Sistem Pemerintahan Nagari Di Minangkabau (Studi Pada Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat)

(1)

SISTEM PEMERINTAHAN NAGARI DI MINANGKABAU

(Studi Pada Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

DISUSUN OLEH

HENI MELIA SAFITRI

040906026

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena Rahmat dan karunianya, penulis telah dapat menyelesaikan Laporan Akhir Praktikum dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah praktikum di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Skripsi ini berjudul “Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau : Studi pada Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barata.”, dengan harapan dapat dijadikan bahan rujukan bagi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Penyelesaian Skripsi ini sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari berbagai pihak yang telah membantu untuk memberikan kemudahan baik dalam literatur, peralatan, sarana dan prasarana, moril dan materil, yang telah banyak memberikan masukan bagi penulis. Dan juga semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu penulis mengucapkan terimakasih atas semua supportnya kepada penulis. Semoga semua bantuan yang telah diberikan menjadi amal yang baik disisiNya.

Akhirnya penulis menyadari akan ketidaksempuranaan pembuatan Skripsi ini. Untuk itu penulis membuka diri atas saran yang diberikan demi perbaikan dan kesempurnaan Skripsi ini. Terimakasih.

Medan, Februari 2008 Penulis


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………...… i

DAFTAR ISI………... ii

DAFTAR TABEL……… v

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1 Latar Belakang Masalah………..………. 1

1.2 Rumusan Masalah………..…………. 9

1.3 Batasan Masalah……….. 10

1.4 Tujuan Penelitian………. 10

1.5 Manfaat Penelitian………..…. 11

1.6 Kerangka Teori……… 11

1.6.1 Teori Sistem………. 12

1.6.2 Bentuk-bentuk Negara……… 15

1.6.3 Sistem Pemerintahan Desa……… . 16

1.6.4 Sistem Pemerintahan Nagari………. 17

1.6.4.1 Nagari……….. 17

1.6.4.2 Jorong………. 19

1.6.4.3 Pemerintahan Nagari……… 20

1.6.5 Lembaga-lembaga Kemasyarakatan Nagari……… 21

1.6.5.1 Wali Nagari……….. 21

1.6.5.1.1 Tugas dan Kewajiban Wali Nagari……… 21

1.6.5.1.2 Fungsi Wali Nagari………. 22

1.6.5.2 Badan Perwakilan Anak Nagari……….. 23

1.6.5.3 Lembaga Adat Nagari………. 24

1.6.5.4 Lembaga Syarak Nagari……….. 25

1.6.6 Kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan dan Tali Tigo Sapilin.. 26

1.6.6.1 Ninik Mamak………. 26

1.6.6.2 Alim Ulama………. 28

1.6.6.3 Cerdik Pandai………. 29

1.6.7 Beberapa Jenis Sistem Pemerintahan Lokal di Indonsia……… 29


(4)

1.6.7.2 Pakasa’an……….. 30

1.6.7.3 Wanua……… 31

1.7 Metodologi Penelitian………. 33

1.7.1 Jenis Penelitian……… 33

1.7.2 Lokasi Penelitian……… 33

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data……….. 34

1.7.4 Teknik Analisa Data………... 34

1.8 Sistematika Penulisan………. 35

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN……….. 37

2.1 Gambaran Umum Nagari Guguak VIII Koto………. 37

2.1.1 Topografi Wilayah Nagari Guguak VIII Koto………. 38

2.1.2 Domografi Nagari Guguak VIII Koto………. 38

2.1.3 Tingkat Pendidikan di Nagari Guguak VIII Koto……… 39

2.1.4 Sarana dan Prasarana di Nagari Guguak VIII Koto…………. 40

2.1.5 Potensi Kelembagaan Bidang Pemerintahan di Nagari Guguak VIII Koto……… 42

2.1.6 Kesukuan di Nagari Guguak VIII Koto……… 44

2.2 Kendala yang dihadapi Nagari Guguak VIII Koto dalam menerapkan Sistem Pemerintahan Nagari………. 46

BAB III ANALISA DATA……… 49

3.1 Sejarah Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau……… 49

3.1.1 Pemerintahan Nagari Sebelum Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa……… 49

3.1.2 Pemerintahan Nagari Setelah Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah……… 56

3.2 Mekanisme Perekrutan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan di Nagari……….. 56 3.3 Hubungan Kerja antara Pemerintahan Kabupaten, Kecamatan,

Pemerintahan Nagari, dan Lembaga-lembaga yang Ada dalam Nagari. 58 3.4 Pergeseran yang terjadi antara Sistem Pemerintahan Desa


(5)

dengan Sistem Pemerintahan Nagari………. 59

BAB IV PENUTUP………. 66

4.1 Kesimpulan………. 66

4.2 Rekomendasi……….. 67

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(6)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Kerangka Kerja Sistem Politik David Easton ……… 13 2. Struktur Organisasi Pemerintahan Nagari……… 24 3. Penyebaran Jumlah Penduduk Nagari Guguak VIII Koto Tahun 2004…. 39 4. Tingkat Pendidikan Nagari Guguak VIII Koto Tahun 2004……… 40 5. Jumlah Sarana dan Prasarana Pemerintahan Nagari Guguak VIII Koto

Tahun 2004………. 41

6. Lembaga Pemerintahan di Nagari Guguak VIII Koto……….. 42 7. Struktur Organisasi Nagari Guguak VIII Koto………. 43 8. Pergeseran antara Sistem Pemerintahan Desa dengan


(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Minangkabau merupakan salah satu diantara suku bangsa yang menempati wilayah bagian tengah pulau Sumatera. Sebaian besar orang Minagkabau menempati wilayah provinsi Sumatera Barat. Dalam Tambo sebagai suatu sejarah tradisional Minagkabau dijelaskan bahwa alam Minangkabau secara geografis terdiri dari dua wilayah utama, yaitu kawasan Luhak Nan tigo dan Rantau.1

Kekuasaan antara Luhak dengan Rantau diungkapkan dalam pepatah adat yang berbunyi Luhak Bapangulu, Rantau Barajo. Dimana artinya adalah kekuasaan di Luhak adalah penghulu-penghulu sedangkan di Rantau dikuasakan kepada raja-raja kecil, artinya Luhak terdiri dari Wali Nagari yang mewakili pemerintahan yang berdiri sendiri.

Luhak Nan Tigo terletak di pedalaman yang merupakan tempat asal orang Minagkabau. Karena terletak di pedalaman, maka Luhak Nan Tigo disebut juga darek atau darat yang merupakan kawasan pusat atau inti dari wilayah Minagkabau, sedangkan Rantau adalah daerah pinggiran atau daerah yang mengelilingi kawasan pusat tersebut.

Luhak Nan Tigo terdiri dari tiga bagian, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Lima Puluh Kota. Dalam perkembangan sejarahnya, Rantau pada mulanya merupakan daerah kolonisasi tempat orang Minagkabau merantau. Akhirnya Rantau berkembang menjadi pemukiman yang terpisah dari kawasan pusat. Tetapi secara kultural, daerah Rantau tetap menghubungkan diri dengan kawasan pusat. Sehingga di alam Minangkabau berlaku adat yang sama yang telah disusun oleh Datuk Parpatiah Nan Sabatang dan Datuk Katumanggungan.

1


(8)

Nagari merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat yang hidup dalam wilayah kesatuan masyarakat Minangkabau yang mempunyai batasan-batasan alam yang jelas, dibawah pimpinan penghulu, mempunyai aturan-aturan tersendiri serta menjalankan pengurusan berdasarkan musyawarah mufakat.2

Secara histories pemerintahan nagari merupakan sebuah pemerintahan tradisional yang diperintah oleh penghulu-penghulu suku yang memiliki kewenangan yang sama derajatnya yang tergabung dalam sebuah kerapatan adat.

Nagari sebagai unit territorial pada saat yang sama juga merupakan unit politik para penghulu di setiap nagari dengan kelembagaannya berada di bawah naungan Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN) yang dulu dikenal dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN).

Pada awal adanya nagari di Minagkabau, nagari itu telah mempunyai Limbago

atau Lembaga sebagai institusi yang mengatur kehidupan masyarakat nagari dalam bidang adat, budaya, hukum, ekonomi, pertanian, sosial, pemerintahan, dan agama. Limbago itu disebut dengan Tungku Tigo Sajarangan yang terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama, dan Cerdik Pandai.

3

Maka semenjak tanggal 1 Agustus 1983, seluruh nagari-nagari yang ada di Sumatera Barat dileburkan menjadi pemerintahan desa. Jorong yang menjadi bagian nagari waktu itu langsung dijadikan desa, sehingga nagari dengan sendirinya menjadi hilang. Pemerintahan desa yang berasal dari budaya Jawa dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Pada pemerintahan desa, desa atau kelurahan adalah bagian dari wilayah

Sistem Pemerintahan Nagari di wilayah Minagkabau diyakini telah diterapkan jauh sebelum berdirinya kerajaan Pagaruyung. Tetapi semuanya itu berubah semenjak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang pemerintahan Desa yang telah menyeragamkan sistem pemerintahan terendah di seluruh Indonesia.

2

Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari

3


(9)

kecamatan. Dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa, Kepala Desa bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Camat, dan memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepada Lembaga Musyawarah Desa (LMD).4

Perubahan ini bukan hanya perubahan nama, tetapi diantara keduanya terdapat perbedaan karakter dan spirit yang menyertainya. Nagari yang berjumlah 543 di Sumatera Barat diubah menjadi 3.138 desa.5

Dengan ketentuan demikian maka tidak ada kontrol sosial dari bawah, bahkan dari samping sekalipun, yang ada hanyalah kontrol dari atas. Dalam Pasal 10 ayat 2 Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa disebutkan bahwa “Dalam menjalankan hak, wewenang, dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa, Kepala Desa bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Perubahan menjadi desa yang demikian maksudnya agar memperoleh dana bantuan pembangunan desa (Bangdes) yang lebih banyak dari pemerintah pusat. Bila dicermati lebih lanjut, perbedaan antara pemerintahan nagari dan pemerintahan desa dapat dilihat pertama dalam segi keanggotaan.

Penyebutan bagi LMD sebagai lembaga permusyawaratan yang didalamnya anggota yang menjadi wakil dari masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya dengan bermusyawarah jelas hanya sebagai “obat penawar” yang sama sekali tidak menyembuhkan penyakit apapun. Sebab bersamaan dengan obat penawar itu sekaligus tersuntikkan racun yang membinasakan aspirasi masyarakat, karena Kepala Desa adalah “penguasa” LMD itu sendiri. Sehingga praktis tidak ada kekuatan yang mampu berperan sebagai penyeimbang Kepala Desa.

4

Jurnal Analisa Politik. Volume 2 Nomor 7. Padang : Laboratorium Ilmu Politik Unand. 2004. hal.54

5


(10)

Camat, dan memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepada Lembaga Musyawarah Desa (LMD)”.

Keanggotan LMD berbeda dengan keanggotaan BPAN. Keanggotaan BPAN dipilih dari unsur Ninik Mamak, Alim Ulama, Cerdik Pandai, Bundo Kanduang (wakil dari tokoh-tokoh perempuan Minagkabau), utusan Jorong serta utusan pemuda. Keanggotaan BPAN diresmikan secara administratif dengan keputusan Bupati. BPAN juga merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagai mitra pemerintahan nagari.

Perbedaan Sistem Pemerintahan Nagari dengan Sistem pemerintahan Desa yang kedua yaitu dalam segi pelaksanaan dan kedudukan dalam pemerintahan. Dari Peraturan Daerah sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000 Tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari dapat disimpulkan bahwa BPAN mempunyai kedudukan yang penting dan berbeda dengan LMD. Pertanggungjawaban Wali Nagari dapat diminta melalui BPAN dan BPAN dapat melakukan fungsi pengawasan dalam pelaksanaan pemerintahan nagari. Ini berbeda dengan LMD, yaitu tidak mempunyai peran yang vital dalam hal keputusan desa dan Kepala Desa hanya menyampaikan keterangan pertanggungjawaban kepada LMD.

Dengan demikian kehadiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dan spesifiknya Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000, telah mampu menggeser peran LMD, yang hanya sebagai sebuah lembaga yang melegitimasi keputusan desa menjadi sebuah lembaga perwakilan yang mempunyai peran pengawasan terhadap pemerintahan di tingkat lokal yaitu pemerintahan nagari.

Pengangkatan seseorang dalam struktur jabatan pemerintahan desa, diawali dengan pengajuan nama-nama kepada pejabat yang berwenang mengangkat yakni Sekretaris Desa diangkat oleh Bupati dan Kepala Urusan diangkat oleh Camat atas


(11)

nama Bupati, setelah mendengar pertimbangan dari ketua LMD. Pengangkatan dilakukan setelah para calon menempuh seleksi dalam bentuk penyaringan. Hal ini dilakukan untuk menjamin kualifikasi personalia pemerintahan desa.

Apabila dibandingkan dengan satuan staf yang ada dalam pemerintahan nagari, jumlah aparat dalam satuan staf tersebut berbeda. Dalam pemerintahan nagari yang berkedudukan sebagi unsur staf pembantu Wali Nagari dan memimpin Sekretariat Nagari adalah Sekretaris Nagari. Selain itu aparat dalam pemerintahan nagari dilengkapi dengan unsur pelaksana Wali Nagari yang di dalam pemerintahan desa hal tersebut tidak ada.

Tugas yang seharunya dijalankan oleh pelaksana teknis fungsional semasa pemerintahan desa dijalankan oleh Kepala Dusun beserta beberapa para staf yang ditetapkan oleh Kepala Desa. Lebih lanjut mengenai pemerintahan nagari, yang dalam struktur organisasinya memiliki Kepala Jorong. Jumlah Kepala Jorong dalam sebuah nagari disesuaikan dengan keadaan nagari yang bersangkutan.

Pemerintahan desa memang telah berjalan sejak tahun 1983 di seluruh Indonesia. Tetapi bagi kebanyakan daerah umumnya dan Sumatera Barat khususnya, ternyata pemerintahan desa telah menimbulkan berbagai dampak terhadap tatanan kehidupan masyarakat. Adapun dampak dihilangkannya Sistem Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat adalah :6

1. Jati diri masyarakat Minagkabau mengalami erosi. Pemahaman dan penghayatan falsafah adat Minagkabau Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Syarak Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang jadi Guru

mengalami degradasi,

6


(12)

2. Anak nagari tidak lagi mempunyai kewenangan politis. Hubungan erat yang pernah terjalin antara pemerintah dengan anak nagari dan masyarakat adat menjadi semakin berkurang, bahkan hilang,

3. Hilangnya batas-batas nagari sehingga wilayah nagari terpecah. Pembentukan dan pemekaran desa menyebabkan hilangnya salah satu syarat adanya wilayah suatu nagari, yaitu mempunyai wilayah dengan batas-batas yang jelas,

4. Masyarakat kehilangan tokoh Angku Palo atau Wali Nagari. Fungsinya tidak dapat digantikan oleh Kepala Desa atau Lurah. Wali Nagari adalah tokoh kharismatik yang sangat dihormati dan menjadi panutan bagi anak nagari. Wali Nagari tidak hanya menguasai dan memahami seluk beluk pemerintahan nagari tetapi juga menguasai dan memahami adat istiadat serta taat beragama. Sedangkan kebanyakan dari Kepala Desa atau Lurah merupakan orang-orang muda yang kurang memahami adat istiadat setempat. Bahkan ada diantara mereka bukan berasal dari desa setempat,

5. Sistem Sentralistik yang diterapkan selama pemerintahan orde baru sangat mengurangi nilai-nilai luhur yang diwarisi sejak lama seperti gotong-royong dan sistem demokrasi,

6. Aspirasi anak nagari dalam pembangunan kehilangan wadah aslinya yaitu nagari,

7. Generasi muda Minang sudah banyak yang tidak mengetahui dan memahami tentang nagari, terutama mereka yang tinggal di kota,

8. Tungku Tigo Sajarangan dan Tali Tigo Sapilin terpinggirkan dan kehilangan fungsinya.


(13)

Dalam pelaksanaannya Sistem Pemerintahan Desa belum memberi gambaran yang jelas terhadap hal-hal yang bersifat umum terutama untuk pelaksanaan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat belum tersentuh termasuk dalam hal pembinaan adat dan budaya yang hanya dikelola secara umum, dimana Kepala Desa berfungsi sebagai Pembina Adat. Kondisi ini telah mematikan fungsi-fungsi sosial yang ada dalam masyarakat, termasuk fungsi adat yang kurang berpengaruh dalam pelaksanaan pemerintahan. Dalam pelaksanaan pemerintahan yang menonjol justru sistem pemerintahannya, dan sistem kontrol sosial masyarakat tidak ada sama sekali.

Seiring dengan bergulirnya zaman Reformasi yang menuntut diberlakukan Otonomi Daerah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 60 Tahun 1999. Maka di Provinsi Sumatera Barat disikapi dengan merespon keinginan masyarakat (terutama dari pemuka adat) untuk kembali ke Sistem Pemerintahan Nagari. Berbagai tantangan telah dihadapi dalam pelaksanaannya karena sudah tiga puluh dua tahun masyarakat Sumatera Barat kehilangan jati diri nagari sebagai pusat pemerintahan terendah.

Pemberlakuan Undang-Undang ini mendapat sambutan positif dari mayoritas masyarakat di daerah, sebab secara otomatis daerah diberikan kesempatan yang luas untuk mengatur daerahnya sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki daerahnya. Bahkan daerah juga diberikan wewenang untuk membentuk dan menentukan sendiri sistem pemerintahan terendah di daerahnya sesuai dengan karakter daerah masing-masing.

Khusus di daerah Minangkabau yang menempati wilayah Sumatera Barat, respon atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut diwujudkan dengan penerapan kembali Sistem Pemerintahan Nagari dengan semangat “Babaliak ka


(14)

Nagari” sebagai unit pemerintahan terendah yang diatur dengan Peraturan Daerah (PERDA) Propinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari.

Untuk mewujudkan hal di atas maka ditetapkanlah Pemerintahan Nagari sebagai unit pemerintahan terendah di seluruh Kota atau Kabupaten di Sumatera Barat (kecuali Kabupaten Kepulauan Mentawai). Khusus di wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota untuk mengganti Pemerintahan Desa menjadi Pemerintahan Nagari maka dituangkanlah dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari, dimana Nagari Guguak VIII Koto tergabung di dalamnya.

Setelah resmi dilaksanakan Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari ini, maka secara bertahap dan pasti seluruh bentuk Sistem Pemerintahan Desa yang diterapkan selama masa Orde Baru telah berubah menjadi Pemerintahan Nagari. Dalam pelaksanaannya, Sistem Pemerintahan Nagari dilaksanakan oleh Wali Nagari sebagai pimpinan Eksekutif yang dibantu oleh Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN) sebagai lembaga Legislatif. Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari ini merupakan bentuk pelaksanaan otonomi dalam skala kecil, dimana nagari berhak untuk mengatur rumah tangganya sendiri.

Terlihat bahwa nagari telah mengalami bongkar pasang yang sedemikian rupa. Beragamnya kebijakan serta berganti-gantinya peraturan dan ketentuan menyangkut nagari dari waktu ke waktu ternyata tidak membawa dinamika nagari kearah yang lebih baik. Justru secara mendasar semua peraturan tersebut telah menyebabkan memudarnya nilai-nilai lokal adat Minangkabau dalam masyarakat nagari yang pada dasarnya demokratis.


(15)

Bedasarkan uraian di atas peneliti ingin mempelajari dan meneliti dalam sebuah diskripsi mengenai Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau, terutama mengenai bagaimanakah pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari di Minagkabau dari sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 sampai setelah belakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan studi kasus pada Nagari Guguak VIII Koto yang tergabung dalam Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.

Sebagai sebuah sistem yang diciptakan oleh manusia, tentu Sistem Pemerintahan Nagari memiliki kendala dan memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, terutama menyangkut aspek-aspek teknis, masalah kualitas sumber daya manusia (SDM) aparat Pemerintahan Nagari. Bagaimana Sistem Pemerintahan Nagari menjawab masalah tersebut? Masalah-masalah tersebut diangkat dalam tulisan ini sebagai usaha untuk membuka wacana menuju pembangunan masyarakat, dengan judul Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau : Studi Kasus pada Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat .

1.2RUMUSAN MASALAH

Agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan skripsi ini, maka terlebih dahulu dirumuskan masalahnya. Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, peneliti merumuskan masalah yaitu “Bagaimanakah Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau dengan Studi Kasus di Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat?”.


(16)

1.3BATASAN MASALAH

Dalam melakukan penelitian ini peneliti membuat pembatasan masalah terhadap masalah yang akan dibahas agar hasil yang diperoleh tidak menyimpang dari tujuan yang dicapai. Untuk itu, pada penelitian ini peneliti hanya membahas masalah :

1. Untuk mengetahui Sistem Pemerintahan Nagari sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa,

2. Untuk mengetahui Sistem Pemerintahan Nagari setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,

3. Untuk mengetahui pergeseran yang terjadi dalam Sistem Pemerintahan Nagari dewasa ini,

4. Menganalisis mekanisme pemilihan dan peran lembaga-lembaga kemasyarakatan yang terdapat dalam Sistem Pemerintahan Nagari di Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat,

5. Mengidentifikasikan kendala-kendala yang dihadapi Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota dalam menerapkan Sistem Pemerintahan Nagari.

1.4 TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Sistem Pemerintahan Nagari sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa,

2. Untuk mengetahui Sistem Pemerintahan Nagari setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,

3. Untuk mengetahui pergeseran yang terjadi dalam Sistem Pemerintahan Nagari dewasa ini,


(17)

4. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota dalam menerapkan Sistem Pemerintahan Nagari.

1.5MANFAAT PENELITIAN

Berangkat dari tujuan penelitian, maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah pengetahuan di Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara tentang Sistem Pemerintahan Nagari yang diterapkan di wilayah Minangkabau, khususnya pada Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat, serta dapat menjadi bahan masukan maupun rujukan bagi penelitian lainnya,

2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan masukan bagi Nagari Guguk VIII Koto dan pemerintah daerah Kabupaten Lima Puluh Kota sebagai bahan pertimbangan dan evaluasi dalam pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari,

3. Secara pribadi, penelitian ini memberi wawasan yang sangat berarti bagi peneliti dalam memahami konsep Sistem Pemerintahan Nagari di Minagkabau, khususnya pada Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.

1.6KERANGKA TEORI

Kerangka teori membantu peneliti dalam menentukan tujuan, arah penelitian dan dasar penelitian, agar langkah yang ditempuh selanjutnya jelas dan konsisten. Menurut Kerlinger, teori adalah serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proporsi


(18)

untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.7

1.6.1 Teori Sistem

Untuk itu diperlukan teori-teori yang mendukung penelitian ini.

Dalam pembahasan ini kita akan menggunakan teori Sistem yang dikembangkan oleh David Easton dimana Paine dan Naumes telah menawarkan suatu model proses pembuatan kebijakan yang merujuk pada teori sistem tersebut.8 Teori ini merupakan model deskriptif karena lebih berusaha menggambarkan apa yang terjadi di dalam pembuatan kebijakan.

Konsep ini menunjuk pada seperangkat lembaga dan kegiatan yang dapat diidentifikasi dalam masyarakat yang berfungsi mengubah tuntutan-tuntutan (demands) menjadi keputusan-keputuan yang otoritatif. Konsep ini juga menunjukkan adanya saling hubungan antara elemen-elemen yang membangun sistem politik serta mempunyai kemampuan dalam menaggapi kekuatan-kekuatan dalam lingkungannya. Masukan-masukan diterima oleh sistem politik dalam bentuk tuntutan dan dukungan.

Teori ini disusun dari sudut pandang para pembuat kebijakan. Dalam hal ini, para pembuat kebijakan dilihat perannya dalam perencanaan dan pengkoordinasian untuk menemukan pemecahan masalah yang akan menghitung kesempatan dan meraih atau menggunakan dukungan internal dan eksternal, memuaskan permintaan lingkungan serta secara khusus memuaskan keinginan atau kepentingan para pembuat kebijakan itu sendiri.

7

Koentjaraningrat. Metode-metode Panelitian Masyaraka. Jakarta : Gramedia. 1999. hal. 65

8


(19)

Tabel 1

Kerangka kerja Sistem Politik yang dikembangkan David Easton : Publik Inters Geografis Publik policy

Dengan merujuk pada pendekatan sistem yang ditawarkan oleh Easton, Paine

dan Naumes menggambarkan model pembuatan kebijakan sebagai interaksi yang terjadi antara lingkungan dengan para pembuat kebijakan, dalam suatu proses yang dinamis. Model ini mengasumsikan bahwa dalam pembuatan kebijakan dengan lingkungannnya. Interaksi yang terjadi dalam bentuk keluaran dan masukan (inputs and outputs). Outputs yang dihasilkan pada akhirnya akan menjadi bagian lingkungan yang seterusnya akan tetap berinteraksi dengan lembaga atau para pembuat kebijakan.

Paine dan Naumes memodifikasi pendekatan ini dengan menerapkan langsung pada proses pembuatan kebijakan.

Menurut teori sistem, kebijakan politik dipandang sebagai tanggapan dari suatu sistem politik terhadap tuntutan-tuntutan yang timbul. Untuk mengubah tuntutan menjadi hasil kebijakan, suatu sistem harus mampu mengatur penyelesaian pertentangan atau konflik dan memberlakukan penyelesaian ini pada pihak yang

I N P U T O U T P U T K O N V E R S I FEEDBACK

Demand Desicion

Making Policy Support Energi Informasi Bahan mentah Legistatif Eksekutif Yudikatif Envirunment (International) Envirunment

(Sumber : Budi Winarno. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Media Pressindo. 2004. hal. 74)


(20)

bersangkutan. Oleh karena suatu sistem dibangun berdasarkan elemen-elemen yang mendukung sistem tersebut dan hal ini bergantung pada interaksi antar berbagai subsistem, maka suatu sistem akan melindungi dirinya melalui tiga hal, yakni :

1) Menghasilkan outputs yang secara layak memuaskan,

2) Menyandarkan diri pada ikatan-ikatan yang berakar dalam sistem itu sendiri, 3) Menggunakan atau mengancam untuk menggunakan kekuatan (otoritas).

Dengan penjelasan yang demikian, maka teori ini memberikan manfaat dalam membantu mengorganisasikan penyelidikan terhadap pembentukan kebijakan. Selain itu, teori ini juga menyadarkan mengenai beberapa aspek penting dari proses perumusan kebijakan.

Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Lima Puluh Kota dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA) tentang Sistem Pemerintahan Nagari dikeluarkan atas dasar pengimplementasian dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan tuntutan “kembali ke nagari” di kawasan Minangkabau, khususnya pada Kabupaten Lima Puluh Kota. Tuntutan kembali ke nagari tersebut berasal dari tokoh-tokoh adat, alim ulama dan para cerdik pandai (yang dikenal dengan tungku tigo sajarangan) yang kemudian ditanggapi oleh para perumus kebijakan di Kabupaten Lima Puluh Kota dengan dikeluarkannya PERDA Nomor 01 Tahun 2001 tentang Sistem Pemerintahan Nagari. Mulai saat itu maka berlakulah penerapan Sistem Pemerintahan Nagari di seluruh wilayah Kabupaten Lima Puluh Kota yang mana Nagari Guguak VIII Koto tergabung di dalamnya. 9

9

Wawancara dengan Chandrawita (anggota Komisi A DPRD Kabupaten Lima Puluh Kota), pada tanggal 9 Oktober 2007 di kantor DPRD Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat


(21)

1.6.2 Bentuk-bentuk Negara

C.F Strong telah mengemukakan beberapa kriteria dalam melihat bentuk negara, yaitu :10

a. Melihat negara dalam bagaimana bangunannya, apakah Negara Kesatuan atau Negara Serikat,

b. Melihat bagaimana konstitusinya,

c. Melihat badan eksekutif, apakah bertanggung jawab kepada Parlemen atau tidak, dan badan eksekutif yang telah ditentukan jangka waktunya,

d. Melihat badan perwakilannya, bagaimana penyusunannya dan siapa yang berhak duduk disitu, serta

e. Bagaimana hukum yang berlaku.

Untuk itu ada beberapa pandangan para ahli dalam menentukan bentuk suatu negara. Plato mengemukakan lima bentuk pemerintahan negara, yaitu :11

1) Aristokrasi, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh kaum cendikiawan yang dilaksanakan sesuai dengan keadilan,

2) Timokrasi, yaitu pemerintahan dipegang oleh orang-orang yang ingin mencapai kemasyhuran dan kehormatan,

3) Oligarkhi, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh golongan hartawan,

4) Tirani, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh seorang tiran (sewenang-wenang) sehingga jauh dari cita-cita keadilan.

Setelah Plato, Aristoteles membedakan bentuk pemerintahan menurut jumlah orang yang memerintah dan menurut kualitas pemerintahannya, yaitu :12

10

Abu Daud Busroh. Ilmu Negara. Jakarta : Bumi Aksara. 1993. hal.61

11


(22)

1) Monarkhi, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh satu orang dan demi kepentingan umum,

2) Tirani, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh seseorang demi kepentingan pribadi,

3) Aristigrasi, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok cendekiawan demi kepentingan kelompoknya,

4) Demokrasi, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh seluruh rakyat demi kepentingan umum.

Teori bentuk-bentuk negara ini menjadi patokan peneliti dalam melihat bagaimana sebenarnya yang menjadi bentuk dari Sistem Pemerintahan Nagari yang diterapkan di wilayah Minangkabau, khususnya pada Nagari Guguak VIII Koto.

1.6.3 Sistem Pemerintahan Desa

Semenjak tanggal 1 Agustus 1983, di Indonesia telah diterapkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa.13 Pemerintahan Desa yang berasal dari budaya Jawa dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Pada Pemerintahan Desa, desa atau kelurahan adalah bagian dari wilayah Kecamatan. Dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa, Kepala Desa bertanggung jawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui Camat, dan memberikan keterangan pertanggungjawaban tersebut kepada Lembaga Musyawarah Desa (LMD).14

12

Murtimus. Ibid 13

LKAAM. Op. Cit. hal.28

14


(23)

1.6.4 Sistem Pemerintahan Nagari 1.6.4.1 Nagari

Kata nagari berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “Nagari”, yang dibawa oleh bangsa yang menganut agama Hindu. Bangsa itu pulalah yang menciptakan pembagian nagari serta menentukan pembagian suku-suku diantara mereka. Nagari-nagari kecil itu merupakan suatu bentuk negara yang berpemerintahan sendiri.15

Menurut A.A Navis menyatakan pengertian nagari sebagai suatu pemukiman yang telah mempunyai alat kelengkapan pemerintahan yang sempurna, didiami sekurang-kurangnya empat suku penduduk dengan Penghulu Pucuk (Penghulu Tua) selaku pimpinan pemerintahan tertinggi.16

M. Amir Sutan menyebutkan bahwa keterangan terbaik mengenai asal usul nagari diberikan oleh ahli adat De Rooy. Dia menulis bahwa nagari yang tertua adalah nagari Pariangan Padang Panjang. Dari Pariangan rakyat mengembara kemana-mana dan mendirikan tempat tinggal baru yang akhirnya membentuk sebuah kampung. Perkampungan ini disebut dengan Taratak, kemudian Taratak berkembang menjadi

Dusun, Dusun berkembang menjadi Koto dan Koto berkembang menjadi Nagari.17 A.A Navis telah menguraikan nagari yang empat tersebut sebagai berikut :18 1) Taratak

Yaitu pemukiman paling luar dari kesatuan nagari yang juga merupakan perladangan dengan berbagai hunian di dalamnya. Pimpinannya disebut Tuo

(Tua/Ketua), belum punya penghulu oleh sebab itu rumah-rumahnya belum boleh bergonjong.

15

LKAAM. Pelajaran Adat Minangkabau. Bandung : Tropic Offset. 1997. hal. 47

16

A.A Navis. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Grafiti Pers. 1984. hal. 92

17

M. Amir Sutan. Adat Minangkabau, Tujuan dan Pola Hidup Orang Minang. Jakarta : Mutiara Sumber Widya. 1997. hal. 45-48

18


(24)

2) Dusun

Merupakan pemukiman yang telah banyak jumlah penduduknya, telah mempunyai tempat beribadah, rumah gadang dua gonjong tetapi belum mempunyai penghulu dan pimpinan pemerintahannya disebut Tuo Dusun.

3) Koto

Koto merupakan pemukiman yang telah mempunyai hak-hak dan kewajiban seperti nagari dan pimpinan terletak di tangan Penghulu, tetapi balairungnya tidak mempunyai dinding.

4) Nagari

Yaitu pemukiman yang memiliki alat kelengkapan pemerintahan yang sempurna, didiami sekurang-kurangnya empat suku penduduk dengan

Penghulu Pucuk sebagai pimpinan pemerintahan yang tertinggi.

Setiap pendirian sebuah nagari memiliki empat syarat yang diungkapkan dalam sebuah pepatah adat yang berbunyi “Nagari kaampek suku, dalam suku babuah paruik, kampuang nan batuo, rumah batungganai” (nagari berempat suku, dalam suku berbuah perut, kampung bertua, dan rumah bertungganai). Artinya yaitu setiap nagari yang didirikan harus terdiri dari :19

1. Mempunyai empat buah suku,

2. Setiap suku mempunyai beberapa buah perut (kaum dari turunan ibu), 3. Mempunyai penghulu suku yang akan menjadi pemegang pemerintahan

nagari secara kolektif.

19


(25)

4. Rumah batungganai yaitu mempunyai kepala kaum yang disebut dengan penghulu kaum dari keluarga yang mendiami suatu rumah menurut stelsel matrilineal.

Dari hukum adat di atas telah dituangkan dalam Undang-undang Nagari tentang syarat pendirian sebuah nagari, yaitu :20

1. Mempunyai sedikitnya empat suku, 2. Mempunyai balairung untuk bersidang, 3. Mempunyai sebuah Masjid untuk beribadah, 4. Mempunyai tepian untuk mandi.

Dari beberapa pendapat di atas dapat dikemukakan secara kongkrit bahwa nagari merupakan satu kesatuan masyarakat hukum adat yang hidup dalam wilayah kesatuan masyarakat Minangkabau yang mempunyai batasan-batasan alam yang jelas, dibawah pimpinan penghulu, mempunyai aturan-aturan tersendiri serta menjalankan pengurusan berdasarkan musyawarah mufakat. Dilihat dari struktur wilayahnya, maka suatu nagari terdiri dari beberapa Jorong yang dikepalai oleh Wali Jorong yang bertanggung jawab pada Wali Nagari.

1.6.4.2 Jorong

Jorong merupakan unit-unit lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan nagari. Jorong umumnya merupakan bekas desa yang ada dalam wilayah suatu nagari, namun tidak menutup kemungkinan desa dipecah menjadi beberapa Jorong jika bekas desa tersebut memiliki wilayah yang luas atau atas dasar pertimbangan jumlah penduduk.

20


(26)

1.6.4.3 Pemerintahan Nagari

Secara histories pemerintahan nagari merupakan sebuah pemerintahan tradisional yang diperintah oleh penghulu-penghulu suku yang memiliki kewenangan yang sama derajatnya yang tergabung dalam sebuah kerapatan adat. Penghulu-penghulu tersebut dibantu oleh para manti (orang cerdik yang dipercaya oleh penghulu), malin (alim ulama), dan dubalang (hulubalang/keamanan).21

Dalam arti luas keseluruhan badan pengurus nagari dengan segala organisasinya, segala bagian-bagiannya, segala pejabat-pejabatnya di nagari, seperti : Wali Nagari, BPAN, Wali Jorong, Badan Musyawarah Adat Syarak Nagari (BMASN) dan LAN. Sedangkan dalam arti sempit pemerintahan nagari berarti suatu badan

Pemerintahan Nagari sebagai pemerintahan terendah yang menggantikan Pemerintahan Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum adat dalam daerah Provinsi Sumatera Barat. Terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah dengan batas-batas tertentu, mempunyai kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya dan memilih pimpinan pemerintahannya.

Dalam otonomi daerah unsur-unsur yang memimpin pemerintahan nagari adalah niniak mamak, alim ulama, cerdik pandai, dan bundo kanduang. Unsur-unsur tersebut terhimpun dalam lembaga-lembaga yang ada di nagari seperti Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN), Badan Musyawarah Adat dan Syarak (BMAS) sebagai badan yang memberikan saran dan nasehat kepada Wali Nagari. BMAS mendapatkan masukan dari dua lembaga yaitu Lembaga Adat Nagari (LAN) dan Lembaga Syarak Nagari (LSN). Sementara itu Wali Nagari dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang sekretaris dan beberapa staf yaitu Kaur Nagari Bidang Pemerintahan, dan Kaur Nagari Bidang Pembangunan.

21

LKAAM. Bunga Rampai Pengetahuan Adat Minangkabau. Padang :Yayasan Sako Batuah. 2000. hal. 20


(27)

pimpinan yang terdiri dari seorang atau beberapa orang yang mempunyai peranan pimpinan dan menentukan dalam pelaksanaan tugas nagari seperti Wali Nagari dan perangkat nagari, kepala urusan dan Kepala Jorong (desa).

1.6.5 Lembaga-lembaga Kemasyarakatan Nagari 1.6.5.1 Wali Nagari22

1.6.5.1.1 Tugas dan Kewajiban Wali Nagari

Wali Nagari merupakan Pimpinan Pemerintahan Nagari yang orangnya dipilih secara langsung oleh rakyat nagari, hal ini sesuai dengan peraturan daerah Nomor 01 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari pada Bab III bagian ketiga Pasal 34 dinyatakan bahwa Pemerintahan Nagari dipimpin oleh seorang Wali Nagari dan dibantu oleh perangkat nagari yang terdiri dari sekretariat nagari, unsur staf lainnya dan Wali Jorong. Pelaksanaan tugas dan kewajiban tersebut dilaksanakan sesuai dengan konsep-konsep peraturan nagari yang disusun bersama dengan Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN).

Sebagai pimpinan Pemerintahan Nagari, Wali Nagari mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap segala bentuk pelaksanaan pemerintahan. Sesuai dengan Pasal 60 Ayat 1 Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 4 Tahun 2001, yaitu :

1) Memimpin penyelenggaraan Pemerintahan nagari, 2) Membina kehidupan masyarakat nagari,

3) Membina perekonomian nagari,

4) Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat nagari,

22


(28)

5) Mendamaikan perselisihan masyarakat di nagari,

6) Mewakili nagari didalam dan diluar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya,

7) Mengajukan Rancangan Peraturan Nagari (RANPERNA) dan bersama BPAN menetapkannya menjadi Peraturan Nagari (PERNA),

8) Menjaga kelestarian adat dan syara’ yang hidup dan berkembang di nagari yang bersangkutan,

9) Mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari dan menetapkannya bersama BPAN.

1.6.5.1.2 Fungsi Wali Nagari

1) Melaksanakan kegiatan dalam rangka menyelenggarakan urusan rumah tangga nagari,

2) Menumbuhkan peran serta masyarakat dalam wilayah nagarinya, 3) Melaksanakan kegiatan yang ditetapkan bersama BPAN,

4) Melaksanakan koordinasi terhadap jalannya pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan kehidupan masyarakat di nagari,

5) Melaksanakan tugas dalam rangka pembinaan ketentraman dan ketertiban masyarakat,

6) Melaksanakan urusan pemerintahan lainnya.

Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, Wali Nagari bertangguang jawab kepada BPAN dan secara administrasi menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati melalui Camat yang disampaikan setiap akhir tahun anggaran dan akhir masa jabatannya.


(29)

1.6.5.2 Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN)23

1. Legislasi, yaitu merumuskan dan menetapkan Peraturan Nagari bersama-sama dengan Pemerintahan Nagari,

Sesuai dengan pengertian dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari bahwa Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN) merupakan lembaga Legislatif pada tingkat nagari. Sesuai dengan pengertian tersebut, bahwa sebagai lembaga Legislatif di tingkat nagari. BPAN berfungsi menjadi pengawas terhadap jalannya Pemerintahan Nagari. Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 tersebut telah diatur mengenai fungsi BPAN, yaitu :

2. Bersama dengan Wali Nagari menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nagari,

3. Bersama Lembaga Adat Nagari (LAN) mengayomi adat istiadat yang berlaku dalam Nagari,

4. Pengawas, yaitu pengawasan yang meliputi terhadap pelaksanaan Peraturan Nagari, Anggaran Pandapatan dan Belanja Nagari serta pelaksanaan Keputusan Wali Nagari. Adapun Kebijakan Pemerintahan Nagari diantaranya:

a) Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintahan Daerah terhadap rencana perjanjian yang akan dilaksanakan apabila menyangkut dengan kepentingan nagari, b) Bersama LAN menetapkan kedudukan, fungsi, dan

pemanfaatan harta kekayaan nagari sebagai kesejahteraan anak nagari.

23


(30)

1.6. 5.3 Lembaga Adat Nagari (LAN)24

Dalam upaya pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat di masing-masing nagari, maka Lembaga Adat Nagari (LAN) yang telah ada sebagai lembaga Yudikatif nagari perlu difungsikan sehingga dapat berperan sebagai mana mestinya. LAN berfungsi menyelesaikan sengketa sako dan pusako

(harta dan pusaka) menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku di nagari, dalam bentuk putusan perdamaian. Tetapi apabila tidak tercapai penyelesaian secara perdamaian tersebut maka pihak-pihak yang bersangkutan dapat meneruskan perkaranya kepada Pengadilan Negeri melalui Wali Nagari.

Tabel 2

Struktur Organisasi Pemerintahan Nagari

Sumber : PERDA Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 Tetang Pemerintahan Nagari

24

LKAAM. Ibid

LAN BPAN

SEKRETARIAT NAGARI

UNIT SEKSI KEPALA URUSAN

CAMAT

WALI NAGARI BUPATI


(31)

Pemerintahan nagari adalah sistem pemerintahan modern. Hal ini terlihat dari struktur dan fungsi dari lembaga yang ada di nagari tersebut. Akan tetapi otoritas (kewenangan) untuk menjalankan pemerintahan tersebut masih memakai otoritas tradisional. Orang-orang yang memiliki otoritas dalam tipe ini adalah Niniak Mamak

(Ninik Mamak) atau Penghulu-penghulu dimana jabatannya telah ada secara turun temurun. Jadi keberadaan mereka berpengaruh ditengah-tengah masyarakat yang ada di nagari dan menjadi panutan bagi masyarakat.

Pemberlakuan Sistem Pemerintahan Nagari di Kabupaten Lima Puluh Kota penetapannya didasarkan kepada nagari-nagari sebelum diberlakukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa di Kabupaten Lima Puluh Kota yaitu Peraturan Daerah Nomor 01 tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari pada Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 5 dinyatakan oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota. Bahwa menentukan penetapan nagari termasuk batas wilayah nagari lama, nama nagari, jumlah penduduk, merupakan hasil kesepakatan adat nagari dan beberapa tokoh masyarakat sebelum terbentuknya nagari yang syah menurut Peraturan Daerah tersebut. Hasil musyawarah yang telah ada tersebut kemudian disampaikan kepada Bupati melalui Camat. Berdasarkan hal tersebut barulah terbentuk berbagai badan-badan yang ada di tingkat nagari yang diamanatkan oleh Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari.

1.6.5.4 Lembaga Syarak Nagari

Dalam upaya pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan syarak di masing-masing nagari, maka Lembaga Syarak yang ada di nagari perlu difungsikan sehingga


(32)

dapat berperan sebagai penuntun kehidupan yang berlandaskan adat dan syarak. Adapun fungsi Lembaga Syarak nagari yaitu :

a) Sebagai wadah untuk mengembangkan kehidupan yang berbudaya adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah,

b) Sebagai wadah untuk meningkatkan dan menggalang ukuwah islamiah dalam rangka mewujudkan kesatuan dan persatuan,

c) Sebagai wadah pemberi fatwa untuk anak nagari dan Pemerintahan Nagari dalam rangka syarak mangato adat mamakai. 25

1.6.6 Kepemimpinan Tungku Tigo Sajarangan dan Tali Tigo Sapilin

Tungku Tigo Sajarangan adalah lambang dari tiga unsur kepemimpinan di Minangkabau, yaitu Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai (Cadiak Pandai). Sedangkan Tali Tigo Sapilin mengacu pada tiga landasan sebagai tempat berpijak bagi Tungku Tigo Sajarangan. Dimana ketiga landasan tersebut adalah ketentuan adat yang menjadi pegangan Ninik Mamak, hukum agama atau syarak sebagai pegangan para alim ulama, dan Undang-undang yang menjadi pegangan atau landasan berpijak para Cerdik Pandai (Cendikiawan).26

Ninik Mamak adalah fungsional adat. Jabatan Penghulu adalah sebagai pemegang gelar Datuk secara turun-temurun menurut garis keturunan ibu dalam sistem matrilineal. Prinsip kepemimpinannya adalah apabila setiap persoalan yang tumbuh dalam kaum, suku, dan nagari dapat dicari pemecahannya melalui musyawarah dan mufakat. Penyelesaian dilakukan denga cermat sehingga tidak

1.6.6.1 Ninik Mamak

25

Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 Tentang Sistem Pemerintahan Nagari. Pasal 104-105

26


(33)

seorang pun yang merasa menang atau kalah. Sedangkan prosedur kepemimpinannya adalah dari Ninik turun ke Mamak, dari Mamak turun ke Kemanakan, patah tumbuh hilang berganti. Kemenakan yang berhak menerima warisan itu adalah kemenakan dibawah dagu, yaitu kemenakan yang mempunyai pertalian darah. Namun ada dua pendapat dalam hal pewarisan gelar Ninik Mamak sesuai dengan aliran kelarasan yang dianutnya, yaitu :

1. Warih dijawek, maksudnya yang berhak mewarisi jabatan Ninik Mamak adalah kemenakan langsung yaitu anak laki-laki dari saudara perempuan. Sistem ini dianut oleh kelarasan Koto Piliang,

2. Gadang bagilia, maksudnya yang berhak mewarisi jabatan penghulu yaitu semua laki-laki warga kaum dengan cara bergeliran antara mereka yang seasal-usul. Sistem ini dianut oleh kelarasan Bodi Caniago.27

Adapun syarat-syarat atau kriteria seorang laki-laki untuk dapat dipilih menjadi seorang Ninik Mamak adalah :

1. Seseorang terpilih menjadi Ninik Mamak karena dipandang memiliki kepribadian yang terus berkembang, berilmu, dan mempunyai wawasan yang luas. Calon Ninik Mamak tersebut mempunyai kelebihan dari yang lainnya, mempunyai kemampuan dan kapabilitas. Dia juga mempunyai wibawa, disegani anak kemenakan, kukuh dengan pendirian, tidak terombang-ambing, dan solid,

27


(34)

2. Tinggi dek dianjuang, gadang dek diambak, artinya ada persetujuan bersama atau ada kesepakatan untuk mengangkatnya jadi Ninik Mamak.28

1.6.6.2 Alim Ulama

Alim Ulama adalah fungsional agama dalam masyarakat. Prinsip kepemimpinannya adalah tahu sah dengan batal, tahu halal dengan haram, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul karena adat Minangkabau adalah adat Islami, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Sedangkan prosedur kepemimpinannya mengaji sepanjang kitab, kitab datang dari Allah, Sunnah datang dari Rasul. Pada hakikatnya, alim ulama berdiri di pintu syarak (agama Islam).

Pada abad ke-18, di daerah Minagkabau tumbuh dan berkembang Surau-surau sebagai pusat pengkajian, ilmu, dan politik. Surau sebagai lembaga pendidikan dan pusat kaum terpelajar dalam menuntut ilmu agama yang berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan. Setelah menamatkan pelajarannya, mereka kembali ke nagari sebagai Alim Ulama dengan ketentuan dipandang taat beribadah, rajin ke Surau, dan mampu membimbing masyarakat untuk taat beragama. Dewasa ini unsur Alim Ulama lahir di tengah masyarakat yang merupakan tamatan Pesantren, Madrasah, Perguruan Tinggi Agama Islam, dan lain sebagainya.29

28

LKAAM. Op. Cit. hal.105

29


(35)

1.6.6.3 Cerdik Pandai

Cerdik Pandai (Cadiak Pandai) adalah fungsional masyarakat di bidang ilmu pengetahuan dalam arti yang luas. Dalam kenyataan sehari-hari, Cerdik Pandai adalah orang yang menguasai ilmu, baik ilmu adat, ilmu agama, maupun ilmu pengetahuan. Pada awalnya para Cerdik Pandai adalah warga nagari yang berprofesi sebagai guru, kerani (juri tulis kantor), dan lain-lain. Orang-orang tersebut dipandang berpengetahuan lebih dibanding masyarakat awam dan terbiasa dengan menulis dan membaca.30

Selain Sistem Pemerintahan Nagari di Minagkabau, juga ada beberapa wilayah di Indonesia yang juga mempunyai sistem pemerintahan terendah tersendiri, yaitu diantaranya di Jawa, Madura, dan Bali disebut Desa, di Sumatera disebut Kampung, Huta, Nagari, di Kalimantan disebut Tumenggungan, di Sulawesi ada Wanua, Distrik, Pekasoan, di Nusa Tenggara Barat disebut Banjar, Lomblan, di Nusa Tenggara Timur disebut Mapoa, Laraingu, Kenaitan, Keftaran, Kedatoan, Kedaluan, serta di Maluku dan Irian disebut Goa, Koana dan Nagary.

Orang tersebut dibawa ikut berunding dalam memecahkan berbagai masalah di nagari. Mereka paham dengan Undang-undang dan peraturan atau ketentuan yang berlaku dalam hidup bersama sebagai bangsa dan bernegara. Ketika perkembangan pendidikan sudah lebih maju telah melahirkan orang-orang pandai dan para cendikiawan sebagai unsur Tungku Tigo Sajarangan.

1.6.5 Beberapa Jenis Sistem Pemerintahan Lokal di Indonesia

31

30

LKAAM. Ibid 31


(36)

1.6.5.1 Huta 32

1.6.5.2 Pakasa’an

Dalam masyarakat Batak juga terdapat sistem pemerintahan lokal yang dikenal dengan sebutan Huta, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul yaitu Dalihan Na tolu yang harus tetap selaras dengan ketentuan dan hukum agama. Setiap Huta, marga-marga yang ada dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu Kahanggi, Anak Boru dan Mora.

Para tokoh masyarakat dari masing-masing marga yang tergabung dalam kelompok Kahanggi, Anak Boru, dan Huta menentukan atau memilih pimpinan mereka yang duduk dalam Dewan Huta atau sebagai Raja Pamusuk. Pembentukannya diusulkan oleh Camat kepada Bupati untuk selanjudnya diusulkan kepada DPRD Kabupaten.

Camat yang membawahi Huta menyelenggarakan Rapat Adat dalam menentukan kelompok marga yang tergolong Kahanggi, Anak Boru, dan Mora. Pembentukan Huta ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah.

33

Pemimpin Minahasa zaman tempo dulu terdiri dari dua golongan yaitu Walian

dan Tona’as. Sebelum abad ke-7, masyarakat Minahasa berbentuk Matriakhat. Bentuk Masyarakat adat Minahasa sudah mengenal sebuah sistem pemerintahan sebelum masuknya bangsa asing ke negeri ini. Begitupun sub etnis Toumbulu yang bermukim di wilayah Toumu’ung yang kemudian dikenal dengan nama Tomohon serta memiliki pemuka adat yang memimpin dan memerintah komunitas masing-masing.

32

A.A Nasution. Pangamalan Budaya Dalihan Na Tolu dalam Pengelolaan Pemerintahan Daerah Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Kota Padangsidempuan. Jakarta :Fortasman.2003. hal.51

33


(37)

ini digambarkan bahwa golongan Walian wanita yang berkuasa untuk menjalankan pemerintahan “Makarua Siouw”, yaitu sama dengan Dewan dengan 18 orang leluhur dari tiga Pakasa’an. Tetapi pada abad ke-7 telah terjadi perubahan pemerintahan, pemerintahan Walian wanita beralih ke pemerintahan golongan Tona’as Pria dengan menjalankan pemerintahan “ Makatelu Pitu” yaitu Dewan dengan 21 orang leluhur laki-laki.

Sebelum adanya pemerintahan kolonial Belanda, Tomohon berbentuk sebuah wilayah sub etnis yang disebut Pakasa’an Toumbulu yang dipimpin seorang Tona’as. Dibawah Pakasaan terdapat beberapa Walak yang dikepalai oleh Kepala Walak. Walak membawahi beberapa Wanua, dan Wanua tediri dari beberapa Lukar yang dikepalai oleh seorang Kolano. Lukar dipimpin oleh seseorang yang didebut dengan

Pahendon Tua dan dipilih langsung oleh warganya.

Sistem pemerintahan masyarakat adat ini mengalami perubahan setelah Hindia Belanda menguasai Nusantara. Pakasaan disebut Distrik, Walak disebut Onderdistrik,

Wanua diganti Negeri dan Lukar menjadi Jaga. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah Onderdistrik berubah menjadi wilayah Kecamatan, sementara Negeri diganti dengan Desa, dan Jaga menjadi Dusun. Setiap sub etnis Minahasa mempunyai panglima perangnya sendiri tapi panglima perang tertinggi adalah raja karena dilantik dan dapat diganti oleh dewan tua yang disebut Potuosan.

1.6.5.3 Wanua

Kemunculan desa di Bali bila dilacak dari awal, dapat dilihat jejaknya sejak zaman Bali Kuna yaitu sebelum kedatangan raja-raja turunan Majapahit ke Bali. Pada masa itu, antara abad ke-9 samapai abad ke-14, masyarakat Bali telah mengenal


(38)

masyarakat desa yang disebut Kraman. Untuk menunjuk desa digunakan istilah

Wanua atau Banua seperti yang tercatat dalam prasasti desa Trunyan abad ke-10.34

Selain di Bali, hampir semua kerajaan atau sistem pemerintahan di Bugis dan Makassar terbangun dari adanya perjanjian politik antara kelompok atau Anang dalam wilayah Wanua untuk mengangkat To Manurung sebagai pemimpin atau raja untuk membangun sebuah negara dengan sistem hukum dan sistem sosial budaya yang disepakati bersama dalam mempersatukan dan menjaga masyarakat Wanua menjadi masyarakat yang makmur dan sejahtera.

Wujud desa pada masa ini lebih merupakan kelompok keturunan pendiri pemukiman yang sejak awal telah mendiami daerah tersebut. Meskipun ada yang disebut raja, namun kekuasaannya tidak masuk mencampuri keadaan di desa. Pada masa ini desa-desa mempunyai kekuasaan penuh, mandiri, dan otonom. Walaupun dari segi sistem organisasi dan kepercayaan, wanua-wanua tersebut mendapatkan pengaruh dari Empu Kuturan, seorang Wiku Mumpuni dari Jawa Timur, namun hal ini bukanlah hubungan hierarkhi struktural.

Pasca Otonomi Daerah sejumlah konsesi ekonomi telah diberikan oleh Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten kepada Wanua sebagai desa adat. Disamping itu Wanua mulai diikusertakan dalam proses pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan seharai-hari di tingkat desa. Misalnya, izin investasi harus mendapatkan persetujuan dari Wanua.

35

34

35

Ahmat Yani. Prilaku Politik Orang Bugis dalam Dinamika Politik Lokal. Sulawesi. Cseas. Kyoto-u.ac.jplib


(39)

1.7 METODOLOGI PENELITIAN 1.7.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk melakukan pemahaman yang cermat terhadap fenomena sosial berdasarkan gejala-gejalanya. Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, maupun masyarakat pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya.36

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati.

Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data serta fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan.

37

Adapun lokasi yang dipilih dalam penelitian ini yaitu di Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.

Dengan demikian untuk memperoleh data, peneliti turun ke lapangan untuk melakukan wawancara terhadap aktivitas dari objek yang diteliti serta dari dokumentasi-dokumentasi yang ada sebagai pelangkap data yang dibutuhkan. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan bagaimana Sistem Pemerintahan Nagari yang diterapkan di wilayah Minangkabau, terutama pada Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.

1.7.2 Lokasi Penelitian

36

Hadari Nawawi. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 1987. hal. 63

37


(40)

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Guna menunjang kelengkapan penelitian, maka peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara menggunakan metode lapangan dan metode kepustaaan.

1. Metode Lapangan

Dengan menggunakan metode ini peneliti akan terjun langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data yang diperlukan dengan menggunakan metode wawancara langsung dengan pihak-pihak terkait. Peneliti juga akan melakukan observasi langsung terhadap objek yang diteliti.

2. Metode Kepustakaan

Metode kepustakaan dilakukan guna melengkapi kerangka teoritis dan kerangka konsep dengan menggunakan referensi berupa text book yaitu buku bacaan, artikel, makalah, surat kabar dan web site.

1.7.4 Teknik Analisa Data

Setelah data diperoleh untuk mendukung proses analisa, maka tahapan selanjutnya adalah melakukan analisa data. Dalam analisa data ini, data yang sudah terkumpul akan diolah yang kemudian akan di analisis untuk dapat disimpulkan sebagai hasil dari penelitian. Penelitian ini mencoba menganalisis Sistem Pemerintahan Nagari yang diterapkan di Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.

Metode analisa data dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu suatu metode dimana data yang diperoleh disusun dan diinterpretasikan sehingga


(41)

memberikan keterangan terhadap masalah-masalah yang aktual berdasarkan data-data yang sudah terkumpul dari penelitian.38

1.8 SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih rinci, maka peneliti membaginya dalan IV bab dan beberapa sub bab. Untuk itu sistematika penulisan skripsi ini adalah:

BAB I PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data, dan sistemetika penulisan.

BAB II DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan gambaran umum wilayah Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.

BAB III ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang sejarah Sistem Pemerintahan Nagari di Minangkabau dari sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa sampai masa berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, Mekanisme perekrutan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di nagari, hubungan kerja antara pemerintahan Kabupaten, Kecamatan, Pemerintahan Nagari dan lembaga-lembaga yang ada dalam nagari,

38


(42)

serta pergeseran yang terjadi dalam Sistem Pemerintahan Nagari dewasa ini.

BAB IV PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang diperoleh dari hasil penelitian.


(43)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

2.1 GAMBARAN UMUM NAGARI GUGUAK VIII KOTO

Wilayah penelitian dalam skripsi ini adalah daerah Nagari Guguak VIII Koto, adalah suatu daerah yang terpadat di Kabupaten Lima Puluh Kota yang secara umum diketahui berada di ranah Minangkabau. Nagari Guguak VIII Koto merupakan nagari yang telah menerapkan Sistem Pemerintahan Nagari secara modern dan sesuai dengan perkembangan zaman. Nagari Guguak VIII Koto berada di wilayah bagian Utara Kabupaten Lima Puluh Kota atau berjarak 10 Km dari pusat kota Payakumbuh. Kanagarian ini dilalui jalan raya antara Payakumbuh dan Suliki, dengan batas wilayah administrasi Nagari Guguak VIII Koto adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Barat berbatasan dengan Nagari VII Koto Talago,

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Nagari Koto Baru Simalanggang, 3. Sebelah Utara berbatasan dengan Nagari Mungka,

4. Sebelah Selatan berbatasan dengan Nagari Sungai Talang dan Nagari Kubang. Nagari Guguak VIII Koto mempunyai luas wilayah 217 Ha dengan tingkat pemakaian tanah hampir 80 % digunakan untuk lahan pertanian, sawah dan ladang yang dikelola secara turun temurun. Sebagian areal persawahan yang ada di Nagari Guguak VIII Koto telah mempunyai irigasi teknis sejak zaman Penjajahan Belanda. Kondisi ini telah melahirkan tingkat Sumber Daya Manusia yang memadai untuk Nagari Guguak VIII Koto.

Dari luas wilayah tersebut, selain digunakan untuk areal sawah, juga diusahakan sebagai areal ladang. Dari areal sawah dan ladang tersebut dihasilkan komoditi pertanian berupa padi, palawija, kelapa, dan cokelat. Nagari Guguak VIII


(44)

Koto memiliki curah hujan rata-rata 450 mm/tahun dengan tingkat ketinggian diatas permukaan laut 791 m, dengan suhu rata-rata berkisar 20 derajat pada malam hari. Keadaan cuaca ini sangat membantu masyarakat dalam melakukan usaha pertanian, terutama pertanian persawahan yang diusahakan maksimal tiga kali panen dan minimal dua kali panen dalam satu tahun, kamudian komoditi pertanian ladang berupa kelapa, cokelat, jagung dan selain itu lahan juga dimanfaatkan untuk ternak sapi, kerbau, ayam dan ikan.

Melihat kemampuan masyarakat Nagari Guguak VIII Koto yang cukup menonjol dalam bidang pertanian dan pertenakan maka dapat digambarkan bahwa Nagari Guguak VIII Koto merupakan Nagari yang sangat berpotensi dalam bidang pertanian dan masih dapat ditingkatkan dengan cara intensifitas bidang pertanian dan pertenakan. Dengan kondisi inilah sejak dulu Nagari Guguak VIII Koto dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

2.1.1 Topografi Wilayah Nagari Guguak VIII Koto

Nagari Guguak VIII Koto yang mempunyai luas 217 Ha, dengan ketinggian dari permukaan laut 791 m serta curah hujan rata-rata 21000 mm/tahun. Dari seluruh luas wilayah tersebut 70 % dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian baik sawah maupun ladang. Dari luas wilayah tersebut yang dimanfaatkan untuk lahan pekarangan seluas 15 %, yang tersebar hampir merata di seluruh Nagari Guguak VIII Koto.

2.1.2 Domografi Nagari Guguak VIII Koto

Nagari Guguak VIII Koto mempunyai penduduk 11.822 jiwa yang terdiri dari anak-anak, orangtua, angkatan kerja dan wanita. Dari jumlah penduduk tersebut,


(45)

angkatan kerja hanya 70 % dari jumlah penduduk seluruhnya. Penyebaran penduduk Nagari Guguak VIII Koto dapat dilihat dari tabel berikut :

Tabel 3

Penyebaran Jumlah Penduduk Nagari Guguak VIII Koto Tahun 2004

NO JORONG JUMLAH

1 2 3 4 5 6 7 8

Kuranji Tiakar Guguak

Kubang Tungkek Ketinggian Pincuran Betung Balai Mansiro Balai Talang

2.172 1.651 1.606 1.784 1.563 731 697 1.618

Jumlah 11.822

Sumber : Profil Nagari Guguak VIII Koto Tahun 2004

2.1.3 Tingkat Pendidikan di Nagari Guguak VIII Koto

Melihat dari kemampuan penduduk Nagari Guguak VIII Koto yang bermata pencarian dalam bidang pertanian, sangat berpengaruh bagi tingkat pendidikan masyarakat kedepan. Selain itu, budaya merantau juga memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap tingkat pendidikan masyarakatnya, dengan adanya budaya merantau tersebut telah menjadikan masyarakat Nagari VIII Koto yang ada diperantauan dapat lebih berupaya semaksimal mungkin dalam meningkatkan pendidikan keluarganya yang ada di kampung.


(46)

Disamping hasil pendapatan dan budaya merantau yang berpengaruh kuat pada tingkat pendidikan, tingkat penyedian sarana pendidikan yang terdapat di Nagari Guguak VIII Koto juga memegang peranan yang penting.. Sarana pendidikan tersebut diperlukan sebagai basis yang kuat untuk memulai peningkatan pendidikan masyarakat.

Tabel 4

Tingkat Pendidikan Masyarakat Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota

Tahun 2004

No TINGKAT PENDIDIKAN JUMLAH (ORANG)

1 2 3 4 5

Tidak Tamat SD Tamat SD / Sederajat Tamat SLTP / Sederajat Tamat SMU / Sederajat Tamat Perguruan Tinggi

160 1640 1565 1840 765 Sumber Data : Profil Nagari Guguak VIII Koto Tahun 2004

Dari tabel diatas jelaslah bahwa tingkat kwalitas pendidikan di Nagari Guguak VIII Koto cukup memadai untuk melaksanakan pembangunan dan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang selayaknya bagi perkembangan Nagari Guguak VIII Koto kedepan.

2.1.4Sarana dan Prasarana di Nagari Guguak VIII Koto

Sebagai salah satu Nagari yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota, pemerintahan Nagari Guguak VIII Koto telah menjalankan roda pemerintahan secara


(47)

aktif sejak pembentukannya pada tanggal 1 Maret 2001 berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari.

Tabel 5

Jumlah Sarana dan Prasarana Pemerintahan di Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota

Tahun 2004

No Jenis Sarana dan Prasarana Jumlah (Unit)

1 2 3 4 5 6 7

Kantor Camat

Kantor Dinas / Instansi Puskesmas

Kantor Wali Nagari Kantor LAN

Kantor Wali Jorong Dan Lain-lain

1 5 2 1 1 8 9 (Sumber Data : Profil Nagari Guguak VIII Koto Tahun 2004)

Dari tabel tersebut jelas bahwa sarana pemerintahan yang ada di Nagari Guguak VIII Koto cukup memadai untuk menjalankan roda pemerintahan Nagari. Disamping sarana pemerintahan Nagari, Nagari Guguak VIII Koto juga merupakan pusat pemerintahan Kecamatan. Dari jumlah sarana dan prasarana perkantoran yang ada, telah beroperasi dengan maksimal dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.


(48)

2.1.5 Potensi Kelembagaan Bidang Pemerintahan di Nagari Guguak VIII Koto

Untuk potensi kelembagaan Bidang Pemerintahan di Nagari Guguak VIII Koto lahir sejalan dengan pemberlakuan Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari.

Tabel 6

Lembaga Pemerintahan di Nagari Guguak VIII Koto

No Jenis Lembaga Pemerintahan Jumlah

1 2 3 4 5 6 7

Wali Nagari BPAN Wali Jorong LAN

Kepemudaan Karang Taruna Dan Lain-lain

1 1 8 1 8 8 8 (Sumber : Profil Nagari Guguak VIII Koto tahun 2004)

Sesuai dengan PERDA Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari, bahwa yang dimaksud dengan Pemerintahan Nagari terdiri dari dua lembaga yakni pertama Wali Nagari yang dibantu oleh Sekretariat Nagari, dan Wali Jorong, serta yang kedua adalah BPAN selaku lembaga Legislatif yang berfungsi sebagai pengawas bagi pelaksanaan Pemerintahan Nagari pada tingkat nagari. Hubungan kerjasama ini diatur dengan ketentuan yang tercantum dalam PERDA Nomor 01 Tahun 2001 tersebut. Pelaksanakan tugas dan kewajiban Wali


(49)

Nagari, baik langsung maupun tidak langsung selalu diawasi oleh BPAN. Oleh sebab itu, sewaktu-waktu BPAN dapat saja meminta pertanggungjawaban dan meminta keterangan kepada Wali Nagari dalam hal pelaksanaan dan tugasnya selaku Wali Nagari.

Tabel 7

STRUKTUR ORGANISASI NAGARI GUGUAK VIII KOTO KABUPATEN LIMA PULUH KOTA

(Sumber : Profil Nagari Guguak VIII Koto Tahun 2004)

BALAI TALAN G (DASRI L) BALAI MANSIRO (DT.BASA) PINCURAN BOTUANG (ANWARNIS) KETIN GGIAN (ASRIL) KUBANG TUNGKEK (HABIBURRAH MAN) GUGUK (DAVID) TIAKAR (SAFRIA DI) KURANJI (DT.NAN.PA NJANG) BUPATI Drs.H.AMRI DARWIS CAMAT ARWITAL BA WALI NAGARI RISMARDI S.Sos BPAN NURYANTO (Ketua) BMAS H.S.DT.BATANG (Ketua) LAN DT.GODANG SATI (Ketua) LSD FAUZI BA SEKRETARIS UNIT PERENCANAAN dan PENGELOLAAN KEUANGAN (NITALIA SYAMSIR) SEKSI TU dan KESEJAH TERAAN (ELVI SUSANTI) SEKSI PERTANIAN dan KOPERASI (MELFIRA DESNITA) KAUR PEMERIN TAHAN (ANWAR BEY) KAUR PEMBAN GUNAN (ISMET) WALI JORONG


(50)

2.1.6 Kesukuan di Nagari Guguak VIII Koto

Dalam sejarah Minangkabau sebagai kesatuan masyarakat hukum adat geneologis teritorial, nagari dipersatukan oleh rasa kesamaan keturunan dan kesamaan daerah yang ditempati. Terdapat dua suku inti yang menjadi dua tipe nagari di Minangkabau yaitu Nagari Kelarasan Bodi Caniago yang dikembangkan oleh Datuk Parpatiah Nan Sabatang dan Koto Piliang yang dikembangkan oleh Datuk Katumanggungan, kemudian berkembang melahirkan anak-anak suku seperti picancang, dalimo, jambak, sikumbang, koto, caniago dan lain sebagainya. Khusus di wilayah Guguak VIII Koto hampir seluruh masyarakatnya menganut keturunan Bodi Caniago, yang terkenal dengan azas musyawarah dan demokratis.

Hal ini tercermin dalam hal pemilihan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada dalam nagari maupun dalam pemilihan Mamak selaku kepala suku atau penghulu. Dalam hal pemilihan Mamak selaku penghulu inilah yang membedakan antara Koto Piliang dengan Bodi Caniago, dimana Koto Piliang menerapkan bentuk monarkhi dengan jabatan Mamak secara turun temurun. Nagari yang menganut kelarasan Koto Piliang dapat juga dikatakan sebagai kerajaan federasi mini dimana dikenal dengan adanya Penghulu Pucuk sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam nagari yang dijabat secara turun temurun menurut garis keturunan. Sistem pengambilan keputusannya dikenal dengan istilah titiak dari ateh (menitik dari atas).39

Di Nagari Guguak VIII Koto yang merupakan keturunan Bodi Caniago dimana hanya ada para pembesar suku (penghulu andiko). Para penghulu suku dalam nagari memiliki kedudukan yang sama dan sederajat. Salah seorang dari mereka disepakati untuk waktu tertentu mengepalai para penghulu yang ada dan dipegang

39

Zenwen Pador. Kembali ke Nagari : Batuka Baruak jo Cigak ?. Jakarta : PT. Sinar Grafika. 2002. hal.9


(51)

secara bergilir. Nagari Bodi Caniago bercorak demokrasi. Segala masalah yang timbul dalam nagari dibicarakan bersama dengan hak dan kedudukan yang sama bagi setiap penghulu suku.

Di Nagari Guguak VIII Koto walaupun terkenal dengan masyarakatnya yang menganut azas Bodi Caniago, tetapi dalam pelaksanannya masih ada beberapa suku yang menerapkan prinsip Koto Piliang dalam memilih Mamak selaku Kepala Suku atau Penghulu. Kesukuan manyarakat Nagari Guguak VIII Koto telah berkembang menjadi empat suku yang dominan atau disebut dengan kaampek suku, yang dikepalai oleh seorang Datuak selaku Suku Pucuak dengan atasannya para Penghulu Andiko. Adapun Kesukuan yang ada di Nagari Guguak VIII Koto adalah :

PENGHULU ANDIKO

KAAMPEK SUKU

SUKU PUCUAK (Ketua Kaampek Suku) (DT. Rajo Mangkuto Nan Lujua)

1. DT. Majo Bosa (Penghulu Pucuak) a) Paga Cancang

b) Tanjuang c) Dalimo d) Payobadar e) Sikumbang f) Piliang g) Guci


(52)

2. DT. Panduko Tuan (Penghulu Pucuak) a) Melayu

b) Bendang c) Kampai d) Mandailing

3. DT. Damuansa (Penghulu Pucuak) a) Puti Anyia

b) Salo c) Jambak d) Pitopang

4. DT. Siri Marajo (Penghulu Pucuak) a) Caniago

b) Bodi c) Sipanjang d) Pabotungen e) Simabua.40

2.2 KENDALA YANG DIHADAPI NAGARI GUGUAK VIII KOTO DALAM MENERAPKAN SISTEM PEMERINTAHAN NAGARI

Dalam menerapkan kembali Sistem Pemerintahan Nagari di Nagari Guguak VIII Koto, ada beberapa kendala yang dihadapi. Kendala-kendala tersebut ada yang

40

Wawancara dengan Rismardi (Wali Nagari Guguak VIII Koto), pada tanggal 7 Januari 2008 di Kantor Wali Nagari Guguak VIII Koto, Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat


(53)

bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Kendala-kendala yang bersifat umum meliputi :

1) Kurangnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) nagari dan aparatur nagari, 2) Kurangnya sarana dan prasarana pendukung, seperi jalan nagari yang

menghubungkan Jorong-jorong yang ada di nagari,

3) Kurang memadainya fasilitas pasar, sarana ibadah, dan sarana lainnya.

Sedangkan kendala yang bersifat khusus meliputi :

1) Sulitnya mendapatkan figur Wali Nagari yang benar-benar memahami adat-istiadat yang berlaku.

Kendala ini merupakan imbas negatif dari Pemerintahan Desa yang kurang memberi tempat atau ruang gerak bagi tumbuh dan berkembangnya adat-istiadat dalam masyarakat. Selama lebih dari dua puluh tahun terjadi penyeragaman struktur dan berbagai aspek lain dalam tatanan sistem pemerintahan terendah, selama itu pula terjadi kevakuman sosialisasi adat dan budaya karena tidak maksimalnya fungsi lembaga-lembaga adat.

2) Ketidaksiapan masyarakat.

Masalah ini muncul karena terbelakangnya kreatifitas adat dan budaya masyarakat selama rentan waktu antara tahun 1979 hingga tahun 1999, antara sejak berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 hingga sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999.

3) Jumlah penduduk nagari yang terlalu padat.

Masalah ini muncul karena dari segi wilayah, nagari sebelum tahun 1979 dengan nagari sekarang tidak mengalami perubahan, sementara dari segi pertambahan penduduk mengalami perubahan yang sangat besar. Dimana


(54)

jumlah penduduk nagari Guguak VIII Koto pada tahun 1979 adalah 6.345 jiwa, sedangkan pada tahun 2004 adalah 11.822 jiwa yang tersebar dalam delapan Jorong.41

41

Profil Nagari Guguak VIII Koto tahun 1979 dan tahun 2004

Hal ini tentu menjadi masalah yang karena pertambahan penduduk yang cukup besar tidak diimbangi dengan pertambahan potensi, asset, kekayaan nagari, serta fasilitas umum.


(55)

BAB III

ANALISA DATA

3.1 SEJARAH SISTEM PEMERINTAHAN NAGARI DI MINANGKABAU 3.1.1 Pemerintahan Nagari Sebelum Diberlakukannya Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1979 Tentang pemerintahan Desa

Sesuai dengan sejarahnya bahwa nagari pada masa dulunya merupakan Daerah Otonomi yang mempunyai tugas wewenang dan fungsi yang sangat luas dan berumur cukup tua. Menurut keyakinan penduduk, jauh sebelum berdirinya Kerajaan Pagaruyung bahwa pada masa itu nagari telah ada dan lengkap dengan norma-norma yang mengatur masyarakatnya. Dimana suatu nagari mempunyai persyaratan dan kelengkapan berupa :

1. Babalai (Balai Adat), 2. Bamusajik (Masjid),

3. Bakampung (Wilayah geografis yang jelas), 4. Batapian (Tempat Pemandian),

5. Batanah Kariang (Kawasan yang kering untuk mendirikan rumah) atau Batanah Basah (Sawah/Sungai), dan

6. Bapandam pakuburan (Pemakaman Umum).42

Pada masa itu nagai-nagari di Minangkabau berjalan dengan sistem pemerintahan tradisional yang mengacu kepada kesatuan teritorial dan menurut garis keturunan. Pada dasarnya nagari diperintah oleh kumpulan penghulu-penghulu suku yang memiliki kewenangan yang sama derajatnya dan tergabung dalam sebuah

42


(56)

kerapatan. Setiap keputusan yang menyangkut masalah nagari dimusyawarahkan dalam kerapatan nagari.

Musyawarah ini mengacu pada ketentuan (adat) :

Bulek aia dek pambuluah (bulat air karena pembuluh)

Bulek kato dek mufakaik, (bulat kata karena mufakat), serta

Kemanakan barajo ka mamak (kemenakan beraja ke paman)

Mamak barajo ka penghulu (paman beraja ke penghulu)

Penghulu barajo ka mufakaik (penghulu beraja ke mufakat)

Mufakaik barajo ka nan bana (mufakat beraja ke yang benar)

Nan bana tagak sandirinyo (yang benar berdiri dengan sendirinya).

Setelah intervensi penjajah Hindia Belanda di Minangkabau, oleh pemerintah Hindia Belanda sistem demokratis dan egaliter yang sudah berkembang berurat berakar ini berusaha dipengaruhi agar lebih bersifat otoriter aristokrasi. Tujuan dasarnya adalah bagaimana Belanda dapat menanamkan pengaruh dan mengamankan kepentingannya, khususnya pada setiap nagari dan pada seluruh Minangkabau pada umumnya. Mulailah Belanda mengintervensi dengan membuat jabatan-jabatan baru yang tidak pernah ada dalam sistem adat Minangkabau.

Dari penghulu-penghulu suku yang ada maka diangkatlah penghulu kepala. Beberapa nagari disatukan dalam kelarasan yang dikepalai oleh Tuanku Lareh. Selain itu Belanda juga mengangkat penghulu-penghulu suku diluar penghulu suku yang ada, yang dikenal dengan Penghulu Basurek. Penghulu-penghulu ini lebih dikenal dengan nama Penghulu Suku Rodi, karena tugasnya tidak lebih seperti


(57)

Pada tahap awal upaya ini mendapat tanggapan negatif dari masyarakat, bahkan setiap orang yang menyandang gelar itu sering menjadi cemoohan anak nagari. Namun dengan semakin kuatnya posisi penjajah Belanda, pada akhirnya sistem otoriter aristokrasi inipun juga semakin kuat, sekalipun tetap mendapat kritikan dari kalangan atau tokoh-tokoh intelektual Belanda.

Pada akhirnya, intervensi ini telah menyingkirkan pemerintahan adat asli Minangkabau. Seiring dengan ini, musyawarah-musyawarah nagari tidak pernah ada lagi, kekuatan senjata dan kekerasan menjadi modal utama Belanda di dalam melanggengkan sistem ini.

Pada awal masa kemerdekaan peraturan utama yang berlaku adalah Maklumat Residen Sumatera Barat Nomor 20 dan 21 Tahun 1946. Pada prinsipnya ketentuan ini memisahkan antara kewenangan adat dan kewenangan pemerintahan. Kewenangan adat dipegang oleh kerapatan adat nagari yang telah ada menurut adat selingkar nagari. Lembaga yang ada pada masa penjajahan Belanda juga telah tersingkir. Maklumat ini tidak begitu peduli pada keberadaan kerapatan nagari yang sesungguhnya dulu merupakan perwujudan suku-suku dan menjadi kekuatan riil dalam nagari.

Menurut Maklumat ini, Struktur Pemerintahan Nagari terdiri dari : 1. Wali Nagari selaku pimpinan tertinggi nagari,

2. Dewan Perwakilan Nagari (DPN) selaku legislatif,

3. Dewan Harian Nagari (DHN) selaku pelaksana pemerintahan nagari.

Kerapatan nagari yang terbentuk merupakan implementasi suku-suku yang ada di nagari tidak dilibatkan dalam kewenangan serta urusan-urusan pemerintahan nagari. Penghulu suku hanyalah salah satu unsur yang ada dalam Dewan Perwakilan Nagari (DPN), sedangkan anggota DPN lainnya dipilih oleh anak nagari. Namun


(58)

karena begitu besarnya otoritas Wali Nagari yang sekaligus merangkap sebagai Ketua DPN dan Ketua DHN, Wali Nagari seakan menjadi sentral pemerintahan nagari.

Maklumat Residen Sumatera Barat Nomor 03 Tahun 1945 sebelumnya telah memperkenalkan keberadaan anak nagari dan anggota partai juga terwakili dalam pemerintahan nagari. Maklumat tersebut secara fundamental telah merubah sistem demokrasi asli rakyat Minangkabau (Pemerintahan Rakyat Kerapatan) menjadi sistem pemerintahan rakyat perwakilan. Pada era ini juga mulai diperkenalkan sistem pemungutan suara.

Pada tanggal 14 Juni 1950 dikeluarkan Keputusan Pemerintahan Daerah Sumatera Tengah Nomor 50/GP/1950. Dengan keputusan ini Sistem Pemerintahan Nagari dihapuskan dan diganti dengan Sistem Pemerintahan Wilayah. Keputusan ini diawali dengan Konferensi Wali Nagari se Sumatera Barat pada tanggal 29 sampai tanggal 30 Maret 1947 di Bukittinggi. Dalam Konferensi itu, Pemerintahan Daerah Sumatera Barat menyampaikan harapan agar dari 542 nagari yang telah ada dapat dibentuk lebih kurang 100 daerah berotonomi.43

43

Zenwen Pador. Op. Cit. hal.5

Dengan keputusan ini berlangsunglah penggabungan antara nagari-nagari yang diharapkan nantinya dapat dibentuk daerah otonomi nagari-nagari yang dibesarkan dengan sebutan wilayah. Dengan terbentuknya wilayah tersebut, maka DPN dan DPH dari masing-masing nagari yang bergabung akan ditiadakan. Keputusan ini jelas tidak memperhitungkan sifat-sifat nagari yang tidak hanya sekedar kesatuan teritorial tetapi kesatuan secara geneologis, sudah barang tentu Pemerintahan Nagari Wilayah tidak mendapat tempat yang berarti bagi seluruh anak nagari yang telah digabungkan tersebut. Pada sisi lain sistem ini semakin membunuh demokrasi dalam pelaksanaan pemerintahan nagari.


(59)

Setelah dikeluarkannya ketetapan Gubernur Sumatera Barat Nomor 02/G-55/1955, pelaksanaan sistem pemerintahan wilayah dihentikan dan dikembalikan kepada bentuk semula, yaitu nagari berotonomi. Pada era ini struktur pemerintahan nagari terdiri dari Wali Nagari dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari (DPRN). Dalam perkembangannya DPRN yang diharapkan bisa menjadi lembaga legislatif nagari, ternyata tidak bisa dipertahankan.

Lain halnya dengan Wali Nagari yang mempunyai otoritas atas dukungan pemerintah. Kecenderungan yang terjadi Wali Nagari menjadi sebuah lembaga yang sangat mendominasi nagari. Pada satu sisi pengaruh partai politik ketika itu juga demikian besarnya. Institusi nagari dijadikan alat politik yang sangat ampuh dalam menanamkan pengaruh partai terhadap nagari. Jabatan Wali Nagari menjadi rebutan dan komoditas yang sangat menarik bagi para elit politik.

Setelah partai politik menguasai lembaga Wali Nagari, dampaknya bagi nagari lebih banyak negatifnya karena Wali Nagari yang berasal dari partai politik tersebut bukanlah seorang yang memiliki legitimasi kharismatik dan geneologis dan teritorial, tapi hanya sekedar kepentingan politik sejenak dan ini jelas berada di luar tradisi masyarakat Minangkabau yang telah ada sejak lama.

Terjadinya peristiwa PRRI serta berlakunya sistem demokrasi terpimpin dalam pemerinrahan Indonesia, Pemerintah Daerah Sumatera Barat telah mengeluarkan beberapa keputusan, diantaranya :

1. SK Gubernur Sumatera Barat tanggal 31 Agustus 1958 Nomor GSB/1/KN/58 tentang Pemilihan dan Perwakilan Kepala Nagari dalam Daerah Sumatera Barat. SK ini dikeluarkan guna mengisi kekosongan pemerintahan di nagari-nagari berhubung sedang berlangsungnya PRRI,


(1)

4. Melakukan kegiatan teknis pemilihan Bakal Calon Wali Nagari

5. Menjadi penanggungjawab penyelenggaraan pemilihan calon Wali Nagari.48

Pemilihan Wali Nagari dilakukan dengan melakukan pemilihan terhadap calon Wali Nagari dengan sistem pemilihan yang langsung, umum, bebas, dan rahasia sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Calon Wali Nagari yang terpilih sebagai Wali Nagari dengan keputusan BPAN berdasarkan laporan berita acara hasil pemilihan dari panitia pemilihan Wali Nagari.

Kenyataan seperti inilah yang menjadikan kekuasaan seorang Wali Nagari mendapatkan legitimasi secara internal, yaitu dari masyarakat yang ada di wilayah nagari. Kemudian Wali Nagari yang telah ditetapkan oleh BPAN, diusulkan kepada Bupati untuk mengeluarkan Keputusan Bupati tentang pengukuhan calon Wali Nagari terpilih sebagai Wali Nagari, dan pada saat ini Wali Nagari juga mendapatkan legitimasi secara eksternal yaitu dari pejabat yang ada di atasnya.


(2)

BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Berdasarkan analisis hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kesimpulan penelitian ini adalah :

1. Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah di Indonesia telah melahirkan penerapan kembali Sistem Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari yang diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari,

2. Pergantian sistem pemerintahan terendah di Sumatera Barat dari Sistem Pemerintahan Desa menjadi Sistem Pemerintahan Nagari telah menimbulkan pergeseran-pergeseran, baik dalam segi kekuasaan maupun dalam hal kepemimpinan,

3. Sistem Pemerintahan Nagari yang otonom dan demokratis sangat efektif dalam mengfungsikan lembaga-lembaga adat yang ada dalam masyarakat Minangkabau dalam rangka menyukseskan pelaksanaan Pemerintahan Nagari di Nagari Guguak VIII Koto khususnya,

4. Dampak yang dirasakan masyarakat di Nagari Guguak VIII koto dalam penerapan kembali Sistem Pemerintahan Nagari diantaranya adalah semakin meningkatnya kualitas pelayanan umum dengan adanya pelimpahan sebagian wewenang atau urusan pemerintahan antara Kabupaten, Kecamatan


(3)

dan Nagari dalam meningkatkan partisipasi dan pendidikan politik masyarakat, meningkatkan solidaritas, dan kemandirian masyarakat.

4.2 SARAN

Setelah melihat penerapan Sistem Pemerintahan Nagari di Nagari Guguak VIII Koto, dan pergeseran-pergeseran yang terjadi antara Sistem Pemerintahan Desa menjadi Sistem Pemerintahan Nagari, serta memperhatikan kendala-kendala yang masih dihadapi, maka peneliti menyampaikan saran sebagai berikut :

1. Kendala yang selalu dihadapi dalam proses pembangunan di Indonesia termasuk di Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat adalah rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) baik aparatur pemerintah maupun rakyat, maka peningkatan kualitas SDM harus mendapat perhatian serius dari pemerintah dan harus menjadi prioritas utama,

2. Memberikan pemahaman kepada masyarakat Nagari Guguak VIII Koto dan masyarakat Minangkabau umumnya tentang Sistem Pemerintahan Nagari, agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami atau menafsirkan konsep tersebut, maka perlu dilakukan sosialisasai yang menyeluruh, sistematis dan terarah kepada masyarakat,

3. Nagari Guguak VIII Koto harus lebih mengembangkan potensi yang dimiliki demi kemajuan masyarakat nagari, serta memenuhi semua kebutuhan fasilitas umum, mengingat semakin bertambah padatnya jumlah penduduk di nagari,

4. Masyarakat nagari harus bisa memilih figur Wali Nagari yang benar-benar memahami Sistem Pemerintahan Nagari dan adat-istiadat yang berlaku,


(4)

5. Lebih memfungsikan lagi lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di nagari supaya pelaksanaan Sistem Pemerintahan Nagari sesuai dengan yang diharapkan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Busroh, Abu Daud., Ilmu Negara, Jakarta : Bumi Aksara, 1993.

Joeniarto., Perkembangan Pemerintah Lokal , Jakarta : Bumi Aksara, 1992.

LKAAM., Bunga Rampai Pengetahuan Adat Minangkabau, Padang :Yayasan Sako Batuah, 2000.

LKAAM, Pelajaran Adat Minangkabau, Bandung : Tropic Offset, 1997.

LKAAM, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, Padang : Surya Citra Offset, 2002.

Murtimus., Tata Negara, Payakumbuh : SMU N 1 Guguk Press, 2003.

Navis,A.A., Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Jakarta : Grafiti Pers, 1984.

Nasution,A.A., Pangamalan Budaya Dalihan Na Tolu dalam Pengelolaan Pemerintahan Daerah Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, dan Kota Padangsidempua, Jakarta :Fortasman, 2003.

N. Dunn, William., Analisa Kebiajakn Publik, Yogyakarta : PT Hanindita Graha Widya, 1999.

Pador, Zenwen, Kembali ke Nagari : Batuka Baruak Jo Cigak ?, Jakarta : PT Sinar Grafika,2002.

Syamsuddin, Adrian., Proses Penetapan Kebijakan Publik, Jakarta : Airlangga, 1984. Sutan, M. Amir., Adat Minangkabau, Tujuan dan Pola Hidup Orang Minang,

Jakarta:Mutiara Sumber Widya, 1997.

Winarno, Budi., Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta : Media Pressindo, 2004.

Peraturan dan Perundang-undangan :

Undang –undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Daerah Sumatera Barat Nomor 09 Tahun 2000 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari


(6)

Peraturan Daerah Kabupaten Lima Puluh Kota Nomor 01 Tahun 2001 Tentang Pemerintahan Nagari

Tata Tertib DPRD Kabupaten Lima Puluh Kota No 18/KPTS-DPRD/LK/XII-2004

Internet :

Wawancara :

Wawancara dengan Chandrawita (Anggota Komisi A DPRD Kabupaten Lima Puluh Kota), pada tanggal 9 Oktober 2007 di Kantor DPRD Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.

Wawancara dengan Elvi Yandri (Staf Sekretariat / Pendamping Komosi A DPRD Kabupaten Lima Puluh Kota), pada tanggal 20 September 2007 di Kantor DPRD Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.

Wawancara dengan Rismardi (Wali Nagari Guguak VIII Koto, Kabupaten Lima Puluh Kota), pada tanggal 7 Januari 2008 di Kantor Wali Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh kota Sumatera Barat

Wawancara dengan Siti Qadijah (Ketua Bundo Kanduang Kabupaten Lima Puluh Kota), pada tanggal 21 September 2007 di Jl. Tan Malaka Jorong Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota Sumatera Barat.