Kesimpulan Saran Simulasi distribusi suhu dan pola aliran udara dalam rumah tanaman tipe modified arch menggunakan computational fluid dynamics

ABSTRACT TITIN NURYAWATI. Simulation of Temperature Distribution and Airflow Pattern on a Modified Arch Greenhouse Using Computational Fluid Dynamics. Supervised by HERRY SUHARDIYANTO, YULI SUHARNOTO and HARMANTO. In this research, the effect of wind speed on the natural ventilation of a modified arch greenhouse was analysed by computational fluid dynamics CFD, using the commercial software SolidWorks of 2010. The objectives of this research were to understand the natural ventilation on the greenhouse and develop a simulation of temperature distribution and the airflow pattern on the modified arch greenhouse. The experiment was carried out in a modified arch greenhouse equipped with both top and side ventilations. Climate data and greenhouse characteristics were used as inputs and boundary condition to develop a simulation model. Two- dimensional simulation in a steady state with the condition of no wind speed 0.0 ms, moderate wind speed 0.5 and 0.6 ms and high wind speed 1.8 ms were carried out. The wind speed through the insect-proof screen was simulated as a flow through porous media. The CFD model has succeded in predicting the temperature distribution and airflow pattern of the greenhouse. The result of the model showed that the greenhouse has a gradient temperature vertically and the natural ventilation works effectively. It is proved that a small error percentage of difference temperatures between the simulation result and the observed data less than 8 was obtained. The coefficient variation was also small 0.12, with the coefficient of uniformity of 89.76. Keywords: CFD, temperature distribution, modified arch greenhouse, ventilation, simulation RINGKASAN TITIN NURYAWATI. Simulasi Distribusi Suhu dan Pola Aliran Udara dalam Rumah Tanaman Tipe Modified Arch Menggunakan Computational Fluid Dynamics . Dibimbing oleh HERRY SUHARDIYANTO, YULI SUHARNOTO dan HARMANTO. Sektor agrobisnis-agroindustri hortikultura Indonesia merupakan sektor yang sangat penting peranannya dalam ekspor non migas dan perlu ditangani secara serius karena sektor ini mempunyai potensi yang sangat besar dalam peningkatan produksi dan mempunyai peluang pasar yang sangat luas, baik di dalam maupun di luar negeri. Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa nilai ekspor tahun 2009 mencapai US 350.505 juta untuk tanaman hias, disusul produk sayuran sebesar US 20.459 juta dan produk buah-buahan sebesar US 8.775 juta. Penggunaan rumah tanaman yang telah disesuaikan konstruksinya dengan iklim tropis salah satunya adalah tipe busur termodifikasi atau modified arch dapat menjadi salah satu alternatif dalam pengembangan produk hortikultura di Indonesia. Saat ini telah banyak digunakan rumah tanaman dengan bahan penutup atap dari plastik dan penutup dinding dan bukaan ventilasi atap dari screen. Penggunaan screen tersebut selain berfungsi sebagai ventilasi alamiah, juga berfungsi sebagai pelindung dari hama tanaman. Screen akan mencegah serangga masuk ke dalam rumah tanaman yang akan berimplikasi kepada penurunan penggunaan pestisida. Secara umum tujuan penelitian ini adalah menganalisis kinerja rumah tanaman tipe modified arch di daerah tropis, dan tujuan khususnya adalah: mempelajari ventilasi alamiah yang terjadi dan melakukan simulasi distribusi suhu dan pola aliran udara pada rumah tanaman tipe modified arch menggunakan Computational Fluid Dynamics CFD. Simulasi CFD dilakukan menggunakan software SolidWorks Office Premium 2010. Simulasi dilakukan dalam empat kasus yaitu saat pagi hari dengan kondisi tidak ada radiasi matahari dan kecepatan angin 0 mdetik Kasus 1, saat pagi hari dengan tingkat radiasi matahari sedang sebesar 418 Wm 2 dan kecepatan angin sebesar 0.5 mdetik Kasus 2, saat siang hari dengan tingkat radiasi matahari tinggi sebesar 802 Wm 2 dan kecepatan angin sebesar 0.6 mdetik Kasus 3, dan saat sore hari Kasus 4 dengan kondisi radiasi matahari sedang 514 Wm 2 dan kecepatan angin sebesar 1.8 mdetik. Hasil pengukuran suhu di sekitar rumah tanaman, menunjukkan bahwa suhu udara rata-rata harian adalah 30.5 o C, dengan suhu terendah sebesar 23.0 o C, dan suhu tertinggi sebesar 35.3 o C. Perbedaan suhu di dalam dan di luar rumah tanaman berkisar antara 2.2 - 5.5 o C. Gradien suhu udara di dalam rumah tanaman secara vertikal pada ketinggian 1 - 3 m tidak terlalu besar, kisaran maksimum hanya sebesar 2.3 o C. Hasil simulasi pada Kasus 1 dengan input suhu lingkungan sebesar 25.2 o C menunjukkan bahwa suhu di dalam rumah tanaman cukup seragam atau hampir sama dengan suhu lingkungan. Gradien suhu sangat kecil dan cenderung meningkat dengan bertambahnya ketinggian, yaitu sebesar 0.05 o C dan mencapai 1.46 o C pada daerah dekat atap. Distribusi suhu pada ketinggian 1 - 3 meter antara 25.39 - 25.44 o C, dan mencapai 26.85 o C pada daerah dekat dengan atap. Pada Kasus 2 dengan input suhu lingkungan 30.6 o C menunjukkan bahwa suhu di dalam rumah tanaman cukup seragam. Gradien suhu sangat kecil yaitu pada kisaran sebesar 0.3 o C dan mencapai 0.75 o C pada daerah dekat dengan atap. Distribusi suhu pada ketinggian 1 - 3 meter antara 30.6 – 30.9 o C, dan mencapai 31.35 o C pada daerah dekat dengan atap. Pada Kasus 3 dengan input suhu lingkungan sebesar 34.7 o C, hasil simulasi menunjukkan bahwa suhu pada ketinggian 1-3 meter mempunyai suhu yang seragam 34.7 - 34.9 o C dan baru meningkat pada daerah di atas screen 3.5 m. Suhu udara pada daerah dekat atap dapat mencapai 39 o C. Gradien suhu secara vertikal pada ketinggian 1-3 m sangat kecil dan baru terlihat gradien suhunya pada ketinggian 3.5 m. Pada Kasus 4 dengan input kondisi udara sore hari dengan suhu udara sebesar 34 o C, menunjukkan bahwa suhu udara di dalam rumah tanaman seragam dan sama dengan suhu di luar rumah tanaman yaitu sebesar 34.00 – 34.33 o C. Gradien suhu tidak ada di dalam rumah tanaman, hanya kecil sekali di dekat atap. Perbedaan suhu udara hasil simulasi dan hasil pengukuran pada Kasus 1, 2, 3 dan 4 dinyatakan dalam persentase error untuk melihat keakuratan model pendugaan suhu yang telah dikembangkan. Error yang dihasilkan pada masing- masing kasus cukup kecil yaitu 0.05-2.96 untuk Kasus 1, sebesar 3.77-7.21 untuk Kasus 2, sebesar 2.22-7.37 untuk Kasus 3, dan sebesar 1.16 - 7.72 untuk Kasus 4. Selain persentase error, juga dianalisis nilai koefisien keseragaman dan variasi suhu hasil simulasi, dan hasilnya menunjukkan bahwa nilai koefisien variasi CV sebesar 0.12 dan nilai koefisien keseragaman CU sebesar 89.76. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa model simulasi telah berhasil dengan baik melakukan simulasi. Pada Kasus 1, aliran udara terjadi di dalam rumah tanaman karena adanya efek termal yaitu karena perbedaan tekanan. Udara mengalir melalui dinding screen dan bergerak keatas dan keluar melalui bukaan pada atap. Fenomena ini disebut dengan chimney effect. Proses ini akan terjadi terus - menerus sampai pada saat tidak ada perbedaan suhu di dalam dan di luar rumah tanaman atau saat terjadi aliran angin yang cukup besar. Pada Kasus 2 dan 3, pola aliran udara sama dengan Kasus 1. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa pada waktu kecepatan angin kurang atau sama dengan 1.67 mdetik pertukaran udara dominan terjadi karena efek termal. Dengan demikian Kasus 2 dan 3 tetap terjadi chimney effect. Pada Kasus 4 dengan kecepatan udara di luar sebesar 1.8 mdetik, maka aliran udara di dalam rumah tanaman terjadi karena adanya dorongan angin, sehingga chimney effect tidak terjadi. Kata kunci: CFD, modified arch greenhouse, simulasi, distribusi suhu, ventilasi. I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor agrobisnis-agroindustri hortikultura Indonesia merupakan sektor yang sangat penting peranannya dalam ekspor non migas. Agrobisnis hortikultura merupakan komoditas yang perlu ditangani secara serius karena komoditas ini mempunyai potensi yang sangat besar dalam peningkatan produktivitas dan mempunyai peluang pasar yang sangat luas, baik di dalam maupun di luar negeri. Peningkatan daya saing melalui peningkatan produktivitas, kualitas dan kontinyuitas produksi harus terus dilakukan agar produk hortikultura Indonesia dapat bersaing dengan produk dari luar. Hal ini untuk mengurangi membanjirnya produk dari luar negeri di pasar Indonesia. Dari segi produksi, produk hortikultura terus mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir 2005 – 2009. Pada tahun 2005 produksi sayuran sebesar 9.101 juta ton, meningkat menjadi 9.455 juta ton pada tahun 2007 dan mencapai 10.268 juta ton pada tahun 2009. Produksi buah-buahan sebesar 14.786 juta ton pada tahun 2005, meningkat menjadi 17.116 juta ton pada tahun 2007 dan mencapai 18.653 juta ton pada tahun 2009. Sedangkan produk tanaman hias, produksinya sebesar 173.240 juta tangkai pada tahun 2005, meningkat menjadi 179.374 juta tangkai pada tahun 2007, dan mencapai 263.531 juta tangkai pada tahun 2009. Nilai ekspor tahun 2009 yaitu mencapai US 350.505 juta untuk tanaman hias, disusul produk sayuran sebesar US 20.459 juta dan produk buah- buahan sebesar US 8.775 juta Kementerian Pertanian, 2010. Pengembangan produk hortikultura perlu terus dilakukan untuk peningkatan nilai produksi, mutu dan ketersediaannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan perluasan penggunaan rumah tanaman untuk budidayanya. Penggunaan rumah tanaman lebih ditujukan untuk melindungi tanaman dari hujan, angin dan hama, mengurangi intensitas radiasi matahari yang berlebihan, mengurangi penguapan air dari daun dan media, serta memudahkan perawatan tanaman Suhardiyanto, 2009. Aplikasi teknologi rumah tanaman dengan meniru konstruksi rumah tanaman di daerah subtropika ternyata tidak sesuai untuk daerah tropika. Hal ini dapat dilihat dengan tingginya nilai suhu di dalam rumah tanaman. Pada rumah tanaman dengan konstruksi kaca dan besi berbentuk standard peak di daerah Bogor, Jawa Barat, suhu di dalamnya dapat mencapai 44.5 o C Asnawi, 2009. Kondisi ini akan menyebabkan tanaman menjadi stres dan akibatnya akan menurunkan produktivitas tanaman. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka dilakukan berbagai modifikasi rumah tanaman yang sesuai untuk daerah tropika, baik dari segi konstruksi maupun material yang digunakan. Modifikasi tersebut dapat berupa perubahan bentuk atap, penambahan bukaan atap, perubahan sudut kemiringan atap, penggunaan material plastik pada atap dan screen pada dinding dan modifikasi lainnya. Standarisasi mengenai konstruksi dan material penyusun rumah tanaman di Indonesia sudah tersedia, namun aplikasinya belum terlaksana secara maksimal sehingga cukup menyulitkan bagi petani yang akan mendisain dan membangun rumah tanaman. Standarisasi ini diperlukan untuk memberikan pedoman kepada petani untuk membangun rumah tanaman agar mendapatkan kondisi iklim mikro yang sesuai untuk produksi tanaman yang diinginkan. Perkembangan saat ini, telah banyak digunakan rumah tanaman dengan bahan penutup atap dari plastik dan penutup dinding dan bukaan ventilasi atap dari screen. Penggunaan screen tersebut selain berfungsi sebagai ventilasi alamiah, juga berfungsi sebagai perlindungan hama tanaman. Screen akan mencegah serangga masuk ke dalam rumah tanaman yang akan berimplikasi kepada penurunan penggunaan pestisida. Bethke 1990 telah merekomendasikan beberapa ukuran net yang dapat digunakan untuk menekan serangan hama tanaman. Penggunaan screen memang mengurangi jumlah serangan hama pengganggu yang masuk ke dalam rumah tanaman, akan tetapi penggunaannya menurunkan laju ventilasi dan menaikkan suhu udara dalam rumah tanaman. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mempelajari karakteristik resistansi udara pada screen untuk memprediksi penurunan tekanan yang terjadi sebagai fungsi dari aliran kecepatan udara yang melewati screen Miguel et al., 1997, 1998; dan Teitel, 2001. Penelitian yang lain tentang pengaruh screen yang dipasang pada bukaan ventilasi rumah tanaman di daerah subtropika juga telah dilakukan oleh Teitel, 2001; dan Katsoulas, 2006. Akan tetapi analisis pola aliran udara pada rumah tanaman dengan penggunaan screen di daerah tropika belum banyak dilakukan. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa rumah tanaman telah banyak digunakan di Indonesia, akan tetapi penelitian mengenai identifikasi iklim mikro di dalamnya masih sedikit. Pengetahuan mengenai kondisi iklim mikro di dalam rumah tanaman berperan penting untuk penentuan jenis tanaman yang akan diproduksi dan desain sistem irigasi yang akan digunakan Tanny, et al., 2003. Penggunaan simulasi numerik dengan program komputer untuk memprediksi laju aliran udara dan distribusi suhu dalam rumah tanaman di daerah subtropika telah dilakukan oleh Bartzanas et al., 2002; Fatnassi et al., 2002; dan Fatnassi et al., 2003, selain itu terdapat juga berbagai simulasi yang dapat digunakan untuk memprediksi laju aliran udara dan distribusi suhu dalam rumah tanaman dengan menggunakan CFD seperti yang dilakukan oleh Fatnassi et al., 2006. Soni et al., 2005. dan Harmanto et al., 2006 telah mempelajari pengaruh berbagai macam ukuran screen untuk rumah tanaman di daerah tropika. Penelitian mengenai iklim mikro di dalam rumah tanaman di daerah tropika akan sangat membantu dalam perencanaan desain rumah tanaman yang sesuai untuk daerah tropika. Untuk itu diperlukan suatu penelitian mengenai identifikasi dan laju ventilasi serta optimasi ukuran screen yang sesuai digunakan untuk rumah tanaman di daerah tropika.

1.2 Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah menganalisis kinerja ventilasi alamiah pada rumah tanaman tipe modified arch di daerah tropis. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1. Mempelajari ventilasi alamiah yang terjadi pada rumah tanaman tipe modified arch menggunakan program Computational Fluid Dynamics CFD. 2. Melakukan simulasi distribusi suhu dan pola aliran udara di dalam rumah tanaman tipe modified arch dengan menggunakan Computational Fluid Dynamics CFD. II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah Tanaman

Rumah tanaman merupakan suatu tempat tanaman untuk tumbuh dan berkembang dengan kondisi lingkungan mikro yang telah diatur agar mendekati kondisi yang optimum. Khusunya di Indonesia, fungsi rumah tanaman lebih kepada perlindungan tanaman dari pengaruh buruk cuaca dan mengurangi intensitas matahari yang berlebihan. Dalam konteks budidaya tanaman, pengertian rumah tanaman adalah struktur lingkungan yang tertutup oleh bahan transparan tembus cahaya dengan memanfaatkan radiasi surya untuk pertumbuhan tanaman Mastalerz, 1977. Menurut Nelson 1981, istilah rumah tanaman digunakan untuk menyatakan sebuah bangunan yang memiliki struktur atap dan dinding yang bersifat tembus cahaya, sehingga tanaman tetap memperoleh cahaya matahari dan terhindar dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Kondisi lingkungan yang dimaksudkan adalah curah hujan yang deras, tiupan angin yang kencang atau keadaan suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Pemilihan bentuk rumah tanaman yang digunakan pada suatu lahan tergantung pada keadaan lingkungan dan jenis tanaman yang dibudidayakan Walls, 1993. Dalam aplikasinya rumah tanaman dapat ditemukan dalam berbagai bentuk rumah tanaman seperti pada Gambar 1. Bentuk rumah tanaman yang umum digunakan didaerah tropis adalah bentuk venlo dan bentuk tunnel. Di Indonesia lebih banyak ditemukan rumah tanaman dengan bukaan pada atap. Bentuk ini lebih cocok untuk daerah tropis dengan pertimbangan bahwa penerimaan sinar matahari relatif banyak sehingga diperlukan suatu konstruksi yang memungkinkan sirkulasi udara berlangsung lebih lancar. Gambar 1. Bentuk rumah tanaman Suhardiyanto, 2009. Bentuk arch dikembangkan bukan dengan pertimbangan untuk memaksimumkan cahaya matahari yang ditransmisikan, tetapi lebih merupakan pertimbangan biaya Tiwari dan Goyal, 1998. Biaya pembangunan rumah tanaman dengan atap arch dapat ditekan menjadi 75 dibandingkan dengan atap berbentuk peak. Selain itu, atap berbentuk lengkung curved atau arch lebih mudah dalam pemasangan atap dari bahan plastik film. Bentuk arch dapat dimodifikasi menjadi quonsettunnel dan cold frame sesuai dengan kebutuhan dan keadaan lokasi. Konstruksi rumah tanaman di daerah tropika harus dibuat dengan memaksimalkan penggunaan bukaan baik pada atap atau dinding agar dapat memberikan efek pergantian udara ventilasi yang baik. Pemanfaatan ventilasi e. Venlo house g. Arch f. Mansard d. Even spanStandard peakGable i. Cold frame h. Quonsettunnel a. Flat b. ShedLean - to c. Uneven span e. Venlo house e. Venlo house g. Arch g. Arch f. Mansard f. Mansard d. Even spanStandard peakGable d. Even spanStandard peakGable i. Cold frame i. Cold frame h. Quonsettunnel h. Quonsettunnel a. Flat a. Flat b. ShedLean - to b. ShedLean - to c. Uneven span c. Uneven span atap yang dikombinasikan dengan cukupnya tinggi ruangan rumah tanaman juga membantu dalam pendinginan udara di dalam ruangan Harmanto et al., 2006; Munoz et al., 1999

2.2 Ventilasi Alamiah

Ventilasi alamiah adalah pertukaran udara di dalam suatu bangunan dengan udara di luarnya tanpa menggunakan kipas atau peralatan mekanik lainnya Suhardiyanto, 2009. Konstruksi yang sederhana, biaya awal yang murah dan biaya energi yang rendah merupakan alasan utama tipe ventilasi ini sering digunakan, terutama di daerah tropika. Akan tetapi ventilasi yang tergantung faktor alamiah ini memiliki sifat yang berbeda-beda dan menghadapi banyak keterbatasan. Faktor yang berpengaruh terhadap ventilasi alamiah antara lain cuaca, letak geografis, penghalang angin, dan persyaratan lingkungan. Faktor ini harus diperhatikan dalam perancangan sistem ventilasi alamiah dan pengaturan- pengaturan selanjutnya Hellickson Walker, 1983. Ventilasi alamiah terjadi akibat faktor termal dan faktor angin. Faktor termal berperan dominan pada saat kecepatan udara rendah, sehingga terjadi pergerakan udara akibat perbedaan suhu dan kerapatan udara di dalam dan di luar rumah tanaman. Bot 1983 menyatakan bahwa pada kecepatan angin kurang atau sama dengan 1.67 mdetik faktor termal berperan dominan. Selanjutnya Kamaruddin 1999 menyatakan bahwa batas kecepatan angin tersebut adalah 1 mdetik sedangkan menurut Papadakis et al. 1996 sebesar 1.67 mdetik. Adanya pergerakan angin disekitar rumah tanaman menyebabkan terjadinya perbedaan tekanan udara antara di dalam dan di luar rumah tanaman. Papadakis et al. 1996 menyatakan bahwa pada saat kecepatan angin di atas 1.8 mdetik efek termal terhadap laju ventilasi dapat diabaikan. Jika kecepatan angin di luar rumah tanaman cukup tinggi dan perbedaan suhu udara di dalam dan di luar rumah tanaman kecil maka faktor angin dominan dan pengaruh faktor termal dapat diabaikan. Inilah yang dinamakan ventilasi akibat faktor angin. Aliran udara pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu aliran udara laminer dan aliran udara turbulen yang biasanya dinyatakan berdasarkan nilai bilangan Reynold Re. Batas atas bilangan Re untuk aliran udara laminer adalah 2000, untuk aliran transisi adalah 2000 – 3000, dan untuk aliran turbulen adalah 3000 Cengel dan Cimbala, 2006. Aliran udara laminer kurang memberikan efek pertukaran udara yang baik, sedangkan aliran udara turbulen dapat memberikan efek pertukaran udara yang lebih baik. Hal ini disebabkan aliran udara turbulen bersifat tidak beraturan sedangkan aliran udara laminer membentuk lapisan-lapisan lurus yang sejajar. Gerakan berputar pada aliran udara turbulen menyebabkan pertukaran udara yang terjadi berlangsung lebih baik Yuwono et al, 2008.

2.3 Pengaruh Ukuran Screen Terhadap Iklim Mikro dalam Rumah

Tanaman Penggunaan screen sebagai penutup pada bukaan ventilasi membantu menekan jumlah serangan hama pengganggu ke dalam rumah tanaman, akan tetapi penggunaannya akan menurunkan laju ventilasi dan menaikkan suhu udara dalam rumah tanaman. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi ukuran mesh screen yang sesuai untuk mencegah berbagai macam serangga masuk ke dalam rumah tanaman Bethke 1990; Ross dan Gill, 1994; Teitel, 2007. Tipe dan jenis net yang harus digunakan untuk menekan serangan beberapa jenis hama disajikan dalam Tabel 1. Ukuran mesh menggambarkan banyaknya lubang per inchi panjang screen. Tabel 1. Jenis screen yang diperlukan untuk menekan jumlah hama serangga Jenis hama serangga Ukuran lubang screen Micron Inchi Mesh Serpentine Leafminers Sweet potato Whiteflies Melon Aphids Greenhouse Whitefly Silver leaf Whitefly Western flower Thrips 640 462 340 288 239 192 0,025 0,018 0,013 0,0113 0,0094 0,0075 40 52 78 81 123 132 Sumber: Bethke, 1990 dalam Harmanto et al., 2007. Untuk daerah subtropika, Fatnassi et al. 2006 telah menguji screen anti- Bemisia 52 mesh dan anti-Thrips 132 mesh yang dipasang pada bukaan ventilasi di atap dan dinding rumah tanaman multi-span dan menunjukkan bahwa suhu dan kelembaban absolut udara di dalam rumah tanaman yang dipasang screen meningkat sebesar 2.7 o C dan 0.7 gkg untuk screen anti-Bemisia 52 mesh dan meningkat sebesar 4.7 o C dan 1.3 gkg untuk screen anti-Thrips 132 mesh dibandingkan dengan rumah tanaman yang tidak dipasangi screen pada bukaan ventilasinya. Harmanto et al., 2006 telah melakukan penelitian tentang iklim mikro menggunakan model matematika metode energy balance pada rumah tanaman modified arch dengan bukaan ventilasi atap dan dinding yang ditutup screen di daerah tropika. Ukuran screen yang digunakan adalah 78, 52 dan 40-mesh. Dibandingkan dengan screen ukuran 40 mesh, screen dengan ukuran 52 dan 78 mesh dapat menurunkan laju pertukaran udara sebesar 35 dan 78 dan meningkatkan suhu udara di dalam rumah tanaman sebesar 1 – 3 o C. Akan tetapi screen 40 mesh kurang efektif dalam mencegah hama masuk, sehingga ukuran net 52-mesh lebih dianjurkan untuk digunakan dalam mencegah kenaikan suhu udara dan menurunnya laju ventilasi secara nyata. Tanny et al. 2003 telah melakukan pengujian pada screenhouse berbentuk atap datar flat-top di daerah subtropika dengan ukuran screen 50 mesh dengan tanaman paprika di dalamnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profil suhu dan kelembaban absolut dalam rumah tanaman menunjukkan bahwa suhu semakin meningkat dan kelembaban absolut semakin menurun dengan bertambahnya ketinggian lokasi pengukuran dalam rumah tanaman. Laju ventilasi dalam screenhouse dibandingkan dengan laju udara di kebun paprika yang dibudidayakan di ruang terbuka untuk kecepatan angin 1.5 - 3.5 mdetik menurun sebesar 51 – 71 di bagian tengah rumah tanaman, dan menurun sebesar 60 – 64 di bagian pinggir yang lebih dekat ke salah satu dindingnya.

2.4 Computational Fluid Dynamics CFD

Computational Fluid Dynamics CFD adalah metode yang mempelajari atau memprediksi aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, dan fenomena lainnya dengan menyelesaikan persamaan-persamaan matematika. CFD telah dikenal sejak tahun 1960-an, dan digunakan untuk menganalisis berbagai masalah seperti fenomena meteorologi, polusi udara dan pergerakan kontaminan, pengkondisian udara untuk bangunan dan kendaraan, pembakaran di motor bakar dan sistem propulsi, interaksi berbagai objek dengan udaraair, serta aliran kompleks pada penukar panas dan reaktor kimia Tuakia 2008. Pada dasarnya persamaan-persamaan pada fluida dibangun dan dianalisis berdasarkan persamaan differensial parsial PDE yang merepresentasikan hukum-hukum konversi massa, momentum dan energi. Pada simulasi CFD, pemecahan aliran fluida seperti udara digambarkan secara kuantitatif dalam besaran suhu dan kecepatan dengan bentuk persamaan differensial yang didasarkan pada analisis numerik metode volume hingga finite volume method khususnya persamaan Navier-Stokes. Metode CFD mengandung tiga komponen utama, yaitu: pre-processor, solver dan post-processor Versteeg dan Malalasekera, 1995.

2.4.1. Pre-processor

Komponen pre-processor merupakan komponen input dari permasalahan aliran fluida ke dalam program CFD. Komponen tersebut berfungsi sebagai transformer input ke tahapan berikutnya dalam bentuk yang sesuai dengan pemecahan oleh solver. Pada tahapan pre-processor dilakukan hal-hal sebagai berikut: 1 pembuatan geometri sistem yang akan dianalisis, 2 pembentukan grid dan mesh pada setiap domain atau seluruhnya, 3 pemilihan fenomena kimia dan fisik yang dibutuhkan, 4 menentukan sifat-sifat fluida konduktivitas, viskositas, panas jenis, massa jenis dan sebagainya, 5 menentukan kondisi batas yang sesuai dengan keperluan dinding, inlet, outlet, kecepatan, tekanan dan variabel turbulensi, 6 sumber panas yang dikehendaki serta jenis fluida yang disimulasikan. Ketepatan aliran dalam geometri ditentukan oleh jumlah sel di dalam grid yang dibangun. Semakin besar jumlah sel, ketepatan atau ketelitian dari hasil pemecahan semakin baik. Mesh optimal tidak harus seragam. Perubahan mesh dapat dilakukan dengan memperhalus mesh pada bagian yang memiliki variasi cukup besar dan membuat mesh yang kasar untuk bagian yang relatif sedikit mengalami perubahan Tuakia 2008.

2.4.2. Solver

Proses pada solver merupakan proses pemecahan secara matematika dalam CFD. Metode yang digunakan adalah volume hingga finite volume yang dikembangkan dari metode beda hingga finite difference. Proses pemecahan matematika pada solver digambarkan sebagai diagram alir metode SIMPLE Semi-Implicit Method for Pressure-Linked Equation. Bentuk persamaan matematika 2 dimensi dinyatakan sebagai berikut Versteeg dan Malalasekera, 1995: Persamaan Kekekalan Massa Keseimbangan massa kontinuitas untuk elemen fluida dinyatakan sebagai: laju kenaikan massa dalam elemen fluida = laju netto aliran massa ke dalam elemen terbatas. Semua elemen fluida merupakan fungsi dari ruang dan waktu, maka massa jenis fluida ρ ditulis dalam bentuk ρ x, y, z, t dan komponen kecepatan fluida ditulis sebagai dxdt=u, dydt=v, dan dzdt=w. Bentuk persamaan matematis ditulis sebagai berikut: � � � + � � � = 0 1 dimana ρ adalah massa jenis fluida kgm 3 dan x, y, z adalah arah koordinat kartesian. Persamaan Momentum Persamaan momentum dikembangkan dari persamaan Navier-Stokes dalam bentuk yang sesuai dengan metode finite volume. Momentum arah x: � � � + � � = � � + �� + � � 2 � 2 + � 2 � 2 + 2 Momentum arah y: � � � + � � = � � + �� + � � 2 � 2 + � 2 � 2 + 3