bersifat non polar. Tingginya potensi ikatan hidrogen yang terbentuk pada pelarut metanol, menyebabkan zat bioaktif yang terkandung dalam Enhalus acoroides
dan Thalassia hemprichii lebih mudah larut didalamnya, sehingga lebih banyak zat bioaktif yang diperoleh dari proses ekstraksi.
Tabel 4 Berat ekstrak kasar Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii
Spesies Berat Contoh
g Berat ekstrak g
Ekstrak Metanol
Ekstrak n –
heksana
Enhalus acoroides n=3 50
1,36±0,058 0,16±0,04
Thalassia hemprichii n=3
50 1,50±0,086
0,16±0,016
Nilai berat yang disajikan pada Tabel 4 digunakan untuk menghitung rendemen, yaitu perbandingan nilai berat ekstrak yang dihasilkan dengan berat
awal contoh daun lamun kering dalam persen . Rendemen ekstrak kasar lamun jenis Enhalus acoroides, dengan pelarut n-heksana adalah 0,32,
sedangkan dengan pelarut metanol adalah 2,71. Rendemen ekstrak kasar lamun jenis Thalassia hemprichii dengan pelarut n-heksana adalah 0,32, sementara
dengan pelarut metanol adalah 2,99 Gambar 15. Nilai rendemen kedua jenis lamun yang diekstraksi dengan pelarut polar
methanol lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diekstraksi dengan pelarut non polar n-heksana. Nilai rendeman hasil penelitian kemudian dianalisis
dengan melakukan uji anova Lampiran 1, dan dilanjutkan dengan uji F untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap rendemen ekstrak. Hasil uji
F yang dilakukan, menunjukkan faktor pelarut memiliki pengaruh yang nyata terhadap nilai rendemen, sedangkan jenis lamun tidak berpengaruh nyata terhadap
nilai rendemen.
63
Sumber: Diolah dari Tabel 4
Gambar 15 Rendemen ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Faktor kepolaran pelarut merupakan peran penting dalam menentukan
nilai besaran rendemen dari ekstrak suatu organisme, karena jenis pelarut dengan kepolaran yang berbeda akan melarutkan zat aktif dari dalam organisme yang
berbeda pula. Khopkar 2003 menyebutkan bahwa kelarutan suatu zat pada pelarut tertentu sangat bergantung pada kemampuan zat tersebut untuk
membentuk ikatan hidrogen. Pelarut n –hekasana merupakan senyawa
hidrokarbon yang memiliki rantai lurus sehingga tidak dapat larut dalam air, sementara metanol merupakan senyawa yang memiliki bobot molekul rendah
sehingga mudah membentuk ikatan hidrokarbon dan mudah larut dalam air. Tingginya potensi ikatan hidrogen yang terbentuk pada pelarut metanol,
menyebabkan zat bioaktif yang terkandung dalam Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii lebih mudah larut didalamnya, sehingga lebih banyak zat
bioaktif yang diperoleh dari proses ekstraksi. Pengaruh faktor kepolaran pelarut terhadap rendemen hasil ekstraksi juga
terjadi pada penelitian eksplorasi bahan bioaktif dari karang lunak jenis Sarcophyton sp. dan Sinularia sp. yang dilakukan oleh Soedharma et al. 2009.
Pada penelitian yang dilakukan Soedharma et al. 2009 disebutkan bahwa
0.00 0.50
1.00 1.50
2.00 2.50
3.00 3.50
Enhalus acoroides Thalassia hemprichii
R e
n d
e m
e n
metanol
n - heksana
rendemen ekstrak metanol karang lunak jenis Sarcophyton sp dan Sinularia sp. adalah 2,55 dan 1,56, dan rendemen ekstrak n-heksana adalah 0,42 dan
1,38. Hal ini menunjukkan bahwa hasil ekstraksi yang dilakukan terhadap organisme laut, baik tumbuhan ataupun hewan, dipengaruhi oleh faktor kepolaran
dari pelarut yang digunakan. Semakin polar sifat pelarut yang digunakan, maka hasil rendemen ekstraksi akan semakin banyak.
4.3. Golongan Senyawa Fitokimia Golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak lamun jenis Enhalus
acoroides dan Thalassia hemprichii ditampilkan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil uji fitokimia, diketahui bahwa ekstrak metanol dari Enhalus acoroides
mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, banedict, dan ninhidrin. Ekstrak metanol lamun jenis Thalassia hemprichii diketahui mengandung senyawa
golongan alkaloid, steroid, flavonoid, benedict dan ninhidrin. Uji fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak n-heksana dari Enhalus acoroides menunjukkan
bahwa ekstrak tersebut mengandung senyawa pada golongan flavonoid dan benedict, sementara uji yang dilakukan terhadap ekstrak Thalassia hemprichii
menunjukkan ketersediaan senyawa bioaktif pada golongan alkaloid, steroid, flavonoid, dan benedict.
Seluruh ekstrak lamun dengan pelarut n-heksana dan metanol memperlihatkan respon positif terhadap uji flavonoid dan uji benedict Tabel 5.
Hal ini menunjukkan seluruh ekstrak lamun mengandung senyawa bioaktif golongan flavonoid dan gula pereduksi. Flavonoid diketahui sebagai salah satu
golongan senyawa fenol alam terbesar dan banyak ditemui umumnya pada jenis tumbuhan Markham 1988. Flavonoid diduga berperan aktifsebagai antifouling,
karena isolat senyawa flavonoid dari Thalassia testudinum terhadap penempelan organisme. Winarno 1997 menyebutkan gula pereduksi menunjukkan
keberadaan gugus hidroksil OH pada sebuah senyawa, sementara Anonimus 1995 in Arlyza 2007 mengemukakan keberadaan cincin hidroksil OH dalam
senyawa flavonoid yang berperan sebagai antifouling. Mekanisme senyawa flavonoid dalam menghambat pertumbuhan bakteri pembentuk biofilm
disebabkan oleh keberadaan gugus OH yang dapat berikatan dengan protein
65
dalam membran sel bakteri, sehingga membran sel pecah dan seluruh organel sel keluar dan berdampak pada kematian sel Scheuer 1994.
Tabel 5 Hasil identifikasi kandungan golongan senyawa lamun jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii
Uji Fitokimia
n-heksana non polar Metanol polar
Enhalus acoroides
Thalassia hemprichii
Enhalus acoroides
Thalassia hemprichii
Alkaloid
- +
+ +
Steroid
- +
- +
Flavonoid
+ +
+ +
Saponin
- -
- -
Molisch
- -
- -
Benedict
+ +
+ +
Biuret
- -
- -
Ninhidrin
- -
+ +
+ : Mengandung golongan senyawa yang diuji - : Tidak mengandung golongan senyawa yang diuji
Robinson 1995 menjelaskan bahwa senyawa pada golongan alkaloid pada umumnya potensial dimanfaatkan sebagai antibakteri dan bahan obat obatan
analgesik. Senyawa pada golongan ini diduga mampu mengganggu komponen penyusun peptidoglikan, sehingga dinding sel bakteri tidak tersusun dengan utuh,
kemudian menyebabkan kematian. Golongan senyawa lain yang juga ditemukan adalah steroid. Golongan
senyawa steroid merupakan salah satu jenis senyawa sterol yang mudah ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi, meskipun pada periode penelitian awal
senyawa sterol diduga hanya ditemukan pada ekstrak hewan saja Harbone 1987. Ekstrak yang mengandung senyawa golongan steroid ini memiliki potensi sebagai
antibakteri dan antifungi, dengan mekanisme merusak membran sel bakteri, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri Cowan 1999. Vickery dan vickery
1981 pada bukunya juga memaparkan bahwa senyawa golongan steroid sangat potensial menghambat pertumbuhan bakteri dengan mekanisme peningkatan
permeabilitas membran sel kemudian terjadi kebocoran sel dan bagian intrasel akan terhambur keluar.
Uji ninhidrin menunjukkan hasil positif pada lamun yang diekstrak dengan pelarut metanol, artinya lamun mengandung senyawa asam amino dan dapat larut
pada pelarut metanol. Hasil uji ninhidrin sesuai dengan hasil penelitian Setyati et al. 2005 yang memaparkan Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii
mengandung asam amino sebesar 7,65 dan 8,35. Uji fitokimia yang dilakukan menunjukan bahwa Enhalus acoroides dan
Thalassia hemprichii yang dikoleksi dari Pulau Pramuka, DKI Jakarta mengandung senyawa bioaktif golongan flavonoid. Senyawa bioaktif golongan
flavonoid selama ini diduga memiliki potensi sebagai bahan bioantifouling Anonimus 1995 in Arlyza 2007. Uji ini menunjukan bahwa Enhalus acoroides
Thalassia hemprichii memiliki potensi sebagai bioantifouling.
4.4. Toksisitas Senyawa Bioaktif Lamun
Hasil uji toksisitas yang dilakukan terhadap hewan uji Artemia salina menunjukkan hasil yang beragam tingkat toksisitasnya, dapat dilihat pada Tabel 6.
Nilai hasil uji toksisitas tersebut diperoleh dengan menggunakan nilai konsentrasi ekstrak lamun dan mortalitas hewan uji Lampiran 2. Kedua besaran nilai
tersebut kemudian dikonversi menjadi bilangan logaritma dengan bantuan tabel probit Lampiran 3, lalu dihitung dan diregresikan untuk memperoleh nilai LC
50
Lampiran 4, sehingga diperoleh bentuk grafik yang sigmoid. Konsentrasi ekstrak lamun yang diaplikasikan terhadap organisme uji
Artemia salina adalah 10, 100, 500, dan 1000 ppm. Data log konsentrasi ekstrak lamun dan mortalitas probit A. salina yang diperoleh kemudian dihubungkan dan
dilihat korelasinya dengan grafik regresi Gambar 16. Melalui persamaan dari grafik regresi yang terbentuk, diperoleh nilai toksisitas LC
50
Tabel 6. Nilai toksisitas LC
50
tertinggi diperoleh dari ekstrak n-heksana Enhalus acoroides, yaitu 1309,42 ppm, sementara nilai terendah diperoleh dari ekstrak metanol Enhalus
acoroides, yaitu 5,74 ppm. Hal ini menujukkan bahwa ekstrak n-heksana Enhalus acoroides bersifat tidak toksik, sementara ekstrak metanol Enhalus acoroides
bersifat sangat toksik Meyer et al. 1982.
67
Tabel 6 Nilai toksisitas ekstrak lamun terhadap hewan uji Artemia salina
Ekstrak n –
heksana Konsentrasi
ppm Log
Konsentrasi Persen
Mortalitas Prob
it LC50
ppm
T. hemprichii 10
1 13,33
3,87 707,22
100 2
23,33 4,26
500 2,7
36,67 4,64
1000 3
66,67 5,41
E. acoroides 10
1 6,67
3,45 1309,42
100 2
23,33 4,26
500 2,7
33,33 4,56
1000 3
50,00 5,00
Ekstrak metanol
Konsentrasi ppm
Log Konsentrasi
Persen Mortalitas
Prob it
LC50 ppm
T. hemprichii 10
1 33,33
4,56 165,45
100 2
43,33 4,82
500 2,7
56,67 5,15
1000 3
66,67 5,41
E. acoroides 10
1 56,67
5,15 5,74
100 2
60,00 5,25
500 2,7
66,67 5,41
1000 3
80,00 5,84
Sumber : Diolah dari Lampiran 1, dengan menggunakan Tabel Probit pada Lampiran 2
Persamaan yang terbentuk dari hubungan log konsentrasi ekstrak lamun dengan mortalitas probit adalah sebagai berikut 1 y = 0,678x+3,068 R²=0,842
untuk ekstrak n-heksana Thalassia hemprichii; 2 y=0,726x+2,737 R²=0,975 untuk ekstrak n-heksana Enhalus acoroides; 3 y=0,407x+4,097 R²=0,947 untuk
ekstrak metanol Thalassia hemprichii; 4 y=0,290x+4,78 R²=0,719 untuk ekstrak metanol Enhalus acoroides Gambar 16. Berdasarkan empat persamaan
diatas diperoleh dua nilai koefisien korelasi R
2
yang hampir mendekati 1, yaitu 0,947 untuk ekstrak n-heksana Enhalus acoroides dan 0,975 untuk ekstrak
metanol Thalassia hemprichii, artinya konsentrasi kedua ekstrak tersebut dengan nilai mortalitas A. salina mempunyai hubungan yang sangat erat, dimana semakin
tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan semakin besar pula jumlah A. salina yang mengalami kematian.
A
B
C
D
Gambar 16 Grafik regresi hubungan log konsentrasi dan mortalitas A. salina dalam nilai probit dari A Ekstrak n-heksana Thalassia hemprichii;
B Ekstrak n-heksana Enhalus acoroides; C Ekstrak methanol Thalassia hemprichii; D Ekstrak methanol Enhalus acoroides
Thalassia hemprichii yang diekstrak dengan pelarut methanol dan n- heksana, serta Enhalus acoroides yang diekstrak dengan pelarut methanol
diketahui masuk dalam kategori toksik dan sangat toksik. Data tersebut menunjukkan adanya korelasi positif dengan hasil uji fitokimia, yang
menunjukkan bahwa didalam ketiga ekstrak kasar tersebut terkandung senyawa bioaktif yang dapat bersifat toksik bagi sel organisme, yaitu senyawa golongan
flavonoid, steroid, dan alkaloid. Hal ini didukung oleh Jensen et al. 1998 yang melaporkan bahwa
senyawa bioaktif golongan flavonoid flavones glycoside liteolin 7-O- β-
Dglucopyransyl-2-sulfate, yang diisolasi dari Thalassia testudinum bersifat toksik dan mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme penempel, jamur
jenis Schizichytrium aggregatum. Zimmerman 1997 in Arlyza 2007 mengemukakan pendapat yang sama, bahwa senyawa golongan fenolik flavonoid
y = 0.678x + 3.068 R² = 0.842
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00
0.00 2.00
4.00
P rob
it
Log Konsentrasi
y = 0.726x + 2.737 R² = 0.975
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00
0.00 2.00
4.00
P rob
it
Log Konsentrasi
y = 0.407x + 4.097 R² = 0.947
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00
0.00 2.00
4.00
P rob
it
Log Konsentrasi
y = 0.290x + 4.78 R² = 0.719
5.00 5.20
5.40 5.60
5.80 6.00
0.00 2.00
4.00
P rob
it
Log Konsentrasi
69
p-sulfoxy cinnamic, yang terkandung dalam Zoostera marina, dapat menghambat pertumbuhan biota penempel di laut.
Golongan senyawa steroid bersifat toksik bagi organisme, karena dapat meningkatkan permeabilitas sel organisme uji, sehingga membran sel menipis,
kemudian terjadi kebocoran sel, dan bagian intra sel organisme akan terhambur keluar Vickery dan vickery 1981. Teori ini didukung oleh Cowan 1999 yang
mengemukakan hasil penelitiannya bahwa senyawa golongan steroid ini memiliki potensi sebagai antibakteri dan antifungi, dengan mekanisme merusak membran
sel bakteri, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri. Senyawa alkaloid merupakan salah satu golongan senyawa yang diketahui
bersifat toksik terhadap hewan uji, yaitu dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan, sehingga dinding sel bakteri tersusun tidak beraturan
Robinson 1995. Ekstrak dengan kandungan senyawa golongan alkaloid memiliki potensi dimanfaatkan sebagai bahan baku farmasi Robinson 1995
Ekstrak methanol Enhalus acoroides hasil penelitian 5,74 ppm termasuk dalam golongan sangat toksik
Meyer et al. 1982, dan memiliki tingkat toksisitas lebih tinggi daripada ekstrak metanol lamun jenis Thalassia hemprichii 165,45 ppm,
bahkan lebih tinggi dari ekstrak metanol karang lunak jenis Sarcophyton sp. dan Sinularia sp., yaitu 45,15 ppm dan 201,93 ppm Soedharma et al. 2009.
Ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dengan pelarut n-heksana hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak tersebut relatif lebih toksik jika
dibandingkan dengan ekstrak n-heksana dari Ulfa reticulata. Ini terjadi karena nilai LC
50
ekstrak n-heksana Ulfa reticulata, adalah 6367,95 ppm Tamat et al. 2007, nilai ini berada jauh diatas nilai LC
50
dari Ekstrak n-heksana Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii.
Komponen toksik yang terkandung dalam contoh-contoh ekstrak lamun, jika diberikan pada Artemia salina sebagai hewan uji dapat menyebabkan
kematian. Kematian tersebut terjadi karena Artemia salina merupakan hewan yang mengkonsumsi bahan-bahan organik, sehingga seluruh komponen dari
ekstrak lamun akan dikonsumsi dan terakumulasi didalam tubuhnya. Loomis 1978 menyebutkan bahwa akumulasi komponen toksik di dalam tubuh Artemia
salina akan terus meningkat seiring pertambahan waktu, sehingga menyebabkan kematian.
4.5. Uji bioantifouling
Uji bioantifouling dilakukan dengan teknik invitro, menggunakan metode aktivitas hambat bakteri. Bakteri yang digunakan adalah bakteri Vibrio spp. yang
diseleksi dari isolat bakteri pembentuk biofilm koleksi P2O LIPI. Seleksi bakteri Vibrio spp. dilakukan dengan menggunakan media TCBS, bakteri pembentuk
biofilm jenis Vibrio spp. akan membentuk koloni berwarna kuning terang pada media tersebut Gambar 17a. Identifikasi awal jenis bakteri dilakukan dengan
metode gram positif – gram negatif, dan hasil uji tersebut menunjukkan bahwa
dua bakteri Vibrio spp. merupakan bakteri gram negatif, ditunjukan dengan warna merah muda pada Gambar 17b.
a b
Gambar 17 a Koloni bakteri Vibrio spp. hasil seleksi dengan menggunakan media TCBS; b Hasil identifikasi dengan metode pewarnaan gram
bakteri Vibrio spp. hasil seleksi.
Aktivitas hambat biofilm ekstrak lamun pada konsentrasi 20 mgml terhadap bakteri uji Vibrio 4-3 dan 15-3 menunjukkan hasil yang kurang memuaskan,
karena zona bening yang terbentuk hampir tidak tampak Gambar 18. Diameter rata-rata zona bening kurang dari 1 mm Tabel 7, nilai tersebut menunjukkan
bahwa aktivitas hambat ekstrak lamun terhadap bakteri pembentuk biofilm tergolong lemah Bell 1984. Feliatra 1999 menjelaskan Vibrio memiliki
kecenderungan sebagai bakteri gram negatif, sementara Branen dan Davidson 1993 memaparkan bakteri gram negatif umumnya sensitif terhadap senyawa
yang bersifat polar.
71 Tabel 7 Hasil pengujian aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia
hemprichii pada konsentrasi 20mgml
Lamun Diameter Zona Hambat mm
Ekstrak n – heksana
Bakteri Vibrio 4 - 3
Bakteri Vibrio 15
– 3
Thalassia hemprichii 0,7
0,2 Enhalus acoroides
0,8 0,3
Ekstrak metanol Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 – 3
Thalassia hemprichii 1,2
0,2 Enhalus acoroides
0,7 0,2
Kontrol Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 – 3
n – heksana
Metanol
Sumber : Diolah dari Lampiran 5.
Zona hambat yang terbentuk dari hasil uji aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 20mgml
ditampilkan pada Gambar 18.
Bakteri Biofilm Vibrio 4 – 3
Bakteri Biofilm Vibrio 15 – 3
Gambar 18 Hasil uji aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 20mgml; Kertas cakram ditetesi Hex
pelarut n-heksana; Met pelarut methanol; 1 Ekstrak Enhalus acoroides dengan pelarut methanol; 2 Ekstrak Thalassia hemprichii
dengan pelarut methanol; 3 Ekstrak Enhalus acoroides dengan pelarut n-heksana; 4 Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut n-
heksana
Aktivitas hambat biofilm ekstrak lamun pada konsentrasi 200 mgml menunjukkan hasil yang lebih baik dari konsentrasi sebelumnya 20 mgml, zona
bening yang terbentuk terlihat variatif Gambar 19, dengan diameter beragam, namun rata-rata masih kurang dari 5 cm Tabel 8. Nilai-nilai tersebut
menunjukkan bahwa aktivitas hambat ekstrak lamun dengan konsentrasi 200 mgml tergolong lemah hingga sedang Bell 1984.
Tabel 8 Hasil pengujian aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 200mgml.
Lamun Diameter Zona Hambat mm
Ekstrak n – heksana
Bakteri Vibrio 4 - 3
Bakteri Vibrio 15 - 3
Thalassia hemprichii 3.67
3.67 Enhalus acoroides
5.00 2.33
Ekstrak metanol Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 - 3
Thalassia hemprichii 5.33
1.33 Enhalus acoroides
3.67 1.00
Sumber : Diolah dari Lampiran 6.
Hasil uji aktivitas hambat biofilm dari ekstrak lamun dengan konsentrasi 200mgml dapat dilihat pada Gambar 19.
Bakteri Biofilm Vibrio 4 – 3
Bakteri Biofilm Vibrio 15 – 3
Gambar 19. Hasil uji aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 200mgml; Kertas cakram ditetesi 1
Ekstrak Enhalus acoroides dengan pelarut methanol; 2 Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut methanol; 3 Ekstrak Enhalus
acoroides dengan pelarut n-heksana; 4 Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut n-heksana.
73
Jika data hasil uji aktivitas hambat biofilm diperhatikan lebih lanjut, diketahui nilai diameter zona hambat biofilm yang terbentuk dari seluruh ekstrak
terhadap bakteri uji Vibrio 4-3 MA lebih besar jika dibandingkan dengan zona hambat yang terbentuk pada bakteri uji Vibrio 15-3 MA. Hal ini menunjukkan
bahwa aktivitas bertahan bakteri uji Vibrio 15-3 MA lebih baik, karena mampu melawan ekstrak lamun yang terkandung dalam kertas cakram, sehingga nilai
zona hambat yang terbentuk disekitar kertas cakram rendah. Berdasarkan data yang diperoleh dan ditampilkan pada tabel diatas, secara
umum diketahui ektrak lamun yang menggunakan pelarut metanol cenderung menghasilkan nilai zona hambat yang lebih besar jika dibandingkan dengan
ekstrak lamun yang menggunakan pelarut n-heksana. Hal ini menunjukkan bahwa pelarut metanol lebih potensial dan efektif digunakan untuk ekstraksi
senyawa bioaktif lamun, karena dapat menghambat aktivitas bakteri biofilm. Sensitivitas bakteri gram negatif terhadap senyawa polar disebabkan oleh
adanya membran luar, yaitu sebuah lapisan tambahan pada dinding sel. Membran luar tersusun atas lipopolisakarida, porin, dan lipoprotein, keberadaaan molekul
protein tersebut memudahkan difusi pasif senyawa hidrofilik dengan berat molekul rendah, seperti senyawa golongan alkaloid dan flavonoid Jawet 1998.
Ekstrak Enhalus acoroides baik yang dilarutkan dengan metanol ataupun dengan heksana, menurut data hasil penelitian yang diperoleh cenderung
mambentuk zona hambat yang lebih luas jika dibandingkan dengan ekstrak Thalassia hemprichii. Hal ini diduga disebabkan oleh bentuk morfologi daun
Enhalus acoroides yang lebih besar, luas, dan tebal, sehingga mampu menyimpan bahan bioaktif lebih banyak. Bentuk morfologi daun lamun Enhalus acoroides
yang lebar, banyak dimanfaatkan oleh organisme di alam untuk menempel dan juga untuk makanan, dalam kondisi tekanan alam berupa predasi dan persaingan
tempat hidup tersebut Enhalus acoroides akan menghasilkan senyawa bioaktif metabolit sekunder sebagai bentuk pertahanan diri dari predator dan organisme
lain. Uji bioantifouling dengan menggunakan ekstrak metanol lamun terhadap
bakteri pembentuk biofilm genus Vibrio sp. sudah pernah dilakukan sebelumnya oleh Mayavu et al. 2009, hasilnya menunjukkan bahwa ektrak metanol
Cymodocea serrulata dan Syringodium isoetifolium membentuk zona hambat dengan diameter 3 mm, dan 6 mm. Hal ini menunjukkan bahwa lamun jenis
Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides memiliki potensi yang lebih baik dari jenis Cymodocea serrulata untuk menghambat aktivitas bakteri pembentuk
biofilm Vibrio spp. .
75
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah: 1 Hasil uji fitokimia ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii menunjukkan adanya kandungan
gula pereduksi dan senyawa bioaktif dari jenis flavonoid; 2 Hasil iji toksisitas menunjukan bahwa ekstrak metanol Enhalus acoroides bersifat sangat toksik
dengan nilai LC
50
5,74 ppm, sedangkan ekstrak n-heksana Enhalus acoroides bersifat tidak toksik ditunjukkan dengan nilai LC
50
1309,42 ppm; 3 Ekstrak kasar lamun pada konsentrasi 200 mgml memiliki kemampuan menghambat aktivitas
biofilm pada kategori lemah hingga sedang.
5.2. Saran
Saran dari penelitian ini, adalah perlu dilakukan eksplorasi pemanfaatan lamun pada bagian batang dan rhizoma, agar pemanfaatan potensi bioprospeksi
dari lamun lebih optimal, serta isolasi dan purifikasi senyawa golongan flavonoid dari lamun yang potensial sebagai bioantifouling. Identifikasi bakteri pembentuk
biofilm sebaiknya dilakukan hingga tingkat spesies, dan hewan uji yang digunakan untuk uji toksisitas, sebaiknya menggunakan organisme penempel,
antara lain Balanus sp..
77
DAFTAR PUSTAKA
Abarzua S, Jakubowski S. 1995. Biotechnological investigation for the prevention
of biofouling. I. Biological and biochemical principles for the prevention of biofouling. Mar Ecol, Vol 123; 301
– 312. Armitage JP. 2005. Understanding the development and formation of biofilm.
Unpublish Paper. Department of Biochemistry, University of Oxford. Arlyza IS. 2007. Bahan bioaktif dari organisme laut sebagai pengendali biota
penempel. Oseana, Vol 321; 39 – 48.
Azkab MH. 1999. Pedoman inventarisasi lamun. Oseana, Vol 241; 1 -16. Bell SM. 1984. Antibiotic sensitivity testing by CDS methods. Di dalam:
Hertwig N, editor. Clinical Microbiology Up Date Pragramme. New South Wales. The Price Wales Hospital.
Boesono H. 2008. Pengaruh lama perendaman terhadap organisme penempel dan modulus elastisitas pada kayu. Jurnal Ilmu Kelautan, Vol 133; 177
– 180. Branen AL, Davidson PJ. 1993. Antimicrobial in Foods. New York: Marcel
Dekker. Burgess JG, Boyd KG, Amstrong E, Jiang Z, Yan L, Berggren M, May U,
Pisacane T, Granmo A, Adams DR. 2003. The development of a marine natural product
– based antifouling paint. Biofouling, suppl: 197 – 205. Burrell DC dan Schubel JR. 1977. Seagrass ecosystem oceanography. Di dalam:
McRoy P dan Mc Millan C eds. Seagrass Ecosystem: a Scientific Perspective. New York : Marcel Dekker.
Callow ME, Callow JA. 2002. Marine biofouling: a sticky problem. Biologist, Vol 491.
Cowan MM. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clin microbio Reviews, Vol 24; 69
– 72. Czaczyk K, Myszka K. 2007. Biosynthesis of extracellular polymeric substance
EPS and its role in microbial biofilm formation. Polish J. Environ Stud, Vol 166; 799
– 806. Darmayanti, Y. 1994. Environtmental impact of antifouling system: The use of
tributhyltin. Oseana, Vol 192; 9 – 16.
Delauney L, Compere C, Lehaitre M. 2009. Biofouling protection for marine enviromental sensors. Osean Science Discussions, Vol 6; 2993
– 3018.
Den Hartog, Kuo CJ. 2006. Taxonomy and Biogeography of Seagrasses. Di dalam: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte CM, editor. Seagrasses: Biology,
Ecology and Conservation. Netherlands: Springer. Dewi CSU, Kawaroe M, Aziz A. 2009. Struktur Komunitas Moluska Pada Padang
Lamun di Teluk Gilimanuk, TN. Bali Barat. SEMNASKAN VI. FPIK - UB. Malang.
El-Hady HA, Daboor SM, Ghoniemy AE. 2007. Nutritive and antimicrobial profiles of some seagrasses from Bardawil Lake, Egypt. Egyptian Journal
Of Aquatic Research, Vol 333; 103 – 110.
Elfahmi, Sodiro I, Ruslan K. 1997. Telaah fitokimia dan uji hayati pendahuluan lamun Enhalus accorides L. F. Royle. [tesis]. Bandung: Sekolah Farmasi,
Institut Teknologi Bandung. Fahmi S, Dewi CSU, Salami H. 2010. Struktur Komunitas dan Biomassa Lamun
di Perairan Pulau Belitung. Makalah Ilmiah. PIT ISOI VII. Hotel Santika, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka-Belitung. 6
– 7 Oktober 2010. Feliatra. 1999. Identifikasi bakteri patogen Vibrio sp. di perairan Nongsa Batam
Propinsi Riau. Jurnal Natur Indonesia, Vol 111; 28 – 33.
Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods.
Hentzer M, Riedl K, Rasmussen TB, Heydorn A, Anderson JB, Parsek MR, Rice SA, Eberl L, Molin S, Hoiby N, Kjelleberg S, Givskov M. 2002. Inhibition
of quorum sensing in Pseudomonas aeruginosa biofilm bacteria by a halogenated furanone compound. Microbiology 148. 87
– 102. Hikmah A. 2011. Isolasi dan identifikasi bakteri Vibrio cholera pada kerang di
tempat pelelangan ikan TPI wilayah sidoarjo. Unpublish artikel. Surabaya: Fakultas Kedokteran Hewan, UNAIR.
Hillman K, Walker DJ, Larkum AWD, dan McComb AJ. 1989. Productivity and nutrient limitation of seagrasses. Di dalam: Larkum AW, McComb AJ, dan
Shepherd SA eds. Biology of Seagrasses. Netherland: Elsevier Science Publishers.
Jawet E. 1998. Obat-obatan kemoteuratika. Staf Dosen Fakultas Kedokteran UNSRI, penerjemah; Katzung, BG, edtitor. Jakarta: Farmakologi Dasar dan
Klinik. Terjemahan dari: Basic and Clinical Pharcology. Jensen PR, Jenlins KM, Porter D, Fenical W. 1998. Evidence that a new antibiotic
flavone glycoside chemically defends the seagrass Thalassia testudinum against zoosporic fungi. AEM, Vol 644; 1490
– 1496.
79
Kawaroe M, Jaya I. 2004. Pemetaan Bioekologi Padang Lamun Seagrass di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Laporan. Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Khopkar SM. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI
– Press. Kiswara W, Azkab MH, Purnomo LH. 1997. Komposisi Jenis dan Sebaran
Lamun di Kawasan Cina Selatan. Di dalam Suyarso, editor. 1997. Atlas Oseanologi Laut Cina Selatan. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia – Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi.
Lakshmi V, Goel AK, Srivastava MN, Kulshreshta DK, Raghubir R. 2006. Bioactivity of marine organism: part IX
– screening of some marine flora from Indian Coasts. IJEB, Vol 44; 137
– 141. Loomis TA. 1978. Essential of Toxicology. London: Henry Kimpton Publisher.
Lumban-Toruan, LN. 2011. Pendugaan Kualitas Ekosistem Terumbu Karang Di
Kepulauan Seribu Dengan Menggunakan Proporsi Foraminifera Bentik Sebagai Bioindikator. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Maabuat PV, Sampekalo J, Simbala HEI. 2012. Keanekaragaman lamun di pesisir Pantai Molas, Kecamatan Bunaken, Kota Manado. J. Bios Logos. Vol 21:
20 – 27.
Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2000. Brock biology of microorganisms. Ed ke-9. USA: Prentice Hall, Inc.
Mardesyawati A, Anggraeni K. 2009. Persen Penutupan dan Jenis Lamun di kepulauan Seribu. Di dalam Estradivari, Setyawan E, Yusri S, editor.
Terumbu Karang Jakarta: Pengamatan Jangka Panjang Terumbu Karang Kepulauan Seribu 2003
– 2007. Jakarta. Yayasan TERANGI. Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Kosasih P, penerjemah.
Bandung: Institut Teknologi Bandung. Mayavu P, Sugesh S, Ravindran VJ. 2009. Antibacterial activity of seagrass
species againts biofilm forming bacteria research. JM, Vol 48; 314-319. Meyer BN, Ferigni NR, Putnam JE, Jacobsen LB, Nicholas DE, Laughlin JL.
1982. Brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents. Planta medica, Vol 453; 31
– 34.
Prabhakaran S, Rajaram R, Balasubramanian V, Mathivanan K. 2012. Antifouling potential of extracts from seaweeds, seagrasses, and mangroves againts
primary biofilm forming bacteria. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine, S316
– S322. Phillips RC dan Menez EG. 1988. Seagrasses. Washington DC: Smithsonian
Institution Press. Qi Shi-Hua, Si Zhang, Pei-Yuan Qian, Bin-Gui Wang. 2008. Antifeedant,
antibacterial, and antilarval compounds from the South China Seagrass Enhalus acoroides. In Press. Botanica Marina, Vol 51.
Raja-Kannan RR, Arumugam R, Meenakhshi S, Anantharaman P. 2010. Thin layer chromatography analysis of antioxidant constituents from seagrasses
of Gulf of mannar biosphere reserve, South India. IJCRGG. Vol 23; 1526 – 1530.
Ramage G, Walle KV, Wickes BL, Lopez-Ribot JL. 2001. Characteristics of biofilm formation by Candida albicans. Rev Iberon Micol, Vol 18; 163
– 170 .
Riguera R. 1997. Isolating bioactive compound from marine organism. J Mar Biotechnol, Vol 52; 187
– 193. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung: ITB Press.
Sabdono A, Radjasa OK. 2006. Antifouling activity of bacteria associated with
soft coral Sarcophyton sp. against marine biofilm forming bacteria. COASTDEV, Vol 101; 55 -62.
Sabdono A. 2007. Pengaruh ekstrak antifouling bakteri karang Pelagiobacter variabilis strain USP3.37 terhadap penempelan bernakel di Perairan Pantai
Teluk Awur, Jepara. Ilmu Kelautan, Vol 121; 18-23. Scheuer HS. 1994. Produk Alami Lautan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Schlegel HG dan Schmidt K. 1994. Mikrobiologi Umum. Baskara, T, Penerjemah.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Selvin J, Lipton AP. 2002. Development of a rapid “mollusk foot adherence
bioassay” for detecting potent antifouling bioactive compounds. Current science, Vol. 836; 735
– 737. Setyati WA, Subagiyo S, Ridlo A. 2005. Potensi berbagai jenis lamun sebagai
sumber makanan kesehatan: Analisis Proximat. Indonesian Journal of Marine Sciences. Vol 210.
81
Soedharma D, Effendi H, Kawaroe M. 2009. Fragmentasi buatan karang lunak Sinularia dura, Lobophytum strictum, dan Sarcophyton roseum di pulau
pramuka, kepulauan seribu. [Laporan Akhir - Riset Insentif Terapan]. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Institut Pertanian
Bogor.
Soedharma D, Fauzan A. 1996. Imposex pada Neogastropoda Thais sp. sebagai akibat kontiminasi tributylin Senyawa Sn dari cat pelapis kapal di sekitar
Pelabuhan Ratu Jawa Barat. Jurnal Ilmu Ilmu Periaran dan Perikanan Indonesia, Vol 41; 45
– 53. Tamat SR, Wikanta T, Maulina LS. 2007. Aktivitas antioksidan dan toksisitas
senyawa bioaktif dari ekstrak rumput laut hijau Ulfa reticulata Forsskal. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol 51: 31
– 36. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of the Indonesian
Seas. Part II. Chapter 13 – 23. Periplus Edition HK Ltd.
Triyulianti I. 2009. Bioaktivitas ekstrak karang lunak Sinularia sp. dan Lobophytum sp. hasil fragmentasi di Perairan Pulau Pramuka, Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Vickery ML, B. Vickery. 1981. Secondary plant Methabolism. London: The Macmilan Press.
Vu B, Chen M, Crawford RJ, Ivanasa EP. 2009. Bacterial ekstracellular polysaccharydes involved in biofilm formation. Molecules, Vol 14; 2535
– 2554.
Wahl M. 1989. Review Marine Epibiosis. I. Fouling and Antifouling: Some Basic Aspect. MEPS, Vol 58; 175
– 189. Waters CM, Lu W, Rabinowitz JD, BL. Bassler JD. 2008. Quorum sensing
controls biofilm formation in Vibrio cholerae trhough modulation of cyclic Di-GMP levels and repression of vpsT. JB, Vol 197.
Waycott M, McMahoon K, Mellors J, Calladine A, Kleine D. 2004. A Guide Tropical Seagrasses of The Indo-West Pacific. Townsville: James Cook
University.
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi
.
Jakarta: Gramedia.
Yildiz FH, Visick KL. 2009. Vibrio biofilms: Somuch the same yet so different. Trends in Microbiology, Vol 173.
Yusuff M, Zulkifli SZ, Ismail A. 2011. Imposex study on Thais tuberose from port and non-port areas along the west coast of Penisular Malaysia.
EKOMAR, Vol 2: 1 – 9.
83
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil uji anova dua arah data rendemen ekstrak lamun
Anova: Two-Factor With Replication
SUMMARY E.a
T.h Total
Count 3
3 6
Sum 0.484275
0.4801 5
0.9644 25
Average 0.161425
0.1600 5
0.1607 38
Variance 0.001315
876 0.0002
54 0.0006
29 0.036275
0.0159 5
Count 3
3 6
Sum 4.0698
4.4919 75
8.5617 75
Average 1.3566
1.4973 25
1.4269 63
Variance 0.003369
803 0.0073
23 0.0102
18 0.05805
0.0855 75
Total Count
6 6
Sum 4.554075
4.9721 25
Average 0.759012
5 0.8286
88 Variance
0.430407 255
0.5395 22
ANOVA Source of Variation
SS Df
MS F
P- value
F crit Sample
4.809977 252
1 4.8099
77 1568.9
19 1.81E-
10 5.3176
55 Columns
0.014563 817
1 0.0145
64 4.7504
28 0.0609
05 5.3176
55 Interaction
0.015144 307
1 0.0151
44 4.9397
73 0.0569
54 5.3176
55 Within
0.024526 323
8 0.0030
66 Total
4.864211 699
11
85
Lampiran 2. Data jumlah Artemia salina yang mati, setelah uji toksisitas dengan empat konsentrasi
Pelarut n- heksana Ekstrak lamun jenis Thalassia hemprichii
Konsentrasi ppm ulangan 1
ulangan 2 ulangan 3
rata rata 10
2 1
1 1
100 3
2 2
2 500
3 4
4 4
1000 7
7 6
7 Ekstrak lamun jenis Enhalus acoroides
Konsentrasi ppm ulangan 1
ulangan 2 ulangan 3
rata rata 10
2 1
100 1
2 4
2 500
2 3
5 3
1000 7
4 4
5 Pelarut Metanol
Ekstrak lamun jenis Thalassia hemprichii Konsentrasi ppm
ulangan 1 ulangan 2
ulangan 3 rata rata
10 2
2 6
3 100
4 3
6 4
500 6
5 6
6 1000
6 6
8 7
Ekstrak lamun jenis Enhalus acoroides Konsentrasi ppm
ulangan 1 ulangan 2
ulangan 3 rata rata
10 4
6 7
6 100
5 5
8 6
500 7
6 7
7 1000
8 8
8 8
Lampiran 3. Tabel Probit
87
Lampiran 4. Contoh Perhitungan LC
50
Ekstrak metanol
Konsentrasi ppm
Log Konsentrasi
Persen Mortalitas
Probit LC50
ppm
T. hemprichii 10
1 33,33
4,56 165,45
100 2
43,33 4,82
500 2,7
56,67 5,15
1000 3
66,67 5,41
Pada ekstrak dengan konsentrasi 100 ppm Persen mortalitas
= Jumlah artemia yang mati x 100
Jumlah populasi =
410 x 100 =
43,33 Dari grafik hubungan antara log konsentrasi sumbu x dengan nilai probit
sumbu y didapatkan persamaan Y = 0,407x + 4,097 Penentuan LC50 Konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian sebesar 50
50 nilai probit y = 5 dilihat dari table probit lampiran 2 Y
= 0,407x + 4,097 5
= 0,407x + 4,097 x
= 5 – 4,097 0,4097
x = 2,204
anti log dari x = 2,204 LC50
= x = 165,45
Lampiran 5. Hasil pengukukuran diameter zona hambat ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii konsentrasi 20 mgml
terhadap biofilm
Lamun Diameter Zona Hambat mm
Ekstrak n - heksana Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 - 3
T. hemprichii 1
0,5 1
0,67 0,17
E. acoroides 1
0,5 1
0,5 0,5
0,83 0,33
Ekstrak metanol Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 – 3
T. hemprichii 0,5
2 1
0,5 1,17
0,17 E. acoroides
0,5 3
1 0,5
0,5 0,5
0,67 1,33
89
Lampiran 6. Hasil pengukukuran diameter zona hambat ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii konsentrasi 200 mgml
terhadap biofilm
Lamun 200mgml Diameter Zona Hambat mm
Ekstrak n - heksana Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 - 3
T. hemprichii 4
2 6
1 4
2 4,67
1,67
E. acoroides 4
2 5
3 5
3 5
2,67
Ekstrak metanol Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 – 3
T. hemprichii 5
2 4
3 2
3 3,67
2,67
E. acoroides 4
2 6
1 4
1 4,67
1,33
5
ABSTRACT
CITRA SATRYA UTAMA DEWI. Potential Bioactive of
Enhalus acoroides and
Thalassia hemprichii for BIOANTIFOULING in Pramuka Island, DKI Jakarta. Under direction of DEDI SOEDHARMA and MUJIZAT
KAWAROE. Biochemically, seagrass has natural antifouling compounds potential to substitute
harmful compund of TBT tributhyl tin in the antifouling paint. The aim of this study was to explore potential seagrass as bioantifouling materials. Particulary
of Thalassia hemprichii and Enhalus acoroides extraction was performed using two solvents: methanol polar and n-hexane non-polar. The results showed that
extracts of Thalassia hemprichii and Enhalus acoroides contains flavonoids, a chemical compound potential as bioantifouling. Based on toxicity tests using
Brain Shrimp Lethal Toxic BSLT method, methanol extract of Enhalus acoroides was more toxic 5.74 ppm than n-hexane extract 1309.42 ppm. Biofilm
inhibitory activity assay showed that inhibition performance seagrass extract 200 mgml were weak 1.00 mm to moderate 5.33mm.
Key words: seagrass; bioantifouling; TBT; biofilm inhibitory activity assay
7
RINGKASAN
CITRA SATRYA UTAMA DEWI. Potensi Lamun Jenis
Enhalus acoroides dan
Thalassia hemprichii Dari Pulau Pramuka, DKI Jakarta Sebagai Bioantifouling. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA dan MUJIZAT
KAWAROE. Lamun
seagrass merupakan
satu-satunya tumbuhan
berbunga Angiospermae yang memiliki kemampuan beradaptasi untuk hidup di laut.
Keragaman jenis lamun di Kepulauan Seribu dilaporkan ada delapan jenis, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea
rotundata, Halophila ovalis, Halophila minor, Syringodium isoetifolium, dan Halodule uninervis Mardesyawati dan Anggraeni 2009. Sejak dekade terakhir
beragam penelitian bioteknologi telah mulai dilakukan untuk mengeksplorasi lamun, guna mengetahui potensi bahan bioaktif yang terkandung di dalamnya. Qi
et al. 2008 melakukan pengujian terhadap lamun jenis Enhalus acoroides yang hasilnya menunjukkan bahwa jenis tersebut mengandung bahan aktif potensial
untuk menghambat proses penempelan larva antilarva Bugula neritina pada bagian daunnya, serta menghambat proses predasi daun antifeedant oleh
Spodoptera litura.
Potensi lamun sebagai antifeedant dan anti-larva menimbulkan dugaan bahwa lamun dapat digunakan sebagai bahan baku subtitusi senyawa kimia
tributyl tin TBT, yang umum digunakan sebagai campuran cat antifouling. Cat antifouling tersebut umum digunakan untuk mengatasi masalah organisme
penempel biofouling, namun tidak ramah lingkungan, sehingga mengakibatkan dampak negatif pada ekosistem Darmayanti 1994. Salah satu contoh dampak
negatif pada ekosistem, adalah indikasi terganggunya organ reproduksi imposex pada Thais sp. yang ditemukan di Perairan Pelabuhan Ratu Soedharma dan
Fauzan 1996 dan di Pantai Barat Semenanjung Malaysia Yusuf et al. 2011. Sejak 17 September 2008, Organisasi Maritim Internasional IMO melarang
pemakaian cat dengan campuran TBT untuk cat kapal, oleh karena itu pencarian bahan antifouling yang ramah lingkungan bioantifouling, khususnya yang
berasal dari lamun dibutuhkan.
Tujuan dari penelitian ini adalah 1 menganalisis kandungan golongan senyawa bioaktif lamun; 2 menganalisis toksisitas bahan bioaktif lamun; dan 3
menganalisis potensi lamun sebagai penghambat biofouling bioantifouling. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa rendemen
yang dihasilkan oleh lamun jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii meningkat seiring dengan kepolaran pelarut. Nilai rendemen kedua jenis lamun
yang diekstraksi dengan pelarut polar methanol lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diekstraksi dengan pelarut non polar n
–heksana, artinya Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii mengandung senyawa polar lebih banyak dari
pada senyawa non polar. Hasil uji fitokimia, menunjukkan bahwa ekstrak metanol dari Enhalus
acoroides mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, benedict, dan ninhidrin. Ekstrak metanol lamun jenis Thalassia hemprichii diketahui mengandung
senyawa golongan alkaloid, steroid, flavonoid, benedict dan ninhidrin. Uji
fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak n –heksana dari Enhalus acoroides
menunjukkan bahwa ekstrak tersebut mengandung senyawa pada golongan flavonoid dan gula pereduksi, sementara uji yang dilakukan terhadap ekstrak
Thalassia hemprichii menunjukkan ketersediaan senyawa bioaktif pada golongan alkaloid, steroid, flavonoid, dan gula pereduksi.
Berdasarkan uji toksisitas terhadap organisme uji Artemia, diketahui bahwa Enhalus acoroides yang diekstrak dengan menggunakan metanol
mengandung bahan bioaktif sangat toksik, yaitu 5,74 ppm, sementara ekstrak n- heksana dari jenis yang sama tingkat toksisitasnya sangat rendah tidak toksik,
yaitu 1309,42 ppm.
Hasil uji aktivitas hambat ekstrak lamun terhadap bakteri biofilm terpilih jenis Vibrio spp. dengan konsentrsai 200 mgml menunjukkan ekstrak Thalassia
hemprichii yang diujikan terhadap bakteri Vibrio 4-3 MA membentuk zona hambat terbesar, yaitu 5.33 mm. Nilai zona hambat tersebut termasuk dalam
golongan aktivitas sedang.
29
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Lamun seagrass
merupakan satu-satunya
tumbuhan berbunga
Angiospermae yang memiliki kemampuan beradaptasi untuk hidup di laut. Keragaman jenis lamun di Kepulauan Seribu dilaporkan ada delapan jenis, yaitu
Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Halophila minor, Syringodium isoetifolium, dan
Halodule uninervis Mardesyawati dan Anggraeni 2009. Sejak dekade terakhir beragam penelitian bioteknologi telah mulai dilakukan untuk mengeksplorasi
lamun, guna mengetahui potensi bahan bioaktif yang terkandung di dalamnya. Qi et al. 2008 melakukan pengujian terhadap lamun jenis Enhalus acoroides yang
hasilnya menunjukkan mengandung bahan aktif potensial untuk menghambat proses penempelan larva antilarva gastropoda jenis Bugula neritina pada bagian
daunnya, serta menghambat proses predasi daun antifeedant oleh Spodoptera litura.
Potensi lamun sebagai antifeedant dan antilarva menimbulkan dugaan bahwa lamun dapat digunakan sebagai bahan baku subtitusi senyawa kimia
tributyl tin TBT, yang umum digunakan sebagai campuran cat antifouling. Cat antifouling tersebut umum digunakan untuk mengatasi masalah organisme
penempel biofouling, namun tidak ramah lingkungan, sehingga mengakibatkan dampak negatif pada ekosistem Darmayanti 1994. Salah satu contoh dampak
negatif pada ekosistem, adalah indikasi terganggunya organ reproduksi imposex pada Thais sp. yang ditemukan di Perairan Pelabuhan Ratu Soedharma dan
Fauzan 1996, dan di Pantai Barat Semenanjung Malaysia Yusuf et al. 2011. Sejak 17 September 2008, Organisasi Maritim Internasional IMO melarang
pemakaian cat dengan campuran TBT untuk cat kapal, oleh karena itu pencarian bahan antifouling yang ramah lingkungan bioantifouling, khususnya yang
berasal dari lamun dibutuhkan. 1.2.
Rumusan Masalah
Biofouling merupakan suatu istilah bagi organisme yang hidup menempel pada setiap substrat padat yang diletakkan di laut. Proses penempelan organisme
diawali dengan keberadaan material organik yang memicu adanya penempelan mikrofouling,
kemudian diikuti
dengan penempelan
larva organisme
makrofouling. Organisme mikrofouling umumnya terdiri dari bakteri dan jamur biofilm serta diatom peryphyton, sementara makrofouling umumnya berasal
dari golongan alga dan larva avertebrata. Perlahan namun pasti, biofouling akan menimbulkan masalah pada
material substrat padat tersebut, sehingga mengakibatkan kerugian bagi industri maritim. Laju penempelan biofouling pada substrat kayu lebih cepat jika
dibandingkan dengan substrat fiber, karena permukaan kayu lebih kasar jika dibandingkan dengan fiber, sehingga materi organik lebih mudah menempel pada
permukaan kayu. Pada umumnya, biofouling yang menempel pada substrat fiber hanya jenis mikrofouling saja, sehingga dapat diatasi dengan pencucian sarana dan
prasarana sementara biofouling yang menempel pada substrat kayu lebih beragam, yaitu mikrofouling dan makrofouling, sehingga harus diatasi dengan pencucian
dan pengerokan. Masalah yang ditimbulkan akibat biofouling ini pada awalnya diatasi
dengan penggunaan cat yang dicampur dengan senyawa TBT tributhyl tin dan unsur logam berat lain, seperti Selenium Sn, Timbal Pb. Cat dengan tambahan
TBT dan logam berat ini pada awalnya banyak digunakan untuk mengatasi masalah biofouling pada industri maritim, dan semakin berkembang
penggunaannya pada Tahun 1970. Aplikasi cat dengan tambahan senyawa TBT ternyata berdampak negatif pada lingkungan perairan, sehingga mendorong
Oganisasi Maritim Internasional IMO melarang pemakaian bahan tersebut untuk cat kapal yang secara efektif dimulai 17 September 2008. Oleh karena itu
pencarian bahan antifouling non-toksik yang ramah lingkungan bioantifouling sangat dibutuhkan saat ini.
Lamun seagrass merupakan salah satu organisme laut yang diduga potensial sebagai bahan bioantifouling, bahkan Zoostera marina dan Thalassia
testudinum diketahui mengandung senyawa murni golongan flavonoid, yang potensial menghambat pertumbuhan jamur pembentuk biofilm. Potensi
penghambat pertumbuhan biofilm diduga juga dapat diisolasi dari lamun jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus accoroides yang tumbuh di Indonesia, terutama
31
di Kepulauan Seribu, DKI – Jakarta, sehingga pada penelitian ini perlu dikaji
lebih lanjut mengenai golongan senyawa yang terkandung di dalam ekstrak kasar contoh lamun serta potensi senyawa bioaktif lamun sebagai bioantifouling.
1.3. Tujuan dan sasaran
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1 Menganalisis kandungan golongan senyawa bioaktif yang diekstrak dari
Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii; 2
Menganalisis toksisitas bahan bioaktif yang diekstrak dari Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii; dan
3 Menganalisis potensi bioantifouling dari ekstrak Enhalus acoroides dan
Thalassia hemprichii. Sasaran dari penelitian ini adalah diperolehnya informasi jenis lamun yang
potensial dan jenis pelarut yang efektif digunakan sebagai bioantifouling dari Pulau Pramuka, DKI Jakarta.
33
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lamun Lamun
yang umum disebut sebagai “samo-samo” oleh masyarakat lokal Kepulauan Seribu diketahui memiliki akar, batang, daun, bunga dan buah sejati
seperti tumbuhan monokotil lain di darat. Lamun dapat hidup membentuk hamparan luas yang biasa disebut dengan padang lamun. Padang lamun
berdasarkan komposisi jenis penyusunnya dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: padang lamun homogen, yang terdiri dari satu spesies, dan padang lamun
heterogen yang tersusun lebih dari satu spesies. Lamun dapat hidup, tumbuh dan berkembang biak dengan baik di habitat
perairan laut dangkal, estuaria dengan kadar garam tinggi, serta di daerah yang selalu mendapat genangan air ketika surut. Waycott et al. 2004 memaparkan
pada dasarnya cahaya matahari dan masukan nutrien merupakan faktor utama yang membatasi sebaran dan habitat hidup lamun. Waycott et al. 2004 membagi
habitat hidup lamun di wilayah tropis menjadi empat bagian, yaitu: river estuary, coastal, deep water, dan reef. Empat habitat unik lamun tropis tersebut dapat
dilustrasikan seperti pada Gambar 1:
Gambar 1 Empat habitat unik bagi lamun tropis Jumlah jenis lamun yang telah ditemukan di dunia hingga saat ini adalah
58 jenis, yang termasuk ke dalam 12 marga. Sembilan marga lamun yang ditemukan, tergolong dalam Famili Potamogetonaceae, dan tiga marga lamun
yang lainnya masuk dalam Famili Hydrocharitaceae. Sebaran geografik lamun di
Sumber: Waycot et.al. 2004
dunia dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu di daerah tropis dan sub tropis. Den Hartog dan Kuo 2006 memaparkan bahwa di daerah tropis terdapat tujuh
marga lamun yang umum ditemukan, yaitu Halodule, Cymodocea, Syringodium, Thalassodendron, Enhalus, Thalassia, dan Halophila, sedangkan di daerah sub
tropis ditemukan dua marga yang umum yaitu, Zostera dan Posidonia. Tiga marga yang lain, Heterozostera dan Amphibolis hanya ditemukan di perairan sub
tropis belahan bumi selatan, sedangkan Phyllospadix hanya ditemukan di perairan Pasifik utara.
Keragaman jenis lamun di Indonesia cukup banyak, lamun yang telah ditemukan hingga saat ini ada 12 jenis yang termasuk ke dalam tujuh marga yaitu:
Enhalus, Halophila, Thalassia, Cymodocea, Halodule, Syringodium, dan Thalassodendron Tomascik et al. 1997. Kiswara et al. 1997 memaparkan
bahwa jenis lamun yang ditemukan di perairan Indonesia bagian timur lebih banyak jika dibandingkan dengan di Indonesia bagian barat. Di Indonesia bagian
timur dapat ditemukan 12 jenis lamun, sedangkan di Indonesia bagian barat hanya sembilan jenis lamun, bahkan lamun jenis Thalassodendron ciliatum
penyebarannya terbatas hanya di Indonesia bagian timur. Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau pulau kecil yang tersebar di
bagian utara DKI Jakarta. Mardesyawati dan Anggraeni 2009 melaporkan bahwa jenis lamun di Kepulauan Seribu terdiri dari Enhalus acoroides, Thalassia
hemprichii, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Halophila minor, Syringodium isoetifolium, dan Halodule uninervis. Pada
penelitian lain di Kepulauan Seribu, diketahui bahwa jenis lamun yang memiliki penyebaran luas di Kepulauan Seribu adalah Thalassia hemprichii Kawaroe dan
Jaya 2004. Penelitian penelitian yang dilakukan di ekosistem lamun selama ini
menunjukkan bahwa lamun memiliki peranan sebagai 1 produsen primer di laut dangkal; 2 habitat hidup biota; 3 perangkap sedimen; dan 4 pendaur zat hara
Azkab 1999. Ekosistem lamun telah lama diketahui memiliki peranan penting dalam memberikan tempat perlindungan bagi organisme penempel yang hidup di
batang dan daun lamun, selain itu ekosistem lamun juga menyediakan makanan
35
serta menjadi daerah asuhan bagi ikan ikan herbivora dan organisme herbivora lainnya Kikuchi dan Peres 1977 in Azkab 1999.
2.2. Potensi Bioaktif Lamun Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, kajian dan penelitian
dengan menggunakan lamun sebagai objek penelitian mulai merambah pada bidang bioteknologi dan bioprospecting. Eksplorasi senyawa bioaktif dan potensi
lamun mulai dilakukan pada beberapa dekade terakhir, tidak hanya di negara maju, eksplorasi ini juga dilakukan di Indonesia.
Enhalus acoroides merupakan salah satu jenis lamun tropis dengan morfologi yang besar, Elfahmi 1997 melakukan penelitian dengan menggunakan
jenis lamun tersebut, hasilnya menunjukkan bahwa Enhalus acoroides mengandung senyawa golongan triterpenoid, steroid, tannin, dan flavonoid.
Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa ekstrak n-heksan dari Enhalus acoroides mengandung senyawa stigmasta-3,5-diena-7-on atau sakarostenon yang
bercampur dengan asam palminat, ekstrak etil asetat dari Enhalus acoroides mengandung senyawa stigmat,5-22-dien-3-ol, dan ekstrak methanol dari Enhalus
acoroides mengandung senyawa 5,7,3,4-tetrahidroksi glikosida flavon dan 5,7,3- trihidroksiglikosida flavon.
Qi et al. 2008 memaparkan bahwa Enhalus acoroides yang dikoleksi dari Cina, dan diekstrak dengan etanol diketahui mengandung 11 senyawa murni
yang tergolong dalam golongan flavonoid dan steroid. Beberapa senyawa murni yang tergolong kedalam golongan flavonoid tersebut diduga memiliki potensi
sebagai antifouling karena terbukti toksik bagi larva-larva biota penempel, Bugula neritina Qi et al., 2008. Enhalus acoroides juga dilaporkan mengandung
senyawa bioaktif golongan fenolik yang cenderung potensial sebagai antioksidan Raja-Kannan et al. 2010.
Thalassia testudinum yang dikoleksi dari Kepulauan Bahama, dilaporkan memiliki senyawa bioaktif dengan potensi sebagai bahan baku antibiotik alami
Jensen et al. 1998. Jensen et al. 1998 melaporkan bahwa senyawa bioaktif terus diisolasi dan diilusidasi dengan metode HPLC menghasilkan senyawa murni
flavones glycoside liteolin 7-O- β-Dglucopyransyl-2-sulfate Gambar 2, senyawa
ini diketahui termasuk kedalam golongan flavonoid. Senyawa tersebut menurut
Jensen et al. 1998 juga mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme penempel, jamur jenis Schizichytrium aggregatum.
Gambar 2 Senyawa murni hasil purifikasi dan ilusidasi lamun jenis Thalassia testudinum, flavones glycoside liteolin 7-O-
β-glucopyransyl-2-sulfate
Thalassia hemprichii yang dikoleksi dari Pamban, Tamil Madu, India diketahui mengandung senyawa bioaktif potensial sebagai antibakteri, antifungi,
antiprotozoa, antiviral, antifertility, dan yang bahan obat-obatan yang berpengaruh pada sistim cardiovascular Laksmi et al. 2006. Raja-Kannan et al.
2010 memaparkan Thalassia hemprichii juga memiliki potensi bioaktif sebagai antioksidan dan mengandung senyawa golongan fenolik.
Syringodium isoetifolium merupakan salah satu jenis lamun yang dianalisis komponen bioaktifnya oleh Raja-Kannan 2010, dan hasil analisisnya
menunjukkan lamun tersebut mengandung senyawa fenolik, serta potensial sebagai bahan antioksidan. Lakshmi et al. 2006 melaporkan Syringodium
isoetifolium dari wilayah India, potensial sebagai antibaktetri, karena mampu menghambat bakteri Stapilococcus aureus, Escheria coli, Streptococcus fecalis,
Pseudomonas aeruginosa. Lamun dengan bentuk seperti lidi ini juga memliki potensi sebagai antijamur dan antivirus Lakshmi et al. 2006.
Zostera marina, Cymodocea nodosa, dan Ruppia cirrhosa merupakan jenis lamun yang tidak lazim ditemui di daerah tropis, namun ketiga lamun
tersebut juga telah dikaji potensi bioaktifnya. Zostera marina dilaporkan mengandung senyawa aromatik zosteric acid, yaitu senyawa murni yang
Sumber: Jensen et al. 1998
37
dipurifikasi dari ekstrak methanol Zostera marina Zimmerman et al. 1997 dalam Arlyza 2007. Cymodocea nodosa dan Ruppia cirrhosa, kedua jenis lamun
tersebut dilaporkan oleh El-Hady et al. 2007 memiliki ekstrak metanol yang potensial sebagai antibakteri dan antifungi.
2.3 . Senyawa Antifouling
Cat yang mengandung TBT terbukti mampu mengatasi masalah biofouling di laut, namun ternyata solusi praktis ini berdampak negatif pada lingkungan di
sekitarnya Darmayanti 1994. Salah satu contoh dampak negatif pada ekosistem, adalah indikasi terjadinya imposex pada organisme uji, Thais sp. Soedharma dan
Fauzan 1996; Yusuf et al. 2011, sehingga muncul larangan untuk menggunakan cat tersebut sejak Tahun 2008 Delauney et al. 2009.
Penelitian bioprospeksi kelautan untuk mendeteksi bahan aktif alami antifouling di Australia, sudah dikembangkan sejak tahun 1995. Senyawa bioaktif
yang digunakan berasal dari organisme laut jenis alga dan spons. Jenis alga Delisea pulchra diketahui mengandung senyawa furanones, yaitu senyawa non
polar halogen yang mampu mengurangi jumlah populasi teritip Wetherbee 2004 dalam Arlyza 2007. Anonimus 1995 dalam Arlyza 2007 mengemukakan
lactone dan furanon merupakan komponen yang berperan sebagai antifouling, yaitu berupa gugusan oksigen kecil yang mengandung cincin hidroksil.
Bahaya dan larangan penggunaan cat antifouling dengan campuran TBT dan logam berat di Indonesia menjadi pemicu bagi para peneliti untuk melakukan
kajian dan penelitian awal guna menemukan senyawa bioaktif antifouling namun ramah lingkungan bioantifouling. Sabdono dan Radjasa 2006 mengisolasi dan
mengkultur bakteri yang berasosiasi dengan Sarcophyton sp. kemudian melakukan uji bioaktif senyawa yang dihasilkan, hasilnya bakteri asosiasi tersebut
memiliki potensi untuk menghambat aktivitas bakteri biofilm. Pada penelitian yang lain, Sabdono 2007 memaparkan bahwa bakteri Pelagiobacter variabilis
mengandung senyawa bioaktif yang potensial menghambat aktivitas bakteri biofilm dan juga terbukti mampu menghambat penempelan bernakel pada kayu uji
yang direndam di laut selama satu bulan. Spons jenis Callyspongia pulvinata diketahui mengandung senyawa
bioaktif yang mampu menghambat pertumbuhan Nitzchia paleaceae dan cacing
tabung Hydroides elegans, potensi antifouling ini juga dimiliki oleh spons jenis yang lain, yaitu Dendrila nigra, Axinella donai, dan Clathria gorgonoides Selvin
dan Lipton 2002. Bakteri yang hidup di laut ataupun yang hidup bersimbiosis simbion
dengan organisme makro, juga memiliki potensi sebagai penghasil senyawa bioaktif antifouling. Pseudmonas sp. merupakan salah satu bakteri yang diisolasi
dari air laut permukaan, potensial sebagai antifouling karena mampu menghambat pertumbuhan spora Ulfa lactuca Burgess et al. 2003. Pseudoalteromonas
tunicata adalah bakteri yang diisolasi dari tunicate Ciona intestinalis, bakteri ini mengandung senyawa aktif sebagai antifouling yang mampu menghambat
pertumbuhan spora alga, bakteri, jamur dan diatom.
2.4. Biofouling
Biofouling merupakan istilah umum yang digunakan untuk semua jenis organisme laut yang hidup menempel pada permukaan substrat, organisme
penempel pada umumnya menempel hanya pada substrat yang disukainya Wahl 1989. Organisme penempel atau yang biasa disebut biofouling ini akan
menempel pada semua benda padat yang terendam di laut, terutama yang tidak dilapisi oleh lapisan antifouling. Benda
–benda padat tersebut dapat berupa bahan kayu, besi atau logam, fiber, dan beton.
Proses penempelan organisme laut pada substrat keras ini dapat dibagi menjadi lima tahapan Delauney et al. 2009, yaitu: 1 Terjadinya proses
turbulensi massa air yang mengakibatkan adanya adsorbsi bahan organik dan inorganik pada permukaan substrat; 2 Bahan organik dan inorganik yang
teradsorbsi di permukaan substrat tersebut mengandung sel mikroba, baik itu bakteri ataupun jamur, serta mampu menjadi media yang baik untuk pertumbuhan
mikrobakteri tersebut; 3 Pertumbuhan mikroba yang terus berkembang akan membentuk koloni sehingga terbentuklah lapisan biofilm; 4 Lapisan biofilm
yang terbentuk akan memicu adanya penempelan spora alga dan larva organisme bentik; 5 Pada fase inilah larva dan spora akan berkembang dengan pesat
sehingga permukaan substrat akan penuh ditempeli oleh biofouling. Ilustrasi proses penempelan biofouling pada substrat padat di laut dapat dilihat pada
Gambar 3.
39
Gambar 3 Proses penempelan biofouling pada substrat padat di laut Biofouling dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu mikrofouling dan
makrofouling. Boesono 2008 menjelaskan bahwa organisme penempel pada substrat kayu jati dan kayu bangkirai yang direndam di laut selama 2 bulan
didominasi oleh makrofouling, yaitu organisme filum crustacea dan moluska, seperti Balanus, Bankia, dan Ligia. Mikrofouling pada umumnya merupakan
susunan koloni bakteri, jamur, diatom, cyanobacter, dan jenis uniseluler alga yang lainnya. Koloni diatom, cyanobacter, dan uniseluler alga biasa disebut sebagai
peryphyton, sementara koloni jamur dan bakteri umum disebut sebagai biofilm.
2.4.1. Makrofouling
Makrofouling oleh Callow dan Callow 2002 dibedakan menjadi dua macam, yaitu makrofouling lunak dan keras. Makrofouling lunak contohnya soft
coral, spons, anemon, tunikata, dan hydroid, sementara contoh yang keras adalah bernakel, kerang, dan cacing tabung.
Kerang hijau menempel pada substrat dengan bantuan senyawa yang disekresikan oleh tubuhnya. Senyawa tersebut lengket seperti lem, disebut
sebagai protein dyhidroxypenylalanine yang masuk pada golongan polipeptida Callow dan Callow 2002. Bernakel, juga mampu mensekresikan senyawa
dengan sifat yang sama, namun diketahui sebagai senyawa hydrophobic protein Callow dan Callow 2002. Larva bernakel cyprid memiliki cambuk dan
berenang bebas, kemudian akan memilih lokasi yang baik untuk melekat dengan
Sumber : Abarzua dan Jakubowski 1995
menggunakan antennules. Salah satu bagian organ larva, yang umum disebut antennules tersebut menghasilkan cairan untuk menandai lokasi lalu kemudian
menempel. Callow dan Callow 2002 memaparkan Enthemorpha, merupakan salah satu jenis golongan makroalga yang menempel pada substrat dilaut sejak
fase spora. Spora makroalga tersebut memiliki cambuk yang dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk menempel pada substrat, karena mengeluarkan glycoprotein,
yaitu senyawa yang disekresikan dari bagian apparatus golgi spora alga.
2.4.2. Mikrofouling
Mikrofouling merupakan susunan koloni bakteri, jamur, diatom, cyanobacter, dan jenis uniseluler alga yang lainnya. Koloni diatom, cyanobacter,
dan uniseluler alga biasa disebut sebagai peryphyton, sementara koloni jamur dan bakteri umum disebut sebagai biofilm. Biofilm pada umumnya didominasi oleh
bakteri yang memiliki kemampuan untuk menempel pada substrat keras di laut. Penempelan biofilm pada permukaan substrat di laut juga melewati beberapa fase,
yaitu 1 pelekatan bakteri yang bersifat planktonik di permukaan substrat, dengan menggunakan bulu atau cambuknya flagel; 2 pembentukan koloni sederhana
antara bakteri bakteri sejenis; 3 pembentukan koloni bakteri biofilm yang semakin besar dan kondisi individu bakteri lebih matang Armitage 2005.
Tahapan penempelan bakteri biofilm tersebut ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Tahapan penempelan bakteri biofilm pada substrat di laut Proses awal pelekatan biofilm pada substrat keras dipengaruhi oleh dua
hal, yaitu 1 sifat fisika bahan sehingga terjadi reaksi kohesi dan adhesi morfologi bakteri dengan struktur substrat; 2 respon fisiologis bekteri terhadap
Sumber : Amirtage 2005
41
nutrisi yang tersedia Czaczyk dan Myszka 2007. Respon fisiologis tersebut berupa sekresi Ekstracelluler Polysakaruda Substance EPS oleh bakteri melalui
satu atau dua katub memanjang yang terdapat di bagian ujung tubuhnya. EPS telah diketahui sebagai penyusun utama koloni bakteri biofilm, yang mengandung
protein, nukleid acid, lipid, dan hampir 97 polysakarida Vu et al. 2009. Vu et al. 2009 memaparkan setiap bakteri penyusun biofilm memiliki kemampuan
untuk mensekresikan EPS yang berbeda berdasarkan komposisi dan sifat kimianya. Asam kolanat merupakan salah satu jenis EPS fleksibel yang
diproduksi oleh bakteri biofilm Pseudomonas aeruginosa, sementara Vibrio cholera diketahui mensekresikan EPS berupa senyawa galaktoglukan Vu et al.
2009. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses koloni bakteri biofilm,
selain EPS adalah adanya quorum sensing. Quorum sensing merupakan mekanisme komunikasi antar sel yang dimiliki bakteri untuk memastikan
kecukupan jumlah sel sebelum melakukan respon biologi tertentu Hentzer et al. 2002. Hentzer et al. 2002 memaparkan quorum sensing setiap sel bakteri dapat
bersamaan menghasilkan molekul sinyal, sehingga bakteri dengan molekul sinyal yang sama dapat saling mendekat, kemudian membentuk koloni dan membentuk
biofilm. Vibrio spp. adalah jenis bakteri yang bersifat halofil, sehingga umum
ditemukan di laut dan merupakan salah satu jenis bakteri biofilm yang mampu menghasilkan EPS. Bakteri ini dapat hidup optimal pada salinitas 20-40 ppm, pH
4-9, serta bersifat anaerobik fakultatif Hikmah 2011. Toleransi terhadap selang salinitas yang lebar tersebut, membuat Vibrio spp. menjadi jenis bakteri
kosmopolitan di laut. Vibrio spp. diketahui sebagai bakteri gram negatif, dengan bentuk sel
batang, dan ukuran sekitar 2-3 µm, serta bergerak dengan menggunakan cambuk di salah satu ujung selnya Feliatra 1999. Vibrio diketahui memiliki kemampuan
menghasilkan biofilm, dan kemampuan tersebut dipengaruhi oleh struktur morfologi sel dan komponen regulator sel Yildiz and Visick 2009. Morfologi
sel yang mempengaruhi, adalah keberadaan dan fungsi flagel, pili serta kemampuan sintetis EPS, sedangkan komponen regulator sel, meliputi quorum
sensing dan sinyal C-di-GMP Yildiz and Visick 2009. Yildiz and Visick 2009 mengungkapkan, keberadaan flagel dan pili membantu pergerakan bakteri untuk
membentuk koloni antar bakteri, flagel dan pili kemudian membantu koloni untuk menemukan substrat yang cocok untuk menempel. Pada saat koloni bakteri
tersebut menempel di permukaan, flagel dan pili lepas, kemudian bakteri mulai membentuk biofilm.
Komunikasi antar bakteri terjadi dengan mekanisme quorum sensing, sehingga terjadi sekresi enzim yang mendeteksi autoinduncer sesama jenis Vibrio
Waters et al. 2008. Vibrio cholera mengandung enzim yang dihasilkan ketika mekanisme quorum sensing terjadi adalah CAI-1, 5-3-hydroxytridecan-1-one
dan AL-2, 25,45-metyl 2,3,4 –tetrahydroxy tetrahydrofuranborate Waters et al.
2008. Waters et al. 2008 juga menjelaskan, protein 3’ 5’ cyclic diguanylic acid
c-di-GMP merupakan salah satu komponen yang membantu komunikasi intraseluler, yang membawa pesan mengenai kondisi lingkungan disekitar sel. C-
di-GMP pada Vibrio diketahui mampu memicu peningkatan densitas sel dalam koloni, serta mengontrol pembentukan biofilm.
2.5. Ekstraksi Senyawa Bioaktif
Ekstraksi merupakan salah satu proses pemisahan satu atau lebih komponen senyawa dari sumbernya, agar diperoleh komponen dari suatu bahan
yang diinginkan. Khopkar 2003 menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi ekstraksi, yaitu: lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang
digunakan. Jenis pelarut yang digunakan juga harus diperhatikan titik didih, sifat korosif, sifat toksik dan daya melarutkannya.
Berdasarkan jenis pelarutnya, ekstraksi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: aqueos phase, dengan menggunakan air dan organic phase dengan
menggunakan pelarut organik. Berdasarkan metode kerjanya, ekstraksi dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 1 Penekanan mekanik; 2 Menggunakan
pelarut; 3 Pemanasan. Selama proses maserasi, pelarut akan menembus dinding sel sehingga senyawa bioaktif akan larut, proses osmoregulasi kemudian akan
terjadi. Larutan pekat di dalam sel akan didesak keluar terus menerus sampai keseimbangan konsentrasi larutan di dalam dan di luar sel terjadi.
43
Tahapan yang dilakukan pada saat proses ekstraksi, adalah penghancuran bahan, perendaman dengan pelarut, penyaringan dan pemisahan. Penghancuran
bertujuan agar dapat mempermudah pengadukan, dan kontak bahan dengan pelarutnya pada saat proses perendaman. Bahan kemudian direndam dalam
pelarut, seperti n-heksana non polar, etil asetat semi polar, dan metanol polar, proses perendaman ini disebut dengan maserasi. Prinsip pelarutan yang dipakai
pada metode ini adalah like dissolve like artinya pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar.
Tahap pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Untuk memisahkan pelarut dengan senyawa bioaktif yang terikat dilakukan evaporasi,
sehingga pelarutnya akan menguap dan diperoleh senyawa hasil ekstraksi yang dihasilkan Khopkar 2003.
Harbone 1987 menjelaskan bahwa hasil ekstrak yang diperoleh bergantung pada beberapa faktor, yaitu kondisi alamiah senyawa, metode
ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, lama waktu ekstrak, kondisi dan waktu penyimpanan dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah
sampel. Komponen aktif dari senyawa yang diekstrak sangat bergantung pada kepolaran pelarutnya, misalnya senyawa yang terikat pada pelarut polar antara
lain alkaloid, asam amino, polihidrosisteroid, dan saponin Riguera 1997
2.6. Uji Fitokimia
Uji fitokimia merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui aneka golongan senyawa organik yang dihasilkan oleh organime sebagai bentuk
metabolit sekunder. Tujuan dan manfaat dari melakukan uji fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang
bermanfaat, yang ditujukan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi Harborne 1987.
a Alkaloid
Alkaloid pada umumnya mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai
bagian dari sitem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna, seringkali bersifat tropis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan
missal nikotina pada suhu kamar. Alkaloid merupakan turunan yang paling
umum dari asam amino. Secara kimia, alkaloid merupakan suatu golongan heterogen Harborne 1987.
b Steroid
Steroid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,
yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Steroid dapat dipilah menjadi sekurang-
kurangnya empat senyawa, yaitu triterpenoid, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah
fitosterol yang terdiri dari sitosterol, stigmasterol, dan kaempsterol Harborne 1987. Steroid dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak
lebih dari 21, seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung, dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena, yaitu lanosterol dan
sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat Harborne 1987.
c Flavonoid
Menurut strukturnya, semua flavonoid merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat pada tumbuhan Primula. Flavonoid dapat diekstraksi dengan
etanol 70 dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid ini berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya
berubah bila ditambah basa atau amoniak Harborne 1987. Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu menunjukkan pita
serapan pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid.
Harbone 1987 menyatakan golongan senyawa flavonoid terdiri dari sepuluh kelas, yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavanol,
khalkon, auron, flavonon dan isoflavon.
d Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Pembentukan
busa yang baik sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau sewaktu memekatkan
45
ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya akan adanya saponin. Saponin jauh lebih polar dari pada sapogenin karena ikatan glikosidanya Harborne 1987.
e Karbohidrat
Karbohidrat berguna untuk mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu
metabolisme lemak dan protein dalam tubuh. Karbohidrat dibentuk dari reaksi CO
2
dan H
2
O dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis dalam sel tanaman yang berklorofil. Karbohidrat dalat dikelompokkan menjadi
monosakarida, oligosakarida dan polisakarida. Monosakarida merupakan molekul yang terdiri dari lima atau enam atom C, sedangkan oligosakarida merupakan
polimer dari 2-10 monosakarida dan pula umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri lebih dari 10 monomer polisakarida Winarno 1997.
Karbohidrat dengan zat tertentu akan menghasilkan warna tertentu yang dapat digunakan untuk analisa kualitatif. Bila karbohidrat direaksikan dengan larutan
naftol dalam alkohol, kemudian ditambahkan H
2
SO
4
pekat secara hati-hati, pada batas akan terbentuk furfural yang berwarna ungu. Reaksi ini disebut Molisch dan
merupakan reaksi umum bagi karbohidrat Winarno 1997.
f Gula pereduksi
Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil OH bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada
glukosa aldosa biasanya terletak pada karbon nomor satu anomerik, sedangkan pada fruktosa ketosa terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai
gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus glukosanya
Winarno 1997. Gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan Benedict dan Fehling reduksi Cu2+ menjadi Cu+ dan pereaksi Tollens
reduksi Ag+ menjadi Ag. Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis untuk mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes.
g Peptida
Dua asam amino berikatan melalui suatu ikatan peptida -CONH- dengan melepas sebuah molekul air. Reaksi keseimbangan ini cenderung untuk berjalan
ke arah hidrolisis daripada sintesis. Pembentukan ikatan tersebut memerlukan
banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis tidak memerlukan energi. Gugus karboksil suatu asam amino berkaitan dengan gugus amino dari molekul asam
amino lain menghasilkan suatu dipeptida dengan melepaskan molekul air. Dipeptida masih mempunyai gugus amino dan karboksil bebas sehingga dapat
bereaksi dengan dipeptida-dipeptida lainnya membentuk peptida dan akhirnya membentuk molekul protein Winarno 1997.
h Asam amino
Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali, atau enzim maka akan dihasilkan campuran asam-asam amino. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah
gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen dan gugus R yang terikat pada atom C, yang dikenal sebagai karbon alfa, serta rantai cabang gugus
R. Semua asam amino berkonfigurasi alfa dan hanya konfigurasi l, kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino L yang merupakan
komponen protein Winarno 1997. Ninhidrin adalah peraksi yang digunakan secara luas untuk mengukur asam amino secara kuantitatif.
2.7.
Uji Toksisitas
BSLT Brain Shrimp Lethal Toxic merupakan salah satu uji yang banyak dilakukan untuk menguji bahan-bahan yang bersifat sitotoksik uji toksisitas,
dengan menggunakan larva udang Artemia salina Leach. Metode ini pada umumnya digunakan untuk penapisan awal senyawa aktif yang terkandung dalam
ekstrak tanaman karena murah, cepat dan mudah, dan dapat dipercaya. Artemia yang digunakan sebagai bahan uji dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu stadia
larva dan stadia dewasa. Stadia larva yang paling umum digunakan adalah larva 24-48 jam setelah menetas. Konsentrasi letal untuk kematian 50 setelah 6 jam
perlakuan akut LC
50
atau konsentrasi letal untuk kematian 50 setelah 24 jam perlakuan kronik LC
50
dapat diartikan sebagai ukuran toksisitas kandungan racun suatu bahan Meyer et al. 1982. Tingkat toksisitas suatu bahan aktif dapat
dilihat pada Tabel 1. Artemia salina merupakan jenis udang planktonik dengan toleransi kadar
garam yang luas, antara 15 – 300 per mil, suhu antara 26 – 31
C, dan pH perairan antara 7,3
– 8,4 Djarijah 2006. Selang toleransi Artemia salina yang luas terhadap salinitas menyebabkan udang ini umum disebut sebagai brine shrimp.
47
Artemia merkembang biak dengan cara bertelur, dan setiap individu bersifat biseksual. Usia Artemia dapat mencapai enam bulan 180 hari, dan dikatakan
dewasa ketika mencapai usia 141 hari. Artemia betina yang sudah dewasa dapat bertelur sebanyak 50 hingga 300 telur setiap kali bertelur, dan mereka bertelur
setiap 4 – 5 hari sekali. Telur-telur Artemia dapat disimpan dalam suhu ruang,
dan ditetaskan jika dibutuhkan, telur tersebut akan menetas menjadi naupli pada kurun waktu 24
– 36 jam. Artemia salina dipilih sebagai obyek uji toksisitas yang efektif dan
sederhana dalam ilmu biologi dan toksikologi Meyer et al. 1982, karena kemudahan dalam menetaskan telur menjadi larva, pertumbuhan yang cepat dari
larva serta mudah dalam mempertahankan populasi dalam kondisi laboratorium. Tabel 1 Kategori toksisitas bahan
Kategori LC
50
µgml
Sangat toksik 30
Toksik 30
– 1000 Tidak toksik
1000 Sumber: Meyer et al. 1982
2.8. Uji
Bioantifouling
Uji bioantifouling dilakukan secara invitro, dengan mengamati aktivitas hambat ekstrak lamun terhadap bakteri pembentuk biofilm. Uji aktifitas hambat
dilakukan untuk mengetahui kemampuan dari suatu senyawa bioaktif guna menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang diuji Schlegel dan Schmidt
1994. Pengujian ini dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu teknik tabung pengenceran tube dilution technique dan metode difusi agar agar diffusion
method. Aktivitas antimikroba dilakukan dengan mengukur diameter hambatannya, yaitu daerah bening yang terbentuk di sekitar kertas cakram. Bell
1984 menjelaskan bahwa suatu senyawa dikatakan memiliki aktivitas antibakteri apabila diameter hambatan yang terbentuk lebih besar atau sama dengan 6mm.
Aktivitas antibakteri dari suatu senyawa dikatakan tinggi jika memiliki konsentrasi penghambat kecil, namun diameter hambatnya besar.
David dan Strout 1971 memaparkan ketentuan kekuatan antibiotik- antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat,
daerah hambatan 10-20 mm kuat, daerah hambatan 5-10 mm sedang, dan daerah hambatan kurang 5 mm lemah. Faktor yang mempengaruhi ukuran
daerah penghambatan, yaitu sensitivitas organisme, medium kultur, kondisi inkubasi, dan kecepatan difusi agar. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan
difusi agar, yaitu konsentrasi mikroorganisme, komposisi media, suhu inkubasi, dan waktu inkubasi Schlegel dan Schmidt 1994.
49
3. METODOLOGI
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini diawali dengan melakukan koleksi contoh lamun segar di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Gambar 5.
Gambar 5 Lokasi koleksi contoh lamun di Pulau Pramuka, DKI Jakarta Contoh lamun segar yang diperoleh kemudian dikeringkan alami, dijemur
dibawah sinar matahari kemudian diekstraksi di Laboratorium Kering, Bagian Hidrobiologi Laut, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK
– IPB. Ekstrak lamun kemudian diuji, meliputi uji fitokimia, uji toksisitas dengan
menggunakan metode Brain Shrimp Lethal Toxic BSLT, dan uji bioantifouling dengan mekanisme aktivitas hambat bakteri. Uji fitokimia dilakukan di
Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Teknologi Hasil Perairan FPIK – IPB,
dan uji bioantifouling dilakukan di Laboratorium mikrobiologi Pusat Penelitian Oseanografi P2O
– LIPI, sementara uji toksisitas dengan metode BSLT dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA
– IPB. Proses pengambilan contoh lamun segar, ekstraksi dan evaporasi, serta
pelaksanaan uji fitokimia dilakukan sejak Maret – April 2011, sementara
pelaksanaan uji toksisitas serta uji bioantifouling dilakukan pada April – Mei
2012. Selama selang waktu tersebut, ekstrak kasar contoh lamun disimpan didalam botol vial dan diletakkan didalam freezer.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian besar Tabel 2, yaitu alat dan bahan untuk pengambilan contoh lamun,
untuk ekstraksi, dan perlakuan uji. Perlakuan uji yang dilakukan meliputi uji fitokimia, uji toksisitas, dan uji bioantifouling.
Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian
Tahapan Alat
Bahan 1. Pengambilan contoh lamun
Masker Snorkel
Plastik Pisau selam
2. Ekstraksi bahan bioaktif
Alat gelas Contoh lamun
Evaporator Methanol
shaker bath n - heksana
Kertas saring Whatman Timbangan
3. Uji Fitokimia
a. alkaloid Tabung reaksi, Pipet, Gelas
piala asam sulfat 2N
pereaksi meyer pereaksi dragendorf
pereaksi wagner b. Steroid
Tabung reaksi, Pipet, Gelas piala
klorofom anhidrida asetat
asam sulfat pekat c. Flavonoid
Tabung reaksi, Pipet, Gelas piala
magnesium amil alkohol
alkohol d. Saponin
Tabung reaksi, Pipet, Gelas piala
HCL 2N e. Molish
Tabung reaksi, Pipet, Gelas piala
Asam sulfat pekat Pereaksi molisch
f. Benedict Tabung reaksi, Pipet, Gelas
piala Pereaksi benedict
g. Biuret Tabung reaksi, Pipet, Gelas
piala Pereaksi biuret
h. Ninhidrin Larutan ninhidrin
51
Tabel 2 Lanjutan Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian
Tahapan Alat
Bahan
4. Uji toksisitas BSLT
Aerator Ekstrak sampel
Lampu Telur Artemia
salina Pipet volumetric
Air laut steril WheelTabung reaksi
5. Uji aktivitas hambat biofilm
antimikrofouling
Hotplate Biakan bakteri
biofilm Tabung reaksi
Marine Agar Kapas
Aquades Alumunium foil
TCBS Agar Autoklaf
Gelas ukur Sudip
Jarum ose Inkubator
Bunsen Cawan petri
Referigrator Vortex
Paper disc
3.3. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu koleksi contoh lamun, ekstraksi contoh lamun, uji fitokimia, uji toksisitas dengan metode BSLT,
dan uji bioantifouling. Tahapan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 6.
3.3.1. Koleksi Contoh Lamun Proses koleksi dan preparasi contoh lamun ditampilkan dalam bentuk foto
pada Gambar 7. Metode koleksi contoh lamun pada penelitian ini diadopsi dari El-Hady et al. 2007 dan Jensen et al. 1998. El-Hady et al. 2007 memaparkan
teknik penanganan contoh daun lamun segar diambil langsung dari habitatnya, kemudian dibersihkan dari organisme penempel epifit, setelah bersih dari epifit
daun lamun dikeringkan alami sampai berat daun lamun menjadi konstan dan ditimbang dengan berat 50 gram. Contoh daun lamun ini diambil sebanyak tiga
kali ulangan pada setiap spesiesnya.
Tahapan Keluaran
Gambar 6 Skema tahapan penelitian
Gambar 7 Proses koleksi dan persiapan contoh lamun
KOLEKSI CONTOH LAMUN
Ekstraksi bioaktif lamun dengan metode bertingkat
Uji Fitokimia
Uji Toksisitas dengan metode BSLT
Uji Bioantifouling, dilakukan secara invitro terhadap bakteri
Contoh lamun yang digunakan sebagai bahan ekstraksi
1. Rendemen ekstrak lamun 2. Informasi jenis pelarut yang efisien
Kandungan golongan senyawa kimia dalam ekstrak kasar lamun
1. Nilai LC
50
dari ekstrak kasar lamun 2. Informasi jenis ektsrak yang bersifat
toksik 1. Diameter zona hambat
2. Informasi jenis ekstrak yang potensial sebagai bioantifouling
53
3.3.2. Ekstraksi komponen bioaktif contoh lamun
Proses ekstraksi contoh lamun yang dilakukan selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 8. Contoh lamun yang telah siap diekstraksi, ditimbang
masing masing seberat 50gram, kemudian direndam pelarut non polar, n-hexana 75 ml dengan perbandingan 1:1,5 bv di dalam botol kaca, lalu dimaserasi
selama 24 jam El-Hady et al. 2007; Jensen et al. 1998. Larutan contoh lamun kemudian difiltrasi dengan menggunakan kertas saring. Filtrat contoh lamun yang
terisisa kemudian direndam kembali dengan pelarut polar, methanol 75 ml dengan perbandingan 1:1,5 bv di dalam botol kaca, lalu dimaserasi selama 24
jam. Setelah 24 jam, larutan contoh lamun difiltrasi dengan menggunakan kertas saring.
Larutan contoh lamun hasil filtrasi kemudian dievaporasi dengan menggunakan Rotary evaporator yang diaplikasikan pada suhu 50
C, sehingga diperoleh ekstrak kasar lamun dalam bentuk pasta. Pasta ekstrak kasar lamun
kemudian ditimbang agar dapat diketahui prosentase rendemen yang diperoleh.
Gambar 8 Proses ekstraksi dan hasil ekstraksi lamun
3.3.3. Uji Fitokimia ekstrak contoh lamun
Uji fitokimia merupakan salah satu uji kualitatif untuk mengetahui golongan senyawa yang tekandung dalam suatu organisme. Rangkaian proses uji
fitokimia selama penelitian ditampilkan pada Gambar 9. Ada delapan golongan senyawa yang akan diuji pada tahap ini, yaitu:
a Alkaloid. Sejumlah ekstrak dilarutkan ke dalam beberapa tetes asam
sulfat 2N, kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid, yaitu meyer, dragendorf, dan wagner. Uji ini positif jika terbentuk endapan warna putih
pada larutan yang ditambahkan pereaksi meyer, endapan coklat pada yang
ditambahkan pereaksi dragendorf, dan endapan merah hingga jingga pada yang ditambahkan pereaksi wagner.
b Steroid. Sejumlah ekstrak dilarutkan ke dalam 2 ml kloroform, kemudian
ditambahkan 10 tetes anhidrida asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Uji ini positif jika larutan yang dihasilkan membentuk warna merah di awal
kemudian berubah menjadi biru atau hijau di akhir pengujian. c
Flavonoid. Sejumlah ekstrak ditambahkan bubuk magnesium Mg sebanyak 0,1 mg, kemudian ditambahkan larutan amil alcohol sebanyak
0,4 ml, selanjutnya ditambahkan kembali alkohol sebanyak 4 ml dan dikocok. Uji flavonoid positif jika larutan membentuk lapisan amil
alkohol dengan warna merah, kuning, atau jingga. d
Saponin. Sejumlah ekstrak dilarutkan dengan akuades kemudian dipanaskan, jika muncul busa dan bertahan hingga 30 menit maka uji
dilanjutkan dengan menambahkan 1 tetes HCl 2N. Uji saponin positif jika larutan mampu mempertahankan busa.
e Molisch. Sejumlah ekstrak lamun dilarutkan dengan akuades, lalu diambil
1 ml dan ditambahkan 2 tetes pereaksi molisch serta 1 ml larutan asam sulfat H
2
SO
4
pekat. Uji ini positif jika ditandai dengan terbentuknya kompleks warna ungu diantara dua lapisan.
f Benedict. Sejumlah ekstrak lamun dilarutkan dengan akuades, kemudian
diambil delapan tetes dan dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi benedict, lalu dididihkan selama lima menit. Uji benedict positif jika larutan
membentuk warna hijau, kuning, atau membentuk endapan warna merah bata.
g Biuret. Uji ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan senyawa peptida.
Sejumlah ekstrak lamun yang dilarutkan dengan akuades diambil sebanyak 1 ml, kemudian ditambahkan 4 ml pereaksi biuret, lalu dikocok. Uji ini
positif jika larutan membentuk warna ungu. h
Ninhidrin. Uji ninhidrin dilakukan untuk mengetahui keberadaan golongan senyawa asam amino. Sejumlah ekstrak lamun yang dilarutkan
dengan akuades diambil 2 ml, kemudian ditambahkan beberapa tetes
55
pereaksi ninhidrin 0,1 dan dipanaskan selama 10 menit. Uji ini positif jika terbentuk larutan dengan warna biru.
Gambar 9 Proses kegiatan uji fitokimia
3.3.4. Uji toksisitas
Uji toksisitas ini dilakukan dengan mengadopsi dan memodifikasi metode uji toksisitas dengan menggunakan larva Artemia salina Meyer et al. 1982.
Larva Artemia salina ini dipelihara pada air laut yang telah difilter selama 24 jam pada suhu 28
C, kemudian setiap 10 larva dipindahkan ke dalam masing-masing wheel yang telah diisi air laut hasil filtrasi sebanyak 2 ml. Untuk menguji
toksisitas ekstrak kasar lamun, ekstrak diencerkan menggunakan air steril aquades hingga konsentrasi 10 ppm, 100 ppm, 500 ppm, dan 1000 ppm,
kemudian diteteskan kedalam masing masing wheel yang telah diisi Artemia. Sebagai kontrol digunakan satu wheel tambahan tanpa penambahan ekstrak kasar
lamun, setelah 24 jam, masing masing wheel kembali diamati, dihitung, dan dicatat jumlah larva yang hidup. Data yang digunakan dalam perhitungan BSLT
adalah data Artemia yang mati, kemudian data tersebut dikonversi kedalam bilangan logaritma dari Tabel Probit Lampiran 2. Perolehan nilai dari Tabel
Probit dan nilai konsentrasi ekstrak yang digunakan kemudian dimasukan ke dalam persamaan regresi, sehingga diperoleh nilai konsentrasi LC
50
. Ilustrasi proses uji toksisitas pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Proses kegiatan uji toksisitas
3.3.5. Uji bioantifouling
Uji bioantifouling dilakukan secara invitro, dengan mengamati aktivitas hambat ekstrak lamun terhadap bakteri pembentuk biofilm. Uji aktivitas hambat
biofilm ini diawali dengan melakukan selekesi bakteri uji, seperti yang dipaparkan dalam Gambar 11. Bakteri pembentuk biofilm yang digunakan adalah genus
Vibrio, hal ini mengacu pada hasil penelitian Mayavu et al. 2009 dan Yildiz and Visick 2009 yang menyatakan Vibrio spp. adalah bakteri pembentuk biofilm dan
dapat memicu pembentukan fouling. Bakteri Vibrio spp. yang digunakan dalam penelitian diseleksi dari isolat bakteri koleksi Laboratorium Mikrobiologi P2O
– LIPI. Seleksi bakteri dilakukan untuk mendapatkan bakteri Vibrio sp. pembentuk
biofilm tertinggi dengan menggunakan metode Biofilm Formation Assay Ramage et al. 2001. Isolat bakteri pembentuk biofilm terpilih kemudian diremajakan
kembali dalam media Marine agar, berikutnya dikultur pada media selektif Thiosulfat Citrate Bile Sucrose TCBS untuk mendapatkan genus Vibrio Feliatra
1999, proses ini dapat dilihat pada Gambar 12.
57
Gambar 11 Alur skematik seleksi bakteri uji Uji aktivitas hambat biofilm ini menggunakan metode difusi agar yang
diadopsi dari Jensen et al. 1998 dan El-Hady et al. 2007, yaitu bakteri terpilih dikulturkan pada media marine agar dan diletakkan pada masing masing cawan
petri, kemudian didiamkan selama 1 jam pada suhu 28 C. Pada saat yang
bersamaan, kertas cakram yang telah disiapkan dicelupkan kedalam ekstrak lamun dengan konsentrasi 200 mgml dan 20mgml, kemudian didiamkan selama 1 jam
agar pelarut menguap. Kertas cakram yang sudah dicelupkan diletakan pada media agar yang telah disebar bakteri biofilm terpilih, kemudian diinkubasi
selama 18-24 jam pada suhu 37 C. Aktivitas hambat ekstrak lamun diukur
berdasarkan diameter zona bening yang terbentuk. Proses uji aktivitas hambat biofilm selama penelitian ini ditampilkan pada Gambar 13.
Isolat bakteri pembentuk biofilm, koleksi Laboratorium
mikrobiologi P2O LIPI
Seleksi isolat bakteri Vibrio spp. dengan menggunakan
media agar selektif TCBS
2 isolat bakteri uji Vibrio spp.
Identifikasi awal bakteri, dengan metode pewarnaan
gram +-
Gambar 12 Proses mendapatkan bakteri terpilih
Gambar 13 Proses uji aktivitas hambat biofilm 3.4. Analisis Data
Data rendemen hasil ekstraksi lamun dianalisis dengan menggunakan uji anova dua arah, kemudian dilanjutkan dengan uji F, untuk mengetahui faktor yang
berpengaruh terhadap hasil ekstraksi. Hasil uji fitokimia, berupa golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak lamun dianalisis secara deskriptif. Data
hasil uji toksisitas BSLT dianalisis dengan menggunakan analisis regresi, untuk mengetahui keeratan hubungan antara mortalitas Artemia salina dengan log
konsentrasi ekstrak lamun yang diberikan. Hasil uji anti bakteri biofilm bioantifouling berupa nilai diameter zona hambat bakteri biofilm dianalisis
secara deskriptif.
59
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Koleksi Contoh Lamun
Koleksi contoh lamun yang diambil adalah jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Gambar 14. Kedua jenis lamun tersebut dapat
diklasifikasikan Waycott et al. 2004 sebagai berikut: Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta Angiospermae Class : Liliopsida
Sub-class : Alismatidae Order : Alismatales
Family : Hydrocharitaceae Genus : Thalassia
Spesies : Thalassia hemprichii Genus : Enhalus
Spesies : Enhalus acoroides Enhalus acoroides merupakan jenis lamun yang mudah dikenali, karena
memiliki morfologi daun yang besar, lebar, dan keras. Pertumbuhan daun Enhalus acoroides sangat unik karena langsung dari rhizoma yang tebal dan keras
dengan garis garis hitam. Thalassia hemprichii memiliki ciri khusus berupa ujung daun yang membundar dengan bercak merah, dan memiliki pertumbuhan daun
tidak langsung dari akarnya, namun dari stem vertikal Waycott et al. 2004.
Gambar 14 Foto lamun A Enhalus acoroides dan B Thalassia hemprichii.
A B
Kedua jenis lamun ini dipilih karena telah terbukti pada penelitian sebelumnya mengandung senyawa bioaktif El-Hady et al. 2007; Elfahmi et al.
1997; Jensen et al. 1998; Lakshmi et al. 2006; Raja-Kanan et al. 2010; Qi et al. 2008; Mayavu et al. 2009, sehingga diduga memiliki potensi lebih besar sebagai
bioantifouling. Alasan lain penyebab digunakannya Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dalam penelitian, karena distribusi kedua jenis lamun
tersebut di Indonesia sangat luas. Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dapat ditemui di perairan Indonesia, seperti Pulau Belitung Fahmi et al. 2010,
Kepulauan Seribu Mardesyawati dan Anggraeni 2009, Teluk Gilimanuk, Bali Dewi et al. 2008, dan Pantai Molas, Manado Maabuat et al. 2012.
Pertumbuhan dan perkembangbiakan lamun dipengaruhi oleh kondisi kualitas perairan, seperti suhu, salinitas, dan nutrien. Madigan et al. 2000
memaparkan produksi senyawa metabolit sekunder organisme merupakan salah satu mekanisme pertahanan diri yang meningkat produksinya seiring dengan
tekanan lingkungan yang terjadi disekitarnya. Data kualitas air yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari
Lumban-Toruan 2011, meliputi suhu, salinitas, pH, DO, fosfat, nitrat dan ammonia, hasil analisis parameter tersebut menunjukkan nilai yang masih berada
dalam kisaran nilai baku mutu kualitas perairan untuk biota laut menurut Kepmen – LH 51 Tahun 2004 Tabel 3.
Tabel 3 Hasil analisis kualitas perairan Pulau Pramuka, DKI Jakarta Maret 2011
No Parameter
Satuan Pramuka Barat
Pramuka Timur Baku Mutu
1 Suhu
o
C 29,5
29,5 28 - 30
2 Salinitas
ppm 34,2
34,3 33 - 34
3 pH
8 8,1
7 – 8,5
4 DO
mgL 10
8,8 5
6 Fosfat PO4
mgL 0,17
0,015 7
Nitrat NO3 mgL
0,02 0,02
0,008 8
Amonia NH3 mgL
0,07 0,22
0,3
Sumber : Lumban-Toruan 2011
Keterangan : Baku mutu berdasarkan Kepmen - LH 51 Tahun 2004 untuk biota laut
61
Suhu perairan Pulau Pramuka pada saat pengambilan contoh air, adalah 29.5
o
C Tabel 3, kondisi ini masih tergolong baik untuk lingkungan hidup lamun. Philips dan Menez 1988 memaparkan bahwa lamun akan tumbuh
optimal pada air laut dengan suhu 28 – 30
o
C. Salinitas perairan di sisi barat dan timur Pulau Pramuka, adalah 34.2 ppm dan 34.3 ppm, nilai ini masih berada
dalam selang toleransi pertumbuhan dan perkembangan lamun. Lamun akan tumbuh dan berkembang dengan optimal pada perairan dengan salinitas 24
– 35 ppm Hilman et al. 1989.
Derajat keasaman pH di sisi barat dan timur perairan Pulau Pramuka pada Maret 2011, adalah 8 dan 8.1, nilai ini tergolong baik untuk pertumbuhan
lamun. Hal ini karena lamun akan tumbuh dan berkembang dengan baik pada peraian dengan pH 7.3
– 9.0 Burrell dan Schubell 1977. Hasil analisis diatas diambil pada Maret 2011, bulan ini termasuk pada
musim peralihan. Walaupun data kualitas perairan yang diperoleh hanya mewakili satu musim saja, data tersebut masih dapat digunakan, karena kondisi
kualitas fisika dan kimia perairan di Pulau Pramuka pada ketiga musim yang berbeda timur, barat, dan peralihan menurut Triyulianti 2009 tidak berbeda
nyata. Analisis kualitas air diatas menunjukkan bahwa kualitas perairan di Pulau Pramuka pada saat pengambilan contoh lamun dalam kondisi yang baik dan tidak
memberikan tekanan lingkungan terhadap lamun.
4.2. Senyawa Bioaktif Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii
Berat basah contoh Enhalus acoroides yang dikeringkan dan digunakan dalam penelitian akan menyusut hingga 31,6±
0,04
, sementara Thalassia hemprichii menyusut hingga 95,5±
0,016
. Rendemen yang dihasilkan oleh lamun jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii hasil penelitian akan
meningkat seiring dengan kepolaran pelarut. Jumlah rendemen ekstrak kedua jenis lamun yang diekstraksi dengan
pelarut metanol lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diekstraksi dengan pelarut n-heksana Tabel 4. Hal ini menunjukkan Enhalus acoroides dan
Thalassia hemprichii yang dikoleksi dari Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta mengandung senyawa bioaktif bersifat polar lebih banyak daripada yang
bersifat non polar. Tingginya potensi ikatan hidrogen yang terbentuk pada pelarut metanol, menyebabkan zat bioaktif yang terkandung dalam Enhalus acoroides
dan Thalassia hemprichii lebih mudah larut didalamnya, sehingga lebih banyak zat bioaktif yang diperoleh dari proses ekstraksi.
Tabel 4 Berat ekstrak kasar Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii
Spesies Berat Contoh
g Berat ekstrak g
Ekstrak Metanol
Ekstrak n –
heksana
Enhalus acoroides n=3 50
1,36±0,058 0,16±0,04
Thalassia hemprichii n=3
50 1,50±0,086
0,16±0,016
Nilai berat yang disajikan pada Tabel 4 digunakan untuk menghitung rendemen, yaitu perbandingan nilai berat ekstrak yang dihasilkan dengan berat
awal contoh daun lamun kering dalam persen . Rendemen ekstrak kasar lamun jenis Enhalus acoroides, dengan pelarut n-heksana adalah 0,32,
sedangkan dengan pelarut metanol adalah 2,71. Rendemen ekstrak kasar lamun jenis Thalassia hemprichii dengan pelarut n-heksana adalah 0,32, sementara
dengan pelarut metanol adalah 2,99 Gambar 15. Nilai rendemen kedua jenis lamun yang diekstraksi dengan pelarut polar
methanol lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diekstraksi dengan pelarut non polar n-heksana. Nilai rendeman hasil penelitian kemudian dianalisis
dengan melakukan uji anova Lampiran 1, dan dilanjutkan dengan uji F untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap rendemen ekstrak. Hasil uji
F yang dilakukan, menunjukkan faktor pelarut memiliki pengaruh yang nyata terhadap nilai rendemen, sedangkan jenis lamun tidak berpengaruh nyata terhadap
nilai rendemen.