Transformasi Dari Desa Kembali Ke Nagari (Studi Kasus Di Kenagarian IV Koto Palembayan, Sumatera Barat)

TRANSFORMASI DARI DESA KEMBALI KE NAGARI
(Studi Kasus Di Kenagarian IV Koto Palembayan,
Sumatera Barat)

Oleh :

NURAINI BUDI ASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Transformasi
Dari Desa Kembali Ke Nagari, Studi Kasus Di Kenagarian IV Koto Palembayan,
Sumatera Barat” adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalan teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor, Juli 2009
Nuraini Budi Astuti
NRP I353070011

ABSTRACT
Nuraini Budi Astuti. Transformation from Desa (Sub-District Government) to
Nagari (Local System of Government) (A Case Study of Kenagarian IV Koto
Palembayan, Province of West Sumatera). Under the Supervision of Lala M.
Kolopaking and Nurmala K. Pandjaitan).
The decentralization process in West Sumatera has become an interesting
case to study after its decision to return to the traditional system of government
called nagari as the lowest structure of government. Based on Law No.22/1999
amended by Law No. 32/2004, the Regional Government of West Sumatera has
introduced Regional Regulation No. 9/2000 as the legal foundation which
regulates the implementation of Nagari government. This study, which was
conducted in Nagari IV Koto Palembayan, Agam Regency, Province of West
Sumatera, was intended to 1) describe and analyze the change from nagari to desa
and its return to nagari system of government, 2) analyze potential conflicts in the
transformation from desa to nagari, 3) provide inputs for a better implementation

of the local system of government. With a qualitative method of research, data
and information were collected by in-depth interviews, observation and a study of
literature as well as written documents. From the research results it was found that
1) the government’s intervention through policies and regulations were the major
factors of the social change, 2) the dynamic transformation from desa to nagari
was accompanied by the competition for dominance or power between
genealogical group and groups of individuals, 3) the transformation from desa to
nagari has created a dilemmatic condition of some potential conflicts. The
policies to synergize modern institutions and traditional ones in practice have not
been easy to implement and become the trigger of conflicts. If such condition is
not well controlled, it could become an inhibiting factor (negative function) in the
implementation of nagari system of government. On the other hand, conflicts
could also strengthen the nagari system (positive function) if they are well
managed through various institutions existing in the community.
Key words: nagari system of government, nagari autonomy, conflicts

RINGKASAN
NURAINI BUDI ASTUTI. Transformasi dari desa Kembali Ke Nagari (studi
Kasus Di Kenagarian IV Koto Palembayan, Sumatera Barat). Dibimbing oleh Dr.
LALA M. KOLOPAKING, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr.

Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Secara tradisional masyarakat Minang hidup berkelompok dalam suatu
ikatan genealogis dan teritorial yang otonom dengan pemerintahan kolektif
berdasarkan hukum adat dalam sebuah sistem pemerintahan yang disebut nagari.
Keberadaan pemerintahan nagari praktis hilang secara de jure dari Sumatera Barat
sejak diberlakukannya UU No. 5 tahun 1979 mengenai bentuk pemerintahan
terendah yaitu desa, kebijakan ini membuat nagari terpecah ke dalam bentuk desa.
Jatuhnya rezim pemerintahan orde baru telah membawa perubahan dari sistem
pemerintah sentralistik menjadi desentralistik. Pemerintah kemudian
mengeluarkan UU No. 22 tahun 1999 yang memberikan peluang untuk
menghidupkan kembali bentuk pemerintahan asli jika masyarakat setempat
menginginkannya. UU No. 22/1999 ini selanjutnya disempurnakan oleh UU No.
32/2004.
Desentralisasi, yang diimplementasikan dengan pemberian otonomi
kepada daerah, memungkinkan adanya proses pemberdayaan masyarakat karena
tersedianya ruang untuk berpartisipasi dan menentukan sendiri model
pembangunan berdasarkan kebutuhan lokal. Penerapan desentralisasi tentu saja
menuntut adanya reorganisasi dari struktur pemerintahan lokal. Hal ini direspon
oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dengan mengelurkan Perda No 9/2000
yang kemudian disempurnakan dengan Perda No. 2/2007. Proses kembali ke

nagari ini dilaksanakan secara bertahap, hingga tahun 2006 telah terbentuk 519
pemerintahan nagari.
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mendeskripsikan dan menganalisa
dinamika perubahan pemerintahan nagari ke pemerintahan desa dan kembali ke
pemerintahan nagari dengan melihat peran yang dimainkan oleh masing-masing
komponen dalam struktur pemerintahan nagari. 2) Menganalisa potensi konflik
akibat transformasi sistem pemerintahan dari desa kembali ke nagari.
Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan di Kenagarian IV
Koto Palembayan, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Dengan
menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini berusaha menggambarkan dan
menganalisa dinamika yang terjadi dalam proses perubahan pemerintahan nagari
ke desa dan kembali kenagari lagi serta potensi konflik yang menyertai perubahan
tersebut.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebelum berubah ke dalam bentuk
pemerintahan desa, nagari telah mengalami intervensi yang menyebabkan struktur
pemerintahan nagari berkali-kali mengalami perombakan. Sejak zaman
kemerdekaan, dalam pemerintahan nagari telah dibentuk lembaga khusus yang
memainkan fungsi legislasi seperti DPN, DPRN dan lain-lain yang bertujuan
untuk mengurangi dominasi Wali Nagari dalam pemerintahan nagari. Pada tahun
1974 pemerintahan nagari kembali hanya memiliki satu kelembagaan yang

menjalankan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif sekaligus.
Selanjutnya berdasarkan UU No. 5/1979 yang mengharuskan
penyeragaman bentuk pemerintahan terendah, nagari kemudian berubah menjadi
desa. Nagari IV Koto Palembayan sendiri terpecah menjadi lima desa.

Pemerintahan desa yang bercorak nasional mengakibatkan institusi-institusi lokal
menjadi terpinggirkan. Pada masa ini kelompok individu menggeser dominasi
kelompok genealogis dalam pemerintahan desa. Seiring dengan bergulirnya
reformasi dan diimplementasikannya kebijakan desentralisasi berdasarkan UU
No. 22/1999, Pemerintah Daerah Sumatera Barat memutuskan untuk kembali
menghidupkan pemerintahan nagari.
Nagari sekarang berbeda dengan nagari yang dulu (sebelum
dikeluarkannya UU No. 5/1979). Pemerintah berusaha untuk memadukan
organisasi modern dengan institusi tradisional dalam pemerintahan nagari saat ini,
artinya ada upaya untuk mensinergikan kebijakan pemerintah dan aksi social
berdasarkan adat istiadat ditingkat nagari. Untuk mewujudkan sineergi tersebut,
pemerintah mengeluarkan berbagai regulasi yang mengatur pembentukan
lembaga-lembaga dalam nagari. Lembaga-lembaga ini diharapkan dapat menjadi
wadah yang menampung partisipasi masyarakat dalam membangun nagari. Dalam
kenyataannya, lembaga-lembaga tersebut justru tidak bekerja optimal, bahkan

saling tumpang tindih.
Sejak Nagari IV Koto Palembayan kembali dihidupkan, pemerintah nagari
masih menghadapi permasalahan dalam menanamkan pemahaman mengenai
bentuk nagari saat ini. Hal ini tidak terlepas dari adanya perbedaan dalam
memaknai implementasi kembali ke nagari. Pada satu sisi terdapat kelompok
genealogis (ninik mamak) yang memandang, bahwa kembali ke nagari sebagai
momentum untuk mengembalikan dominasi ninik mamak dalam nagari. Di sisi
lain, pemerintah telah mengatur dan membatasi kedudukan ninik mamak (yang
tergabung dalam KAN) sebagai lembaga yang memberikan pertimbangan kepada
wali nagari dalam menangani urusan yang berkaitan dengan adat istiadat.
Pada akhirnya, pengakuan kembali nagari sebagai pemerintahan terendah,
justru menempatkan nagari pada kondisi yang dilematis. Nagari menerima
intervensi pemerintah yang menempatkan nagari sebagai bagian dari birokrasi
negara. Di sisi lain proses ini mengurangi otonomi nagari karena membuat nagari
secara substansial berbentuk desa, dan mengurangi ciri utama dari pemerintahan
nagari format lama, atau tradisi masyarakat Minang yaitu “kepemimpinan
kolektif”. Selain itu keinginan pemerintah untuk mensinergikan kelembagaan
lokal dengan organisasi modern, di lapangan justru menimbulkan berbagai
berpotensi konflik. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik, maka akan menjadi
hambatan dalam mewujudkan nagari yang otonom karena konflik dapat

melemahkan pemerintahn nagari (negatif fungsional).
Di sisi lain, jika berbagai potensi konflik yang ada bisa dikelola dengan
baik, justru akan memperkuat pemerintahan nagari (positif fungsional). Hal ini
dapat dicapai jika dalam nagari terdapat wadah yang berfungsi sebagai katup
penyelamat. Berbagai wadah yang ada saat ini seperti, surau, kerapatan adat, rapat
kaum, lembaga Bundo Kandung serta wirid pengajian, sayangnya belum
dimanfaatkan secara optimal. Wadah yang ada itu dapat digunakan sebagai media
konsiliasi antara kelompok-kelompok yang bertikai, sehingga konflik dapat
disalurkan atau diselesaikan dengan cara damai.

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang – undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB


TRANSFORMASI DARI DESA KEMBALI KE
NAGARI
(Studi Kasus Di Kenagarian IV Koto Palembayan, Sumatera
Barat)

NURAINI BUDI ASTUTI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Manuwoto

Judul Penelitian


: Transformasi Dari Desa Kembali Ke Nagari (Studi Kasus
Di Kenagarian IV Koto Palembayan, Sumatera Barat)
: Nuraini Budi Astuti
: I353070011
: Sosiologi Pedesaan

Nama
NRP
Mayor

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.S

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, M.S, D.E.A

Ketua

Anggota


Diketahui,

Koordinator Mayor

Dekan

Sosiologi Pedesaan

Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, M.S, DEA

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,

M.S

Tanggal Ujian

: 15 Juli 2009


Tanggal Lulus

:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
Transformasi Dari desa Kembali Ke Nagari, yan merupakan Studi Kasus Di
Kenagarian IV Koto Palembayan, Sumatera Barat.
Demikianlah tesis ini disusun dengan harapan dapat memberikan
informasi dan gambaran mengenai pelaksanaan desentralisasi dan otonomi di
tingkat nagari. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan guna
perbaikan tesis ini dimasa mendatang. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2009

Nuraini Budi Astuti

TRANSFORMASI DARI DESA KEMBALI KE NAGARI
(Studi Kasus Di Kenagarian IV Koto Palembayan,
Sumatera Barat)

Oleh :

NURAINI BUDI ASTUTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Transformasi
Dari Desa Kembali Ke Nagari, Studi Kasus Di Kenagarian IV Koto Palembayan,
Sumatera Barat” adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalan teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2009
Nuraini Budi Astuti
NRP I353070011

ABSTRACT
Nuraini Budi Astuti. Transformation from Desa (Sub-District Government) to
Nagari (Local System of Government) (A Case Study of Kenagarian IV Koto
Palembayan, Province of West Sumatera). Under the Supervision of Lala M.
Kolopaking and Nurmala K. Pandjaitan).
The decentralization process in West Sumatera has become an interesting
case to study after its decision to return to the traditional system of government
called nagari as the lowest structure of government. Based on Law No.22/1999
amended by Law No. 32/2004, the Regional Government of West Sumatera has
introduced Regional Regulation No. 9/2000 as the legal foundation which
regulates the implementation of Nagari government. This study, which was
conducted in Nagari IV Koto Palembayan, Agam Regency, Province of West
Sumatera, was intended to 1) describe and analyze the change from nagari to desa
and its return to nagari system of government, 2) analyze potential conflicts in the
transformation from desa to nagari, 3) provide inputs for a better implementation
of the local system of government. With a qualitative method of research, data
and information were collected by in-depth interviews, observation and a study of
literature as well as written documents. From the research results it was found that
1) the government’s intervention through policies and regulations were the major
factors of the social change, 2) the dynamic transformation from desa to nagari
was accompanied by the competition for dominance or power between
genealogical group and groups of individuals, 3) the transformation from desa to
nagari has created a dilemmatic condition of some potential conflicts. The
policies to synergize modern institutions and traditional ones in practice have not
been easy to implement and become the trigger of conflicts. If such condition is
not well controlled, it could become an inhibiting factor (negative function) in the
implementation of nagari system of government. On the other hand, conflicts
could also strengthen the nagari system (positive function) if they are well
managed through various institutions existing in the community.
Key words: nagari system of government, nagari autonomy, conflicts

RINGKASAN
NURAINI BUDI ASTUTI. Transformasi dari desa Kembali Ke Nagari (studi
Kasus Di Kenagarian IV Koto Palembayan, Sumatera Barat). Dibimbing oleh Dr.
LALA M. KOLOPAKING, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr.
Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA sebagai Anggota Komisi Pembimbing.
Secara tradisional masyarakat Minang hidup berkelompok dalam suatu
ikatan genealogis dan teritorial yang otonom dengan pemerintahan kolektif
berdasarkan hukum adat dalam sebuah sistem pemerintahan yang disebut nagari.
Keberadaan pemerintahan nagari praktis hilang secara de jure dari Sumatera Barat
sejak diberlakukannya UU No. 5 tahun 1979 mengenai bentuk pemerintahan
terendah yaitu desa, kebijakan ini membuat nagari terpecah ke dalam bentuk desa.
Jatuhnya rezim pemerintahan orde baru telah membawa perubahan dari sistem
pemerintah sentralistik menjadi desentralistik. Pemerintah kemudian
mengeluarkan UU No. 22 tahun 1999 yang memberikan peluang untuk
menghidupkan kembali bentuk pemerintahan asli jika masyarakat setempat
menginginkannya. UU No. 22/1999 ini selanjutnya disempurnakan oleh UU No.
32/2004.
Desentralisasi, yang diimplementasikan dengan pemberian otonomi
kepada daerah, memungkinkan adanya proses pemberdayaan masyarakat karena
tersedianya ruang untuk berpartisipasi dan menentukan sendiri model
pembangunan berdasarkan kebutuhan lokal. Penerapan desentralisasi tentu saja
menuntut adanya reorganisasi dari struktur pemerintahan lokal. Hal ini direspon
oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dengan mengelurkan Perda No 9/2000
yang kemudian disempurnakan dengan Perda No. 2/2007. Proses kembali ke
nagari ini dilaksanakan secara bertahap, hingga tahun 2006 telah terbentuk 519
pemerintahan nagari.
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mendeskripsikan dan menganalisa
dinamika perubahan pemerintahan nagari ke pemerintahan desa dan kembali ke
pemerintahan nagari dengan melihat peran yang dimainkan oleh masing-masing
komponen dalam struktur pemerintahan nagari. 2) Menganalisa potensi konflik
akibat transformasi sistem pemerintahan dari desa kembali ke nagari.
Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan di Kenagarian IV
Koto Palembayan, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Dengan
menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini berusaha menggambarkan dan
menganalisa dinamika yang terjadi dalam proses perubahan pemerintahan nagari
ke desa dan kembali kenagari lagi serta potensi konflik yang menyertai perubahan
tersebut.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebelum berubah ke dalam bentuk
pemerintahan desa, nagari telah mengalami intervensi yang menyebabkan struktur
pemerintahan nagari berkali-kali mengalami perombakan. Sejak zaman
kemerdekaan, dalam pemerintahan nagari telah dibentuk lembaga khusus yang
memainkan fungsi legislasi seperti DPN, DPRN dan lain-lain yang bertujuan
untuk mengurangi dominasi Wali Nagari dalam pemerintahan nagari. Pada tahun
1974 pemerintahan nagari kembali hanya memiliki satu kelembagaan yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif sekaligus.
Selanjutnya berdasarkan UU No. 5/1979 yang mengharuskan
penyeragaman bentuk pemerintahan terendah, nagari kemudian berubah menjadi
desa. Nagari IV Koto Palembayan sendiri terpecah menjadi lima desa.

Pemerintahan desa yang bercorak nasional mengakibatkan institusi-institusi lokal
menjadi terpinggirkan. Pada masa ini kelompok individu menggeser dominasi
kelompok genealogis dalam pemerintahan desa. Seiring dengan bergulirnya
reformasi dan diimplementasikannya kebijakan desentralisasi berdasarkan UU
No. 22/1999, Pemerintah Daerah Sumatera Barat memutuskan untuk kembali
menghidupkan pemerintahan nagari.
Nagari sekarang berbeda dengan nagari yang dulu (sebelum
dikeluarkannya UU No. 5/1979). Pemerintah berusaha untuk memadukan
organisasi modern dengan institusi tradisional dalam pemerintahan nagari saat ini,
artinya ada upaya untuk mensinergikan kebijakan pemerintah dan aksi social
berdasarkan adat istiadat ditingkat nagari. Untuk mewujudkan sineergi tersebut,
pemerintah mengeluarkan berbagai regulasi yang mengatur pembentukan
lembaga-lembaga dalam nagari. Lembaga-lembaga ini diharapkan dapat menjadi
wadah yang menampung partisipasi masyarakat dalam membangun nagari. Dalam
kenyataannya, lembaga-lembaga tersebut justru tidak bekerja optimal, bahkan
saling tumpang tindih.
Sejak Nagari IV Koto Palembayan kembali dihidupkan, pemerintah nagari
masih menghadapi permasalahan dalam menanamkan pemahaman mengenai
bentuk nagari saat ini. Hal ini tidak terlepas dari adanya perbedaan dalam
memaknai implementasi kembali ke nagari. Pada satu sisi terdapat kelompok
genealogis (ninik mamak) yang memandang, bahwa kembali ke nagari sebagai
momentum untuk mengembalikan dominasi ninik mamak dalam nagari. Di sisi
lain, pemerintah telah mengatur dan membatasi kedudukan ninik mamak (yang
tergabung dalam KAN) sebagai lembaga yang memberikan pertimbangan kepada
wali nagari dalam menangani urusan yang berkaitan dengan adat istiadat.
Pada akhirnya, pengakuan kembali nagari sebagai pemerintahan terendah,
justru menempatkan nagari pada kondisi yang dilematis. Nagari menerima
intervensi pemerintah yang menempatkan nagari sebagai bagian dari birokrasi
negara. Di sisi lain proses ini mengurangi otonomi nagari karena membuat nagari
secara substansial berbentuk desa, dan mengurangi ciri utama dari pemerintahan
nagari format lama, atau tradisi masyarakat Minang yaitu “kepemimpinan
kolektif”. Selain itu keinginan pemerintah untuk mensinergikan kelembagaan
lokal dengan organisasi modern, di lapangan justru menimbulkan berbagai
berpotensi konflik. Jika hal ini tidak dikelola dengan baik, maka akan menjadi
hambatan dalam mewujudkan nagari yang otonom karena konflik dapat
melemahkan pemerintahn nagari (negatif fungsional).
Di sisi lain, jika berbagai potensi konflik yang ada bisa dikelola dengan
baik, justru akan memperkuat pemerintahan nagari (positif fungsional). Hal ini
dapat dicapai jika dalam nagari terdapat wadah yang berfungsi sebagai katup
penyelamat. Berbagai wadah yang ada saat ini seperti, surau, kerapatan adat, rapat
kaum, lembaga Bundo Kandung serta wirid pengajian, sayangnya belum
dimanfaatkan secara optimal. Wadah yang ada itu dapat digunakan sebagai media
konsiliasi antara kelompok-kelompok yang bertikai, sehingga konflik dapat
disalurkan atau diselesaikan dengan cara damai.

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang – undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB

TRANSFORMASI DARI DESA KEMBALI KE
NAGARI
(Studi Kasus Di Kenagarian IV Koto Palembayan, Sumatera
Barat)

NURAINI BUDI ASTUTI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Sosiologi Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Manuwoto

Judul Penelitian

: Transformasi Dari Desa Kembali Ke Nagari (Studi Kasus
Di Kenagarian IV Koto Palembayan, Sumatera Barat)
: Nuraini Budi Astuti
: I353070011
: Sosiologi Pedesaan

Nama
NRP
Mayor

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.S

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, M.S, D.E.A

Ketua

Anggota

Diketahui,

Koordinator Mayor

Dekan

Sosiologi Pedesaan

Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, M.S, DEA

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro,

M.S

Tanggal Ujian

: 15 Juli 2009

Tanggal Lulus

:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
Transformasi Dari desa Kembali Ke Nagari, yan merupakan Studi Kasus Di
Kenagarian IV Koto Palembayan, Sumatera Barat.
Demikianlah tesis ini disusun dengan harapan dapat memberikan
informasi dan gambaran mengenai pelaksanaan desentralisasi dan otonomi di
tingkat nagari. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan guna
perbaikan tesis ini dimasa mendatang. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2009

Nuraini Budi Astuti

UCAPAN TERIMA KASIH
Selama masa penyelesaian tesis ini, tentunya tidak terlepas dari dorongan dan
dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis merasa sangat bersyukur kepada Allah SWT, atas segala
nikmat, karunia, dan hidayah yang telah diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis. Dengan segala kerendahan hati pula, penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Lala M Kolopaking, M.S selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr.
Nurmala K. Pandjaitan, MS. DEA selaku Anggota Komisi Pembimbing, atas
kesabarannya memberikan arahan dan motivasi untuk menyempurnakan tesis ini.
2. Ayahanda Nasril Amir (alm) dan Ibunda Suparmi, atas segala kasih sayang yang
tidak terhingga dan menjadi sumber kekuatan terbesar bagi penulis agar segera
menyelesaikan tesis ini.
3. Bapak Ronny Akmal, SE, selaku Wali Nagari IV Koto Palembayan beserta seluruh
perangkat nagari, atas segala kemudahan dan kerjasamanya selama penulis berada di
lokasi penelitian.
4. Pak Cik Nurman Hakim dan keluarga, atas kesediaannya dalam menampung,
menemani dan menjadi guide selama penulis selama di lokasi.
5. Bapak Dr. Endry Martius, MSi, selaku Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, atas
izin dan rekomendasinya sehingga penulis dapat menimba ilmu di IPB ini.
6. Bapak dan Ibu dosen pada Mayor Sosiologi Pedesaan, atas limpahan ilmunya yang
sangat berharga.
7. Rekan – rekan senasib dan seperjuangan di Mayor Sosiologi Pedesaan, atas
dukungan moralnya.
8. Semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian
studi ini.

RIWAYAT HIDUP
Penulis, Nuraini Budi Astuti, dilahirkan di Padang pada tanggal 19 Januari
1978, merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Nasril Amir
dan Suparmi. Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri 67 Padang, SMP
Negeri 26 Padang, SMA Negeri 2 Padang dan menyelesaikan Program Sarjana di
Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas Padang.
Sejak tahun 2005 hingga sekarang penulis bekerja sebagai tenaga pengajar
di Universitas Andalas. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan
Magister Sains pada Mayor Sosiologi Pedesaan di Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................ xvii
I

PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................... 9
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................... 9

II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 10
2.1 Masyarakat Minang Dan Sejarah Pemerintahan Nagari ......................... 10
2.2 Konsep Tanah Ulayat .............................................................................. 16
2.3 Konsep Pemerintah Dan Pemerintahan ................................................... 18
2.4 Pemerintahan Nagari Menurut Peraturan
Perundang-undangan ............................................................................... 19
2.5 Konsep Pemerintahan Desa ..................................................................... 22
2.6 Penelitian Terdahulu ................................................................................ 24
2.7 Transformasi Sosial ................................................................................. 27
2.8 Teori Fungsionalisme Konflik ................................................................. 30
2.9 Kerangka Pemikiran ................................................................................ 32
III METODE PENELITIAN................................................................................ 37
3.1 Lokasi Penelitian ..................................................................................... 37
3.2 Metode Penelitian .................................................................................... 37
3.3 Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 39
3.4 Teknik Analisa Data ................................................................................ 40
IV NAGARI KE DESA DALAM KONTEKS WILAYAH
PENELITIAN ................................................................................................. 42
4.1 Wilayah dan Struktur pemerintahan ........................................................ 42
4.2 Sumber Daya Manusia ............................................................................ 44
4.3 Sumber Daya Nagari ............................................................................... 45
4.4 Sejarah Nagari IV Koto Palembayan ...................................................... 48
4.5 Pemerintahan Desa .................................................................................. 58
4. 6 Ikhtisar ..................................................................................................... 64
V TRANSFORMASI DARI DESA KE NAGARI............................................. 67
5.1 Kembali Ke Pemerintahan Nagari ........................................................... 67
5.2 Pemerintahan Nagari Saat Ini .................................................................. 79

5.3 Otonomi Nagari ....................................................................................... 87
5.4 Ikhtisar ..................................................................................................... 96
VI DILEMA DALAM TRANSFORMASI DESA KE NAGARI ....................... 98
6.1 Transformasi Nagari: Perubahan yang Tidak Diharapkan ...................... 98
6.2 Pola Dan Arah Perubahan ..................................................................... 102
6.3 Potensi Konflik dalam Pemerintahan Nagari ........................................ 106
6.4 Faktor-Faktor yang Peka Memicu Konflik............................................ 125
6.5 Katup Penyelamat .................................................................................. 126
6.5 Managemen Konflik .............................................................................. 129
6.6 Ikhtiar .................................................................................................... 131
VII SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ......................................... 133
7.1 Kesimpulan ............................................................................................ 133
7.2 Implikasi Kebijakan............................................................................... 134
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 135
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................. 140

DAFTAR TABEL
1

Halaman
Jumlah nagari di Sumatera Barat ..................................................................... 3

2

Jumlah informan dan subjek kasus ................................................................ 35

3

Matriks data penelitian .................................................................................. 41

4

Batas-batas Nagari IV Koto Palembayan ...................................................... 44

5

Luas Nagari IV Koto Palembayan berdasarkan pemanfaatannya ................. 44

6

Jumlah penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin ................................ 45

7

Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan formal ............................ 45

8

Jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaan ............................................. 46

9

Jumlah petani berdasarkan jenis kepemilikan lahan ..................................... 46

10 Luas wilayah berdasarkan tingkat kesuburan ................................................ 47
11 Luas penguasaan lahan berdasarkan status tanah di Nagari IV
Koto Palembayan........................................................................................... 48
12 Perbandingan nagari dan desa ....................................................................... 64
13 Nama–nama perangkat pemerintah Nagari IV Koto Palembayan
tahun 2005 ..................................................................................................... 71
14 Nama–nama pengurusan KAN Nagari IV Koto Palembayan ....................... 73
15 Perbedaan pemerintahan desa dan nagari ...................................................... 87
16 Perbandingan antara desa dan nagari .......................................................... 100

DAFTAR GAMBAR
1

Halaman
Perubahan nagari Tipe 1 .................................................................................. 3

2

Perubahan nagari Tipe 2 .................................................................................. 4

3

Perubahan nagari Tipe 3 .................................................................................. 4

4

Proses pembentukan nagari ........................................................................... 11

5

Bagan alur pemikiran transformasi pemerintahan nagari .............................. 35

6

Struktur pemerintahan nagari ........................................................................ 43

7

Evolusi nagari dari bentuk asli kebentuk desa .............................................. 66

8

Transformasi dari Desa ke Nagari ................................................................. 70

9

Bagan Susunan Kepengurusan LPMN Tahun 2004 ...................................... 74

10 Alur Pembentukan dan Penetapan Peraturan Nagari..................................... 91
11 Transformasi Lembaga Pemerintahan Nagari ............................................. 106

DAFTAR LAMPIRAN

1

Halaman
Denah lokasi penelitian .............................................................................. 139

2

Nama-nama anggota BPRN Nagari IV Koto Palembayan
tahun 2002 .................................................................................................. 140

3

Susunan anggota Bamus Nagari IV Koto Palembayan
periode 2007 – 2013 .................................................................................... 141

4

Susunan tim untuk perundingan dan penyelesaian sengketa
tapal batas .................................................................................................... 142

5

Undang – Undang 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ......................................................... 143

DAFTAR ISTILAH
BAMUS

BADAN MUSYAWARAH

BMASN

BADAN MUSYAWARAH ADAT dan SYARAK NAGARI

BPAN

BADAN PERWAKILAN ANAK NAGARI

BPD

BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

DAUN

DANA ALOKASI UMUM NAGARI

DHN

DEWAN HARIAN NAGARI

DPN

DEWAN PERWAKILAN NAGARI

DPRN

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT NAGARI

DPRW

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT WILAYAH

KAN

KERAPATAN ADAT NAGARI

LINMAS

PERLINDUNGAN MASYARAKAT

LMD

LEMBAGA MASYARAKAT DESA

LKMD

LEMBAGA KETAHANAN MASYARAKAT DESA

LPMN

LEMBAGA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NAGARI

MAMAS

MAJELIS MUSYAWARAH ADAT SYARAK

MUNA

MAJELIS ULAMA NAGARI

PKK

PENDIDIKAN KETERAMPILAN KELUARGA

PPN

PARIK PAGA NAGARI

POLMAS

POLISI MASYARAKAT

TMT

TERHITUNG MULAI TANGGAL

I. PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Secara tradisional masyarakat Minang hidup berkelompok dalam suatu

ikatan genealogis dan teritorial yang otonom dengan pemerintahan kolektif
berdasarkan hukum adat dalam sebuah sistem pemerintahan yang disebut nagari.
Keberadaan pemerintahan nagari praktis hilang secara de jure dari Sumatera Barat
sejak di berlakukannya UU No.5 tahun 1979 mengenai bentuk pemerintahan
terendah yaitu desa. Pelaksanaan UU No.5 tahun 1979 ini efektif diberlakukan di
Sumatera Barat pada tahun 1983. Pada saat itu 543 nagari dihapuskan dan
jorong/dusun ditingkatkan statusnya menjadi desa sehingga jumlahnya menjadi
3516 desa.
Melalui SK Gubernur No 347/GSB/1984 maka nagari kemudian hanya
menjadi kesatuan masyarakat hukum adat setelah sebelumnya juga merupakan
kesatuan pemerintahan terendah. Pengaturan mengenai urusan adat diserahkan
kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang merupakan kumpulan niniak mamak,
cadiak pandai dan alim ulama (tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan) dalam
nagari tersebut. Jadi, walaupun selama pemerintahan desa, nagari seolah-olah
tidak ada, namun secara de facto, pemerintahan nagari masih berjalan, namun
hanya mengurusi masalah yang berkaitan dengan kegiatan adat-istiadat. Ini
disebabkan pemerintahan desa tidak bisa menggantikan fungsi informal dari
pemerintahan nagari. Dengan demikian, pada masa tersebut terjadi pemisahan
yang tajam antara unsur adat dengan unsur administrasi pemerintahan.
Banyak diantara desa-desa tersebut yang sebenarnya tidak memenuhi
kriteria sebagai sebuah pemerintahan desa, diantaranya adalah jumlah penduduk
yang terlalu sedikit yaitu kurang dari 1000 jiwa, bahkan terdapat desa yang
penduduknya hanya sekitar 500 jiwa. Keadaan ini membuat pemerintahan desa
tidak berjalan efektif. Hal ini terjadi karena desa itu hanyalah berawal dari sebuah
jorong/dusun (Syahmunir, 2006).
Selanjutnya untuk meningkatkan fungsi dan peranan Pemerintah Desa,
maka Pemda Sumatera Barat mengeluarkan Instruksi Gubernur No.11 tahun 1988
(mengikuti Permendagri No. 4 tahun 1981) tentang petunjuk penataan kembali
wilayah administrasi desa. Sehubungan dengan Penataan Wilayah Desa (PWD)

ini (yang dilaksanakan secara bertahap) diperoleh data bahwa sampai tahap III
jumlah desa telah berkurang menjadi 2059 desa dan bahkan pada tahap IV tahun
1993, bahkan terdapat 93 desa yang kembali ke wilayah nagari lama. Meskipun
telah dilakukan upaya penataan pemerintahan desa, namun itu belum mampu
menjawab permasalahan atau memenuhi tuntutan masyarakat. Persoalannya
bukan hanya pada luas wilayah dan jumlah penduduk, akan tetapi terletak pada
sistem pemerintahan yang tidak berakar pada sistem sosial budaya masyarakat
(Syahmunir, 2006).
Jatuhnya rezim pemerintahan orde baru telah membawa perubahan dari
sistem pemerintah sentralistik menjadi desentralistik. Pemerintah kemudian
mengeluarkan UU No. 22 tahun 1999 yang memberikan peluang bagi
dihidupkannya kembali bentuk pemerintahan terendah asli jika masyarakat
setempat menginginkannya. UU No. 22/1999 ini selanjutnya disempurnakan oleh
UU No. 32/2004, menurut Dharmawan (2008) secara eksplisit dan implisit hendak
mengedepankan cita-cita penegakan prinsi-prinsip demokratisme (kesetaraan,
kesejajaran, etika-egalitarian), keunggulan lokal komitmen pada rule of the game
yang telah disepakati, apresiasi terhadap keberagaman, prinsip buttom up,
desentralisme administratif yang elegan dan berwibawa di tingkat lokal serta
berkemampuan mengatasi persoalan riil di lapangan. Salah satu dari good
governance principle, yaitu control of power yang diwujudkan secara operasional
dalam prinsip transparansi ketata-pemerintahan dan akuntabilitas (pengelolaan
keuangan) publik juga menjadi salah satu ciri utama UU tersebut.
Desentralisasi, yang diimplementasikan dengan pemberian otonomi
kepada daerah, memungkinkan adanya proses pemberdayaan masyarakat karena
tersedianya ruang untuk

berpartisipasi

dan

menentukan sendiri

model

pembangunan bedasarkan kebutuhan lokal. Menerapan desentralisasi tentu saja
menuntut adanya reorganisasi dari struktur pemerintahan lokal. Hal ini direspon
oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dengan mengelurkan Perda No. 9/2000
yang kemudian disempurnakan dengan Perda No. 2/2007. Proses kembali ke
nagari ini dilaksanakan secara bertahap, hingga tahun 2006 telah terbentuk 519
pemerintahan nagari (Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah nagari di Sumatera Barat
No

Kabupaten/kota

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Agam
50 Kota
Tanah Datar
Solok (Kota)
Solok (kabupaten)
Solok Selatan
Padang panjang
Bukittinggi
Padang
Pesisir Selatan
Padang Pariaman
Sawah Lunto Sijunjung
Darmas Raya
Sawah Lunto
Payakumbuh
Pasaman
Pasaman barat
Total

Jumlah Nagari*

Jumlah Nagari**

73
70
75
1
82
4
5
13
36
65
58
5
7
49
543

81
76
75
74
12
37
46
46
21
32
19
519

Sumber: di olah dari arsip pemerintah daerah Sumatera Barat 2007
* nagari sebelum UU No 5/1979, ** nagari setelah UU No 22/1999

Dari data yang ada tampak bahwa dibeberapa kabupaten terdapat beberapa
nagari baru. Ini mengindikasikan bahwa ketika nagari terpecah-pecah ke dalam
bentuk pemerintahan desa, terdapat beberapa desa yang kemudian setelah
diterapkan kebijakan kembali ke nagari tidak bergabung kembali dengan nagari
asalnya. Untuk wilayah kota, saat ini tidak lagi terdapat nagari karena
pemerintahan terendah telah berbentuk kelurahan.
Dari keterangan di atas, dapat dibuat tipologi perubahan nagari sebagai
berikut:

Desa

Nagari

Desa

Desa

Nagari

Gambar 1. Perubahan nagari Tipe 1
Tipe 1 menggambarkan perubahan sebuah nagari yang terpecah menjadi
Desa
beberapa desa (sesuai dengan jumlah jorongnya) akibat diberlakukannya UU No
5/1979, dengan diterapkannya PWD tahun 1993, desa-desa tersebut bergabung
menjadi satu desa dan selanjutnya setelah diterapkan UU No 22/1999, kembali ke
nagari semula. Perubahan ini relatif tidak ada masalah. Untuk Tipe 1 terdapat 93
kasus.
Desa
Nagari

Desa

Desa

Nagari

Gambar 2. Perubahan nagari Tipe 2
Tipe 2 menggambarkan perubahan sebuah nagari yang terpecah menjadi
beberapa desa (sesuai dengan jumlah jorongnya) akibat diberlakukannya UU no
5/1979, dan selanjutnya setelah diterapkan UU no 22/1999, kembali ke nagari
semula. Prosesnya lebih sulit dari tipe satu karena menyatukan daerah-daerah
yang sebelumnya telah terpecah-pecah. Untuk Tipe 2 terdapat 366 kasus
Desa
Nagari
Nagari

Desa

Nagari

Desa

Gambar 3. Perubahan nagari Tipe 3
Tipe 3 menggambarkan sebuah nagari yang pecah menjadi beberapa desa
dan selanjutnya setelah UU No 22/1999 beberapa desa kembali ke nagari awal
dan desa lainnya membentuk nagari sendiri.

Proses kembali ke nagari

menimbulkan konflik karena terdapat sebagian kelompok/wilayah yang tidak mau
bergabung dengan nagari asal. Untuk Tipe 3 terdapat 30 kasus
Setelah desa-desa bertansformasi menjadi nagari, maka permasalahan
yang timbul kemudian, bentuk nagari seperti apa yang akan diterapkan kembali,
apakah nagari asli dengan bentuk kepemimpinan kolektif ataukah nagari sebelum
diterapkannya UU No.5 Tahun 1979, nagari berada di bawah pimpinan wali
nagari.

Simarmata

(2006)

menyatakan

bahwa

pada

sebagian

orang

membayangkan bahwa kembali ke nagari berarti kembali ke pemerintahan adat
atau mengembalikan nilai-nilai budaya dan adat Minangkabau. Pikiran ini tumbuh
subur di kalangan rakyat dan pemangku adat serta sebagian akademisi dan aktivis
Ornop.

Sementara

dari

kalangan

legislator

dan

pemerintahan

daerah

mengembangkan cara pandang yang lain. Pemerintahan nagari yang akan
dihidupkan adalah yang bisa menjawab tantangan sekaligus modern. Sebuah
nagari yang merupakan perpaduan antara kelembagaan tradisional dan organisasi
modern.
Nagari yang sejak tahun 1984 hanyalah sebuah kesatuan wilayah adat dan
hanya mengurusi persoalan yang berkaitan dengan adat sekarang harus
dimodernkan, karena ia juga mengurusi persoalan administrasi. Oleh sebab itu
birokrasi modern harus diterapkan ke dalam struktur pemerintahan nagari. Castle
L (1986) mengutip apa yang dikemukakan oleh Webber, bahwa birokrasi modern,
bersifat rasional dan impersonal bagaikan mesin, falsafah dasar organisasinya
untuk mencapai efisiensi dan efektifitas yang tinggi.
1.2. Perumusan Masalah
Keberadaan nagari di Sumatera Barat seolah timbul tenggelam seiring
dengan intervensi pemerintah mengenai kebijakan pemerintahan terendah.
Perubahan dari nagari ke desa berdampak cukup besar bagi struktur
masyarakatnya. Nagari dan desa sesungguhnya merupakan dua bentuk yang
saling bertolak belakang. Pemerintahan nagari bercirikan egaliter, mandiri dan
berorientasi pada masyarakat. Sementara desa adalah cermin dari pemerintahan
yang feodalistis, sentralistis dan top down. Perubahan pemerintahan dari nagari
ke desa tidak saja hanya sekedar perubahan nama, tetapi juga sistem, orientasi
dan filosofinya. Sementara itu perubahan dari desa kembali ke nagari masih
menemui kendala dalam mencari bentuk tepat.
UU No. 22/1999, yang mengakhiri penyeragaman bentuk pemerintahan
desa telah mendorong munculnya kebijakan untuk menghidupkan kembali
bentuk-bentuk asli pemerintahan terendah di beberapa wlayah di Indonesia.
Pemerintah Daerah Sumatera Barat sendiri mencoba untuk mensinergikan unsur
adat dan birokrasi modern dalam satu kelembagaan formal yaitu pemerintahan
nagari. Seperti yang diutarakan oleh Eko S (2005) nagari yang sekarang
diharapkan mampu memadukan self-governing community (otonomi asli yang
berbasis adat) dan local-self government (desentralisasi dari pemerintah).
UU No. 32/2004 yang mengamanatkan diselenggarakannya desentralisasi,
diwujudkan dengan pembagian kewenangan dan keuangan dari pemerintah supra-

nagari kepada nagari, yang kemudian nagari bertanggung jawab menggunakan
kewenangan dan keuangan itu untuk meningkatkan pelayanan publik,
pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, yang hasil akhirnya adalah
kesejahteraan dan kemandirian anak-anak nagari. Ternyata di lapangan konsep
tersebut tidak mudah untuk diimplementasikan. Peralihan dari desa ke nagari telah
membuat masyarakat dalam nagari seolah berada dalam fase transisi. Proses
penanaman pemahaman akan wewenang dan tanggung jawab diantara lembagalembaga dalam nagari berjalan lambat, karena disaat yang sama sebagian elite
lokal masih berpikiran akan model nagari yang lama sementara sebagian yang lain
berpatokan pada pembagian kewenangan berdasarkan peraturan formal.
Seperti pendapat yang diutarakan oleh Dharmawan (2008), sekalipun UU
No. 32/2004 mengapresiasi keberadaan tata aturan adat (pasal 203 dan pasal 216),
namun

otoritas

adat

dengan

sistem

tata-pemerintahan

asli,

sulit

beradaptasi/menyelaraskan dengan keberadaan sistem pemerintahan formal dalam
konsep desa. Alhasil dalam merespon peluang desentralisasi atau otonomi
lokalitas (desa/nagari) yang ditawarkan oleh negara melalu platform UU No.
32/2004, otoritas adat seringkali berbenturan secara kelembagaan dengan otoritas
formal (pemerintahan desa/nagari) yang legitimate menurut hukum positif
kenegaraan.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Nurrochmat dan Purwandari (2006),
mereka menemukan bahwa tata pemerintahan asli ternyata dapat berdampingan
dengan dengan sistem pemerintahan formal. Ini seperti yang terjadi di Bali
pemerintahan

terendah

memiliki

dua

kelembagaan

formal

yang

dapat

berkoordinasi secara efektif yaitu desa adat yang bernama “pakraman”
(mengurusi masalah adat) dan desa dinas atau “perbekel” (mengurusi masalah
pemerintahan). Bentuk lain seperti yang terdapat di Aceh dan Papua, dalam
pemerintahan terendahnya memiliki dua kelembagaan yaitu formal dan informal.
Di Aceh, kelembagaan desa mengurusi masalah pemerintahan dan kelembagaan
mukim mengurusi masalah sosial budaya. Sementara, di Papua terdapat
kelembagaan kampung yang mengurusi masalah pemerintahan dan kelembagaan
ondoafi yang mengurusi masalah adat. Di Sumatera Barat sendiri hanya terdapat

satu kelembagaan formal yaitu nagari yang mengurusi dua urusan yaitu kedinasan
dan adat.
Di sinilah letak permasalahannya, karena hanya terdapat satu kelembagaan
formal saja yaitu nagari yang mengurusi masalah kedinasan dan adat, maka
pemerintah harus merestrukturisasi pemerintahan nagari agar dapat menjalankan
kedua fungsi tersebut. Unsur tradisional tetap dipertahankan agar dapat mengurusi
urusan adat dan disisi lain birokrasi modern juga harus dikembangkan agar dapat
menangani urusan kedinasan.
Masuknya birokrasi modern ke dalam pemerintahan nagari, pada akhirnya
menjadi salah satu sumber konflik.

Seperti yang ditulis oleh Sjofjan Thalib

(2006) (dalam Abna, 2008), kendala yang ditemui setelah kembali ke dalam
pemerintahan nagari antara lain: terjadinya kesalahpahaman dalam memandang
nagari sebagai masyarakat hukum adat teritorial saja, pada hal nagari adalah
persekutuan hukum adat genealogis matrilineal teritorial; banyaknya lembaga
kenagarian yang ditetapkan dalam perda-perda yang menyimpang dari struktur
asli, sehingga diperlukan banyak dana dan tenaga untuk menjalankan tugas
mereka; terjadinya kebingungan masyarakat nagari karena nagari sekarang yang
ditata secara rinci melalui perda kabupaten dengan menerapkan prinsip trias
politica yang tidak dikenal mereka sebagai nagari baru bentukan pemerintah
atasan; serta telihat ekses adanya keberatan dari KAN untuk menyerahkan aset
nagari kepada pemerintah nagari karena dianggap mendominasi kekuasaan
mereka.
Tumpang tindih peran dan tidak jelasnya fungsi masing-masing komponen
dalam pemerintahan nagari, sebenarnya berpangkal dari Perda Sumatera Barat
No. 9/2000 yang mengatur pembentukan lembaga-lembaga dalam nagari, yaitu:
yang pertama terdapat lembaga Wali Nagari dan perangkatnya sebagai eksekutif
yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan dalam nagari, selanjutnya lembaga
Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN) yang menjalankan fungsi legislasi yaitu
mengawasi pelaksanaan dari pelaksanaan peraturan-peraturan nagari dan lembaga
Badan Musyawarah Adat dan Syarak Nagari (BMASN) yang tugasnya
menyangkut urusan adat. Sementara itu juga terdapat lembaga nonstruktural yaitu
Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang fungsinya tidak secara jelas diatur dalam

perda No. 9/2009 tapi secara tradisional mempunyai fungsi menyelesaikan
sengketa “sako-pusako” (gelar dan harta warisan) dan hal-hal yang menyangkut
urusan adat istiadat. Menurut Sayuti Dt Rajo Pangkulo (dalam Simarmata, 2006)
ketiga lembaga ini anggotanya beririsan dan mempunyai tugas dan fungsi yang
hampir mirip.
Untuk membenahi tumpang tindih tugas dan fungsi lembaga – lembaga
dalam pemerintahan nagari, Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat
mengeluarkan Perda No. 2/2007, dalam perda ini lembaga BPAN dan BMASN
dihilangkan dan diganti dengan Badan Musyawarah Nagari (Bamus Nagari).
Disebutkan bahwa tugas, wewenang, kewajiban dan hak Bamus Nagari diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (pasal 13). Sementara
lembaga KAN tetap merupakan lembaga nonstruktural yang diakui yang
fungsinya memelihara kelestarian adat serta menyelesaian perselisihan sako dan
pusako (pasal 1 nomor 13). Ketika Perda No. 2/2007 ini diberlakukan secara
otomatis Perda No. 9/2000 tidak berlaku lagi, hal ini membuat struktur
pemerintahan dalam nagari kembali mengalami perombakan.
Dari penjelasan tersebut dapat diduga bahwa perubahan-perubahan yang
terjadi dalam pemerintahan nagari saat ini, selain berbentuk perubahan yang
direncanakan atau disengaja (intended change) namun juga menimbulkan
perubahan yang tidak direncanakan atau tidak disengaja (unintended change).
Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam nagari akibat i