Patofisiologi Sekitar Partus pada Kambing Peranakan Etawah Kajian Peran Suplementasi Zincum terhadap Respons Imunitas dan Produktivitas

(1)

PATOFISIOLOGI SEKITAR PARTUS

PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH :

KAJIAN PERAN SUPLEMENTASI

Zincum

TERHADAP

RESPONS IMUNITAS DAN PRODUKTIVITAS

SUS DERTHI WIDHYARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(2)

ABSTRAK

SUS DERTHI WIDHYARI. Patofisiologi Sekitar Partus pada Kambing Peranakan Etawah: Kajian Peran Suplementasi Zincum Terhadap Respons Imunitas dan Produktivitas. Dibawah bimbingan SETYO WIDODO, I WAYAN TEGUH WIBAWAN, MOZES R. TOELIHERE dan I KETUT SUTAMA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek suplementasi Zincum

dengan konsentrasi yang berbeda pada periode sekitar partus terhadap respons imunitas dan produktivitas ternak kambing Peranakan Etawah. Penelitian ini menggunakan 30 ekor kambing (umur berkisar antara tiga sampai enam tahun, dengan bobot badan sekitar 30 sampai 50 kg), dibagi kedalam tiga kelompok masing-masing terdiri atas 10 ekor. Kelompok Zn0 (kontrol) diberi pakan mengandung Zn 40 mg/kg bahan kering, kelompok Zn1 mengandung 60 mg/kg bahan kering, dan kelompok Zn2 mengandung 80 mg/kg bahan kering. Kambing diberi pakan rumput dan konsentrat sesuai standar National Research Council

(NRC) dan untuk penelitian ini dilakukan suplementasi berupa ZnSO47H2O. Air

diberikan secara ad libitum. Sinkronisasi berahi menggunakan preparat CIDR-G

(Controlled Internal Drug Release-Goat) dilakukan dengan cara memasukkan dan mengimplantasikan ke dalam vagina selama 14 hari. Setelah CIDR dicabut hewan yang memperlihatkan gejala berahi kemudian dilakukan inseminasi buatan (IB). Pengambilan sampel darah dilakukan setiap dua minggu mulai umur kebuntingan tiga bulan sampai dua bulan setelah partus, untuk dilakukan analisis terhadap profil darah perifer, total protein, albumin, globulin, kadar elektrolit (natrium, kalium dan chlor), Zn serum, hormon kortisol, aktifitas dan kapasitas fagositosis, serta produktivitas ternak: produksi susu, bobot badan induk, morbiditas dan mortalitas, bobot lahir).

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kelompok suplementasi Zn1 mengalami peningkatan secara nyata terhadap total protein, globulin, Zn, dan kapasitas fagositosis, sedangkan cortisol dan netrofil mengalami penurunan secara nyata dibanding kelompok Zn0. Kelompok Zn2 hanya memperlihatkan peningkatan secara nyata terhadap kapasitas fagositosis, sedangkan parameter lainnya tidak berbeda nyata. Ketiga kelompok perlakuan memperlihatkan nilai yang tidak berbeda terhadap jumlah sel darah perifer, albumin, elektrolit (natrium, kalium dan chlor), aktivitas fagositosis dan produktivitas ternak Pada saat partus kelompok Zn1 memperlihatkan kadar kortisol paling rendah (19,00 ng/ml), dibanding kelompok Zn2 (52,65 ng/ml) maupun kelompok Zn0 (75,92 ng/ml). Ketiga perlakuan memperlihatkan penurunan kadar total protein dan Zn serum pada saat partus.

Suplementasi Zincum 60 mg/kg bahan kering memberikan respons immunitas lebih baik dibanding pemberian Zincum 80 mg/kg bahan kering, sedangkan suplementasi Zn pada kedua perlakuan ini belum memperlihatkan pengaruh nyata terhadap produktivitas ternak.


(3)

ABSTRACT

SUS DERTHI WIDHYARI. Pathophysiology of Periparturient Period of Etawah-Grade Goats: A Study on the Role of Zincum Supplementation on the Immunity Responses and Productivity. Advisory committee: SETYO WIDODO, I WAYAN TEGUH WIBAWAN, MOZES R. TOELIHERE and I KETUT SUTAMA

The research was aimed to study the role of the supplementation of different concentrations of Zincum (Zn) during periparturient period on the immunity responses and productivity of Etawah Grade goats. Thirty does (3-6 years old, and 30-50 kg body weight) were used in this experiment and divided into three groups 10 heads each). Does in the first group (Zn0) received Zn 40 mg/kg dry matter as control, in the second group (Zn1) received Zn 60 mg/kg dry matter, and in the third group Zn2 received Zn 80 mg/kg dry matter. The does were fed grass and concentrate under NRC standard and supplemented for research purpose with Zn SO47H2O. Water was available ad libitum. CIDR-G

(Controlled Internal Drug Release-Goat) containing 0,33 grams of progesterone was implanted intravaginally for 14 days for oestrus synchronization and then followed by artificial insemination. Blood samples were collected every two weeks, started at 3rd month of pregnancy up to two months post partum for analysis of blood cell counts, total protein, albumin,globulin, electrolytes (sodium, potassium, and chlor), Zn, cortisol, activity and capacity of phagocytosis, goat productivity: milk production, bodyweight of doe, birth weight, morbidity and mortality of does.

Results of these experiments revealed that the group Zn1 showed significant responses to Zn supplementation with increase of the total protein, globulin, Zn and capacity of phagocytosis and decrease of cortisol and netrophil compared to Zn0, whereas group Zn2 expressed significant changes in the capacity of phagocytosis without other significant changes of parameters tested compared to Zn0. The dynamic fluctuation of blood cell counts, albumin, electrolytes, activity of phagocytosis, and goat productivity were also observed without any significant effect. A lowest cortisol level (19,00 ng/ml) was shown in group Zn1 at the partal time compared to Zn2 (52,65 ng/ml) and Zn0 (75,92 ng/ml). A decrease in protein total and Zincum level was also found in all groups.

Supplementation of Zincum 60 mg/kg dry matter produces better immunity responses then Zincum 80 mg/kg dry matter, but both showed no significant effect on productivity of the animals.


(4)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Patofisiologi Sekitar Partus pada Kambing Peranakan Etawah: Kajian Peran Suplementasi Zincum terhadap Respons Imunitas dan Produktivitas adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2005

Sus Derthi Widhyari NIM 995178


(5)

PATOFISIOLOGI SEKITAR PARTUS

PADA KAMBING PERANAKAN ETAWAH :

KAJIAN PERAN SUPLEMENTASI

Zincum

TERHADAP

RESPONS IMUNITAS DAN PRODUKTIVITAS

SUS DERTHI WIDHYARI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2005


(6)

Judul Disertasi : Patofisiologi Sekitar Partus pada Kambing Peranakan Etawah: Kajian Peran Suplementasi Zincum terhadap Respons Imunitas dan Produktivitas

Nama : Sus Derthi Widhyari NIM : 995178

Program Studi : Sains Veteriner

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. Setyo Widodo Dr. drh. I Wayan T. Wibawan, MS Ketua Anggota

Prof. Dr. drh. Mozes R .Toelihere, MSc Dr.Ir. I Ketut Sutama, MSc, APU Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Sains Veteriner Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS Prof.Dr.Ir.Syafrida Manuwoto, M.Sc.


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tabanan pada tanggal 1 Juni 1964 sebagai anak ke dua dari enam bersaudara dari ayah I Made Tjakrug dan Ibu Wayan Mager. Penulis menikah dengan I Made Soewecha pada tahun 1987 dan dikaruniai tiga putra yaitu Tiara Chandra Dewi (almarhum), Arie Suyasha dan Dewi Intan Sari. Pendidikan Sekolah dasar diselesaikan pada tahun 1975 dari Sekolah Dasar No 3 Kukuh, Sekolah Menengah Pertama Negeri Kerambitan tahun 1979. Sekolah Menengah Atas Negeri I Tabanan diselesaikan pada tahun 1982. Penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 1982 melalui Proyek Perintis II. Pada tahun 1983 penulis melanjutkan pemdidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan lulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 1986. Kemudian penulis mengikuti Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan dan lulus sebagai Dokter Hewan pada tahun 1987. Pada tahun 1992, penulis melanjutkan pendidikan program Magister pada bidang studi Sains Veteriner Program Pascasarjana IPB dan lulus pada tahun 1996. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan program Doktor pada bidang studi Sains Veteriner pada Sekolah Pascasarjana IPB. Selama pendidikan penulis memperoleh beasiswa dari BPPS Ditjen DIKTI.

Sejak tahun 1990 hingga sekarang penulis adalah staf pengajar pada Departemen Klinik Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudul Patofisiologi Sekitar Partus pada Kambing Peranakan Etawah: Kajian Peran Suplementasi Zincum Terhadap Respons Imunitas dan Produktivitas sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Sains Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi serta ucapan terimakasih yang setulus tulusnya dari hati yang paling dalam kepada Bapak Dr. drh. Setyo Widodo, selaku ketua pembimbing, Dr. drh.I Wayan Teguh Wibawan MS, Prof. Dr. drh. Mozes R. Toelihere MSc, dan Dr. Ir. I Ketut Sutama MSc, APU sebagai anggota komisi pembimbing, atas bimbingan, pengarahan, dan perhatian, serta rela meluangkan waktu dan tenaga kepada penulis mulai perencanaan penelitian, selama pelaksanakan penelitian sampai selesainya penulisan disertasi ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr. drh. Sri Estuningsih, MS selaku penguji pada sidang tertutup, kepada Dr. drh Sabdi Hasan Aliambar, MS dan Dr. I Putu Kompiang selaku penguji luar komisi pada ujian sidang terbuka, atas berkenan mempelajari, menelaah dan memberi masukan yang sangat berharga untuk penyempurnaan disertasi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Ketua Program Studi Sains Veteriner, Ketua Departemen Klinik dan Kepala Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Hewan IPB, atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi, penulis juga sampaikan kepada Kepala Balai Penelitian Ternak Ciawi yang telah memberikan ijin, membantu fasilitas selama penelitian berlangsung. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Ditjen DIKTI atas beasiswa pendidikan yang diberikan.


(9)

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman serta mahasiswa bimbingan yang ikut membantu selama pelaksanaan penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada tenaga teknisi Balitnak Ciawi dan pegawai Laboratorium Patologi Klinik dan Laboratorium Bakteriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB atas bantuannya selama penelitian berlangsung.

Pada kesempatan yang berbahagia ini ijinkanlah penulis menyampaikan rasa syukur serta ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua Bapak I Made Tjakrug dan Ibu Wayan Mager yang dengan tulus dan tidak putus-putusnya mendoakan penulis dan tanpa pamrih telah membesarkan, mendidik, membimbing penulis dengan segala kasih sayangnya sejak kecil sampai penulis dapat menyelesaikan pendidikan seperti sekarang ini. Terimakasih yang tulus juga penulis sampaikan kedua kedua mertua yaitu Bapak I Wayan Sadreg dan Ibu Made Beker (almarhum), walaupun beliau telah tiada namun rasa kasih sayangnya senantiasa penulis rasakan. Kepada keluarga Bapak Wayan Sundra penulis mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dan dukungan serta doa yang diberikan. Kepada kakak dan adik, serta kakak dan adik ipar, terimakasih atas dukungan, bantuan dan perhatian yang diberikan selama ini.

Dalam kesempatan yang berbahagia ini penulis juga menyampaikan rasa terimakasih yang tidak terhingga kepada suami tercinta I Made Soewecha, ananda tersayang Arie Suyasha dan Dewi Intan Sari, atas pengertian, kesabaran, dukungan serta dorongan yang diberikan selama menempuh studi.

Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu diucapkan banyak terima kasih atas bantuan yang diberikan. Semoga budi baik dan jasa yang diberikan mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan dapat memberikan sumbangan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bogor, Mei 2005 Penulis

Sus Derthi Widhyari


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Kerangka Pemikiran ... 2

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat ... 3

Hipotesis ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Mineral Zincum ... 5

Sifat Fisika dan Kimia Zincum ... 5

Fungsi Zincum ... 5

Zincum dalam Pakan ... 5

Metabolisme Zincum ... 7

Dinamika Zincum Intraselular ... 10

Defisiensi dan Toksisitas Zincum ... 14

Kebuntingan pada Kambing ... 17

Status Fisiologi Sekitar Partus ... 17

Dinamika Hormon Sekitar Kebuntingan dan Partus ... 19

Penyakit - Penyakit Sekitar Partus ... 24

Hubungan Zincum dengan Sistem Pertahanan Tubuh ... 24

Hubungan Zincum dengan Produktivitas Ternak ... 29

Kualitas dan Kuantitas Susu ... 30

Kualitas Karkas dan Pertumbuhan Wool ... 33

Peningkatan Bobot Badan Induk dan Bobot Lahir Anak ... 34

BAHAN DAN METODE ... 35

Lokasi dan Lama Penelitian... 35

Materi Penelitian ... 35

Peralatan ... 35

Hewan Percobaan ... 35

Pakan ... 36

Metode Penelitian ... 37

Pemeriksaan Kesehatan Ternak ... 37

Sinkronisasi Estrus dan Inseminasi Buatan ... 37

Pengambilan Sample Darah ... 37

Peubah yang Diamati ... 38

Metode Pemeriksaan ... 40


(11)

Halaman

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

Profil Darah Perifer ... 44

Biokimiawi Darah ... 55

Sistem Pertahanan Non Spesifik ... 74

Produktivitas Ternak ... 78

SIMPULAN DAN SARAN ... 85

Simpulan ... 85

Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Komposisi Konsentrat Pakan ... 36 2 Komposisi Kandungan Zat Pakan dalam Penelitian ... 36


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Metabolismne Zn ... 8

2 Fungsi Zn pada permukaan membran sel ... 11

3 Pengaturan Zn intraseluler ... 12

4 Zinc finger ... 12

5 Pengaturan hormonal pada proses metabolisme oleh sel hati dan hubungannya dengan kontrol metabolisme Zn dan Cu ... 13

6 Pengaturan sekresi kortisol oleh hipotalamus ... 19

7 Jalur produksi hormon steroid ... 21

8 Perubahan kadar hormon estrogen, progesteron, prolaktin dan hormon pertumbuhan selama siklus estrus dan kebuntingan ... 22

9 Produksi kortisol oleh fetus pada saat terjadinya partus ... 23

10 Jumlah eritrosit pada kambing PE periode sekitar partus setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 45

11 Kadar hemoglobin pada kambing PE periode sekitar partus setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 47

12 Kadar hematokrit pada kambing PE periode sekitar partus setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 48

13 Jumlah total leukosit pada kambing periode sekitar partus setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 49

14 Jumlah netrofil absolut pada kambing periode sekitar partus setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 51

15 Jumlah limfosit pada kambing PE periode sekitar partus setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 53

16 Kadar total protein pada kambing PE periode sekitar partus setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 56

17 Kadar albumin pada kambing PE periode sekitar partus setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 58


(14)

Halaman 18 Kadar globulin pada kambing PE periode sekitar partus setelah diberi

perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 60 19 Rasio A/G pada kambing PE periode sekitar partus setelah diberi

perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 61 20 Kadar natrium pada kambing PE periode sekitar partus

setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 63 21 Kadar kalium pada kambing periode sekitar partus

setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 64 22 Kadar chlor pada kambing PE periode sekitar partus

setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 66 23 Kadar Zn serum pada kambing PE periode sekitar partus setelah

diberi perlakuan pakan pakan yang mengandung Zincum ... 67 24 Kadar kortisol kambing PE pada periode sekitar partus setelah diberi

perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 71 25 Aktivitas fagositosis pada kambing periode sekitar partus

setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 74 26 Kapasitas fagositosis pada kambing periode sekitar partus

setelah diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 77 27 Jumlah produksi susu pada kambing PE pada awal laktasi setelah

diberi perlakuan pakan yang mengandung Zincum ... 79 28 Perubahan bobot badan induk pada periode akhir kebuntingan dan

laktasi pada kambing setelah diberi perlakuan pakan yang


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1

Nilai rerata beberapa parameter yang dianalisis berdasarkan periode

r waktu pengamatan pada kelompok Zn0 ... 98 2 Nilai rerata beberapa parameter yang dianalisis berdasarkan periode

waktu pengamatan pada kelompok Zn1... 98

3 Nilai rerata beberapa parameter yang dianalisis berdasarkan periode

waktu pengamatan pada kelompok Zn2 ... 99

4 Nilai rerata beberapa parameter yang dianalisis

berdasarkan kelompok perlakuan ... 100 5 Analisis ragam beberapa parameter ... 101


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kejadian penyakit akibat gangguan metabolisme maupun infeksi sering dilaporkan terjadi pada periode sekitar partus. Masa peralihan dari keadaan bunting ke awal periode laktasi merupakan masa sulit dan tubuh perlu melakukan adaptasi terhadap perubahan fisiologis yang terjadi. Ketidakmampuan tubuh dalam menjaga keseimbangan atau mempertahankan homeostasis berakibat pada munculnya gangguan penyakit (Goff & Horst 1997). Pada sapi perah kejadian penyakit seperti mastitis, distokia, milk fever, displacement abomasum sering dilaporkan terjadi pada periode ini. Hal ini diduga berhubungan dengan terjadinya penurunan daya tahan pada periode tersebut. Beberapa faktor yang turut mempengaruhi terjadinya penurunan daya tahan tubuh yaitu faktor hormonal dan faktor pakan (Kehrli et al. 1989; Preisler et al. 2000).

Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan salah satu ternak yang memiliki fungsi ganda sebagai penghasil daging maupun penghasil susu. Peningkatan produktivitas ternak perlu dilakukan mengingat permintaan akan daging dan susu yang terus meningkat, akan tetapi tingkat produktivitas kambing ini relatif masih rendah. Rendahnya tingkat produktivitas antara lain berupa rendahnya jumlah produksi susu, tingginya kematian anak pra sapih (Sutama et al.

1996), dan rendahnya laju pertambahan bobot hidup (Yulistiani et al. 1999). Untuk dapat mencapai tingkat produktivitas yang diharapkan, maka diperlukan zat gizi agar dapat mengekspresikan aspek genetik yang dimiliki. Oleh karena itu upaya peningkatan produktivitasnya perlu dilakukan terutama melalui pemberian pakan (Yulistiani et al. 1999). Peningkatan produktivitas pada fase laktasi terkait erat dengan keadaan induk selama kebuntingan. Tersedianya zat-zat pakan yang optimal dan bermutu selama masa kebuntingan merupakan faktor penting bagi keberhasilan induk dalam memelihara kebuntingan, melahirkan dan menyusui anaknya (Isdoni et al. 1996).

Zincum merupakan unsur anorganik tidak dapat dikonversi dari zat gizi lain, oleh karena itu mineral ini mutlak dan harus tersedia di dalam pakan yang


(17)

dikonsumsi (Bender 1993). Mineral ini diperlukan relatif sedikit di dalam pakan, namun memiliki fungsi sangat penting bagi tubuh. Fungsi Zincum terutama dalam proses metabolisme karbohidrat, protein, lemak, sintesis asam nukleat, DNA, RNA polimerase, sintesis protein (Lieberman & Bruning 1990).

Pakan pada umumnya mengandung Zincum dengan kadar rendah sekitar 20 sampai 35 mg/kg bahan kering, sedangkan kebutuhan Zincum sekitar 40 sampai 60 mg/kg bahan kering (Scaletti et al. 2004). Berdasarkan kondisi tersebut, maka diperlukan usaha untuk mencukupi Zincum melalui suplementasi di dalam pakan.

Zincum juga sangat dibutuhkan oleh ternak terutama pada masa bunting dan laktasi. Rendahnya kadar Zincum dalam darah pada hewan bunting dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pembentukan fetus, kematian embrio secara dini dan dapat menyebabkan abortus. Selama masa kebuntingan, induk dituntut mampu menyediakan nutrien yang cukup agar dapat mempertahankan kehidupan fetus dan memenuhi kebutuhan untuk produksi susu setelah kelahiran. Kegagalan mempertahankan produksi sering terjadi akibat menurunnya nafsu makan induk yang dipicu oleh rendahnya kualitas pakan yang tersedia (Underwood 1981).

Cekaman sering muncul dan disertai meningkatnya hormon glukokortikoid, yang memicu pembentukan metallotionin di hati disertai menurunnya kadar

Zincum plasma (Cousin 1985) dan berakibat pada peningkatan kepekaan terhadap infeksi (Salgueiro et al. 2000; Tanaka et al. 2001). Mekanisme terjadinya penurunan daya tahan pada periode sekitar partus belum diketahui secara pasti. Preisler et al. (2000) berpendapat peningkatan hormon glukokortikoid menyebabkan perubahan ekspresi dan fungsi sel leukosit, dan diduga menurunkan daya tahan dan meningkatnya kejadian penyakit.

Penelitian tentang suplementasi Zincum dalam pakan pernah dilaporkan pada sapi Bali dan mampu meningkatkan produksi susu pada sapi laktasi (Sukarini 2000), dan mampu meningkatkan bobot lahir pada anak (Putra 1999).

Kerangka Pemikiran

Keadaan patofisiologis yang terjadi pada periode sekitar partus terutama pada kambing PE belum banyak diungkap. Pada periode partus meningkatnya hormon glukokortikoid dapat menyebabkan degradasi reseptor pada sel leukosit


(18)

yang berakibat pada terjadinya perubahan ekspresi dan fungsi sel leukosit (Preisler 2000). Hormon ini juga dilaporkan meningkat pada kondisi stress fisik, emosi, stress metabolisme maupun saat partus. Selain itu meningkatnya hormon ini memicu pembentukan metallotionin di hati sehingga dijumpai penurunan kadar

Zincum plasma (Cousin 1985).

Rendahnya Zincum di dalam pakan, serta meningkatnya kebutuhan mineral ini selama kebuntingan dan laktasi menyebabkan terjadinya penurunan kadar

Zincum di dalam darah. Rendahnya Zincum di dalam darah serta tingginya hormon glukokortikoid diduga turut berpengaruh terhadap terjadinya penurunan respons imun sehingga kepekaan terhadap penyakit meningkat. Belum diketahui secara pasti mekanisme peran Zincum dalam meningkatkan respons imun, serta kemampuannya dalam menekan faktor stress yang sering dijumpai pada periode sekitar partus. Selain itu belum ada informasi tentang data fisiologis terutama terhadap gambaran darah di sekitar partus, serta bagaimana peran Zincum

mempengaruhi keadaan patofisiologis yang terjadi pada periode ini terutama pada kambing PE. Oleh karena itu kajian tentang peran suplementasi Zincum terhadap respons imunitas dan produktivitas perlu diteliti lebih lanjut.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui efek suplementasi Zincum terhadap kadar hormon kortisol pada periode sekitar partus

2. Mempelajari efek Zincum terhadap respons imunitas non spesifik

3. Mengamati efek suplementasi Zincum terhadap status kesehatan dan produktivitas ternak.

4. Mengetahui efek suplementasi Zincum terhadap gambaran biokimiawi darah pada periode sekitar partus

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menekan kejadian stress fisiologis yang sering muncul pada periode sekitar partus, sehingga mampu meningkatkan kesehatan ternak dan mengurangi munculnya kejadian penyakit


(19)

pada periode tersebut. Zincum diharapkan dapat meningkatkan daya tahan tubuh sehingga ternak mampu berproduksi secara optimal. Selanjutnya dari hasil penelitian ini dapat diperoleh data tentang gambaran biokimiawi darah, mengetahui respons imunitas non spesifik yaitu kemampuan aktivitas dan kapasitas fagositosis selama periode partus. Data dan informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui keadaan patofisiologis yang terjadi pada periode sekitar partus.

Hipotesis

Suplementasi Zincum mampu menekan kadar hormon kortisol pada periode sekitar partus

Suplementasi Zincum mampu meningkatkan aktifitas dan kapasitas fagositosis. Suplementasi Zincum mampu memperbaiki status kesehatan dan meningkatkan

produktivitas ternak.

Suplementasi Zincum dapat memperbaiki gambaran biokimiawi darah pada kambing Peranakan Etawah pada periode sekitar partus.


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Mineral Zincum Sifat Fisika dan Kimia Zincum

Zincum (Zn) memiliki warna putih kebiru-biruan, bersifat lustrous dan relatif lunak. Zincum sulfat memiliki bentuk padat, kristal rhombic, memiliki bobot molekul sekitar 161,44. Berat jenis 3,54 (g/cm3) pada suhu 25 0C. Bau tidak teridentifikasi. Sifat kelarutan adalah dapat larut pada air dingin dan panas, atau sedikit larut dalam alkohol (Weast 1979; Ammerman & Goodrich 1983).

Zincum sulfat memiliki rumus kimia ZnSO4 7H2O, mengandung Zn 22,74%,

hidrogen 4,91%, sulfur 11,15% dan oksigen 61,20%. Goslarite atau Zincosite merupakan suatu produk yang mengandung ZnSO47H2O (Anonim 2004)

Fungsi Zincum

Zincum (Zn) berfungsi di dalam sintesis dan penyimpanan beberapa hormon seperti insulin dan glukagon, serta berperan dalam metabolisme karbohidrat, keseimbangan asam basa dan metabolisme vitamin A (Linder 1992; Church & Pond 1982), sintesis asam nukleat (RNA, DNA) polimerase dan sintesis protein (Lieberman & Bruning 1990). Zincum juga memegang peranan dalam sistem kekebalan (Paik 2001).

Zincum dibutuhkan oleh kerja enzim dan Zn dikenal sebagai katalisator beberapa enzim. Lebih dari 200 enzim memerlukan Zn, satu dari enam enzim group (oxidoreduktase, transferase, lyase, isomerase dan ligose) sedikitnya diatur oleh metalloenzim Zn. Zincum memiliki peran biologis sebagai alkohol dehidrogenase, superoksida dismutase, alkalin fosfatase, aminopeptidase, karboksipeptidase dan collagenase (Howell 1981; Yasayuki & Kazutomo 1992).

Zincum dalam Pakan

Secara umum pakan ternak ruminansia akan mengalami proses mastikasi di dalam sistem saluran pencernaan terutama di dalam rumen. Pakan berupa karbohidrat, protein dan lemak yang masuk akan mengalami proses pemecahan.


(21)

Pemecahan karbohidrat melalui tiga tahap yaitu pemecahan karbohidrat kompleks menjadi gula sederhana, kemudian tahap ke dua masuk ke siklus glikolisis. Hasil akhir proses glikolisis adalah asam piruvat merupakan hasil akhir proses fermentasi (Ruckbusch 1991; Kaneko 1980).

Ternak ruminansia untuk mencerna pakan berserat, menggunakan jasa fermentasi dari mikroba rumen, dan untuk menjalankan fungsinya mikroba rumen membutuhkan nutrisi mineral yang cukup. Mikroba rumen juga menghasilkan senyawa penting seperti vitamin yang dibutuhkan oleh ternak. Perbaikan pakan penting untuk membantu terpenuhinya kebutuhan ternak untuk pertumbuhan, produksi dan reproduksi. Zincum pakan dapat membantu metabolisme rumen serta dibutuhkan oleh mikroorganisme rumen agar dapat bekerja lebih optimal. Keberadaan Sulfur (S) dalam ZnSO47H2O juga sangat penting untuk

meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen yaitu bakteri selulolitik sehingga degradasi serat kasar dalam rumen lebih efisien. Mikroba rumen tidak dapat memecah selulosa dan hemiselulosa jika ketersediaan nitrogen dalam pakan tidak dibarengi dengan suplementasi sulfur. Sulfur juga dapat digunakan dalam sintesis asam amino bersulfur dan pembentukan vitamin seperti tiamin, biotin dan ko enzim (Underwood 1981).

Pemberian suplementasi mineral dalam konsentrat diharapkan dapat memenuhi kebutuhan energi dan protein bagi ternak, yang pada gilirannya setelah pasca rumen mampu menyediakan nutrien bagi kelenjar ambing untuk memproduksi susu (Sukarini 2000). Mepham (1987) melaporkan bahwa pemberian pakan pada ternak laktasi diprioritaskan untuk produksi susu di mana aktivitas metabolisme kelenjar ambing yang tinggi memerlukan pasokan nutrien yang cukup untuk mensintesis susu. Suplementasi mineral mikro Zn, Cu dan Mo dapat meningkatkan kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik, meningkatkan nilai pH serta menurunkan kadar ammonia (Supriyati 1999).

Zincum merupakan salah satu unsur mikro dan berperan penting dalam proses biologi. Mineral ini merupakan mineral anorganik tidak mampu dikonversi dari zat gizi lain, oleh karena itu Zn mutlak diperlukan dalam pakan. Rahardjo (1982) mengatakan rendahnya Zn dalam darah diakibatkan rendahnya kadar Zn tanah sehingga hijauan sebagai sumber pakan ternak juga mengalami defisiensi.


(22)

Zincum yang terkandung dalam pakan baik dalam rumput maupun konsentrat akan mengalami proses dalam saluran pencernaan. Linder (1992) melaporkan penggunaan suplemen Zn perlu dipertimbangkan karena penyerapan Zn sedikit banyak berkompetisi dengan ion-ion metal transisi seperti Fe ++ / Fe +++ Cu ++, P dan Ca.

Metabolisme Zincum

Penyerapan Zincum terjadi di duodenum, ileum dan jejenum dan hanya sedikit terjadi di kolon ataupun lambung, absorbsi terbesar terjadi di ileum. Penyerapan Zincum sekitar 30 sampai 60%, dipengaruhi oleh jumlah dan imbangan mineral lain serta susunan ransum dan bentuk kimia Zincum. Penyerapan Zn di usus melalui beberapa tahap antara lain (a) pankreas mengeluarkan ligan pengikat Zn ke dalam lumen usus, (b) di lumen Zn berikatan dengan ligan, (c) komplek ikatan dengan ligan, Zn diangkut melalui mikrovili usus masuk ke dalam sel epitel usus, (d) di dalam epitel, Zn ditransfer dan berikatan pada basolateral membran plasma, (e) albumin bebas logam berinteraksi dengan membran plasma dan membawa Zn dari tempat ikatannya pada reseptor. Jumlah albumin yang bebas metal pada membran plasma akan menentukan jumlah Zn yang dipindahkan dari sel epitel usus dan mengatur jumlah Zn yang masuk tubuh (Underwood 1977).

Pada manusia penyerapan Zincum di usus halus diatur secara homeostatik, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor intraluminal. Di dalam sitoplasma usus,

Zincum diseimbangkan melalui pool Zincum intraseluler endogen, dan dengan cara ditransfer ke protein yang mempunyai berat molekul tinggi, ke metallotionin (MT) atau ke plasma. Jika kandungan Zincum dalam pakan cukup tinggi, maka kadar Zincum plasma dan sintesis de novo MT secara bersamaan juga meningkat. Mengingat adanya berbagai interaksi selama pengangkutan melalui sel usus, maka kemungkinan status Zincum turut mengatur besarnya penyerapan, melalui perubahan kadar MT. Induksi MT merupakan salah satu faktor pengatur penyerapan Zn dalam usus. Albumin juga turut berperan dalam mengatur penyerapan Zn, karena 67 % Zn dalam plasma berikatan dengan albumin (Prasad 1991). Beberapa faktor yang berpengaruh dalam membantu dan menghambat


(23)

penyerapan Zndalam usus antara lain yaitu faktor yang membantu penyerapan Zn diantaranya adalah metionin, histidin, sistein, sitrat, pikolinat, sedangkan yang menghambat penyerapan Zn diantaranya Cd, Cu, P, Fe, oksalat dan fitat (Prasad 1991).

Gambar 1. Metabolisme Zn ( Yasayuki dan Kazutomo 1992)

Transport Zincum diatur oleh albumin, antiprotease dan á2 makroglobulin,

kemudian dibawa ke berbagai jaringan (Linder 1992; Buckley 2000). Zincum

dalam plasma sekitar 30 sampai 40% berikatan dengan á2 makroglobulin, dan 60

sampai 70% berikatan dalam albumin, dan sebagian kecil dalam bentuk ionik (Underwood 1981). Zincum dibutuhkan di dalam darah (whool blood) sebanyak 9 µg/ml, 80% Zincum dalam sel darah merah diperlukan oleh enzim karbonik anhidrase dan enzim superoksida dismutase (SOD). Eritrosit manusia


(24)

mengandung sekitar 75 sampai 88 % Zn, 12 sampai 22 % di dalam plasma, 3 % di dalam leukosit. Zincum juga banyak dijumpai pada sel leukosit dan trombosit (Underwood 1981).

Zincum kemudian dibawa dan didistribusikan ke jaringan kulit dan rambut sekitar 20% dari total Zincum, dalam tulang 50%, hati, ginjal, retina, urat daging dan pankreas, serta digunakan sebagai aktivitas beberapa enzim (Gambar 1). Kadar Zincum selalu dipertahankan dalam kisaran normal, dan kisaran sangat sempit baik pada manusia maupun hewan. Transfer Zincum ke hati dari plasma lima sampai enam kali lebih cepat dibanding transfer ke jaringan lunak lainnya, juga dengan cepat ditransfer dari plasma induk kedalam plasenta (D’Mello 2000).

Carlson (2000) melaporkan pemberian ZnO sebesar 3000 ppm dapat meningkatkan kadar Zn pada hati dan ginjal, sedangkan pada pemberian 5000 ppm ZnO tidak ditemukan peningkatan konsentrasi Zn dalam jaringan, oleh karena itu efek suplementasi Zn terhadap konsentrasinya dalam jaringan lunak sulit untuk dideteksi. Konsentrasi Zn dalam jaringan, darah dan susu tidak selalu merefleksikan jumlah Zn dalam pakan (Underwood 1981). Kebutuhan terhadap mikromineral ini ditentukan oleh status fisiologi dan performans hewan (Ahmed

et al. 2001). Kelebihan Zincum akan berakumulasi dengan jalan terikat pada MT dan dijumpai dalam hampir semua sel, terutama di hati, ginjal dan intestin (Cousin 1985).

Zincum tidak disimpan secara khusus, kecuali dalam MT merupakan salah satu bentuk simpanan Zincum. Jika konsumsi pakan mengandung Zincum yang rendah maka redistribusi Zincum dari tubuh tidak segera dapat dilakukan (Cousin 1985). Zincum tidak disimpan permanen dan mudah hilang dalam tubuh, tidak dijumpai penumpukan penyimpanan Zincum pada akhir kebuntingan pada domba. Redistribusi Zincum dari tubuh terjadi pada keadaan stress, selama persembuhan luka, dan sewaktu terjadi mobilisasi mineral tulang (Prasad 1991). Zincum hilang melalui empedu, susu, keringat dan urin, sedangkan pada awal laktasi Zincum diekskresikan melalui kolostrum dan selama kebuntingan Zn dibutuhkan untuk perkembangan fetus (Linder 1992). Jalur utama ekskresi Zincum endogen melalui saluran usus dengan kehilangan utama dalam feses. Pelacakan Zincum dapat dilakukan dengan memberi label, hanya sekitar 2 sampai 10 persen atau sekitar


(25)

0,3 sampai 0,6 mg/hari yang ditemukan kembali di urin, terbesar hilang melalui feses. Zincum feses berasal dari Zn yang tidak diserap atau berasal dari Zn endogenus seperti dari air liur, sekresi lambung, pankreas dan usus (Underwood 1981). Zincum yang diekskresikan melalui urin sangat berkorelasi dengan laju produksi urin, sebagian Zincum dapat diserap kembali di tubuli ginjal. Kehilangan Zincum urin secara nyata meningkat pada keadaan luka parah, operasi, trauma, kelaparan. Heugten et al. (2003) melaporkan tidak dijumpai adanya perbedaan ekskresi baik melalui urin, feses, jaringan maupun plasma akibat adanya pemberian Zincum dari sumber yang berbeda. Selama laktasi Zincum

diekskresikan sebanyak 2 sampai 3 µg/ml susu, melalui keringat 1 sampai 5 mg, ke dalam urin 0,3 sampai 0,6 mg, dari pankreas ke dalam feses 4 sampai 5 mg (Linder 1992). Suplementasi Zincum pada induk tidak mengakibatkan peningkatan Zincum di dalam air susu (Underwood 1981).

Dinamika Zincum Intraselular

Sel membutuhkan sejumlah Zincum agar tetap hidup sehat dan dapat berfungsi dengan baik, akan tetapi hanya sedikit yang mengetahui bagaimana mineral ini digunakan atau bagaimana sel mengontrol konsentrasi mineral ini sehingga tidak berlebih atau berakibat pada munculnya gangguan dan menimbulkan kerusakan.

Secara umum kecukupan Zincum plasma memungkinkan Zur-protein mengatur asupan Zincum intrasel, dan bereaksi atau berikatan dengan gugus sulfhidril (SH hidroksil ) dari suatu komponen lemak membran sel (lipoprotein) menjadi ZnS (Gambar 2).

Zincum menstabilkan membran sel melalui penghambatan peroksidasi lemak atau oksidasi thiol. Zincum berikatan pada permukaan membran sel, merangsang berbagai enzim pada membran seperti ATP ase, dan juga memodulasi fungsi berbagai reseptor pada membran. Pada keadaan insuffisiensi Zincum dalam plasma, gugus sulfhidril akan berikatan dengan mineral kompetitor seperti Cu ++ atau Fe ++ yang dapat memicu oksidase lemak dan menghasilkan radikal bebas (D’Mello 2000).


(26)

Receptor active site

SH SH

Zn2+ S

S

Zn2+ + O2 • no reaction

M (e.g. Cu2+, Fe2+)

Fe2+ S S

+ O2

S S

Fe3+ + O2

.-Free radical

Gambar 2. Fungsi Zn pada permukaan membran sel (O’Dell 1981)

Di sisi lain kelebihan Zincum dapat disimpan dalam bentuk MT yang merupakan pemakan radikal bebas yang baik. Metallotionin merupakan protein intraseluler yang memiliki ikatan kuat dengan Zn dan Cu (King 2000).

Pembentukan MT dipicu oleh tingginya mineral Zn, Cu, Cd, dan logam lain. Metallotionin dapat diinduksi oleh luka, stress karena emosi (Johanna et al. 1985). Metallotionin berperan sebagai protein transpor yang membawa Zincum dari usus ke hati melalui sistem portal, juga sebagai detoksikasi logam berat, dan berfungsi sebagai penyimpan Zincum. Metallotionin dapat dideteksi keberadaannya melalui pemeriksaan imunoreaktif dan dijumpai pada sitoplasma sel hati, nukleus, sinusoid dan kanalikuli, juga dijumpai pada vena hepatis dan vena porta. Di dalam usus halus MT dijumpai pada sitoplasma sel usus, nukleus dan daerah membran basal. Ditemukannya MT pada sel usus maupun hati memperlihatkan transfer Zincum ke dalam nukleus dari sitoplasma, untuk induksi pembentukan asam nukleat. Metallotionin juga berperan dalam metabolisme Zn dan Cu terutama terhadap penyimpanan, transpor dan ekskresinya. Metallotionin sebagai sumber penyimpanan Zincum bekerjasama dengan protein dalam transkripsi DNA. Zincum mudah dilepaskan dari MT oleh disulfida, akan tetapi


(27)

pembentukan MT dapat meningkat akibat adanya pengaruh stress. Hormon glukokortikoid menurunkan kadar Zincum plasma dan meningkatkan sintesis MT, begitu pula glukagon akan menginduksi fosfoenolpiruvatkinase dan triptophan oksegenase untuk aktif dan meningkatkan sintesis MT. Mineral Zincum di dalam sel berikatan dengan protein, Zur protein yang mengatur jumlah masuknya Zincum ke dalam sel (Gambar 3), jika terjadi kelebihan Zincum maka protein Zntr dengan cepat memindahkan dan mengeluarkannya dari sel (Bradley 2003).

Gambar 3. Pengaturan Zn intraseluler (Bredley 2003)

Zinc finger” merupakan suatu bentuk ikatan yang berbentuk tetrahedral antara Zn dengan asam amino terutama sistein dan histidin (Gambar 4), memiliki kemampuan berinteraksi dengan struktur DNA (Voet & Voet 1990).

Gambar 4 : Zinc finger ( Voet dan Voet 1990).

Kadar Zincum diatas kebutuhan fisiologis secara in vivo maupun in vitro, dapat menstabilkan lisosom hati, sedangkan tingginya konsentrasi Zincum dapat berakibat pada tidak aktifnya atau terganggunya pergerakan beberapa sel seperti sel mast, trombosit, makrofag, leukosit dan spermatozoa. Keberadaan Zincum di


(28)

dalam sel terkait erat dengan kemampuan sel untuk mentransfer Zincum dari darah melalui membran sel.

Gambar 5. Pengaturan hormonal pada proses metabolisme oleh sel hati dan hubungannya dengan kontrol metabolisme Zn dan Cu

(Cousin 1985)

Beberapa hormon turut berpengaruh terhadap metabolisme Zincum dalam sel diantaranya adalah hormon glukokortikoid, glukagon, epineprin dan interleukin 1 (Gambar 5). Hormon tersebut mampu meningkatkan pengambilan

Zincum oleh hati, sedangkan hormon insulin menghambat pengambilan Zincum

oleh hati (Cousin 1985). Glukagon dan Epineprin meningkatkan induksi fosfoenolfiruvat kinase dan triptopan oksigenase dalam kultur sel hepatosit tikus.


(29)

Glukagon tanpa atau disertai pemberian dexamethason menyebabkan peningkatan sintesis MT. Pemberian actinomycin D mampu menghambat glukagon dalam sintesis MT. Glukagon menginduksi pembentukan MT secara tidak langsung, karena hormon ini mempengaruhi perubahan kadar cAMP dalam sel (Cousin 1985).

Munculnya stress fisiologis, trauma dan adanya infeksi dapat menyebabkan terjadinya hipozincumia akibat dari pengaruh metabolisme Zincum dalam hati. Keadaan ini akan berakibat juga pada terjadinya hipercuprimia yang ditandai dengan meningkatnya ceruloplasmin dalam plasma. Perubahan metabolisme Zn dan Cu dalam sel hati erat kaitannya dengan berbagai kejadian yang berhubungan dengan faktor stress dan mekanisme pengaturan sistem pertahanan secara umum (Cousin 1985).

Penelitan yang dilakukan pada tikus secara in vivo ditemukan bahwa akibat defisiensi cuprum (Cu) konsentrasi norepineprin menurun pada otak tikus. Kejadian ini diakibatkan oleh menurunnya aktivitas enzim dopamine B hydroxylase yang mengandung 8 atom Cu, sehingga terjadi kegagalan pada konversi dopamine menjadi norepineprin (Engle 2001).

Defisiensi dan Toksisitas Zincum

Faktor yang diduga turut berpengaruh terhadap kadar Zincum plasma adalah jumlah Zincum dalam pakan, status fisiologi, jumlah protein yang berfungsi dalam transpor Zincum, keberadaan zat gizi lain dalam pakan, faktor stress (Underwood 1981; McDowell et al. 1983; Cousin 1985). Rendahnya kadar Zincum di dalam darah disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya karena rendahnya dalam pakan, gangguan di dalam penyerapan, meningkatnya kebutuhan atau ekskresi yang meningkat.

Beberapa penyakit yang terjadi akibat defisiensi Zincum diantaranya adalah parakeratosis dan acrodermatitis enteropatica. Penyakit ini diakibatkan oleh adanya gangguan faktor genetik, dan gejala yang muncul adalah lesio pada kulit. Gejala yang muncul mirip dan serupa dengan kejadian akibat defisiensi asam lemak esensial (EFA), kulit mengalami dilatasi kapiler disertai kegagalan epidermis membentuk keratin (Howell 1983). Kasus Autism pada manusia salah


(30)

satu penyakit akibat kegagalan fungsi MT terlihat kadar Cu dan Zn dalam darah yang abnormal. Kejadian ini muncul akibat adanya defek MT secara genetik atau gangguan biokimiawi yang abnormal sehingga tidak dapat membentuk protein MT (Walsh et al. 2001). Beberapa keadaan yang menyertai terjadinya penurunan kadar Zincum di dalam darah diantaranya adalah pemberian kortikosteroid, stress, peradangan, distokia, trauma (Underwood 1977; Cousin 1985). Kadar Zn plasma juga menurun dilaporkan terjadi pada beberapa kasus seperti tumor ganas, aterosklerosis, sirosis hati, tuberkulosis, infeksi akut atau kronis dan kasus anemia perniciosa, sedangkan pada tikus dilaporkan pada pemberian endotoksin (Underwood 1981). Pada keadaan mastitis subklinis kadar Zincum darah nyata lebih rendah dibanding kelompok kontrol. Penurunan terjadi akibat meningkatnya kebutuhan Zincum oleh enzim yang berperan dalam proses peradangan (Naresh

et al. 2001).

Menurunnya kadar Zincum intraseluler dapat meningkatkan kejadian apoptosis. Apaptosis merupakan kematian sel secara terencana yang diatur oleh suatu gen. Kejadian apoptosis akibat defisiensi Zn sering terjadi pada tulang, esofagus, sel limfosit timus, kulit, sel epitel, testis, sel acinar pankreas, usus, sel epitel retina, perkembangan jaringan pada fetus (Truong et al. 2000). Pemberian Zn in vitro dapat meningkatkan ratio antiapoptotic (Bcl-2)/proapoptotic (Bax) sehingga meningkatkan ketahanan sel terhadap apoptosis (Fukamachi et al. 1998).

Rendahnya kadar Zincum plasma akan mempengaruhi metabolisme glukosa akibat terjadinya gangguan dalam produksi dan menurunnya respons dari insulin. Kekurangan Zincum juga dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan, menurunnya konsumsi dan efisiensi pakan, lambatnya perkembangan testis, bulu rontok, lambatnya persembuhan luka dan kegagalan toleransi glukosa. Pada ternak betina berpengaruh terhadap keseluruhan fase dari proses reproduksi yaitu dari estrus, kebuntingan dan laktasi (Mc Dowell et al. 1983), sedangkan pada anak domba menyebabkan pertumbuhan terlambat dan meningkatnya kematian (Kendall et al. 2001).

Defisiensi Zincum jika terjadi selama kebuntingan dapat berakibat pada gangguan pembentukan fetus berupa teratogenik akibat adanya gangguan pada


(31)

metabolisme protein sehingga pertumbuhan dan perkembangan fetus abnormal. Penurunan Zincum menyebabkan penurunan aktivitas timidin kinase. Enzim ini berfungsi dalam pembentukan timidin trifosfat merupakan prasyarat untuk sintesis DNA dan pembelahan sel, sehingga terjadi kegagalan sintesis asam amino dan sintesis protein (Underwood 1981). Menurut Howell (1981) defisiensi Zn dapat menurunkan aktivitas enzim seperti DNA, RNA polimerase, kolagenase, •

aminolevulinate dehidratase.

Defisiensi Zincum menyebabkan kegagalan produksi prostaglandin sehingga pada hewan bunting dapat berakibat pada terjadinya periode kebuntingan lebih lama, kesulitan dalam melahirkan akibat dari hambatan produksi PGF2 α,

menurunnya tekanan darah, temperatur tubuh menurun dan hilangnya darah pada saat partus (Howell 1981). Defisiensi Zincum juga dapat menyebabkan kegagalan fungsi monosit dan menurunnya aktifitas fagositosis oleh sel neutrofil (Helge & Rink 2003), menurunnya produksi sitokin dari sel-T helper 1 (TH1) dan interferon oleh leukosit pada orang dewasa sehat (Rink & Kirchner 2000), meningkatnya kepekaan terhadap infeksi (Salgueiro et al. 2000; Tanaka et al. 2001; Pinna et al.

2002).

Gejala yang terlihat akibat defisiensi Zincum berupa penurunan nafsu makan, diare, pertumbuhan terlambat, penurunan daya tahan, dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi (Barbara et al. 1985; Salgueiro et al. 2000). Pada mencit dan tikus gejala terlihat berupa alopesia atau kebotakan, juga sering terjadi ulcus pada kulit secara kronis. Pada domba defisiensi Zincum menyebabkan gangguan pertumbuhan wol dan tanduk.

Pemberian Zincum relatif tidak toksik pada mamalia dan memiliki toleransi yang cukup tinggi. Tingginya asupan Zincum akan mempengaruhi metabolisme dalam rumen yaitu menurunnya konsentrasi VFA (Volatile fatty acid) dan ratio asam asetat : asam propionat, atau Zincum menyebabkan terjadinya perubahan dalam mikroorganisme rumen (Underwood 1981).

Toksisitas akibat Zincum jarang terjadi, pada sapi perah kadar toksik sekitar 500 sampai 1500 ppm. Pada domba efek toksik sekitar 100 mg/hari (Howell 1983). Gejala akibat kelebihan Zn pernah dilaporkan dan dapat menyebabkan terjadinya anemia, pertumbuhan terhambat, efisiensi pakan rendah, hemoragi pada


(32)

persendian tulang, resopsi tulang, menurunnya nafsu makan dan dapat berakibat kematian (Ensminger 1980). Pemberian Zincum yang berlebih dalam pakan dan lama pemberian, akan mempengaruhi kadar Zincum dalam organ dan terlihat peningkatan Zincum dalam hati, ginjal dan limpa, tidak dijumpai adanya perubahan pada organ tulang, jantung dan otot (Allen et al. 1983).

Pada manusia keracunan akibat konsumsi Zincum yang berasal dari makanan belum pernah dilaporkan, hal ini barangkali akibat kisaran intake

Zincum yang menyebabkan defisiensi dan toksik cukup lebar (Cousin & Hempe 1990). Pemberian 2 gram atau lebih Zn bentuk sulfat dapat menyebabkan keracunan akut akibat terjadinya iritasi gastrointestinal dan muntah-muntah (NRC 1989), sedangkan pemberian Zn sebesar 150 mg per hari dalam jangka waktu yang cukup lama dapat menyebabkan terjadinya anemia akibat defisiensi tembaga (Cousin & Hempe 1990). Pemberian Zn dalam jumlah 10 sampai 30 kali kecukupan yang dianjurkan selama beberapa bulan dapat menyebabkan hipocupremia, anemia mikrositik dan netropenia (NRC 1989). Pada orang yang sehat suplementasi Zincum dengan jumlah 20 kali kecukupan selama enam minggu menyebabkan penurunan fungsi kekebalan (Cousin & Hempe 1990).

Kebuntingan pada Kambing Status Fisiologi Sekitar Partus

Periode kebuntingan dan partus dilaporkan dapat menyebabkan munculnya stress fisiologis (Azab & Maksoud 1999). Stress atau cekaman merupakan suatu tekanan yang berlebihan baik eksternal maupun internal terhadap sistem tubuh yang cenderung menyebabkan gangguan keseimbangan fisiologi yang normal (homeostasis). Cekaman dapat muncul akibat adanya respons atau stimulus baik dari dalam maupun luar tubuh seperti defisiensi zat-zat makanan, temperatur lingkungan atau perubahan fisiologis tubuh (Khansari et al. 1990). Cekaman menggambarkan kondisi terganggunya homeostasis hingga berada di luar batas kemampuan menerima, serta proses-proses pemulihan untuk memperbaikinya. Dalam kondisi stress terjadi realokasi energi metabolik dari aktivitas investasi (seperti pertumbuhan dan reproduksi) menjadi aktivitas untuk memperbaiki homeostasis (Wendelaar 1997). Hal ini berpengaruh pada jalur metabolik yang


(33)

menekan sistem imunitas ternak, sehingga hewan mudah stress dan akan rentan terhadap penyakit

Munculnya stress dipicu oleh beberapa faktor seperti trauma, rasa sakit, emosi, depresi, perubahan lingkungan, pakan, perubahan fisiologis. Stress fisiologis sering dilaporkan terjadi pada periode sekitar partus. Stress akibat fisik dan stress metabolik selama bunting, partus dan laktasi dapat berakibat pada terjadinya penurunan daya tahan serta meningkatnya kejadian penyakit (Mallard

et al. 1998).

Keadaan stress menyebabkan tubuh bereaksi dengan mengeluarkan berbagai hormon seperti adrenalin, norepineprin dan kortisol. Hormon ini meningkatkan denyut jantung dan pernafasan, mengirim lebih banyak darah ke otot rangka, meredakan nyeri, menstimulasi sistem kekebalan tubuh, serta mengubah gula dan lemak menjadi energi. Stress berkepanjangan akan berakibat fatal dapat menyebabkan gangguan pencernaan, ketegangan otot, melemahkan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan kerentanan terhadap infeksi serta memperparah kondisi penyakit kronis. Stress berlebihan merusak pelbagai aspek fisiologi, termasuk respons imun, sistem kardiovaskular, maupun kemampuan reproduksi, dan juga membahayakan sistem syaraf. Respons stress ditandai dengan peningkatan produksi hormon glukokortikoid (Cunningham 2002).

Produksi hormon Adrenocorticotrophic hormone (ACTH) juga dibawah pengaruh kontrol neuroendokrin termasuk sitokin dan signal nervus yang datang ke hipotalamus seperti stress, laktasi, perubahan pakan, suhu lingkungan (Ruckebusch 1991). Stress menyebabkan peningkatan kadar kortisol di dalam plasma. Produksi kortisol diawali dari adanya gangguan di dalam sel akibat rangsangan atau produk endotoksin sehingga dilepaskannya substansi kimia berupa hormon, atau neurotransmitter sampai di otak (Gambar 6). Neurotransmiter ini akan menstimulasi sel hipotalamus memproduksi CRF (Corticotropin Releasing Factor). Zat ini selanjutnya menuju hipofisis anterior, mengaktifkan reseptor di sel kelenjar, lalu dihasilkannya cAMP (siklik adenosine monofosfat) yang kemudian merangsang sel menghasilkan hormon ACTH (Ruckebusch 1991). Dalam keadaan normal, tubuh mampu menurunkan


(34)

tingginya kadar kortisol melalui efek umpan balik, akan tetapi jalur umpan balik ini tidak berlaku pada saat partus.

Gambar 6. Pengaturan sekresi kortisol oleh hipotalamus (Cunningham 2002)

Adrenocorticotrophic hormone (ACTH) ini berinteraksi dengan reseptornya pada membran sel, lalu secara tidak langsung mengaktifkan enzim adenilat siklase, setelah enzim ini aktif akan memproduksi cAMP (gambar 6). cAMP menginduksi beberapa stereidogenic protein (enzyme) yang terlibat dalam pembentukan hormone (Ruckebusch 1991). cAMP bekerja melalui (1) peningkatan pengambilan LDL (low density lipoprotein) yang akan diproses menjadi kolesterol bebas, (2) stimulasi hidrolisis penyimpanan kolesterol ester menjadi kolesterol bebas (3) stimulasi transpor kolesterol kedalam mitokondria (4) promosi terjadinya pengikatan kolesterol terhadap enzim sehingga terbentuk kortisol (Cuningham 2002).

Dinamika Hormon Sekitar Kebuntingan dan Partus

Hormon steroid merupakan hormon yang banyak terlibat selama kebuntingan, partus dan laktasi (Gambar 7). Hormon ini berada dalam aliran darah dalam bentuk sebagai hormon bebas, atau dalam bentuk kompleks yang berikatan dengan protein di dalam plasma. Setelah disekresi hormon ini akan


(35)

bekerja melalui reseptor yang terdapat dalam sitoplasma sel sasaran. Ikatan antara hormon steroid dengan reseptornya akan disertai translokasi ke dalam inti sel kemudian berinteraksi dalam kromatin dan dihasilkannya mRNA. mRNA akan berpindah ke dalam ribosum dan mentriger gen untuk sintesis protein. Protein yang terbentuk akan memberikan efek biologi (Cunningham 2002).

Kortisol merupakan glukokortikoid utama di dalam plasma, sebanyak 5 % secara bebas dalam sirkulasi, sebagian besar terikat dengan β globulin sebagai transkortin, dan sedikit terikat dengan albumin (Baron 1987; Kaneko 1990). Hormon yang bebas tanpa terikat protein yang mempunyai aktivitas biologis bila terjadi interaksi hormon reseptor di dalam sel tujuan. Kompleks protein dan hormon di dalam darah mempunyai fungsi untuk memasok kebutuhan hormon yang sewaktu waktu diperlukan oleh tubuh atau sel tujuan. Kortisol yang dihasilkan oleh kortex adrenal pada saat partus akan bekerja pada plasenta, meningkatnya aktivitas enzim untuk produksi estrogen (Ruckebusch 1991). Tingginya estrogen menstimulir produksi PGF2α, sehingga terjadi lisisnya corpus

luteum disertai menurunnya hormon progesteron. Hormon ini juga menstimulir terjadinya kontraksi uterus sehingga membantu proses kelahiran atau partus. PGF2α juga bekerja pada kelenjar ambing sehingga proses terjadinya susu turun

(Larson 1985).

Hormon progesteron dihasilkan oleh corpus luteum dan plasenta. Hormon progesteron penting dalam mempersiapkan uterus untuk melakukan implantasi, memelihara kebuntingan dan mengatur organ reproduksi, dengan demikian progesteron sangat esential selama kebuntingan. Progesteron menstimulir penebalan mukosa uterus, percabangan saluran kelenjar ambing dan pembentukan lobus alveolar (Arthur et al. 1996). Menjelang partus meningkatnya glukokortikoid menyebabkan penekanan produksi progesteron dan meningkatkan produksi estrogen yang berakibat pada terjadinya kelahiran.

Biosintesis hormon ini berasal dari kolesterol, dan berakhir dengan pregnandiol glukuronida yang inaktif. Toelihere (1981) menyatakan bahwa progesteron tidak disimpan di dalam tubuh karena hormon ini dipakai secara cepat atau disekresikan dan hanya terdapat dalam konsentrasi rendah di dalam jaringan tubuh.


(36)

Gambar 7. Jalur produksi hormon steroid (Cunningham 2002)

Tingginya hormon ini selama kebuntingan terutama dalam uterus dapat meningkatkan kepekaan terhadap infeksi, dan rendahnya kemampuan untuk melakukan kontraksi sehingga berperan di dalam memelihara dan menjaga kebuntingan (Roth et al. 1983). Kadar progesteron juga memiliki kemampuan berikatan dengan limfosit pada manusia. Meningkatnya konsentrasi hormon ini selama kebuntingan adalah cukup untuk mengurangi aktifitas sitotoksik dari limfosit (Jain 1993).

Estrogen hormon yang menyebabkan estrus pada hewan betina. Hormon ini dihasilkan oleh ovarium, theka interna folikel de Graf dan plasenta. Selama proestrus jumlah estrogen meningkat dan meyebabkan proliferasi epitel endometrium dan pertumbuhan kelenjar uterus dan bekerja terutama dalam menstimulir perpanjangan kelenjar ambing.


(37)

Gambar 8 Perubahan kadar hormon estrogen, progesteron, prolaktin dan hormon pertumbuhan selama siklus estrus dan kebuntingan (Larson 1985).

Menjelang ovulasi konsentrasi estrogen meningkat di dalam darah, mampu menekan produksi FSH dan menstimulir pelepasan LH sehingga terjadi ovulasi. Estrogen meningkatkan laju migrasi leukosit ke dalam lumen uterus sehingga aktivitas bakterisidal meningkat dalam uterus selama estrus. Selama kebuntingan hormon estrogen dihasilkan oleh plasenta terutama beberapa minggu menjelang partus. Hormon ini meningkat beberapa hari sebelum partus (Gambar 8). Pada saat partus estrogen menyebabkan relaksasi saluran kelahiran terutama vagina dan cervix (Larson 1985). Sintesis estrogen berasal dari kolesterol. Inaktivasi estrogen membentuk glukoronida dan sulfat dan masuk dalam empedu hati, kemudian masuk intestin untuk dieleminasi atau diresorbsi kembali melalui sistem enterohepatik. Hormon ini tidak disimpan, dieleminasi melalui urin dan feses. Estrogen sama seperti kortisol bekerja memblok respons imun seluler terhadap antigen in vitro juga menghambat proliferasi limfosit (Crighton 1984). Hormon estrogen meningkat pada saat partus dan berfungsi di dalam meningkatkan aliran darah ke dalam uterus. Disamping itu juga tingginya hormon ini saat partus membantu tubuh dalam melakukan eleminasi terhadap masuknya kuman infeksi


(38)

ke dalam uterus, serta membantu terjadinya kontraksi sehingga kelahiran dapat terjadi.

Gambar 9. Produksi kortisol oleh fetus pada saat terjadinya partus. (Ruckebusch 1991)

Prostaglandin penting saat partus, terjadi peningkatan empat jam sebelum partus pada kambing dan domba. Hormon ini dihasilkan oleh plasenta atau endometrium (Gambar 9). Meningkatnya ACTH pada kelenjar adrenal fetus penting dalam membantu terjadinya proses kelahiran. Prostaglandin mampu bersifat luteolitik dan menyebabkan kontraksi miometrium, juga terlibat dalam proses dilatasi cervix, menghambat produksi progesteron oleh plasenta (Ruckebush 1991). Prostaglandin menyebabkan dilepaskannya hormon relaksin dan oksitoksin. Relaksin dihasilkan oleh ovarium dan plasenta, menyebabkan terjadinya relaksasi pelvis dan dilatasi cervix uteri, menghambat kontraksi miometrium (Ruckebush 1990). Oxytocin sejumlah kecil disekresikan pada awal partus saat terjadinya dilatasi cervix, kemudian nyata meningkat pada tahap


(39)

partus. Oxytocin dihasilkan oleh neurohipofisis dan pada saat partus berperan dalam membantu kontraksi uterus (Toelihere 1981).

Penyakit - Penyakit Sekitar Partus

Munculnya berbagai penyakit baik yang bersifat infeksius maupun akibat gangguan metabolisme sering dilaporkan terjadi pada periode sekitar partus. Gangguan metabolisme sering dihubungkan dengan adanya ketidak seimbangan pakan atau kekurangan energi bagi tubuh. Penyakit infeksius diduga berhubungan dengan terjadinya penurunan pada respon imun atau penurunan daya tahan yang sering dilaporkan terjadi pada periode ini. Penurunan daya tahan dapat terjadi akibat pengaruh faktor hormonal dan faktor pakan. Tingginya hormon glukokortikoid serta rendahnya kadar Zn dilaporkan dapat mempengaruhi respon imun. Beberapa penyakit yang sering dijumpai muncul pada periode sekitar partus seperti kasus displasia abomasum, distokia, ketosis, hipokalsemia, hiperglikemia, pregnancy toxemia dan mastitis.

Mastitis merupakan salah satu penyakit yang sering muncul pada periode setelah partus yang sangat merugikan secara ekonomi. Penyakit ini disebabkan akibat dari meningkatnya infeksi bakteri ke kelenjar ambing. Banyak faktor yang mengakibatkan munculnya penyakit ini. Defisiensi Zincum pada ruminansia menyebabkan lemahnya kulit dan lapisan epitel (keratin) sehingga meningkatnya kecepatan metabolisme basal diikuti meningkatnya infeksi. Mastitis sering disertai dengan menurunnya kadar Zn atau hipozincemia sedang atau parah. Suplementasi Zn dapat menurunkan somatic cell count (SCC) pada kasus mastitis. Zincum mampu menjaga integritas keratin untuk mencegah kolonisasi infeksi pathogen pada saluran kelenjar ambing. Kerugian yang ditimbulkan pada kasus mastitis sekitar 1.8 miliyar setiap tahun, dimana kira-kira 66 persen produksi susu menurun akibat infeksi tersebut (Harmon 1997).

Hubungan Zincum dengan Sistem Pertahanan Tubuh

Sistem pertahanan tubuh atau sistem imun adalah semua mekanisme untuk mempertahankan dan melindungi tubuh dari berbagai macam penyebab penyakit baik dari dalam maupun luar tubuh. Berbagai penyebab seperti bakteri, virus,


(40)

jamur, asap, iritan, debu, bahan organik maupun anorganik yang dijumpai pada lingkungan sekitar dapat mempengaruhi sistem imun. Ada dua tipe sistem imun yaitu sistem imun nonspesifik dan spesifik. Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena itu dapat memberikan respons langsung terhadap antigen. Sedangkan sistem imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responsnya (Bratawidjaya 2000).

Respon imun non spesifik diawali dari aktifitas sel-sel fagositik terutama neutrofil dan makrofag, merupakan sel pertama yang datang dan bereaksi dengan mikroorganisme. Pergerakan neutrofil ke arah stimulans adalah peristiwa utama dalam reaksi radang. Jika sel fagositik diaktifkan maka sel tersebut membebaskan mediator untuk memulai suatu reaksi perlawanan tubuh. Mediator yang dilepaskan oleh makrofag diantaranya pirogen endogen (EP), Leucocitic endogenous mediator (LEM) dan Lymphocyte activating factor (LAF). Mediator EP dapat merangsang pusat hipotalamus untuk memulai demam atau mungkin anoreksia. Mediator LEM menyebabkan hati mengambil asam amino, Zn dan Fe dan mengawali sintesis berbagai enzim, protein-protein reaktan dalam fase akut, dan kompleks lipoprotein-trigliserida untuk dibebaskan ke dalam plasma, juga merangsang sumsum tulang untuk membuat dan membebaskan sel-sel fagositik tambahan, mengawali atau memodulasi respons berbagai kelenjar endokrin terhadap infeksi (Linder 1992).

Periode bunting dan partus dilaporkan sebagai kondisi stress fisiologis yang disertai terjadinya peningkatan hormon glukokortikoid. Hormon ini dapat mempengaruhi fungsi sel leukosit. Pada akhir kebuntingan atau dua sampai tiga minggu sebelum partus terlihat perubahan aktifitas neutrofil sehubungan dengan terjadinya perubahan kadar hormon seperti hormon glukokortikoid, hormon estrogen, prolaktin, growth hormon di dalam darah (Kehrli et al. 1989).

Glukokortikoid menghambat produksi asam arahidonat yang berperan dalam proses peradangan sehingga akan mempengaruhi fungsi neutrofil dalam melakukan kemotaksis, agregasi, degranulasi dan produksi superoksida (Cai et al.

1994). Hormon ini juga berfungsi sebagai anti imflamasi dengan jalan menghambat permeabilitas vaskuler, menghambat motilitas makrofag, neutrofil,


(41)

menghambat aktivasi komplek dan menstabilkan lisosom (Bratawidjaya 2000; Cunningham 2002).

Penurunan fungsi imun terjadi pada hewan bunting, terutama pada fungsi sel polimorphonuclear (PMN) maupun sel limfosit. Perubahan hormonal yang terjadi pada periode sekitar partus mengakibatkan fungsi PMN dan limfosit tidak mampu bekerja secara optimal. Pemberian glukokortikoid secara in vivo dapat menekan blastogenesis limfosit dan fungsi PMN, dan mekanisme terjadinya belum diketahui secara pasti. Ketidakmampuan sel limfosit berdiferensiasi, dan membentuk antibodi di sekitar partus menyebabkan terjadinya penurunan respon imun (Kehrli et al. 1989). Roth et al. (1982) melaporkan bahwa perubahan fungsi imun berkorelasi dengan meningkatnya jumlah kortisol plasma. Jika terjadi stress yang disertai dengan meningkatnya hormon glukokortikoid akan mempengaruhi reseptornya pada sel leukosit berupa degradasi reseptor yang berakibat pada perubahan ekspresi maupun fenotip sel leukosit baik limfosit maupun PMN yang memegang peranan penting dalam sistem pertahanan imun (Kehrli et al. 1989; Preisler et al. 2000).

Dexamethason merupakan salah satu preparat glukokortikoid. Pemberian dexamethason menyebabkan perubahan pada reseptor glukokortikoid pada sel leukosit. Hormon ini memiliki afinitas ikatan yang kuat dengan reseptornya pada sel leukosit, tingginya hormon ini menyebabkan perubahan fungsi leukosit dan fenotip yang berimplikasi bahwa reseptor glukokortikoid terlibat dalam gangguan fungsi dan sistem imun di sekitar partus. Pemberian dexamethason dapat menghambat produksi interferon gamma (IFN-γ) dan sekresi immunoglobulin M (Ig-M) dan menurunkan ekspresi molekul Major histocompatibility Complex

(MHC) tipe I dan MHC tipe II (Preisler et al. 2000). Pemberian glukokortikoid menyebabkan terjadinya peningkatan leukosit yang disertai neutrofilia, penurunan limfosit (limfopenia) dan monositopenia (Gray et al. 1989). Kejadian limfopenia pada waktu bunting disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya faktor hormonal, atrofi kelenjar timus, defisiensi Zincum. Atrofi timus berakibat pada terjadinya penurunan limfosit, diduga akibat sejumlah besar “precursor” limfosit hilang dan disertai menurunnya sistem imunitas (Dixit et al. 2003). Kaneko (1980) melaporkan produksi antibodi tergantung pada kemampuan sel untuk membelah.


(42)

Menurunnya mitosis pada jaringan limfoid dan menurunnya produksi globulin diakibatkan oleh tingginya hormon glukokortikoid, hal ini merupakan langkah awal terjadinya gangguan respons selular dalam reaksi antigen-antibodi. Pada ayam yang diberi glukokortikoid memperlihatkan penurunan berat badan, atropi limpa, timus, bursa fabricius dan menurunnya respons antibodi serta meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Pemberian glukokortikoid juga memperlihatkan terjadinya penurunan jumlah limfosit, menurunnya produksi interleukin (IL)-2 dan menghambat produksi interferon γ dan sintesis limfokin (Isobe & Lillehoj 1992). Pemberian hormon ACTH menyebabkan meningkatnya konsentrasi kortisol plasma dan dijumpai menurunnya produksi IL-2 dan proliferasi limfosit in vivo maupun in vitro. Penelitian yang dilakukan oleh Takashi et al. (1992) pemberian kortikosteroid dapat menghambat produksi interferon γ dari sel mononuklear, dan mengurangi produksi interleukin-2. Kortisol juga menghambat mitosis dan menyebabkan hancurnya limfosit di dalam timus.

Goff dan Horst (1997) melaporkan kekurangan energi, protein, mineral dan vitamin dalam pakan secara terus menerus dalam jangka waktu cukup lama dapat juga berakibat pada meningkatnya kepekaan terhadap penyakit sebagai akibat menurunnya fungsi imun. Beberapa peneliti beranggapan bahwa ada hubungan langsung antara kualitas dan kuantitas protein pakan dengan pembentukan protein plasma, termasuk pembentukan antibodi. Globulin banyak berperan dalam sistem pertahanan tubuh dan hubungannya dengan produksi antibodi (Kaneko 1980). Masih ada perbedaan tentang efek stress terhadap kadar total protein. Galyean et al. (1981) melaporkan bahwa kadar total protein serum pada sapi yang mendapatkan perlakuan stress lebih tinggi dibanding yang tidak memperoleh perlakuan stress, sedangkan Apple et al. (1993) melaporkan bahwa kadar total protein dijumpai sedikit menurun pada perlakuan stress, walaupun tidak berbeda secara nyata. Informasi menurunnya respon imun pada periode partus masih menjadi perdebatan dan mekanismenya belum diketahui secara pasti. Penurunan respon imun diduga sebagai akibat respons skunder akibat dari menurunnya nafsu makan pada defisiensi Zincum. Droke et al. (1998) melaporkan pada domba yang mengalami defisiensi Zincum diawali hilangnya nafsu makan, lambatnya


(1)

(2)

Lampiran 1. Nilai rerata beberapa parameter yang dianalisis berdasarkan periode

waktu pengamatan pada kelompok Zn0

Periode sekitar partus (minggu)

Parameter

B0

-4

0

4

8

Eritrosit (juta/µl)

2.5

±

0.16

a

2.4

±

0.59

a

2.4

±

0.25

a

2.4

±

0.67

a

2.8

±

0.26

a

Hemoglobin (g/dl) 8.7

±

0.80

a

8.5

±

0.71

a

7.8

±

0.80

a

7.8

±

0.82

a

8.4

±

0.87

a

Hematokrit (%)

26

±

2.76

a

25

±

2.50

a

24

±

3.92

b

24

±

3.93

b

26

±

3.98

a

Leukosit (ribu/µ l)

8.5

±

1.02

c

13.6

±

3.74

ab

15.9

±

1.94

ab

11.9

±

2.6

bc

11.3

±

1.49

bc

Netrofil (ribu/µl)

3.5

±

1.33

c

6.9

±

3.33

ab

8.9

±

2.73

a

5.2

±

1.53

bc

4.6

±

1.10

bc

Limfosit (ribu/µ l)

6.4

±

2.51

a

6.63

±

1.10

a

5.76

±

1.42

a

6.1

±

2.03

a

5.6

±

1.02

a

T Protein (g/dl)

6.9

±

0.30

ab

6.6

±

0.33

b

6.0

±

0.50

c

7.3

±

0.35

a

7.4

±

0.57

a

Albumin (g/dl)

4.0

±

0.32

a

3.9

±

0.10

a

3.5

±

0.70

a

3.7

±

0.58

a

3.5

±

0.75

a

Globulin (g/dl)

2.9

±

0.39

bc

2.7

±

0.39

c

2.6

±

0.42

c

3.6

±

0.73

ab

3.8

±

0.94

a

Rasio A/G

1.4

±

0.27

a

1.5

±

0.25

a

1.4

±

0.53

a

1.1

±

0.35

a

1.0

±

0.40

a

Natrium (mmol/L) 150

±

2

b

150

±

4

b

160

±

10

a

151

±

4

b

150

±

3

b

Kalium (mmol/L)

4.4

±

0.77

a

3.9

±

0.49

a

4.6

±

0.50

a

4.0

±

0.47

a

4.1

±

0.39

a

Chlor (mmol/L)

119

±

7

b

119

±

2

b

130

±

12

a

116

±

3

b

114

±

2

b

Kadar Zn (ppm)

1.2

±

0.01

a

0.9

±

0.12

ab

0.6

±

0.21

c

0.8

±

0.35

bc

0.8

±

0.30

bc

Kortisol (ng/ml)

2.2

±

2. 8

a

3.7

±

1.88

a

75.9

±

42

c

2.2

±

1.64

a

2.5

±

2.01

a

Aktiv fagosit (%)

53

±

11.7

a

46

±

9.2

a

56

±

19.6

a

55

±

15.7

a

51.7

±

1.8

a

Kapasitas fagosit

159

±

62

a

177

±

59

ab

179

±

69

ab

126

±

39

a

132

±

81

a

Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda

nyata pada tarap uji 5% (P>0,05)

Lampiran 2. Nilai rerata beberapa parameter yang dianalisis berdasarkan periode

waktu pengamatan pada kelompok Zn1

Periode sekitar partus (minggu)

Parameter

Bo

-4

0

4

8

Eritrosit (juta/µl)

2.3

±

0.27

a

2.7

±

0.25

ab

2.7

±

0.59

ab

2.8

±

0.24

ab

3.0

±

0.21

b

Hemoglobin (g/dl) 8.4

±

1.17

a

8.5

±

1.00

a

8.5

±

0.74

a

8.6

±

0.33

a

8.7

±

0.58

a

Hematokrit (%)

23

±

3.54

a

28

±

1.97

a

26

±

3.13

a

26

±

1.26

a

31

±

2.34

a

Leukosit (ribu/µ l)

9.5

±

3.37

c

12.6

±

2.94

a

13.2

±

0.68

a

10.8

±

1.89

ac

9.9

±

0.71

bc

Netrofil (ribu/µl)

4.6

±

0.83

b

5.3

±

2.05

ab

6.5

±

0.83

a

5.1

±

1.59

ab

3.6

±

0.66

b

Limfosit (ribu/µ l)

5.9

±

2.37

b

7.4

±

2.08

a

6.2

±

0.71

ab

5.3

±

1.01

ab

4.9

±

0.57

b

T Protein (g/dl)

7.1

±

0.39

c

7.3

±

0.27

bc

6.5

±

0.59

d

7.8

±

0.66

ab

8.2

±

0.23

a

Albumin (g/dl)

4.2

±

0.31

a

3.7

±

0.47

a

3.5

±

0.40

a

3.7

±

0.42

a

3.6

±

0.40

a

Globulin (g/dl)

2.9

±

0.25

c

3.6

±

0.50

bc

3.0

±

0.85

c

4.0

±

0.84

ab

4.6

±

0.23

a

Rasio A/G

1.4

±

0.50

a

1.0

±

0.38

bc

1.3

±

0.49

ab

0.9

±

0.36

c

0.8

±

0.19

c

Natrium (mmol/L) 154

±

7

b

153

±

16

b

155

±

9

b

151

±

2

b

152

±

5

b

Kalium (mmol/L)

4.6

±

0.56

a

4.0

±

0.42

ab

4.3

±

0.78

ab

3.7

±

0.29

b

3.9

±

0.35

b

Chlor (mmol/L)

117

±

2

b

120

±

11

b

124

±

13

b

117

±

4

b

116

±

4

b

Kadar Zn (ppm)

1.2

±

0.10

a

1.0

±

0.23

a

0.9

±

0.36

a

1.1

±

0.33

a

1.3

±

0.37

a

Kortisol (ng/ml)

2.1

±

1.58

a

5.2

±

0.76

a

19.0

±

18

b

1.2

±

0.64

a

2.3

±

1.63

a

Aktiv fagosit (%)

55

±

10.4

a

50

±

8.2

ab

54

±

11.9

a

54

±

11.3

a

55

±

13.8

a

Kapasitas fagosit

230

±

73

a

246

±

108

b

403

±

82

c

234

±

103

b

214

±

55

a

Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda


(3)

Lampiran 3

.

Nilai rerata beberapa parameter yang dianalisis berdasarkan periode

waktu pengamatan pada kelompok Zn2

Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda

nyata pada tarap uji 5% (P>0,05)

Periode sekitar partus (minggu)

Parameter

Bo

-4

0

4

8

Eritrosit (juta/µl)

2.44

±

0.32

a

2.65

±

0.21

a

2.85

±

0.16

ab

2.83

±

0.33

ab

2.95

±

0.13

ab

Hemoglobin

8.40

±

0.58

a

7.95

±

0.94

a

8.63

±

0.60

a

9.05

±

1.29

a

8.97

±

0.87

a

Hematokrit (%)

25.00

±

1.67

a

24.50

±

0.55

b

26.17

±

1.17

a

27.17

±

4.17

a

28.83

±

1.94

ab

Leukosit (ribu/µl)

8.89

±

2.58

c

13.9

±

1.38

ab

18.36

±

3.99

a

13.62

±

2.86

ab

12.25

±

2.13

bc

Netrofil (ribu/µl)

2.91

±

0.92

c

7.38

±

1.94

ab

8.08

±

2.57

a

5.72

±

0.97

bcd

5.27

±

1.22

cd

Limfosit (ribu/µl)

5.82

±

1492

b

6.46

±

1.72

b

6.98

±

1.51

b

6.66

±

2.56

b

6.31

±

1.70

b

T Protein (g/dl)

7.23

±

0.20

bc

6.83

±

0.37

c

6.06

±

0.50

d

7.63

±

0.51

ab

7.80

±

0.51

a

Albumin (g/dl)

4.29

±

0.37

a

3.74

±

0.06

a

3.43

±

0.46

a

3.88

±

0.46

a

3.74

±

0.53

a

Globulin (g/dl)

2.95

±

0.31

b

3.09

±

0.37

b

2.63

±

0.89

b

3.76

±

0.61

ab

4.06

±

0.80

a

Rasio A/G

1.47

±

0.28

a

1.21

±

0.15

ab

1.57

±

0.56

a

1.06

±

0.25

b

0.99

±

0.29

b

Natrium (mmol/L)

152

±

4.10

b

151

±

4.93

b

162

±

10.07

b

156

±

6.71

b

154

±

12.46

b

Kalium (mmol/L)

4.24

±

0.76

abc

3.75

±

0.19

bc

4.43

±

0.57

a

4.38

±

0.55

ab

3.62

±

0.23

c

Chlor (mmol/L)

116

±

2

b

119

±

3

b

127

±

7

a

120

±

5

ab

116

±

3

b

Kadar Zn (ppm)

1.25

±

0.08

a

1.08

±

0.06

ab

0.73

±

0.34

c

0.92

±

0.45

bc

1.31

±

0.22

a

Kortisol (ng/ml)

2.07

±

1.71

a

5.94

±

4.00

a

52.65

±

30.83

bc

5.31

±

2.66

a

2.18

±

0.63

a

Aktiv fagosit (%)

53.17

±

2.79

a

47.00

±

9.90

ab

54.67

±

4.59

a

49.67

±

9.50

ab

54.00

±

3.46

a

Kapasitas Fagosit

182

±

59

a


(4)

Lampiran 4

.

Nilai rerata beberapa parameter yang dianalisis berdasarkan

kelompok perlakuan

Parameter

Zn0

Zn1

Zn2

Ertitrosit (juta/ul)

2.49

a

2.61

a

2.71

a

Hematokrit (%)

25.06

a

26.38

a

25.78

a

Hemoglobin (g/dl)

8.28

a

8.51

a

8.58

a

Leukosit (ribu/ul)

12.33

ab

11.44

b

12.87

a

Netrofil (sel/ul)

5745

a

4893

b

5698

ab

Limfosit (sel/ul)

6082

a

6166

a

6626

a

Total Protein (g/dl)

6.89

b

7.28

a

7.15

ab

Albumin (g/dl)

3.77

a

3.76

a

3.80

a

Globulin (g/dl)

3.09

b

3.55

a

3.36

ab

Rasio A/G

1.28

a

1.13

b

1.20

ab

Natrium (mmol/L)

152

a

154

a

155

a

Kalium (mmol/L)

4.31

a

4.08

a

4. 17

a

Clorida (mmol/L)

119

a

117

a

120

a

Kadar Zn (ppm)

0.92

b

1.096

a

1.078

a

Kortisol (ng/ml)

23.31

a

8.978

b

22.54

a

Aktivitas fagositosis (%)

52.31

a

52.87

a

52.64

a

Kapasitas fagositosis (bakt/50 sel)

173.89

c

246.00

a

204.55

b

Total produksi susu selama dua bulan

(gram)

41208

a

42863

a

43685

a

Produksi Susu harian (gr/ekor/hari)

736

a

765

a

780

a

Bobot induk (kg)

43.41

a

40.34

a

41.37

a

Jumlah Anak (ekor)

16

a

15

a

15

a

Jumlah anak jantan (ekor)

9

a

9

a

8

a

Jumlah anak betina (ekor)

7

a

6

a

7

a

Bobot lahir anak jantan (kg)

3,6

a

3,78

a

3,85

a

Bobot lahir anak betina (kg)

3,1

a

3,13

a

3,3

a

Keterangan : Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda

nyata pada tarap uji 5% (P>0,05)


(5)

Lampiran 5. Analisis ragam beberapa parameter

Analisis ragam jumlah leukosit

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

ulangan 5 86310379.3 17262075.9 2.47 0.0385 ransum 2 62906288.03 31453144.02 3.42 0.0740 Error(a) 10 92095442.8 9209544.3

Waktu 9 301765491.6 33529499.1 7.94 <.0001 Error(b) 45 189909602.9 4220213.4

ransum*Waktu 18 87541968.5 4863442.7 0.69 0.8078 Error 90 630016325 7000181

Analisis ragam jumlah netrofil

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

ulangan 5 36149374.6 7229874.9 2.33 0.0491 ransum 2 27526934.63 13763467.32 3.44 0.0730 Error(a) 10 40008376.0 4000837.6

Waktu 9 225990032.5 25110003.6 11.59 <.0001 Error(b) 45 97462709.4 2165838.0

ransum*Waktu 18 79382860.5 4410158.9 1.42 0.1420 Error 90 279663476.2 3107372.0

Analisis ragam Total Protein

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

ulangan 5 4.61125926 0.92225185 6.56 <.0001 ransum 2 5.63867037 2.81933519 4.66 0.0372 Error(a) 10 6.05490741 0.60549074

Waktu 11 42.08754815 3.82614074 19.54 <.0001 Error(b) 55 10.76696296 0.19576296

ransum*Waktu 22 2.77048519 0.12593114 0.90 0.5999 Error 110 15.46020370 0.14054731

Analisis ragam Globulin

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

ulangan 5 4.98407778 0.99681556 2.80 0.0214 ransum 2 6.41146778 3.20573389 6.63 0.0147 Error(a) 10 4.83639889 0.48363989

Waktu 9 33.66748000 3.74083111 9.96 <.0001 Error(b) 45 16.89746667 0.37549926

ransum*Waktu 18 4.26771000 0.23709500 0.67 0.8354 Error 90 32.0428233 0.3560314

Analisis ragam R A/G

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

ulangan 5 1.42035267 0.28407053 2.45 0.0380 ransum 2 0.86537371 0.43268685 3.43 0.0735 Error(a) 10 1.26221621 0.12622162

Waktu 11 5.82550871 0.52959170 5.35 <.0001 Error(b) 55 5.44853472 0.09906427

ransum*Waktu 22 2.09880852 0.09540039 0.82 0.6912 Error 110 12.74532524 0.11586659


(6)

Analisis ragam Kadar Zn

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

ulangan 5 0.58307130 0.11661426 1.61 0.1748 ransum 2 0.65377963 0.32688981 4.06 0.0511 Error(a) 10 0.80449815 0.08044981 1.11 0.3733 Waktu 5 2.48932685 0.49786537 17.63 <.0001 Error(b) 25 0.70590093 0.02823604 0.39 0.9937 ransum*Waktu 10 0.69767593 0.06976759 0.96 0.4866 Error 50 3.62291296 0.07245826

Analisis ragam Kadar Kortisol

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

ulangan 5 1473.38928 294.67786 1.13 0.3498 ransum 2 7608.875172 3804.437586 5.84 0.0208 Error(a) 10 6510.65595 651.06559

Waktu 9 42255.15489 4695.01721 16.46 <.0001 Error(b) 45 12838.70106 285.30447

ransum*Waktu 18 12400.29200 688.90511 2.65 0.0014 Error 87 22655.6696 260.4100

Analisis ragam Kapasitas Fagositosis

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

ulangan 5 157575.1862 31515.0372 4.00 0.0038 ransum 2 119073.8210 59536.9105 17.91 0.0005 Error(a) 10 33243.1169 3324.3117 0.42 0.9293 Waktu 9 116771.6794 12974.6310 1.57 0.1557 Error(b) 43 355784.7010 8274.0628 1.05 0.4284 ransum*Waktu 18 120852.9829 6714.0546 0.85 0.6327 Error 52 409224.912 7869.710