Model Dinamik Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dan Kontribusinya Terhadap Ekonomi Daerah (Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua)
MODEL DINAMIK PENGATURAN HASIL HUTAN TIDAK SEUMUR DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP EKONOMI DAERAH (Studi Kasus : IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua)
JONNI MARWA
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
(2)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Dinamik Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dan Kontribusi Terhadap Ekonomi Daerah : Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Jonni Marwa E051060171
(3)
ABSTRACT
JONNI MARWA. Dynamic model of uneven-aged forests yield regulation and its contribution toward regional economic : Case Study at Concession of PT.Bina Balantak Utama Sarmi Regency, Papua Province ).Under direction of Herry Purnomo and Dodik Ridho Nurrochmat
This research was aimed to obtain yield regulation method of uneven-aged forest, based on system dynamics model approach. Logged–over natural forest in the concession area of PT. Bina Balantak Utama (PT.BBU), Sarmi Regency of Papua Province was selected for study. Stand structure dynamic model was estimated from re-measured permanent sample plot. It consists of ingrowth, upgrowth and mortality functions. The model was constructed based on species group (dipterocarpaceae, non dipterocarpaceae, and non commercial). Then, prediction data were compared with the actual data. The economic criteria were net present value, benefit cost ratio, internal rate of return and land expectation value. The cutting simulation result shows that cutting cycle has negative correlation with the income government and income of customary communities. By using yield regulation method of uneven-aged forest PT.BBU contributed to 0,56% of local government revenue and 47,91% of customary communities.
(4)
RINGKASAN
JONNI MARWA. Model Dinamik Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dan Kontribusi Terhadap Ekonomi Daerah : Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua. Dibimbing oleh Herry Purnomo dan Dodik Ridho Nurrochmat.
Pengelolaan hutan di Papua (Propinsi Papua) sudah berjalan kurang lebih tiga dekade dan kini mengarah pada pengelolaan hutan bekas tebangan. Dengan tujuan mengejar laju pertumbuhan ekonomi pemerintah telah memberikan ijin hak pengusahaan hutan kepada kurang lebih 54 perusahaan untuk mengelola hutan Papua yang luasnya kira-kira mencapai 31 juta hektar. Sejalan dengan perkembangan pemanfaatan hutan tersebut, pemerintah maupun masyarakat sebagai pemilik sumberdaya hutan belum mendapatkan manfaat yang optimal. Kontribusi yang diberikan sektor kehutanan terhadap ekonomi Papua selama tahun 1993-2003 hanya mencapai 6,7% (Pawitno 2003).
Kebijakan-kebijakan baru pengelolaan hutan diharapkan mampu meningkatkan penerimaan daerah dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan aspek-aspek pengelolaan yang lestari. Salah satu bentuk pengelolaan hutan yang lestari adalah pengaturan hasil hutan melalui penentuan jatah produksi tahunan (AAC, Annual Allowable Cutting) yang ditetapkan pemerintah. Namun penetapan tersebut sering tidak sesuai dengan kondisi spesifik lokal, sehingga menimbulkan pengelolaan hutan yang tidak lestari.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan alternatif pengaturan hasil hutan tidak seumur berdasarkan intensitas penebangan dan siklus tebang yang lestari menggunakan pendekatan sistem dinamik, serta kontribusi metode pengaturan hasil hutan terhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan ekonomi daerah.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah konsesi HPH PT. Bina Balantak Utama (BBU) Kabupaten Sarmi Propinsi Papua, pada Petak Ukur Permanen (PUP) RKT 2000/2001 petak 56 KK. Penelitian dilakukan selama tiga bulan sejak maret sampai dengan mei 2008.
Data yang dikumpulkan meliputi : data pertumbuhan tegakan dan data struktur tegakan hutan primer. Data pertumbuhan tegakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil pengukuran PUP pada Blok RKT 1999/2000 petak 56 KK yang merupakan areal bekas tebangan 2 tahun. Pengukuran dilakukan pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2005. Data struktur tegakan yang diperoleh dari PUP dan hutan primer dipresentasikan dalam beberapa Kelas Diameter (Phn_D) menurut kelompok jenis dengan interval 10 cm ke atas, diameter terkecil (Phn_D15) berukuran 10-20 cm. Pembagian menurut kelompok jenis dilakukan dengan mengelompokan ke dalam jenis dipterocarpaceae, non dipterocarpaceae dan non komersil.
Komponen penyusun dinamika struktu r tegakan terdiri dari jumlah pohon pada berbagai kelas diameter dan kelompok jenis, dengan melibatkan unsur dinamika tegakan seperti alih tumbuh (ingrowth), tambah tumbuh (upgrowth), dan kematian (Mortality). Rumus Alometrik digunakan untuk menghitung biomassa tegakan dalam pembuatan model usaha karbon adalah rumus pendugaan
(5)
2
biomassa secara umum yang dikemukakan oleh Brown.Selain itu dilakukan pula analisisi sistem dengan tahap analisis sistem dan simulasi yang dilakukan adalah sebagai berikut (Purnomo 2004; Grantet al. : Identifikasi isu, tujuan dan batasan, perumusan model konseptual, spesifikasi model kuantitatif serta evaluasi model dan penggunaan model
Kelompok jenis non dipterocarpaceae merupakan penyusun utama struktur tegakan. Untuk mengetahui keterandalan model dilaukan uji Khi Kuadrat (x2) terhadap model dinamika tegakan. Berdasarkan statistik uji chi squarediperoleh nilai2hitung sebesar 12,98, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai2 tabel yaitu sebesar 27,59 pada derajat bebas 17 dan taraf nyata 5%. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan model simulasi dinamika struktur tegakan cukup handal, lebih mendekati kondisi aktual. Selain itu, dilakukan juga analisis sensivitas terhadap perubahan harga, standar kompensasi dan suku bunga untuk melihat perilaku yang diharapkan dengan terlebih dahulu dilakukan simulasi pada kondisibase line.
Secara ekonomi skenario siklus tebang memberikan hasil yang layak untuk pengelola hutan dengan kondisi NPV, LEV, BCR dan IRR positif. Sedangkan skenario perburuan kayu memberi gambaran bahwa telah terjadi over eksploitasi karena ”double AAC” yaitu AAC HPH ditambah dengan AAC perburuan kayu, sehingga tegakan menjadi kolaps. Dengan demikian jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan penebangan ulang di lokasi yang sama semakin panjang. Secara ekonomi penerimaan mayarakat dari kegiatan perburuan kayu pada tahun-tahun awal menunjukan nilai penerimaan yang besar. Penerimaan tersebut didistribusikan kepada pemilik kayu sebesar 20% dan 80% untuk pemilik modal (penebang). Akibat penebangan secara intensif dalam rentang waktu yang terlalu dekat maka, penerimaan masyarakat pemilik kayu dan penebang kayu menjadi berkurang dan mengarah kepada hilangnya sumber pendapatan. Bagi penebang kayu walaupun penerimaannya makin berkurang, tetapi dapat memanfaatkan sumberdaya kayu di tempat lain karena menguasai teknologi dan modal kerja (rent seeking). Skenario REDD memberikan hasil yang terbaik pada siklus tebang 30 tahun. Pendapatan skema REDD adalah selisih pemasukan karbon dengan pengeluaran usaha karbon. Pemasukan usaha karbon didapat dari penjualan jasa penyerapan karbon dalam satuan ton (tC) per hektar
Kontribusi yang diberikan berdasarkan skenario siklus tebang sangatlah kecil hanya 0,56% terhadap penerimaan pemerintah daerah. Penerimaan tersebut berasal dari Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH), dana reboisasi (DR), serta pajak-pajak. Kontribusi tersebut berpeluang untuk terus meningkat karena belum termasuk sub-sektor industri pengolahan hasil hutan primer yang nantinya harus dibuka oleh setiap pemegang IUPHHK di Papua, hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah Papua yang melarang penjualan log ke luar Papua dan mewajibkan setiap HPH/IUPHHK untuk membangun industri primer.
Disisi lain apabila pemerintah dan masyarakat terlibat dalam skema perdagangan karbon melalui REDD, maka kontribusi yang dapat diberikan terhadap rata-rata penerimaan daerah hanya sebesar 0.008% terhadap penerimaan daerah Kabupaten Sarmi. Walaupun kontribusi yang diberikan relatif kecil namun skema yang ditawarkan perlu menjadi pertimbangan.
(6)
Kontribusi pengaturan hasil tidak hanya mengakomodir kepentingan penerimaan pemerintah, tetapi penerimaan masyarakat adat juga disimulasikan dalam penelitian ini. Hasil simulasi menunjukan adanya peningkatan jumlah penerimaan kompensasi pada setiap siklus tebang dengan kontribusi rata-rata sebesar 47,91%. Walaupun jumlah kompensasi yang diterima terlihat cukup besar, namun nilai tersebut relatif kecil apabila didistribusikan kepada penduduk/ kepala keluarga yang berada pada wilayah tersebut yakni Rp 617.848/ KK/tahun atau Rp 51.457/kk/bulan. Pilihan siklus tebang berkaitan erat dengan kontribusi terhadap tambahan penerimaan masyarakat adat dari kompensasi hak ulayat dan penerimaan pemerintah. Walaupun masyarakat dan pemerintah memperoleh nilai tambah akibat aktivitas pemanfaatan kayu, namun bagi perusahan hal tersebut merupakan biaya sehingga mempengaruhi kinerja finansial perusahaan. Hal ini dapat dijadikan instrumen ekonomi sehingga HPH akan lebih termotivasi untuk mengelola hutan yang berada dalam wilayah konsesi secara profesional dan efisien dengan tetap berpegang pada aspek kelestarian produksi, ekonomi dan lingkungan.
Secara keseluruhan dari simulasi yang dibangun hak-hak masyarakat adat terhadap kompensasi dari sumberdaya hutan dapat diakomodir, walaupun masih relatif kecil dari nilai yang seharusnya diterima.
Kata Kunci : Sistem dinamik, pengaturan hasil, hutan tidak seumur, masyarakat adat
(7)
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
(8)
MODEL DINAMIK PENGATURAN HASIL HUTAN TIDAK SEUMUR DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP EKONOMI DAERAH (Studi Kasus: IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua)
JONN MARWA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
(9)
Judul Tesis : Model Dinamik Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dan Kontribusinya Terhadap Ekonomi Daerah (Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua)
Nama : Jonni Marwa
N R P : E051060171
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc
K e t u a A n g g o t a
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Imam Wahyudi, MS Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 7 Januari 2009 Tanggal Lulus:
(10)
PRAKATA
Penulis bersyukur kehadirat Allah Bapa di Surga, atas segala limpahan Hikmat dan Berkat-Nya, sehingga penulisan Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tesis yang berjudul “MODEL DINAMIK PENGATURAN HASIL HUTAN TIDAK SEUMUR DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP EKONOMI DAERAH : Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Adapun lokasi yang menjadi obyek penelitian ini adalah areal Petak Ukur Permanen (PUP) di dalam wilayah konsesi IUPHHK PT. Bina Balantak Utama (PT.BBU) Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua.
Ada beberapa hal yang menjadi latar belakang penelitian ini, antara lain: telah banyak kawasan hutan berubah menjadi areal bekas tebangan dan memiliki karakteristik yang berbeda dengan kondisi awal, sehingga diperlukan pengaturan hasil yang didasarkan atas kondisi hutan saat ini. Disisi lain hutan sebenarnya mengandung manfaat ganda yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun akibat pemanfaatn eksesif telah mengurangi peranannya terhadap perkembangan ekonomi daerah terutama kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan kelestariannya. Karena kompleksitas masalah pengelolaan hutan maka pendekatan sistem dapat digunakan sebagai alat untuk mencari solusi dalam pengaturan hasil dengan tetap mempertahankan kelestarian hutan.
Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis dan selama penyelesaian studi di IPB ini. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih kepada Dr. Herry Purnomo, M.Comp dan Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc selaku pembimbing atas segala bimbingan, masukan dan saran selama penyusunan tesis ini, dan Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS selaku Penguji Luar Komisi yang ikut menyumbangkan pemikirannya untuk penyempurnaan tulisan ini. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada seluruh pimpinan dan staf PT. Bina Balantak Utama yang telah memberi kesempatan, tempat dan waktu untuk melaksanakan penelitian serta tim survey (Pak Steve Sinon dan rekan-rekan) yang telah membantu dalam pengambilan data lapangan.
Terimakasih disampaikan juga kepada pemerintah pusat melalui departemen pendidikan nasional, pemerintah Provinsi Papua, serta pemerintah Kabupaten Sarmi yang telah memberikan beasiswa selama studi. Penghargaan yang tidak terucapkan kepada istri dan anak-anak yang telah mendorong, membantu dan memanjatkan doa serta mendampingi selama studi. Penghargaan juga disampaikan kepada orang tua, kakak dan adik yang telah memberikan dukungan moril maupun materil. Serta Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala doa, dorongan dan motivasinya.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian, sebagai tambahan literatur bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang Ilmu Pengetahuan Kehutanan.
Bogor, Januari 2009 Penulis
(11)
MODEL DINAMIK PENGATURAN HASIL HUTAN TIDAK SEUMUR DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP EKONOMI DAERAH (Studi Kasus : IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua)
JONNI MARWA
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
(12)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Dinamik Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dan Kontribusi Terhadap Ekonomi Daerah : Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Jonni Marwa E051060171
(13)
ABSTRACT
JONNI MARWA. Dynamic model of uneven-aged forests yield regulation and its contribution toward regional economic : Case Study at Concession of PT.Bina Balantak Utama Sarmi Regency, Papua Province ).Under direction of Herry Purnomo and Dodik Ridho Nurrochmat
This research was aimed to obtain yield regulation method of uneven-aged forest, based on system dynamics model approach. Logged–over natural forest in the concession area of PT. Bina Balantak Utama (PT.BBU), Sarmi Regency of Papua Province was selected for study. Stand structure dynamic model was estimated from re-measured permanent sample plot. It consists of ingrowth, upgrowth and mortality functions. The model was constructed based on species group (dipterocarpaceae, non dipterocarpaceae, and non commercial). Then, prediction data were compared with the actual data. The economic criteria were net present value, benefit cost ratio, internal rate of return and land expectation value. The cutting simulation result shows that cutting cycle has negative correlation with the income government and income of customary communities. By using yield regulation method of uneven-aged forest PT.BBU contributed to 0,56% of local government revenue and 47,91% of customary communities.
(14)
RINGKASAN
JONNI MARWA. Model Dinamik Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dan Kontribusi Terhadap Ekonomi Daerah : Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua. Dibimbing oleh Herry Purnomo dan Dodik Ridho Nurrochmat.
Pengelolaan hutan di Papua (Propinsi Papua) sudah berjalan kurang lebih tiga dekade dan kini mengarah pada pengelolaan hutan bekas tebangan. Dengan tujuan mengejar laju pertumbuhan ekonomi pemerintah telah memberikan ijin hak pengusahaan hutan kepada kurang lebih 54 perusahaan untuk mengelola hutan Papua yang luasnya kira-kira mencapai 31 juta hektar. Sejalan dengan perkembangan pemanfaatan hutan tersebut, pemerintah maupun masyarakat sebagai pemilik sumberdaya hutan belum mendapatkan manfaat yang optimal. Kontribusi yang diberikan sektor kehutanan terhadap ekonomi Papua selama tahun 1993-2003 hanya mencapai 6,7% (Pawitno 2003).
Kebijakan-kebijakan baru pengelolaan hutan diharapkan mampu meningkatkan penerimaan daerah dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan aspek-aspek pengelolaan yang lestari. Salah satu bentuk pengelolaan hutan yang lestari adalah pengaturan hasil hutan melalui penentuan jatah produksi tahunan (AAC, Annual Allowable Cutting) yang ditetapkan pemerintah. Namun penetapan tersebut sering tidak sesuai dengan kondisi spesifik lokal, sehingga menimbulkan pengelolaan hutan yang tidak lestari.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan alternatif pengaturan hasil hutan tidak seumur berdasarkan intensitas penebangan dan siklus tebang yang lestari menggunakan pendekatan sistem dinamik, serta kontribusi metode pengaturan hasil hutan terhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan ekonomi daerah.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah konsesi HPH PT. Bina Balantak Utama (BBU) Kabupaten Sarmi Propinsi Papua, pada Petak Ukur Permanen (PUP) RKT 2000/2001 petak 56 KK. Penelitian dilakukan selama tiga bulan sejak maret sampai dengan mei 2008.
Data yang dikumpulkan meliputi : data pertumbuhan tegakan dan data struktur tegakan hutan primer. Data pertumbuhan tegakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil pengukuran PUP pada Blok RKT 1999/2000 petak 56 KK yang merupakan areal bekas tebangan 2 tahun. Pengukuran dilakukan pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2005. Data struktur tegakan yang diperoleh dari PUP dan hutan primer dipresentasikan dalam beberapa Kelas Diameter (Phn_D) menurut kelompok jenis dengan interval 10 cm ke atas, diameter terkecil (Phn_D15) berukuran 10-20 cm. Pembagian menurut kelompok jenis dilakukan dengan mengelompokan ke dalam jenis dipterocarpaceae, non dipterocarpaceae dan non komersil.
Komponen penyusun dinamika struktu r tegakan terdiri dari jumlah pohon pada berbagai kelas diameter dan kelompok jenis, dengan melibatkan unsur dinamika tegakan seperti alih tumbuh (ingrowth), tambah tumbuh (upgrowth), dan kematian (Mortality). Rumus Alometrik digunakan untuk menghitung biomassa tegakan dalam pembuatan model usaha karbon adalah rumus pendugaan
(15)
2
biomassa secara umum yang dikemukakan oleh Brown.Selain itu dilakukan pula analisisi sistem dengan tahap analisis sistem dan simulasi yang dilakukan adalah sebagai berikut (Purnomo 2004; Grantet al. : Identifikasi isu, tujuan dan batasan, perumusan model konseptual, spesifikasi model kuantitatif serta evaluasi model dan penggunaan model
Kelompok jenis non dipterocarpaceae merupakan penyusun utama struktur tegakan. Untuk mengetahui keterandalan model dilaukan uji Khi Kuadrat (x2) terhadap model dinamika tegakan. Berdasarkan statistik uji chi squarediperoleh nilai2hitung sebesar 12,98, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai2 tabel yaitu sebesar 27,59 pada derajat bebas 17 dan taraf nyata 5%. Hal ini membuktikan bahwa penggunaan model simulasi dinamika struktur tegakan cukup handal, lebih mendekati kondisi aktual. Selain itu, dilakukan juga analisis sensivitas terhadap perubahan harga, standar kompensasi dan suku bunga untuk melihat perilaku yang diharapkan dengan terlebih dahulu dilakukan simulasi pada kondisibase line.
Secara ekonomi skenario siklus tebang memberikan hasil yang layak untuk pengelola hutan dengan kondisi NPV, LEV, BCR dan IRR positif. Sedangkan skenario perburuan kayu memberi gambaran bahwa telah terjadi over eksploitasi karena ”double AAC” yaitu AAC HPH ditambah dengan AAC perburuan kayu, sehingga tegakan menjadi kolaps. Dengan demikian jangka waktu yang diperlukan untuk melakukan penebangan ulang di lokasi yang sama semakin panjang. Secara ekonomi penerimaan mayarakat dari kegiatan perburuan kayu pada tahun-tahun awal menunjukan nilai penerimaan yang besar. Penerimaan tersebut didistribusikan kepada pemilik kayu sebesar 20% dan 80% untuk pemilik modal (penebang). Akibat penebangan secara intensif dalam rentang waktu yang terlalu dekat maka, penerimaan masyarakat pemilik kayu dan penebang kayu menjadi berkurang dan mengarah kepada hilangnya sumber pendapatan. Bagi penebang kayu walaupun penerimaannya makin berkurang, tetapi dapat memanfaatkan sumberdaya kayu di tempat lain karena menguasai teknologi dan modal kerja (rent seeking). Skenario REDD memberikan hasil yang terbaik pada siklus tebang 30 tahun. Pendapatan skema REDD adalah selisih pemasukan karbon dengan pengeluaran usaha karbon. Pemasukan usaha karbon didapat dari penjualan jasa penyerapan karbon dalam satuan ton (tC) per hektar
Kontribusi yang diberikan berdasarkan skenario siklus tebang sangatlah kecil hanya 0,56% terhadap penerimaan pemerintah daerah. Penerimaan tersebut berasal dari Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH), dana reboisasi (DR), serta pajak-pajak. Kontribusi tersebut berpeluang untuk terus meningkat karena belum termasuk sub-sektor industri pengolahan hasil hutan primer yang nantinya harus dibuka oleh setiap pemegang IUPHHK di Papua, hal ini terkait dengan kebijakan pemerintah Papua yang melarang penjualan log ke luar Papua dan mewajibkan setiap HPH/IUPHHK untuk membangun industri primer.
Disisi lain apabila pemerintah dan masyarakat terlibat dalam skema perdagangan karbon melalui REDD, maka kontribusi yang dapat diberikan terhadap rata-rata penerimaan daerah hanya sebesar 0.008% terhadap penerimaan daerah Kabupaten Sarmi. Walaupun kontribusi yang diberikan relatif kecil namun skema yang ditawarkan perlu menjadi pertimbangan.
(16)
Kontribusi pengaturan hasil tidak hanya mengakomodir kepentingan penerimaan pemerintah, tetapi penerimaan masyarakat adat juga disimulasikan dalam penelitian ini. Hasil simulasi menunjukan adanya peningkatan jumlah penerimaan kompensasi pada setiap siklus tebang dengan kontribusi rata-rata sebesar 47,91%. Walaupun jumlah kompensasi yang diterima terlihat cukup besar, namun nilai tersebut relatif kecil apabila didistribusikan kepada penduduk/ kepala keluarga yang berada pada wilayah tersebut yakni Rp 617.848/ KK/tahun atau Rp 51.457/kk/bulan. Pilihan siklus tebang berkaitan erat dengan kontribusi terhadap tambahan penerimaan masyarakat adat dari kompensasi hak ulayat dan penerimaan pemerintah. Walaupun masyarakat dan pemerintah memperoleh nilai tambah akibat aktivitas pemanfaatan kayu, namun bagi perusahan hal tersebut merupakan biaya sehingga mempengaruhi kinerja finansial perusahaan. Hal ini dapat dijadikan instrumen ekonomi sehingga HPH akan lebih termotivasi untuk mengelola hutan yang berada dalam wilayah konsesi secara profesional dan efisien dengan tetap berpegang pada aspek kelestarian produksi, ekonomi dan lingkungan.
Secara keseluruhan dari simulasi yang dibangun hak-hak masyarakat adat terhadap kompensasi dari sumberdaya hutan dapat diakomodir, walaupun masih relatif kecil dari nilai yang seharusnya diterima.
Kata Kunci : Sistem dinamik, pengaturan hasil, hutan tidak seumur, masyarakat adat
(17)
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
(18)
MODEL DINAMIK PENGATURAN HASIL HUTAN TIDAK SEUMUR DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP EKONOMI DAERAH (Studi Kasus: IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua)
JONN MARWA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
(19)
Judul Tesis : Model Dinamik Pengaturan Hasil Hutan Tidak Seumur dan Kontribusinya Terhadap Ekonomi Daerah (Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua)
Nama : Jonni Marwa
N R P : E051060171
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc
K e t u a A n g g o t a
Diketahui
Ketua Program Studi
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Imam Wahyudi, MS Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 7 Januari 2009 Tanggal Lulus:
(20)
PRAKATA
Penulis bersyukur kehadirat Allah Bapa di Surga, atas segala limpahan Hikmat dan Berkat-Nya, sehingga penulisan Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tesis yang berjudul “MODEL DINAMIK PENGATURAN HASIL HUTAN TIDAK SEUMUR DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP EKONOMI DAERAH : Studi Kasus IUPHHK PT. Bina Balantak Utama Kabupaten Sarmi, Papua” disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Adapun lokasi yang menjadi obyek penelitian ini adalah areal Petak Ukur Permanen (PUP) di dalam wilayah konsesi IUPHHK PT. Bina Balantak Utama (PT.BBU) Kabupaten Sarmi, Provinsi Papua.
Ada beberapa hal yang menjadi latar belakang penelitian ini, antara lain: telah banyak kawasan hutan berubah menjadi areal bekas tebangan dan memiliki karakteristik yang berbeda dengan kondisi awal, sehingga diperlukan pengaturan hasil yang didasarkan atas kondisi hutan saat ini. Disisi lain hutan sebenarnya mengandung manfaat ganda yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun akibat pemanfaatn eksesif telah mengurangi peranannya terhadap perkembangan ekonomi daerah terutama kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan kelestariannya. Karena kompleksitas masalah pengelolaan hutan maka pendekatan sistem dapat digunakan sebagai alat untuk mencari solusi dalam pengaturan hasil dengan tetap mempertahankan kelestarian hutan.
Banyak pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis dan selama penyelesaian studi di IPB ini. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih kepada Dr. Herry Purnomo, M.Comp dan Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc selaku pembimbing atas segala bimbingan, masukan dan saran selama penyusunan tesis ini, dan Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS selaku Penguji Luar Komisi yang ikut menyumbangkan pemikirannya untuk penyempurnaan tulisan ini. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada seluruh pimpinan dan staf PT. Bina Balantak Utama yang telah memberi kesempatan, tempat dan waktu untuk melaksanakan penelitian serta tim survey (Pak Steve Sinon dan rekan-rekan) yang telah membantu dalam pengambilan data lapangan.
Terimakasih disampaikan juga kepada pemerintah pusat melalui departemen pendidikan nasional, pemerintah Provinsi Papua, serta pemerintah Kabupaten Sarmi yang telah memberikan beasiswa selama studi. Penghargaan yang tidak terucapkan kepada istri dan anak-anak yang telah mendorong, membantu dan memanjatkan doa serta mendampingi selama studi. Penghargaan juga disampaikan kepada orang tua, kakak dan adik yang telah memberikan dukungan moril maupun materil. Serta Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala doa, dorongan dan motivasinya.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian, sebagai tambahan literatur bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang Ilmu Pengetahuan Kehutanan.
Bogor, Januari 2009 Penulis
(21)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jayapura, Provinsi Papua pada tanggal 3 Januari 1974 dari ayah F. Marwa dan ibunda Ketty Sibi. Penulis merupakan putra keempat dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih (sekarang Univesitas Negeri Papua), lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2006 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB).
Pada tahun 2001–sekarang penulis bekerja sebagai staf pegajar di Fakultas Kehutanan Jurusan Manajemen Hutan Universitas Negeri Papua Manokwari. Adapun bidang kajian yang menjadi konsentrasi adalah manajemen hutan, serta ekonomi sumberdaya hutan.
(22)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI………... i
DAFTAR TABEL……… iv
DAFTAR GAMBAR………... v
PENDAHULUAN………. 1
Latar Belakang ………. 1
Perumusan Masalah………..……… 2
Tujuan Penelitian... 3
Manfaat Penelitian……… 4
TINJAUAN PUSTAKA……… 5
Konsep Pengaturan Hasil Hutan ...……… 5 Sejarah Metode Pengaturan Hasil ... 5 Pengaturan Hasil Berdasarkan Model Simulasi ... 6 Tegakan dan Struktur Tegakan... 9 Dinamika Struktur Tegakan... 11 Model Pertumbuhan Hutan Tidak Seumur... 11 Perkembangan Penelitian Tentang Model Dinamika Struktur Tegakan.. 12 Model Pengelolaan Hutan Alam Secara Optimal... 15 Pendugaan Nilai Lahan Hutan ... 16 Pendekatan Nilai Kini Bersih (Net Present Value)... 16 Pendekatan Nilai Harapan Lahan... 17 Internal Rate of Return (IRR)... 18 Benefit Cost Ratio (BCR)... 18 Usaha Perdagangan Karbon pada Hutan Alam Produksi…………... 18 Biomassa... 19 Reduce Emission from Deforestation and Degradation (REDD).... 20 AnalisisFinansial dan Analisisi Ekonomi……….………... 20 Kontribusi Sektor Kehutanan Terhadap Ekonomi Daerah……….... 21 Penerimaan Daerah dari Sektor Kehutanan………... 23 Model dan Simulasi... 25 Pendekatan Sistem Dinamik... 26
(23)
ii
METODOLOGI PENELITIAN……… 29
Kerangka Pemikiran Penelitian………. 29
Lokasi dan Waktu Penelitian ……….. 32
Bahan dan Alat………. 32
Metode Penelitian………. 33
Pengumpulan Data………... 33
Teknik Pengumpulan Data……… 33
Analisis Data………... 34
Analisis Sistem dan Simulasi………... 35 Identifikasi isu, tujuan dan batasan………... 35 Perumusan Model Konseptual dan Spesifikasi Model Kuantitatif... 36 Evaluasi Model... 41 KEADAAN UMUM LOKASI... 42 Letak dan Luas... 42 Biofisik Kawasan... 43 Potensi Ekonomi Sumberdaya Hutan Kabupaten Sarmi... 43 Kondisi Ekonomi Daerah Penelitian... 45 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47 Risalah data Petak Ukur Permanen (PUP)... 47 Deskripsi Struktur Tegakan... 47 Perhitungan Dinamika Tegakan... 48 Pembangunan Model Pengaturan Hasil Hutan... 51 Identifikasi Isu, Tujuan dan Batasan……….. 52 Formulasi Model Konseptual... 54 Merepresentasekan Model Konseptual... 56 Sub Model Dinamika Struktur Tegakan... 56 Sub Model Pengembalian Ekonomi... 61 Sub Model Pengaturan Hasil... 64 Sub Model Penerimaan Masyarakat... 64 Sub Model REDD... 64 Evaluasi Model... 65 Mengevaluasi Kewajaran dan Kelogisan Model... 65
(24)
iii Mengevaluasi Hubungan Perilaku Model dengan Pola yang
diharapakan ... 69 Perubahan Harga... 70 Perubahan Suku Bunga... 72 Perubahan Standar Kompensasi Masyarakat Adat... 74 Penggunaan Model ... 75 Komparasi Skenario... 84 Kontribusi Terhadap Ekonomi Daerah... 85 Implikasi Kebijakan dari Simulasi... 87 KESIMPULAN DAN SARAN... 90 Kesimpulan... 90 Saran... 90
DAFTAR PUSTAKA………... 91
(25)
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Potensi Hutan Kabupaten Sarmi………..…...……….. 43 2. Keberadaan HPH/IUPHHK di Kabupaten Sarmi Tahun 2008... 44 3. Kontribusi relatif sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten
Sarmi atas dasar harga konstan 2000 selama tahun 2001-2006 ( %).. 45 4. Riap rata-rata tegakan masing-masing kelompok jenis... 47 5. Nilaiinratedari masing-masing kelompok jenis... 48 6. Lajuupgrowthpada IUPHHK PT. BBU………... 49 7. Lajumortality pada IUPHHK PT. BBU……… 50 8. Luas Blok RKT, Volume Produksi dan Jumlah Batang selam II
RKL pada IUPHHK PT.BBU Kabupaten Sarmi Papua……… 51 9. Kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan...……… 57 10. Hasil Simulasi pengembalian ekonomi pada berbagai perubahan
harga……… 69
11. Petubahan Suku bunga terhadap NPV, LEV, dan BCR……….. 72 12. Jumlah Pohon Masak Tebang berdasarkan hasil simulasi tanpa
penebangan ……… 75
13. Preskripsi intensitas penebangan, jumlah pohon yang ditebang, volume dan koefisien kelestarian hasil pada simulasi pengaturan hasil………..
77
14. Hasil Simulasi nilai NPV, LEV, BCR dan IRR pada berbagai preskripsi penebangan dengan suku bungan 9%...
78 15. Proyeksi Penerimaan Pemerintah dan masyarakat pada berbagai
siklus tebang……… 79
16. Proyeksi Penerimaan REDD………... 83
17. Komparasi Skenario……… 84
18. Kontribusi Penerimaan Sektor Kehutan dari PT.BBU terhadap rata-rata Penerimaan Daerah Kabupaten Sarmi berdasarkan scenario siklus tebang………
85
19. Kontribusi Penerimaan sektor kehutanan dari PT.BBU terhadap rata-rata penerimaan daerah Kabupaten Sarmi berdasarkan skenario REDD………
85
20. Kontribusi penerimaan kompensasi masyarakat adapt berdasarkan
(26)
v
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Sumber Pendapatan Daerah Berdasarkan UU 33/2004…...……….. 22 2. Perbandingan Metode Pemecahan Masalah...………... 27 3. Kerangka Pemikiran Model Sistem Dinamik Pengelolaan Hutan
Alam ... 30 4. Lokasi Penelitian hutan alam produksi PT. BBU Kabupaten Sarmi,
Papua... 31 5. Diagramcausal loopantar komponen dalam model... 54 6. Hubungan LBD tegakan (BA) terhadap parameter pertumbuhan... 56 7. Representase model dinamik tegakan dipterocarpaceae... 58 8. Representase model dinamik tegakan non dipterocarpaceae... 58 9. Representase model dinamik tegakan non komersil... 59 10. Representase model pengembalian ekonomi... 60 11. Representase model penerimaan masyarakat adat... 63 12. Representase Penerimaan REDD... 64 13. BAU dan Baseline kredit... 65 14. Proyeksi Dinamika Tegakan Jangka Panjang... 66 15. Perbandingan Struktur Tegakan Hasil Pengamatan dengan
Simulasi setelah 5 tahun menurut kelompok jenis : (a) Dipterocarpaceae, (b) Non Diterocarpaceae, (c) Non Komersil...
67
16. Struktur Tegakan Hutan di Areal penelitian………. 68 17. Nilai harapan lahan pada berbagai siklus tebang dan harga……….. 70 18. Produksi Kayu Bulat IUPHHK PT. BBU tahun 2001-2007………. 70 19. Perubahan Suku Bunga terhadap NPV, LEV, dan BCR………… 72 20. Penerimaan Kompensasi pada kondisi terjadi perubahan standar
kompensasi yaitu 0%, 20%, 40% dan 60%... 74 21. Hasil Simulasi 70 tahun kondisi masak tebang jenis
Dipterocarpaceae, non dipterocarpaceae, dan non komrsil………... 74 22. Proyeksi jumlah pohon masak tebang (a), siklus tebang 30 tahun
(b), siklus 35 tahun (c) siklus 40 tahun, (d) Semua siklus………..
76 23. Proyeksi penebangan pohon stiap pohon masak tebang…………... 81 24. Keadaan Penerimaan masyarakat pemilik hak ulayat & penebang... 82
(27)
vi
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1 Komposisi Jenis dalam tegakan di areal hutan primer...……….. 96 2. Komposisi jenis pohon dalam tegakan di areal bekas tebanan….. 98 3. Model Kuantitatif pengaturan hasil hutan tidak seumur…………. 99 4. Representasi Model dinamika tegakan total...…. 112 5. Haisl simulasi nilai NPV, LEV, BCR dan IRR pada berbagai
perubahan suku bunga...
117 6. Representase sub model biaya produksi………... 118
(28)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memberikan manfaat majemuk dalam pelaksanaan pembangunan baik secara ekologi, sosial maupun ekonomi. Manfaat tersebut sangat kuat dalam menunjang pembangunan dan memberikan kontribusi sangat penting dalam menghasilkan devisa bagi negara. Namun peran tersebut kini dihadapkan pada permasalahan pengelolaan hutan yang tidak lestari karena kondisi hutan yang dikelola telah mengalami perubahan. Areal berhutan terutama hutan alam produksi sebagian besar merupakan areal hutan bekas tebangan (logged over area) yang kondisinya terus mengalami degradasi karena aktivitas pembalakan secara eksesif, sehingga diperlukan upaya-upaya pengelolaan hutan secara lestari.
Salah satu prasyarat utama tercapainya pengelolaan hutan lestari pada unit pengelolaan hutan adalah tersedianya rencana pengelolaan hutan jangka panjang, dimana pengaturan hasil merupakan komponen utamanya. Pengaturan hasil melalui penentuan jatah tebang sangat berperan dalam pengelolaan hutan secara lestari dan harus dilakukan secara spesifik karena kondisi dan potensi hutan bervariasi pada berbagai areal. Pengaturan hasil tersebut harus ditetapkan secara lebih cermat dan obyektif melalui mekanisme perencanaan yang baik.
Sementara diketahui bahwa preskrispi kunci perencanaan untuk hutan tidak seumur seperti panjang siklus tebang, intensitas penebangan optimal, limit diameter tebang dan proporsi jumlah batang yang ditebang memiliki fungsi penting dalam pelestarian hutan. Penetapan preskripsi tersebut salah satunya didasarkan pada pertimbangan kondisi dinamika struktur tegakan. Untuk pertimbangan faktor ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukkan potensi tegakan minimal yang harus tersedia, sedangkan untuk pertimbangan ekologis dari struktur tegakan akan diperoleh gambaran mengenai kemampuan regenerasi dari tegakan (Suhendang 1993).
Dinamika struktur tegakan berkaitan erat dengan aspek ekonomi dalam kegiatan produksi kayu karena memiliki korelasi dengan berapa lama modal hendak ditanamkan untuk produksi kayu tersebut (Davis et al. 2001).
(29)
2
Memaksimumkan pendapatan yang didiskonto bermanfaat dalam mencapai keadaan intensitas penebangan dan siklus tebang yang optimal. Strategi ini memerlukan evaluasi finansial sebagai alat untuk menilai kinerja finansial perusahaan.
Bertumpuh pada pertimbangan dinamika tegakan saja tidak cukup untuk menjelaskan ekosistem hutan karena hutan memiliki kompleksitas dan ketidakpastian, dinamis, non linear sehingga diperlukan pengukuran secara terpadu dengan mempertimbangkan aspek-aspek lain seperti ekonomi dan sosial (Lowet al. 1999; Ness et al. 2007). Sifat kompleksitas dapat didekati dengan pendekatan sistem dinamik dengan pembangunan model-model menggunakan perangkat komputer terhadap suatu situasi yang kompleks dan kemudian melakukan eksperimen serta studi perilaku terhadap model tersebut dalam jangka waktu tertentu (Caulfield and Maj 2001 dalamNesset al.2007).
Menurut Vanclay (1988), beberapa model telah dibangun untuk menguji suksesi ekologi pada tipe hutan yang berbeda, tetapi model-model tersebut tidak cocok untuk diterapkan dalam pengaturan hasil. Pendekatan matriks transisi yang dikembangkan Usher pada tahun 1966 juga kecil kontribusinya untuk memahami proses-proses pertumbuhan di dalam tegakan hutan. Dengan model sistem dinamik diharapkan dapat menentukan preskripsi pengaturan hasil pada hutan tidak seumur yang optimal dipandang dari aspek kelestarian produksi, dan aspek sosial ekonomi serta kontribusi yang diberikan oleh metode pengaturan hasil terhadap masyarakat dan penerimaan pemerintah daerah.
Perumusan Masalah
Pengelolaan hutan di Papua (Provinsi Papua) sudah berjalan kurang lebih tiga dekade dan kini mengarah pada pengelolaan hutan bekas tebangan. Dengan tujuan mengejar laju pertumbuhan ekonomi pemerintah telah memberikan ijin hak pengusahaan hutan kepada kurang lebih 54 perusahaan untuk mengelola hutan Papua yang luasnya kira-kira mencapai 31 juta hektar. Sejalan dengan perkembangan pemanfaatan hutan tersebut, pemerintah maupun masyarakat sebagai pemilik sumberdaya hutan belum mendapatkan manfaat yang optimal. Kontribusi yang diberikan sektor kehutanan terhadap ekonomi Papua selama
(30)
3
tahun 1993-2003 hanya mencapai 6,7% (Pawitno 2003).
Kebijakan-kebijakan baru pengelolaan hutan diharapkan mampu meningkatkan penerimaan daerah dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan aspek-aspek pengelolaan yang lestari. Salah satu bentuk pengelolaan hutan yang lestari adalah pengaturan hasil hutan melalui penentuan jatah tebang tahunan (AAC) yang ditetapkan pemerintah.
Penetapan AAC memiliki konsekuensi baik secara ekologis, ekonomi maupun sosial. Metode pengaturan hasil yang selama ini digunakan untuk menetapkan jatah tebang tahunan (AAC) lebih bersifat umum untuk semua kondisi hutan, sehingga hampir dipraktekan pada sebagian besar HPH. Sementara kondisi spesifik setiap HPH tidak selalu sama baik aspek klimatis maupun edafis, sehingga diperlukan pengaturan hasil yang spesifik Salah satu HPH/IUPHHK yang penetapan AACnya berdasarkan metode pengaturan konvensional adalah IUPHHK PT. Bina Balantak Utama(BBU) Kabupaten Sarmi yang mengelola hutan seluas 325.300 ha. Dengan pengetahuan dan teknik silvikultur hutan alam produksi yang berkembang saat ini serta perubahan-perubahan kebijakan pemerintah apakah pengelolaan hutan oleh IUPHHK melalui mekanisme pengaturan hasil yang diterapkan akan memberikan hasil yang lestari? apakah hutan yang dikelola akan mampu memberikan kontribusi optimal dalam menopang perekonomian daerah? dan apakah layak untuk tetap diserahkan kepada pemegang IUPHHK? Jika jawabannya tidak, maka perlu ditemukan alternatif pengaturan hasil yang lestari.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji :
1. Alternatif pengaturan hasil hutan tidak seumur berdasarkan intensitas penebangan dan siklus tebang yang lestari menggunakan pendekatan sistem dinamik
2. Keterkaitan metode pengaturan hasil hutan terhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan ekonomi daerah
(31)
4
Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian dapat dijadikan sebagai masukan bagi para pembuat kebijakan dalam strategi pengelolaan hutan alam produksi secara lestari. Alternatif pengaturan hasil yang dikembangkan dapat dijadikan sebagai teknik pemanfaatan hutan yang optimal dan berkesimbungan sehingga menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi wilayah.
(32)
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pengaturan Hasil dalam Pengelolaan Hutan
Hasil tegakan adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada waktu tertentu atau jumlah kumulatif sampai pada waktu tertentu (Davis & Johnson 1987). Kelestarian hasil tegakan akan dicapai apabila pertumbuhan dan panen berlangsung secara seimbang.
Kelestarian hasil dipakai sebagai prinsip dasar dalam pemanenan dan sangat bergantung pada sistem pengaturan hasil yang digunakan. Pengaturan hasil merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengontrol jumlah, jenis atau volume kayu sehingga dapat digunakan pada pemanenan berikutnya (McLeish & Susanty 2000).
Pengaturan hasil memberikan pengaruh terhadap kelestarian sumberdaya hutan secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Tidak hanya itu saja, kelestarian hasil yang banyak diterapkan di hutan tropis atau subtropis menempatkan pemanfaatan hutan alam untuk jangka panjang apabila dilakukan secara konsisten akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap jasa lingkungan (seperti perlindungan tata air dan tanah) maupun kualitas biologinya (seperti keanekaragaman hayati).
Kelestarian pemanenan berarti jumlah dan tipe produk yang sama (dimensi, kualitas, dan jenis) dapat diambil secara terus menerus dalam periode jangka panjang. Hal ini berarti bahwa pemanenan harus mempertimbangkan resiliensi sumberdaya hutan.
Konsep kelestarian hasil di atas sejalan dengan konsep pengelolaan hutan yang lestari, yang oleh ITTO (1998) didefinisikan sebagai suatu proses dalam mengelola hutan untuk mencapai satu atau beberapa tujuan yang secara jelas telah ditentukan, menyangkut keberlanjutan produksi hasil dan manfaat lain yang diinginkan tanpa menimbulkan kemunduran nilai produktifitas hutan dan efek pada lingkungan fisik dan sosial untuk masa yang akan datang. Ada defenisi lain yang menyatakan bahwa pengaturan hasil adalah penentuan hasil kayu dan produksi lainnya dalam preskripsi rencana pengelolaan, termasuk dimana dan kapan serta bagaimana hasil seharusnya diekstraksi (FAO 1998). Kedua defenisi
(33)
6
di atas secara bersama-sama menyertakan aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya dalam pengelolaan hutan. Masuknya aspek sosial dalam pengelolaan hutan lestari berarti bahwa manusia juga diperhitungkan sebagai bagian dari ekosistem hutan. Secara teoritis kelestarian hasil tidaklah bersifat mutlak, terdapat unsur kenisbian di dalamnya. Sumber kenisbian tersebut salah satunya adalah ukuran yang dipakai untuk menyatakan hasilnya, apakah luas, volume kayu, nilai uang, atau jumlah batang pohon. Tidak ada jaminan bahwa pemakaian salah satu ukuran hasil memberikan tingkat kelestarian yang sama apabila diukur oleh ukuran yang lain. Apabila terdapat tingkat kelestarian yang sama untuk semua ukuran hasil, maka kejadian tersebut haruslah sangat istimewa dan hal tersebut bukan merupakan fenomena alam yang biasa (Suhendang 1995).
Pengaturan Hasil Berdasarkan Model Simulasi
Pengaturan hasil berdasarkan model simulasi tidak dapat dipisahkan dari model pertumbuhan dan hasil. Model simulasi berguna dalam menjelaskan pemahaman dan prediksi. Selain itu model simulasi juga berguna untuk menganalisis data, sintesis dan mengkomunikasikan pengetahuan yang ada, serta mengidentifikasigapdalam pemahaman (Vanclay 2002).
Model simulasi dapat diterapkan terhadap hutan yang bervariasi dari satu ke lain tempat karena kompleksitas ekosistem hutan, sehingga asumsi tentang kehomogenitas tegakan tidak begitu penting. Model ini dapat pula digunakan untuk menguji berbagai rejim manajemen, dimana realisasi hasil tergantung pada keakuratan dan kelengkapan model. Model-model tersebut memerlukan pengetahuan tentang laju pertumbuhan dan dinamika tegakan (Alder 1999 dalam Krisnawaty 2001).
Saat ini telah dikembangkan beberapa perangkat lunak simulasi untuk memprediksi AAC atau pengaturan hasil. Beberapa penelitian tentang metode pengaturan hasil untuk hutan bekas tebangan pada hutan alam produksi telah dilakukan berdasarkan kombinasi tegakan persediaan hutan, riap volume tegakan dan dinamika struktur tegakan hutan serta kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan.
(34)
7
a. Dipterocarp Forest Growth Simulation Model (DIPSIM).
DIPSIM (Dipterocarp Simulation Model) adalah suatu perangkat lunak komputer yang dikembangkan oleh Promosi Sistem Pengelolaan Hutan Lestari (Promotion of Sustainable Forest Management Systems, SFMP) melalui kerjasama antara Pemerintah Indonesia (Menteri Kehutanan dan Perkebunan) dan Jerman (Deutsche Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit, GTZ). DIPSIM adalah model pertumbuhan individu pohon yang dikembangkan dari data pertumbuhan dan hasil melalui pengukuran secara berulang pada PUP di Kalimantan Timur. DIPSIM digunakan untuk menentukan Jatah Tebang Tahunan (JTT) berdasarkan simulasi pertumbuhan hutan (riap diameter pohon, perubahan kualitas pohon,mortality, recruitment)dan simulasi pemanenan (Kleine & Hinrich 1999 dalam Suhendang 2002).
b. Sustainable and Yield Management for Tropical Forests (SYMFOR).
SYMFOR merupakan model pertumbuhan dan hasil yang digunakan untuk menilai dan mengevaluasi sistem manajemen secara ekologi, bukan merupakan model konsesi hutan secara ekonomi. Aplikasi model SYMFOR dapat dipergunakan untuk memprediksi pertumbuhan pohon, hasil tebangan dan tegakan tinggal pada setiap periode sehingga dapat menentukan jangka waktu optimal pemanenan tegakan. Salah satu studi kasus dalam uji coba metode SYMFOR menunjukan bahwa sistem Reduce Impact Logging (RIL) 70 m3/ha dengan pengaturan hasil (yield regulation) memberikan bentuk kelestarian hasil yang lebih baik dibandingkan sistem TPTI dan RIL 8 batang/ha berdasarkan besarnya potensi produksi terutama untuk areal dengan potensi tinggi (Susanty & Sarjono 2001).
c. Yield Simulation System (YSS)
YSS adalah perangkat lunak komputer yang terdiri dari beberapa modul program yang digunakan untuk menduga kondisi tegakan pada waktu yang akan datang melalui teknik simulasi dengan menggunakan matriks transisi. YSS dikembangkan pada tahun 1999 oleh Rombouts.
(35)
8
d. Model Prototipe The Forest Land Oriented Resource Envisioning System (pFLORES)
Model pFLORES merupakan suatu protipe model FLORES yang dibangun oleh Muetzelfeldt dkk pada tahun 1997. Model pFLORES yang dibangun menggunakan software modeling milik AME yang pada dasarnya menjelaskan interaksi antara faktor-faktor sosiologi, ekologi, lingkungan dan ekonomi yang berhubungan dengan penggunaan lahan (Muetzelfeldtet al.1997).
e. Model The Forest Land Oriented Resource Envisioning System (FLORES) Model FLORES merupakan model yang dikembangkan berdasarkan model prototype FLORES selama kegiatan workshop di Bukit Tinggi Sumatera Barat pada tahun 1999. Model ini dibangun selama kurang lebih tiga tahun berdasarkan ide yang dimunculkan Vanclay pada tahun 1995 dengan menggunakan perangkat komputer. Materi-materi yang disajikan dan dikirim dalam kegiatan workshop di Bukit Tinggi tersebut dikompilasi dan dibangun model FLORES. Model FLORES menggunakan perangkat lunak Simile sebagai tool (alat) dalam mengolah data. Model ini dikembangkan dalam rangka memahami interaksi antara manusia dan sumberdaya alam pada hutan-hutan marginal di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, Zimbabwe dan Cameroon (Muetzelfedt dan Massheder 2003).
f. MYRLIN (Methods of Yield Regulations with Limited Information)
Metode ini dibangun oleh Alder bersama rekan-rekannya untuk memprediksi hasil pertumbuhan tegakan pada hutan hujan tropika. Metode ini menjelaskan pola-pola pertambahan diameter pohon untuk spesis tumbuhan pada hutan hujan tropika yang memiliki kesamaan secara luas antara satu wilayah dengan wilayah lainnya berdasarkan asumsi-asumsi umum yang dibuat terhadap hasil pertumbuhan. Model ini menggunakan persamaan untuk memprediksi pertambahan diameter, kematian pohon, dan perubahan lainnya dalam hutan secara statistik. (Alder 2002 diacu dalam Vanclay 2003).
g. The Simile Visual Modeling Environmental
Bahasa program Simile merupakan suatu wadah yang menyediakan kemampuan dan kemudahan relatif untuk membangun model-model dan simulasi
(36)
9
proses-proses biologi dalam hutan, pertumbuhan tegakan, proses pemasaran, termasuk manusia dan sistem-sistem di dalam hutan (Vanclay 2003). Simile pada awalnya dikenal sebagai AME (Agroforestry Modelling Environment) yang telah dibangun oleh peneliti dari Universitas Edinburgh dan selama lima tahun terakhir ini lebih fokus pada permasalahan bidang kehutanan. Bahasa program lain yang sama dengan Simile adalah Vensim, Powersim dan Stella.
Tegakan dan Struktur Tegakan
Buongiorno dan Gilless (1987) mendefinisikan tegakan (stand) sebagai luasan yang cukup kecil ditebang dalam periode waktu yang singkat, misalnya satu tahun. Tegakan dapat berupa seluruh areal hutan atau bagian dari areal hutan yang luas, yang dikelola dengan siklus tebang tertentu. Tegakan dalam perspektif manajemen hutan merupakan suatu hamparan lahan hutan yang secara geografis terpusat dan memiliki ciri-ciri kombinasi dan sifat-sifat vegetasi (komposisi jenis, pola pertumbuhan, kualitas pertumbuhan), sifat-sifat fisik (bentuk lapangan), memiliki luasan minimal tertentu sebagaimana yang diisyaratkan (Suhendang 1993).
Struktur tegakan dapat dibedakan atas struktur tegakan vertikal, struktur tegakan horisontal dan struktur tegakan spasial. Menurut Richard (1964), struktur tegakan vertikal adalah sebaran individu pohon dalam berbagai lapisan tajuk. Sedangkan struktur tegakan horisontal didefenisikan sebagai banyaknya pohon per satuan luas pada setiap kelas diameternya (Meyer et al., 1961 dalam Davis et al. 2001). Struktur tegakan spasial berkaitan dengan keberadaan pohon-pohon dalam suatu ruang tumbuh tertentu yang ditentukan oleh kondisi lingkungan setempat, proses-proses kompetisi, kemampuan pohon untuk tumbuh dan berkembang serta kematian, dan kemungkinan benih untuk berkembang dan memperbaiki kapasitas tegakan. Penelitian ini hanya berfokus pada struktur tegakan horisontal.
Struktur tegakan adalah penyebaran fisik dan temporal dari pohon-pohon dalam tegakan berdasarkan jenis, pola penyebaran vertikal atau horisontal, ukuran pohon atau pohon termasuk volume tajuk, indeks luas daun, batang, penampang lintang batang, umur pohon atau kombinasinya (Oliver dan Larson 1990).
(37)
10
Bentuk struktur tegakan horizontal hutan alam pada umumnya mengikuti persamaan eksponensial negatif atau bentuk huruf J-terbalik, tetapi struktur tegakan hutan alam tidak selamanya mengikuti bentuk huruf J- terbalik (Meyer et al. 1961; Davis & Johnson 1987). Hasil penelitian di hutan alam hujan tropis di Imataca, mendapatkan fakta bahwa struktur tegakan untuk semua jenis mengikuti bentuk huruf J-terbalik, tetapi apabila dibuat untuk setiap jenisnya, maka bentuk struktur tegakannya beragam, sesuai dengan sifat toleransinya terhadap naungan.
Untuk pertimbangan faktor ekonomi, struktur tegakan dapat menunjukkan potensi tegakan minimal yang harus tersedia, sedangkan untuk pertimbangan ekologis dari struktur tegakan akan diperoleh gambaran mengenai kemampuan regenerasi dari tegakan yang bersangkutan (Suhendang 1993).
Struktur tegakan dengan bentuk kurva yang menyerupai bentuk huruf J-terbalik dengan model N = N0e-kD telah banyak ditemukan dalam penelitian-penelitian ekologi hutan. Suhendang (1985) dalam penelitian-penelitian pada hutan alam hujan tropis dataran rendah di Bengkunat, Lampung, menyajikan bentuk struktur tegakan dalam model fungsi kepekatan peubah acak kontinyu, yaitu berdasarkan sebaran gamma, lognormal, eksponensial negatif dan Weibull. Lebih jauh diungkapkan bahwa penggunaan model fungsi kepekatan untuk menyusun struktur tegakan selain keterandalan yang cukup tinggi juga akan lebih memudahkan dalam penggunaannya. Berdasarkan penelitian Suhendang (1995) di Propinsi Riau model struktur tegakan N = N0e -kD dapat diterima oleh semua petak percobaan, dicirikan oleh besarnya koefisien determinasi yang diperoleh (R2berkisar 73% sampai 89%).
Model struktur tegakan N = N0e -kD yang lain juga dibentuk oleh Rosmantika (1997) pada hutan alam bekas tebangan di Stagen Pulau Laut Kalimantan Selatan dengan nilai R2yang diperoleh 66% sampai 99,3%.
Krisnawati (2001) dalam penelitiannya di Kalimantan Tengah mendapatkan model struktur tegakan N = N0e -kD yang mengikuti bentuk J- terbalik dapat diterima oleh semua kelompok jenis pada setiap areal pengamatan dengan besar nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh yaitu berkisar antara 87% sampai 98,8% untuk kelompok jenis Dipterocarpaceae, antara 98,9% sampai 99,6% untuk
(38)
11
kelompok jenis Non Dipterocarpaceae, dan antara 98,6% sampai 99,9% untuk kelompok jenis Non Komersial, sedangkan untuk semua jenis berkisar antara 98,8% sampai 99,6%.
Model Pertumbuhan Hutan Tidak Seumur
Model Pertumbuhan adalah suatu abstraksi dinamika alam dari suatu tegakan hutan yang meliputi pertumbuhan, kematian dan perubahan lain di dalam struktur dan komposisi tegakan (Vanclay 1994). Model pertumbuhan terdiri dari satu seri persamaan matematik yang juga dapat dihubungkan dengan komputer untuk membuat suatu model.
Pertumbuhan mengarah pada pertambahan dimensi satu atau lebih individu dalam suatu tegakan hutan dalam suatu periode waktu tertentu (misal pertumbuhan volume m3ha-1th-1). Hasil tegakan adalah banyaknya dimensi tegakan yang dapat dipanen dan dikeluarkan pada waktu tertentu atau jumlah kumulatif sampai pada waktu tertentu (Davis dan Johnson 1987). Dalam suatu tegakan tidak seumur hasil (yield) adalah total produksi sepanjang periode waktu tertentu sedangkan pertumbuhan adalah hasil produksi. Pertumbuhan dan hasil memiliki hubungan secara matematik, jika hasil adalah y maka pertumbuhan adalah turunannya yaitudy/dt.
Model pertumbuhan empiris dikategorikan atas 3 (tiga) kelompok, yaitu model pertumbuhan per pohon (individual tree models atau single tree models), model kelas tegakan (stand class models), model tegakan keseluruhan (whole stand models) (Daviset al. 2001; Vanclay 1995; Turland 2007).
Model-model individu pohon menggunakan individu pohon sebagai unit dasar dalam penyusunan model. Input minimum yang diperlukan untuk penerapan model ini adalah daftar seluruh jenis pohon yang menyusun tegakan mencakup ukuran diameter, tinggi dan bentuk tajuk. Model yang lainnya juga memperhatikan susunan tegakan mencakup ukuran diameter, tinggi dan bentuk tajuk. Posisi spasial setiap pohon, tinggi pohon dan kelas tajuk. Pendekatan model tegakan keseluruhan menggambarkan kondisi pohon atau tegakan hutan dengan menggunakan sedikit parameter (Davis dan Johnson 1987).
(39)
12
Sedangkan menurut Vanclay (1995), pendekatan model tegakan secara keseluruhan dapat digunakan untuk menggambarkan parameter-parameter tingkat tegakan (langsung per un it area), seperti; tegakan persediaan (pohon/ha), bidang dasar tegakan (m3/ha) dan volume tegakan (m3/ha).
Terdapat empat variabel kunci dalam pemodelan hutan tidak seumur yaitu: laju pertumbuhan tegakan, sebaran diameter dalam setiap tegakan, komposisi jenis dan lamanya siklus tebang (Leuschner 1990). Masalah utama yang muncul dalam penaksiran produktivitas hutan tropika (pertumbuhan dan hasil) melalui model pertumbuhan, yang dikelola berdasarkan tebang pilih seperti TPTI diantaranya adalah : perhitungan kematian (mortality)dan ingrowth, identifikasi jenis dan keakuratan pengukuran ulang setiap individu pohon. Ingrowth menyatakan besarnya tambahan terhadap banyaknya pohon per hektar pada kelas diameter terkecil selama periode waktu tertentu. Upgrowth menyatakan besarnya tambahan terhadap banyaknya pohon per hektar terhadap kelas diameter tertentu yang berasal dari kelas diameter yang lebih kecil selama periode waktu tertentu. Kematian (mortality) menyatakan banyaknya pohon per hektar yang mati pada setiap kelas diameter selama periode tertentu. Banyaknya pohon yang tetap pada setiap kelas diameter selama periode waktu tertentu, diperoleh dari pengurangan angka 1 (jumlah total peluang pertumbuhan) dengan proporsi mortality dan proporsi ingrowth atau upgrowth. Pendekatan yang paling sesuai digunakan dalam pemodelan hutan tidak seumur untuk saat ini adalah model kelas tegakan(stand class models) (Vanclay 1995).
Perkembangan Penelitian tentang Model Dinamika StrukturTegakan Model pertumbuhan matriks digunakan juga untuk melihat pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dari berbagai alternatif penebangan terhadap manfaat ekonomi dan keanekaragaman ekologis pada hutan campuran di Wisconsin, USA (Lu dan Buongiorno 1993). Model pertumbuhan yang dikembangkan sama dengan yang diajukan oleh Buongiorno dan Michie (1980), tetapi dengan melakukan penambahan pengelompokan jenis dan ukuran. Selain itu ingrowth merupakan fungsi dari bidang diameter dan jumlah pohon yang persamaannya sebagai berikut:
(40)
13
IH= 14,650 - 0,020GH- 0.007GL- 0,016GN+ 0.002NH (R2= 0,3%)
IL= 29,596 - 0,039 GH- 0.033 GL-0,043 GN+ 0.010 NH (R2= 5,8%)
IN=9,842 - 0,013 GH- 0,01O GL- 0,043 GN+ 0,012 NH (R3= 4,2%)
dimanaIH,IL, danIN l a j u ingrowthtahunan (pohon/ha) dari pohon yang bernilai
tinggi, bernilai rendah dan non komersial, GH, GL, dan GN adalah total diameter (m/ha), dan NH, NL dan NN adalalah total jumlah pohon (pohon/ha).
Selain itu, Buongiorno et al (1995) melakukan studi tentang pertumbuhan dan manajemen jenis campuran hutan tidak seumur di Jura Prancis serta implikasinya terhadap pengembalian ekonomi dan keanekaragaman pohon. Persamaan ingrowth, upgrowth, dan mortaly berdasarkan pengelompokan jenis (Fir, Spruce, dan Beach). Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan model :
Persamaan ingrowth setiap jenis merupakan fungsi dari jumlah pohon dan terbalik dengan basal area setiap jenis pohon. Persamaan ingrowth sebagai berikut:
m n n
Ikt =dikBj( yijt-hijk)+ek(ykjt–hkjt) +Ck ( R2= 37- 47%)
i=1 j=1 j=1
dimana:
Ikt =ingrowth atau jumlah pohon jenis k per unit area yang masuk ke kelas diameter
terkecil selama interval 5 tahun (pohon/ha) Bj = rata-rata basal area dari kelas diameter ke-j(m2/ha) dikek=Parameter
Ck = konstanta yang diharapkan tidak negatif, dalam artian ingrowth mungkin
terjadi, tidak tergantung keadaan tegakan, dapat terjadi secara bebas dari bentuk struktur tegakan sesuai dengan penyebaran semai di sekitar tegakan.
Upgrowth (bij)merupakan fungsi dari bidang dasar tegakan (stand basal area)
dan ukuran diameter pohon yang dirumuskan sebagai berikut :
m n n
Ikt =dikBj( yijt-hijk)+ek(ykjt–hkjt) +Ck ( R2= 37- 47%)
i=1 j=1 j=1
m n
bij =pi+
q
i B( yijt-hijk)+si Dj ( R2= 1,3-40%) i=1 j=1(41)
14
dimana:
bij =peluangupgrowthjenis ke-i diameter ke-j dalam waktu 5 tahun i = 1,. .. .. ., m ; j =1 ...,n -1 bij=0( i = 1, 2, ...., m)
B = total bidang dasar semua jenis pohon ke-i kelas diameter ke-j (m2/ha)
DJ =rata-rata diameter pada kelas diameter ke-j(cm)
Pi, qi, S i = parameter/koefisien regresi.
Mortality (mij)adalah peluang pohon yang akan mati dari jenis pohon ke-i dan kelas diameter ke-j secara alami selama 5 tahun dirumuskan sebagai berikut :
dimana :ui,vi, wi= parameter/koefisien regresi
Kariukiet al(2006), membangun model kuantitatif growth, recruitment dan mortality pada hutan hujan tropika di North-east South Wales Australia dengan menggunakan regresi non linear multilevel pada berbagai tingkat gangguan. Hasil simulasi menggunakan tool (alat) simile didapatkan panen moderat dengan intensitas 47% basal area (BA) memerlukan waktu 120 tahun untuk menghasilkan produksi lestari, hal ini belum mempertimbangkan integrasinya dengan aspek ekologi. Sedangkan untuk single tree selection (35% BA) menghasilkan gap yang kecil pada kanopi sehingga recruitmen menjadi rendah, terjadi sedikit peningkatan pada pertumbuhan batang, namun memerlukan 180 tahun untuk memulihkan areal tersebut. Pada areal yang terkena eksploitasi secara intensif (50%BA) sebagai akibat dari tingginya kegiatan logging, meningkatkan kerusakan dan memerlukan waktu 180 tahun untuk pulih. Areal yang terkena dampak logging secara intensif (65-80% BA) juga mengurangi kerapatan batang dan menciptakan gap yang semakin besar pada kanopi serta memberikan hasil pertumbuhan dan recruitmen yang besar. Walaupun demikian kondisi ini telah meningkatkan jangka waktu pemulihan kerusakan 180-220 tahun.
Selain itu dengan adanya perangkat lunak pengolahan dan simulasi seperti Stella maka Aswandi (2005), Septiana (2000), Bakri (2000) dan Cahyadi (2001), Labetubun (2004) telah menggunakan software tersebut untuk mensimulasikan model dinamika struktur tegakan. Dengan model dinamika sistem ini, Ingrowth,
m n
mij =ui+
v
i B(yijt-hijk)+ wi Dj ( R2= 7%) i=1 j=1(42)
15
Upgrowth, dan Mortality dibuat non linear terhadap bidang dasar tegakan dengan data hipotesis.
Model Pengelolaan Hutan Alam secara Optimal
Hutan tropis memiliki banyak jenis sehingga sulit mendefenisikan suatu struktur tegakan optimal dan mungkin lebih relevan dengan penelitian panjang siklus pemanenan, diameter minimal untuk pemanenan (Vanclay 1995), jumlah pohon yang dipanen setiap siklus (Mendoza dan Setyarso 1986).
Lu dan Buongiorno (1993) meneliti tentang pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dari alternatif rejim penebangan terhadap pengembalian ekonomi dan keanekaragaman ekologi pada hutan jenis campuran di hutan hardwoods Wisconsin Amerika Serikat. Hasil penelitian yang telah dilakukan menemukan suatu pedoman sederhana penebangan semua pohon yang berdiameter paling kecil (15 cm) setiap tahun, menunjukkan bahwa keanekaragaman hampir 95% dari tegakan alami, dan rente tanah adalah sekitar 70% yang dapat dicapai.
Buongiornoet al (1995) menentukan keanekaragaman ukuran pohon dan pengembalian ekonomi pada tegakan hutan tidak seumur di hutan Northern hardwoods USA. Hasilnya tegakan alami yang tidak diganggu kemungkinan akan mencapai kelestarian keanekaragaman ukuran pohon yang paling tinggi. Biasanya kebijakan pemanenan tegakan yang ekonomis memberikan pengaruh terhadap menurunnya keanekaragaman ukuran pohon sekitar 10-20% tergantung pada panjang siklus tebang.
Penelitian lain tentangtrade-offs antara pendapatan dan keanekaragaman pada pengelolaan hutan campuran dipterocarps dataran rendah Malaysia. Diantara rejim yang diteliti, suatu kompromi yang baik antara ekonomi dan keanekaragaman adalah menebang dengan banyak pohon berdiameter 30 cm dan 40 cm pohon Dipterocarpaceae dan Non Dinterocarpaceae setiap 10 tahun, ini akan memelihara beberapa pohon dalam semua kelas ukuran dan jenis. Pengembalian finansial dapat dibandingkan dengan investasi yang lain di Malaysia dan sama dengan hasil tertinggi di bawah rejim manajemen sekarang, namun keanekaragaman pohon akan jauh lebih tinggi (Ingram dan Buongiorno 1996 dalam Labetubun 2004).
(43)
16
Penelitian lain tentang suatu model pemanenan yang optimal untuk mengevaluasi Sistim Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dengan menggunakan program linear juga telah dilakukan oleh Sianturi. Simulasi dilakukan terhadap 7 macam rotasi tebang, 3 tingkat suku bunga, 3 tigkat kerusakan tegakan dan 6 macam sistem royalti mendapatkan hasil bahwa rotasi tebangan yang optimal ditentukan oleh besarnya suku bunga serta tingkat kerusakan tegakan tinggal. Makin besar suku bunga yang digunakan, makin pendek rotasi yang ditebang sehingga memberikan hasil hutan tertinggi (Sianturi 1993).
Simulasi memberikan lebih banyak fleksibilitas dalam pemodelan (Buongiorno dan Gilless 1987). Suatu fenomena dapat dipresentasikan melalui hubungan-hubungan matematika dari suatu bentuk yang mudah dikerjakan dari suatu sistem yang nyata. Simulasi digunakan sebagai alat yang paling baik dan serbaguna untuk pemecahan masalah dalam pengelolaan hutan. Output dan aplikasi yang dapat dihasilkan dari model tersebut antara lain dinamika tegakan, nilai hutan, siklus tebang terbaik, intensitas penebangan terbaik, jumlah tegakan tinggal yang terbaik, kombinasi optimum dan analisis sensivitas.
Pendugaan Nilai Lahan Hutan
Sumberdaya alam termasuk lahan hutan secara potensial mempunyai alternatif penggunaan atau prinsip opportunity cost, maka dalam perhitungan maksimalisasi perlu dimasukan nilai lahan atau tanah hutan. Keputusan tersebut dari sudut pandang finansial perlu mempertimbangkan hal-hal berikut : (1) waktu pemanenan, yaitu menyangkut volume yang dihasilkan, struktur hutan dan pola output kayu dari waktu ke waktu; (2) prakiraan nilai dari sumber daya hutan sebagai dampak dari keterbatasan dan kebijakan penggelolaan; (3) ketentuan sebaran diameter untuk memaksimalkan produksi, dan (4) rencana produksi dalam kaitannya terhadap pencapaian tujuan (Buongiorno dan Gilless 1987).
Rencana pengelolaan hutan memerlukan analisis finansial sebagai alat untuk menilai kinerja finansial perusahaan. Beberapa kriteria finansial yang sering digunakan adalah : (1) Net Present Value (NPV), (2) Nilai harapan lahan (LEV), (3) Internal rate of return (IRR), (4) Rasio manfaat-biaya (BCR) dan (5)Nilai hutan (FV) ( Zobrist, et al. 2006).
(44)
17
1. Pendekatan Nilai Kini Bersih (Net Present Value)
Ekonomi pasar memiliki prinsip maksimalisasi nilai sekarang (present value) sehingga cenderung memberikan perhatian terhadap penentuan penggunaan lahan. Aktivitas penggunaan lahan cenderung ditujukan untuk meningkatkan NPV. Salah satu bentuk kriteria maksimalisasi nilai sekarang dalam penentuan rotasi dikenal sebagai NPV atau cashflowterdiskonto.
Menurut Klemperer (1996), pengertian dari pendekatan NPV dapat diartikan sebagai kesediaan membayar dari investor untuk suatu asset yang didasari pada pendugaan manfaat, biaya dan suku bunga yang diinginkan sehingga dapat menjadi alat(tools)yang sangat berguna dalam menilai lahan hutan.
Menurut Daviset al(2001), asumsi yang dipakai dalam analisis perhitungan dari sewa lahan hutan untuk tujuan produksi kayu diantaranya adalah: (a) mencakup seluruh biaya pengelolaan uang relevan, biaya administrasi, dan pajak, (b) acuan rata-rata suku bunga yang mencerminkan secara tepat konteks dan harapan dari pemilik lahan dan (c) telah ditetapkannya pedoman pengelolaan lahan untuk masa mendatang dan dengan pedoman yang sama akan digunakan untuk setiap siklus produksi kayu dimasa mendatang.
Biaya dan manfaat dari NPV diduga pada suatu cashflow dari suatu pertambahan dengan menggunakan harga riil sekarang, dan sebelum dan sesudah pengenaan pajak. Dalam hal penyesuaian terhadap rotasi dan juga hasil maksimum, maka maksimalisasi NPV sangat diperlukan melalui suatu pengawasan. Hal tersebut dikarenakan bahwa umur maksimum NPV biasanya lebih kecil dibandingkan dengan maksimum riap rata-rata tahunan (mean annual increment) akan tetapi lebih besar dibandingkan riap rata-rata periodik (periodic annual increment).
2. Pendekatan Nilai Harapan Lahan
Nilai harapan lahan(land expectatioan value)merupakan gambaran jumlah yang harus dibayarkan oleh pembeli untuk lahan yang dipakai sebagai investasi dalam kegiatan kehutanan (Davis et al. 2001). Nilai lahan tersebut sama dengan jumlah nilai tunai (amount of cash) pada tingkat bunga tertentu yang akan menghasilkan pendapatan bersih yang sama dari lahan setiap tahunnya.
(45)
18
Land Expectation Value (LEV) disebut juga formula Faustmann. LEV merupakan kasus khusus dari NPV dimana (1 ) lahan dikeluarkan dari cashflow sehubungan dengan perhitungannya sebagai sisa (2) investasi diawali pada lahan yang kosong, tidak ada tegakan (3) lahan yang secara terus menerus terdapat tegakan yang sama (4) cash flowtegakan tersebut secara pasti sama. Untuk hutan alam, biasanya nilai harapan lahan disebut nilai hutan(forest value).
3. Internal Rate of Return(IRR)
Internal Rate of Return (IRR) sama dengan Rate of Return atau tingkat rendemen atas investasi bersih. IRR adalah tingkat suku bunga yang membuat suatu proyek akan mengembalikan semua investasi selama umur usaha. Suatu usaha dapat dilaksanakan apabila nilai IRR lebih besar atau sama dengan tingkat suku bunga yang berlaku (discount factor), apabila terjadi keadaan sebaliknya, maka usaha tersebut ditolak (tidak layak). IRR juga merupakan nilai diskonto yang membuat NPV dari kegiatan usaha sama dengan nol. Dengan demikian IRR merupakan tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh kegiatan usaha tersebut untuk sumberdaya yang digunakan.
4. Benefit Cost Ratio(BCR)
Benefit Cost Ratio (BCR) adalah perbandingan antara pendapatan dan biaya yang didiskonto. Suatu usaha yang memiliki nilai BCR lebih besar dari satu dikatakan layak (feasible) dan bila terjadi sebaliknya, maka usaha tersebut dikatakan tidak layak (unfeasible).
Nilai IRR dan BCR menentukan tingkat efesiensi suatu usaha dalam penggunaan sumberdaya apakah efisien atau tidak. Sedangkan NPV adalah ukuran absolut yang ditentukan oleh umur usaha, yang berarti NPV pada umumnya akan menjadi besar sesuai dengan besarnya umur usaha. Jika terdapat sejumlah modal atau dana uang pada suku bunga tertentu akan dipilih proyek yang mempunyai nilai NPV, BCR dan IRR terbesar.
Usaha Perdagangan Karbon pada Hutan Alam Produksi
Carbon sink merupakan istilah yang sering dipakai di bidang perubahan iklim. Istilah ini berkaitan dengan fungsi hutan sebagai penyerap (sink) dan penyimpan
(46)
19
(reservoir) karbon. Emisi karbon ini umunya dihasilkan dari kegiatan pembakaran bahan bakar fosil dari sektor industri, transportasi dan rumah tangga (Rusmatoro 2006).
Perdagangan emisi karbon mampu memberikan NPV positif lebih awal dalam rotasi dibandingkan dengan waktu yang dicapai pada pengelolaan hutan sebagai penghasil kayu, menggeser break-even point finansial dan secara umum meningkatkan nilai Internal Rate of Return (IRR). Pengelola hutan dimungkinkan memilih untuk mengelola tegakannya dengan tujuan murni penyerapan karbon atau mengkombinasikan antara menghasilkan kayu dan karbon (Harrisonet al. 2000). Biomassa
Biomassa adalah berat dari bahan tanaman hidup yang terdapat di atas maupun di bawah suatu unit luas permukaan tanah pada suatu titik pada waktu tertentu ( Catur, 2002). Pendugaan biomassa ini sangat diperlukan, khususnya pada hutan-hutan di daerah tropis karena berpengaruh besar dalam siklus karbon. Bila ditinjau dari sisi manajemen hutan, biomassa hutan sangat penting karena keseluruhan operasional pengelolaan hutan sangat dipengaruhi oleh potensi hutan melalui penentuan biomassa. Hutan-hutan tersebut mempunyai potensi yang besar dalam pengurangan kadar CO2 melalui konservasi dan manajemen tegakan hutan. Biomassa dapat memberikan informasi mengenai nutrisi dan kandungan karbon suatu tegakan secara keseluruhan.
Reduce Emission from Deforestation and Degradation (REDD)
REDD adalah mekanisme memberi insentif kepada negara-negara pemilik hutan untuk mempertahankan hutan mereka dari deforestasi dan degradasi. Degradasi hutan merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca. Di Indonesia stok hutan berkurang 5% setiap tahun akibat degradasi (Marklund dan Schoene 2006 diacu dalam Mudiyarso et al, 2008). Degradasi di daerah tropis umumnya terjadi karena aktivitas logging, kebakaran hutan dalam skala besar, pengambilan kayu bakar dan hasil hutan non kayu, produksi arang, padang penggembalaan, dan perladangan berpindah (GOFC-GOLD 2008). IPPC (2003) menyebutkan ada lima karbon pool yang digunakan memonitoring deforestasi dan degradasi yaitu
(47)
20
biomassa bagian atas, biomassa bagian bawah, serasah, kayu mati, dan carbon yang berasal dari tanah.
Provinsi Papua mendedikasikan setengah dari total luas hutan produksinya untuk kepentingan mereduksi emisi karbon atau Reduction Emission from Deforestation in Developing Country. Seperempat dari luas hutan konversi Papua juga akan diperuntukkan bagi kepentingan Mekanisme Pembangunan Ramah Lingkungan atauClean Development Mechanism(CDM).
Komitmen pemerintah Papua dalam Konvensi Perubahan Iklim di Bali tahun 2007 menyediakan 15% (3.285.217 ha) dari total luas hutan produksi bagi kegiatan perdagangan karbon merupakan upaya yang cukup strategis dilihat dari kepentingan politik, namun dari sisi ekonomi dan sosial budaya hal tersebut belum memberikan jaminan yang pasti. Setiap 1 juta ha hutan produksi konversi yang diputuskan untuk tetap dipertahankan sebagai hutan alam (infact forest) dan diikutsertakan dalam program carbon trade melalui pendekatan pencegahan deforestasi (avoided deforestation), bisa menghasilkan penerimaan tunai sampai mencapai kurang lebih Rp 3 triliun (Suebu 2007). Apabila penerimaan ini diberikan kepada kurang lebih 2 juta penduduk Papua, maka setiap orang memiliki penerimaan cash sebesar Rp 1.500.000,- atau Rp 375.000,- per orang untuk hutan seluas 15% dari luasan hutan Papua untuk kepentingan tersebut.
Analisis Finansial dan Analisis Ekonomi
Tujuan dari analisis suatu usaha adalah untuk memperbaiki penilaian investasi akibat keterbatasan sumberdaya, sehingga perlu dilakukan pemilihan terhadap berbagai macam usaha. Kesalahan dalam melakukan penilaian berakibat pada pengorbanan sumber-sumber yang langka oleh karena itu sebelum usaha dilaksanakan perlu diadakan perhitungan percobaan untuk mengetahui hasil dan kemungkinan memilih alternatif lain dengan cara menghitung biaya dan manfaat yang dapat diharapkan dari masing-masing usaha (Kadariah 1986).
Analisis finansial dan analisis ekonomi merupakan dua alternatif yang dapat dipergunakan dalam evaluasi usaha. Analisis finansial atau analisis privat ditujukan untuk menghitung manfaat dan biaya usaha dari sudut pandang individu-individu atau swasta sebagai pihak yang berkepentingan dalam proyek. Analisis ekonomi atau
(48)
21
sosial ditujukan untuk menghitung manfaat dan biaya proyek dari sudut pandang pemerintah atau masyarakat secara keseluruhan sebagai pihak yang berkepentingan dalam usaha tersebut (McLeish, et al. 2002).
Menurut Gittinger (1986), pada dasarnya perhitungan dalam analisis finansial dan ekonomi berbeda dalam 4 (empat) hal yaitu :
1. Harga
Dalam analisis finansial harga yang digunakan adalah harga pasar. Harga ini telah memperhitungkan pajak dan subsidi, akan tetapi dalam analisis ekonomi harga yang dipergunakan adalah harga yang mencerminkan secara tepat nilai-nilai sosial ekonomi. Harga yang sudah disesuaikan ini disebut harga bayangan (shadow price) atau harga buku (accounting price) yang merupakanopportunity cost.
2. Pajak dan Subsidi
Dalam analisis ekonomi pajak dan subsidi digunakan sebagai pembayaran transfer. Pendapatan baru timbul oleh suatu usaha termasuk pajak-pajak yang ditanggung selama proses produksi dan pajak penjualan yang dibayar oleh pembeli pada waktu membeli produk hasil usaha. Pajak tersebut merupakan bagian dari manfaat usaha secara keseluruhan. Sebaliknya, subsidi dari pemerintah kepada usaha merupakan biaya masyarakat, karena subsidi menjadi pengeluaran dari sumberdaya sehingga perekonomian harus melakukan pengeluaran untuk menjalankan proyek. Dalam analisis finansial pajak dianggap sebagai biaya dan subsidi dianggap sebagai hasil (return).
3. Bunga
Bunga terhadap modal dalam analisis ekonomi tidak dipisahkan dan dikurangkan dari hasil bruto (gross return), karena modal merupakan bagian dari hasil bruto (total return) terhadap modal yang tersedia untuk masyarakat secara keseluruhan dan sebagai hasil keseluruhan. Bunga merupakan hal yang diperkirakan dalam analisis ekonomi. Dalam analisis finansial bunga dibedakan menjadi bunga yang dibayarkan kepada orang-orang luar dan bunga atas modal sendiri. Bunga yang dibayarkan kepada orang-orang yang meminjamkan uangnya pada kegiatan usaha dianggapcost. Bunga atas modal sendiri tidak dianggap sebagai biaya karena bunga merupakan bagian dari finansialreturn yang diterima.
(49)
22
4. Manfaat dan Biaya Usaha
Dalam hubungan dengan usaha segala sesuatu yang menambah pendapatan nasional atau menambah persediaan barang-barang konsumsi baik secara langsung maupun tidak langsung digolongkan sebagai manfaat usaha. Sebaliknya segala sesuatu yang berhubungan dengan pengurangan barang-barang konsumsi baik secara langsung maupun tidak langsung digolongkan sebagai biaya proyek.
Kontribusi Sektor Kehutanan terhadap Ekonomi Daerah
Dari berbagai indikator ekonomi pendapatan daerah merupakan salah satu indikator penting yang sering kali dirancukan pengertiannya dengan pendapatan masyarakat. Pendapatan daerah dalam nomenklatur pembangunan di Indonesia mencerminkan pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah (Gambar 1).
Pendapatan daerah di Indonesia bersumber dari : Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan Pembangunan, Pinjaman Daerah, Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah lainnya, Hibah, Dana Darurat, dan lain-lain.
Berdasarkan Gambar 1 dapat dipahami bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi belum merupakan jaminan tingginya pendapatan masyarakat di suatu daerah. Namun demikian tingginya pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi sumberdaya yang sangat penting bagi pemerintah daerah di dalam pengembangan wilayah termasuk peningkatan pendapatan masyarakat (Rustiadiet al, 2005).
Walaupun demikian pendapatan asli daerah jarang digunakan oleh suatu daerah bahkan negara sebagai ukuran produktivitas wilayah. Pada umumnya yang digunakan sebagai tolak ukur pembangunan daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau Gross Domestic Regional Product (GDRP), karena ukuran ini yang paling operasional dan diterima secara universal oleh semua negara. Besarnya PDRB suatu wilayah yang diperoleh pada akhirnya akan berpotensi menjadi pendapatan daerah. PDRB merupakan total nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu daerah yang telah dihilangkan unsur-unsur intermediate-cost dalam kurun waktu tertentu.
(50)
23
Gambar 1. Sumber Pendapatan Daerah Berdasarkan UU 33/2004 Penerimaan Daerah dari Sektor Kehutanan
Secara operasional kegiatan pengusahaan hutan atau pemanfaatan hutan diatur dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007 jo PP 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunanan Rencana Pemanfaatan Hutan. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut, terdapat 6 macam pungutan yang dikenakan kepada pengusaha:
Sumber-Sumber Penerimaan Daerah
Pendapatan Asli
Daerah (PAD) Dana Perimbangan Pinjaman daerah
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Lainnya yang dipisahkan Lain-lain Hibah, Dana Darurat, Penerimaan Lainnya Pajak Retribusi Keuntungan perusda Pengelolaan Aset Daerah Lain-lain D an a B ag i H as il D an a A lo k as i U m u m D an a A lo k as i K h u su s D al am N eg er i L u ar N eg er i B ag ia n L ab a D iv id en P en ju al an S ah am
Pajak Bumi dan Bangunan BPHTB Hasil hutan, tambang umum, perikanan Minyak Bumi Gas Alam
Kebutuhan di luar alokasi umum
Prioritas Nasional
Dana Reboisasi
(51)
24
a. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH) b. Dana Reboisasi (DR)
c. Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) d. Dana Jaminan Kinerja (DJK)
e. Dana Investasi Untuk Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan, serta Penyuluhan Kehutanan.
f. Dana Investasi Pelestarian Hutan (DIPH)
Namun demikian pada saat ini yang sudah berjalan karena sudah ada aturan pelaksanaannya hanyalah tiga jenis pungutan yaitu IHPH/IIUPH, DR dan PSDH/IHH. Sedangkan untuk DJK, DIPH , dan Dana Investasi Untuk Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan Latihan, serta Penyuluhan Kehutanan sama sekali belum diatur.
1. Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH/IUPHH)
Iuran Hak Pengusahaan Hutan (licence fee) merupakan iuran yang harus dibayar oleh pemegang HPH. Pungutan ini dikenakan hanya sekali pada saat penetapan konsesi. Dasar hukum pungutan ini adalah PP Nomor 22 Tahun 1967 perubahannya dengan PP Nomor 21 Tahun 1980.
Selain itu, tertuang juga dalam beberapa surat keputusan menteri sebagai berikut : SK Menteri Pertanian Nomor 415/Kpts/um/7/1979, SK Menhut Nomor 479/Kpts-II/1992, serta SK Dirjen PH Nomor 403/KPts/IV-TPHH/1989.
2. Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH)
PSDH adalah nilai hasil hutan yang menjadi bagian pemerintah sebagai pemilik sumberdaya. Nilai ini ditentukan harga jual dan jumlah/volume hasil hutan yang dijual. Iuran PSDH ditetapkan berdasarkan Surat Edaran Dirjen BPK Nomor 02/VI-BIKPHH/2005, penetapan harga patokan PSDH berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 436/MPP/Kep/7/2004, sedangkan tarif PSDH berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 1999. Petunjuk teknis tentang tata cara pengenaan, pemungutan, pembayaran, dan penyetoran PSDH diatur dengan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 124/Kpts-II/2003.
(1)
PBB = StnPBB
Penerimaan_perusahaan = Rev_ND+Rev_D Pengeluaran_DR = 368113
Pengeluaran_PPh =
IF(TIME=3)AND((Penerimaan_perusahaan- Tot_Biaya_PHH-Biaya_tahunan)>=1)THEN(PPh*(Penerimaan_perusahaan-Tot_Biaya_PHH-Biaya_tahunan))ELSE(0)
Pengeluaran_PSDH = 123651 PPh =
IF(Penerimaan_perusahaan-Tot_Biaya_PHH<=1000000)THEN(0.15)ELSE
IF(10000000<Penerimaan_perusahaan-Tot_Biaya_PHH<50000000)THEN(0.25)ELSE IF(Penerimaan_perusahaan-Tot_Biaya_PHH>=50000000)THEN(0.35)ELSE(0.35)
Rev_D = Harga_D*Vol_D Rev_ND = Harga_ND*Vol_ND Siklus = STOPTIME-30
StnIHPH = 1500*Areal_produktif StnPBB = 1600*Areal_produktif Tahun_berjalan = TIME
Vol_D = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*(((.545+0.645)/2)^2))*Masak_tebDip Vol_ND = (0.8*0.75*0.25*3.14*25*(((0.545+0.645)/2^2)))*Masak_teb_ND F. Sub Model Biaya Produksi
administrasi_dan_umum = 424976 Alat_berat = 8391
Alat_kantor = 3633 Bangunan = 2656 Biaya_BinHut =
ITT+Pemeliharaan_tan_pengayaan+Pengadaan_bibit+Pengayaan+Perapihan Biaya_Pemanenan_Htn = Penebangan_kayu+Penyaradan+TPK
Biaya_Pemasaran = Muat_bongkar+Pengangkutan+Pengapalan Biaya_perencanaan = ITSP+PAK+PWH
Biaya_tahunan =
administrasi_dan_umum+Inven_mess+Pembtn_pemeli_jln_+PMDH+Perlindunga n_htan_sungai+Penyusutan
Inven_mess = 358
ITSP = IF(TIME=1)THEN(15695)ELSE(0) ITT = IF(TIME=5)THEN(4556)ELSE(0) jalan_dan_jembatan = 110398
Kegiatan_Konservasi = 1553
Kewajiban_trhp_lingkungan = Kegiatan_Konservasi+Kompensasi Kompensasi = 95284
Muat_bongkar = 50145
PAK = IF(TIME=0)THEN(15857)ELSE(0) Pembtn_pemeli_jln_ = 21900
Pemeliharaan_tan_pengayaan = IF(TIME=6)THEN(15831)ELSE IF(TIME=7)THEN(15831)ELSE IF(TIME=8)THEN(15831)ELSE(0) Penebangan_kayu = 38344
(2)
Pengangkutan = 76400 Pengapalan = 8892
Pengayaan = IF(TIME=6)THEN(2402)ELSE(0) Penyaradan = 222988
Penyusutan = Alat_berat+Alat_kantor+Bangunan+jalan_dan_jembatan Perapihan = IF(TIME=4)THEN(35865)ELSE(0)
Perlindungan_htan_sungai = 889 PMDH = 2210
PWH = IF(TIME=2)THEN(3828)ELSE(0) Total_Biaya =
Biaya_perencanaan+Biaya_BinHut+Biaya_tahunan+Tot_Biaya_PHH+Kewajiban _tdh_Ngr+Kewajiban_trhp_lingkungan+Biaya_Pemasaran
Tot_Biaya_PHH =
IF(TIME=3)THEN(Biaya_Pemanenan_Htn*V_masak_tebang_Kom)ELSE(0) TPK = 42757
G. Sub Model Penerimaan Masyarakat Adat Basecamp = 0.05*TotKompensasi
Biaya_angkutan = 100000 Biaya_pengolahan = 200000
Investasi = IF(TIME=0)THEN(10000000)ELSE(0) Jalan = 0.05*TotKompensasi
Jumlah_penerima = RANDOM(35,150)
KompKayu_indah = Pers_std_kayu_indah*rataVolkyindah Komp_merbau = Perubahan_Std_merbau*rataVolmerbau
Komp_nonmerbau = Perubahan_std_Nonmerbau*rataVolNonmerbau Loading_point = 0.05*TotKompensasi
Logyard = 0.08*TotKompensasi Material = 0.05*TotKompensasi Pembinaan = 0.07*TotKompensasi
Pemilik_hak_ulayat = 0.65*TotKompensasi Pemilik_kayu =
PULSE(Pendapatant_tebang_milik*Pers_pendapatan_pemilik,1,1) Pendapatant_tebang_milik = Penerimaan-Tot_biaya
Penebang_kayu = PULSE(Persen_pendapatan*Pendapatant_tebang_milik,1,1) Penerimaan = Vol_produksi*Perubahan_harga_kayu
Penerimaan_kompensasi =
Basecamp+Jalan+Loading_point+Material+Logyard+Pembinaan+Pemilik_hak_ul ayat/Jumlah_penerima
Persen_pendapatan = 0.80
Persen_perbhn_standar_kompensasi = 0 Persn_prbhn_hrga = 0
Pers_pendapatan_pemilik = 0.20 Pers_std_kayu_indah =
(Standkayu_indah+((Standkayu_indah*Persen_perbhn_standar_kompensasi)/100) )
Perubahan_harga_kayu = rata_hrga_kayu+((rata_hrga_kayu*Persn_prbhn_hrga)) Perubahan_Std_merbau =
(3)
Stadnkomp_merbau+((Stadnkomp_merbau*Persen_perbhn_standar_kompensasi/ 100))
Perubahan_std_Nonmerbau =
Stadnkomp_nonmerbau+((Stadnkomp_nonmerbau*Persen_perbhn_standar_komp ensasi/100))
rataVolkyindah = 0.01*Vol_produksi rataVolmerbau = 0.60*Vol_produksi rataVolNonmerbau = 0.39*Vol_produksi rata_biaya_pikul = 50000
rata_biaya_tahunan = Biaya_angkutan+Biaya_pengolahan+rata_biaya_pikul rata_hrga_kayu = 1500000
Stadnkomp_merbau = 50000 Stadnkomp_nonmerbau = 10000 Standkayu_indah = 100000
TotKompensasi = KompKayu_indah+Komp_merbau+Komp_nonmerbau Tot_biaya = Investasi+rata_biaya_tahunan
Vol_produksi = (V_masak_tebang_ND+V__Masak_teb_Dip) H. Sub Model REDD
PV_Benefit_C(t) = PV_Benefit_C(t - dt) + (PV_BENFIT_C) * dtINIT PV_Benefit_C = 0
INFLOWS:
PV_BENFIT_C = DISCOUNT__C*Pemasukan_C
PV_COST__C(t) = PV_COST__C(t - dt) + (PV_COST_C) * dtINIT PV_COST__C = 0
INFLOWS:
PV_COST_C = (Biaya_transaksi)*DISCOUNT__C
Biaya_transaksi = 27000*(C_NK+C_tot_ND+C_total_Dip) DISCOUNT__C = 1/(1+Interest)^TIME-STARTTIME Harga_C = 47500
NPV_C = PV_Benefit_C-PV_COST__C
(4)
(5)
Lampiran 5. Hasil simulasi nilai NPV. LEV, BCR dan IRR pada berbagai perubahan suku bunga
Perubahan Suku Bunga (%) Siklus
Tebang Kriteria
10 18 26 34 41
NPV (Rp/ha) LEV
(Rp/ha) 136 047 398 128 568 121 119 067 870 110 268 992
BCR 1.59 1.32 1.15 1.05
20
IRR (%) 0.41
NPV
(Rp/ha) 151 377 129 74 305 938 43 779 942 29 356 741 LEV
(Rp/ha) 142 311 793 138 490 652 133 750 812 131 167 646
BCR 1.83 1.40 1.18 1.06
30
IRR (%) 0.41
NPV
(Rp/ha) 175 802 946 81 159 375 46 426 655 30 632 126 LEV
(Rp/ha) 267 230 952 258 603 324 248 076 821 241 882 757
BCR 1.95 1.42 1.18 1.06
35
IRR (%) 0.41
NPV
(Rp/ha) 198 472 379 86 679 401 48 451 341 31 593 495 LEV
(Rp/ha) 311 672 393 302 998 448 292 839 381 289 319 144
BCR 2.07 1.43 1.18 1.06
40
(6)