Model Kesesuaian Habitat Tarsius (Tarsius Sp) Di Hutan Lambusango Pulau Buton Provinsi Sulawesi Tenggara

MODEL KESESUAIAN HABITAT TARSIUS (Tarsius sp.) DI
HUTAN LAMBUSANGO PULAU BUTON PROVINSI
SULAWESI TENGGARA

FADHILAH IQRA MANSYUR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Kesesuaian Habitat
Tarsius (Tarsius sp.) di Hutan Lambusango Pulau Buton Provinsi Sulawesi
Tenggara adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari tesis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017

Fadhilah Iqra Mansyur
NIM E351130101

RINGKASAN
FADHILAH IQRA MANSYUR. Model Kesesuaian Habitat Tarsius (Tarsius
sp.) di Hutan Lambusango Pulau Buton Provinsi Sulawesi Tenggara. Dibimbing
oleh ABDUL HARIS MUSTARI dan LILIK BUDI PRASETYO.
Tarsius (Tarsius spp.) adalah salah satu primata endemik Pulau Sulawesi
yang juga tersebar di pulau-pulau sekitarnya. Hingga saat ini, terdapat lebih dari 16
populasi tarsius tersebar di Sulawesi dan dapat digolongkan menjadi spesies
berbeda namun, hanya 9 spesies yang telah teridentifikasi. Hutan Lambusango
adalah salah satu lokasi penyebaran tarsius di Pulau Buton. Lokasi ini merupakan
hutan hujan dataran rendah tropis dengan gangguan antropogenis yang cukup tinggi
terutama berasal dari tambang-tambang yang berada di sekitar kawasan hutan.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengidentifikasi karakteristik habitat tarsius di
Hutan Lambusango, (2) menganalisis hubungan antara komponen habitat dan
keberadaan tarsius di Hutan Lambusango dengan menggunakan GIS, dan (3)

menduga luas habitat yang dapat mendukung populasi tarsius di Hutan
Lambusango dengan menggunakan GIS.
Penelitian dilaksanakan di dalam Hutan Lambusango yang terdiri atas Cagar
Alam Kakinauwe dan Suaka Margasatwa Lambusango. Pengambilan data lapangan
dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2014. Data yang dikumpulkan antara lain
adalah lokasi tidur tarsius, kondisi fisik habitat, kondisi vegetasi dan potensi pakan
di setiap lokasi tidur. Setiap lokasi tidur yang ditemukan ditandai dengan
menggunakan GPS. Pengumpulan data kondisi vegetasi menggunakan metode
analisis vegetasi. Sedangkan untuk pengambilan data serangga dilakukan dengan
metode perangkap cahaya (light trap) selanjutnya diidentifikasi di Laboratorium
Taksonomi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Analisis data dengan menggunakan Principal Component
Analysis (PCA) untuk mengetahui bobot dari masing-masing variabel habitat
sehingga dapat diketahui variabel habitat mana yang paling berpengaruh pada
penyebaran tarsius. Hasil dari analisis PCA tersebut kemudian dianalisis secara
spasial menggunakan GIS.
Sebanyak 42 lokasi tidur tarsius teridentifikasi di Hutan Lambusango dan
pada umumnya menempati wilayah perbatasan hutan. Jenis-jenis sarang yang
teridentifikasi diantaranya adalah pohon Ficus spp., lubang-lubang batu, semaksemak yang dikelilingi liana, rumpun pandan, pohon tumbang yang diselimuti liana
dan pohon wola (Vitex cofassus). Berdasarkan analisis PCA, terdapat total 7

variabel habitat yang memengaruhi kehadiran tarsius diantaranya adalah, nilai jarak
dari batas hutan, jarak dari jalan, ketinggian, arah kelerengan, NDVI, FCD, dan
keanekaragaman serangga. Luas Hutan Lambusango yang sesuai untuk habitat
tarsius adalah 31 520 ha atau 82.96% yang terdiri dari 19.75% (24 017.70 ha) yang
memiliki kelas kesesuaian sedang dan 63.21% (7 502.79 ha) yang berada pada kelas
kesesuaian tinggi.
Kata kunci : Hutan Lambusango, kesesuaian habitat, tarsius

SUMMARY
FADHILAH IQRA MANSYUR. Habitat Suitability Model of Tarsier
(Tarsius sp.) in Lambusango Forest Buton Island Southeast Sulawesi Province.
Supervised by ABDUL HARIS MUSTARI and LILIK BUDI PRASETYO.
Tarsiers (Tarsius spp.) are nocturnal primates endemic to the island of
Sulawesi and the surrounding islands. There are currently 16 populations that can
be as distinct as 16 different species, but only nine species have been identified.
Lambusango Forest is one of the distribution area of tarsier in Buton Island which
has been suffering from anthropogenic disruption through illegal logging and
mining. This research aimed to (1) identify habitat characteristics of tarsier in
Lambusango Forest, (2) analyze the connection between habitat variables and
tarsier existence in Lambusango Forest using GIS, and (3) estimate the extent of

habitat suitability of tarsier in Lambusango Forest using GIS.
The research was conducted from June to August 2014 at Lambusango Forest
including Kakinauwe Natural Reserve and Lambusango Wildlife Reserve. Data
collected consisting sleeping sites of tarsiers, physical habitat condition,
composition and structure of vegetation, also number and diversity of insects.
Composition of vegetation data was collected using vegetation analysis. Collection
of insects as the potential food of tarsier was taken using light trap method and
identified in Laboratory of Insect Taxonomy, Plant Protection Department, Faculty
of Agriculture, Bogor Agricultural University. The data were analysed using
Principal Component Analysis (PCA) to determine the influence of each habitat
component towards tarsier existence. The result of PCA then analyzed using GIS.
Based on this study, 42 tarsier sleeping sites were identified and frequently
found in forest edges. The sleeping sites found in strangler fig trees (Ficus sp.),
wola tree (Vitex cofassus), rock crevices, shrubs, clamps of pandanus, and dead tree
trunks. PCA results indicated that NDVI, diversity of insects, distance from the
forest edge, distance from the street, FCD, altitude and aspects have significantly
influenced the presence of tarsier’s sleeping sites. The extent of suitable area for
tarsier habitat in Lambusango Forest was 31 520 ha (82.96) including 24 017.70 ha
(19.75%) of medium suitability and 7 502.79 ha (63.21%) of high suitability.
Keywords: habitat suitability, Lambusango Forest, tarsier


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MODEL KESESUAIAN HABITAT TARSIUS (Tarsius sp.) DI
HUTAN LAMBUSANGO PULAU BUTON PROVINSI
SULAWESI TENGGARA

FADHILAH IQRA MANSYUR
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji Luar pada Ujian Tesis: Prof(Ris) Dr M. Bismark MS APU

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2014 dengan judul Model Kesesuaian
Habitat Tarsius (Tarsius sp.) di Hutan Lambusango Pulau Buton Provinsi Sulawesi
Tenggara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Abdul Haris Mustari MScF
dan Bapak Prof Dr Lilik Budi Prasetyo MSc selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dan memberi pengarahan pada setiap tahap penyusunan tesis ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada BKSDA Sulawesi Tenggara, staff dan
peneliti dari Operation Wallaceae (Opwall) terutama kepada Dr Thomas Edward
Martin dan Dr Dave G Tosh yang membantu memberi masukan kepada penulis

selama pengambilan data di lapangan, kepada tim IPB di Lambusango, Aronika
Kaban, M Fahmi Permana dan Bayu Yogatama serta kepada Lawana Ekoton dan
masyarakat Desa Labundo-bundo yang telah banyak membantu selama penulis
melakukan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, adikadik dan keluarga serta seluruh teman-teman KVT 2013, atas segala bantuan, doa
dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2017
Fadhilah Iqra Mansyur

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

xi

DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR


xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan
Manfaat

1
1
2
3
3

2 METODE

Tempat dan Waktu
Alat dan Bahan
Metode Pengambilan Data
Metode Pembuatan Peta
Analisis Data

3
3
3
4
5
9

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Habitat
Model Kesesuaian Habitat
Implikasi Kajian Terhadap Konservasi Tarsius

12
12

30
35

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

36
36
36

DAFTAR PUSTAKA

37

LAMPIRAN

42

RIWAYAT HIDUP


51

DAFTAR TABEL
1.

2.
3.
4.
5.
6.

Jumlah individu, total jumlah jenis, kerapatan, dan dominansi pada
setiap tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang, pohon berdasarkan
pengukuran di setiap sarang tarsius
Jenis ordo, jenis famili dan jumlah individu serangga yang ditemukan
Hasil uji analisis faktor pada variabel habitat tarsius.
Nilai akar ciri dari seleksi habitat tarsius
Eigenvector (vektor ciri) dari setiap variabel penyusun PCA
Luas dan Persentase kesesuaian habitat tarsius di Hutan Lambusango

26
28
30
31
32
33

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.

Lokasi Penelitian
Desain plot analisis vegetasi.
Proses pembuatan peta ketinggian, kelerengan dan arah kelereng.
Alur pembuatan peta jarak dari jalan, pemukiman dan batas hutan
Bagan alur pembuatan peta Forest Canopy Density (FCD)
Alur pembuatan peta NDVI
Jenis-jenis sarang tarsius yang teridentifikasi.
Sarang Tarsius (a) Ficus spp. (b) semak-semak yang ditumbuhi liana.
Tarsius yang ditemukan di Hutan Lambusango.
Peta Ketinggian Hutan Lambusango.
Peta Kemiringan Lereng di Hutan Lambusango.
Penemuan sarang tarsius berdasarkan jarak dari pemukiman hutan.
Penemuan sarang tarsius berdasarkan jarak dari batas hutan.
Sebaran suhu di setiap sarang tarsius.
Peta sebaran suhu di Hutan Lambusango.
Sebaran nilai NDVI di setiap sarang tarsius.
Peta NDVI di Hutan Lambusango.
Sebaran nilai FCD di setiap titik penemuan sarang tarsius.
Peta FCD.
Grafik hubungan antara jarak dari pinggir hutan dengan jumlah famili
dan individu serangga.
scree plot hubungan antara nilai eigenvalue pada setiap faktor.
Peta kelas kesesuaian habitat tarsius di Hutan Lambusango.

4
5
6
6
8
9
12
13
14
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
28
31
34

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.

Hasil uji reduksi faktor untuk mengetahui komponen habitat abiotik
yang berpengaruh terhadap kehadiran tarsius
Analisis komponen PCA untuk mengetahui komponen baru pada
habitat yang berpengaruh terhadap kehadiran tarsius
Hasil analisis regresi terhadap variabel komponen biotik habitat untuk
menduga kehadiran kehadiran tarsius

43
48
50

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tarsius (Tarsius sp.) adalah salah satu primata endemik Pulau Sulawesi
yang juga menyebar di pulau-pulau sekitarnya dari Kepulauan Sangihe di sebelah
utara hingga Pulau Selayar di sebelah selatan (Shekelle 2008a; Shekelle 2008b).
Groves dan Shekelle (2010) menyatakan bahwa, terdapat lebih dari 16 populasi
tarsius di Sulawesi yang dapat digolongkan menjadi spesies terpisah, namun,
sampai saat ini hanya 9 species yang telah diberi nama yaitu, Tarsius tarsier
Erxleben 1777, Tarsius fuscus Fischer 1804, Tarsius sangirensis Meyer 1897,
Tarsius dentatus Miller and Hollister 1921, Tarsius pelengensis Sody 1949, Tarsius
lariang Merker and Groves 2006, Tarsius tumpara Shekelle et al. 2008, Tarsius
wallacei Merker et al. 2010, Tarsius pumilus Miller and Hollister 1921.
Status konservasi tarsius saat ini merupakan satwa yang dilindungi
berdasarkan Peraturan Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 dan Peraturan
Pemerintah No.7 Tahun 1999. Selain itu, satwa ini termasuk kedalam Appendiks II
Convention on International Trade in Endangered Species (CITES 2003) dan
International Union for Conservation of Nature memasukkan semua jenis tarsius
pada beberapa kategori redlist dari vulnerable sampai critically endangered sesuai
dengan ketersediaan data dan keadaan populasinya (IUCN 2014).
Seluruh jenis tarsius hidup secara allopatrik atau berada dalam lokasi
geografis yang berbeda (Shekelle 2008a). Hal ini menyebabkan setiap jenis tarsius
memiliki lokasi sebaran geografis dan tipe habitat yang berbeda sehingga hilangnya
satu spesies dalam satu habitat tertentu menyebabkan hilangnya satu spesies dari
tarsius. Upaya konservasi yang dilakukan terhadap tarsius dapat dimulai dengan
melakukan perlindungan habitat karena hilangnya tarsius pada suatu habitat dalam
wilayah geografis tertentu dapat menyebabkan keterancaman terhadap spesies
tarsius di wilayah tersebut. Alikodra (2002) menyatakan bahwa keberhasilan satwa
bertahan hidup dan meningkatkan populasinya tergantung pada kesesuaian habitat
dengan kondisi spesifik yang dibutuhkannya. Sehingga dalam upaya konservasi
tarsius, hal yang perlu diketahui adalah kesesuaian kondisi habitat dengan
kebutuhan satwa tersebut.
Beberapa penelitian yang dilakukan mengenai habitat tarsius menunujukkan
bahwa tarsius dapat menempati beberapa macam tipe habitat seperti hutan sekunder,
hutan bakau, hutan dataran rendah, hutan-hutan tepi sungai dan hutan pegunungan
(MacKinnon dan MacKinnon 1980; Wirdateti dan Dahrudin 2006; Wirdateti dan
Dahrudin 2008; Sinaga et al. 2009; Qiptiyah dan Setiawan 2012). Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Yustian et al. (2008), di Taman Nasional Lore Lindu
dan Mustari et al. (2013) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung
menunjukkan bahwa populasi tarsius pada umumnya ditemukan di lokasi hutan
yang sangat dekat dengan pemukiman manusia seperti hutan sekunder dan
perkebunan. Hal ini terkait dengan kebutuhan tarsius akan serangga yang menjadi
sumber pakan utamanya.
Hutan Lambusango yang berada di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara
merupakan hutan hujan dataran rendah tropis dengan gangguan antropogenis yang
cukup tinggi. Menurut Opwall (2006), gangguan tersebut disebabkan aksesibilitas

2
manusia yang cukup mudah kedalam kawasan sehingga mengganggu hidupan liar
di dalamnya. Disisi lain Hutan Lambusango adalah salah satu hutan yang memiliki
fungsi ekologis yang tinggi bagi satwaliar endemik diantaranya anoa, kuskus
beruang, dan tarsius. Gangguan yang disebabkan oleh manusia terhadap kawasan
ini dapat menurunkan kualitas habitat bagi satwaliar.
Geographic Information System (GIS) merupakan salah satu alat yang dapat
digunakan dalam bidang konservasi terutama untuk merekam dan memantau
perubahan penutupan lahan (Savitski dan Lacher 1998). Clark et al. (2008)
menambahkan bahwa GIS dapat menjadi salah satu alat yang digunakan dalam
menganalisis hubungan antara hubungan satwaliar dan bentang alam habitatnya.
Pemilihan habitat tarsius yang unik, penurunan kualitas habitat yang berasal
dari deforestasi, degradasi dan fragmentasi habitat dapat menyebabkan penurunan
populasi tarsius. Geographic Information System (GIS) merupakan salah satu alat
bantu yang cukup efektif untuk menganalisis dan memvisualisasikan data kondisi
habitat tarsius agar dapat menentukan lokasi yang paling cocok untuk konservasi
tarsius di Hutan Lambusango.
Perumusan Masalah
Tarsius merupakan salah satu jenis primata langka dan endemik yang berada
di Sulawesi. Seiring dengan penelitian yang dilakukan, jumlah spesies tarsius yang
ditemukan juga semakin bertambah dan dapat mencapai hingga 16 spesies.
Pertambahan jumlah spesies pada tarsius di Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya
menyebabkan penurunan ukuran populasi dari jenis-jenis tertentu. Pertambahan
jumlah spesies tarsius di Sulawesi ini tidak berjalan seiring dengan perkembangan
regulasi. Hingga saat ini, dari seluruh spesies yang ditemukan, hanya 9 jenis yang
terdaftar di IUCN.
Perubahan fungsi hutan menjadi kawasan perkebunan, pertambangan dan
pemukiman merupakan ancaman bagi habitat tarsius. Disisi lain, tarsius merupakan
satwa yang memiliki manfaat yang sangat besar bagi ekosistem dan bagi
masyarakat. Secara ekologi tarsius merupakan satwa insektivora atau pemakan
serangga yang dapat membantu menjaga keseimbangan ekosistem.
Keberadaan tarsius dalam suatu kawasan tertentu tidak lepas dari
kemampuan kawasan tersebut menyediakan kebutuhan tarsius. Tarsius akan
memilih vegetasi yang rapat dan semak untuk menjadi sarang, namun
membutuhkan kawasan dengan vegetasi beragam untuk tempat mencari pakan. Hal
ini menyebabkan tarsius sering dijumpai di perbatasan hutan, seperti perbatasan
antara hutan primer dan sekunder dan perbatasan antara hutan sekunder dengan
ladang atau perkebunan karena lokasi tersebut memiliki jenis dan jumlah serangga
yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya.
Tarsius yang berada di Pulau Buton merupakan jenis yang telah lama
terisolasi karena letaknya yang terpisah dengan pulau utama, yaitu Pulau Sulawesi.
Lokasi penyebaran tarsius di Pulau Buton, tepatnya di Hutan Lambusango telah
sejak lama mendapatkan tekanan dari masyarakat karena aksesibilitasnya yang
sangat dekat dari pemukiman penduduk. Selain itu, Pulau Buton merupakan salah
satu wilayah utama penghasil aspal di Indonesia sehingga banyak kompleks
pertambangan yang dibuka di berbagai wilayah di Buton salah satunya di sekitar
kawasan Hutan Lambusango. Gangguan tersebut menyebabkan penurunan kualitas

3
habitat yang ada di Hutan Lambusango dan menjadi ancaman bagi habitat tarsius.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat dirumuskan permasalahan dari penelitian
ini adalah :
1. Bagaimana karakteristik habitat tarsius di Hutan Lambusango
2. Bagaimana hubungan kondisi habitat terhadap keberadaan tarsius di Hutan
Lambusango?
3. Berapa luas habitat yang mendukung populasi tarsius di Hutan
Lambusango?
Tujuan
1.
2.
3.

Tujuan dari penelitian ini adalah :
Mengidentifikasi karakteristik habitat tarsius di Hutan Lambusango.
Menganalisis hubungan antara komponen habitat dan keberadaan tarsius di
Hutan Lambusango dengan menggunakan GIS.
Menduga luas habitat yang dapat mendukung populasi tarsius di Hutan
Lambusango dengan menggunakan GIS.
Manfaat

Data yang diperolah dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber
data dan informasi mengenai kondisi habitat tarsius, sehingga dapat digunakan
sebagai dasar acuan pertimbangan bagi konservasi tarsius di Hutan Lambusango

2 METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Hutan Lambusango yang terdiri dari Cagar Alam
Kakinauwe (CA Kakinauwe) dan Suaka Margasatwa Lambusango (SM
Lambusango). Lokasi Penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Pengambilan data
lapangan dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2014. Analisis sampel serangga
dilakukan di Laboratorium Taksonomi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan September-Oktober 2014.
Alat dan Bahan
Peralatan yang digunakan dalam peneltian ini antara lain adalah Global
Positioning System (GPS) untuk melakukan penentuan posisi, termometer untuk
pengambilan data suhu. Sedangkan lampu petromaks, kain putih, dan alkohol untuk
light trap. Analisis vegetasi menggunakan tali rafia, tali tambang, pita ukur, tally
sheet pengamatan, kamera dan alat tulis.
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan perangkat lunak untuk
menganalisis data seperti, ArcGis ver. 10.3., ERDAS Imagine ver. 9.1., FCD
Mapper, Google Earth Pro, SPSS ver. 22, dan minitab ver. 16. Sedangkan bahan
yang digunakan adalah peta kawasan Hutan Lambusango, citra landsat 2014 path
112 row 63 tanggal 9 Oktober 2014, peta DEM (Digital Elevation Model) dan Peta
Rupa Bumi Indonesia (RBI).

4

Gambar 1 Lokasi Penelitian
Metode Pengambilan Data
Penentuan Lokasi Sarang
Penentuan sarang tidur ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Melakukan survei dengan mendengarkan suara tarsius pada pagi hari lalu
menentukan lokasi asal suara.
2. Mencari lokasi asal suara tarsius. Umumnya sarang tidur tarsius berupa
pohon yang rimbun.
Pengamatan dilakukan pada saat tarsius meninggalkan lokasi tidurnya, yaitu
sebelum matahari terbenam antara pukul 17.30 - 18.30 WITA dan pada saat tarsius
kembali ke tempat tidurnya, yaitu sebelum matahari terbit antara pukul 05.30 06.30 WITA.
Analisis Vegetasi
Pengukuran kondisi tutupan vegetasi dilakukan untuk mendapatkan
gambaran jenis-jenis tumbuhan dan vegetasi yang digunakan tarsius. pengukuran
ini dilakukan dengan membuat petak pengamatan 20 × 20 m yang diletakkan di
sekitar sarang tarsius yang ditemukan. Metode ini dilakukan dengan asumsi bahwa
tarsius adalah satwa teritorial yang akan selalu kembali ke sarangnya serta
merupakan satwa berukuran kecil yang memiliki wilayah jelajah yang tidak luas.
Asumsi ini sesuai dengan hasil penelitian Merker (2006), bahwa maksimal wilayah
jelajah tarsius adalah 1.8 ha. Identifikasi jenis tumbuhan dilakukan dengan bantuan
masyarakat dan petugas dengan mengumpulkan data tumbuhan dari tingkat semai,
pancang, tiang, dan pohon. Desain plot analisis vegetasi dapat dilihat pada Gambar
2.

5

Gambar 2 Desain plot analisis vegetasi.
Potensi Pakan Tarsius
Ketersediaan pakan tarsius dianalisis dengan melihat keberadaan serangga
yang menjadi sumber paka utama tarsius. Pengumpulan data serangga
menggunakan metode perangkap cahaya (light trap). Pengumpulan serangga ini
dilakukan selama 120 menit dimulai pada pukul 18.30 - 20.30 WITA. Serangga
kemudian dimasukkan ke dalam botol berisi alkohol yang dipisahkan berdasarkan
petak pengamatan.
Ketinggian dan Kemiringan Lereng
Data ketinggian dan kemiringan lereng didapatkan dengan mengolah peta
kawasan Hutan Lambusango.
Jarak dari pemukiman, jalan, dan tepi hutan
Jarak dari pemukiman, jarak dari jalan, dan jarak dari tepi hutan diukur
dengan menarik garis lurus dari lokasi ditemukannya tarsius ke arah pemukiman,
jalan, dan tepi hutan.
Suhu
Data suhu diambil dengan menggunakan termometer di lokasi titik
ditemukannya tarsius. Selain itu, data suhu juga didapatkan dari peta.
Metode Pembuatan Peta
Ketinggian dan Kemiringan Lereng
Peta ketinggian dan kemiringan lereng dibuat dengan menggunakan
software ArcGIS 10.3 dan menggunakan peta DEM (Digital Elevation Model). Peta
DEM dipotong sesuai area studi, lalu diproyeksikan ke UTM (Universal Transverse
Mercator) sehingga didapatkan peta ketinggian, selanjutnya dilakukan analisis
topografi untuk mendapatkan peta kemiringan (slope) dan arah kelerengan (aspect).

6
Tahap-tahap pembuatan peta ketinggian dan kemiringan lereng dapat dilihat pada
Gambar 3.

Gambar 3 Proses pembuatan peta ketinggian, kelerengan dan arah kelereng.
Jarak dari Pemukiman, Jalan, dan Tepi Hutan
Peta jarak dari jalan dan pemukiman serta jarak dari tepi hutan diperoleh
dari analisis euclidean distance pada ArcGIS 10.3 dengan mengukur dari jarak
terluar dari pemukiman dan jalan. Bagan alir pembuatan peta jarak dari pemukiman,
jalan dan tepi hutan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Alur pembuatan peta jarak dari jalan, pemukiman dan batas hutan
Suhu
Peta sebaran suhu diperoleh dengan melakukan dua tahapan konversi.
Pertama, mengestimasi nilai suhu permukaan dengan menggunakan band 10, citra
Landsat 8 pada ERDAS imagine 9.1 untuk dikonversi menjadi nilai radiasi.
Persamaan yang digunakan adalah :
Lλ = MLQcal + AL
Keterangan : Lλ = Radiasai spektral ; ML = Multiplicative rescaling factor band
10 (3.3420 × 10-4); Qcal = Digital Number ; AL = Additive rescaling
factor band 10 (0.1000).
Selanjutnya, dilakukan konversi radial spektral untuk mengetahui nilai suhu
permukaan dalam satuan kelvin. Konversi nilai dari Kelvin menjadi Celcius adalah
dengan mengurangi nilai suhu sebanyak 273 derajat. Sedangkan konversi radiasi
spektral menjadi nilai suhu digunakan persamaan sebagai berikut :
K
T=
ln 1 + 1
λ

7
Keterangan:

T = Suhu Efektif (K); K2 = Konstanta Kalibrasi 2 (1321.08); K1 =
Konstanta Kalibrasi 1 (774.89); Lλ = Radiasai spektral.

Hasil yang didapatkan bernilai Kelvin selanjutnya dikonversi menjadi
Celcius dengan menggunakan rumus :C = K – 273. Sehingga didapatkan peta suhu
permukaan dengan satuan Celcius.
Forest Canopy Density
Peta kerapatan tajuk didapatkan dengan mengolah peta citra kawasan Hutan
Lambusango dengan menggunakan FCD (Forest Canopy Density) yaitu suatu
metode yang dapat mendeteksi dan memperkirakan kerapatan kanopi di suatu areal
yang luas. Nilai kerapatan kanopi hasil FCD ditunjukkan dalam bentuk persen (%).
Pengolahan model FCD dilakukan dengan menggabungkan data dari empat macam
indeks yaitu Advanced Vegetation Index (AVI), Bare Soil Index (BI), Shadow Index
atau Scaled Shadow Index (SI, SSI) dan Thermal Index (TI) (Rikimaru 2002).
Pengolahan FCD pada penelitian ini menggunakan 7 band dari citra landsat 8 yang
telah di kalibrasi radiometris (rescale) dari 16 bit menjadi 8 bit. Berikut persamaan
masing-masing indeks berdasarkan (ITTO 2003):
a. Vegetation Index (VI)
Terdapat tiga indeks yang digunakan untuk menduga VI yaitu:
 Normalized Differential Vegetation Index (NDVI) = (Near Infra RedRed) / (Near Infra Red+Red);
 Advanced Vegetation Index (AVI) = (Near Infra Red x (256-Red) x(Near
Infra Red-Red) + 1)1/3, 0 < (Near Infra Red-Red)(ITTO/JOFCA 2003);
 Advanced Normalized Vegetation Index (ANVI ) adalah indeks sintetik
dari NDVI dan AVI menggunakan Principal Component Analysis
b. Bare Soil Index (BI)
Persamaan untuk mengetahui BI adalah :
BI = ((MIR+R) - (B+NIR)) / ((MIR+R) + (B+NIR));
dimana: NIR = Near Infra-Red Band dan MIR = Middle Infra-Red
Band
c. Shadow Index (SI)
Persamaan untuk SI adalah :
SI = ((256-B) x (256-G) x (256-R))1/3
dimana B= band biru, G = band hijau dan , R = band merah
d. Thermal Index (TI)
TI diketahui dengan cara mengkalibrasi nilai band thermal pada peta
citra
Setelah 4 nilai tersebut diolah makan FCD akan didapatkan dengan
melakukan persamaan :
FCD = (VD x SSI+1)1/2-1
Dimana nilai VD adalah Vegetation Density atau kerapatn tutupan vegetasi
per pixel dihitung dengan Principal Component dari VI dan BI, dan dikalibrasi
dengan minimum dan maximum tutupan vegetasi. Sedangkan nilai SSI merupakan
nilai kalibrasi dari Shadow Index pada areal berhutan. Alur atau skema pembuatan
kelas FCD dapat dilihat pada Gambar 5.

8

Gambar 5 Bagan alur pembuatan peta Forest Canopy Density (FCD)
NDVI
Peta ini diperoleh dengan metode pengukuran dan pemetaan kepekaan
warna hijau vegetasi. Nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) diukur
dengan menggunakan ‘Model maker’ pada software ERDAS imagine 9.1.
Pengukuran tersebut menggunakan band 4 dan band 5 dari citra Landsat 8.
Persamaan untuk mendapatkan nilai NDVI adalah sebagai berikut :
��� − �
� �� =
��� + �
Keterangan : NIR = Spektrum Near-Infrared (band 5);
R = Spektrum Infrared (band 4)
Tahapan utama dalam pembuatan peta NDVI dapat dilihat pada Gambar 6.

9

Gambar 6 Alur pembuatan peta NDVI
Analisis Data
Analisis Vegetasi
Data hasil pengamatan tumbuhan yang dikumpulkan dari lapangan
digunakan untuk menghitung kerapatan, dominansi dan indeks nilai penting suatu
jenis tumbuhan. Nilai-nilai tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk nilai mutlak
maupun nilai relatif dengan persamaan sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan
1988):
:
Jumlah individu suatu jenis
Kerapatan (K)
=
Kerapatan Relatif

=

Dominansi (D)

=

Dominansi Relatif (DR)

=

Luas unit contoh
Kerapatan suatu jenis

Kerapatan seluruh jenis
Jumlah bidang dasar

× 100%

× 100%

Luas petak contoh
Dominansi suatu jenis

Dominansi seluruh jenis

× 100%

Indeks Nilai Penting (INP)
= KR + DR (pohon dan tiang)
Indeks Nilai Penting (INP)
= KR (semai dan pancang)
Luas bidang dasar ke-i = . �. �
4

Potensi Pakan Tarsius
Keanekaragaman jenis serangga yang menjadi potensi pakan utama tarsius di
Hutan Lambusango dihitung dengan menggunakan indeks keragaman ShannonWiener (Fowler et al. 2006)
H’ = - ∑ pi ln pi
Keterangan : H’
=
Indeks keanekaragaman jenis
pi
=
Proporsi nilai penting
ln
=
Logaritma natural

10
Principal Component Analysis (PCA)
Principal Component Analysis (PCA) adalah metode analisis multi peubah
yang bertujuan untuk memperkecil dimensi peubah asal sehingga diperoleh peubah
baru yang berupa komponen utama yang tidak saling berkorelasi tetapi menyimpan
sebagian besar informasi yang terkandung dalam peubah asal (Morrison 2005).
Pada penelitian ini analisis PCA digunakan untuk mengetahui bobot dari masingmasing variabel habitat sehingga dapat diketahui komponen habitat yang paling
berpengaruh pada penyebaran tarsius. Tahapan pengelolaan PCA adalah sebagai
berikut:
a. Menentukan nilai masing-masing variabel habitat yang diperoleh dari setiap
sarang tarsius.
b. Mengubah data format Excell menjadi format SPSS sehingga diperoleh data
setiap titik dan variabel habitat menjadi format SPSS.
c. Standarisasi nilai dengan konversi data ke nilai Zscore.
d. Uji normalitas data seluruh variabel. Variabel dianggap normal apabila nilai
sig >0.5
e. Reduksi faktor, variabel dapat dilakukan analisis lanjutan apabila memenuhi
persyaratan Barlett’s Tes of Sphericity dengan nilai sig 0.5.
f. Variabel dikatakan komponen utama yang berpengaruh terhadap kehadiran
tarsius apabila menunjukkan nilai measure sampling adequacy (MSA) ≥ 0.5,
jika terdapat variabel yang memiliki nilai MSA < 0.5 maka variabel yang
memiliki nilai MSA terkecil harus direduksi dan analisis komponen utama
diulang sehingga seluruh variabel yang tersisa tidak memiliki nilai MSA <
0.5. Setelah seluruh nilai MSA menunjukkan nilai ≥ 0.5, dilakukan
pengecekan pada nilai communalities. Sama seperti nilai MSA, nilai
communalities juga harus ≥0.5 sebelum dilakukan analisis lanjutan.
g. Analisis komponen habitat dengan nilai MSA ≥ 0.5 sehingga keluar variabel
faktor yang baru (PC). Tingkat keterkaitan antara variabel habitat tiap PC
digambarkan dengan nilai factor loadings yang merupakan korelasi antara
variabel habitat dan faktor yang terbentuk (PC).
h. Menentukan nilai eigenvalue dan presentasi keragaman (variance) pada tiap
komponen dengan menggunakan matrix correlation dan membuat biplot
untuk mengetahui letak masing-masing komponen.
i. Mereduksi variabel asli menjadi komponen baru dalam bentuk component
matrix yang berisi informasi letak distribusi variabel asli dengan nilai
variannya.
Komponen habitat yang berpengaruh terhadap kehadiran tarsius adalah
komponen yang memiliki nilai sesuai dengan persyaratan PCA tersebut. Sedangkan
faktor yang paling berpengaruh dapat dilihat dari nilai komunikalitas yang
menjelaskan faktor yang terbentuk.
Model kehadiran tarsius didapatkan dari pengelompokan komponen habitat
yang berpengaruh terhadap keberadaan sarang yang didapatkan dari hasil analisis
PCA. Banyaknya model yang terbentuk sesuai dengan jumlah PC yang terbentuk.
Model kehadiran tarsius selanjutnya didapatkan dengan menggunakan regresi
linear

11
dengan rumus:
= +
+ ⋯+ � �
Keterangan: y = jumlah tarsius yang ditemukan dalam setiap sarang; α = konstanta
korelasi; Fn = PC yang terbentuk; � = koefisien pengaruh regresi pada
F ke-n.
Permodelan Spasial
Analisis model spasial tarsius dilakukan dengan menggunakan ArcGIS 10.3
berdasarkan faktor kesesuaian yang terbentuk pada analisis PCA dengan langkahlangkah sebagai berikut:
a. Mengkonversi nilai-nilai pada setiap peta tematik menjadi nilai Zscore
dengan rumus:

= −
�� �
Keterangan: Zscore = nilai yang telah distandarisasi; x = nilai asli sebelum
distandarisasi.
b. Membuat peta kesesuaian sesuai dengan model yang telah dibentuk dari
analisis PCA.
c. Mengkategorikan peta kesesuaian kedalam 3 kelas kesesuaian yaitu
kesesuaian tinggi, sedang, dan rendah. Nilai selang kesesuaian dihitung
dengan rumus (Supranto 2010):

⁄�
= �
Keterangan: c = perkiraan besarnya selang; xn = nilai peluang kesesuaian
habitat tertinggi; x1 = nilai peluang kesesuaian terendah; K =
banyaknya kelas kesesuaian habitat.
d. Validasi Data
Validasi bertujuan untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap
model yang dibangun. Berikut adalah cara perhitungan validasi klasifikasi
habitat tarsius:
Validasi = n/N x 100%
Keterangan: n = Jumlah titik pertemuan tarsius pada satu kelas
kesesuaian; N= Jumlah total pertemuan tarsius; Validasi = Persentase kepercayaan
terhadap model yang dibangun.

12

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Habitat
Kondisi Sarang
Tarsius di Hutan Lambusango teridentifikasi menggunakan 6 jenis sarang
yaitu pohon Ficus spp., lubang-lubang batu, semak-semak yang dikelilingi liana,
rumpun pandan, pohon tumbang yang diselimuti liana dan pohon wola (Vitex
cofassus). Berdasarkan penelitian ini, 65.63% atau lebih dari sebagian sarang yang
teridentifikasi merupakan sarang yang berada di pohon Ficus spp. Selain itu, sarang
tarsius juga banyak ditemukan berada pada lubang-lubang batu, baik lubang batu
yang berada pada tebing dengan kemiringan yang sangat curam maupun lubanglubang batu yang berada di lantai hutan yaitu sebanyak 15.63%. Sisanya, 9.38%
tarsius ditemukan bersarang di pohon tumbang yang banyak diselimuti liana, dan
masing-masing 3.13% tarsius teridentifikasi menggunakan semak-semak yang
ditutupi liana, rumpun pandan dan pohon wola sebagai tempat bersarang. Jumlah
sarang tarsius yang teridentifikasi ditunjukkan pada gambar 7.

Vitex cofassus
Pohon tumbang
Pandan
Liana
Ficus sp.
Batu
0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

22

24

Jumlah sarang

Gambar 7 Jenis-jenis sarang tarsius yang teridentifikasi.
Terdapat perbedaan antara sarang tarsius yang terletak dekat dengan pinggir
jalan dan sarang tarsius yang jauh dari pinggir jalan. Sarang tarsius yang terletak di
pinggir hutan banyak ditemukan berada di lubang-lubang pohon Ficus spp dan wola
(Vitex cofassus) atau di pohon tumbang yang dikelilingi liana sedangkan sarangsarang tarsius yang berada jauh didalam hutan sering ditemui pada lubang-lubang
batu karst yang saling mengumpul 4-10 lubang yang terletak dibawah tanah dan di
pinggir tebing. Penemuan ini berbeda dengan penelitian MacKinnon dan
MacKinnon (1980) di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus yang menyatakan bahwa,
jenis sarang yang berada di semak, dan rumpun pandan banyak ditemukan di area
yang terbuka sedangkan jenis sarang yang berada di pohon Ficus spp. sangat umum
ditemukan didalam hutan primer. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan jenis
vegetasi di Cagar Alam Tangkoko-Batuangus dengan vegetasi di Hutan
Lambusango. Rumpun pandan dan rotan masih banyak ditemukan jauh didalam
Hutan Lambusango.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, pohon Ficus spp. yang menjadi
sarang tarsius di Hutan Lambusango memiliki ciri khusus misalnya, (1) merupakan

13
satu-satunya pohon dengan diameter yang besar dan dikelilingi oleh tegakan
berukuran lebih kecil berukuran pancang dan tiang, (2) dikelilingi oleh liana dengan
ukuran diameter 1-7 cm, dan (3) memiliki tinggi 10-30 m. Wirdateti dan Dahrudin
(2006) menyatakan bahwa, ketinggian tumbuhan yang digunakan sebagai tempat
bersarang mencapai 30 m lebih tergantung jenis pohonnya, dengan diameter sekitar
1.5 cm – 2.5 cm, sedangkan jenis bambu mencapai ketinggian 15 m, dengan jarak
antara satu lokasi dengan lokasi tempat tidur lainnya sekitar 1 ha - 5 ha. Penggunaan
diameter yang kecil ini, terkait dengan perilaku tarsius sebagai pelompat vertikal
yang membutuhkan diameter pohon atau cabang yang kecil untuk lokomosinya.
Menurut Gursky (2009), tarsius yang memiliki sarang pada ketinggian lebih dari 27
m dapat bertahan lebih lama untuk tidak melakukan dispersal dibandingkan dengan
kelompok yang memiliki sarang pada ketinggian rata-rata 12 m.

Gambar 8 Sarang Tarsius (a) Ficus spp. (b) semak-semak yang ditumbuhi liana.
Tarsius adalah primata arboreal yang menggunakan pohon dan tumbuhan
lainnya sebagai tempat tidur dan tempat mencari makan (Yustian et al. 2008).
Pohon tidur atau sarang tarsius lebih banyak menempati jenis-jenis pohon Bambusa
sp., Ficus spp., Imperata cylindrica, Arenga pinnata dan Hibiscus tiliaceus (Sinaga
et al. 2009). Kelompok tarsius di hutan primer lebih sering memilih tempat tidur di
rongga-rongga pohon yang berlubang terutama pohon Ficus spp., pandan hutan,
bambu, dan umumnya jenis berongga, terlindung dari sinar matahari dan agak gelap
(Widyastuti 1993).
Tarsius juga menggunakan rumpun bambu sebagai tempat bersarang
terutama dari jenis bambu berduri (Bambusa multiflex), dibagian bawah yang rapat
dan berupa lubang-lubang yang dalam, hal ini dilakukan guna menghindari predator
seperti tarsius yang berada di Pulau Selayar (Wirdateti dan Dahrudin 2008).
Sedangkan di di tangkoko, Sulawesi Utara, pada umumnya tarsius menggunakan
Ficus caulocarpa (Gursky 1995). Lokasi tidur tarsius yang berada di lobang-lobang
karst juga merupakan hal yang wajar ditemukan dilokasi lain seperti yang
ditemukan di Taman Nasional Bantimurung (Mustari et al. 2013). Tarsius juga
ditemukan menggunakan lobang-lobang yang dalam tanah dibawah rumpun bambu

14
(Wirdateti dan Dahruddin 2008). Karakteristik umum yang dimiliki semua jenis
sarang tarsius diantaranya adalah tingkat cahaya yang rendah dan hampir gelap,
memiliki tempat perlindungan dari angin dan hujan, memiliki rongga-rongga dan
memiliki beberapa pintu keluar untuk melindungi diri dari ular dan predator lainnya
(MacKinnon dan MacKinnon 1980).
Tempat tidur tarsius berada pada ketinggian 6 m – 12.5 m dari permukaan
tanah (MacKinnon dan MacKinnon 1980), 3 m – 15 m (Wirdateti dan Dahruddin
2006), 2 m - 3 m pada rumpun bambu (Wirdateti dan Dahruddin 2008), dan pada
tebing karst berada pada ketinggian 10 m - 20 m dari permukaan tanah (Qiptiyah et
al. 2009). Dalam satu pohon masing-masing tarsius mempunyai lubang untuk
beristirahat dengan ketinggian berbeda. Sinaga et al. (2009) menambahkan bahwa
ketinggian pohon tidur atau sarang tarsius adalah antara 0- 20 m di atas permukaan
tanah serta lebih tergantung pada jenis tumbuhan dan kondisi habitatnya.
Tarsius di Hutan Lambusango juga beberapa kali ditemukan melakukan
aktifitas tidak jauh dari sarang hingga pukul 10 pagi. Hal ini merupakan hal yang
langka karena tarsius merupakan satwa nokturnal yang seharusnya tidak melakukan
kegiatan pada siang hari, namun beberapa penelitian lain juga membuktikan bahwa
tarsius dapat ditemukan di siang hari seperti penelitian yang dilakukan di Pulau
Selayar oleh Wirdateti dan Dahrudin (2008).
Setiap sarang yang ditemukan pada saat penelitian merupakan tempat
tinggal bagi sekelompok tarsius yang terdiri dari 2 sampai 7 individu. Penelitian
ini menunjukkan, sebanyak 43.75% tarsius hidup secara berkelompok dengan
komposisi dua indivdu/kelompok dan sisanya sebanyak 56.25% merupakan tarsius
dengan komposisi 3-5 individu. Kelompok tarsius dengan jumlah 2
individu/kelompok pada umumnya merupakan pasangan muda dan belum memiliki
anakan sedangkan kelompok dengan jumlah lebih dari 3 individu/kelompok
merupakan kelompok yang terdiri dari jantan, betina, dan anakan.

Gambar 9 Tarsius yang ditemukan di Hutan Lambusango.

15
Penemuan tarsius dengan jumlah 7 individu/kelompok merupakan hal yang
sangat jarang ditemukan di lapangan. Pada umumnya, jumlah individu tarsius
dalam satu sarang adalah 2-6 individu/kelompok yang terdiri dari jantan dewasa
dan betina dewasa beserta keturunannya (Wirdateti dan Dahruddin 2006; Gursky
2007). Kelompok tarsius yang terdiri dari 7 individu tersebut merupakan komposi
unit sosial yang bersifat multi male-multi female (terdapat lebih dari 1 jantan atau
betina dewasa dalam satu kelompok. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000),
kondisi multi male-multi female pada kelompok tarsius hanya terjadi pada 20%
kelompok saja sedangkan 80% sisanya merupakan kelompok yang bersifat
monogamous (hanya terdapat sepasang jantan dan betina didalam satu kelompok).
Penelitian lain menyebutkan bahwa, tarsius adalah satwa monogami, namun 15 %
dari diantaranya adalah poligini dengan satu orang jantan sebagai alpha-male dan
2 hingga 3 betina dalam masa reproduktif (Gursky 2009).
Ketinggian dan Kemiringan Lereng
Kawasan Hutan Lambusango berada pada ketinggian 50-780 mdpl. Pada
penelitian ini ditemukan bahwa sarang tarsius dapat dijumpai pada ketinggian 108399 mdpl. Penemuan tertinggi adalah pada ketinggian antara 200-300 mdpl dengan
jumlah penemuan sebanyak 29 sarang atau 69.05%. Selain itu 12 sarang ditemukan
dalam rentang 100-200 mdpl dan hanya 1 sarang yang berada di atas ketinggian 300
mdpl (Gambar 10).
Menurut Gursky (2007) kepadatan populasi tarsius tidak dipengaruhi oleh
ketinggian. Disisi lain, setiap jenis spesies tarsius ditemukan berada pada
ketinggian yang berbeda-beda (Brandon et al. 2004; Maryanto dan Yani 2004;
Merker 2006; Merker dan Groves 2006; Shekelle et al. 2008). Perbedaan ketinggian
berpengaruh terhadap produktifitas habitat dan pada primata, termasuk tarsius, hal
ini dapat berpengaruh terhadap beberapa aspek seperti perubahan jenis-jenis
serangga yang berpotensi sebagai pakan, perubahan kualitas pakan dan perubahan
ukuran tubuh. Menurut Grow et al. (2013), Tarsius pumilus yang mendiami dataran
tinggi, Gunung Rore Katimbu, Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah,
memiliki kepadatan yang lebih rendah dan ukuran tubuh yang lebih kecil
dibandingkan dengan Tarsius tarsier yang hidup di dataran rendah. Selain itu, salah
satu bentuk adaptasi primata terhadap efek perubahan ketinggian terhadap
efektifitas perburuan dan kompetisi adalah dengan mengurangi jumlah populasi dan
sebaran. Sehingga, semakin tinggi kompetisi dalam mencari pakan maka jumlah
populasi akan semakin menurun (Byrne et al. 1993). Jenis-jenis primata yang
mengalami penurunan kepadatan populasi pada lokasi yang lebih tinggi diantaranya
adalah Macaca fuscata (Hanya et al. 2004) dan Procolobus gordonorum di Gunung
Udzungwa, Tanzania (Marshall et al. 2005).
Berdasarkan tingkat kelerengan, sarang tarsius ditemukan pada kemiringan
18-75% dengan penemuan tertinggi pada kemiringan >40% yaitu sebanyak 18
sarang. Sedangkan 13 sarang ditemukan pada kemiringan 25-40% dan 1 sarang
teridentifikasi pada kemiringan 15-25% (Gambar 11). Menurut P.32 MENHUTII/2009, kemiringan lereng 15-25% adalah bergelombang, 25-40% kemiringan
curam dan >40% sangat curam. Data ini menunjukkan bahwa, sebagian besar
sarang tarsius teridentifikasi di wilayah yang sangat curam.

16

Gambar 10 Peta Ketinggian Hutan Lambusango.

17

Gambar 11 Peta Kemiringan Lereng di Hutan Lambusango.

18
Keberadaan tarsius di tempat curam dan terjal ini diperkirakan sebagai salah
satu cara tarsius melakukan perlindungan diri terhadap predator dan untuk
memudahkan tarsius dalam menangkap serangga yang dijadikan sebagai pakan.
Qiptiyah dan Setiawan (2012) menyatakan, kemungkinan tarsius banyak ditemukan
pada tempat yang lebih terjal disebabkan perilaku tarsius dalam menghindari predator
atau pemburu dan agar memudahkan untuk menangkap serangga yang terbang atau
hinggap di daun.
Berdasarkan penelitian Amnur (2010) di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung, tarsius ditemukan pada kemiringan lahan rendah kisaran 0-25%.
Lokasi tidur tarsius berada pada kemiringan lahan yang bervariasi dari lokasi landai
dengan kemiringan 4% hingga lokasi terjal dengan kemiringan 80%. Sedangkan
penelitian Wirdateti dan Dahrudin (2008) menunjukkan tarsius di selayar ditemui
di sekitar hutan pantai dengan topografi datar hingga kemiringan 10º dan pada hutan
pegunungan dengan topograi landai hingga kemiringan 20º.

Jarak (meter)

Jarak dari Gangguan
Pada penelitian ini, yang dimaksud dengan gangguan adalah gangguan
antopogonik seperti jalan raya dan pemukiman. Beberapa sarang tarsius di Hutan
Lambusango ditemukan tidak jauh dari jalan raya. Posisi sarang yang terdekat
berada pada jarak kurang lebih 2 m dari jalan raya, sedangkan posisi sarang yang
paling jauh dari jalan raya adalah pada jarak 8 210 m. Penemuan sarang terbanyak
adalah pada rentang jarak kurang dari 1 000 m dari jalan raya (Gambar 12).
15000
14000
13000
12000
11000
10000
9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0

JJP
JJL

0

3

6

9

12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45

Sarang Tarsius ke-

Gambar 12 Penemuan sarang tarsius berdasarkan jarak dari pemukiman hutan.
(ket: JJP = jarak dari pemukiman; JJL = jarak dari jalan raya) .
Berdasarkan pengukuran jarak dari pemukiman, sarang tarsius ditemukan
dengan rentang jarak 0 – 13 904 m. Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 1
kelompok tarsius yang berada di dalam pemukiman tepatnya di kebun belakang
rumah warga. Jumlah sarang terbanyak ditemukan pada rentang jarak 1 000 – 2 000
m dari pemukiman yaitu sebanyak 16 sarang. Selain itu terdapat 12 sarang yang
ditemukan pada jarak kurang dari 100 m dari pemukiman dan 14 sarang yang
berada pada jarak lebih dari 2 000 m dari pemukiman penduduk.

19
Sampai saat ini belum ada penelitian yang menunjukkan respon tarsius
terhadap manusia secara langsung namun, penelitian mengenai respon tarsius
terhadap gangguan telah beberapa kali dilakukan. Penelitian yang dilaksanakan
oleh Merker et al. (2005) yang dilaksanakan di Sulawesi Tengah membuktikan
bahwa tarsius dapat hidup di habitat dengan tingkat gangguan yang tinggi.
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara jumlah kelompok tarsius yang ditemukan di daerah yang tidak
mengalami gangguan, memiliki gangguan tingkat rendah dan daerah yang memiliki
gangguan yang tinggi. Selain itu, penelitian yang dilakukan Amnur (2010) dan
Mustari et al. (2013) juga menunjukkan bahwa tarsius yang berada di sekitar Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung dapat ditemukan di perkebunan dan wilayah
pemukiman.
Jarak dari batas hutan
Jarak dari batas hutan yang dimaksud adalah jarak dari perbatasan antara
hutan sekunder dengan hutan primer, jarak dari perbatasan antara hutan dengan
perkebunan, dan jarak dari perbatasan hutan dengan jalan. Sarang tarsius ditemukan
dalam jarak 1 – 1 611 m dari batas hutan. Sebanyak 43.75% atau sebanyak 14
sarang tarsius ditemukan dalam rentang jarak 100-500 m dari batas hutan.
Sedangkan 34.38% atau 11 sarang ditemukan pada rentang jarak 500 m dari batas hutan
(Gambar13).

Jarak dari batas hutan (meter)

2400
2100
1800
1500
1200
900
600
300
0
0

3

6

9

12

15

18

21

24

27

30

33

36

39

42

45

Sarang Tarsius ke-

Gambar 13 Penemuan sarang tarsius berdasarkan jarak dari batas hutan.
Berdasarkan gambar terlihat bahwa tarsius banyak ditemukan di pinggir
hutan dan seiring dengan bertambahnya jarak dari pinggir hutan maka frekuensi
penemuan tarsius juga semakin sedikit. Menurut Kremsater dan Bunnel (1999),
daerah pinggir hutan merupakan salah satu mikrohabitat yang unik dengan struktur
vegetasi khas, serta memiliki sumberdaya dan hewan yang berbeda dibandingkan
dengan interior hutan. Selain itu, semakin mendekati tepi hutan, ukuran pohon juga
menjadi lebih pendek serta banyak ditemukan anakan pohon (Kremsater dan
Bunnel 1999). Kanopi yang lebih rendah tersebut dapat menyebabkan peningkatan
biomassa serangga (Malcolm 1994) dan meningkatkan penetrasi cahaya yang

20
bermanfaat untuk navigasi dimalam hari (Kremsater dan Bunnel 1999). Sehingga
daerah tersebut sangat cocok bagi primata nokturnal pemakan serangga seperti
tarsius. Selain tarsius, primata nokturnal pemakan serangga lainnya yang banyak
ditemukan di pinggir hutan adalah Microcebus murinus yang merupakan lemur
endemik di Madagaskar (Lehman et al. 2006).
Tarsius merupakan satwa yang seringkali ditemukan di daerah tepi hutan.
Menurut Gursky (2007), tarsius banyak ditemukan di hutan sekunder dibandingkan
dengan hutan primer. Sinaga et al. (2009) menambahkan, tarsius banyak ditemukan
di luar hutan lindung atau area perbatasan hutan antara hutan primer dengan hutan
sekunder, hutan sekunder dengan perkebunan masyarakat serta areal perladangan
atau pertanian.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa di lokasi penemuan sarang tarsius
seringkali ditemukan spesies burung tepi seperti burung pelanduk (Trichastoma
celebense). Burung pelanduk Sulawesi juga merupakan salah satu burung yang
hidup di tepi hutan dan juga merupakan salah satu burung pemakan serangga
(Coates and Bishop 1997).
Suhu Permukaan
Berdasarkan data yang diambil di setiap titik sarang tarsius, didapatkan
bahwa suhu tarsius di Hutan Lambusango ditemukan pada rentang suhu 27.27329.650 °C dengan rata-rata (28.23±0.52 °C). Sebaran tertinggi berada pada kisaran
suhu 27.5-28.5 °C seperti yang ditampilkan pada Gambar 14. Pada tarsius, pengaruh
perubahan suhu sangat tergantung dengan keberadaan serangga yang dijadikan
pakan dan jenis-jenis tumbuhan di sekitar sarang.
30,0

Suhu Permukaan°C

29,5
29,0
28,5
28,0
27,5
27,0
0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Sarang Tarsius ke-

Gambar 14 Sebaran suhu permukaan di setiap sarang tarsius.
Sebaran suhu permukaan mempengaruhi sebaran jenis tanaman yang bisa
menjadi habitat tarsius. Suhu permukaan di Hutan Lambusango berada pada
rentang 16.28 °C sampai dengan 40.25 °C (Gambar 15). Menurut Clarke et al.
(2010), suhu udara yang umum digunakan oleh mamalia pada hutan hujan tropis
adalah 25 °C. Lafferty (2009) menambahkan bahwa setiap spesies memiliki batas
toleransi suhu terdingin dan suhu terpanas.

21

Gambar 15 Peta sebaran suhu di Hutan Lambusango.

22
NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)
Nilai NDVI di Hutan Lambusango berkisar antara 0.052-0.610 (Gambar 17).
Kisaran nilai NDVI adalah -1 hingga 1. Nilai indeks yang tinggi merupakan tutupan
vegetasi yang memiliki tingkat kesehatan vegetasi yang lebih tinggi atau vegetasi
dengan kanopi yang baik. Nilai indeks 0 merupakan wilayah yang tertutupi awan
dan nilai