Bagaimana Dengan Perbatasan Laut Kita

Bagaimana Dengan Perbatasan Laut Kita?
Batas wilayah negara adalah batas-batas imajiner pada permukaan bumi yang
memisahkan wilayah negara dengan negara lain yang umumnya terdiri dari perbatasan darat,
laut dan udara. Namun beberapa pakar mengatakan bahwa perbatasan bukan hanya sematamata garis imajiner yang memisahkan satu daerah dengan daerah lainnya, tetapi juga sebuah
garis dalam daerah perbatasan terletak batas kedaulatan dengan hak-hak kita sebagai negara
yang harus dilakukan dengan undang-undang sebagai landasan hukum tentang batas wilayah
NKRI yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Oleh karena itu
pengaturan mengenai batas wilayah ini perlu mendapat perhatian untuk menjaga keutuhan
wilayah dan kedaulatan Indonesia. Jelasnya batas wilayah NKRI sangat diperlukan untuk
penegakan hukum dan sebagai wujud penegakan kedaulatan.1
Di dalam hukum internasional, diakui secara politik dan secara hukum bahwa
minimal tiga unsur yang harus dipenuhi untuk berdirinya sebuah negara yang merdeka dan
berdaulat yaitu:1) rakyat; 2) wilayah; 3) pemerintahan; 4) pengakuan dunia internasional (ini
tidak mutlak). Kalau tidak ada pun tidak menyebabkan sebuah negara itu tidak berdiri.
Wilayah sebuah negara itu harus jelas batas-batasnya, ada batas yang bersifat alami, ada
batas-batas yang buatan manusia. Batas yang bersifat alami, misalnya sungai, pohon, danau,
sedangkan yang bersifat buatan manusia, bisa berupa tembok, tugu, termasuk juga perjanjianperjanjian internasional. Batas-batas tersebut kita fungsikan sebagai pagar-pagar yuridis,
pagar-pagar politis berlakunya kedaulatan nasional Indonesia dan yurisdiksi nasional
Indonesia.
Pembangunan serta pengelolaan wilayah perbatasan pada intinya menyangkut dua hal
yakni perbatasan antar negara dalam arti kawasan yang berbatasan langsung antara negara

Indonesia dengan negara tetangga dan perbatasan antar daerah dalam hal ini kawasan/wilayah
yang terletak diantara perbatasan propinsi yang satu dengan Propinsi yang lain dan atau
antara Kabupaten/Kota yang satu dengan Kabupaten/Kota yang lain.
Dihadapkan dengan berbagai permasalahan di wilayah perbatasan sebagaimana telah
dikemukakan di atas, maka untuk mendayagunakan masyarakat di wilayah perbatasan
dirumuskan kebijaksanaan sebagai berikut : “Mewujudkan pendayagunaan potensi wilayah
perbatasan laut, melalui penetapan peraturan perundang-undangan batas antar negara, batas
antar daerah Propinsi/Kabupaten/Kota, mensinergikan pengelolaan wilayah perbatasan dan
mengintensifkan pembinaan masyarakat di perbatasan guna mendukung pembangunan
nasional dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa“.
Wilayah perbatasan mempunyai nilai strategis dalam mendukung keberhasilan
pembangunan nasional yang antara lain ditunjukkan oleh karakteristik kegiatan yang ada
didalamnya yaitu diperlukan adanya keseimbangan antara faktor peningkatan
kesejahteraan (prosperity factor) dan faktor keamanan (security factor).
Dalam
mendayagunakan wilayah perbatasan laut akan dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan

strategis baik pada tataran global, regional maupun nasional yang akan memberikan dampak
terhadap berbagai aspek kebijakan di daerah pada tatanan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara pada aspek-aspek kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial

budaya dan Hankam. Demikian juga dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat
dan Daerah sebagai revisi terhadap Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 telah memberikan
payung hukum yang lebih jelas kepada Pemerintah Daerah untuk mendayagunakan potensi
wilayah di daerah utamanya di daerah perbatasan.
Nilai strategis kawasan perbatasan tersebut menuntut perhatian khusus dalam
penataan ruang kawasan. Dalam penataan ruang nasional, kawasan perbatasan merupakan
kawasan yang diprioritaskan untuk dikembangkan dengan mempertimbangkan. Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang
memiliki 17.504 pulau yang tersebar di lautan dengan luas 75% dari luas teritorial RI.
PERMASALAHAN PERBATASAN LAUT
Isu keamanan laut cukup perlu perhatian serius. Isu keamanan laut tersebut meliputi
ancaman kekerasan (pembajakan , perompakan dan sabotase serta teror obyek vital),
ancaman navigasi (kekurangan dan pencurian sarana bantu navigasi), ancaman sumber daya
(perusakan serta pencemaran laut dan ekosistemnya), dan ancaman kedaulatan dan hukum
(penangkapan ikan secara ilegal, imigran gelap, eksporasi dan ekspoitasi sumber kekayaan
alam secara ilegal, termasuk pengambilan harta karun, penyelundupan barang dan senjata,
serta penyelundupan kayu gelondongan melaui laut). Isu keamanan laut memiliki dimensi
gangguan terhadap hubungan internasional Indonesia .

Berdasarkan data Internasional Maritime Bureau (IMB) Kuala Lumpur tahun 2001,
dari 213 laporan pembajakan dan perompakan yang terjadi di perairan Asia dan kawasan
Samudera Hindia, 91 kasus diantaranya terjadi di perairan Indonesia. Namun data pemerintah
Indonesia yang dikeluarkan oleh TNI-AL, menyatakan bahwa selama tahun 2001 terjadi 61
kasus yang murni dikatagorikan sebagai aksi pembajakan dan perompakan dengan lokasi
tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia. Meskipun terdapat perbedaan angka oleh
kedua institusi tersebut, namun data tersebut menunjukan bahwa keamanan perairan
Indonesia pada dekade terakhir memiliki ancaman dan gangguan keamanan yang cukup
serius dan perlu penangan segera.
Internasional Maritime Organization (IMO) menyatakan bahwa aksi perompakan yang
terjadi diperairan Asia Pasifik, khususnya kawasan Asia Tenggara adalah yang tertinggi di
dunia. Pelaku perompakan tidak hanya menggunakan senjata tradisional, tetapi juga senjata
api dan peralatan berteknologi canggih. Keamanan di laut merupakan masalah yang
kompleks karena upaya untuk mengatasi perompakan di laut tidak dapat dilakukan hanya
oleh satu negara saja, tetapi melibatkan berbagai negara dan organisasi internasional. Karena
itu upaya mewujudkan keamanan di laut memerlukan kerja sama yang erat antarnegara.

Disamping masalah perompakan, penyelundupan manusia melalui perairan kawasan
Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara, juga cenderung meningkat. Australia yang berada di
bagian selatan kawasan Asia Tenggara, merupakan salah satu negara tujuan para imigran

gelap. Hal tersebut menjadikan perairan di kawasan Asia Tenggara, termasuk perairan
Indonesia, menjadi jalur laut menuju benua tersebut. Penyelundupan manusia tidak dapat
dipandang sebagai masalah yang sederhana. Upaya penanggulangannya melibatkan beberapa
negara dengan berbagai kepentingan yang berbeda, terutama keamanan, kemanusiaan,
ekonomi, dan politik. Kegiatan migrasi ilegal berskala besar kerap kali dilakukan oleh
organisasi yang memiliki jaringan internasional. Migrasi ilegal memberikan dampak negatif
terhadap negara tujuan dan negara transit sehingga sering menimbulkan persoalan politik,
sosial ekonomi, dan ketegangan hubungan antarnegara. Disamping migrasi ilegal, kasus
penyelundupan manusia, seperti penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan bayi, atau
wanita ke negara lain melalui wilayah perairan juga marak akhir-akhir ini.
Kegiatan penyelundupan melalui wilayah perairan antar negara yang tidak kalah
maraknya pada dekade terakhir ini di kawasan Asia Tenggara adalah penyelundupan senjata,
amunisi, dan bahan peledak. Kegiatan ilegal tersebut memiliki aspek politik, ekonomi, dan
keamanan antar negara maupun di negara tujuan. Di bidang keamanan, penyelundupan
senjata menimbulkan masalah yang sangat serius karena secara langsung akan mengancam
stabilitas keamanan negara tujuan. Perompakan di laut dan penyelundupan yang diuraikan di
atas merupakan tindakan ilegal lintas negara yang menimbulkan kerugian bagi negara-negara
di kawasan maupun bagi negara-negara yang menggunakan lintas perairan. Tindakan ilegal
lintas negara itu cukup signifikan dan semakin menguatirkan negara-negara di kawasan.
Tindakan ilegal tersebut diorganisasi dengan rapi, sehingga perlu kerjasama antar negara

untuk mengatasinya.
Banyaknya kasus pelanggaran hukum di wilayah perbatasan seperti kegiatan
terorisme, pengambilan sumber daya alam oleh warga negara lain, dan banyaknya nelayan
Indonesia yang ditangkap oleh polisi negara lain karena nelayan Indonesia melewati batas
wilayah negara lain akibat tidak jelasnya batas wilayah negara. Masalah lain adalah
ketidakjelasan siapa yang berwenang dan melakukan koordinasi terhadap masalah-masalah
perbatasan antara Indonesia dan negara-negara tetangga, mulai dari masalah konflik di
wilayah perbatasan antara masyarakat perbatasan, siapa yang bertugas mengawasi wilayah
perbatasan dan pulau-pulau terluar, sampai kepada siapa yang berwenang mengadakan kerja
sama dan perundingan dengan negara-negara tetangga, misalnya tentang penentuan garis
batas kedua negara.

KEBIJAKAN YANG DITEMPUH.
Gagalnya bangsa Indonesia mengklaim pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan
putusan Mahkamah Internasional(International Court Of Justice) No.102 tanggal 17
Desember 2002, telah menyadarkan para pemimpin bangsa, para ilmuwan dan masyarakat
Indonesia akan pentingnya pengawasan dan pengembangan kawasan perbatasan dan pulaupulau terluar.
Untuk mengoptimalkan peran strategis kawasan perbatasan antar Negara, diperlukan upaya
dan keberpihakan yang besar dari pemerintah maupun pemerintah daerah, mengingat
kawasan perbatasan antar negara memiliki permasalahan yang komplek dan

multidimensional. Kawasan perbatasan antar negara merupakan kawasan yang rentan
terhadap infiltrasi idiologi, ekonomi maupun sosial budaya dari negara lain, disisi lain
kawasan perbatasan antar negara di Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan
permasalahan yang sangat mendasar seperti rendahnya kualitas SDM, serta minimnya
infrastruktur terutama perhubungan. Ketertinggalan dengan negara tetangga berbatasan
secara sosial maupun ekonomi dikawatirkan dalam jangka panjang dapat berkembang
menjadi kerawanan yang bersifat politis.
Batas laut Indonesia meliputi batas laut teritorial, batas laut Zona Ekonomi Eksklusif,
dan batas Landas Kontinen. Batas laut tersebut diukur jaraknya ke arah luar dari titik dasar /
titik pangkal yang dihubungkan oleh garis pangkal yang penetapannya tergantung pada
keberadaan pulau-pulau terluar, sampai dengan saat ini terdapat ( Sembilan puluh dua)
pulau. Kawasan perbatasan laut antar negara di Indonesia hingga saat ini sebagian besar
masih merupakan kawasan yang tertinggal dan terisolir. Kebijakan pembangunan dimasa
lampau yang bersifat sentralistik dan lebih menekankan kepada aspek keamanan, telah
menyebabkan rendahnya intensitas pembangunan di kawasan perbatasan antar Negara.
Penetapan wilayah negara melalui penentuan titik-titik perbatasan telah dilakukan Indonesia
secara sepihak melalui Deklarasi Djuanda yang dicetuskan tanggal 13 Desember 1957 oleh
Perdana Menteri Indonesia saat itu, Djuanda Kartawidjaja. Deklarasi Djuanda merupakan
kemajuan besar karena Indonesia mempertegas konsep negara kepulauan (archipelagic state).
Sebelum Deklarasi Djuanda, setiap pulau memiliki laut teritorial sendiri, sehingga antara

pulau-pulau di Indonesia terpisah satu sama lain.
Setelah mengeluarkan Deklarasi Djuanda, Indonesia meratifikasi Konvensi Hukum
Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Convention on the Law of the
Sea/UNCLOS) 1982 yang mengakomodasi konsep negara kepulauan. Konvensi Hukum Laut
PBB 1958 belum mengakomodasi konsep negara kepulauan. Selanjutnya, Indonesia menjadi
peserta Konvensi Penerbangan Sipil Internasional di Chicago 1944 yang mengatur batas
udara. “Kalau pengaturan batas udara tidak bermasalah karena mengikuti batas darat dan laut
teritorial suatu negara tinggal ditarik ke atas.”

Kawasan perbatasan antar negara saat itu masih dianggap sebagai “ halaman belakang
“ wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesuai dengan Undang-undang RI Nomor 6
tahun 1996 dinyatakan ”bahwa bangsa Indonesia telah berhasil memperjuangkan konsepsi
hukum negara kepulauan dengan dimuatnya ketentuan mengenai asas dan rezim hukum
negara kepulauan dalam Bab IV Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut
yang telah diratifikasikan dengan undang-undang nomor 17 tahun 1985 tentang
Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Sedangkan sesuai dengan yang ditetapkan didalam
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia bahwa
praktek negara maupun Konvensi Hukum Laut yang dihasilkan oleh Konperensi Perserikatan
Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut menunjukkan telah diakuinya rezim Zona Ekonomi

Eksklusif selebar 200 (dua ratus) mil laut sebagai bagian dari hukum laut internasional yang
baru. Berdasarkan Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki kedaulatan
atas wilayah perairan seluas 3,2 juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan seluas 2,9 juta
km2 dan laut teritorial seluas 0,3 juta km 2. Selain itu Indonesia juga mempunyai hak eksklusif
untuk memanfaatkan sumber daya kelautan dan berbagai kepentingan terkait seluas 2,7
km2 pada perairan ZEE (sampai dengan 200 mil dari garis pangkal). Pasal 47 Ayat 1
menyatakan bahwa Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 1982, Negara Kepulauan
berhak menarik garis pangkal kepulauan (archipelagic baseline), sebagai dasar pengukuran
wilayah perairannya dari titik-titik terluar dari pulau-pulau terluarnya. Hal ini menunjukkan
nilai strategis pulau-pulau kecil pada kawasan perbatasan negara sebagai ’gatekeeper’
wilayah kedaulatan RI. Dan kawasan perbatasan sebagai ’beranda negara ’ perlu
mendapatkan prioritas penanganan seiring dengan berkembangnya berbagai issues dan
permasalahan yang dihadapi.
Mengacu kepada komitmen pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Jusuf Kalla dengan Kabinet Indonesia Bersatu menyangkut keutuhan kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih memerlukan berbagai upaya diberbagai bidang
penyelenggaraan negara di pemerintahan yang baik dan sinergis. Maka ditetapkan
Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional, dimana perhatian terhadap penyelesaian batas wilayah NKRI dan pembangunan
wilayah pebatasan mendapat prioritas tinggi.


Pemerintah mengeluarkan instrumen kebijakan dan strategi penataan ruang kawasan
perbatasan RTRWN :
1.





Pada saat ini PP No.47/1997 tentang RTRWN tengah direview dengan memperhatikan
aspek-aspek :
Penanganan kawasan perbatasan sebagai ’beranda depan’ negara dengan memadukan
antara pendekatan pertahanan-keamanan dan kesejahteraan masyarakat
Sinergitas pengembangan wilayah kelautan dengan daratan secara saling
menguntungkan melalui pengembangan kawasan andalan laut dan kota-kota pantai
Pengembangan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Penanganan kawasan tertinggal (termasuk pulau-pulau kecil yang terpencil/terisolir)
yang terintegrasi dalam kesatuan pengembangan kawasan andalan dan pusat-pusat
pertumbuhan


2.

Muatan Review RTRWN : (a) struktur ruang wilayah nasional yang merupakan sistem
nasional, (b) pola pemanfaatan ruang wilayah nasional (diantaranya kawasan perbatasan
dan kawasan andalan laut) dan (c) kriteria dan pola pengelolaan.

3.

RTRWN hasil review menetapkan kawasan perbatasan negara yang memenuhi kriteria
penetapan (yaitu : berbatasan langsung dengan negara tetangga, jauh dari pusat
pertumbuhan, mempunyai akses yang lebih tinggi kepada negara tetangga serta
mempunyai aksesibilitas dan hubungan kerjasama dengan negara tetangga) sebagai
kawasan tertentu dengan prinsip pengelolaan sebagai berikut :
 Mendorong perkembangan kawasan agar dapat mengikuti perkembangan kawasan
lainnya di wilayah nasional untuk menghindari disparitas perkembangan.
 Kerjasama dengan negara tetangga untuk memanfaatkan potensi sosial-ekonomi dan
sumber daya lainnya
 Memelihara stabilitas pertahanan dan keamanan negara pada kawasan-kawasan yang
mempunyai nilai strategis pertahanan dan keamanan Negara


4.

Kawasan pulau-pulau kecil yang diidentifikasi sebagai Kawasan Tertentu perbatasan
negara dalam RTRWN hasil review adalah :
Kaltim-Sabah/Sarawak (Kws. Nunukan dsk)
Sangihe -Talaud - Philipina
Maluku - Timor Leste (Kep. Leti-Babar)
Maluku Utara - Palau
NTT dengan Timor Leste/Australia (Kep. Alor NTT)
Riau - Malaysia/ Vietnam/ Singapura (Kep. Natuna dan Kep. Barelang)
NAD - India/Thailand








5.

Selain itu, diidentifikasi pula 37 Kawasan Andalan Laut dalam RTRWN hasil review
yang berimpit dengan kawasan perbatasan seperti Batam dsk, Kep. Natuna dsk,
Cendrawasih dsk, Sorong dsk dan Sawu dsk.

UPAYA-UPAYA MENGATASINYA.
Pelaksanaan dari kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan perbatasan
laut memerlukan komitmen dan kerjasama yang terpadu, dan konsisten dari pemangku
kepentingan baik di pusat maupun daerah. Selain peran pemerintah, peran dunia usaha serta
masyarakat sangat penting bagi suksesnya pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan
antara lain sebagai berikut :
Pemerintah Pusat. Secara umum kewenangan pemerintah pusat di perbatasan laut
menyangkut :
1.
Pengelolaan kelembagaan CIQ (bea cukai, imigrasi dan karantina) di pulau-pulau kecil
terluar;
2.
Penegakan hukum (Kejaksaan, Kehakiman dan POLRI) di wilayah perairan perbatasan
maupun pulau-pulau terluar;
3.
Pertahanan dan Keamanan di wilayah perairan perbatasan maupun pulau-pulau terluar
(TNI);
4.
Kerjasama Luar Negeri.
Sehingga peran yang harus dilakukan pemerintah pusat adalah dalam hal :
1.
Mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara;
2.
Menjamin stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan kemakmuran rakyat;
3.
Menjamin kualitas dan efisiensi pelayanan umum yang setara bagi semua warga
negara;
4.
Menjamin pengadaan teknologi dan SDM yang berkualitas;
5.
Menjamin supremasi hukum nasional.
Pemerintah Provinsi. Kewenangan Provinsi sesuai dengan kedudukannya sebagai Daerah
Otonom adalah :
1.
Menyelengarakan kewenangan pemerintahan otonom yang bersifat lintas
Kabupaten/Kota;
2.
Pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang didekonsentrasi kepada Gubernur.
Sehingga peran yang diharapkan dari Pemerintah Provinsi adalah:
1.
Menjamin terlaksananya pelayanan lintas Kabupaten/Kota di perbatasan laut dalam
satu Provinsi dengan memperhatikan keseimbangan pembangunan dan pelayanan
pemerintah yang lebih efisien;
2.
Penanganan konflik antara Kabupaten/Kota diperbatasan.
Dalam hubungannya
dengan kerjasama antarnegara diperbatasan, pemerintah Provinsi baru terlibat dalam
sidang-sidang yang diselenggarakan oleh Sosek Malindo, yaitu Pemerintah Provinsi
Kalimantan Barat dengan Sarawak (Malaysia) dan Pemerintah Provinsi Kalimantan
Timur dengan Sabah (Malaysia).

Pemerintah Kabupaten/Kota.
Kewenangan dan tanggung jawab Kabupaten/Kota
menyangkut:
1.
Penyusunan rencana pengelolaan, rencana aksi, rencana bisnis dan penataan ruang
kawasan;
2.
Melaksanakan pengawasan dan pengendalian pembangunan;
3.
Peningkatan kemampuan masyarakat dan penguatan kelembagaan;
4.
Melaksanakan kerjasama dengan pihak swasta, baik nasional maupun asing sesuai
ketentuan yang berlaku.
Dengan demikian peran yang harus dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota di perbatasan
adalah :
1.
Menjamin terlaksananya pembangunan ekonomi ditingkat Kabupaten perbatasan laut
secara efisien;
2.
Menjamin terlaksananya pelayanan kesejahteraan masyarakat perbatasan laut secara
berkesinambungan;
3.
Menjamin terlaksananya penataan ruang Kabupaten.
Peran Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan perbatasan yang menyangkut
hubungan bilateral antarnegara belum diatur secara khusus.
Dunia Usaha/Swasta. Besarnya minat investor asing untuk mengelola perbatasan laut harus
mengikuti aturan pengelolaan
pulau-pulau kecil secara lestari yang telah disusun oleh Departemen Kelautan dan Perikanan.
Beberapa peluang investasi di pulau-pulau terluar perbatasan diantaranya:
1.
Investasi dibidang wisata bahari dan pengelolaan lingkungan;
2.
Investasi dibidang industri (bersih) dan perdagangan;
3.
Investasi dibidang jasa transportasi dan keuangan.
Masyarakat. Masyarakat perbatasan laut harus dilibatkan secara aktif dalam pengelolaan
pulau-pulau terluar diperbatasan laut. Walaupun banyak pulau-pulau terluar di perbatasan
yang tidak berpenghuni, tetapi masyarakat di pulau-pulau sekitarnya yang lebih luas dapat
dilibatkan peran sertanya baik dalam hal menjaga keamanan perairan, perlindungan
lingkungan terumbu karang dan hutan bakau, ataupun dalam aktivitas pembangunan ekonomi
lainnya. Peran serta masyarakat perbatasan laut yang berkualitas akan terwujud dengan
program-program peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan peningkatan
pengetahuan, khususnya dibidang kelautan dan perikanan.
Dalam pemanfaatan dan pengelolaan serta pelestarian lingkungan perariran ini telah diatur
dan ditetapkan dalam Undang-Undang yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dimana
penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara diatasnya, dasar laut dan
tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas
pelanggarannya, dilaksanakan dengan ketentuan konvensi Hukum Internasional lainnya, dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.