87
Lampiran 4. Contoh Perhitungan LC
50
Ekstrak metanol
Konsentrasi ppm
Log Konsentrasi
Persen Mortalitas
Probit LC50
ppm
T. hemprichii 10
1 33,33
4,56 165,45
100 2
43,33 4,82
500 2,7
56,67 5,15
1000 3
66,67 5,41
Pada ekstrak dengan konsentrasi 100 ppm Persen mortalitas
= Jumlah artemia yang mati x 100
Jumlah populasi =
410 x 100 =
43,33 Dari grafik hubungan antara log konsentrasi sumbu x dengan nilai probit
sumbu y didapatkan persamaan Y = 0,407x + 4,097 Penentuan LC50 Konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian sebesar 50
50 nilai probit y = 5 dilihat dari table probit lampiran 2 Y
= 0,407x + 4,097 5
= 0,407x + 4,097 x
= 5 – 4,097 0,4097
x = 2,204
anti log dari x = 2,204 LC50
= x = 165,45
Lampiran 5. Hasil pengukukuran diameter zona hambat ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii konsentrasi 20 mgml
terhadap biofilm
Lamun Diameter Zona Hambat mm
Ekstrak n - heksana Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 - 3
T. hemprichii 1
0,5 1
0,67 0,17
E. acoroides 1
0,5 1
0,5 0,5
0,83 0,33
Ekstrak metanol Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 – 3
T. hemprichii 0,5
2 1
0,5 1,17
0,17 E. acoroides
0,5 3
1 0,5
0,5 0,5
0,67 1,33
89
Lampiran 6. Hasil pengukukuran diameter zona hambat ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii konsentrasi 200 mgml
terhadap biofilm
Lamun 200mgml Diameter Zona Hambat mm
Ekstrak n - heksana Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 - 3
T. hemprichii 4
2 6
1 4
2 4,67
1,67
E. acoroides 4
2 5
3 5
3 5
2,67
Ekstrak metanol Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 – 3
T. hemprichii 5
2 4
3 2
3 3,67
2,67
E. acoroides 4
2 6
1 4
1 4,67
1,33
5
ABSTRACT
CITRA SATRYA UTAMA DEWI. Potential Bioactive of
Enhalus acoroides and
Thalassia hemprichii for BIOANTIFOULING in Pramuka Island, DKI Jakarta. Under direction of DEDI SOEDHARMA and MUJIZAT
KAWAROE. Biochemically, seagrass has natural antifouling compounds potential to substitute
harmful compund of TBT tributhyl tin in the antifouling paint. The aim of this study was to explore potential seagrass as bioantifouling materials. Particulary
of Thalassia hemprichii and Enhalus acoroides extraction was performed using two solvents: methanol polar and n-hexane non-polar. The results showed that
extracts of Thalassia hemprichii and Enhalus acoroides contains flavonoids, a chemical compound potential as bioantifouling. Based on toxicity tests using
Brain Shrimp Lethal Toxic BSLT method, methanol extract of Enhalus acoroides was more toxic 5.74 ppm than n-hexane extract 1309.42 ppm. Biofilm
inhibitory activity assay showed that inhibition performance seagrass extract 200 mgml were weak 1.00 mm to moderate 5.33mm.
Key words: seagrass; bioantifouling; TBT; biofilm inhibitory activity assay
7
RINGKASAN
CITRA SATRYA UTAMA DEWI. Potensi Lamun Jenis
Enhalus acoroides dan
Thalassia hemprichii Dari Pulau Pramuka, DKI Jakarta Sebagai Bioantifouling. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA dan MUJIZAT
KAWAROE. Lamun
seagrass merupakan
satu-satunya tumbuhan
berbunga Angiospermae yang memiliki kemampuan beradaptasi untuk hidup di laut.
Keragaman jenis lamun di Kepulauan Seribu dilaporkan ada delapan jenis, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea
rotundata, Halophila ovalis, Halophila minor, Syringodium isoetifolium, dan Halodule uninervis Mardesyawati dan Anggraeni 2009. Sejak dekade terakhir
beragam penelitian bioteknologi telah mulai dilakukan untuk mengeksplorasi lamun, guna mengetahui potensi bahan bioaktif yang terkandung di dalamnya. Qi
et al. 2008 melakukan pengujian terhadap lamun jenis Enhalus acoroides yang hasilnya menunjukkan bahwa jenis tersebut mengandung bahan aktif potensial
untuk menghambat proses penempelan larva antilarva Bugula neritina pada bagian daunnya, serta menghambat proses predasi daun antifeedant oleh
Spodoptera litura.
Potensi lamun sebagai antifeedant dan anti-larva menimbulkan dugaan bahwa lamun dapat digunakan sebagai bahan baku subtitusi senyawa kimia
tributyl tin TBT, yang umum digunakan sebagai campuran cat antifouling. Cat antifouling tersebut umum digunakan untuk mengatasi masalah organisme
penempel biofouling, namun tidak ramah lingkungan, sehingga mengakibatkan dampak negatif pada ekosistem Darmayanti 1994. Salah satu contoh dampak
negatif pada ekosistem, adalah indikasi terganggunya organ reproduksi imposex pada Thais sp. yang ditemukan di Perairan Pelabuhan Ratu Soedharma dan
Fauzan 1996 dan di Pantai Barat Semenanjung Malaysia Yusuf et al. 2011. Sejak 17 September 2008, Organisasi Maritim Internasional IMO melarang
pemakaian cat dengan campuran TBT untuk cat kapal, oleh karena itu pencarian bahan antifouling yang ramah lingkungan bioantifouling, khususnya yang
berasal dari lamun dibutuhkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah 1 menganalisis kandungan golongan senyawa bioaktif lamun; 2 menganalisis toksisitas bahan bioaktif lamun; dan 3
menganalisis potensi lamun sebagai penghambat biofouling bioantifouling. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa rendemen
yang dihasilkan oleh lamun jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii meningkat seiring dengan kepolaran pelarut. Nilai rendemen kedua jenis lamun
yang diekstraksi dengan pelarut polar methanol lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diekstraksi dengan pelarut non polar n
–heksana, artinya Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii mengandung senyawa polar lebih banyak dari
pada senyawa non polar. Hasil uji fitokimia, menunjukkan bahwa ekstrak metanol dari Enhalus
acoroides mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, benedict, dan ninhidrin. Ekstrak metanol lamun jenis Thalassia hemprichii diketahui mengandung
senyawa golongan alkaloid, steroid, flavonoid, benedict dan ninhidrin. Uji
fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak n –heksana dari Enhalus acoroides
menunjukkan bahwa ekstrak tersebut mengandung senyawa pada golongan flavonoid dan gula pereduksi, sementara uji yang dilakukan terhadap ekstrak
Thalassia hemprichii menunjukkan ketersediaan senyawa bioaktif pada golongan alkaloid, steroid, flavonoid, dan gula pereduksi.
Berdasarkan uji toksisitas terhadap organisme uji Artemia, diketahui bahwa Enhalus acoroides yang diekstrak dengan menggunakan metanol
mengandung bahan bioaktif sangat toksik, yaitu 5,74 ppm, sementara ekstrak n- heksana dari jenis yang sama tingkat toksisitasnya sangat rendah tidak toksik,
yaitu 1309,42 ppm.
Hasil uji aktivitas hambat ekstrak lamun terhadap bakteri biofilm terpilih jenis Vibrio spp. dengan konsentrsai 200 mgml menunjukkan ekstrak Thalassia
hemprichii yang diujikan terhadap bakteri Vibrio 4-3 MA membentuk zona hambat terbesar, yaitu 5.33 mm. Nilai zona hambat tersebut termasuk dalam
golongan aktivitas sedang.
29
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lamun seagrass
merupakan satu-satunya
tumbuhan berbunga
Angiospermae yang memiliki kemampuan beradaptasi untuk hidup di laut. Keragaman jenis lamun di Kepulauan Seribu dilaporkan ada delapan jenis, yaitu
Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Halophila minor, Syringodium isoetifolium, dan
Halodule uninervis Mardesyawati dan Anggraeni 2009. Sejak dekade terakhir beragam penelitian bioteknologi telah mulai dilakukan untuk mengeksplorasi
lamun, guna mengetahui potensi bahan bioaktif yang terkandung di dalamnya. Qi et al. 2008 melakukan pengujian terhadap lamun jenis Enhalus acoroides yang
hasilnya menunjukkan mengandung bahan aktif potensial untuk menghambat proses penempelan larva antilarva gastropoda jenis Bugula neritina pada bagian
daunnya, serta menghambat proses predasi daun antifeedant oleh Spodoptera litura.
Potensi lamun sebagai antifeedant dan antilarva menimbulkan dugaan bahwa lamun dapat digunakan sebagai bahan baku subtitusi senyawa kimia
tributyl tin TBT, yang umum digunakan sebagai campuran cat antifouling. Cat antifouling tersebut umum digunakan untuk mengatasi masalah organisme
penempel biofouling, namun tidak ramah lingkungan, sehingga mengakibatkan dampak negatif pada ekosistem Darmayanti 1994. Salah satu contoh dampak
negatif pada ekosistem, adalah indikasi terganggunya organ reproduksi imposex pada Thais sp. yang ditemukan di Perairan Pelabuhan Ratu Soedharma dan
Fauzan 1996, dan di Pantai Barat Semenanjung Malaysia Yusuf et al. 2011. Sejak 17 September 2008, Organisasi Maritim Internasional IMO melarang
pemakaian cat dengan campuran TBT untuk cat kapal, oleh karena itu pencarian bahan antifouling yang ramah lingkungan bioantifouling, khususnya yang
berasal dari lamun dibutuhkan. 1.2.
Rumusan Masalah
Biofouling merupakan suatu istilah bagi organisme yang hidup menempel pada setiap substrat padat yang diletakkan di laut. Proses penempelan organisme
diawali dengan keberadaan material organik yang memicu adanya penempelan mikrofouling,
kemudian diikuti
dengan penempelan
larva organisme
makrofouling. Organisme mikrofouling umumnya terdiri dari bakteri dan jamur biofilm serta diatom peryphyton, sementara makrofouling umumnya berasal
dari golongan alga dan larva avertebrata. Perlahan namun pasti, biofouling akan menimbulkan masalah pada
material substrat padat tersebut, sehingga mengakibatkan kerugian bagi industri maritim. Laju penempelan biofouling pada substrat kayu lebih cepat jika
dibandingkan dengan substrat fiber, karena permukaan kayu lebih kasar jika dibandingkan dengan fiber, sehingga materi organik lebih mudah menempel pada
permukaan kayu. Pada umumnya, biofouling yang menempel pada substrat fiber hanya jenis mikrofouling saja, sehingga dapat diatasi dengan pencucian sarana dan
prasarana sementara biofouling yang menempel pada substrat kayu lebih beragam, yaitu mikrofouling dan makrofouling, sehingga harus diatasi dengan pencucian
dan pengerokan. Masalah yang ditimbulkan akibat biofouling ini pada awalnya diatasi
dengan penggunaan cat yang dicampur dengan senyawa TBT tributhyl tin dan unsur logam berat lain, seperti Selenium Sn, Timbal Pb. Cat dengan tambahan
TBT dan logam berat ini pada awalnya banyak digunakan untuk mengatasi masalah biofouling pada industri maritim, dan semakin berkembang
penggunaannya pada Tahun 1970. Aplikasi cat dengan tambahan senyawa TBT ternyata berdampak negatif pada lingkungan perairan, sehingga mendorong
Oganisasi Maritim Internasional IMO melarang pemakaian bahan tersebut untuk cat kapal yang secara efektif dimulai 17 September 2008. Oleh karena itu
pencarian bahan antifouling non-toksik yang ramah lingkungan bioantifouling sangat dibutuhkan saat ini.
Lamun seagrass merupakan salah satu organisme laut yang diduga potensial sebagai bahan bioantifouling, bahkan Zoostera marina dan Thalassia
testudinum diketahui mengandung senyawa murni golongan flavonoid, yang potensial menghambat pertumbuhan jamur pembentuk biofilm. Potensi
penghambat pertumbuhan biofilm diduga juga dapat diisolasi dari lamun jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus accoroides yang tumbuh di Indonesia, terutama
31
di Kepulauan Seribu, DKI – Jakarta, sehingga pada penelitian ini perlu dikaji
lebih lanjut mengenai golongan senyawa yang terkandung di dalam ekstrak kasar contoh lamun serta potensi senyawa bioaktif lamun sebagai bioantifouling.
1.3. Tujuan dan sasaran
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1 Menganalisis kandungan golongan senyawa bioaktif yang diekstrak dari
Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii; 2
Menganalisis toksisitas bahan bioaktif yang diekstrak dari Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii; dan
3 Menganalisis potensi bioantifouling dari ekstrak Enhalus acoroides dan
Thalassia hemprichii. Sasaran dari penelitian ini adalah diperolehnya informasi jenis lamun yang
potensial dan jenis pelarut yang efektif digunakan sebagai bioantifouling dari Pulau Pramuka, DKI Jakarta.
33
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lamun Lamun
yang umum disebut sebagai “samo-samo” oleh masyarakat lokal Kepulauan Seribu diketahui memiliki akar, batang, daun, bunga dan buah sejati
seperti tumbuhan monokotil lain di darat. Lamun dapat hidup membentuk hamparan luas yang biasa disebut dengan padang lamun. Padang lamun
berdasarkan komposisi jenis penyusunnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: padang lamun homogen, yang terdiri dari satu spesies, dan padang lamun
heterogen yang tersusun lebih dari satu spesies. Lamun dapat hidup, tumbuh dan berkembang biak dengan baik di habitat
perairan laut dangkal, estuaria dengan kadar garam tinggi, serta di daerah yang selalu mendapat genangan air ketika surut. Waycott et al. 2004 memaparkan
pada dasarnya cahaya matahari dan masukan nutrien merupakan faktor utama yang membatasi sebaran dan habitat hidup lamun. Waycott et al. 2004 membagi
habitat hidup lamun di wilayah tropis menjadi empat bagian, yaitu: river estuary, coastal, deep water, dan reef. Empat habitat unik lamun tropis tersebut dapat
dilustrasikan seperti pada Gambar 1:
Gambar 1 Empat habitat unik bagi lamun tropis Jumlah jenis lamun yang telah ditemukan di dunia hingga saat ini adalah
58 jenis, yang termasuk ke dalam 12 marga. Sembilan marga lamun yang ditemukan, tergolong dalam Famili Potamogetonaceae, dan tiga marga lamun
yang lainnya masuk dalam Famili Hydrocharitaceae. Sebaran geografik lamun di
Sumber: Waycot et.al. 2004
dunia dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu di daerah tropis dan sub tropis. Den Hartog dan Kuo 2006 memaparkan bahwa di daerah tropis terdapat tujuh
marga lamun yang umum ditemukan, yaitu Halodule, Cymodocea, Syringodium, Thalassodendron, Enhalus, Thalassia, dan Halophila, sedangkan di daerah sub
tropis ditemukan dua marga yang umum yaitu, Zostera dan Posidonia. Tiga marga yang lain, Heterozostera dan Amphibolis hanya ditemukan di perairan sub
tropis belahan bumi selatan, sedangkan Phyllospadix hanya ditemukan di perairan Pasifik utara.
Keragaman jenis lamun di Indonesia cukup banyak, lamun yang telah ditemukan hingga saat ini ada 12 jenis yang termasuk ke dalam tujuh marga yaitu:
Enhalus, Halophila, Thalassia, Cymodocea, Halodule, Syringodium, dan Thalassodendron Tomascik et al. 1997. Kiswara et al. 1997 memaparkan
bahwa jenis lamun yang ditemukan di perairan Indonesia bagian timur lebih banyak jika dibandingkan dengan di Indonesia bagian barat. Di Indonesia bagian
timur dapat ditemukan 12 jenis lamun, sedangkan di Indonesia bagian barat hanya sembilan jenis lamun, bahkan lamun jenis Thalassodendron ciliatum
penyebarannya terbatas hanya di Indonesia bagian timur. Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau pulau kecil yang tersebar di
bagian utara DKI Jakarta. Mardesyawati dan Anggraeni 2009 melaporkan bahwa jenis lamun di Kepulauan Seribu terdiri dari Enhalus acoroides, Thalassia
hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Halophila minor, Syringodium isoetifolium, dan Halodule uninervis. Pada
penelitian lain di Kepulauan Seribu, diketahui bahwa jenis lamun yang memiliki penyebaran luas di Kepulauan Seribu adalah Thalassia hemprichii Kawaroe dan
Jaya 2004. Penelitian penelitian yang dilakukan di ekosistem lamun selama ini
menunjukkan bahwa lamun memiliki peranan sebagai 1 produsen primer di laut dangkal; 2 habitat hidup biota; 3 perangkap sedimen; dan 4 pendaur zat hara
Azkab 1999. Ekosistem lamun telah lama diketahui memiliki peranan penting dalam memberikan tempat perlindungan bagi organisme penempel yang hidup di
batang dan daun lamun, selain itu ekosistem lamun juga menyediakan makanan
35
serta menjadi daerah asuhan bagi ikan ikan herbivora dan organisme herbivora lainnya Kikuchi dan Peres 1977 in Azkab 1999.
2.2. Potensi Bioaktif Lamun Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kajian dan penelitian
dengan menggunakan lamun sebagai objek penelitian mulai merambah pada bidang bioteknologi dan bioprospecting. Eksplorasi senyawa bioaktif dan potensi
lamun mulai dilakukan pada beberapa dekade terakhir, tidak hanya di negara maju, eksplorasi ini juga dilakukan di Indonesia.
Enhalus acoroides merupakan salah satu jenis lamun tropis dengan morfologi yang besar, Elfahmi 1997 melakukan penelitian dengan menggunakan
jenis lamun tersebut, hasilnya menunjukkan bahwa Enhalus acoroides mengandung senyawa golongan triterpenoid, steroid, tannin, dan flavonoid.
Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa ekstrak n-heksan dari Enhalus acoroides mengandung senyawa stigmasta-3,5-diena-7-on atau sakarostenon yang
bercampur dengan asam palminat, ekstrak etil asetat dari Enhalus acoroides mengandung senyawa stigmat,5-22-dien-3-ol, dan ekstrak methanol dari Enhalus
acoroides mengandung senyawa 5,7,3,4-tetrahidroksi glikosida flavon dan 5,7,3- trihidroksiglikosida flavon.
Qi et al. 2008 memaparkan bahwa Enhalus acoroides yang dikoleksi dari Cina, dan diekstrak dengan etanol diketahui mengandung 11 senyawa murni
yang tergolong dalam golongan flavonoid dan steroid. Beberapa senyawa murni yang tergolong kedalam golongan flavonoid tersebut diduga memiliki potensi
sebagai antifouling karena terbukti toksik bagi larva-larva biota penempel, Bugula neritina Qi et al., 2008. Enhalus acoroides juga dilaporkan mengandung
senyawa bioaktif golongan fenolik yang cenderung potensial sebagai antioksidan Raja-Kannan et al. 2010.
Thalassia testudinum yang dikoleksi dari Kepulauan Bahama, dilaporkan memiliki senyawa bioaktif dengan potensi sebagai bahan baku antibiotik alami
Jensen et al. 1998. Jensen et al. 1998 melaporkan bahwa senyawa bioaktif terus diisolasi dan diilusidasi dengan metode HPLC menghasilkan senyawa murni
flavones glycoside liteolin 7-O- β-Dglucopyransyl-2-sulfate Gambar 2, senyawa
ini diketahui termasuk kedalam golongan flavonoid. Senyawa tersebut menurut
Jensen et al. 1998 juga mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme penempel, jamur jenis Schizichytrium aggregatum.
Gambar 2 Senyawa murni hasil purifikasi dan ilusidasi lamun jenis Thalassia testudinum, flavones glycoside liteolin 7-O-
β-glucopyransyl-2-sulfate
Thalassia hemprichii yang dikoleksi dari Pamban, Tamil Madu, India diketahui mengandung senyawa bioaktif potensial sebagai antibakteri, antifungi,
antiprotozoa, antiviral, antifertility, dan yang bahan obat-obatan yang berpengaruh pada sistim cardiovascular Laksmi et al. 2006. Raja-Kannan et al.
2010 memaparkan Thalassia hemprichii juga memiliki potensi bioaktif sebagai antioksidan dan mengandung senyawa golongan fenolik.
Syringodium isoetifolium merupakan salah satu jenis lamun yang dianalisis komponen bioaktifnya oleh Raja-Kannan 2010, dan hasil analisisnya
menunjukkan lamun tersebut mengandung senyawa fenolik, serta potensial sebagai bahan antioksidan. Lakshmi et al. 2006 melaporkan Syringodium
isoetifolium dari wilayah India, potensial sebagai antibaktetri, karena mampu menghambat bakteri Stapilococcus aureus, Escheria coli, Streptococcus fecalis,
Pseudomonas aeruginosa. Lamun dengan bentuk seperti lidi ini juga memliki potensi sebagai antijamur dan antivirus Lakshmi et al. 2006.
Zostera marina, Cymodocea nodosa, dan Ruppia cirrhosa merupakan jenis lamun yang tidak lazim ditemui di daerah tropis, namun ketiga lamun
tersebut juga telah dikaji potensi bioaktifnya. Zostera marina dilaporkan mengandung senyawa aromatik zosteric acid, yaitu senyawa murni yang
Sumber: Jensen et al. 1998
37
dipurifikasi dari ekstrak methanol Zostera marina Zimmerman et al. 1997 dalam Arlyza 2007. Cymodocea nodosa dan Ruppia cirrhosa, kedua jenis lamun
tersebut dilaporkan oleh El-Hady et al. 2007 memiliki ekstrak metanol yang potensial sebagai antibakteri dan antifungi.
2.3 . Senyawa Antifouling
Cat yang mengandung TBT terbukti mampu mengatasi masalah biofouling di laut, namun ternyata solusi praktis ini berdampak negatif pada lingkungan di
sekitarnya Darmayanti 1994. Salah satu contoh dampak negatif pada ekosistem, adalah indikasi terjadinya imposex pada organisme uji, Thais sp. Soedharma dan
Fauzan 1996; Yusuf et al. 2011, sehingga muncul larangan untuk menggunakan cat tersebut sejak Tahun 2008 Delauney et al. 2009.
Penelitian bioprospeksi kelautan untuk mendeteksi bahan aktif alami antifouling di Australia, sudah dikembangkan sejak tahun 1995. Senyawa bioaktif
yang digunakan berasal dari organisme laut jenis alga dan spons. Jenis alga Delisea pulchra diketahui mengandung senyawa furanones, yaitu senyawa non
polar halogen yang mampu mengurangi jumlah populasi teritip Wetherbee 2004 dalam Arlyza 2007. Anonimus 1995 dalam Arlyza 2007 mengemukakan
lactone dan furanon merupakan komponen yang berperan sebagai antifouling, yaitu berupa gugusan oksigen kecil yang mengandung cincin hidroksil.
Bahaya dan larangan penggunaan cat antifouling dengan campuran TBT dan logam berat di Indonesia menjadi pemicu bagi para peneliti untuk melakukan
kajian dan penelitian awal guna menemukan senyawa bioaktif antifouling namun ramah lingkungan bioantifouling. Sabdono dan Radjasa 2006 mengisolasi dan
mengkultur bakteri yang berasosiasi dengan Sarcophyton sp. kemudian melakukan uji bioaktif senyawa yang dihasilkan, hasilnya bakteri asosiasi tersebut
memiliki potensi untuk menghambat aktivitas bakteri biofilm. Pada penelitian yang lain, Sabdono 2007 memaparkan bahwa bakteri Pelagiobacter variabilis
mengandung senyawa bioaktif yang potensial menghambat aktivitas bakteri biofilm dan juga terbukti mampu menghambat penempelan bernakel pada kayu uji
yang direndam di laut selama satu bulan. Spons jenis Callyspongia pulvinata diketahui mengandung senyawa
bioaktif yang mampu menghambat pertumbuhan Nitzchia paleaceae dan cacing
tabung Hydroides elegans, potensi antifouling ini juga dimiliki oleh spons jenis yang lain, yaitu Dendrila nigra, Axinella donai, dan Clathria gorgonoides Selvin
dan Lipton 2002. Bakteri yang hidup di laut ataupun yang hidup bersimbiosis simbion
dengan organisme makro, juga memiliki potensi sebagai penghasil senyawa bioaktif antifouling. Pseudmonas sp. merupakan salah satu bakteri yang diisolasi
dari air laut permukaan, potensial sebagai antifouling karena mampu menghambat pertumbuhan spora Ulfa lactuca Burgess et al. 2003. Pseudoalteromonas
tunicata adalah bakteri yang diisolasi dari tunicate Ciona intestinalis, bakteri ini mengandung senyawa aktif sebagai antifouling yang mampu menghambat
pertumbuhan spora alga, bakteri, jamur dan diatom.
2.4. Biofouling
Biofouling merupakan istilah umum yang digunakan untuk semua jenis organisme laut yang hidup menempel pada permukaan substrat, organisme
penempel pada umumnya menempel hanya pada substrat yang disukainya Wahl 1989. Organisme penempel atau yang biasa disebut biofouling ini akan
menempel pada semua benda padat yang terendam di laut, terutama yang tidak dilapisi oleh lapisan antifouling. Benda
–benda padat tersebut dapat berupa bahan kayu, besi atau logam, fiber, dan beton.
Proses penempelan organisme laut pada substrat keras ini dapat dibagi menjadi lima tahapan Delauney et al. 2009, yaitu: 1 Terjadinya proses
turbulensi massa air yang mengakibatkan adanya adsorbsi bahan organik dan inorganik pada permukaan substrat; 2 Bahan organik dan inorganik yang
teradsorbsi di permukaan substrat tersebut mengandung sel mikroba, baik itu bakteri ataupun jamur, serta mampu menjadi media yang baik untuk pertumbuhan
mikrobakteri tersebut; 3 Pertumbuhan mikroba yang terus berkembang akan membentuk koloni sehingga terbentuklah lapisan biofilm; 4 Lapisan biofilm
yang terbentuk akan memicu adanya penempelan spora alga dan larva organisme bentik; 5 Pada fase inilah larva dan spora akan berkembang dengan pesat
sehingga permukaan substrat akan penuh ditempeli oleh biofouling. Ilustrasi proses penempelan biofouling pada substrat padat di laut dapat dilihat pada
Gambar 3.
39
Gambar 3 Proses penempelan biofouling pada substrat padat di laut Biofouling dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu mikrofouling dan
makrofouling. Boesono 2008 menjelaskan bahwa organisme penempel pada substrat kayu jati dan kayu bangkirai yang direndam di laut selama 2 bulan
didominasi oleh makrofouling, yaitu organisme filum crustacea dan moluska, seperti Balanus, Bankia, dan Ligia. Mikrofouling pada umumnya merupakan
susunan koloni bakteri, jamur, diatom, cyanobacter, dan jenis uniseluler alga yang lainnya. Koloni diatom, cyanobacter, dan uniseluler alga biasa disebut sebagai
peryphyton, sementara koloni jamur dan bakteri umum disebut sebagai biofilm.
2.4.1. Makrofouling
Makrofouling oleh Callow dan Callow 2002 dibedakan menjadi dua macam, yaitu makrofouling lunak dan keras. Makrofouling lunak contohnya soft
coral, spons, anemon, tunikata, dan hydroid, sementara contoh yang keras adalah bernakel, kerang, dan cacing tabung.
Kerang hijau menempel pada substrat dengan bantuan senyawa yang disekresikan oleh tubuhnya. Senyawa tersebut lengket seperti lem, disebut
sebagai protein dyhidroxypenylalanine yang masuk pada golongan polipeptida Callow dan Callow 2002. Bernakel, juga mampu mensekresikan senyawa
dengan sifat yang sama, namun diketahui sebagai senyawa hydrophobic protein Callow dan Callow 2002. Larva bernakel cyprid memiliki cambuk dan
berenang bebas, kemudian akan memilih lokasi yang baik untuk melekat dengan
Sumber : Abarzua dan Jakubowski 1995
menggunakan antennules. Salah satu bagian organ larva, yang umum disebut antennules tersebut menghasilkan cairan untuk menandai lokasi lalu kemudian
menempel. Callow dan Callow 2002 memaparkan Enthemorpha, merupakan salah satu jenis golongan makroalga yang menempel pada substrat dilaut sejak
fase spora. Spora makroalga tersebut memiliki cambuk yang dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk menempel pada substrat, karena mengeluarkan glycoprotein,
yaitu senyawa yang disekresikan dari bagian apparatus golgi spora alga.
2.4.2. Mikrofouling
Mikrofouling merupakan susunan koloni bakteri, jamur, diatom, cyanobacter, dan jenis uniseluler alga yang lainnya. Koloni diatom, cyanobacter,
dan uniseluler alga biasa disebut sebagai peryphyton, sementara koloni jamur dan bakteri umum disebut sebagai biofilm. Biofilm pada umumnya didominasi oleh
bakteri yang memiliki kemampuan untuk menempel pada substrat keras di laut. Penempelan biofilm pada permukaan substrat di laut juga melewati beberapa fase,
yaitu 1 pelekatan bakteri yang bersifat planktonik di permukaan substrat, dengan menggunakan bulu atau cambuknya flagel; 2 pembentukan koloni sederhana
antara bakteri bakteri sejenis; 3 pembentukan koloni bakteri biofilm yang semakin besar dan kondisi individu bakteri lebih matang Armitage 2005.
Tahapan penempelan bakteri biofilm tersebut ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Tahapan penempelan bakteri biofilm pada substrat di laut Proses awal pelekatan biofilm pada substrat keras dipengaruhi oleh dua
hal, yaitu 1 sifat fisika bahan sehingga terjadi reaksi kohesi dan adhesi morfologi bakteri dengan struktur substrat; 2 respon fisiologis bekteri terhadap
Sumber : Amirtage 2005
41
nutrisi yang tersedia Czaczyk dan Myszka 2007. Respon fisiologis tersebut berupa sekresi Ekstracelluler Polysakaruda Substance EPS oleh bakteri melalui
satu atau dua katub memanjang yang terdapat di bagian ujung tubuhnya. EPS telah diketahui sebagai penyusun utama koloni bakteri biofilm, yang mengandung
protein, nukleid acid, lipid, dan hampir 97 polysakarida Vu et al. 2009. Vu et al. 2009 memaparkan setiap bakteri penyusun biofilm memiliki kemampuan
untuk mensekresikan EPS yang berbeda berdasarkan komposisi dan sifat kimianya. Asam kolanat merupakan salah satu jenis EPS fleksibel yang
diproduksi oleh bakteri biofilm Pseudomonas aeruginosa, sementara Vibrio cholera diketahui mensekresikan EPS berupa senyawa galaktoglukan Vu et al.
2009. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses koloni bakteri biofilm,
selain EPS adalah adanya quorum sensing. Quorum sensing merupakan mekanisme komunikasi antar sel yang dimiliki bakteri untuk memastikan
kecukupan jumlah sel sebelum melakukan respon biologi tertentu Hentzer et al. 2002. Hentzer et al. 2002 memaparkan quorum sensing setiap sel bakteri dapat
bersamaan menghasilkan molekul sinyal, sehingga bakteri dengan molekul sinyal yang sama dapat saling mendekat, kemudian membentuk koloni dan membentuk
biofilm. Vibrio spp. adalah jenis bakteri yang bersifat halofil, sehingga umum
ditemukan di laut dan merupakan salah satu jenis bakteri biofilm yang mampu menghasilkan EPS. Bakteri ini dapat hidup optimal pada salinitas 20-40 ppm, pH
4-9, serta bersifat anaerobik fakultatif Hikmah 2011. Toleransi terhadap selang salinitas yang lebar tersebut, membuat Vibrio spp. menjadi jenis bakteri
kosmopolitan di laut. Vibrio spp. diketahui sebagai bakteri gram negatif, dengan bentuk sel
batang, dan ukuran sekitar 2-3 µm, serta bergerak dengan menggunakan cambuk di salah satu ujung selnya Feliatra 1999. Vibrio diketahui memiliki kemampuan
menghasilkan biofilm, dan kemampuan tersebut dipengaruhi oleh struktur morfologi sel dan komponen regulator sel Yildiz and Visick 2009. Morfologi
sel yang mempengaruhi, adalah keberadaan dan fungsi flagel, pili serta kemampuan sintetis EPS, sedangkan komponen regulator sel, meliputi quorum
sensing dan sinyal C-di-GMP Yildiz and Visick 2009. Yildiz and Visick 2009 mengungkapkan, keberadaan flagel dan pili membantu pergerakan bakteri untuk
membentuk koloni antar bakteri, flagel dan pili kemudian membantu koloni untuk menemukan substrat yang cocok untuk menempel. Pada saat koloni bakteri
tersebut menempel di permukaan, flagel dan pili lepas, kemudian bakteri mulai membentuk biofilm.
Komunikasi antar bakteri terjadi dengan mekanisme quorum sensing, sehingga terjadi sekresi enzim yang mendeteksi autoinduncer sesama jenis Vibrio
Waters et al. 2008. Vibrio cholera mengandung enzim yang dihasilkan ketika mekanisme quorum sensing terjadi adalah CAI-1, 5-3-hydroxytridecan-1-one
dan AL-2, 25,45-metyl 2,3,4 –tetrahydroxy tetrahydrofuranborate Waters et al.
2008. Waters et al. 2008 juga menjelaskan, protein 3’ 5’ cyclic diguanylic acid
c-di-GMP merupakan salah satu komponen yang membantu komunikasi intraseluler, yang membawa pesan mengenai kondisi lingkungan disekitar sel. C-
di-GMP pada Vibrio diketahui mampu memicu peningkatan densitas sel dalam koloni, serta mengontrol pembentukan biofilm.
2.5. Ekstraksi Senyawa Bioaktif
Ekstraksi merupakan salah satu proses pemisahan satu atau lebih komponen senyawa dari sumbernya, agar diperoleh komponen dari suatu bahan
yang diinginkan. Khopkar 2003 menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi ekstraksi, yaitu: lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang
digunakan. Jenis pelarut yang digunakan juga harus diperhatikan titik didih, sifat korosif, sifat toksik dan daya melarutkannya.
Berdasarkan jenis pelarutnya, ekstraksi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: aqueos phase, dengan menggunakan air dan organic phase dengan
menggunakan pelarut organik. Berdasarkan metode kerjanya, ekstraksi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 1 Penekanan mekanik; 2 Menggunakan
pelarut; 3 Pemanasan. Selama proses maserasi, pelarut akan menembus dinding sel sehingga senyawa bioaktif akan larut, proses osmoregulasi kemudian akan
terjadi. Larutan pekat di dalam sel akan didesak keluar terus menerus sampai keseimbangan konsentrasi larutan di dalam dan di luar sel terjadi.