan bertambahnya bobot badan a y a m tersebut.
mikian pula Hamilton
t a k a n bahwa g a l u r

( 1 9 7 8 ) dan Doran et al.

De-

(1980) menya-

yang berbeda dalam ha1 ini berbeda dalam

bobot badan,
konsumsi

a i r minumnya

menyatakan
galur

tingkat produksi telur d a n bobot telur,

bahwa

.

juga berbeda.

banyaknya

Qureshi

meningkat

Menurut Ewing

dengan

( 1 9 8 0 ) juga

konsumsi a i r dipengaruhi oleh

Medway dan Kare ( 1 9 5 9 ) melaporkan bahwa
minum

maka

bertambahnya

konsumsi

air

umur ayam tersebut.

(1963), konsumsi air minum untuk petelur ber-

umur 3 2 minggu sebanyak 3.6 ml/gram

makanan yang

dikonsum-

si,
Phelp (1974)

melaporkan bahwa

ayam yang dikandangkan

dalam sistem sangkar lebih banyak rnengkonsumsi air daripada
Bentuk dan ukuran tempat air minum

kandang sistem serasah.
mempengaruhi
yang paling

konsumsi air minum.
coco,k untuk

petelur

Bentuk tempat air minum
ialah bentuk U atau V de-

rigan ukuran tinggi tiga sentimeter dan lebar lima sampai tujuh sentimeter (Rahman, 1979).

Konversi Ransum
Tentang konversi ransum
mukakan bahwa tingkat
versi ransum.
kenaikan

et

&.

( 1 9 7 2 ) menge-

energi dalam ransum memperbaiki kon-

Doran et al.

tingkat

Guenther

energi

(1980)

dalam

juga melaporkan bahwa

ransum d a r i 2 7 7 3

3 0 1 3 kkal EM/kgr pada tingkat protein 15 persen

perbaiki
(1982)

konversi
melaporkan

ransum
bahwa

d a r i 2.81
pemberian

akan

sampai
mem-

menjadi 2.71. Ruhyat
ransum dengan tingkat

energi 2 6 5 0 kkal EM/kg

dan 2 8 5 0 kkal EM/kg

tidak berpenga-

ruh nyata terhadap konversi ransum.
Karunajeewa
dalam

ransum

(1972) menyatakan

tidak

penggunaan ransum.
tein dalam ransum

bahwa tingkat

berpengaruh nyata

terhadap efisiensi

Dinyatakannya pula bahwa
yang paling

protein

tingkat

pro-

baik yaitu 1 5 persen. Demi-

kian pula Reid (1976) melaporkan bahwa kenaikan tingkatprotein dari 13.5 sampai 19.5 persen tidak nyata

mempengaruhi

konversi ransum.
Hasil

penelitian

ini berbeda dengan hasil penelitian

Sugandi et al. (1975) yang rnenyatakan

bahwa konversi

sum nyata lebih baik pada ransum dengan tingkat
persen daripada 1 5 persen dan ransum

yang

ran-

protein 1 8

paling

efisien

ialah pada tingkat protein 18 persen dengan energi 2850 kkal
EM/kg

ransum.

Hamilton (1978) juga mengemukakan bahwa pada

pemberian ransum dengan tingkat protein 15

dan

17

persen

serta tingkat energi sama, pada ayam White

Leghorn

sangat

nyata (P