Aktivitas antibakteri zat ekstraktif kulit kayu rambai (Baccaurea motleyana Muell. Arg.)

(1)

LOLYTA SISILLIA. Antibacterial Activities of Extractives from the Bark of Rambai (Baccaurea motleyana Muell. Arg.). Supervisors are WASRIN SYAFII and LATIFAH K. DARUSMAN

Rambai (Baccaurea motleyana Muell.Arg.) belongs to the family Euphorbiaceae have potency for developed as antibacterial. The aims of this research were to determine the antibacterial activity and to screen phytochemically constituents of bark extract of B. motleyana. Bark of B. motleyana used in traditional medicine for the treatment of eye diseases was extracted by maceration in ethanol and aqueous. In vitro antibacterial activity was determined using agar well diffusion method on Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis and Pseudomonas aeruginosa. The results showed that that 50 mg/ml of the aqueous extract was most active and it inhibited the growth of all the bacterial with zones of inhibitation ranging from 4.10 to 8.67 mm. Fractionation to aqueous extract can decreases minimum inhibitory concentration (MIC) values and increases sensitivity of bacteria to that fraction. MIC of the aqueous extract for three bacterial strains ranging from 5.40 mg/ml to 6.82mg/ml, the methanol-insoluble fraction 4.09 mg/ml to 6.72 mg/ml, n-hexane-insoluble fraction 3.77mg/ml to 4.56 mg/ml and the subfraction (F ) 0.39 to 0.61 mg/ml. Results of phytochemical screening showed the presence of saponin and flavonoid in the aqueous extract. Identified with FTIR, LCMS and NMR's Proton showed that active compound that potentially as antibacterial is aglikon of saponin's compound.

Key words : Baccaurea motleyana , eye diseases, phytochemical, antibacterial activity, MIC


(2)

LOLYTA SISILLIA. Aktivitas Antibakteri Zat Ekstraktif Kulit Kayu Rambai (Baccaurea motleyana Muell. Arg.). Dibimbing oleh WASRIN SYAFII dan LATIFAH K. DARUSMAN.

Peranan hasil hutan bukan kayu (HHBK) semakin penting setelah produktivitas kayu dari hutan alam semakin menurun. HHBK mencakup semua keanekaragaman biologi selain kayu yang digali dari hutan untuk keperluan manusia, antara lain tanaman obat. Salah satu kekayaan tumbuhan Indonesia yang berpotensi sebagai tanaman obat adalah pohon rambai (Baccaurea motlyeana Muell.Arg.). Kulit batang pohon rambai secara tradisional dimanfaatkan sebagai obat mata. Informasi yang mengeksplorasi komponen zat ekstraktif dalam kulit kayu rambai dan pemanfaatannya sebagai tanaman obat masih sangat terbatas sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui khasiatnya secara ilmiah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komponen kimia dan pengujian anti bakteri dari zat ekstraktif kulit kayu rambai tersebut, terutama senyawa-senyawa yang dapat digunakan sebagai antibakteri.

Kegiatan penelitian meliputi : persiapan bahan baku sebagai simplisia, penetapan kadar air, ekstraksi, pengukuran rendemen, uji fitokimia, uji antibakteri, isolasi dan identifikasi senyawa aktif. Ekstraksi tahap awal dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 70% dan air untuk mendapatkan ekstrak etanol dan ekstrak air. Pengujian antibakteri ekstrak kulit kayu rambai dilakukan secara in vitro terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Pseudomonas aeruginosa menggunakan metode difusi agar yang meliputi penentuan zona hambat terhadap pertumbuhan bakteri dan penentuan nilai konsentrasi daya hambat minimum (MIC/Minimum Inhibitory Concentration) terhadap ekstrak paling aktif. Ekstrak terpilih selanjutnya difraksinasi dan diisolasi untuk mendapatkan senyawa aktif yang berpotensi sebagai antibakteri.

Nilai kadar air rata-rata serbuk kulit kayu rambai sebesar 7.59%. Maserasi menggunakan pelarut air menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan maserasi menggunakan pelarut etanol. Nilai rendemen untuk ekstrak air adalah 9.39% dan ekstrak etanol 2.72%. Rendemen yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut air hampir empat kali lebih banyak dibandingkan ekstraksi dengan pelarut etanol. Uji fitokimia terhadap kedua ekstrak menunjukkan bahwa ekstrak etanol lebih banyak mengandung senyawa metabolit sekunder dibandingkan ekstrak air dari segi jenis. Kandungan senyawa metabolit sekunder dalam ekstrak etanol yaitu terpenoid, saponin dan flavonoid, sedangkan pada ekstrak air terdapat senyawa saponin dan flvonoid.

Hasil pengukuran zona hambat ekstrak air dan ekstrak etanol menunjukkan bahwa ekstrak yang diuji pada umumya membentuk zona hambat dengan daya hambat bervariasi terhadap semua bakteri uji, kecuali untuk ekstrak etanol tidak menunjukkan zona hambat terhadap bakteri uji S.epidermidis. Nilai area penghambatan tertinggi pada konsentrasi ekstrak sebesar 50 mg/ml ditunjukkan oleh ekstrak air kulit kayu rambai dengan zona hambat untuk bakteri


(3)

mendapatkan fraksi yang lebih rendah kepolarannya. Selanjutnya fraksi yang larut dalam methanol (R-2) dan fraksi yang tidak larut methanol (R-3), masing-masing diuji terhadap ketiga bakteri uji untuk melihat besar zona hambat yang terbentuk dari kedua jenis ekstrak tersebut. Hasil pengujian menunjukkan zona hambat fraksi tidak larut metanol (R-3) lebih besar daripada fraksi metanol (R-2). Langkah selanjutnya adalah melarutkan fraksi R-3 dengan pelarut heksan dan etil asetat sehingga diperoleh fraksi n-heksan (R-4), fraksi etil asetat (R-6), fraksi yang tidak larut n-heksan (R-5) dan fraksi tidak larut etil asetat (R-7). Masing-masing fraksi diuji terhadap ketiga bakteri uji untuk mengetahui zona hambat yang terbentuk. fraksi aktif yang ditunjukkan oleh zona hambat paling besar adalah fraksi R-5. Hasil kromatografi kolom menggunakan pelarut-pelarut kloroform, metanol dan air sebanyak 156 fraksi. Fraksi-fraksi yang memiliki Rf sama digabungkan sehingga diperoleh fraksi gabungan sebanyak 6 fraksi. Aktivitas antibakteri paling tinggi adalah pada subfraksi F. Hal ini berarti bakteri S. aureus, S. epidermidis dan P.aeruginosa lebih sensitif terhadap subfraksi F dibandingkan dengan subsubfraksi lainnya.

Nilai MIC ekstrak dan hasil fraksinasi terhadap bakteri S. aureus, S. epidermidis dan P.aeruginosa adalah sebagai berikut: ekstrak air 5.40 mg/ml - 6.82mg/ml, fraksi tidak larut metanol 4.09 mg/ml - 6.72 mg/ml, fraksi tidak larut n-heksan 3.77mg/ml - 4.56 mg/ml dan subfraksi F 0.39 - 0.61 mg/ml. Fraksinasi dari ekstrak air dengan berbagai pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda menghasilkan penurunan nilai MIC. Nilai MIC antimikroba berlawanan dengan sensitivitas mikroba yang diuji. Hal ini berarti bahwa suatu bakteri dikatakan memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap suatu senyawa antimikroba bila memiliki nilai MIC yang rendah. Fraksinasi dan isolasi terhadap ekstrak air kulit kayu rambai menunjukkan nilai MIC yang semakin menurun berarti tingkat sensitivitas ketiga bakteri uji semakin meningkat.

Identifikasi dengan FTIR, LCMS dan NMR Proton menunjukkan bahwa senyawa aktif yang berpotensi sebagai antibakteri adalah aglikon dari senyawa saponin.

Kata kunci : Baccaurea motleyana, penyakit mata, fitokimia, aktivitas antibakteri, MIC


(4)

x

Halaman

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN... Latar Belakang ... Identifikasi Masalah ... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ... Hipotesis ... TINJAUAN PUSTAKA ...

Zat Ekstraktif ... Ruang Lingkup dan Pemanfaatan Secara Umum ... Zat Ekstraktif Sebagai Obat ... Zat Ekstraktif Sebagai Antibakteri ... Rambai (Baccaurea motleyana Muell.Arg) ... Klasifikasi dan Morfologi ... Etnobotani Rambai ... Bakteri ... Senyawa Antibakteri ... Pengujian Aktivitas Antibakteri ... METODOLOGI PENELITIAN ... Tempat dan Waktu Penelitian ... Bahan dan Alat Penelitian ... Metode Penelitian ... Persiapan Bahan Baku Sebagai Simplisia ... Penetapan Kadar Air ... Ekstraksi ... Pengujian Aktivitas Antibakteri ... Uji Fitokimia ... Fraksinasi dan isolasi ... Identifikasi Senyawa Aktif ... HASIL DAN PEMBAHASAN...

Penapisan Bahan Baku ... Kadar Air ... Ekstraksi ... Uji Fitokimia ... Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar ... Fraksinasi dan Aktivitas Antibakteri Fraksi-fraksi ...

xii xiii xiv 1 1 3 3 3 3 4 4 4 5 6 7 7 8 10 13 13 15 15 15 16 16 16 16 17 18 19 19 21 21 21 22 23 24 26


(5)

xi

SIMPULAN DAN SARAN... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

37 38 43


(6)

xii

Halaman

1 2 3 4

5

Jenis Penyakit Infeksi Mata oleh Bakteri ... Hasil analisis fitokimia ekstrak etanol dan air B.motleyana ... Nilai Rf fraksi gabungan hasil kromatografi kolom ... Nilai MIC (mg/ml) ekstrak kasar dan fraksi dari kulit batang

B.motleyana ... Nilai MIC ekstrak air kulit kayu rambai (Baccaurea motleyana) serta perbandingannya terhadap filtrat bunga teleng dan famili Euphorbiaceae lainnya ...

11 23 30

31


(7)

xiii

Halaman

1 2 3 4 5 6

7

8

9

10 11

Peta penyebaran pohon rambai ... Rambai (Baccaurea motleyana Muell.Arg.)... Struktur kloramfenikol ... Rata-rata rendemen ekstrak air dan etanol ... Rata-rata diameter zona hambat ekstrak etanol dan ekstrak air ... Ekstraksi air dan fraksinasi dengan berbagai pelarut dari serbuk kulit kayu rambai (Baccaurea motleyana)... Rata-rata zona hambat fraksi methanol (R-2) dan fraksi tidak larut metanol (R-3) ... Rata-rata zona hambat fraksi heksan (R-4), fraksi tidak larut heksan (R-5), fraksi etil asetat (R-6), dan fraksi tidak larut etil asetat (R-7) ... Rata-rata zona hambat fraksi-fraksi gabungan A, B, C, D, E, dan F dari fraksi tidak larut heksan (R-5) ... Struktur anatomi bakteri gram positif dan gram negatif ... Spektrum FTIR dari Subfraksi R-5F hasil KLTP ...

7 8 14 23 24

25

28

28

30 33 34


(8)

xiv

Halaman

1 2 3 4

5

6

Diagram alir uji difusi sumur... Simplisia dan ekstrak kulit kayu rambai (Baccaurea motleyana) ... Kadar air serbuk dan rendemen ekstrak kulit kayu rambai ... Diameter zona hambat ekstrak dan fraksi B. motleyana terhadap bakteri uji ... Rata-rata zona hambat pertumbuhan bakteri oleh ekstrak dan fraksi B.motleyana untuk penentuan nilai MIC ... NMR fraksi hasil KLTP ekstrak kulit kayu rambai ……...

44 45 46

47

47


(9)

Latar Belakang

Kemampuan sumber daya hutan yang semakin terbatas baik dari segi kualitas maupun kuantitas akibat peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhannya dapat ditingkatkan dengan usaha-usaha efisiensi pemanfaatan bahan baku misalnya dengan cara peningkatan rendemen, peningkatan diversifikasi produk, peningkatan masa pakai kayu, pemanfaatan ”lesser-known Species”, pemanfaatan limbah kayu, pemanfaatan semua bagian kayu yang dihasilkan dari hutan mulai dari akar, batang, kulit, ranting, dan daun, serta pemanfaatan komponen kimia kayu, seperti selulosa, lignin, dan ekstraktif. Usaha lainnya adalah promosi dan pengembangan produk hasil hutan bukan kayu (HHBK)

Peranan HHBK pada akhir-akhir ini dianggap semakin penting setelah produktivitas kayu dari hutan alam semakin menurun. Hasil deklarasi The United National Conference on Environment and Development (UNCED) tahun 1991 mengagendakan upaya promosi dan pengembangan HHBK sebagai upaya pencegahan kerusakan hutan (Sofyan 2000). Keputusan untuk mengelola HHBK yang dapat dihasilkan oleh hutan di negara kita merupakan pilihan yang sangat tepat saat ini karena pengelolaan hutan sebagai produksi kayu sudah sampai pada titik yang mengkhawatirkan (Ekanayake et al. 2007). HHBK mencakup semua keanekaragaman biologi selain kayu yang digali dari hutan untuk keperluan manusia. Secara garis besar, HHBK terbagi dalam kelompok hayati dan non hayati. Kelompok hayati terdiri dari produk nabati (buah-buahan, rotan, bambu, minyak atsiri, resin, tanaman hias dan obat-obatan) dan produk hewani (sarang burung, daging, madu, sutera alam), sedangkan non hayati antara lain jasa hutan (air, oksigen, penyanggah ekosisten alam) dan lingkungan (wisata alam dan perdagangan karbon).

Khazanah tanaman obat tradisional sangat luas mencakup tanaman lapisan terbawah, liana, dan berbagai jenis pohon. Pengetahuan tentang peranan zat ekstraktif sebagai sumber bahan obat-obatan telah mendorong berbagai penelitian untuk mengungkapkan kemungkinan pemanfaatan senyawa tersebut, antara lain sebagai antimikroba. Untuk memperoleh pengetahuan mengenai semua ini masih


(10)

dibutuhkan penelitian eksplorasi seperti inventarisasi sumber daya dan analisis bahan aktif terhadap senyawa kimia yang ada dalam suatu tanaman.

Usaha untuk mencari sumber antimikroba baru, terutama tanaman yang terdapat di Indonesia terus dilakukan. Tumbuhan yang digunakan secara tradisional dapat dijadikan sebuah alternatif pencarian senyawa antimikroba karena pada umumnya memiliki senyawa aktif yang berperan sebagai senyawa antimikroba. Zat aktif yang terkandung dalam ekstrak tumbuhan diketahui dapat menghambat beberapa mikroba pathogen. Zat aktif tersebut dapat berasal dari bagian tumbuhan seperti kulit batang, batang, daun, bunga dan buah (Gordon dan Davis, 2001).

Salah satu kekayaan tumbuhan Indonesia yang berpotensi adalah pohon rambai (Baccaurea motlyeana Muell.Arg.). Sebagai komoditi hasil hutan bukan kayu, selain buahnya kulit batang pohon rambai secara tradisional dimanfaatkan sebagai obat mata (Morton 1987; Tatang et al. 2000; Haegens 2000). Pohon rambai memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan sebagai bahan obat alami, khususnya sebagai antibakteri. Hal ini karena genus Baccaurea lainnya yaitu Baccaurea racemosa Muell. Arg diketahui mengandung sejumlah senyawa metabolit sekunder seperti saponin, flavonoid, dan tanin pada kulit batang dan daunnya sedangkan pada daunnya juga mengandung alkaloid. Daun tanaman tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat untuk obat diare dan peluruh haid (Anonim 2008a). Flavonoid dan saponin adalah senyawa kimia yang memiliki potensi sebagai antibakteri (Robinson 1995; Naidu 2000).

Pemanfaatan yang selama ini dilakukan pada pohon rambai oleh masyarakat luas masih terbatas hanya dengan mengkonsumsi buahnya dan memanfaatkannya sebagai pohon pelindung. Tingginya deforestasi hutan dan konversi lahan hutan juga dapat mengancam keberadaannya. Selain itu, ancaman degradasi budaya menyebabkan terjadinya degradasi pengetahuan tradisional terutama pada generasi muda yang telah melupakan tradisi leluhurnya.

Informasi yang mengeksplorasi komponen zat ekstraktif dalam kulit kayu rambai dan pemanfaatannya sebagai tanaman obat masih sangat terbatas sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui khasiatnya secara ilmiah yang diarahkan untuk mengetahui komponen kimia dan pengujian anti bakteri dari zat


(11)

ekstraktif kulit kayu rambai tersebut, terutama senyawa-senyawa yang dapat digunakan sebagai antibakteri.

Identifikasi Masalah

Permasalahan yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah :

1. Kandungan ekstraktif dan komponen bioaktif apa yang terkandung dalam kulit kayu rambai yang bersifat antibakteri.

2. Bagaimana aktivitas antibakteri dari komponen bioaktif zat ekstraktif kulit kayu rambai .

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui kandungan ekstraktif yang terkandung dalam kulit kayu rambai (Baccaurea motlyeana Muell.Arg.).

2. Menguji aktivitas antibakteri dari komponen bioaktif zat ekstraktif kulit kayu rambai.

3. Mengisolasi dan mengidentifikasi komponen bioaktif yang terdapat dalam zat ekstraktif kulit kayu rambai yang berfungsi sebagai antibakteri.

Manfaat Penelitian Manfaat dilakukan penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi ilmiah mengenai golongan kimia utama dan aktivitas antibakteri dari kulit kayu rambai.

2. Memberikan informasi mengenai komponen kimia kulit kayu rambai yang dapat dijadikan bahan bagi pengembangan penelitian mengenai zat ekstraktif untuk meningkatan efisiensi pemanfaatan pohon rambai.

Hipotesis

Kandungan ekstraktif dalam kulit kayu rambai memiliki komponen senyawa aktif yang bersifat sebagai anti bakteri.


(12)

TINJAUAN PUSTAKA

Zat Ekstraktif

Ruang Lingkup dan Pemanfaatan Secara Umum

Ekstraktif merupakan produk akhir dari proses metabolisme dalam pohon hidup. Istilah zat ekstraktif dalam arti sempit merupakan senyawa kimia yang terdapat di dalam sel-sel tumbuhan dan bukan merupakan penyusun utama dinding sel, yang dapat diekstraksi dengan menggunakan pelarut polar dan non polar (Fengel dan Wegener 1995).

Ekstraktif dapat dibagi dalam dua kategori yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer terdapat pada semua jenis tanaman, struktur kimianya relatif sederhana dan tidak berbeda secara taksonomi. Sedangkan metabolit sekunder terdapat pada tanaman tertentu saja, komposisinya lebih komplek daripada metabolit primer dan berbeda secara taksonomi. Metabolit sekunder dalam pohon meliputi berbagai senyawa, seperti flavonoid, terpena, fenol, alkaloid, sterol, lilin, lemak, tanin, gula, gum, suberin, asam resin, dan karotenoid. Konsentrasi metabolit ini bervariasi antar spesies, antar jaringan (konsentrasi tertinggi berada di kulit, kayu teras, akar, pangkal percabangan dan jaringan luka), antar pohon dalam spesies yang sama dan antar musim (Forestry Commision GIFNFC 2007).

Menurut Sjostrom (1998), secara kimiawi ekstraktif kayu dapat digolongkan ke dalam tiga bagian, yaitu komponen-komponen alifatik (alkohol lemak, asam lemak, lemak, lilin, suberin), terpen dan terpenoid, dan fenolik (fenolik sederhana, lignan, stilben, flavonoid). Selain komponen tersebut, ekstraktif kayu juga terdiri dari komponen-komponen seperti cyclitol, tropolone, dan asam amino (Liu 2006), alkana, protein, monosakarida dan turunannya (Cole 2009).

Meskipun ada kesamaan keberadaan ekstraktif kayu di dalam famili, ada perbedaan yang jelas dalam komposisi bahkan di antara spesies-spesies kayu yang sangat dekat. Zat ekstraktif ini menempati tempat-tempat morfologi tertentu dalam struktur pohon, seperti fenol dan terpenoid terdapat terutama di dalam kayu teras dan di dalam kulit (Sjostrom 1998).


(13)

Kulit merupakan lapisan luar kambium yang mengelilingi batang, cabang, dan akar yang jumlahnya sekitar 10-15% dari berat pohon. Pada umumnya kulit kayu lebih kaya kandungan zat ekstraktif baik dari segi kuantitas maupun kompleksitasnya dibandingkan dengan kayu. Banyak konstituen yang terdapat dalam kayu juga terdapat dalam kulit walaupun proporsinya berbeda. Ekstraktif kulit dapat dibagi menjadi konstituen lipofil dan hidrofil. Kandungan total keduanya dalam kulit biasanya lebih tinggi dibandingkan dalam kayu dan bervariasi antara 20-40% berat kering kulit. Bagian lipofil terutama terdiri atas lemak, lilin, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi yang dapat diekstraksi dengan pelarut-pelarut non polar, sedangkan bagian hidrofil mengandung sejumlah besar konstituen fenol yang dapat diekstraksi hanya dengan air atau pelarut-pelarut organik polar (Sjostrom 1998).

Ekstraktif tidak hanya penting untuk mengerti taksonomi dan biokimia pohon-pohon, tetapi juga penting bila dikaitkan dengan aspek-aspek teknologi. Beberapa diantaranya berfungsi sebagai cadangan energi, sebagai bagian dari mekanisme sistem pertahanan pohon terhadap serangan mikroorganisme, berperan terhadap sifat kayu seperti warna, bau, dan ketahanan terhadap pelapukan, sebagai bahan dasar yang berharga untuk pembuatan bahan-bahan kimia organik, misalnya untuk penyamak (indigo, sikonin), pemberi rasa (vanilin, kapsaicin), pewangi (minyak esensial), stimulan (kafein, nikotin), halusinogen (morfin, tetrahidrokanabinol), racun (strikniin), dan obat-obatan (kuinin, atropin) (Rowell 1984; Sjostrom 1995; Forestry Commission GIFNFC 2007).

Zat Ekstraktif Sebagai Obat

Senyawa-senyawa metabolit sekunder yang telah berhasil diisolasi, oleh manusia selanjutnya didayagunakan sebagai bahan obat seperti morfin sebagai obat nyeri, kuinin sebagai obat malaria, reserpin sebagai obat penyakit tekanan darah tinggi, vinkristin serta vinblastin sebagai obat kanker, tanin dan haematein sebagai obat diare dan disentri (Anonim 2008b), dan taxol dari pohon Pacific Yew, Taxus brevifolia sebagai antikanker (Suwandi 2007). Jenis senyawa polifenol yang penting adalah flavonoid yang secara pharmakologis memiliki sifat antioxidant. Taxus simatrana selain mengandung taxol, juga mengandung senyawa flavonoid yang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan. (Darmawan et al. 2006).


(14)

Zat Ekstraktif Sebagai Antibakteri

Sejumlah senyawa aktif dari ekstraktif kulit kayu memiliki sifat antibakteri. Hasil penelitian Sanches et al. (2005) terhadap ekstrak kulit batang Psidium guajava mengunakan pelarut etanol dan air mengandung senyawa triterpene, flavonoid dan sterol seta menunjukkan sifat antibakteri terhadap bakteri E.coli dan P.aeruginosa. Bioassay dari ekstrak heksana dan etanol kulit kayu Terminalia arjuna menunjukkan sifat antibakteri terhadap bakteri gram positif. Kelompok senyawa yang terkandung dari ekstrak kulit kayu tersebut adalah triterpene (Singh et al. 2008). Hasil penelitian Muslikhati et al. (1995) terhadap minyak atsiri kulit kayu dan daun kayu manis Sumatra (Cinnamomum burmanni), ki lemo (Litsea cubeba), dan kayu kamper (Cinnamomum camphora) terhadap 14 spesies bakteri menunjukkan bahwa semua minyak atsiri yang diuji mempunyai aktivitas antibakteri. Kulit kayu Cinnamomum burmanni mempunyai spektrum kerja yang paling luas terhadap bakteri uji Bacillus subtilis, Serratia marcescens, Salmonella typhi, Escherichia coli, Shigella dsentriae, Shigella flexneri, dan Klebsiella pneumoniae. Ekstrak etanol dari kulit kayu Cryptomeria japonica D. Don mengandung 6 senyawa dalam kelompok diterpenoid yang bersifat antibakteri yaitu ferruginol, isopimaric acid, sugiol, sandaracopimarol, iguestol, isopimarol. Ferruginol memiliki aktivitas antibakteri yang paling kuat terhadap E. faecalis, S. epidermidis, and S. aureus (Li et al. 2007).

Beberapa senyawa aktif dari tanaman famili Euphorbiaceae memiliki aktivitas antibakteri, antara lain senyawa triterpen pada Acalypha communis (Gutierrez et al. 2002); tanin corilagin, geraniin dan gallic acid pada Phyllanthus amarus (Kloucek et al. 2005), senyawa alkaloid, saponin dan tanin dari ekstrak metanol kulit batang Tetracarpidium conophorum (Ajaiyeoba dan Fadare 2006) , dan senyawa phenol, flavonoid serta tanin pada Emblica officinalis (Nair dan Chanda 2007).

Rambai (Baccaurea motleyana Muell. Arg.)


(15)

Rambai merupakan tanaman yang berbentuk pohon yang termasuk dalam famili Euphorbiaceae, secara taksonomi dapat diklasifikasikan sebagai berikut Secara taksonomi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Euphorbiales Famili : Euphorbiaceae Genus : Baccaurea

Spesies : Baccaurea motleyana (Muell. Arg.)

Pohon rambai tumbuh di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, dan Halmahera (Gambar 1). Rambai tumbuh di hutan-hutan tropika dataran rendah sampai pada ketinggian 500 m dpl. Pohon ini tumbuh baik pada tanah aluvial di pinggir-pinggir sungai atau di daerah yang tersedia air serta di tempat-tempat yang tanahnya merupakan tanah liat berpasir kuning.

Gambar 1. Peta penyebaran pohon rambai. (sumber : Haegens R.M.A.P,2000)

Pohon rambai berumah dua dengan tajuk yang rendah, membulat dan rapat. Akar tumbuhan ini memiliki bentuk perakaran yang tergolong dalam akar tunggang. Tinggi pohon 8 – 15 meter dan diameter batang mencapai 40 cm, bentuk batang bulat, permukaan tidak rata, pangkal batang di atas permukaan tanah mempunyai banir (pipih dan pendek). Kulit batang tipis dan berwarna jingga kecoklatan (Gambar 2).


(16)

a b c

Gambar 2. Rambai (Baccaurea motleyana Muell. Arg.) a. Pohon rambai

b. Kulit batang c. Buah

Bentuk daun tanaman ini tergolong dalam daun tunggal, tata letak daun berseling, tulang daun menyirip, tepi daun rata, permukaan daun bagian atas licin, ujung daun runcing, warna permukaan daun bagian atas dan bagian bawah sama hijau. Warna bunga kuning dan buah berwarna hijau setelah masak berwarna putih (ada panu), permukaan buah licin, bakal buah beruang 1-3 (Tatang, et al. 2000). Pohonnya berbuah banyak yang menyerupai duku dengan kulit buah yang tipis menutup tiga buah bijinya yang pahit, berwarna hijau dan dikelilingi daging buah yang bening. Buahnya dapat dimakan mentah atau digodog (Hayne 1987).

Etnobotani Rambai

A. Pemanfaatan Pohon Rambai Sebagai Obat Mata

Secara tradisional kulit batang rambai dapat memulihkan infeksi atau peradangan pada mata dan berbagai keluhan pada mata (Morton 1987; Tatang, et al. 2000; Haegens 2000). Etnis Dayak dari beberapa kabupaten di Kalimantan Barat yang telah lama memanfaatan rambai sebagai obat mata, antara lain dari Kabupaten Pontianak, Sanggau, dan Kapuas Hulu. Pemanfaatan rambai sebagai obat mata juga dilakukan oleh etnis Dayak di Sabah Malaysia (Haegens 2000). Pemanfaatan kulit batang sebagai obat mata masih dapat dijumpai terutama oleh warga yang tinggal di daerah pedalaman.

Pengetahuan tentang pengobatan tradisional dari kulit batang rambai ini merupakan warisan nenek moyang. Dalam pemanfaatannya, pohon tua atau muda


(17)

dapat dipakai, tetapi lebih berkhasiat apabila diambil dari pohon yang sudah tua atau yang sudah berbuah. Bagian yang digunakan adalah kulit batang bagian dalam. Cara pemanfaatannya adalah :

(1) Kulit batang yang baru dikupas dari pohon dikikis kulit luarnya untuk mendapatkan kulit bagian dalam.

(2) Kulit batang bagian dalam dicuci dengan air hingga bersih.

(3) Kulit batang kemudian dimasukkan dalam kain bersih, ditumbuk dan diperas untuk diambil airnya lalu diteteskan ke mata tiga kali dalam sehari dan seterusnya sampai sembuh.

(4) Pengambilan kulit batang rambai dari pohonnya dilakukan kembali apabila dalam dua hari penyakit belum sembuh benar.

Pemanfaatan yang dilakukan terhadap kulit batang rambai adalah dengan cara memanen langsung dari hutan, ladang karet alam atau kebun. Setelah kulit diambil dari batangnya, proses pembentukan kembali kulit batang bisa mencapai 3 sampai 5 bulan. Ini berarti tidak menyebabkan kerusakan pada pohon karena proses pemulihan bisa berlangsung cepat dan kelestarian dari pohon rambai tetap akan terjaga.

Selama ini kulit batang rambai diperoleh dengan cara memanen langsung dari hutan atau kebun buah yang dimiliki oleh masyarakat. Umumnya pohon rambai sudah ada dan tumbuh secara liar di hutan sekitar tempat tinggal. Budidaya rambai belum menjadi bagian yang mengisi keseharian masyarakat. Kegiatan budidaya belum banyak dilakukan karena masyarakat belum mengetahui cara budidaya yang tepat.

B. Pemanfaatan Lain

Pemanfaatan lain dan utama dari pohon rambai adalah dengan memanfaatkan buahnya untuk dikonsumsi. Bagian buah yang dikonsumsi adalah daging buah dan kulit buahnya. Daging buah muda dapat dibuat sambal, buah yang masak dapat langsung dikonsumsi dan kulit buahnya dapat dijadikan bumbu terutama untuk memasak ikan (Tatang, et al. 2000).

Tanaman dari genus Baccaurea merupakan salah satu jenis komoditi tanaman buah-buahan binaan Dirjen Hortikltura (Deptan 2006). Buahnya juga dapat diawetkan menjadi selai dan asinan (Anonim 2008c, Morton 1987). Pohon


(18)

rambai sering dimanfaatkan sebagai pohon pelindung atau peneduh, pohon lanjaran uwi dan rotan (Purwanto 2007). Michon dan Foresta (1995) menyatakan bahwa rambai menghasilkan kayu yang keras dan awet yang sama mutunya dengan jenis meranti yang terbaik. Kayunya dipakai untuk tiang dan termasuk kayu bakar yang baik (Hayne 1987).

Kearifan penggunaan pohon rambai di kalangan masyarakat Kalimantan Barat masih terus terjaga. Masyarakat memanfaatan kayunya bila pohon sudah tidak produktif lagi dalam menghasilkan buah. Penelitian terhadap sifat fisika kayu rambai menunjukkan bahwa nilai kadar air kayu normal 12,57% dan kerapatan kayu kering tanur 0,593 gr/cm3. Sifat mekanika kayu rambai menunjukkan bahwa kayu rambai digolongkan dalam kelas kuat II-III sehingga dapat digunakan untuk konstrusi ringan sampai sedang (Torambung dan Dayadi 2005). Masyarakat pedalaman Kalimantan Barat juga menggunakan kayunya untuk mengobati keputihan.

Bakteri

Bakteri merupakan mikroorganisme prokariotik bersel tunggal dengan dinding sel, umumnya berkembang biak dengan membelah diri dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasma. Diameter sekitar 0,5-1,0um dan panjangnya 1,5-2,6 m. Spesies bakteri tertentu menunjukkan adanya pola penataan sel seperti tunggal, berpasangan, gerombol, rantai atau filamen (Pelczar dan Chan 1988).

Berdasarkan komposisi dinding sel, bakteri dibedakan menjadi bakteri Gram positif dan Gram negatif. Bakteri Gram positif memiliki struktur dinding sel terdiri atas lipid, peptidoglikan dan asam teikoat. Kandungan lipid pada bakteri Gram positif antara 1 – 4%. Dinding sel Gram positif terdiri dari lapisan tunggal peptidoglikan yang mencapai lebih dari 50% berat kering sel bakteri. Asam teikoat sebagai bagian utama dinding sel yang hanya terdapat pada bakteri Gram positif adalah polimer linear yang diturunkan baik dari gliserol fosfat maupun dari ribitol fosfat. Bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel berlapis tiga dengan ketebalan yang tipis (10-15 nm). Komposisi dinding sel terdiri atas lipid dan peptidoglikan yang berada dalam lapisan kaku sebelah dalam dengan jumlah sekitar 10% dari berat kering sel bateri. Kandungan lipid pada bakteri Gram


(19)

negatif cukup tinggi, yaitu 11-22% (Pelczar dan Chan 1988; Cummins 1990; Williams et al. 1996).

Selain karena virus, debu atau bahan kimia, infeksi atau peradangan pada mata bisa disebabkan oleh bakteri. Sebagian besar dari struktur mata, yaitu alis, kelopak mata, dan bulu mata dikolonisasi oleh mikroba, tetapi faktor-faktor yang bekerja pada bagian ini mirip dengan yang ada pada kulit atau rambut (Wilson 2005). Bakteri penyebab penyakit mata dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 Jenis Penyakit Infeksi Mata oleh Bakteri Jenis Penyakit Bakteri penyebab penyakit Konjungtivita

Blepharitis Keratitis

Endophthalmitis Orbital cellulitis Dacryocystitis

Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniane, koagulasi-negatif staphylococci, Propionibacterium spp.

S.aureus, koagulasi-negatif staphylococci

S.aureus, S.pneumoniane, Pseudomonas aeruginosa S.aureus, S.epidermidis

S.aureus, S.pneumoniane

S.aureus,S.pneumoniane,koagulasi-negatif Staphylococci

Sumber : Wilson (2005)

Penemuan bahan yang dapat membantu mengatasi kuman ini akan memberikan sumbangan yang penting bagi upaya pemeliharaan kesehatan. Penelitian tentang aktivitas antibakteri bunga teleng (Clitoria ternatea L) terhadap bakteri penyebab konjungtivita menunjukkan bahwa filtrat bunga teleng memiliki aktivitas hambat tumbuh terhadap bakteri uji Pseudomonas aeruginosa, Bacillus subtitulis, Eschericia coli dan Staphylococcus aureus. Pada penelitian ini dilakukan pengujian dengan menggunakan 3 bakteri uji yaitu Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan Pseudomonas aeruginosa

Staphylococcus aureus termasuk famili Micrococcaceae dan merupakan bakteri Gram positif, berbetuk kokus dengan diameter 0,7-0,9 m, dapat hidup secara aerob dan anaerob fakultatif, bersifat non motil dan tidak membentuk spora. Bakteri ini sering ditemukan pada makanan berprotein tinggi seperti telur dan sosis. S.aureus adalah kelompok bakteri dengan sel berbentuk bola berpasangan atau tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur. Koloninya memiliki pigmen yang relatif bervariasi mulai dari putih sampai kuning keemasan. Mudah tumbuh dalam kebanyakan perbenihan bakteriologi


(20)

dalam keadaan aerob atau mikroaerob, tumbuh optimum pada suhu 30-37oC, pada pH optimum 7,0-7,5 dan tumbuh baik pada larutan NaCl 15%. Komponen dinding selnya tersusun atas peptidoglikan, asam teikoat dan protein (Todar 2004).

Pseudomonas aeruginosa termasuk famili Pseudomonaceae dan termasuk kelompok bakteri Gram negatif. Bakteri ini dapat hidup secara aerobik bersifat patogen, dapat menimbulkan kebusukan pada makanan, dapat tumbuh subur pada suhu 37oC, tidak tahan terhadap panas dan kondisi kering sehingga mudah dibunuh dengan pemanasan dan pengeringan. Bakteri ini dapat tumbuh pada perbenihan buatan, membentuk koloni bulat halus dengan fluoresensi kehijauan dengan bau aromatik yang enak Bakteri ini hanya bersifat patogen dalam tubuh bila masuk ke daerah pertahanan normalnya tidak ada atau berperan dalam infeksi campuran. Salah satunya penyebab penyakit infeksi mata (Todar 2004). P. aeruginosa adalah bakteri batang dengan diameter 0,5-1,0 m dan panjang 1,5-4,0 m. Bakteri ini bersifat motil dan mudah tumbuh pada media yang umum. Selain itu bakteri ini tumbuh baik pada media nitrogen dengan bermacam-macam senyawa karbon (Burcharan dan Ghibbons, 1974).

Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri Gram positif, koloninya berbentuk bulat, menonjol membentuk pigmen berwarna putih, bergaris tengah sekitar 0,5-1,5 um, satu-satu atau berpasangan, dinding sel mengandung dua komponen utama peptidoglikan dari asam-asam tikoat. Metabolisme aerobik dan anaerobik. Sebagian besar tumbuh pada NaCl 15% atau empedu 40%, peka terhadap fenol dan derivatnya, senyawa yang mempunyai aktivitas permukaan salisilanida, karbanilida, halogen (khlor dan yodium). Bakteri ini merupakan flora normal pada kulit, kelenjar kulit dan selaput lendir.dan saluran pernapasan bagian atas manusia. S.epidermidis memiliki sifat yg hampir sama dengan S.aureus, karena selain tergolong bakteri Gram positif bakteri ini juga tidak bergerak dan membentuk spora. Mudah tumbuh pada suhu 370C pada berbagai media pembenihan bakteriologik dalam keadaan aerobik atau mikroaerobik. Bakteri ini dapat menimbulkan penyakit bila habitatnya terganggu, misalnya terdapat luka maka bakteri ini dapat masuk ke dalam aliran darah dan akan menyebabkan infeksi pada daerah yang bukan habitatnya.


(21)

Senyawa Antibakteri

Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi, menimbulkan penyakit, dan merusak bahan pangan. Mikroorganisme dapat disingkirkan, dihambat, dan dibunuh dengan cara fisik maupun kimia. Senyawa antimikrob adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan mikrob dan dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan infeksi pada manusia, hewan dan tumbuhan. Antimikrob meliputi antibakteri, antifungal, antiprotozoa, dan anti virus (Shunack et al, 1990). Anti bakteri adalah zat yang dapat mengganggu pertumbuhan bahkan dapat mematikan bakteri dengan cara mengganggu metabolismenya (PelcZar dan Chan, 1988).

Sifat antibakteri dapat berbeda satu sama lain, ada yang berspektrum luas (broad spectrum) bila menghambat atau membunuh bakteri Gram positif dan Gram negatif , berspektrum sempit (narrow spectrum) bila menghambat atau membunuh Gram positif atau Gram negatif saja, dan berspektrum terbatas (limited spectrum) jika efektif terhadap spesies bakteri tertentu (Djiwoseputro 1990).

Mekanisme kerja anti bakteri dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu dengan merusak dan menghambat sintesis dinding sel, mengubah permeabilitas sel, dan menghambat sintesis protein dan asam nukleat. Beberapa faktor dan keadaan yang dapat mempengaruhi kerja antibakteri antara lain konsentrasi antibakteri, spesies bakteri, jumlah bakteri, adanya bahan organik, pH lingkungan, dan suhu (Pelczar dan Chan 1988).

Pengujian Aktivitas Antibakteri

Pengujian atau penetapan aktivitas antibakteri atau antibiotik secara invitro menurut Wattimena (1991) dapat dikelompokkan menjadi metode difusi agar menggunakan cakram, silinder atau cekungan sebagai tempat antibiotik dan metode turbidimetri pada media cair (cara tabung). Pada metode difusi agar, substansi mikroba diletakkan pada media agar yang telah diinokulasi dengan bakteri uji sehingga antibakteri dalam media agar akan berdifusi dan akan membentuk zona bening di sekitar substansi yaitu zona pertumbuhan yang dihambat selama masa inkubasi. Penentuan aktivitas antibakteri juga dapat dilakukan dengan menentukan konsentrasi terendah yang menghambat pertumbuhan (Minimum Inhibitory Concentration) atau konsentrasi terendah yang mematikan kuman (Minimum Lethal Concentration)


(22)

Ekstrak akan menimbulkan gradien konsentrasi di dalam agar dan membentuk penghambatan yang akan terlihat sebagai zona bening jika memiliki sifat antimikroba. Batas dari zona bening adalah pada saat kekuatan ekstrak sudah jauh berkurang sehingga tidak lagi menghambat pertumbuhan bakteri uji. Zona bening yang terbentuk disebut juga diameter penghambatan. Diameter penghambatan yang terbentuk dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi ekstrak, tingkat kelarutan ekstrak, dan kemampuan ekstrak untuk berdifusi ke dalam agar (Prescott et al. 2003).

Penentuan daya antibakteri dapat dilakukan dengan menentukan adanya daya hambat pertumbuhan bakteri atau dilanjutkan dengan menentukan potensi daya hambat dengan membandingkan antibiotik atau dengan menentukan koefisien fenol (Estuningtyas et al. 2007). Pada penelitian ini menggunakan antibiotik kloramfenikol sebagai pembanding.

Gambar 3. Struktur kloramfenikol

Kloramfenikol mempunyai rumus kimia yang cukup sederhana yaitu 1-(p-nitrofenil)-2-dikloroasetamido-1,3-propandiol. Antibiotik ini bersifat unik di antara senyawa alam karena adanya gugus nitrobenzen dan antibiotik ini merupakan turunan asam dikloroasetat (Connors 1992). Kloramfenikol bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Kloramfenikol menghambat enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein kuman. Kloramfenikol menghambat sintesa protein pada ribosom 50S bakteri dengan cara mengganggu transfer asam amino pada bakteri.


(23)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Kimia Analitik Fakultas MIPA IPB, Laboratorium Bioteknologi Hewan Pusat Antar Universitas IPB, Pusat Studi Biofarmaka serta Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Serpong Tanggerang. Penelitian berlangsung dari bulan Januari hingga Agustus 2009.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan utama dalam penelitian ini adalah kulit kayu rambai (B. Motleyana) yang diperoleh dari Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat dengan diameter pohon sekitar 35 cm. Bahan kimia untuk ekstraksi, fitokimia, fraksinasi, kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis antara lain: etanol 70%, metanol 70%, n-heksan, etilasetat, aquadest, kloroform, amoniak, pereaksi Mayer, pereaksi Liebermann-Burchard, FECL3 dan natrium hidroklorida, lempeng silika gel GF254,

silika gel 60 F254 dan glass wool. Bahan untuk analisis antibakteri antara lain

media padat dengan komposisi: media agar (bacto tryptone 1%, yeast extract 0.5%, NaCl 1% dan agar 1.5%), media cair (bacto tryptone 1%, yeast extract 0.5%, NaCl 1%), klorampenikol, bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, dan Pseudomonas aeruginosa koleksi Laboratorium Bioteknologi Hewan Institut Pertanian Bogor.

Alat yang digunakan untuk preparasi sampel antara lain oven, hammer mill, saringan ukuran 40 dan 60 mesh, eksikator, pinggan porselin. Alat yang digunakan untuk ekstraksi dan fraksinasi antara lain bejana maserasi, kertas Whatman, alat-alat gelas, neraca analitik, refrigerator, rotary evaporator Buchi Switzerland B-490, shaker, dan freezedryer. Alat untuk uji antimikroba antara lain cork borer, mycrobiological safety cabinet, lemari pendingin, cawan petri, pipet pasteur, timbangan analitik, inkubator 370C, jarum ose, lampu spiritus dan shaker incubator, Coloumn Cromatography (CC). Untuk identifikasi senyawa aktif digunakan spektrofotometri FTIR, Liquid Cromatography Mass Spectroscopy (LC-MS) dan Nuclear Magnetic Resonance (NMR) JNM ECA 500.


(24)

Metode Penelitian

Metode penelitian meliputi beberapa kegiatan sebagai berikut : Persiapan bahan baku sebagai simplisia

Persiapan simplisia meliputi beberapa kegiatan, yaitu pengumpulan bahan baku, disortasi, pengeringan dan penggilingan kulit batang B.motleyana bagian dalam menjadi serbuk dengan ukuran 40-60 mesh.

Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan dengan mengeringkan pinggan porselin pada suhu 105±3oC selama 30 menit. Setelah didinginkan di dalam eksikator kemudian ditimbang. Serbuk kulit kayu sebanyak 3 gram dimasukkan ke dalam pinggan porselin kemudian dikeringkan dalam oven selama 3 jam pada suhu 105±3oC, didinginkan dalam eksikator kemudian ditimbang. Prosedur ini dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh bobot yang konstan. Kadar air diukur dengan cara berikut ini :

Bobot serbuk – bobot serbuk setelah dikeringkan

Kadar air (%) = x 100% Bobot serbuk

Ekstraksi

Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi menggunakan pelarut etanol dan air. Maserasi dengan pelarut etanol dilakukan pada suhu ruang selama 24 jam dengan pengadukan sesering mungkin. Perbandingan sampel dan etanol sebesar 1:3. Selanjutnya filtrat etanol dipisahkan dari residunya dengan cara penyaringan dilanjutkan dengan maserasi ulangan selama 4x24 jam. Filtrat dievaporasi dengan rotavapor pada suhu ±40oC sehingga diperoleh ekstrak pekat. Maserasi dengan air dilakukan dalam lemari pendingin (40C) selama 24 jam dan dilanjutkan dengan maserasi ulangan. Hasil maserasi disaring dan filtratnya dikeringbekukan dengan freezedryer. Masing-masing ekstrak ditimbang untuk mengetahui rendemennya, dan dilakukan uji fitokimia untuk mengetahui kandungan kimia utamanya (Harborne 1996). Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antibakteri terhadap masing-masing ekstrak.


(25)

Perhitungan rendemen :

Rumus perhitungan rendemen :

Bobot ekstrak (gram)

Rendemen (%) = x 100%

Bobot serbuk yang diekstrak (gram)

Pengujian Aktivitas Antibakteri

Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan secara in vitro terhadap bakteri S. aureus, S. epidermidis, dan P. Aeruginosa, yang meliputi penentuan zona hambat terhadap pertumbuhan bakteri dan penentuan nilai konsentrasi daya hambat minimum (MIC/ Minimum Inhibitory Concentration). Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan difusi sumur agar ini merupakan modifikasi dari cara yang dilakukan oleh Esimone et al. (1998). Pada pengujian aktivitas antibakteri dari ekstrak kulit batang rambai digunakan jenis antibiotik standar yang biasa digunakan dalam pengobatan sebagai kontrol positif, yaitu kloramfenikol.

a. Penentuan zona hambat

Sebanyak 20 l kultur bakteri ditanamkan ke dalam media cair 50 ml dan diinkubasi pada temperatur 370C selama 24 jam. Setelah itu dilihat pertumbuhannya dengan membaca tingkat kekeruhan kultur menggunakan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 595 nm. Tingkat kekeruhan yang diinginkan adalah OD (Optical density) 0.7 dengan jumlah bakteri sekitar 105 cfu/ml. Kultur bakteri yang telah dipersiapkan kemudian dipindahkan secara aseptik sebanyak 10 l ke dalam media agar sebanyak 20 ml dan dituang ke dalam cawan petri steril. Media dibiarkan memadat, kemudian dibuat lubang sumur dengan diameter 8 mm. Ekstrak kulit kayu sebanyak 60 l dimasukkan ke dalam sumur dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C (Lampiran 1). Pengamatan zona hambat dilakukan dengan mengukur diameter zona bening (milimeter) yang terbentuk disekitar sumur. Pengujian dilakuan tiga kali ulangan.


(26)

b. Penentuan Nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) .

Penentuan nilai MIC dilakukan seperti uji aktivitas antimikroba dengan metode difusi agar. Untuk mengetahui nilai MIC, ekstrak yang dimasukkan ke dalam sumur terdiri dari beberapa konsentrasi (25mg/ml – 225 mg/ml). Penghitungan nilai MIC yaitu dengan memplotkan antara konsentrasi ekstrak terhadap nilai kuadrat zona penghambatan. Nilai logaritma dari masing-masing konsentrasi akan dianggap sebagai nilai pada sumbu X dan besar diameter penghambatan yang diperoleh, dikuadratkan dan akan dianggap sebagai nilai pada sumbu Y. Kemudian ditentukan persamaan regresinya dan eksponensial pada nilai X tersebut. Nilai X kemudian disebut sebagai nilai Mt. Besarnya nilai MIC ditetapkan sebagai ¼ x Mt (Bloomfield 1991).

Uji fitokimia

a. Uji alkaloid : 1 gram ekstrak dilarutkan dalam 5ml kloroform dan beberapa tetes amoniak. Fraksi kloroform dipisahkan dan selanjutnya fraksi kloroform diasamkan dengan asam sulfat 2M, kemudian dikocok sehingga terbentuk dua lapisan. Lapisan asam sulfat diteteskan pada lempeng tetes dan ditambahkan pereaksi Dragendorf, Mayer dan Wagner yang akan menimbulkan endapan dengan warna berturut-turut merah jingga, putih dan coklat.

b. Uji terpenoid dan steroid : 1 gram ekstrak dilarutkan dalam 25 ml etanol panas (500C), kemudian disaring ke dalam pinggan porselin dan diuapkan sampai kering. Residu ditambahkan eter dan ekstrak eter dipindahkan ke dalam lempeng tetes, lalu ditambahkan 3 tetes anhidrida asetat dan satu tetes H2SO4 pekat (pereaksi Lieberman-Burchard). Warna merah atau ungu menunjukkan adanya terpenoid dan warna hijau atau biru menunjukkan adanya steroid.

c. Uji saponin : 1 gram ekstrak dilarutkan dalam 100 ml air dan dipanaskan selama 5 menit. Setelah itu ekstrak disaring dan filtrat digunakan untuk pengujian. Uji saponin dilakukan dengan pengucukan 10 ml filtrat dalam tabung reaksi tertutup selama 10 menit. Adanya saponin ditunjukkan dengan terbentuknya buih yang stabil selama 15 menit.


(27)

d. Uji tanin : 1 gram bubuk dilarutkan dalam 5 ml air, kemudian dididihkan selama beberapa menit, lalu disaring. Filtrat yang dihasilkan ditambahkan 5 tetes FECL3 1% (b/v). Timbulnya warna biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan adanya tanin.

e. Uji kuinon : 1 gram ekstrak ditambahkan 100 ml air, dididihkan selama 5 menit dan disaring.10 ml filtrat dtambahkan 5 tetes larutan natrium hidroklorida 1N. Apabila terbentuk warna merah menunjukkan adanya kuinon.

f. Uji flavonoid: 1 g ekstrak ditambah metanol sampai terendam lalu dipanaskan. Filtratnya ditambah H2SO4. Terbentuknya warna merah menunjukkan adanya senyawa flavonoid

Fraksinasi dan isolasi

Ekstrak terpilih (yang menunjukkan daya hambat paling tinggi) difraksinasi dengan berbagai pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda (metanol, etil asetat dan n-heksan). Fraksi yang memiliki daya hambat terhadap bakteri uji paling tinggi kemudian diisolasi dengan kromatografi kolom (KK).

Sebelum melakukan isolasi dengan KK terlebih dahulu dilakukan pencarian eluen terbaik menggunakan kombinasi eluen dengan tingkat kepolaran yang berbeda, sedangkan fraksi yang diperoleh ditotolkan pada plat kromatografi lapis tipis (KLT) dan dimasukkan pada cawan gelas, dilihat jumlah spotnya dibawah sinar UV 254 nm dan 366 nm. Selanjutnya digunakan kromatografi kolom untuk mengisolasi semua komponennya. Kolom dielusi dengan sistem pelarut yang tepat sesuai dengan analisis KLT. Sistem pelarut yang digunakan adalah gradien menggunakan kloroform,metanol, dan air. Fraksi yang keluar dari kolom ditampung dan dianalisis dengan KLT. Fraksi-fraksi dengan pola kromatogram yang serupa disatukan, diuapkan, dan dilanjutkan dengan uji antibakteri untuk memilih subfraksi yang paling aktif.

Identifikasi senyawa aktif

Identifikasi senyawa untuk fraksi terpilih hasil KLT preparatif dilakukan dengan menggunakan spektrofotometri FTIR, kromatogram LCMS dan NMR


(28)

sehingga dapat diketahui gugus fungsi, kelompok senyawa dan bobot molekulnya serta kemungkinan peluang ditemukan senyawa baru.

Keseluruhan tahapan penelitian dapat dilihat pada gambar 3.

Serbuk Kulit Batang

Rambai Penentuan kadar air - Maserasi dengan etanol 70% dan air - Disaring dan dipekatkan

Ekstrak air Ekstrak etanol

- Rendemen - Uji antibakteri* - Uji fitokimia Ekstrak terbaik

- Ekstrak terpilih difraksinasi (metanol, n-heksan dan etil asetat)

- Dipekatkan - Uji antibakteri*

Fraksi aktif

- CC, TLC - Uji antibakteri*

Sub fraksi aktif

- KLT preparatif - LC-MS dan H-NMR

Senyawa antibakteri

Keterangan : * diuji terhadap bakteri S.aureus, S.epidermidis, dan P.aeruginosa Gambar 3. Diagram alir penelitian.


(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penapisan Bahan Baku

Pohon rambai (Baccaurea motleyana) yang digunakan pada penelitian ini adalah pohon yang sudah pernah berbuah dengan diameter kurang lebih 35 cm sehingga diharapkan zat-zat yang terkandung dalam kulit batang telah terbentuk sempurna. Kulit batang rambai yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit batang bagian dalam (Lampiran 2).

Kulit batang tersebut dikumpulkan dan disortasi basah dengan cara membersihkan kulit batang dari kotoran atau bahan lain yang melekat pada kulit luarnya. Setelah itu kulit luar dikikis dan dicuci di bawah air mengalir sehingga diperoleh kulit batang bagian dalam yang bersih. Kulit batang kemudian dirajang untuk mempermudah proses pengeringan dan penggilingan. Kulit batang kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 50oC. Pengeringan dilakukan hingga kadar air kurang dari 10%. Pekerjaan ini maksudkan agar simplisia yang diperoleh tidak mudah rusak akibat dari mikroorganisme yang menyukai kondisi lembab. Kulit batang digiling menjadi serbuk dan disaring dengan ukuran 40-60 mesh. Ukuran partikel dari simplisia mempengaruhi kecepatan proses ekstraksi dan besarnya rendemen yang dihasilkan. Pengecilan ukuran sampel dimaksudkan untuk memperluas permukaan sampel sehingga semakin banyak yang terekstraksi.

Kadar Air

Kadar air merupakan parameter penting yang perlu diketahui sebelum melakukan isolasi lebih lanjut. Besarnya crude extract dan bioaktivitas dari senyawa hasil isolasi sangat ditentukan oleh kadar air awal dari simplisia. Pengukuran kadar air penting dilakukan sebagai koreksi hasil, karena contoh yang sama dengan kadar air yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda pula.

Rata-rata kadar air yang diperoleh dari serbuk kulit batang B.motleyana adalah 7.59%. Data selengkapnya diperlihatkan pada Lampiran 3. Pengukuran kadar air diperlukan untuk bahan simplisia nabati yang berhubungan dengan hilangnya H2O dari suatu bahan pada suhu 1050C. Kadar air yang tinggi


(30)

menyebabkan kerusakan simplisia. Dari hasil pengukuran kadar air tersebut memperlihatkan kadar air untuk kulit batang rambai kurang dari 10%.

Ekstraksi

Serbuk kulit batang rambai diekstraksi dengan cara maserasi. Cara maserasi dipilih untuk pemisahan senyawa-senyawa aktif berdasarkan pada penggunaan oleh masyarakat terhadap kulit batang rambai tidak dengan cara dipanaskan tetapi langsung diperas dan diteteskan setelah kulitnya diambil dari batang pohon. Selain itu, penggunaannya juga bertujuan untuk menghindari rusaknya senyawa-senyawa aktif dalam kulit batang yang tidak tahan dengan panas.

Maserasi terhadap kulit batang rambai dilakukan dengan pelarut air dan etanol 70%. Pemilihan pelarut air berdasarkan aplikasi pemanfaatan oleh masyarakat tradisional yang menggunakan air untuk mencuci kulit batang rambai sebelum dipakai sebagai obat, sedangkan pemilihan pelarut etanol karena etanol merupakan pelarut serbaguna yang baik untuk ekstraksi pendahuluan, juga karena etanol merupakan pelarut semipolar sehingga diharapkan senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran yang berbeda akan terekstrak ke dalam etanol. Hal ini didukung oleh pernyataan Vilegs (1997) bahwa skreening awal dari tanaman untuk menunjukkan adanya aktivitas antimikrobial yang khas dimulai dengan mempergunakan ekstrak air atau ekstraksi dengan alkohol dan dapat diikuti oleh berbagai cara ekstraksi organik.

Hasil pengukuran rendemen terhadap ekstrak etanol dan air menunjukkan bahwa maserasi menggunakan pelarut air menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan maserasi menggunakan pelarut etanol (Gambar 4). Gambar 4 menunjukkan rendemen yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut air hampir empat kali lebih banyak dibandingkan ekstraksi dengan pelarut etanol. Hal ini diduga bahwa kulit kayu rambai lebih banyak mengandung senyawa yang bersifat polar dibandingkan semipolar dan nonpolar. Data selengkapnya diperlihatkan pada Lampiran 3.


(31)

9.39

2.72

0 2 4 6 8 10

re

n

d

e

m

e

n

(

%

)

air etanol

ekstrak

air etanol

Gambar 4. Rata-rata rendemen ekstrak air dan etanol.

Uji Fitokimia

Uji fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada suatu tanaman. Pengujian ini sangat berguna untuk menentukan golongan utama dari senyawa aktif dari ekstrak kulit batang rambai yang memiliki aktivitas antibakteri. Proses ekstraksi menggunakan pelarut yang memiliki kepolaran yang berbeda akan mengekstrak senyawa yang berbeda juga. Tabel 2 menunjukkan bahwa ekstrak etanol lebih banyak mengandung senyawa metabolit sekunder dibandingkan ekstrak air dari segi jenis. Hal ini dapat disebabkan karena etanol merupakan pelarut yang memiliki kemampuan melarutkan senyawa-senyawa polar dan semipolar.

Tabel 2 Hasil analisis fitokimia ekstrak etanol dan air B.motleyana Jenis

Ekstrak

Senyawa metabolit sekunder

Tanin Saponin Steroid Terpenoid Alkaloid Flavonoid Hidrokuinon

Ekstrak etanol

- ++ - + - ++ -

Ekstrak air

- +++ - - - ++ -

Keterangan : (-) = tidak terdeteksi (++) = positif (+) = positif lemah (+++) = positif kuat

Senyawa metabolit sekunder seperti saponin dan flavonoid sama-sama hadir dalam ekstrak air dan ekstrak etanol karena kedua senyawa tersebut bersifat polar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sjostrom (1998) bahwa bagian hidrofil


(32)

dari ekstraktif kulit kayu mengandung konstituen-konstituen yang dapat diekstraksi hanya dengan air atau pelarut-pelarut organik polar.

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kasar

Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak air kulit batang rambai dilakukan terhadap dua bakteri Gram positif (S.aureus dan S.epidermidis) dan satu bakteri Gram negatif (P.aeruginosa). Hasil pengukuran zona hambat ekstrak air, ekstrak etanol, kloramfenikol dan pelarut pada Gambar 5 menunjukkan bahwa ekstrak yang diuji pada umumya membentuk zona hambat dengan daya hambat bervariasi terhadap semua bakteri uji, kecuali untuk ekstrak etanol tidak menunjukkan zona hambat terhadap bakteri uji S.epidermidis.

2.17 8.67 25.8 0 0 4.10 17.5 0 3.17 8.23 21.2 0 0 5 10 15 20 25 30 z o n a h a m b a t (m m ) S.aure us S.epid ermidis P.aeru ginosa

ekstrak etanol 50mg/ml ekstrak air 50mg/ml kloramfenikol 5mg/ml kontrol negatif

Gambar 5 Rata-rata diameter zona hambat ekstrak etanol dan ekstrak air. Nilai area penghambatan tertinggi pada konsentrasi ekstrak sebesar 50 mg/ml ditunjukkan oleh ekstrak air kulit kayu rambai dengan zona hambat untuk ketiga bakteri uji antara 4.10 – 8.67 mm. Diameter zona hambat pertumbuhan bakteri oleh ekstrak kulit kayu rambai disajikan pada lampiran 4. Tingginya zona hambat pada ekstrak air kulit kayu rambai menunjukkan bahwa ekstrak air memiliki kepolaran senyawa antibakteri yang lebih tinggi daripada ekstrak etanol, memiliki spektrum luas karena dapat menghambat bakteri uji Gram positif dan Gram negatif, serta dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji secara lebih efektif daripada kerja ekstrak etanol.


(33)

Beberapa penelitian melaporkan bahwa ekstrak air memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik dibandingkan pelarut organik lainnya. Hasil penelitian Safithri (2004) menunjukkan bahwa ekstrak air bawang putih memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik dari ekstrak etanol terhadap bakteri Staphyloccus aureus dan Eschericia coli. Penelitian terhadap Mimusops elengi Linn dan Commiphora wightii (Arn) menunjukkan bahwa ekstrak air memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri S.aureus, A.fecalis, dan B.cereus lebih tinggi daripada ekstrak etanol (Nair dan Chanda 2007).

Kontrol positif yang digunakan yaitu kloramfenikol karena berspektrum luas, bersifat bakteriostatik terhadap beberapa spesies dan pada keadaan tertentu bekerja sebagai bakterisida. Kloramfenikol merupakan antibiotik yang telah teruji sebagai senyawa antimikroba yang kuat sehingga perbandingan ini bertujuan untuk mengukur potensi aktivitas antimikroba kulit kayu rambai. Secara umum antibiotik kloramfenikol sebagai pembanding dalam penelitian ini dapat menghambat bakteri S.aureus, S.epidermidis dan P.aeruginosa. Pada konsentrasi 5mg/ml, kloramfenikol mampu menghambat pertumbuhan bakteri S.aureus, S.epidermidis dan P.aeruginosa. Pada konsentrasi yang lebih besar dibandingkan dengan kloramfenikol, ekstrak kulit kayu rambai memiliki diameter penghambatan yang jauh lebih kecil. Hal ini dapat disebabkan ekstrak air dari kulit kayu rambai merupakan ekstrak kasar yang masih mengandung bahan organik lain selain senyawa yang bersifat antibakteri.

Pengujian antibakteri juga dilakukan terhadap pelarut ekstrak yang bertujuan untuk mengetahui apakah pelarut tersebut juga memiliki aktivitas antibakteri. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pelarut ekstrak yang digunakan dalam penelitian ini tidak menunjukkan aktivitas antibakteri. Hal ini menunjukkan bahwa bahan pelarut tidak memberi konstribusi terhadap aktivitas antibakteri ekstrak kulit kayu rambai.

Diameter penghambatan yang terbentuk dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi ekstrak, tingkat kelarutan ekstrak, dan kemampuan ekstrak untuk berdifusi ke dalam agar (Prescott et al. 2003). Pengujian untuk kedua ekstrak dilakukan menggunakan jenis dan jumlah mikroba, medium dan prosedur pengujian yang sama. Karena itu, perbedaan hasil uji yang diperoleh karena


(34)

adanya perbedaan jenis dan konsentrasi komponen aktif ekstrak. Diduga komponen kimia yang terekstrak dalam etanol kurang hidrofilik sehingga kecepatan berdifusi menjadi lebih lambat dibandingkan ekstrak air dan menyebabkan diameter penghambatannya menjadi lebih kecil.

Berdasarkan hasil uji fitokimia, ekstrak air kulit kayu rambai mengandung kelompok senyawa saponin dan flavonoid. Senyawa dari golongan saponin dan flavonoid banyak dilaporkan sebagai senyawa antibakteri. Penelitian Rokhman (2007) terhadap bunga teleng (Clitoria ternatea L.) mengandung senyawa golongan flavonoid yakni flavonol glikosida yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap S.aureus, B.subtitulis. E.coli dan P.aeruginosa. Penelitian Nair dan Chanda (2007) terhadap Emblica officinalis mengandung senyawa flavonoid terbukti memiliki aktivitas antibakteri terhadap S.aureus, B.cereus, A.faecalis dan S.typhimurium. Ekstrak kloroform, aseton, etanol dan methanol dari kulit batang tanaman Enantia polycarpa juga mengandung senyawa saponin yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap S.aureus, B.subtitulis, dan K.pneumoniae.

Fraksinasi dan Aktivitas Antibakteri Fraksi-fraksi

Hasil pengujian aktivitas antibakteri terhadap ekstrak air dan etanol menunjukkan aktivitas paling tinggi adalah ekstrak air yang menghasilkan zona hambat paling besar terhadap bakteri S.aureus, S.epidermidis dan P.aeruginosa. Dengan alasan tersebut ekstrak air kulit batang rambai dipilih untuk fraksinasi lebih lanjut. Ekstrak air (R-1) kemudian difraksinasi dengan pelarut yang berbeda tingkat kepolarannya dengan tujuan untuk memisahkan senyawa antibakteri secara lebih spesifik berdasarkan polaritasnya. Ekstrak R-1 ditambahkan pelarut methanol 70% untuk mendapatkan fraksi yang lebih rendah kepolarannya. Selanjutnya fraksi yang larut dalam methanol (R-2) dan fraksi yang tidak larut

methanol (R-3) masing-masing diuji terhadap S.aureus, S.epidermidis dan

P.aeruginosa untuk melihat besar zona hambat yang terbentuk dari kedua fraksi

tersebut. Fraksi yang memiliki zona hambat paling besar untuk ketiga jenis bakteri

uji adalah fraksi R-3. Langkah selanjutnya adalah menambahkan pelarut n-heksan

dan etil asetat masing-masing terhadap fraksi R-3 sehingga diperoleh fraksi heksan (R-4), fraksi yang tidak larut heksan (R-5), fraksi etil asetat (R-6), dan fraksi tidak larut etil asetat (R-7). Aktivitas antibakteri terhadap tiga jenis bakteri


(35)

dari fraksi-fraksi tersebut menunjukkan bahwa zona hambat paling besar dihasilkan oleh fraksi R-5 (Gambar 6).

Serbuk kulit batang rambai

Ekstraksi dengan aquades dengan maserasi

Residu Ekstrak air (R-1*)

metanol 70%

Fraksi tidak Fraksi methanol R-2

larut methanol (R-3*)

Fraksi R-3 Fraksi R-3

heksan etil asetat

Fraksi heksan R-4 Fraksi tidak Fraksi etilasetat Fraksi tidak larut heksan (R-5*) R-6 larut etilasetat

R-7 kromatografi kolom

A B C D E F*

Keterangan: * Paling aktif terhadap bakteri S.aureus, S.epidermidis, dan P.aeruginosa

Gambar 6 Ekstraksi air dan fraksinasi dengan berbagai pelarut dari serbuk kulit kayu rambai (Baccaurea motleyana).

Besar diameter zona hambat fraksi methanol (R-2) dan fraksi tidak larut methanol (R-3) terhadap pertumbuhan S.aureus, S.epidermidis, dan P.aeruginosa dapat dilihat pada gambar 7.


(36)

2.83 10.05 0.67 5.66 1.10 7.26 0 2 4 6 8 10 12 Zo na h a m ba t (m m )

S.aureus S.epidermidis P.aeruginosa

R-2 R-3

Gambar 7 Rata-rata zona hambat fraksi methanol (R-2) dan fraksi tidak larut metanol (R-3).

Gambar 7 menunjukkan bahwa fraksi R-3 memiliki spektrum luas karena dapat menghambat semua bakteri uji. Zona hambat fraksi tidak larut metanol (R-3) lebih besar daripada fraksi metanol (R-2) walaupun metanol juga termasuk pelarut polar. Nilai kepolaran metanol (0.73) lebih rendah daripada kepolaran air (0.90). Dapat disimpulkan bahwa kepolaran senyawa antibakteri kulit kayu rambai lebih tinggi daripada kepolaran senyawa yang larut dalam metanol.

0 7.92 0.00 6.16 0 5.71 0.98 5.18 0 7.37 1.65 6.89 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Z o n a h a m b a t (m m )

S.aureus S.epidermidis P.aeruginosa

R-4 R-5 R-6 R-7

Gambar 8 Rata-rata zona hambat fraksi heksan (R-4), fraksi tidak larut heksan (R-5), fraksi etil asetat (R-6), dan fraksi tidak larut etil asetat (R-7).

Gambar 8 menunjukkan bahwa fraksi aktif yang ditunjukkan oleh zona hambat paling besar adalah fraksi R-5. Hal ini berarti semua bakteri uji lebih sensitif terhadap fraksi R-5. Fraksi n-heksan tidak menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap ketiga jenis bakteri.


(37)

Hasil penelitian Moshi dan Mbwambo (2005) pada ekstrak heksan dari akar tanaman Terminalia sericea menunjukkan tidak ada penghambatan pertumbuhan terhadap bakteri S. aureus dan E. coli. Hasil penelitian Diba (2006) juga menunjukkan bahwa ekstrak heksan dari sekresi pertahanan rayap tidak menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap S. aureus dan B. subtitulis. Ketidakefektifan ekstrak heksan dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji diduga disebabkan oleh sifat heksan yang sangat tidak polar sehingga hanya sedikit komponen antimikroba yang dapat larut di dalamnya.

Fraksi etil asetat menunjukkan aktivitas antibakteri yang lemah dan hanya efektif terhadap bakteri S.epidermidis dan P.aeruginosa, sedangkan fraksi tidak larut etil asetat (R-7) menunjukkan zona hambat yang lebih rendah daripada fraksi tidak larut heksan (R-5). Hal ini diduga senyawa antibakteri yang tidak larut dalam n-heksan lebih tinggi kandungan dan kepolarannya dibandingkan senyawa yang tidak larut dalam etil asetat.

Harapan untuk memperoleh senyawa baru dari tanaman rambai merupakan dasar dilakukan proses isolasi dengan cara kromatografi kolom (KK). Pemisahan lebih lanjut dilakukan terhadap fraksi R-5 dengan kromatografi kolom. Hasil analisis KLT analitik menunjukkan bahwa eluen kloroform:metanol:air (13:7:2) memberikan pemisahan yang cukup baik. Pada eluen tersebut diperoleh 3 spot setelah dilihat di bawah detektor ultraviolet pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Kromatografi kolom fraksi R-5 dilakukan dengan berbagai eluen yang kepolarannya ditingkatkan secara bertahap (sistem elusi gradien). Sistem elusi gradien dilakukan agar senyawa-senyawa terpisah berdasarkan derajat kepolarannya. Hasil kromatografi kolom menggunakan pelarut-pelarut kloroform, metanol dan air sebanyak 156 vial. Berdasarkan kemiripan nilai Rf (Retardation factor), diperoleh fraksi gabungan sebanyak 6 fraksi (Tabel 3). Fraksi-fraksi yang diperoleh selanjutnya diuji aktivitasnya terhadap ketiga bakteri uji untuk mengetahui besar zona hambat yang dihasilkan (Gambar 9).

Diameter zona hambat ekstrak dan fraksi B. motleyana terhadap bakteri uji dapat dilihat pada Lampiran 4.


(38)

Tabel 3 Nilai Rf fraksi gabungan hasil kromatografi kolom

Fraksi Eluen No.Vial Rf Bobot

(gram) Rende men % A B C D E F K K:M (9:1-3:7) M M:A(9:1-8:2) M:A(7:3-5:5) M:A(3:7-1:9) 1-19 20-23 24-60 61-68 69-120 121-156 0.7059:0.7529

0.5647; 0.8235; 0.9412; 0.600; 0.8706

0.6588; 0.6706; 0.7176

0.6706; 0.6588; 0.9059; 0.9529 0.6588; 0.6823; 0.6941; 0.7059; 0.8823

0.7529; 0.7294; 0.7059

0.0640 0.1164 0.1733 0.0721 0.4551 0.5894 3.05 5.55 8.26 3.44 21.69 28.09 4.50 2.77 7.50 9.67 4.07 2.07 7.27 8.17 4.43 1.90 6.93 8.77 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 d ia m e te r z o n a h a m b a t (m m )

S.aureus S.epidermidis P.aeruginosa

A B C D E F

Gambar 9 Rata-rata zona hambat fraksi-fraksi gabungan A, B, C, D, E, dan F. dari fraksi tidak larut heksan (R-5)

Kadar Hambat Tumbuh Minimum (Minimum Inhibitory Concentration

/MIC)

MIC adalah konsentrasi minimum yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri selama masa inkubasi. Konsentrasi ekstrak yang diuji sebesar 25 mg/ml, 75 mg/ml, 125 mg/ml, 175 mg/ml, dan 225 mg/ml. Hasil pengujian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak, semakin besar zona hambat terhadap pertumbuhan bakteri (Lampiran 5). Hal ini karena kandungan senyawa antibakteri di dalam ekstrak semakin banyak sehingga kemampuan berpenetrasi ke dalam sel bakteri semakin besar. Hasil pengujian aktivitas antibakteri terhadap ekstrak air dan etanol menunjukkan aktivitas paling tinggi adalah ekstrak air yang menghasilkan zona hambat paling besar terhadap bakteri S.aureus, S.epidermidis


(39)

dan P.aeruginosa. Dengan alasan tersebut ekstrak air kulit batang rambai dipilih untuk pengujian lanjut penentuan Minimum Inhibitory Concentration (Tabel 4).

Tabel 4 Nilai MIC (mg/ml) ekstrak kasar dan fraksi dari kulit batang B.motleyana

Macam ekstrak/fraksi

Jenis Bakteri

S.aureus S.epidermidis P.aeruginosa

R-1 R-3 R-5 R-5F Kloramfenikol

5.40 4.09 3.77 0.82 0.028

6.82 6.72 4.56 0.66 0.038

5.48 4.22 3.91 0.85 0.027

Keterangan : R-1 : Ekstrak air

R-3 : Fraksi tidak larut methanol R-5 : Fraksi tidak larut heksan

R-5F : Fraksi gabungan kelompok F dari fraksi R-5 Nilai MIC pada tabel 4 menunjukkan terjadinya penurunan nilai MIC dari ekstrak air hingga fraksinasi. Nilai MIC ekstrak kasar R-1 dibandingkan dengan subfraksi R-5F menurun hampir tujuh kali lipat. Hal ini berarti fraksinasi dan isolasi dari ekstrak kasar dapat memisahkan senyawa antibakteri secara lebih spesifik berdasarkan kepolarannya sehingga aktivitas daya hambatnya juga semakin meningkat. Penelitian Matsushita et al.(2006) terhadap kayu sugi (Cryptomeria japonica) juga menunjukkan bahwa fraksinasi dari ekstrak metanol dengan berbagai pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda menghasilkan penurunan nilai MIC.

Nilai MIC antimikroba berlawanan dengan sensitivitas mikroba yang diuji. Hal ini berarti bahwa suatu bakteri dikatakan memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap suatu senyawa antimikroba bila memiliki nilai MIC yang rendah. Fraksinasi terhadap ekstrak air kulit kayu rambai menunjukkan nilai MIC yang semakin menurun berarti tingkat sensitivitas ketiga bakteri uji semakin meningkat. Nilai MIC subfraksi R-5F pada Tabel 4 masih lebih tinggi dibandingkan dengan antibiotik kloramfenikol. Hal ini menunjukkan bahwa hasil fraksinasi masih memiliki bahan-bahan pengotor yang dapat mempengaruhi aktivitas daya hambat terhadap ketiga bakteri uji. Kloramfenikol merupakan zat antibakteri murni, sehingga dalam konsentrasi kecil dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan kekuatan tinggi.


(40)

Ekstrak air (R-1) kulit kayu rambai memiliki nilai MIC lebih rendah dibandingkan filtrat bunga teleng (Clitoria ternatea L.). Nilai MIC bunga teleng terhadap bakteri S.aureus sebesar 125 mg/mL, B.subtitulis. E.coli dan P.aeruginosa sebesar 50 mg/mL (Rokhman 2007). Selain itu, tumbuhan lainnya yang berkhasiat sebagai pembersih mata yaitu ekstrak methanol dari daun Tithonia diversifolia memiliki nilai MIC terhadap S.aureus dan P.aeruginosa pada uji difusi agar masing-masing sebesar 6.25 mg/mL dan >25 mg/mL (Ogundare 2007). Nilai MIC tersebut lebih tinggi dibandingkan nilai MIC ekstrak air kulit kayu rambai untuk bakteri S.aureus dan P.aeruginosa. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak air kulit kayu rambai secara ilmiah memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik dibandingkan tanaman lain yang memiiki khasiat yang sama dan efektif memulihkan penyakit mata seperti yang selama ini telah dilakukan masyarakat tradisional.

Nilai MIC kulit kayu rambai, filtrat bunga teleng, Tithonia diversifolia dan ekstrak tumbuhan dari beberapa famili Euphorbiaceae disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Nilai MIC ekstrak air kulit kayu rambai (Baccaurea motleyana) serta

perbandingannya terhadap filtrat bunga teleng dan famili Euphorbiaceae lainnya

Jenis Tumbuhan MIC (mg/ml) Peneliti

S.aureus S.epider

midis

P.aeruginosa

Ekstrak air (Baccaurea motleyana)

6.38 12.54 5.82 Hasil penelitian 20091

Filtrat bunga teleng (Clitoria ternatea L.)

125 --- 50 Rokhman F. 2007* Ekstrak methanol

Tithonia diversifolia

6.25 --- >25 Ogundare AO. 2007

Ekstrak methanol Phyllanthus amarus

4 1 8 Klaucek et

al.20052 Ekstrak etanol

Euphorbia hirta

22.55 --- 57.64 Ogueke et al.20072 Ekstrak air daun dan

batang Antidesma madagascariensis

4 --- 8 Fakim AG. Et

al. 2005* Ekstrak chloroform

dan methanol daun Jatropha gossypifolia

6.25 dan 3.125

--- 6.25 Ogundare AO. 20072

Keterangan : 1 : 105cfu/ml


(41)

Kerja antibakteri dipengaruhi oleh lingkungannya antara lain konsentrasi zat antibakteri, spesies antibakteri, dan pH. Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antibakteri, bakteri S.aureus (Gram positif) cenderung lebih sensitif terhadap komponen antibakteri dibandingkan dengan P.aeruginosa (Gram negatif). Hal ini ditunjukkan dengan besarnya zona hambat yang dibentuk oleh ekstrak dan fraksi terhadap S.aureus. Penelitian yang dilakukan oleh Ajaiyeoba (2006), Ogueke et al. (2007), Rokhman (2007), Chanda dan Nair (2007), dan Reuben et al. (2008) juga menunjukkan bahwa bakteri S.aureus lebih sensitif dibandingkan dengan P.aeruginosa.

Perbedaan sensitivitas antara bakteri Gram positif dan Gram negatif diduga berasal dari perbedaan morphologi struktur antara keduanya (Gambar 10).. Dinding sel bakteri Gram positif berlapis tunggal yang relatif sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri masuk ke dalam sel dan menemukan sasarannya untuk bekerja. Bakteri Gram negatif memiliki struktur dinding sel relatif lebih komplek dan berlapis tiga, yaitu lapisan luar berupa lipoprotein, lapisan tengah berupa polisakarida dan lapisan dalam peptidoglikan (Pelczar dan Chan, 1986).

Gambar 10 Struktur anatomi bakteri gram positif dan gram negatif. (Sumber: http://google/bacteri/picture)


(42)

Menurut Hodges (2002), bakteri Gram negatif memiliki membran phospholipid bagian luar yang menjaga struktur komponen lipopolisakarida sehingga dinding sel menjadi impermeable terhadap senyawa antimikroba. Di sisi lain, bakteri Gram positif hanya memiliki lapisan peptidoglikan luar yang tidak efektif menahan permeabilitas. Oleh karena itu, dinding sel pada bakteri Gram negatif yang lebih komplek salah satunya bertindak sebagai penghalang terjadinya difusi dan membuatnya kurang sensitif terhadap senyawa antimikroba dibandingkan dengan bakteri Gram positif.

Identifikasi Senyawa

Identifikasi senyawa untuk fraksi terpilih hasil KLT preparatif meliputi spektrofotometri FT-IR, LC-MS dan NMR. Spektrofotometri FT-IR terhadap subfraksi F menunjukkan beberapa gugus fungsi (Gambar 11).

T r a n s m i t a n (%) 800 1000 1200 1400 1600 1 800 2000 2400 2800 3200 3600 4000 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 %T 3 5 8 1 .8 1 3 5 5 6 .7 4 3 5 2 3 .9 5 3 3 5 4 .2 1 3 1 6 7 .1 2 3 1 1 1 .1 8 3 0 7 6 .4 6 3 0 0 3 .1 7 2 8 9 3 .2 2 2 8 0 4 .5 0 2 3 0 6 .8 6 2 2 6 8 .2 9 1 6 7 6 .1 4 1 6 4 1 .4 2 1 5 7 1 .9 9 1 5 4 6 .9 1 1 5 3 1 .4 8 1 4 5 2 .4 0 1 3 8 6 .8 2 1 2 4 2 .1 6 1 1 8 4 .2 9 1 1 3 6 .0

7 1074

.3 5 9 7 2 .1 2 9 4 7 .0 5 8 5 6 .3 9 8 3 7 .1 1 7 5 9 .9 5 7 4 6 .4 5 6 7 7 .0 1 F -R

Bilangan gelombang (cm-1)

Gambar 11 Spektrum IR dari subfraksi R-5F

O-H

C=O

C-C C-H


(43)

Spektrum FTIR dari ekstrak kulit kayu rambai Subfraksi F pada Tabel 6 menunjukkan adanya pita serapan pada bilangan gelombang. Hasil FT-IR terhadap subfraksi R-5F menunjukkan ada serapan yang dihasilkan pada bilangan gelombang 2893.22 – 3076.46 cm-1, 3167.12 cm-1, 1676.14 cm-1, 1531.48 – 1571.99 cm-1, 1386.82 cm-1. Serapan yang dihasilkan pada 2893.22 – 3076.46 cm-1 menunjukkan adanya gugus C – H, serapan pada 3167.12 cm-1 menunjukkan adanya gugus O – H, serapan pada 1676.14 cm-1menunjukkan keberadaan gugus karbonil C = O. Adanya gugus C-C pada serapan 1531.48 – 1571.99 cm-1 dan gugus C – O ditunjukkan pada serapan 1386.82 cm-1. Gugus-gugus fungsi pada hasil FTIR ini menegaskan bahwa senyawa tersebut merupakan golongan saponin. Hasil kromatogram LC-MS dengan eluen metanol:air (3:7) memiliki puncak kromatogram pada LC seperti terlihat pada Gambar 12. Terdapat tiga puncak dengan beberapa bobot molekul (BM) 178.72 - 471.21. Puncak dengan waktu retensi 1.13; 1.44; 6.81 memiliki bobot molekul BM 202.85; 220.86; 236.89 dan 471.21. Isolat mengandung glukosa dimana pada BM 471.21 dan 202.8 - 236.89 merupakan monosakarida yang kemungkinan adalah pecahan molekul-molekul.

0 4 8 12 16 20

Retention Time (Min)

7.1E+4

50 60 70 80 90 100

%

I

n

te

n

s

it

y

TIC=>NR(2.00)

T1.1

T1.4

T6.8

Waktu retensi (menit)


(44)

Spektrum NMR proton dari subfraksi R-5F menunjukkan bahwa senyawa yang diidentifikasi masih mengandung pengotor. Terbentuknya beberapa puncak menunjukkan bahwa subfraksi F tersebut masih belum murni. Munculnya puncak-puncak pada pergeseran 3 – 4 ppm sebagai pergeseran proton dari daerah glukosida yaitu pada pergeseran 3.4 ppm; 3.8 ppm dan 3.9 ppm (doublet). Spektrum resonansi magnetik inti proton disajikan pada Lampiran 7. Puncak-puncak pada pergeseran 1 – 2 ppm sebagai pergeseran proton dari aglikon dan merupakan rantai siklik (rantai pendek) dan pergeseran 3 – 5 ppm merupakan ikatan glikosida.

Identifikasi dengan FTIR, LCMS dan NMR menunjukkan bahwa hasil identifikasi kualitatif menunjukkan adanya saponin, sehingga dari isolasi yang dilakukan diduga senyawa aktif adalah saponin yang diidentifikasi melalui keberadaan aglikonnya. Adanya ikatan glikosida juga ditunjukkan oleh ekstrak bunga teleng (Clitoria ternatea L.). Selain senyawa saponin, kandungan glukosida pada ekstrak kulit kayu rambai juga ditemukan pada ekstrak keben (Radix vitae). Kedua tanaman ini juga memiliki kashiat sebagai obat mata.

Saponin mengandung gugus gula terutama glukosa, galaktosa, xylosa, rhamnosa atau methilpentosa yang berikatan dengan suatu aglikon. Struktur saponin yang sangat komplek terjadi akibat bervariasinya struktur aglikon, sifat dasar rantai dan posisi penempelan gugus gula pada aglikon (Suparjo 2008).


(45)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Ekstrak kulit kayu rambai yang larut dalam etanol sebesar 2.72% dan yang larut dalam air sebesar 9.39%.

2. Ekstrak air termasuk senyawa antibakteri yang berspektrum luas karena memiliki kemampuan menghambat bakteri Gram positif (S. aureus, S. epidermidis) dan Gram negatif (Pseudomonas aeruginosa). Ekstrak air kulit kayu rambai menunjukkan aktivitas antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak etanol terhadap Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, dan Staphylococcus epidermidis dengan zona hambat masing-masing sebesar 8.67 mm, 8.23 mm dan 4.10 mm

3. Fraksinasi dan isolasi terhadap ekstrak air dapat menurunkan nilai MIC dan meningkatkan sensitivitas bakteri terhadap fraksi-fraksi tersebut. Nilai konsentrasi hambat tumbuh minimum (MIC) ekstrak dan fraksi aktif adalah sebagai berikut : ekstrak air 5.40-6.82 mg/ml, fraksi tidak larut metanol 4.09 - 6.72 mg/ml, fraksi tidak larut heksan 3.77 - 4.56 mg/ml, dan fraksi gabungan (F) 0.39 - 0.61 mg/ml.

4. Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak air kulit kayu rambai dan subfraksi R-5F menunjukkan ekstrak dan subfraksi ini positif mengandung saponin .

5. Hasil elusidasi dengan FTIR, LCMS dan NMR+H menunjukkan senyawa aktif yang berpotensi sebagai antibakteri adalah aglikon dari senyawa saponin.

Saran

Perlu dilakukan tahapan pemurnian lebih lanjut untuk mendapatkan senyawa yang lebih murni agar dapat ditemukan struktur senyawa yang tepat .


(46)

DAFTAR PUSTAKA

Ajaiyeoba EO, Fadare DA. 2006. Antimicrobial potential of extracts and fraction of the african walnut-Tetracarpidium conophorum. African Journal of Biotechnology Vol.5(22): 2322-2325.

Anonim. 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No 35/Menhut II/2007: tentang Hasil Hutan Bukan Kayu.

Anonim. 2008a. Baccaurea racemosa Muell.Arg. http://www. iptek.apjii.or.id/artikel/ttg_tanaman_obat/depkes/buku2/2-035. pdf [13 September 2008].

Anonim. 2008b. Philippine Medicinal Plants: Sapan (Caesalpinia sappan). http:// www. stuartxchange.org/sappan.html [5 November 2008].

Anonim. 2008c. Baccaurea motleyana (Muell.Arg) florataxon. Html. http://www.efloras.org [13 September 2008].

Bloomfield SF. 1991. Methods for assesing antimicrobial activity. Di dalam Denyer SP dan WB, Hugo (eds.). Mechanism of Action of Chemical Biocides their Study and Exploitation. London: Blackwell Scientific Publication.

Bucharan RE, Gibbons NE. 1974. Burgeys Manual of Determinative Bacteriology. 8th ed. Baltimore: Willian and Wilkins.

Cole B. 2009. Extractive Component of Wood. www.chemistry. umeche. Maine. Edu/Green/Afternoon/Cole%20Extractive%20.html [17 Juli 2009].

Connors KA. 1992. Stabilitas Kimiawi Sediaan Farmasi, Jilid I. Penterjemah: Drs. Didik Gunawan. Semarang: IKIP Press.

Cummins CS. 1990. Bacterial Cell Wall Structure. In O’leary WM (editor) Practical Handbook of Microbiology. CRC Press: Boca Raton. Ann Arbor. Boston.

Darmawan A, Artanti N, Puspa Dewi NL, Hanafi M, Kardono LBS. 2002. Evaluasi antioksidan ekstrak ranting taxus sumatrana. Seminar Tantangan Penelitian Kimia Dalam Era Biologi dan Era Super Informasi, 17 September 2002, Gd. Widya Grha - LIPI

[Deptan] Departemen Pertanian. 2006. Keputusan Menteri Pertanian No. 511/kpts/PD.310/9/2006 tentang Jenis komoditi Tanaman Binaan. Dirjen Perkebunan, Dirjen Tanaman Pangan, Dirjen Hortikultura. Jakarta: Deptan.


(1)

(2)

Lampiran 1 Diagram alir uji difusi sumur

Kultur mikroba yang telah disegarkan

Diambil sejumlah 20 µl

Dimasukkan ke dalam botol berisi 25 ml NA cair steril

Dituang ke dalam cawan petri steril

Dibiarkan membeku dan dibuat lubang/sumur

Dimasukkan 60 µl ekstrak ke dalam sumur

Diinkubasi pada suhu 370C selama 24 jam

Diamati dan diukur diameter penghambatan tiap sumur


(3)

Lampiran 2 Simplisia dan ekstrak kulit kayu rambai (Baccaurea motleyana

Muell.Arg)

a b c

d e

Keterangan :

a : Kulit kayu rambai

b : Kulit kayu bagian dalam setelah dibersihkan c : Kulit kayu yag telah dirajang dan dikeringkan d : Serbuk kulit kayu ukuran 40-60 mesh

e : Ekstrak air f : Ekstrak etanol


(4)

Lampiran 3 Kadar air serbuk dan rendemen ekstrak kulit kayu rambai

Nilai kadar air serbuk kulit kayu rambai Ulangan Bobot

cawan kosong (g) Bobot sampel awal (g) Bobot cawan+sampel kering (g) Kadar air (%) 1 2 3 24.2310 24.0848 24.0941 5.0103 5.0127 5.0023 28.8595 28.7196 28.7145 7.62 7.54 7.63

Rata-rata 7.59

Nilai rendemen ekstrak etanol Ulangan Bobot

sample (g) Bobot labu vial kosong (g) Bobot labu + ekstrak

(g) Bobot ekstrak (g) Rendemen (%) 1 2 3 100.0012 100.0005 100.0009 37.8993 37.8362 37.7976 40.7470 40.4980 40.4571 2.8477 2.6618 2.6595 2.8477 2.6618 2.6595

Rata-rata 2.723

Nilai rendemen ekstrak air Ulangan Bobot

sample (g) Bobot labu kosong (g) Bobot labu + ekstrak

(g) Bobot ekstrak (g) Rendemen (%) 1 2 3 100.0010 100.0017 100.0013 168.7145 175.1304 197.0639 173.4918 179.9736 201.5282 9.5546 9.6864 8.9286 9.55 9.69 8.93


(5)

Lampiran 4 Diameter zona hambat ekstrak dan fraksi B. motleyana terhadap bakteri uji (50mg/ml)

Ekstrak/Fraksi Diameter zona hambat

Staphylococcus aureus Staphylococcus epidermidis Pseudomonas aeruginosa

Etanol 2.17±0.289 0.00 3.17±0.289

Air 8.67±0.243 4.10±0.140 8.23±0.104

Metanol 2.83±0.289 0.67±0.236 1.10±0.529

Fraksi tidak larut metanol 10.05±1.045 5.66±0.450 7.26±0.165

Fraksi heksan 0.00 0.00 0.00

Fraksi tidak larut heksan 7.92±0.172 5.71±0.165 7.37±0.269

Etil asetat 0.00 0.98±0.162 1.66±0.137

Fraksi tidak larut etil asetat 6.16±0.125 5.18±0.141 6.89±0.429 Fraksi gabungan (R-5F) 9.67±0.569 8.17±0.289 8.77±0.252 keterangan : *) Nilai yang ditunjukkan adalah rata-rata dari tiga kali ulangan

Lampiran 5. Rata-rata zona hambat pertumbuhan bakteri oleh ekstrak dan fraksi

B. motleyana untuk penentuan nilai MIC Ekstrak/Fraksi Konsentrasi

(mg/ml)

Rata-rata (mm) ± Standar deviasi*

Staphylococcus aureus Staphylococcus epidermidis Pseudomonas aeruginosa Air 25 75 125 175 225 3.86±0.59 9.55±0.17 11.26±0.09 13.27±0.07 13.38±0.06 2.22±0.07 5.32±0.06 7.60±0.06 9.16±0.04 9.89±0.07 4.05±0.05 9.84±0.03 11.20±0.09 13.30±0.11 14.10±0.03 Fraksi tidak larut metanol 25 75 125 175 225 6.56±0.45 13.11±0.21 15.91±0.26 16.87±0.08 16.60±0.12 2.55±0.04 5.36±0.24 7.79±0.06 9.14±0.23 10.23±0.11 4.38±0.36 8.88±0.26 9.97±0.06 10.65±0.27 11.57±0.14 Fraksi tidak larut heksan 25 75 125 175 225 5.78±0.14 7.39±0.02 9.92±0.11 11.03±0.14 11.47±0.04 4.20±0.08 7.24±0.04 8.23±0.15 9.23±0.18 10.15±0.22 5.15±0.03 8.72±0.06 10.29±0.04 11.52±0.07 11.64±0.09 Fraksi gabungan ke-F 25 75 125 175 225 7.63±0.32 9.93±0.12 11.33±0.25 10.77±0.26 11.28±0.39 7.70±0.17 8.60±0.17 9.27±0.25 10.10±0.53 10.72±0.43 8.43±0.12 9.83±0.29 10.67±0.29 11.43±0.40 12.14±0.49


(6)