Asetilasi Kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L), Cempedak (Artocarpus integer Merr), dan Rambai (Baccaurea montleyana Muell. Arg)

(1)

ASETILASI KAYU RAMBUTAN (

Nephelium lappaceum

L.),

CEMPEDAK (

Artocarpus integer

Merr.), DAN RAMBAI

(

Baccaurea montleyana

Muell. Arg)

HASIL PENELITIAN

Oleh: Jendro Zalukhu

081203017 / Teknologi Hasil Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2012


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Asetilasi Kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L),

Cempedak (Artocarpus integer Merr), dan Rambai (Baccaurea montleyana Muell. Arg)

Nama : Jendro Zalukhu

NIM : 081203017

Program Studi : Kehutanan

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

Luthfi Hakim, S.Hut, M.Si Dr. Rudi Hartono, S.Hut, M.Si Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kehutanan Siti Latifah S.Hut, M.Si, Ph.D.


(3)

ABSTRACK

JENDRO ZALUKHU Wood acetylation of Nephelium lappaceum, Artocarpus integer, and Baccaurea montleyana woods. Guided by LUTHFI HAKIM and RUDI HARTONO.

Termites are wood destroying organisms that cause harm and considerable damage to buildings in Indonesia. Therefore, there should be methods of termite attack on buildings. Method of chemical modification of wood used in this study is acetylation using acetic acid solution is applied to the wood of fruit (Nephelium lappaceum, Artocarpus integer, and Baccaurea montleyana woods). The purpose of this study was to test the dimensional stability, and retention test measures the resistance of wood against termite attack on Nephelium lappaceum, Artocarpus integer, and Baccaurea montleyana woods after acetylation.

The method is carried out three types of wood soaked in each concentration of acetic acid solution (control, 10%, 15%, 20% and 25%). The results showed that the acetylation of wood to improve dimensional stability (ASE). In addition, the process also increases the acetylation of wood resistance to termite attack. This is shown by the retention of preservative that occurs in wood diasetilasi. Acetylation with acetic acid solution of 25% has the highest retention value, and the weight loss due to termite attack the lowest. This means, the process of acetylation can increase the resistance of wood against termite attack.


(4)

ABSTRAK

JENDRO ZALUKHU. Asetilasi Kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L), Cempedak (Artocarpus integer Merr), dan Rambai (Baccaurea montleyana Muell. Arg). Di bawah bimbingan LUTHFI HAKIMdan RUDI HARTONO.

Rayap merupakan organisme perusak kayu yang menimbulkan kerugian dan kerusakan yang cukup besar pada bangunan di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan metode penanggulangan terhadap rayap yang menyerang bangunan. Salah satu cara penanggulangannya adalah dengan memodifikasi kimia kayu. Metode modifikasi kimia kayu yang digunakan pada penelitian ini adalah asetilasi menggunakan larutan asam asetat yang diaplikasikan pada kayu buah-buahan, yaitu kayu rambutan, cempedak dan rambai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji stabilitas dimensi, mengukur retensi dan menguji ketahanan kayu terhadap serangan rayap pada kayu rambutan, cempedak dan rambai setelah proses asetilasi.

Metode yang dilakukan adalah ketiga jenis kayu direndam pada masing-masing konsentrasi larutan asam asetat (kontrol, 10%, 15%, 20% dan 25%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses asetilasi mampu meningkatkan stabilitas dimensi kayu (ASE). Selain itu, proses asetilasi juga meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap. Ini ditunjukkan dari nilai retensi bahan pengawet yang terjadi pada kayu yang diasetilasi. Asetilasi dengan larutan asam asetat 25% memiliki nilai retensi yang paling tinggi, dan nilai kehilangan berat akibat serangan rayap yang paling rendah. Ini berarti, proses asetilasi mampu meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap.


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Jakarta pada 15 Januari 1991 dari ayah Jentieli Zalukhu dan ibu Rosma Lingga. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Tahun 2002 penulis lulus pendidikan di SD N No 064021 Medan Helvetia dan pada tahun 2005 penulis lulus SMP Eka Prasetya Medan. Pada tahun 2008 penulis lulus dari SMA Teladan Cinta Damai dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur Ujian Masuk Bersama Perguruan Tinggi Negeri (UMB-PTN). Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian.

Selama perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) dan aktif dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Katolik (IMK) Santo Xaverius Albertus Magnus. Penulis pernah menjadi asisten Praktikum Silvikultur dan Teknologi Serat Komposit. Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (PEH) di Lau Kawar dan Deleng Lancuk. Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di Taman Nasional Baluran Jawa Timur dari tanggal 02 Februari sampai 02 Maret 2012.

Pada akhir kuliah penulis melaksanakan penelitian dengan judul Asetilasi Kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L), Cempedak (Artocarpus integer Merr) dan Rambai (Baccaurea montleyana Muell. Arg) di bawah bimbingan Bapak Luthfi Hakim, S.Hut, M.Si dan Dr. Rudi Hartono, S.Hut, M.Si.


(6)

KATA PENGANTAR

. Paji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala berkat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul Asetilasi Kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L), Cempedak (Artocarpus integer Merr) dan Rambai (Baccaurea montleyana Muell. Arg) telah selesai dilaksanakan. Hasil penelitian ini disusun sebagai satu syarat untuk mendapat gelar sarjana di Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Luthfi Hakim, S.Hut, M.Si dan Dr. Rudi Hartono, S.Hut, M.Si selaku Komisi Pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan kepada teman-teman dan semua pihak yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada orang tua yang telah banyak membantu baik dari segi moril maupun materil. Penulis berharap semoga skripsi ini berguna sebagai dasar untuk penelitian-penelitian berikutnya dan dapat bermanfaat dalam pengembangan umum, khususnya bidang kehutanan.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan hasil penelitian ini. Untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan selanjutnya. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih

Medan, Agustus 2012


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACK ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Kayu Rambutan ... 4

Kayu Cempedak ... 5

Kayu Rambai ... 7

Asam Asetat ... 8

Asetilasi Kayu ... 9

Pengawetan Kayu ... 11

Retensi Kayu ... 13

Rayap ... 15

Biologi Rayap ... 15

Siklus Hidup Rayap ... 16

Sifat dan Prilaku Rayap ... 17

Rayap Tanah Macrotermes gilvus Hagen ... 19

Rayap Subteran Coptotermes curvignathus Holmgren ... 21

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 24

Alat dan Bahan ... 24

Metode Penelitian ... 24

1) Persiapan Contoh Uji ... 24

2) Perendaman dengan Larutan Asam Asetat ... 25

3) Pengukuran Stabilitas Dimensi ... 25

4) Pengukuran Penambahan Berat Kayu ... 26

5) Pengukuran Retensi Kayu ... 26

6) Pengujian Ketahanan Kayu Terhadap Serangan Rayap . 26 a) Uji Kubur (Graveyard Test) ... 26

b) Uji Laboratorium ... 27

7) Pengukuran Kerapatan Kayu ... 28


(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Stabilitas Dimensi ... 31

Penambahan Berat Kayu (Weight Percent Gain/WPG) ... 33

Retensi Kayu ... 34

Ketahanan Kayu Terhadap Serangan Rayap ... 37

1) Uji Kubur (Graveyard Test) ... 37

2) Uji Laboratorium ... 41

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 46

Saran ... 46 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Siklus hidup rayap ... 17

2. Cara penguburan contoh untuk uji kubur ... 27

3. Penguburan contoh uji di botol kaca ... 28

4. Grafik rata-rata nilai ASE ... 31

5. Grafik rata-rata nilai WPG ... 33

6. Grafik rata-rata nilai retensi ... 35

7. Grafik rata-rata nilai kerapatan ... 36

8. Grafik rata-rata kehilangan berat kayu uji kubur ... 38

9. Sarang rayap yang ada di Arboretum Tridharma USU ... 40

10.Grafik rata-rata kehilangan berat kayu uji laboratorium ... 42

11.Kayu (a) rambutan, (b) cempedak dan (c) rambai tanpa perlakuan (kontrol) yang terserang rayap uji laboratorium ... 43


(10)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah uji lapangan ... 27

2. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah uji laboratorium ... 28

3. Kelas ketahanan kayu pada pengujian lapangan ... 41


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Data nilai ASE ... 51

2. Data nilai WPG ... 52

3. Data nilai retensi ... 53

4. Data nilai kerapatan ... 54

5. Data nilai kehilangan berat kayu uji kubur ... 55

6. Data nilai kehilangan berat kayu uji laboratorium ... 56

7. Analisis sidik ragam ASE ... 57

8. Analisis sidik ragam WPG ... 58

9. Analisis sidik ragam retensi ... 59

10.Analisis sidik ragam uji kubur ... 60


(12)

ABSTRACK

JENDRO ZALUKHU Wood acetylation of Nephelium lappaceum, Artocarpus integer, and Baccaurea montleyana woods. Guided by LUTHFI HAKIM and RUDI HARTONO.

Termites are wood destroying organisms that cause harm and considerable damage to buildings in Indonesia. Therefore, there should be methods of termite attack on buildings. Method of chemical modification of wood used in this study is acetylation using acetic acid solution is applied to the wood of fruit (Nephelium lappaceum, Artocarpus integer, and Baccaurea montleyana woods). The purpose of this study was to test the dimensional stability, and retention test measures the resistance of wood against termite attack on Nephelium lappaceum, Artocarpus integer, and Baccaurea montleyana woods after acetylation.

The method is carried out three types of wood soaked in each concentration of acetic acid solution (control, 10%, 15%, 20% and 25%). The results showed that the acetylation of wood to improve dimensional stability (ASE). In addition, the process also increases the acetylation of wood resistance to termite attack. This is shown by the retention of preservative that occurs in wood diasetilasi. Acetylation with acetic acid solution of 25% has the highest retention value, and the weight loss due to termite attack the lowest. This means, the process of acetylation can increase the resistance of wood against termite attack.


(13)

ABSTRAK

JENDRO ZALUKHU. Asetilasi Kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L), Cempedak (Artocarpus integer Merr), dan Rambai (Baccaurea montleyana Muell. Arg). Di bawah bimbingan LUTHFI HAKIMdan RUDI HARTONO.

Rayap merupakan organisme perusak kayu yang menimbulkan kerugian dan kerusakan yang cukup besar pada bangunan di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan metode penanggulangan terhadap rayap yang menyerang bangunan. Salah satu cara penanggulangannya adalah dengan memodifikasi kimia kayu. Metode modifikasi kimia kayu yang digunakan pada penelitian ini adalah asetilasi menggunakan larutan asam asetat yang diaplikasikan pada kayu buah-buahan, yaitu kayu rambutan, cempedak dan rambai. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji stabilitas dimensi, mengukur retensi dan menguji ketahanan kayu terhadap serangan rayap pada kayu rambutan, cempedak dan rambai setelah proses asetilasi.

Metode yang dilakukan adalah ketiga jenis kayu direndam pada masing-masing konsentrasi larutan asam asetat (kontrol, 10%, 15%, 20% dan 25%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses asetilasi mampu meningkatkan stabilitas dimensi kayu (ASE). Selain itu, proses asetilasi juga meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap. Ini ditunjukkan dari nilai retensi bahan pengawet yang terjadi pada kayu yang diasetilasi. Asetilasi dengan larutan asam asetat 25% memiliki nilai retensi yang paling tinggi, dan nilai kehilangan berat akibat serangan rayap yang paling rendah. Ini berarti, proses asetilasi mampu meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap.


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyebab utama hancurnya sebuah bangunan ternyata bukan hanya karena bahaya kebakaran atau angin ribut, tetapi juga akibat serangan rayap. Kerusakan bangunan akibat serangan rayap tidak terbatas pada komponen bangunan dari bahan kayu saja, melainkan juga pada komponen lain terutama yang terbuat dari bahan organik. Pada saat ini bahaya rayap tidak hanya mengancam bangunan sederhana, melainkan mengancam juga pada bangunan mewah berlantai banyak (Nandika, 1986).

Oleh sebab itu tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa rayap mempunyai dampak ekonomis yang cukup besar dalam kehidupan manusia (Tarumingkeng, 1993). Rakhmawati (1996) menambahkan setiap tahunnya di Indonesia kerugian akibat serangan rayap pada bangunan gedung tercatat sekitar Rp. 1,67 triliun. Dengan mengetahui tingginya tingkat kerugian akibat serangan rayap pada rumah dan bangunan, maka diharapkan penggunaan kayu dapat digunakan secara bijaksana dan efisiensi. Untuk mengetahui bagaimana cara penanggulangannya, maka diperlukan informasi mengenai jenis rayap yang menyerang, sehingga dapat disesuaikan metode pencegahan atau penanggulangannya dengan jenis rayap yang menyerang (Risnasari, 2001).

Salah satu cara untuk mengatasi serangan rayap yang terjadi pada produk-produk kayu maupun turunannya, dilakukanlah usaha pengawetan kayu. Pengawetan kayu dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari perlakuan fisik, biologi maupun kimia. Perlakuan kimia untuk mengatasi serangan rayap dilakukan dengan memberikan atau


(15)

memasukkan bahan kimia ke dalam kayu tersebut atau dengan memodifikasi kimia kayu yang akan diawetkan.

Modifikasi kimia kayu adalah reaksi kimia antara beberapa bagian komponen kimia yang reaktif dengan pereaksi kimia sederhana untuk membentuk ikatan kovalen antara keduanya. Bagian komponen kayu yang paling reaktif adalah gugus hidroksil. Bentuk ikatan kovalen yang utama dari modifikasi kimia kayu adalah ether dan ester (Sucipto, 2009). Salah satu metode modifikasi kimia kayu yang telah berkembang saat ini adalah metode asetilasi.

Asetilasi merupakan salah satu cara memodifikasi kimia kayu yang dapat digunakan untuk meningkatkan keawetan kayu. Hal ini dimungkinkan karena kayu mempunyai gugus-gusus reaktif, yaitu gugus hidroksil yang dapat bereaksi dengan pereaksi kimia asam asetat, membentuk kayu asetat yang bersifat racun bagi organisme perusak kayu, khusunya rayap. Pada penelitian ini, metode asetilasi yang dilakukan menggunakan larutan asam asetat yang direaksikan pada kayu buah-buahan, antara lain kayu rambutan, cempedak dan rambai.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menguji stabilitas dimensi kayu cempedak, rambutan dan rambai setelah proses asetilasi.

2. Mengukur banyaknya bahan pengawet masuk (retensi) ke dalam kayu cempedak, rambutan dan rambai setelah proses asetilasi.

3. Menguji ketahanan kayu cempedak, rambutan dan rambai terhadap serangan rayap setelah proses asetilasi.


(16)

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan nilai tambah dari kayu cempedak, rambutan dan rambai.

2. Meningkatkan keawetan kayu setelah diberi perlakuan modifikasi kimia melalui proses asetilasi kayu.

Hipotesis Penelitian

1. Ada pengaruh dari ketiga jenis kayu (cempedak, rambutan dan rambai) dan konsentrasi larutan asam asetat (kontrol, 10%, 15%, 20% dan 25%) terhadap stabilitas dimensi, retensi dan ketahanan kayu terhadap serangan rayap.

2. Ada pengaruh interaksi antara ketiga jenis kayu (cempedak, rambutan dan rambai) dengan konsentrasi larutan asam asetat (kontrol, 10%, 15%, 20% dan 25%) terhadap stabilitas dimensi, retensi dan ketahanan kayu terhadap serangan rayap.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Kayu Rambutan

Kayu rambutan adalah tanaman buah-buahan yang berasal dari famili Sapindaceae. Biasanya tanaman ini tingginya antara 15-25 m, bercabang-cabang, dan daunnya berwarna hijau. Buah bentuknya bulat lonjong, panjang 3-5 cm dengan duri tempel (rambut) lemas sampai kaku. Kulit buah berwarna hijau, dan menjadi kuning atau merah kalau sudah masak. Dinding buah tebal. Biji berbentuk elips, terbungkus daging buah berwarna putih transparan yang dapat dimakan dan banyak mengandung air. Rasanya bervariasi dari masam sampai manis. Kulit biji tipis berkayu (Abdurrochim, 2007). Berikut adalah taksonomi tanaman rambutan.

Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Tracheobionta

Super divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub kelas : Rosidae

Ordo : Sapindales

Famili : Sapindaceae

Genus : Nephelium

Spesies : Nephelium lappaceum L.


(18)

Rambutan adalah tanaman tropis yang tergolong ke dalam suku lerak-lerakan atau Sapindaceae, berasal dari daerah kepulauan di Asia Tenggara. Kata "rambutan" berasal dari bentuk buahnya yang mempunyai kulit menyerupai rambut. Rambutan banyak terdapat di daerah tropis seperti Afrika, Kamboja, Karibia, Amerika Tengah, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Sri Lanka. Rambutan (Nephelium lappaceum L.) merupakan salah satu jenis buah-buahan yang mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh manusia. Tanaman buah rambutan sengaja dibudidayakan untuk dimanfaatkan buahnya yang mempunyai gizi, zat tepung, sejenis gula yang mudah terlarut dalam air, zat protein dan asam amino, zat lemak, zat enzim-enzim yang esensial dan nonesensial, vitamin dan zat mineral makro, mikro yang menyehatkan keluarga, tetapi ada pula masyarakat yang memanfaatkannya sebagai pohon pelindung di pekarangan atau sebagai tanaman hias (Sub Balai KSDA Kalbar, 1996).

Kayu Rambutan (Nephelium lappaceum L.), mempunyai berat jenis rata-rata 0,91. Kelas awetnya III, yang berarti mampu bertahan sampai 10 tahun keatas, bila diolah dengan baik. Kelas kuatnya I-II, yang berarti mampu menahan lentur diatas 1100 kg/cm2 dan mengantisipasi kuat desak diatas 650 kg/cm2. Berdasarkan sifat kembang susut kayu yang sedang, daya retaknya sedang, kekerasannya sedang dan bertekstur agak kasar, serta berserat lurus, maka kayu ini mempunyai sifat pengerjaan mudah sampai sedang,

sehingga banyak diminati untuk digunakan sebagai bahan konstruksi (Abdurrochim, 2007).

Kayu Cempedak

Cempedak adalah tanaman buah-buahan dari famili Moraceae. Bentuk buah, rasa dan keharumannya mirip seperti buah nangka, meski aromanya kerap kali menusuk kuat mirip buah durian. Pohonnya selalu hijau, sedang besarnya. Tingginya dapat mencapai 20m meski kebanyakan hanya belasan meter. Ranting-ranting dan pucuk dengan rambut


(19)

halus dan kaku serta berwarna kecoklatan (Sub Balai KSDA Kalbar, 1996). Berikut adalah taksonomi tanaman cempedak.

Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Tracheobionta

Super divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub kelas : Dilleniidae

Ordo : Urticales

Famili : Moraceae

Genus : Artocarpus

Spesies : Artocarpus integer (Thumb) Merr.

Sumber: Sub Balai KSDA Kalbar (1996).

Tanaman ini berasal dari Asia Tenggara dan tersebar luas mulai dari wilayah Tenasserim di Burma, Semenanjung Malaya termasuk Thailand, dan sebagian Kepulauan Nusantara: Sumatera, Kalimantan, Maluku hingga Papua, dan banyak juga dijumpai di Jawa bagian Barat (Sub Balai KSDA Kalbar, 1996).

Kayu dari genus Artocarpus seperti cempedak dan nangka mempunyai berat jenis rata-rata 0,75. Kelas awetnya II, yang berarti mampu bertahan sampai 20 tahun keatas, bila diolah dengan baik. Kelas kuatnya I-II, yang berarti mampu menahan lentur diatas 1100 kg/cm2 dan mengantisipasi kuat desak diatas 650 kg/cm2. Berdasarkan sifat


(20)

kembang susut kayu kecil, daya retaknya rendah, kekerasannya sedang dan bertekstur agak kasar, serta berserat lurus berpadu, maka kayu ini mempunyai sifat pengerjaan mudah, sehingga banyak diminati baik untuk digunakan sebagai bahan konstruksi maupun bahan mebel/furniture (Abdurrochim, 2007).

Kayu Rambai

Kayu rambai (Baccaurea motleyana Muell. Arg.) adalah sejenis tanaman buah-buahan yang tumbuh liar atau setengah liar di Asia Tenggara, seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia (terutama Sumatera dan Kalimantan). Pohon rambai masih berkerabat dekat dengan menteng/kepundung, bahkan sulit untuk dibedakan. Perbedaannya adalah bahwa bunga dan buah menteng tumbuh di ujung dahan. Selain itu, rambai relatif lebih manis (Sub Balai KSDA Kalbar, 1996). Berikut adalah taksonomi tanaman rambai.

Kingdom : Plantae

Sub kingdom : Tracheobionta

Super divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Sub kelas : Rosidae

Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Baccaurea


(21)

Sumber: Sub Balai KSDA Kalbar (1996).

Manfaat tanaman rambai bagi manusia sangat beragam. Buah rambai yang masak bisa langsung dimakan atau dibuat bahan minuman yang dicampur sirop dan es batu. Kulit buah rambai yang licin dan asam bisa dimanfaatkan sebagai pencampur bumbu kuah sayuran dan pepesan ikan. Kulit batangnya yang berwarna cokelat muda dapat digunakan sebagai pencampur ramuan jamu atau obat tradisional untuk penyakit tertentu. Selain itu, kulit tersebut dipakai untuk mewarnai kain. Bila dicampur dengan akar pohon harendong dapat menghasilkan warna merah terang. Kayunya dapat digunakan sebagai bahan perabot rumah tangga. Biasanya kayu rambai yang dikeringkan dapat dipakai sebagai kayu bakar, terutama dahan-dahan yang agak kecil beserta rantingnya (Tatang, et al, 2000).

Pohon rambai sering dimanfaatkan sebagai pohon pelindung atau peneduh. Pohon rambai menghasilkan kayu yang keras dan awet yang sama mutunya dengan jenis meranti yang terbaik (kelas awet I-II). Kayunya dipakai untuk tiang dan termasuk kayu bakar yang baik. Kearifan penggunaan pohon rambai di kalangan masyarakat Kalimantan Barat masih terus terjaga. Masyarakat memanfaatkan kayunya bila pohon sudah tidak produktif lagi dalam menghasilkan buah. Penelitian terhadap sifat fisika kayu rambai menunjukkan bahwa nilai kadar air kayu normal 12,57% dan kerapatan kayu kering tanur 0,593 gr/cm3. Sifat mekanika kayu rambai menunjukkan bahwa kayu rambai digolongkan dalam kelas kuat II-III sehingga dapat digunakan untuk konstrusi ringan sampai sedang. Masyarakat pedalaman Kalimantan Barat juga menggunakan kayunya untuk mengobati keputihan (Torambung dan Dayadi, 2005).

Asam Asetat

Asam asetat merupakan salah sat setelah


(22)

memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3

-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut

adalah

Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah terdisosiasi sebagian menjadi+ dan CH3COO

-. Asam asetat merupakan m

pengatur sebagai juta dari industri

Larutan asam asetat dengan konsentrasi lebih dari 25% harus ditangani

difume hood) karena uapnya yang korosif dan berbau. Asam asetat encer, seperti pada cuka, tidak berbahaya. Namun konsumsi asam asetat yang lebih pekat adalah berbahaya bagi manusia maupun

pada (Lancaster, 2002).

Asetilasi Kayu

Kayu merupakan material yang dimensinya tidak stabil, karena volume kayu dipengaruhi oleh kadar air. Kayu akan menyusut bila kadar air (H2O) terdesorpsi dari dinding sel dan mengembang lagi bila H2O teradsorpsi ke dalam dinding sel kayu. Hal ini disebabkan karena dalam dinding sel terdapat selulosa


(23)

amorf, hemiselulosa dan lignin yang dapat mengikat H2O, sehingga mempengaruhi dimensi kayu (Sanjaya, 2001).

Fengel et al (1993) menyatakan bahwa metode asetilasi kayu adalah metode stabilisasi dimensi kayu secara kimiawi, yang bertujuan mengubah gugus –OH bebas atau –OH pada daerah amorf pada struktur komponen kayu dengan gugus asetil dari senyawa yang mengandung gugus asetil, misalnya (CH

3CO)2O, anhidridasetat dan asam asetat (CH3COOH). Zat aditif masuk ke dalam struktur kayu, sehingga struktur kayu menjadi stabil dimensinya. Secara umum reaksi asetilasi kayu dengan menggunakan asam asetat, adalah sebagai berikut :

Kayu + asam aseat kayu tersubstitusi

Modifikasi kimia kayu dapat memperbaiki stabilitas dimensi kayu melalui dua mekanisme. Dimana dinding sel diisi dengan berbagai cara oleh pereaksi (baik ikatan kovalen atau tidak), sehingga dinding sel mengembang. Kayu kemudian hanya dapat mengembang dengan jumlah tambahan yang tergantung pada bulking pada dinding sel dalam kaitannya dengan volume yang terisi oleh pemodifikasi (Hon, 1996).

Asetilasi dilakukan berdasarkan teori bahwa proses perusakan secara biologis diduga enzim perusak kayu harus mengenai langsung terhadap substrat, dan substrat tersebut tentunya mempunyai rumus kimia dan struktur molekul yang spesifik. Reaksi kimia berupa asetilasi terhadap gugus hidroksil pada dinding sel kayu akan merubah susunan kimianya, sehingga diduga enzim perusak kayu tidak mampu bekerja pada dinding sel kayu yang termodifikasi ini (Rowell, 1990).

Reaksi antara kayu dengan asetat anhidrid, akan diikuti terjadinya asetilasi. Asetilasi dapat meningkatkan kerapatan kayu dan meningkatkan stabilitas dimensi serta tahan lapuk, juga tahan serangan rayap, insulasi elektrik dan meningkatkan sifat akustik


(24)

kayu. Peningkatan nilai ASE akibat asetilasi disebabkan oleh terjadinya pemblokan secara kimia terhadap gugus hidroksil (Sucipto, 2009).

Pengawetan kayu dengan teknik asetilasi perlu dikembangkan karena kefektifannya melindungi kayu dari serangan rayap dan jamur pelapuk tanpa

menimbulkan pencemaran lingkungan. Untuk keberhasilan aplikasi perlakuan asetilasi, perlu diteliti teknik asetilasi yang sesuai untuk kayu berukuran besar agar diperoleh WPG maksimum sehingga lebih mampu menahan serangan rayap tanah di lapangan (Indrayani, 1999).

Cara asetilasi dengan pemakaian katalis asam asetat telah dikenal dengan metode cukup baik untuk meningkatkan stabilitas dimensi kayu. Pada asetilasi reaksi kimia yang terjadi adalah reaksi substitusi nukleofilik gugus OH komponen kayu dan C karbonil dari asam asetat (CH3COO), sehingga gugus OH dalam komponen kayu berubah menjadi asetil–OCOCH3 (Morozovs, 2004).

Pengawetan Kayu

Pengawetan kayu adalah proses memasukkan bahan pengawet ke dalam kayu untuk tujuan melindungi kayu atau memperpanjang umur pakai kayu sehingga dapat mengurangi frekuensi pergantian kayu pada bangunan kontruksi permanen atau bangunan semi permanen (Hunt dan Garrat, 1986). Dalam praktek dikenal dua cara utama

pengawetan kayu, yaitu pengawetan tanpa tekanan seperti pencelupan, perendaman (panas dan dingin) dan metode pengawetan dengan tekanan menggunakan tangki silinder. Di samping itu juga terdapat metode difusi dengan menggunakan larutan pengawet konsentrasi tinggi bagi kayu segar, serta dengan metode sap replacement untuk kayu segar yang baru ditebang. Diantara metode tanpa tekanan juga dikenal metode pelaburan dan penyemprotan (Tarumingkeng, 2000).


(25)

Menurut Hunt dan Garrat (1986), ada empat faktor utama yang mempengaruhi hasil pengawetan, yaitu:

1. Jenis kayu, yang ditandai oleh sifat yang melekat pada kayu itu sendiri seperti struktur anatomi, permeabilitas, kerapatan dan sebagainya.

2. Keadaan kayu pada waktu dilakukan pengawetan, antara lain kadar air, bentuk kayu, gubal/teras dan sebagainya.

3. Metode pengawetan yang digunakan. 4. Sifat bahan pengawet yang dipakai.

Prasetya (2006) menambahkan bahwa faktor konsentrasi bahan pengawet juga mempengaruhi pengawetan kayu. Semakin tinggi konsentrasi bahan pengawetnya, maka semakin banyak bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu dan kayu yang telah diawetkan menjadi lebih awet.

Kemanjuran (efektivitas) bahan pengawet bergantung pada toksisitas terhadap organisme perusak kayu atau organisme yang berlindung di dalam kayu. Semakin tinggi kemampuan meracuni organisme perusak kayu, semakin manjur dan semakin efektif pula bahan pengawet itu digunakan untuk mengawetkan kayu (Susanto, 2002).

Beberapa kayu dapat diresapi bahan pengawet dengan mudah, yang lain mungkin cukup mudah mengabsorbsi bahan pengawet, yang lain lagi sangat sukar untuk diawetkan. Dalam beberapa peristiwa sebab yang tepat dari perbedaan-perbedaan dalam peresapan ini tidak jelas. Dalam peristiwa lain variasinya telah diketahui berasosiasi paling tidak sebagian karena perbedaan anatomi yang nyata antara kayu-kayu yang bersangkutan. Juga sangat mungkin, bahwa sifat-sifat fisika dan kimia kayu memegang peranan yang penting dalam menentukan kepekaan terhadap pengawetan dari masing-masing spesies (Hunt dan Garrat, 1986).


(26)

Retensi Kayu

Retensi merupakan banyaknya bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu dan dinyatakan dengan gram/cm3 atau kg/m3. Salah satu faktor yang menentukan berhasilnya suatu pengawetan kayu adalah seberapa banyak bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu. Retensi bahan pengawet ke dalam kayu yang diawetkan tergantung kepada tipe bahan pengawet, jenis kayu yang diawetkan dan sifat anatomi kayu serta konsentrasi bahan pengawet (Atabimo, 1982).

Pengawetan kayu adalah suatu usaha yang bertujuan untuk melindungi dan menghindarkan kayu dari berbagai serangan unsur-unsur biologi dan lingkungan yang merusak kayu sehingga umur kayu dalam pemakaiannya menjadi lebih panjang. Meskipun keefektifan dan ekonomisnya suatu pengawetan akhirnya ditentukan oleh umur pakai kayu yang bersangkutan, kriteria yang langsung dari cukupnya suatu perlakuan adalah jumlah bahan pengawet yang diabsorbsi dalam kayu dan dalamnya penetrasi (Nicholas dan Darrel, 1988). Semakin banyak bahan pengawet yang diabsorbsi dan semakin dalam penetrasi bahan pengawet maka semakin tinggi pula derajat pengawetan kayu yang juga ikut menentukan keberhasilan pengawetan.

Susanto (2002) mengemukakan derajat pengawetan kayu diukur dengan tiga macam tolak ukur yaitu penetrasi, absorbsi dan retensi bahan pengawet. Retensi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang menggambarkan banyaknya (beratnya) zat pengawet murni yang dapat dikandung oleh kayu setelah diawetkan. Semakin banyak jumlah bahan pengawet murni yang dapat menetap (terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga semakin besar.


(27)

Sebaliknya, semakin sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh kayu, semakin kecil pula retensi pengawetan itu. Dengan demikian, retensi bahan pengawet dinyatakan dalam satuan gram/cm3 atau kg/m3.

Hunt dan Garrat (1986) menyatakan bahwa beberapa kayu dapat diresapi bahan pengawet dengan mudah, yang lain mungkin cukup mudah mengabsorbsi bahan pengawet, yang lain lagi sangat sukar untuk diawetkan. Dalam beberapa peristiwa sebab yang tepat dari perbedaan-perbedaan dalam peresapan ini tidak jelas. Dalam peristiwa lain variasinya telah diketahui berasosiasi paling tidak sebagian karena perbedaan anatomi yang nyata antara kayu-kayu yang bersangkutan. Juga sangat mungkin, bahwa sifat-sifat fisika dan kimia kayu memegang peranan yang penting dalam menentukan kepekaan terhadap pengawetan dari masing-masing spesies.

Hunt dan Garrat (1986), menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi akan memudahkan dan mempercepat bahan pengawet masuk kedalam kayu, konsekuensinya pencapaian nilai retensi yang kecil walaupun penetrasinya besar, demikian pula pada pemakaian konsentrasi yang tinggi maka nilai retensi yang dicapai akan semakin besar pula tetapi memerlukan waktu yang lama. Oleh karena itu industri-industri pengawetan selalu menyesuaikan nilai retensi yang ingin dicapai dengan metode yang digunakan.

Penetrasi dan retensi bahan pengawet ke dalam kayu tergantung kepada tipe bahan pengawet, jenis kayu yang diawetkan, sifat-sifat anatomi kayu dan konsentrasi bahan pengawet. Selain itu prosedur pengawetan bisa dikontrol dan diatur, demikian juga untuk persiapan kayu. Sedangkan untuk faktor anatomi kayu tidak fleksibel, sehingga mempersulit usaha untuk mencapai hasil yang


(28)

memuaskan dan seragam. Hal tersebut di atas disebabkan karena struktur anatomi kayu antara jenis kayu maupun antara kayu itu sendiri mempunyai perbedaan-perbedaan (Atabimo, 1982).

Rayap

Biologi Rayap

Rayap merupakan serangga berukuran kecil yang hidup berkelompok dengan sistem kasta yang berkembang sempurna. Serangga ini masuk dalam ordo isoptera (dari bahasa Yunani, iso = sama dan ptera = sayap). Dijelaskan, di dalam biosfera, pada dasarnya rayap merupakan bagian dari komponen lingkungan biotik yang memainkan peranan penting, seperti dapat membantu manusia menjaga keseimbangan alam dengan cara menghancurkan kayu untuk mengembalikannya sebagai unsur hara dalam tanah. Namun karena perubahan kondisi habitat akibat aktivitas manusia, sangat potensial mengubah status rayap menjadi serangga hama yang merugikan (Tarumingkeng, 1992).

Sukmana (2005) menyebutkan, di dalam koloni terdapat serangga bersayap dan serangga tidak bersayap, ada yang hanya memiliki tonjolan sayap saja. Sayapnya berjumlah dua pasang menempel pada bagian toraks dan berbentuk seperti selaput dengan pertulangan sederhana dan reticulate. Bentuk dan ukuran sayap depan sama dengan sayap belakang. Oleh sebab itu ordonya dinamakan isoptera.

Rajani (2002) mengelompokkan rayap ke dalam tujuh famili yaitu Mastotermitidae, Kalotermitidae, Termopsidae, Hodotermitidae, Rhinotermitidae, Serritermitidae dan Termitidae. Enam famili pertama sebagai rayap tingkat rendah dan famili Termitidae sebagai rayap tingkat tinggi.


(29)

Rayap merupakan serangga pemakan kayu (Xylophagus) atau bahan-bahan yang mengandung selulosa (Nandika et al, 2003). Rayap juga hidup berkoloni dan mempunyai sistem kasta dalam kehidupannya. Kasta dalam rayap terdiri dari 3 kasta yaitu :

1. Kasta prajurit, kasta ini mempunyai ciri-ciri kepala yang besar dan penebalan yang nyata dengan peranan dalam koloni sebagai pelindung koloni terhadap gangguan dari luar. Kasta ini mempunyai mandible yang sangat besar yang digunakan sebagai senjata dalam mempertahankan koloni.

2. Kasta pekerja, kasta ini mempunyai warna tubuh yang pucat dengan sedikit kutikula dan menyerupai nimfa. Kasta pekerja tidak kurang dari 80-90 % populasi dalam koloni. Peranan kasta ini adalah bekerja sebagai pencari makan, memberikan makan ratu rayap, membuat sarang dan memindahkan makanan saat sarang terancam serat melindungi dan memelihara ratu.

3. Kasta reproduktif, merupakan individu-individu seksual yang terdiri dari betina yang bertugas bertelur dan jantan yang bertugas membuahi betina. Ukuran tubuh ratu mencapai 5-9 cm atau lebih.

Siklus Hidup Rayap

Susanta (2007) menyatakan bahwa, rayap mengalami perubahan bentuk (metamorfosis) yang disebut metamorfosis tidak sempurna. Siklus hidupnya diawali dari telur yang berubah menjadi rayap muda atau nimfa. Selanjutnya nimfa akan berdiferensiasi menjadi individu kasta pekerja, prajurit, calon raja dan calon ratu (kasta reproduktif primer).

Panjang telur bervariasi antara 1-1,5 mm. Telur C. curvignathus akan menetas setelah berumur 8-11 hari. Jumlah telur rayap bervariasi, tergantung kepada jenis dan


(30)

umur. Saat pertama bertelur betina mengeluarkan 4-15 butir telur. Telur rayap berbentuk silindris, dengan bagian ujung yang membulat yang berwarna putih. Telur yang menetas yang menjadi nimfa akan mengalami 5-8 instar (Hasan, 1984).

. Gambar 1. Siklus hidup rayap

Nimfa yang menetas dari telur pertama dari seluruh koloni yang baru akan berkembang menjadi kasta pekerja. Kasta pekerja jumlahnya jauh lebih besar dari seluruh kasta yang terdapat dalam koloni rayap. Waktu keseluruhan yang dibutuhkan dari

keadaan telur sampai dapat bekerja secara efektif sebagai kasta pekerja pada umumnya adalah 6-7 bulan. Umur kasta pekerja dapat mencapai 19-24 bulan (Hasan, 1984).

Sifat dan Prilaku Rayap

Rayap tanah merupakan hama yang memiliki spesifisitas habitat dan memiliki perilaku yang khas. Koloni rayap membangun istananya di dalam tanah hingga kedalaman tertentu, bahkan acapkali terlihat kokoh di atas permukaan tanah. Koloni rayap dalam tanah bisa berjumlah ratusan ribu hingga jutaan dan dipimpin oleh seekor ratu rayap yang terlindungi oleh ribuan rayap tentara dalam bangunan kokoh yang tersusun dari tanah. Rayap merupakan serangga sosial yang termasuk ke dalam ordo Isoptera dan terutama terdapat di daerah-daerah tropika. (Tarumingkeng, 2000).

Aktivitas makan rayap pada suatu jenis kayu tergantung faktor luar yaitu jenis kayu. Pada tahap awal, komponen kimia kayu merangsang saraf perasa gustatory rayap


(31)

yaitu pada waktu rayap mulai makan. Kedua adalah tingkat ambang rasa rayap itu sendiri. Dengan demikian tingkat kesukaan makan rayap pada beberapa jenis kayu tergantung pada jenis-jenis kayu dan jenis rayap itu sendiri. Perbedaan sifat kayu dan ambang rasa rayap menimbulkan perbedaan aktivitas makan setiap jenis rayap pada berbagai jenis kayu (Supriana, 1983).

Rayap mencari makanan tidak melalui proses visual karena rayap memiliki mata yang vestigial (tidak berkembang). Oleh karena itu, rayap akan menjelajah secara acak. Rayap pekerja menyebar dari pusat sarang sampai menemukan sumber makanan yang sesuai dan kembali ke pusat sarang sambil meletakkan feromon penanda jejak sehingga rayap pekerja lain dapat menuju sumber makanan yang baru ditemukan (Bignell et al, 2001).

Beberapa jenis rayap memperlihatkan tingkat kesukaan pada kayu yang telah diserang jamur pendegradasi lignin (Cornelius et al., 2004). Nandika et al., (2003) menunjukkan bahwa kayu pinus yang terlapukkan oleh jamur Schizophyillum commune lebih disukai oleh Coptotermes curvighnathus dibandingkan dengan kayu yang tidak lapuk. Jamur menghasilkan substansi yang menarik rayap dan memudahkan pencernaan.

Nandika et al, (2003) menyatakan bahwa, dalam hidupnya, rayap mempunyai beberapa sifat yang penting diperhatikan, yaitu:

a. Sifat trofalaksis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul dan saling menjilat serta mengadakan pertukaran bahan makanan.

b. Sifat kriptobiotik, yaitu sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak berlaku untuk rayap yang bersarang (calon kasta reproduktif).

c. Sifat nechropagy, yaitu sifat rayap yang memakan bangkai sesamanya.

Membuat sarang dan hidup di dalam sarang merupakan karakteristik dari serangga sosial. Beberapa jenis rayap membuat sarangnya dalam bentuk lorong-lorong di


(32)

dalam kayu atau atau lorong-lorong dalam tanah, tetapi jenis rayap tertentu sarangnya membentuk bukit - bukit dengan konstruksi sarang yang sangat kokoh dan sangat luas (Nandika et al, 2003).

Bahan yang digunakan untuk membangun sarang sangat tergantung pada makanan dan bahan yang tersedia di habitatnya. Tanah, kotoran dan sisa tumbuhan serta air liur merupakan bahan utama untuk pembuatan sarang. Partikel tanah yang seringkali digunakan untuk membangun sarang dan merupakan komponen yang dominan dapat diklasifikasikan menurut ukurannya, yaitu kerikil >2,00 mm, pasir kuarsa 2,0-0,2 mm, pasir halus 0,2-0,02 mm, lumpur 0,02-0,002 mm, dan liat < 0,002 mm. Sedangkan kotoran dan air liur berfungsi sebagai perekat dalam pembuatan sarang (Nandika et al, 2003).

Rayap Tanah (Macrotermes gilvus Hagen.)

Rayap Macrotermes gilvus Hagen. termasuk ke dalam famili Termitidae, sub-famili Macrotermitidae dan genus Macrotermes. Kepala rayap ini berwarna coklat tua. Mandibel berkembang dan berfungsi, mandibel kiri dan kanan simetris dan tidak memiliki gigi marginal. Mandibel melengkung pada ujungnya dan digunakan untuk menjepit. Ujung dari labrum tidak jelas, pendek dan melingkar. Labrum ini memiliki hyalin pada ujungnya. Antena terdiri atas 16-17 ruas (Nandika et. al., 2003).

Taksonomi dari rayap tanah M. gilvus Hagen. adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Divisi : Avertebrata

Kelas : Insecta


(33)

Famili : Termitidae

Sub famili : Macrotermitidae

Genus : Macrotermes

Spesies : Macrotermes gilvus Hagen.

Menurut Tarumingkeng (2000), kasta prajurit pada rayap ini memiliki dua bentuk yaitu kasta prajurit berukuran besar dan kasta prajurit berukuran kecil. Adapun ciri-ciri dua jenis kasta prajurit dari M. gilvus Hagen. adalah sebagai berikut:

1. Kasta prajurit berukuran besar. Berwarna coklat kemerahan, dengan lebar 2,88-3,10 mm, panjang kepala dengan mandibel 4,80-5,00 mm. Antena 17 ruas, ruas ketiga sama panjang dengan ruas kedua, ruas ketiga lebih panjang dari ruas keempat.

2. Kasta prajurit berukuran kecil. Kepala berwarna coklat tua, dengan lebar 1,52-1,71 mm, panjang kepala dengan mandibel 3,07-3,27 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,84-2,08 mm. Antena 17 ruas, ruas kedua sama panjang dengan ruas keempat.

Tambunan dan Nandika (1989) menyatakan bahwa pada koloni-koloni rayap bawah tanah, rayap pekerja merupakan individu yang jumlahnya jauh lebih banyak. Seperti serdadunya, rayap pekerja ini mandul, tanpa sayap, buta dengan tubuh berwarna lebih muda dan sedikit lebih pendek dari ¼ inci. Meskipun dengan ciri-ciri rahang yang kurang nampak, tetapi rahang bawah rayap pekerja ini telah disesuaikan secara khusus untuk menggigit putus potongan-potongan kayu, dan kasta inilah yang menimbulkan segala macam kerusakan yang disebabkan oleh rayap bawah tanah.


(34)

Rayap M. gilvus Hagen mampu memodifikasi profil tanah dan sifat kimia tanah sehingga menyebabkan terjadi perubahan vegetasi. Di sekitar sarang rayap ini cenderung lebih banyak mengandung silika sehingga menyebabkan hanya jenis-jenis tumbuhan tertentu yang dapat tumbuh di atas sarang rayap (Nandika et al, 2003).

Rayap Subteran (Coptotermes curvignathus Holmgren)

Banyak ditemukan di daerah tropika dan subtropika dengan 45% spesiesnya terdapat di daerah tropis. Rayap jenis merupakan genus terbesar dari famili Rhinotermitidae. Bersarang di atas maupun di bawah tanah pada batang pohon mati dan banyak menyerang kayu-kayu kontruksi pada bangunan dengan sifat serangannya yang meluas (Tarumingkeng, 1992).

Taksonomi rayap C. curvignathus Holmgren sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Divisi : Invertebrata Kelas : Insecta Ordo : Isoptera

Famili : Rhinotermitidae Sub famili : Coptoterminae Genus : Coptotermes

Spesies : Coptotermes curvignathus Holmgren.

Menurut Nandika dan Adijuwana (1995), C. curvignathus Holmgren memiliki kelimpahan populasi flagelata yang tinggi. Hal tersebut jika dikaitkan dengan kenyataan bahwa rayap C. curvignathus Holmgren merupakan rayap perusak kayu yang paling ganas di Indonesia. Daya rusaknya yang sangat hebat nampaknya didukung oleh daya cerna selulosa yang tinggi sehubungan dengan tingginya populasi flagelatanya dengan


(35)

rata-rata 4.682 ekor flagelata/rayap. Hal ini menjadikan rayap C. curvignathus Holmgren sebagai rayap yang menimbulkan kerugian ekonomis yang besar.

Rayap tanah C. curvignathus Holmgren mempunyai ciri-ciri kepala berwarna kuning, antena, labrum dan pronotum kuning pucat. Bentuk kepala bulat, ukuran panjang sedikit lebih besar dari pada lebarnya, memiliki fontanel yang lebar. Antena terdiri dari 15 segmen, segmen kedua dan keempat sama panjangnya. Mandibel berbentuk arit dan melengkung di ujungnya, batas antara sebelah dalam dari mandibel kanan sama sekali rata. Panjang kepala dengan mandibel 2,46-2,66 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,56-1,68 mm. Lebar kepala 1,40-1,44 mm dengan lebar pronotum 1,00-1,03 mm dan panjangnya 0,56 mm dengan panjang badan 5,5-60 mm. Bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri. Abdomen berwarna putih kekuning-kuningan. Apabila diganngu prajurit akan mengeluarkan cairan putih seperti susu dari bagian tengah mandibelnya (Nandika et al, 2003).


(36)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Januari 2012 sampai Juni 2012 di Arboretum Tridharma USU, Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian USU dan Laboratorium Kimia Polimer Fakultas MIPA USU.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah oven, timbangan analitik, kalifer, mikrometer sekrup, gelas ukur, ember, kalkulator, bak rendam, masker, sarung tangan, alat tulis, botol kaca (jampot), kain kasa, sprayer dan software SPSS 16.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kayu cempedak, rambutan dan rambai masing-masing berukuran 30cm x 2cm x 2cm masing-masing sebanyak 45 buah dan kayu yang berukuran 12cm x 5cm x 5cm masing-masing 45 buah, serta berukuran 2cm x 2cm x 0,5cm, larutan asam asetat (10%, 15%, 20% dan 25%), air bersih dan pasir.

Metode Penelitian

1. Persiapan Contoh Uji

Contoh uji yang digunakan adalah kayu cempedak, rambutan dan rambai yang masing berukuran 30cm x 2cm x 2cm sebanyak 45 buah. Contoh uji tersebut digunakan untuk uji kubur (graveyard test) terhadap serangan rayap, mengukur penambahan berat kayu atau Weight Percent Gain (WPG) dan stabilitas dimensi atau Antisweeling Efficiency (ASE). Kayu yang berukuran 12cm x 5cm x 5cm sebanyak 45 buah sebagai contoh uji untuk retensi, dan kerapatan kayu. Kayu yang berukuran 2cm x 2cm x 0,5 cm untuk uji ketahanan terhadap serangan rayap skala laboratorium. Kayu berukuran 2cm x 2cm x 2cm sebanyak 9 buah untuk mengukur kerapatan kayunya.


(37)

2. Perendaman Dalam Larutan Asam Asetat

Semua contoh uji kayu diukur dimensi dan beratnya, kemudian dioven dengan suhu 85oC selama 3 hari. Selanjutnya semua contoh uji kayu direndam dalam larutan asam asetat 10%, 15%, 20%, dan 25% (masing-masing konsentrasi larutan sebanyak 3 buah untuk tiap jenis kayu) selama 2 minggu. Setelah 2 minggu, kayu yang telah direndam, dicuci dengan air yang mengalir sampai bersih, lalu diukur lagi dimensi dan beratnya, kemudian diovenkan lagi dengan suhu 85oC selama 3 hari (kecuali contoh uji yang untuk pengukuran retensi).

3. Pengukuran Stabilitas Dimensi

Contoh uji yang dipakai adalah kayu yang berukuran 30cm x 2cm x 2cm. Untuk menghitung stabilitas dimensi, maka diukur dimensi awal dan dimensi akhir. Dimensi diukur dalam keadaan kering dan keadaan basah untuk mengetahui Swelling (S). Antisweeling Efficiency (ASE) dievaluasi dengan menghitung perbedaan swelling sesudah dan sebelum perlakuan contoh uji yang dihitung dengan rumus :

S (%) = {(V2/V1)} -1 x 100 %

Keterangan: V2 = volume dalam keadaan basah V1 = volume dalam keadaan kering oven ASE = {1- (S2/S1) } x 100 %

Keterangan: S2 = swelling dalam keadaan basah S1 = swelling dalam keadaan kering oven

4. Pengukuran Penambahan Berat Kayu

Contoh uji yang digunakan untuk pengukuran penambahan berat kayu berukuran 30cm x 2cm x 2cm. Berat kayu sebelum dan sesudah proses asetilasi yang sudah diperoleh, dihitung WPG, dengan rumus:


(38)

WPG (%) = B1 – B0 B0

x 100 %

Keterangan :

WPG = persen pertambahan berat kayu (%) B0 = berat bahan baku sebelum asetilasi (gr) B1 = berat bahan baku setelah asetilasi (gr)

5. Pengukuran Retensi Kayu

Contoh uji yang berukuran 12cm x 5cm x 5cm ditimbang beratnya setelah proses asetilasi. Retensi dihitung berdasarkan selisih berat masing-masing kayu sebelum dan sesudah diawetkan. Retensi dapat dihitung dengan rumus:

R = B1 – B0 V

x K

Keterangan:

R = retensi (gr/cm3) Bi = berat akhir dalam (gr) Bo = berat akhir dalam (gr) V = volume contoh uji (cm3) K = konsentrasi larutan (%)

6. Pengujian Ketahanan Kayu Terhadap Serangan Rayap a) Uji Kubur (Graveyard Test)

Kayu yang berukuran 30cm x 2cm x 2cm dan telah diketahui berat kering tanurnya diumpankan terhadap rayap tanah selama 3 bulan. Lokasi penguburan di Arboretum Tridharma USU. Pada akhir pengujian ditetapkan persen pengurangan berat dan persen kerusakan masing-masing contoh uji. Contoh-contoh uji ini dikubur ke dalam tanah hingga menyisakan sekitar 5cm bagian yang diatas permukaan sebagaimana disajikan pada Gambar 2.

x K R =


(39)

5 cm

25 cm

Gambar 2. Cara penguburan untuk uji kubur

Kayu yang telah dikubur dihitung kehilangan berat kayunya setelah pengujian, dengan rumus:

Kehilangan Berat (%) = W1 – W2 W1

x 100%

Keterangan:

W1 = berat awal (gr)

W2 = berat setelah pengujian (gr)

Setelah mengetahui persen kehilangan berat kayu, maka kayu diklasifikasikan berdasarkan kelas ketahanannya.

Tabel 1. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah untuk uji kubur Kehilangan Berat (%) Kelas Ketahanan

0 Sangat Tahan

1-3 Tahan

4-8 Cukup Rentan

9-15 Rentan

>15 Sangat Rentan

b) Uji Laboratorium

Untuk pengujian skala laboratorium, contoh uji yang digunakan berukuran 2cm x 2cm x 0,5cm. Kemudian contoh uji dimasukkan ke dalam botol kaca (jampot) yang sebelumnya sudah diisi oleh pasir lembab sebanyak ½ dr volume botol. Contoh uji kayu diletakkan bersandar di dinding botol, seperti yang ditampilkan pada Gambar 3. Lalu dimasukkan 45 ekor rayap pekerja dan 5 ekor rayap prajurit. Rayap yang diumpankan berasal dari rayap menyerang gedung Kehutanan USU. Botol kaca diletakkan di tempat


(40)

yang gelap (tidak terkena sinar), didiamkan selama 1 bulan dan tiap hari selalu disemprot dengan air agar pasir tetap lembab.

Gambar 3. Penguburan contoh uji di botol kaca

Kayu yang telah diumpankan, dihitung kehilangan berat kayunya dengan rumus:

Kehilangan Berat (%) = W1 – W2 W2

x 100%

Keterangan :

W1 = Berat awal (gr)

W2 = Berat setelah pengujian (gr)

Berdasarkan SNI 01-7207-2006 tentang uji ketahanan kayu dan produk kayu terhadap organisme perusak kayu, maka skala ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Klasifikasi ketahanan kayu terhadap rayap tanah untuk uji laboratorium

Kelas Ketahanan Penurunan Berat

I II III IV V

Sangat Tahan Tahan Sedang Buruk Sangat buruk

< 3,52 3,52 – 7,50 7,50 – 10, 96 10,96 – 18,94 18,94 – 31,89


(41)

Contoh uji berukuran 2cm x 2cm x 2cm ditimbang beratnya, lalu diukur panjang, lebar, dan tebalnya untuk menentukan volume contoh uji. Kayu yang dihitung kerapatannya hanya kayu yang tidak diberi perlakuan (kontrol). Nilai kerapatan kayu dihitung dengan rumus :

Kerapatan (g/cm3) =

Vol kering udara Berat Kering Tanur

8. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial, dengan dua faktor perlakuan yaitu faktor A adalah 3 jenis kayu (kayu cempedak, rambutan dan rambai) dan faktor B adalah 5 konsentrasi asam asetat (kontrol, 10%, 15%, 20% dan 25%). Contoh uji dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Sehingga jumlah kayu yang digunakan yakni 45 kayu. Model statistik yang digunakan adalah:

Yijk = µ + αi+ βj+ (αβ)ij + ∑ijk

Keterangan:

Yijk = Pengamatan perlakuan percobaan yang dilakukan pada taraf ke-i dari

ketiga jenis kayu (cempedak, rambutan dan rambai) yang memperoleh perlakuan taraf ke-j dari perendaman pada larutan asam asetat (kontrol, 10%, 15%, 20% dan 25%) pada ulangan ke-k (1, 2, 3).

µ = Nilai rata-rata yang sesungguhnya.

αi = Pengaruh taraf ke-i dari ketiga jenis kayu (cempedak, rambutan dan

rambai).

βj = Pengaruh taraf ke-j dari perendaman pada asam asetat (kontrol, 10%,

15%, 20% dan 25%).

(αβ)ij = Pengaruh interaksi antara taraf ke-i dari ketiga jenis kayu (cempedak,

rambutan dan rambai) dan perendaman pada larutan asam asetat (kontrol, 10%, 15%, 20% dan 25%).


(42)

∑ijk = Pengaruh acak perlakuan pada kombinasi antara taraf ke-i dari ketiga

jenis kayu (cempedak, rambutan dan rambai) dengan perendaman pada larutan asam asetat (kontrol, 10%, 15%, 20%, dan 25%), pada ulangan ke-k (1, 2, 3).

Ada tidaknya pengaruh perlakuan terhadap respons maka dilakukan analisis sidik ragam berupa uji F pada tingkat kepercayaan 95% menggunakan perangkat lunak (software) SPSS 16. Hipotesis yang diuji adalah:

H0 : tidak ada interaksi yang terjadi pada perendaman ketiga jenis kayu

(duku, rambutan, dan cempedak) pada larutan asam asetat (kontrol, 10%, 15%, 20%, dan 25%).

H1 : terjadi interaksi pada perendaman ketiga jenis kayu (duku, rambutan dan

cempedak) pada larutan asam asetat (kontrol, 10%, 15%, 20% dan 25%)

Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan-perlakuan yang dicoba, dilakukan analisis keragaman dengan kriteria uji jika F hitung ≤ F tabel maka H0 diterima dan jika F

hitung > F tabel maka H0 ditolak. Kemudian, setiap taraf yang berpengaruh nyata


(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Stabilitas Dimensi

Stabilitas dimensi diperoleh dengan mengevaluasi nilai ASE dengan menghitung perbedaan sweeling sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil pengujian ASE yang dihasilkan pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 4 dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 1.

Gambar 4. Grafik rata-rata nilai ASE

Berdasarkan Gambar 4 terlihat kecenderungan bahwa ada peningkatan nilai ASE dari konsentrasi 10% ke konsentrasi 15%, kemudian mengalami penurunan pada konsentrasi 20% dan 25%. Nilai ASE pada ketiga jenis kayu yang tertinggi terjadi pada konsentrasi 15%, yaitu 73,37% untuk kayu rambutan, 50,47% untuk kayu cempedak dan 69,60% untuk kayu rambai.

0 10 20 30 40 50 60 70 80

10% 15% 20% 25%

48.00 73.37 65.92 41.16 20.09 50.47 45.91 25.24 39.96 69.60 63.66 52.71 A n tis w e e lin g E ff ic ie n c y (% ) Konsentrasi


(44)

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis kayu, konsentrasi larutan asam asetat dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap stabilitas dimensi kayu. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 7.

Berdasarkan hasil diperoleh bahwa kayu rambutan memiliki nilai ASE yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu cempedak dan rambai. Perbedaan tersebut diakibatkan karena kayu rambutan memiliki kerapatan atau berat jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu cempedak dan rambai, sehingga kayu rambutan cenderung lebih stabil. Abdurrochim (2007) menyatakan bahwa kayu rambutan memiliki berat jenis rata-rata 0,91 gr/cm3, sedangkan kayu cempedak memiliki berat jenis rata-rata 0,75 gr/cm3. Torambung dan Dayadi (2005) menyatakan bahwa kayu rambai memiliki kerapatan kayu kering tanur sebesar 0,593 gr/cm3.

Sucipto (2009) menyatakan bahwa asetilasi dapat meningkatkan stabilitas dimensi kayu. Fengel et al (1993) menambahkan bahwa metode asetilasi kayu adalah metode stabilisasi dimensi kayu secara kimiawi, yang bertujuan mengubah gugus –OH bebas atau –OH pada daerah amorf pada struktur komponen kayu dengan gugus asetil dari senyawa yang mengandung gugus asetil, misalnya asam asetat (CH3COOH). Zat aditif masuk ke dalam struktur kayu, sehingga struktur kayu menjadi stabil dimensinya. Peningkatan nilai ASE akibat asetilasi disebabkan oleh terjadinya pemblokan secara kimia terhadap gugus hidroksil. Gugus hidroksil pada kayu berikatan dengan gugus asetil dari asam asetat, sehingga kayu tidak bisa lagi menyerap uap air yang ada di udara sehingga kayu menjadi lebih stabil. Proses reaksinya adalah sebagai berikut:

CH3


(45)

Penambahan Berat Kayu (Weight Percent Gain/WPG)

Weight Percent Gain (WPG) merupakan persentase penambahan berat kayu yang didapat dari berat kayu sebelum dan sesudah proses asetilasi. Hasil pengujian WPG yang dihasilkan pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 5 dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 2.

Gambar 5. Grafik rata-rata nilai WPG

Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan asam asetat maka semakin meningkat nilai WPG nya pada ketiga jenis kayu. Pada konsentrasi larutan asam asetat 25%, ketiga jenis kayu menghasilkan nilai WPG terbesar, yaitu 22,63% untuk kayu rambutan; 24,82% untuk kayu cempedak; dan 46,66% untuk kayu rambai. Sedangkan pada konsentrasi 10% ketiga jenis kayu memiliki nilai WPG yang terendah, yaitu 12,09% untuk kayu rambutan; 9,20% untuk kayu cempedak; dan 19,02% untuk kayu rambai.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

10% 15% 20% 25%

12.09

18.95 20.51

22.63

9.20

20.84 23.68

24.82

19.02

35.69 38.04

46.66 W e ig h t Pe rc e n t G a in (% ) Konsentrasi


(46)

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis kayu dan konsentrasi larutan asam asetat berpengaruh nyata terhadap nilai penambahan berat kayu (WPG). Tetapi interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap nilai WPG (Lampiran 8).

Pada konsentrasi larutan asam asetat 25%, ketiga jenis kayu memiliki nilai WPG yang tertinggi dibandingkan dengan konsentrasi lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan karena konsentrasi 25% lebih pekat, sehingga lebih mudah diserap oleh kayu dan lebih banyak bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu. Prasetya (2006) menyatakan bahwa faktor konsentrasi bahan pengawet juga mempengaruhi pengawetan kayu. Semakin tinggi konsentrasi bahan pengawetnya, maka semakin banyak bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu dan kayu yang telah diawetkan menjadi lebih awet.

Dari ketiga jenis kayu, kayu rambai memiliki nilai WPG yang lebih tinggi pada tiap konsentrasi larutan dibandingkan dengan kayu rambutan dan cempedak. Hal ini karena kayu rambai memiliki kerapatan yang lebih rendah dan pori-pori yang besar, sehingga semakin mudah untuk menyerap bahan pengawet. Torambung dan Dayadi (2005) menyatakan bahwa kayu rambai memiliki kerapatan kayu kering tanur rata-rata 0,593 gr/cm3. Abdurrochim (2007) menyatakan bahwa kayu rambutan memiliki berat jenis rata-rata 0,91 berarti pori-pori dan seratnya cukup rapat sehingga daya serap airnya kecil. Sedangkan kayu cempedak mempunyai berat jenis rata-rata 0,75.

Retensi Kayu

Retensi menunjukkan seberapa banyak bahan pengawet, dalam hal ini larutan asam asetat yang masuk ke dalam kayu. Hasil pengukurannya ditunjukkan pada Gambar 6 dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 3.


(47)

Gambar 6 Grafik rata-rata nilai retensi

Berdasarkan Gambar 6, diperoleh bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan asam asetat, maka semakin besar pula nilai retensinya. Ketiga jenis kayu memiliki nilai retensi kayu tertinggi pada konsentrasi larutan 25%, yaitu 2,75 gr/cm3 untuk kayu cempedak, 4,02 gr/cm3 untuk kayu rambutan dan 3,87 gr/cm3 untuk kayu rambai. Dan yang terendah pada konsentrasi 10%, yaitu 1,14 gr/cm3 untuk kayu rambutan, 1,28 gr/cm3 untuk kayu cempedak, dan 1,75 gr/cm3 untuk kayu rambai.

Berdasarkan analisis sidik ragam yang dilakukan, diperoleh bahwa jenis kayu dan konsentrasi larutan berpengaruh nyata terhadap retensi yang terjadi pada kayu, sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 9.

Rata-rata perhitungan retensi menunjukkan bahwa, semakin tinggi konsentrasi larutan, maka semakin besar pula retensi yang terjadi. Hasil ini berhubungan dengan hasil yang didapat pada nilai WPG, bahwa semakin tinggi nilai WPG nya, maka semakin besar pula retensi yang terjadi. Konsentrasi bahan pengawet yang digunakan, yaitu larutan asam asetat menjadi faktor yang mempengaruhi retensi yang terjadi pada kayu. Nicholas (1987)

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50

10% 15% 20% 25%

1.14 1.97 2.26 2.75 1.28 2.19 2.62 4.02 1.75 2.28

3.81 3.87

R e ten si ( g r/ c m 3) Konsentrasi


(48)

menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan asam asetat, maka rata-rata retensinya akan terus meningkat. Faktor lama perendaman juga berpengaruh nyata terhadap absorbsi larutan asam asetat. Perendaman lebih lama memberikan kesempatan larutan masuk ke dalam kayu lebih besar. Keluarnya gas-gas terlarut selama pengawetan merupakan faktor yang mengurangi laju aliran cairan dalam kayu.

Hunt dan Garrat (1986), menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi akan memudahkan dan mempercepat bahan pengawet masuk kedalam kayu, konsekuensinya pencapaian nilai retensi yang kecil walaupun penetrasinya besar, demikian pula pada pemakaian konsentrasi yang tinggi maka nilai retensi yang dicapai akan semakin besar pula tetapi memerlukan waktu yang lama.

Retensi yang terjadi pada kayu setelah proses asetilasi, berhubungan dengan kerapatan dari kayu tersebut. Semakin besar kerapatan kayu maka semakin kecil retensi yang terjadi. Hasil pengukuran kerapatan pada ketiga jenis kayu ditunjukkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik rata-rata nilai kerapatan 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

Rambutan Cempedak Rambai 0.932 0.766 0.619 K e ra p a ta n ( g r/ cm 3) Jenis Kayu


(49)

Gambar 7 menunjukkan bahwa kayu rambutan memiliki nilai kerapatan rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan kayu cempedak dan rambai, yakni 0,932 gr/cm3 untuk kayu rambutan, 0,766 gr/cm3, dan 0,619 gr/cm3 untuk kayu rambai. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 4.

Perbedaan nilai retensi kayu rambutan, cempedak dan rambai yang diperoleh setelah proses asetilasi disebabkan oleh perbedaan sifat anatomi yang dimiliki ketiga jenis kayu tersebut. Kayu rambutan memiliki pori-pori yang kecil dan cukup rapat dibandingkan kayu cempedak dan rambai, sehingga retensi yang terjadi pada kayu rambutan kecil. Hal ini dapat dilihat dari nilai kerapatan yang diperoleh pada ketiga jenis kayu tersebut (Tabel 7). Kayu rambutan memiliki nilai kerapatan yang lebih tinggi sehingga pori-pori nya lebih besar dan lebih rapat dibandingkan kayu cempedak dan rambai.

Atabimo (1982) menyatakan bahwa penetrasi dan retensi bahan pengawet ke dalam kayu tergantung kepada tipe bahan pengawet, jenis kayu yang diawetkan, sifat-sifat anatomi kayu dan konsentrasi bahan pengawet. Selain itu prosedur pengawetan bisa dikontrol dan diatur, demikian juga untuk persiapan kayu. Sedangkan untuk faktor anatomi kayu tidak fleksibel, sehingga mempersulit usaha untuk mencapai hasil yang memuaskan dan seragam. Hal tersebut di atas disebabkan karena struktur anatomi kayu antara jenis kayu maupun antara kayu itu sendiri mempunyai perbedaan.

Ketahanan Kayu Terhadap Serangan Rayap

1) Uji Kubur (Graveyard Test)

Ketahanan kayu terhadap serangan rayap diperoleh dengan menghitung kehilangan berat kayunya setelah pengujian. Uji kubur dilakukan di Arboretum Tridharma USU selama 3 bulan. Hasil pengujian kayu terhadap serangan rayap yang


(50)

dikubur di Arboretum Tridharma ditunjukkan pada Gambar 8 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.

Gambar 8. Grafik rata-rata kehilangan berat kayu uji kubur

Gambar 8 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan asam asetat, maka semakin rendah nilai kehilangan berat kayunya. Ketiga jenis kayu mengalami kehilangan berat paling rendah terjadi pada konsentrasi larutan 25%, yaitu 1,62% untuk kayu rambutan, 0,90% untuk kayu cempedak dan 0,70% untuk kayu rambai. Dari ketiga jenis kayu, kayu rambutan memiliki kehilangan berat yang terbesar pada tiap konsentrasi, sedangkan kayu rambai memiliki kehilangan berat terendah pada tiap konsentrasi.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis kayu dan konsentrasi larutan asam asetat berpengaruh nyata terhadap uji ketahanan kayu terhadap serangan rayap. Namun, interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap uji ketahanan kayu terhadap serangan rayap (Lampiran 10).

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, diperoleh bahwa kayu rambutan memiliki nilai rata-rata kehilangan berat yang paling tinggi dibandingkan kayu cempedak dan rambai. Hal ini disebabkan karena kayu rambutan hanya sedikit menyerap bahan

0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0

kontrol 10% 15% 20% 25%

11.76 11.34

3.13 2.85

1.62 6.69 3.34 2.90 1.83 0.90 3.95

3.12 2.75

1.60 0.70 K e h il an g an B e r at ( % ) Konsentrasi


(51)

pengawet dibandingkan kedua jenis kayu lainnya yang dapat dilihat dari data retensi yang diperoleh. Selain itu, perbedaan tersebut diakibatkan oleh perbedaan sifat anatomi dan kandungan bahan kimia, serta kelas awet diantara ketiga kayu tersebut. Abdurrochim (2007) menyatakan bahwa kayu rambutan mempunyai berat jenis rata-rata 0,91 yang berarti pori-pori dan seratnya cukup rapat sehingga daya serap airnya kecil dan memiliki kelas awet III, sedangkan kayu cempedak mempunyai berat jenis rata-rata 0,75 yang berarti pori-pori dan memiliki kelas awet II. Torambung dan Dayadi (2005) menyatakan bahwa kayu rambai memiliki kelas awet yang sama mutunya dengan jenis meranti terbaik (I-II) serta memiliki nilai kadar air kayu normal 12,57% dan kerapatan kayu kering tanur 0,953 gr/cm3.

Dari hasil pengujian, diperoleh bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan asetat, maka kehilangan berat kayu semakin rendah atau dengan kata lain kayu semakin tahan terhadap serangan rayap. Hal ini disebabkan karena konsentrasi larutan asam asetat yang semakin tinggi bersifat racun bagi rayap, sehingga rayap hanya sedikit memakan kayunya. Oleh sebab itu, rayap lebih cenderung memakan kayu yang tidak diberi perlakuan (kontrol). Susanto (2002) menyatakan bahwa kemanjuran (efektivitas) bahan pengawet bergantung pada toksisitas terhadap organisme perusak kayu atau organisme yang berlindung di dalam kayu. Semakin tinggi kemampuan meracuni organisme perusak kayu, semakin manjur dan semakin efektif pula bahan pengawet itu digunakan untuk mengawetkan kayu.

Berdasarkan identifikasi terhadap rayap yang menyerang ketiga jenis kayu yang diumpankan di Arboretum Tridharma USU, bahwa jenis rayap yang menyerang adalah jenis Macrotermes gilvus Hagen. yang termasuk dalam famili Termitidae. Ketiga jenis kayu yang diumpankan ini tidak dimakan rayap secara keseluruhan, tetapi rayap memakan kayunya secara acak. Karena dari 3 ulangan yang dibuat ada yang salah


(52)

satunya bahkan dua tidak terserang sama sekali. Hal ini karena rayap tidak melalui proses visual (penglihatan) untuk mencari makan. Bignell et al (2003) menyatakan bahwa rayap mencari makanan tidak melalui proses visual karena rayap memiliki mata yang vestigial (tidak berkembang). Oleh karena itu, rayap akan menjelajah secara acak untuk mencari makanannya.

Gambar 9. Sarang rayap yang ada di Arboretum Tridharma USU

Uji ketahanan rayap yang dilakukan menunjukkan bahwa proses asetilasi yang dilakukan cukup berhasil. Ini ditunjukkan dari nilai rata-rata kehilangan berat yang terjadi hanya sedikit. Dari nilai rata-rata kehilangan berat, diklasifikasikanlah kelas ketahanan kayunya terhadap serangan rayap, yang ditampilkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Kelas ketahanan kayu pada uji kubur

Jenis Kayu Konsentrasi Kehilangan Berat Kelas Ketahanan

Rambutan Kontrol 11,76 Rentan

10% 11,34 Rentan

15% 3,13 Tahan

20% 2,85 Tahan

25% 0,38 Sangat Tahan


(53)

10% 3,34 Tahan

15% 2,90 Tahan

20% 1,83 Tahan

25% 0,90 Sangat Tahan

Rambai Kontrol 3,95 Tahan

10% 3,12 Tahan

15% 2,75 Tahan

20% 1,60 Tahan

25% 0,70 Sangat Tahan

Tabel 3 menunjukkan bahwa kayu rambai memiliki kelas ketahanan yang lebih baik dibandingkan kayu cempedak dan rambutan. Konsentrasi larutan asam asetat 15% sudah efektif untuk meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap, karena ketiga jenis kayu memiliki kelas ketahanan yang sama, yaitu tahan terhadap serangan rayap.

2) Uji Laboratorium

Ketahanan kayu terhadap serangan rayap uji laboratorium dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan USU. Rayap yang diumpankan berasal rayap yang menyerang gedung Kehutanan. Hasil pengujian kayu terhadap serangan rayap uji laboratorium ditunjukkan pada Gambar 10 dan data selengkapnya disajikan pada Lampiran 6.


(54)

Gambar 10. Grafik rata-rata kehilangan berat kayu uji laboratorium

Berdasarkan Gambar 10, diperoleh bahwa semakin tinggi konsentrasi larutan asam asetat, maka semakin rendah nilai kehilangan berat kayu yang terjadi. Ketiga jenis kayu mengalami kehilangan berat paling rendah pada konsentrasi 25%, yaitu 7,97% untuk kayu rambutan, 7,50% untuk kayu cempedak dan 7,08% untuk kayu rambai.

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam yang dilakukan, diperoleh bahwa jenis kayu dan konsentrasi larutan asam asetat berpengaruh nyata terhadap ketahanan kayu terhadap rayap untuk uji laboratorium. Tetapi interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap ketahanan kayu terhadap rayap untuk uji laboratorium (Lampiran 11).

Dari ketiga jenis kayu, kayu rambai memiliki nilai kehilangan berat yang lebih rendah. Perbedaan ini disebabkan karena kayu rambai lebih awet dibandingkan kayu cempedak dan rambutan. Torambung dan Dayadi (2005) menyatakan bahwa kayu rambai mempunyai kelas awet yang sama mutunya dengan jenis meranti yang terbaik (kelas awet I-II). Abdurrochim (2007) menyatakan bahwa kayu cempedak memiliki kelas awet II dan kayu rambutan memiliki kelas awet III.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

kontrol 10% 15% 20% 25%

18.63

10.16

9.19 8.68

7.97 14.10 9.22 8.23 7.31 6.05

9.09 8.75

7.96 7.10 5.28 K e h il an g an B e r at ( % ) Konsentrasi


(55)

(a) (b) (c) Gambar 11. Kayu (a) rambutan; (b) cempedak; dan (c) rambai tanpa perlakuan

(kontrol) yang terserang rayap uji laboratorium

Nilai retensi dan WPG mempengaruhi tingkat keberhasilan pengawetan yang dilakukan. Retensi yang tinggi WPG yang semakin tinggi berarti semakin banyak bahan pengawet yang masuk ke dalam kayu. Hal ini disebabkan karena mekanisme dari perlakuan asam asetat dengan kayu yang merubah gugus OH pada kayu menjadi gugus asetat (CH3COO), sehingga kayu tidak bisa lagi menyerap air dan membuat kayu menjadi

lebih stabil dan lebih awet. Jadi dapat dikatakan bahwa nilai WPG dan retensi berbanding lurus dengan ketahanan kayu terhadap serangan rayap.

Asetilasi yang dilakukan pada ketiga jenis kayu berhasil meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap. Indrayani (1999) menyatakan bahwa proses asetilasi efektif melindungi kayu dari serangan rayap dan jamur pelapuk tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan.

Hasil identifikasi terhadap rayap yang diumpankan untuk uji laboratorium adalah rayap subteran jenis Coptotermes curvignathus Holmgren. Rayap ini merupakan rayap yang sangat ganas dalam menyerang bangunan di Indonesia jika dibandingkan dengan jenis rayap lainnya. Nandika dan Adijuwana (1995) menyatakan bahwa C, curvignathus Holmgren merupakan rayap perusak kayu yang paling ganas di Indonesia. Daya rusaknya yang sangat hebat nampaknya didukung oleh daya cerna selulosa yang tinggi sehubungan dengan tingginya populasi flagelatanya dengan rata-rata 4.682 ekor flagelata/rayap. Hal


(56)

ini menjadikan rayap C. curvignathus Holmgren sebagai rayap yang menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.

Penentuan kelas ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah didasarkan pada persentase kehilangan berat. Berdasarkan nilai rata-rata kehilangan berat, kelas ketahanan ketiga jenis kayu menurut SNI 01-7207-2006, dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Kelas ketahanan kayu pada pengujian laboratorium

Jenis Kayu Konsentrasi Kehilangan Berat Ketahanan Kayu

Rambutan Kontrol 18,63 Buruk

10% 10,16 Sedang

15% 9,19 Sedang

20% 8,68 Sedang

25% 7,97 Sedang

Cempedak Kontrol 14,10 Buruk

10% 9,22 Sedang

15% 8,23 Sedang

20% 7,31 Tahan

25% 6,05 Tahan

Rambai Kontrol 9,09 Sedang

10% 8,75 Sedang

15% 7,96 Sedang

20% 7,10 Tahan

25% 5,28 Tahan

Tabel 4 menunjukkan bahwa kayu rambutan memiliki kelas ketahanan buruk sampai sedang, kayu cempedak memiliki kelas ketahanan buruk sampai tahan, sedangkan kayu rambai memiliki kelas ketahanan sedang sampai tahan. Konsentrasi larutan asam asetat 20% sudah efektif untuk meningkatkan ketahanan kayu cempedak dan rambai


(57)

karena memiliki kelas ketahanan yang sama, yaitu tahan terhadap serangan rayap. Sedangkan kayu rambutan, konsentrasi lautan asam asetat tidak ada yang efektif untuk meningkatkan ketahanan kayu terhadap serangan rayap, karena kayu rambutan dengan konsentrasi 10% sampai 25% memiliki kelas ketahanan sedang.


(58)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1) Ketiga jenis kayu memiliki nilai ASE tertinggi pada konsentrasi larutan 15%, yaitu 73,37% untuk kayu rambutan, 50,47% untuk kayu cempedak dan 69,60% untuk kayu rambai.

2) Semakin tinggi konsentrasi larutan asam asetat, maka semakin tinggi pula nilai WPG dan retensinya.

3) Semakin tinggi konsentrasi larutan asam asetat, maka semakin rendah nilai kehilangan berat kayu akibat serangan rayap pada uji kubur maupun uji laboratorium.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap organisme perusak kayu lainnya seperti penggerek batang, kumbang, marine borer dan jamur perusak kayu, untuk mengetahui ketahanan kayu terhadap serangan organisme tersebut.


(59)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrochim, S. 2007. Keterawetan Kayu Kurang Dikenal. Makalah Penunjang Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan. Bogor.

Atabimo, W. 1982. Pengawetan Lima Jenis Kayu Irian Jaya Dengan Persenyawaan Bor Secara Difusi Pencelupan [Tesis]. Universitas Negeri Cendrawasih. Manokwari. Bignell, D, E., N. Lo, dan Y. Roisin. 2001. Biology of Termites: A Modern Synthesis.

Springer Dordrecht Heidelberg London. New York.

Cornelius, M. et al. 2004. Effect of Lignin-Degrading Fungus on Feeding Preferences of Formosan Subterrannean Termite (Isoptera: Rhinotermitidae) for Different Commercial Lumber. J. Econ. Entomol.

Fengel, D., G. Wegener, dan H. Sostrohamidjojo. 1993. Kayu, Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hasan, T. 1984. Rayap dan Pemberantasannya. Yayasan Pembina Watak dan Bangsa.

Jakarta.

Hon, D. N. S. 1996. Chemical Modification of Lignosellulosic Materials. Marcel Dekker. New York.

Hunt, G. M dan G. A. Garrat. 1986. Pengawetan Kayu. Terjemahan M. Jusuf. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Akademika Pressindo. Jakarta.

Indrayani, Y. 1999. Pengaruh Perlakuan Asetilasi dan TBTOA Terhadap Keawetan Kayu Pinus merkusii Jungh. et de Vriese, Anthocephalus chinensis Lamk. A. Rich. ex Walp, dan Pinus taeda L [Tesis]. IPB. Bogor.

Lancester, M. 2002. Green Chemistry. Royal Society of Chemistry. Cambridge.

Morozovs, A. 2004. Wood Hydrophobication by Acetylation and Oil Treatment. Final

Workshop of COST Action. E22-Estoril 22-23/03/2004. Latvijas

LauksaimniecībasUniversitāte. Jelgava.

Nandika, D. 1986. Ancaman Rayap Pada Bangunan 1. Makalah Seminar Staf Pengajar Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

,

, Y. Rismayadi, dan F. Diba. 2003. Rayap, Biologi dan Pengendaliannya. Muhammadiyah Univercity Press. Surakarta.

dan H. Adijuwana. 1995. Ekstraksi Enzim Selulase dari Rayap Kayu Kering Coptotermes cynochephalus Light serta Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren dan Macrotermes gilvus Hagen. Jurnal penelitian Hasil Hutan. Jakarta.

Nicholas dan D. Darrel. 1988. Kemunduran (Deteriorasi) Kayu dan Pencegahannya dengan Perlakuan-Perlakuan Pengawet. Terjemahan. Erlangga University Press. Surabaya.


(60)

Prasetya, D. B. 2006. Efikasi Thiamethoxam 240 SC Terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (Isoptera, Rhinotermitidae). [Skripsi]. IPB. Bogor.

Rajani, M. A. 2002. Daya Tahan Papan Partikel dari Limbah Serbuk Kayu Sengon (Albizzia chinensiss) dan Plastik Polypropylene Daur Ulang Terhadap Serangan Rayap Kayu Kering (Criptotermes cynocephalus Light) dan Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren). [Skripsi] Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Rakhmawati, D. 1996. Prakiraan Kerugian Ekonomis Akibat Serangan Rayap Pada Bangunan Rumah di Kota Madya Bandung. IPB Press. Bogor.

Risnasari, I. 2001. Rayap Sebagai Perusak Bangunan. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Rowell, R. M. 1990. Chemical Modification of Lignocellulosic Fiber To Produce High-Performance Composites. American Chemical Society 197th National Meeting. Washington DC.

Sanjaya. 2001. Pengaruh Anhidridaasetat Terhadap Struktur Molekuler Kayu dalam Stabilitas Dimensi Kayu Pinus merkusii Et. De. Vr. JMS Vol. 6 No. 1. Universitas Sriwijaya. Palembang.

(SNI) Standar Nasional Indonesia 01-7207-2006. 2006. Uji Ketahanan Kayu dan Produk Kayu Terhadap Organisme Perusak Kayu. Badan Standar Nasional (BSN) Indonesia. Jakarta.

Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Barat (Sub Balai KSDA Kalbar). 1996. Cagar Alam Mandor, Kawasan Konservasi In-situ Kalimantan Barat.

Sucipto, T. 2009. Karya Tulis: Modifikasi Kimia Kayu. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Sukmana, A. 2005. Uji Laboratorium Daya Tahan Komposit Serbuk Kayu Plastik Polietilena Berkerapatan Tinggi terhadap Serangan Rayap Tanah. [Skripsi] Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Supriana, N. 1983. Hubungan Antara Aktivitas Makan Pada Rayap Dengan Sifat-Sifat Kayu di Dalam Peranan Industri Pengawetan Kayu Dalam Menunjang Pembangunan Nasional. Prosiding Pertemuan Ilmiah Pengawetan Kayu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Susanta, G. 2007. Cara Praktis Mencegah dan Membasmi Rayap. Penebar Swadaya. Jakarta.

Susanto, Y. 2002. Pengawetan Kayu. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Suresh, B. 2003. Acetic Acid. CEH Report. SRI International. London.

Tambunan, B dan D. Nandika. 1989. Deteriosasi Kayu Oleh Faktor Biologis. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB. Bogor.


(61)

Tarumingkeng, R. C. 1992. Insektisida: Sifat, Mekanisme Kerja dan Dampak Penggunannya. Universitas Kristen Krida Wacana. Jakarta.

. 1993. Biologi dan Prilaku Rayap. Makalah Seminar Pengendalian Hama Berwawasan Lingkungan Sebagai Pendukung Pembangunan Nasional. Dirjen PPM dan PLP Depkes. Jakarta.

. 2000. Biologi dan Pengenalan Rayap Perusak Kayu Indonesia. Laporan Lembaga Penelitian Hutan. Bogor.

Tatang, L., F. Victor, S. Uwan, M. M. Sood, A. Bayer, D. Hasiwan, dan Silun. 2000. Kalimantan: Bumi Yang Kaya Makanan. Kerjasama Masyarakat Adat Dayak Mempawah dan Ketapang dan Institut Dayakologi, Kalimantan Barat

Torambung, A. K. dan I. Dayadi. 2005. Sifat Fisika dan Mekanika Kayu Rambai (Baccaurea Motleyana Muell. Arg.) Berdasarkan Letak Ketinggian Dalam Batang. Prosiding Seminar Nasional Mapeki VIII. Tenggarong.


(62)

Lampiran 1. Data nilai ASE

Jenis Kayu Konsentrasi Swelling (S1) Kering Swelling (S2) Basah ASE Rata-Rata

U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3

Rambutan 10% 13.625 7.512 7.879 10.163 5.899 0.227 25.412 21.477 97.119 48.003

15% 8.903 6.437 9.271 3.685 1.630 1.221 58.617 74.678 86.826 73.374

20% 7.370 8.798 5.909 3.327 2.095 1.967 54.855 76.189 66.718 65.920

25% 6.271 6.691 7.569 5.377 0.878 5.876 14.249 86.879 22.366 41.165

Cempedak 10% 5.549 4.833 13.110 3.945 3.795 11.811 28.900 21.473 9.903 20.092

15% 11.260 9.161 7.384 2.783 2.652 7.011 75.285 71.054 5.062 50.467

20% 8.318 9.130 12.468 3.538 3.844 9.678 57.464 57.898 22.377 45.913

25% 12.703 8.828 11.470 7.585 6.190 10.833 40.293 29.879 5.556 25.243

Rambai 10% 10.032 11.104 12.640 9.356 7.634 2.290 6.740 31.252 81.878 39.957

15% 9.659 7.877 10.522 2.160 2.336 4.123 77.637 70.349 60.820 69.602

20% 14.108 6.646 12.873 0.623 5.967 1.907 95.585 10.211 85.186 63.661


(63)

Lampiran 2. Data nilai WPG

Jenis Kayu Konsentrasi B0 B1 WPG Rata-Rata

U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3

Rambutan 10% 53 55 75 57 62 87 7.547 12.727 16.000 12.091

15% 72 58 87 79 74 104 9.722 27.586 19.540 18.950

20% 74 82 64 84 106 76 13.514 29.268 18.750 20.511

25% 82 66 63 94 76 87 14.634 15.152 38.095 22.627

Cempedak 10% 89 91 93 101 97 100 13.483 6.593 7.527 9.201

15% 99 87 93 128 100 110 29.293 14.943 18.280 20.838

20% 90 91 85 111 113 105 23.333 24.176 23.529 23.680

25% 95 92 81 119 110 105 25.263 19.565 29.630 24.819

Rambai 10% 64 63 63 67 71 88 4.688 12.698 39.683 19.023

15% 62 64 66 78 84 99 25.806 31.250 50.000 35.685

20% 62 63 65 97 78 87 56.452 23.810 33.846 38.036


(1)

Lampiran 8. Analisis sidik ragam WPG

SK db JK KT Fhit Probabilitas

Jenis Kayu 2 1994.570 997.285 8.965 0.001 Konsentrasi 3 1605.026 535.009 4.809 0.009

Interaksi 6 245.150 40.858 0.367 0.892

Error 24 2669.808 111.242

Total 35 6514.553

Uji Duncan

Jenis Kayu Rata-rata Notasi

Rambutan 18.5446 A

Cempedak 19.6346 A

Rambai 34.8512 B

Konsentrasi Rata-rata Notasi

10% 13.4384 A

15% 25.1578 B

20% 27.4087 B


(2)

Lampiran 9. Analisis sidik ragam retensi

SK db JK KT Fhit Probabilitas

Jenis Kayu 2 4.819 2.410 4.770 0.018 Konsentrasi 3 23.456 7.819 15.478 0.000 Interaksi 6 2.746 0.458 0.906 0.507

Error 24 12.124 0.505

Total 35 43.145

Uji Duncan

Jenis Kayu Rata-rata Notasi Rambutan 2.03300 A Cempedak 2.52692 AB

Rambai 2.92758 B

Konsentrasi Rata-rata Notasi

10% 1.38967 A

15% 2.14989 B

20% 2.89889 C


(3)

Lampiran 10. Analisis sidik ragam uji kubur

SK db JK KT Fhit Probabilitas

Jenis Kayu 2 116.652 58.326 4.610 0.018 Konsentrasi 4 261.712 65.428 5.172 0.003 Interaksi 8 113.416 14.177 1.121 0.378 Error 30 379.533 12.651

Total 44 871.312

Uji Duncan

Jenis Kayu Rata-rata Notasi

Rambutan 6.13773 A

Cempedak 3.13100 B

Rambai 2.42420 B

Konsentrasi Rata-rata Notasi

Kontrol 7.46767 A

10% 5.93189 AB

15% 2.92644 BC

20% 2.09100 C


(4)

Lampiran 11. Analisis sidik ragam uji laboratorium

SK db JK KT Fhit Probabilitas

Jenis Kayu 2 64.779 32.389 4.743 0.016 Konsentrasi 4 266.065 66.516 9.740 0.000 Interaksi 8 87.529 10.941 1.602 0.166 Error 30 204.877 6.829

Total 44 623.250

Uji Duncan

Jenis Kayu Rata-rata Notasi

Rambutan 10.92507 A

Cempedak 8.98207 AB

Rambai 8.04400 B

Konsentrasi Rata-rata Notasi

Kontrol 13.93667 A

10% 9.37700 B

15% 8.46278 B

20% 7.69767 B


(5)

Lampiran 5. Data nilai kehilangan berat kayu uji kubur

Jenis Kayu Konsentrasi W1/Berat Awal (gr) W2/Berat Akhir (gr) Kehilangan Berat (gr) Rata-Rata

U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3

Cempedak Kontrol 61 66 79 58 61 61 4.918 7.576 22.785 11.760 10% 57 62 87 46 60 77 19.298 3.226 11.494 11.339 15% 79 74 104 76 72 101 3.797 2.703 2.885 3.128 20% 84 106 76 83 101 74 1.190 4.717 2.632 2.846

25% 94 76 87 93 74 86 1.064 2.632 1.149 1.615

Rambutan Kontrol 91 89 90 88 80 84 3.297 10.112 6.667 6.692

10% 101 97 100 96 95 97 4.950 2.062 3.000 3.337 15% 128 100 110 126 96.5 106 1.563 3.500 3.636 2.900 20% 111 113 105 110 111.5 103.5 0.901 1.327 1.429 1.825 25% 119 110 105 118 109 104 0.840 0.000 0.476 0.901

Rambai Kontrol 68 66 68 65 64 65 4.412 3.030 4.412 3.951

10% 67 71 88 66.5 66.5 86 0.746 6.338 2.273 3.119 15% 78 84 99 76.5 82.5 94.5 1.923 1.786 4.545 2.751 20% 97 78 87 96.5 76 85.5 0.515 2.564 1.724 1.601


(6)

Lampiran 6. Data nilai kehilangan berat kayu uji laboratorium

Jenis Kayu Konsentrasi W1/Berat Awal (gr) W2/Berat Akhir (gr) Kehilangan Berat (gr) Rata-Rata

U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3

Cempedak Kontrol 1.7 1.7 1.7 1.4 1.35 1.4 17.647 20.588 17.647 18.627 10% 1.9 1.85 1.7 1.75 1.65 1.5 7.895 10.811 11.765 10.157 15% 1.7 1.95 1.8 1.5 1.75 1.7 11.765 10.256 5.556 9.192 20% 1.8 1.6 1.8 1.65 1.45 1.65 8.333 9.375 8.333 8.681 25% 1.85 1.9 1.95 1.6 1.8 1.85 13.514 5.263 5.128 7.968 Rambutan Kontrol 2.2 2.25 2.3 1.85 1.95 2 15.909 13.333 13.043 14.095

10% 2.35 2.35 2.35 2.1 2.2 2.1 10.638 6.383 10.638 9.220 15% 2.35 2.35 2.55 2.15 2.2 2.3 8.511 6.383 9.804 8.233 20% 2.25 2.35 2.25 2.1 2.2 2.05 6.667 6.383 8.889 7.313 25% 2.15 2.3 2.3 1.9 2.2 2.25 11.628 4.348 2.174 6.050 Rambai Kontrol 1.5 1.55 1.85 1.35 1.45 1.65 10.000 6.452 10.811 9.087 10% 1.65 1.65 1.35 1.55 1.5 1.2 6.061 9.091 11.111 8.754 15% 1.45 1.7 1.8 1.35 1.6 1.6 6.897 5.882 11.111 7.963 20% 1.65 1.5 1.75 1.55 1.4 1.6 6.061 6.667 8.571 7.100 25% 1.35 1.75 1.85 1.25 1.65 1.8 7.407 5.714 2.703 5.275