bersifat non polar.  Tingginya potensi ikatan hidrogen yang terbentuk pada pelarut metanol,  menyebabkan  zat  bioaktif  yang  terkandung  dalam  Enhalus  acoroides
dan  Thalassia  hemprichii  lebih  mudah  larut  didalamnya,  sehingga  lebih  banyak zat bioaktif yang diperoleh dari proses ekstraksi.
Tabel 4 Berat ekstrak kasar Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii
Spesies Berat Contoh
g Berat ekstrak g
Ekstrak Metanol
Ekstrak n –
heksana
Enhalus acoroides n=3 50
1,36±0,058 0,16±0,04
Thalassia hemprichii n=3
50 1,50±0,086
0,16±0,016
Nilai  berat  yang  disajikan  pada  Tabel  4  digunakan  untuk  menghitung rendemen,  yaitu  perbandingan  nilai  berat  ekstrak  yang  dihasilkan  dengan  berat
awal  contoh  daun  lamun  kering  dalam  persen  .    Rendemen  ekstrak  kasar lamun  jenis  Enhalus  acoroides,  dengan  pelarut  n-heksana  adalah  0,32,
sedangkan dengan pelarut metanol adalah 2,71.  Rendemen ekstrak kasar lamun jenis  Thalassia  hemprichii  dengan  pelarut  n-heksana  adalah  0,32,  sementara
dengan pelarut metanol adalah 2,99 Gambar 15. Nilai  rendemen  kedua  jenis  lamun  yang  diekstraksi  dengan  pelarut  polar
methanol lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diekstraksi dengan pelarut non  polar  n-heksana.    Nilai  rendeman  hasil  penelitian  kemudian  dianalisis
dengan  melakukan  uji  anova  Lampiran  1,  dan  dilanjutkan  dengan  uji  F  untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap rendemen ekstrak.  Hasil  uji
F  yang  dilakukan,  menunjukkan  faktor  pelarut  memiliki  pengaruh  yang  nyata terhadap nilai rendemen, sedangkan jenis lamun tidak berpengaruh nyata terhadap
nilai rendemen.
63
Sumber:  Diolah dari Tabel  4
Gambar 15  Rendemen ekstrak Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Faktor  kepolaran  pelarut  merupakan  peran  penting  dalam  menentukan
nilai besaran rendemen dari ekstrak suatu organisme, karena jenis pelarut dengan kepolaran  yang  berbeda  akan  melarutkan  zat  aktif  dari  dalam  organisme  yang
berbeda  pula.    Khopkar  2003  menyebutkan  bahwa  kelarutan  suatu  zat  pada pelarut  tertentu  sangat  bergantung  pada  kemampuan  zat  tersebut  untuk
membentuk  ikatan  hidrogen.    Pelarut  n –hekasana  merupakan  senyawa
hidrokarbon  yang  memiliki  rantai  lurus  sehingga  tidak  dapat  larut  dalam  air, sementara  metanol  merupakan  senyawa  yang  memiliki  bobot  molekul  rendah
sehingga  mudah  membentuk  ikatan  hidrokarbon  dan  mudah  larut  dalam  air. Tingginya  potensi  ikatan  hidrogen  yang  terbentuk  pada  pelarut  metanol,
menyebabkan  zat  bioaktif  yang  terkandung  dalam  Enhalus  acoroides  dan Thalassia  hemprichii  lebih  mudah  larut  didalamnya,  sehingga  lebih  banyak  zat
bioaktif yang diperoleh dari proses ekstraksi. Pengaruh faktor kepolaran pelarut terhadap rendemen hasil ekstraksi juga
terjadi  pada  penelitian  eksplorasi  bahan  bioaktif  dari  karang  lunak  jenis Sarcophyton  sp.  dan  Sinularia  sp.  yang  dilakukan  oleh  Soedharma  et  al.  2009.
Pada  penelitian  yang  dilakukan  Soedharma  et  al.  2009  disebutkan  bahwa
0.00 0.50
1.00 1.50
2.00 2.50
3.00 3.50
Enhalus acoroides Thalassia hemprichii
R e
n d
e m
e n
metanol
n - heksana
rendemen  ekstrak  metanol  karang  lunak  jenis  Sarcophyton  sp  dan  Sinularia  sp. adalah  2,55  dan  1,56,  dan  rendemen  ekstrak  n-heksana  adalah  0,42  dan
1,38.    Hal  ini  menunjukkan  bahwa  hasil  ekstraksi  yang  dilakukan  terhadap organisme laut, baik tumbuhan ataupun hewan, dipengaruhi oleh faktor kepolaran
dari  pelarut  yang  digunakan.    Semakin  polar  sifat  pelarut  yang  digunakan,  maka hasil rendemen ekstraksi akan semakin banyak.
4.3.     Golongan Senyawa Fitokimia Golongan  senyawa  yang  terkandung  dalam  ekstrak  lamun  jenis  Enhalus
acoroides dan Thalassia hemprichii ditampilkan pada Tabel 5.  Berdasarkan hasil uji  fitokimia,  diketahui  bahwa  ekstrak  metanol  dari  Enhalus  acoroides
mengandung  senyawa  alkaloid,  flavonoid,  banedict,  dan  ninhidrin.    Ekstrak metanol  lamun  jenis  Thalassia  hemprichii  diketahui  mengandung  senyawa
golongan alkaloid, steroid, flavonoid, benedict dan ninhidrin.  Uji fitokimia yang dilakukan  terhadap  ekstrak  n-heksana  dari  Enhalus  acoroides  menunjukkan
bahwa  ekstrak  tersebut  mengandung  senyawa  pada  golongan  flavonoid  dan benedict,  sementara  uji  yang  dilakukan  terhadap  ekstrak  Thalassia  hemprichii
menunjukkan  ketersediaan  senyawa  bioaktif  pada  golongan  alkaloid,  steroid, flavonoid, dan benedict.
Seluruh  ekstrak  lamun  dengan  pelarut  n-heksana  dan  metanol memperlihatkan  respon  positif terhadap  uji  flavonoid  dan  uji  benedict  Tabel  5.
Hal  ini  menunjukkan  seluruh  ekstrak  lamun  mengandung  senyawa  bioaktif golongan  flavonoid  dan  gula  pereduksi.    Flavonoid  diketahui  sebagai  salah  satu
golongan  senyawa  fenol  alam  terbesar  dan  banyak  ditemui  umumnya  pada  jenis tumbuhan Markham 1988.  Flavonoid diduga berperan aktifsebagai  antifouling,
karena  isolat  senyawa  flavonoid  dari  Thalassia  testudinum  terhadap  penempelan organisme.  Winarno  1997  menyebutkan  gula  pereduksi  menunjukkan
keberadaan  gugus  hidroksil  OH  pada  sebuah  senyawa,  sementara  Anonimus 1995 in Arlyza 2007 mengemukakan keberadaan cincin hidroksil OH dalam
senyawa  flavonoid  yang  berperan  sebagai  antifouling.    Mekanisme  senyawa flavonoid  dalam  menghambat  pertumbuhan  bakteri  pembentuk  biofilm
disebabkan  oleh  keberadaan  gugus  OH  yang  dapat  berikatan  dengan  protein
65
dalam membran sel bakteri, sehingga membran sel pecah dan seluruh organel sel keluar dan berdampak pada kematian sel Scheuer 1994.
Tabel 5   Hasil identifikasi kandungan golongan senyawa lamun jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii
Uji Fitokimia
n-heksana non polar Metanol polar
Enhalus acoroides
Thalassia hemprichii
Enhalus acoroides
Thalassia hemprichii
Alkaloid
- +
+ +
Steroid
- +
- +
Flavonoid
+ +
+ +
Saponin
- -
- -
Molisch
- -
- -
Benedict
+ +
+ +
Biuret
- -
- -
Ninhidrin
- -
+ +
+  :  Mengandung golongan senyawa yang diuji -  :  Tidak mengandung golongan senyawa yang diuji
Robinson  1995  menjelaskan  bahwa  senyawa  pada  golongan  alkaloid pada umumnya potensial dimanfaatkan sebagai antibakteri dan bahan obat obatan
analgesik.    Senyawa  pada  golongan  ini  diduga  mampu  mengganggu  komponen penyusun peptidoglikan, sehingga dinding sel bakteri tidak tersusun dengan utuh,
kemudian menyebabkan kematian. Golongan  senyawa  lain  yang  juga  ditemukan  adalah  steroid.    Golongan
senyawa  steroid  merupakan  salah  satu  jenis  senyawa  sterol  yang  mudah ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi, meskipun pada periode penelitian awal
senyawa sterol diduga hanya ditemukan pada ekstrak hewan saja Harbone 1987. Ekstrak yang mengandung senyawa golongan steroid ini memiliki potensi sebagai
antibakteri  dan  antifungi,  dengan  mekanisme  merusak  membran  sel  bakteri, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri Cowan 1999.  Vickery dan vickery
1981  pada  bukunya  juga  memaparkan bahwa  senyawa  golongan  steroid  sangat potensial  menghambat  pertumbuhan  bakteri  dengan  mekanisme  peningkatan
permeabilitas  membran  sel  kemudian  terjadi  kebocoran  sel  dan  bagian  intrasel akan terhambur keluar.
Uji ninhidrin menunjukkan hasil positif pada lamun yang diekstrak dengan pelarut metanol, artinya lamun mengandung senyawa asam amino dan dapat larut
pada pelarut metanol.  Hasil uji ninhidrin sesuai dengan hasil penelitian Setyati  et al.  2005  yang  memaparkan  Enhalus  acoroides  dan  Thalassia  hemprichii
mengandung asam amino sebesar 7,65 dan 8,35. Uji  fitokimia  yang  dilakukan  menunjukan  bahwa  Enhalus  acoroides  dan
Thalassia  hemprichii  yang  dikoleksi  dari  Pulau  Pramuka,  DKI  Jakarta mengandung  senyawa  bioaktif  golongan  flavonoid.    Senyawa  bioaktif  golongan
flavonoid  selama  ini  diduga  memiliki  potensi  sebagai  bahan  bioantifouling Anonimus 1995 in Arlyza 2007.  Uji ini menunjukan bahwa Enhalus acoroides
Thalassia hemprichii memiliki potensi sebagai bioantifouling.
4.4.     Toksisitas Senyawa Bioaktif Lamun
Hasil  uji  toksisitas  yang  dilakukan  terhadap  hewan  uji  Artemia  salina menunjukkan hasil yang beragam tingkat toksisitasnya, dapat dilihat pada Tabel 6.
Nilai hasil uji toksisitas tersebut diperoleh dengan menggunakan nilai konsentrasi ekstrak  lamun  dan  mortalitas  hewan  uji  Lampiran  2.    Kedua  besaran  nilai
tersebut  kemudian  dikonversi  menjadi  bilangan  logaritma  dengan  bantuan  tabel probit Lampiran 3, lalu dihitung dan diregresikan untuk memperoleh nilai LC
50
Lampiran 4, sehingga diperoleh bentuk grafik yang sigmoid. Konsentrasi  ekstrak  lamun  yang  diaplikasikan  terhadap  organisme  uji
Artemia salina adalah 10, 100, 500, dan 1000 ppm.  Data log konsentrasi ekstrak lamun dan mortalitas probit A. salina yang diperoleh kemudian dihubungkan dan
dilihat  korelasinya  dengan  grafik  regresi  Gambar  16.    Melalui  persamaan  dari grafik  regresi  yang  terbentuk,  diperoleh  nilai  toksisitas  LC
50
Tabel  6.    Nilai toksisitas LC
50
tertinggi diperoleh dari ekstrak n-heksana Enhalus acoroides, yaitu 1309,42  ppm,  sementara  nilai  terendah  diperoleh  dari  ekstrak  metanol  Enhalus
acoroides, yaitu 5,74 ppm. Hal ini menujukkan bahwa ekstrak n-heksana Enhalus acoroides  bersifat  tidak  toksik,  sementara  ekstrak  metanol  Enhalus  acoroides
bersifat sangat toksik Meyer et al. 1982.
67
Tabel 6  Nilai toksisitas ekstrak lamun terhadap hewan uji Artemia salina
Ekstrak n –
heksana Konsentrasi
ppm Log
Konsentrasi Persen
Mortalitas Prob
it LC50
ppm
T. hemprichii 10
1 13,33
3,87 707,22
100 2
23,33 4,26
500 2,7
36,67 4,64
1000 3
66,67 5,41
E. acoroides 10
1 6,67
3,45 1309,42
100 2
23,33 4,26
500 2,7
33,33 4,56
1000 3
50,00 5,00
Ekstrak metanol
Konsentrasi ppm
Log Konsentrasi
Persen Mortalitas
Prob it
LC50 ppm
T. hemprichii 10
1 33,33
4,56 165,45
100 2
43,33 4,82
500 2,7
56,67 5,15
1000 3
66,67 5,41
E. acoroides 10
1 56,67
5,15 5,74
100 2
60,00 5,25
500 2,7
66,67 5,41
1000 3
80,00 5,84
Sumber :  Diolah dari Lampiran 1, dengan menggunakan Tabel Probit pada Lampiran 2
Persamaan  yang  terbentuk  dari  hubungan  log  konsentrasi  ekstrak  lamun dengan  mortalitas  probit  adalah  sebagai berikut  1  y  =  0,678x+3,068  R²=0,842
untuk  ekstrak  n-heksana  Thalassia  hemprichii;  2  y=0,726x+2,737  R²=0,975 untuk ekstrak n-heksana Enhalus acoroides; 3 y=0,407x+4,097 R²=0,947 untuk
ekstrak  metanol  Thalassia  hemprichii;  4  y=0,290x+4,78  R²=0,719  untuk ekstrak metanol Enhalus acoroides Gambar 16.  Berdasarkan empat persamaan
diatas diperoleh dua nilai koefisien korelasi R
2
yang hampir mendekati 1, yaitu 0,947  untuk  ekstrak  n-heksana  Enhalus  acoroides  dan  0,975  untuk  ekstrak
metanol Thalassia hemprichii, artinya konsentrasi kedua ekstrak tersebut  dengan nilai mortalitas A. salina mempunyai hubungan yang sangat erat, dimana semakin
tinggi  konsentrasi  ekstrak  yang  diberikan  semakin  besar  pula  jumlah  A.  salina yang mengalami kematian.
A
B
C
D
Gambar  16    Grafik  regresi  hubungan  log  konsentrasi  dan  mortalitas  A.  salina dalam nilai probit dari A Ekstrak n-heksana Thalassia hemprichii;
B  Ekstrak  n-heksana  Enhalus  acoroides;  C  Ekstrak  methanol Thalassia hemprichii; D Ekstrak methanol Enhalus acoroides
Thalassia  hemprichii  yang  diekstrak  dengan  pelarut  methanol  dan  n- heksana,  serta  Enhalus  acoroides  yang  diekstrak  dengan  pelarut  methanol
diketahui  masuk  dalam  kategori  toksik  dan  sangat  toksik.    Data  tersebut menunjukkan  adanya  korelasi  positif  dengan  hasil  uji  fitokimia,  yang
menunjukkan  bahwa  didalam  ketiga  ekstrak  kasar  tersebut  terkandung  senyawa bioaktif  yang  dapat  bersifat  toksik  bagi  sel  organisme,  yaitu  senyawa  golongan
flavonoid, steroid, dan alkaloid. Hal  ini  didukung  oleh  Jensen  et  al.  1998  yang  melaporkan  bahwa
senyawa  bioaktif  golongan  flavonoid  flavones  glycoside  liteolin  7-O- β-
Dglucopyransyl-2-sulfate,  yang  diisolasi  dari  Thalassia  testudinum  bersifat toksik  dan  mampu  menghambat  pertumbuhan  mikroorganisme  penempel,  jamur
jenis  Schizichytrium  aggregatum.    Zimmerman  1997  in  Arlyza  2007 mengemukakan pendapat yang sama, bahwa senyawa golongan fenolik flavonoid
y = 0.678x + 3.068 R² = 0.842
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00
0.00 2.00
4.00
P rob
it
Log Konsentrasi
y = 0.726x + 2.737 R² = 0.975
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00
0.00 2.00
4.00
P rob
it
Log Konsentrasi
y = 0.407x + 4.097 R² = 0.947
0.00 1.00
2.00 3.00
4.00 5.00
6.00
0.00 2.00
4.00
P rob
it
Log Konsentrasi
y = 0.290x + 4.78 R² = 0.719
5.00 5.20
5.40 5.60
5.80 6.00
0.00 2.00
4.00
P rob
it
Log Konsentrasi
69
p-sulfoxy  cinnamic,  yang  terkandung  dalam  Zoostera  marina,  dapat menghambat pertumbuhan biota penempel di laut.
Golongan  senyawa  steroid  bersifat  toksik  bagi  organisme,  karena  dapat meningkatkan  permeabilitas  sel  organisme  uji,  sehingga  membran  sel  menipis,
kemudian  terjadi  kebocoran  sel,  dan  bagian  intra  sel  organisme  akan  terhambur keluar Vickery dan vickery 1981.  Teori ini didukung oleh Cowan 1999 yang
mengemukakan hasil penelitiannya bahwa senyawa golongan steroid ini memiliki potensi  sebagai  antibakteri  dan  antifungi,  dengan  mekanisme  merusak  membran
sel bakteri, sehingga menghambat pertumbuhan bakteri. Senyawa alkaloid merupakan salah satu golongan senyawa yang diketahui
bersifat  toksik  terhadap  hewan  uji,  yaitu  dengan  cara  mengganggu  komponen penyusun  peptidoglikan,  sehingga  dinding  sel  bakteri  tersusun  tidak  beraturan
Robinson  1995.    Ekstrak  dengan  kandungan  senyawa  golongan  alkaloid memiliki potensi dimanfaatkan sebagai bahan baku farmasi Robinson 1995
Ekstrak methanol Enhalus acoroides hasil penelitian 5,74 ppm termasuk dalam  golongan  sangat  toksik
Meyer  et  al.  1982,  dan  memiliki  tingkat  toksisitas lebih  tinggi  daripada  ekstrak  metanol  lamun  jenis  Thalassia  hemprichii  165,45  ppm,
bahkan  lebih  tinggi  dari  ekstrak  metanol  karang  lunak  jenis  Sarcophyton  sp.  dan Sinularia sp., yaitu 45,15 ppm dan 201,93 ppm Soedharma et al. 2009.
Ekstrak  Enhalus  acoroides  dan  Thalassia  hemprichii  dengan  pelarut  n-heksana hasil  penelitian  menunjukkan  bahwa  ekstrak  tersebut  relatif  lebih  toksik  jika
dibandingkan dengan ekstrak n-heksana dari Ulfa reticulata.  Ini terjadi karena nilai LC
50
ekstrak  n-heksana  Ulfa  reticulata,  adalah  6367,95  ppm  Tamat  et  al.  2007,  nilai  ini berada  jauh  diatas  nilai  LC
50
dari  Ekstrak  n-heksana  Enhalus  acoroides  dan  Thalassia hemprichii.
Komponen  toksik  yang  terkandung  dalam  contoh-contoh  ekstrak  lamun, jika  diberikan  pada  Artemia  salina  sebagai  hewan  uji  dapat  menyebabkan
kematian.    Kematian  tersebut  terjadi  karena  Artemia  salina  merupakan  hewan yang  mengkonsumsi  bahan-bahan  organik,  sehingga  seluruh  komponen  dari
ekstrak  lamun  akan  dikonsumsi  dan  terakumulasi  didalam  tubuhnya.    Loomis 1978 menyebutkan bahwa akumulasi komponen toksik di dalam tubuh  Artemia
salina  akan  terus  meningkat  seiring  pertambahan  waktu,  sehingga  menyebabkan kematian.
4.5.    Uji bioantifouling
Uji bioantifouling dilakukan dengan teknik invitro, menggunakan metode aktivitas hambat bakteri.  Bakteri yang digunakan adalah bakteri Vibrio spp. yang
diseleksi dari isolat bakteri pembentuk biofilm koleksi P2O LIPI.  Seleksi bakteri Vibrio  spp.  dilakukan  dengan  menggunakan  media  TCBS,  bakteri  pembentuk
biofilm  jenis  Vibrio  spp.  akan  membentuk  koloni  berwarna  kuning  terang  pada media  tersebut  Gambar  17a.    Identifikasi  awal  jenis  bakteri  dilakukan  dengan
metode  gram  positif –  gram  negatif,  dan  hasil  uji  tersebut  menunjukkan  bahwa
dua bakteri Vibrio spp. merupakan bakteri gram negatif, ditunjukan dengan warna merah muda pada Gambar 17b.
a b
Gambar 17 a Koloni  bakteri  Vibrio  spp.  hasil  seleksi  dengan  menggunakan media  TCBS;  b  Hasil  identifikasi  dengan  metode  pewarnaan  gram
bakteri Vibrio spp. hasil seleksi.
Aktivitas  hambat  biofilm  ekstrak lamun pada  konsentrasi  20  mgml  terhadap bakteri  uji  Vibrio  4-3  dan  15-3  menunjukkan  hasil  yang  kurang  memuaskan,
karena  zona  bening  yang  terbentuk  hampir  tidak tampak  Gambar  18.  Diameter rata-rata  zona  bening  kurang  dari  1  mm  Tabel  7,  nilai  tersebut  menunjukkan
bahwa  aktivitas  hambat  ekstrak  lamun  terhadap  bakteri  pembentuk  biofilm tergolong  lemah  Bell  1984.    Feliatra  1999  menjelaskan  Vibrio  memiliki
kecenderungan  sebagai  bakteri  gram  negatif,  sementara  Branen  dan  Davidson 1993  memaparkan  bakteri  gram  negatif  umumnya  sensitif  terhadap  senyawa
yang bersifat polar.
71 Tabel  7      Hasil  pengujian  aktivitas  hambat  biofilm  Enhalus  acoroides  dan  Thalassia
hemprichii pada konsentrasi 20mgml
Lamun Diameter Zona Hambat mm
Ekstrak n – heksana
Bakteri Vibrio 4 - 3
Bakteri Vibrio 15
– 3
Thalassia hemprichii 0,7
0,2 Enhalus acoroides
0,8 0,3
Ekstrak metanol Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 – 3
Thalassia hemprichii 1,2
0,2 Enhalus acoroides
0,7 0,2
Kontrol Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 – 3
n – heksana
Metanol
Sumber :  Diolah dari Lampiran 5.
Zona  hambat  yang  terbentuk  dari  hasil  uji  aktivitas  hambat  biofilm Enhalus  acoroides  dan  Thalassia  hemprichii  pada  konsentrasi  20mgml
ditampilkan pada Gambar 18.
Bakteri Biofilm Vibrio 4 – 3
Bakteri Biofilm Vibrio 15 – 3
Gambar  18    Hasil  uji  aktivitas  hambat  biofilm  Enhalus  acoroides  dan  Thalassia hemprichii  pada  konsentrasi  20mgml;  Kertas  cakram  ditetesi  Hex
pelarut  n-heksana;  Met  pelarut  methanol;  1  Ekstrak  Enhalus acoroides dengan pelarut methanol; 2 Ekstrak Thalassia hemprichii
dengan  pelarut  methanol;  3  Ekstrak  Enhalus  acoroides  dengan pelarut n-heksana; 4 Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut n-
heksana
Aktivitas  hambat  biofilm  ekstrak  lamun  pada  konsentrasi  200  mgml menunjukkan hasil yang lebih baik dari konsentrasi sebelumnya 20 mgml, zona
bening  yang  terbentuk  terlihat  variatif  Gambar  19,  dengan  diameter  beragam, namun  rata-rata  masih  kurang  dari  5  cm  Tabel  8.    Nilai-nilai  tersebut
menunjukkan  bahwa  aktivitas  hambat  ekstrak  lamun  dengan  konsentrasi  200 mgml tergolong lemah hingga sedang Bell 1984.
Tabel 8  Hasil pengujian aktivitas hambat biofilm Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii pada konsentrasi 200mgml.
Lamun Diameter Zona Hambat mm
Ekstrak n – heksana
Bakteri Vibrio 4 - 3
Bakteri Vibrio 15 - 3
Thalassia hemprichii 3.67
3.67 Enhalus acoroides
5.00 2.33
Ekstrak metanol Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 - 3
Thalassia hemprichii 5.33
1.33 Enhalus acoroides
3.67 1.00
Sumber :  Diolah dari Lampiran 6.
Hasil  uji  aktivitas  hambat  biofilm  dari  ekstrak  lamun  dengan  konsentrasi 200mgml dapat dilihat pada Gambar 19.
Bakteri Biofilm Vibrio 4 – 3
Bakteri Biofilm Vibrio 15 – 3
Gambar  19.  Hasil  uji  aktivitas  hambat  biofilm  Enhalus  acoroides  dan  Thalassia hemprichii  pada  konsentrasi  200mgml;  Kertas  cakram  ditetesi  1
Ekstrak  Enhalus  acoroides  dengan  pelarut  methanol;  2  Ekstrak Thalassia  hemprichii  dengan  pelarut  methanol;  3  Ekstrak  Enhalus
acoroides dengan pelarut n-heksana; 4 Ekstrak Thalassia hemprichii dengan pelarut n-heksana.
73
Jika  data  hasil  uji  aktivitas  hambat  biofilm  diperhatikan  lebih  lanjut, diketahui nilai diameter zona hambat biofilm yang terbentuk dari seluruh ekstrak
terhadap  bakteri  uji  Vibrio  4-3  MA  lebih  besar  jika  dibandingkan  dengan  zona hambat  yang  terbentuk  pada  bakteri  uji  Vibrio  15-3  MA.    Hal  ini  menunjukkan
bahwa  aktivitas  bertahan  bakteri  uji  Vibrio  15-3  MA  lebih  baik,  karena  mampu melawan  ekstrak  lamun  yang  terkandung  dalam  kertas  cakram,  sehingga  nilai
zona hambat yang terbentuk disekitar kertas cakram rendah. Berdasarkan data yang diperoleh dan ditampilkan pada tabel diatas, secara
umum  diketahui  ektrak  lamun  yang  menggunakan  pelarut  metanol  cenderung menghasilkan  nilai  zona  hambat  yang  lebih  besar  jika  dibandingkan  dengan
ekstrak  lamun  yang  menggunakan  pelarut  n-heksana.    Hal  ini  menunjukkan bahwa  pelarut  metanol  lebih  potensial  dan  efektif  digunakan  untuk  ekstraksi
senyawa bioaktif lamun, karena dapat menghambat aktivitas bakteri biofilm. Sensitivitas bakteri gram negatif terhadap senyawa polar disebabkan oleh
adanya membran luar, yaitu sebuah lapisan tambahan pada dinding sel.  Membran luar  tersusun  atas  lipopolisakarida,  porin,  dan  lipoprotein,  keberadaaan  molekul
protein  tersebut  memudahkan  difusi  pasif  senyawa  hidrofilik  dengan  berat molekul rendah, seperti senyawa golongan alkaloid dan flavonoid Jawet 1998.
Ekstrak  Enhalus  acoroides  baik  yang  dilarutkan  dengan  metanol  ataupun dengan  heksana,  menurut  data  hasil  penelitian  yang  diperoleh  cenderung
mambentuk  zona  hambat  yang  lebih  luas  jika  dibandingkan  dengan  ekstrak Thalassia  hemprichii.    Hal  ini  diduga  disebabkan  oleh  bentuk  morfologi  daun
Enhalus acoroides yang lebih besar, luas, dan tebal, sehingga mampu menyimpan bahan  bioaktif  lebih  banyak.    Bentuk  morfologi  daun  lamun  Enhalus  acoroides
yang  lebar,  banyak  dimanfaatkan  oleh  organisme  di  alam  untuk  menempel  dan juga untuk makanan, dalam kondisi tekanan alam berupa predasi dan persaingan
tempat  hidup  tersebut  Enhalus  acoroides  akan  menghasilkan  senyawa  bioaktif metabolit sekunder sebagai bentuk pertahanan diri dari predator dan organisme
lain. Uji  bioantifouling  dengan  menggunakan  ekstrak  metanol  lamun  terhadap
bakteri  pembentuk  biofilm  genus  Vibrio sp.  sudah  pernah  dilakukan  sebelumnya oleh  Mayavu  et  al.  2009,  hasilnya  menunjukkan  bahwa  ektrak  metanol
Cymodocea  serrulata  dan  Syringodium  isoetifolium  membentuk  zona  hambat dengan  diameter  3  mm,  dan  6  mm.    Hal  ini  menunjukkan  bahwa  lamun  jenis
Thalassia  hemprichii  dan  Enhalus  acoroides  memiliki  potensi  yang  lebih  baik dari  jenis  Cymodocea  serrulata  untuk  menghambat  aktivitas  bakteri  pembentuk
biofilm Vibrio spp. .
75
5.  KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.  Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini  adalah: 1  Hasil uji fitokimia ekstrak Enhalus  acoroides  dan  Thalassia  hemprichii  menunjukkan  adanya  kandungan
gula  pereduksi  dan  senyawa  bioaktif  dari  jenis  flavonoid;  2  Hasil  iji  toksisitas menunjukan  bahwa  ekstrak  metanol  Enhalus  acoroides  bersifat  sangat  toksik
dengan  nilai  LC
50
5,74  ppm,  sedangkan  ekstrak  n-heksana  Enhalus  acoroides bersifat tidak toksik ditunjukkan dengan nilai LC
50
1309,42 ppm; 3 Ekstrak kasar lamun  pada  konsentrasi  200  mgml  memiliki  kemampuan  menghambat  aktivitas
biofilm pada kategori lemah hingga sedang.
5.2.  Saran
Saran  dari  penelitian  ini,  adalah  perlu  dilakukan  eksplorasi  pemanfaatan lamun  pada  bagian  batang  dan  rhizoma,  agar  pemanfaatan  potensi  bioprospeksi
dari lamun lebih optimal, serta isolasi dan purifikasi senyawa golongan flavonoid dari lamun yang potensial sebagai bioantifouling.  Identifikasi bakteri pembentuk
biofilm  sebaiknya  dilakukan  hingga  tingkat  spesies,  dan  hewan  uji  yang digunakan  untuk  uji  toksisitas,  sebaiknya  menggunakan  organisme  penempel,
antara lain Balanus sp..
77
DAFTAR PUSTAKA
Abarzua S, Jakubowski S. 1995. Biotechnological investigation for the prevention
of biofouling. I. Biological and biochemical principles for the prevention of biofouling. Mar Ecol, Vol 123; 301
– 312. Armitage  JP.  2005.  Understanding  the  development  and  formation  of  biofilm.
Unpublish Paper. Department of Biochemistry, University of Oxford. Arlyza  IS.  2007.  Bahan  bioaktif  dari  organisme  laut  sebagai  pengendali  biota
penempel. Oseana, Vol 321; 39 – 48.
Azkab MH. 1999.  Pedoman inventarisasi lamun. Oseana, Vol 241; 1 -16. Bell  SM.    1984.  Antibiotic  sensitivity  testing  by  CDS  methods.  Di    dalam:
Hertwig N, editor. Clinical Microbiology Up Date Pragramme.  New South Wales. The Price Wales Hospital.
Boesono H. 2008. Pengaruh lama perendaman terhadap organisme penempel dan modulus elastisitas pada kayu. Jurnal Ilmu Kelautan, Vol 133; 177
– 180. Branen  AL,  Davidson  PJ.  1993.  Antimicrobial  in  Foods.  New  York:  Marcel
Dekker. Burgess  JG,  Boyd  KG,  Amstrong  E,  Jiang  Z,  Yan  L,  Berggren  M,  May  U,
Pisacane  T,  Granmo  A,  Adams  DR.  2003.  The  development  of  a  marine natural product
– based antifouling paint. Biofouling, suppl: 197 – 205. Burrell DC dan Schubel JR. 1977. Seagrass ecosystem oceanography.  Di dalam:
McRoy  P  dan  Mc  Millan  C  eds.  Seagrass  Ecosystem:  a  Scientific Perspective. New York : Marcel Dekker.
Callow ME, Callow JA. 2002. Marine biofouling: a sticky problem. Biologist, Vol 491.
Cowan MM. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clin microbio Reviews, Vol 24; 69
– 72. Czaczyk  K,  Myszka  K.  2007.  Biosynthesis  of  extracellular  polymeric  substance
EPS  and  its  role  in  microbial  biofilm  formation.  Polish  J.  Environ  Stud, Vol 166; 799
– 806. Darmayanti,  Y.  1994.    Environtmental  impact  of  antifouling  system:  The  use  of
tributhyltin. Oseana, Vol 192; 9 – 16.
Delauney  L,  Compere  C,  Lehaitre  M.  2009.  Biofouling  protection  for  marine enviromental sensors. Osean Science Discussions, Vol 6; 2993
– 3018.
Den  Hartog,  Kuo  CJ.  2006.  Taxonomy  and  Biogeography  of  Seagrasses.  Di dalam:  Larkum  AWD,  Orth  RJ,  Duarte  CM,  editor.    Seagrasses:  Biology,
Ecology and Conservation. Netherlands: Springer. Dewi CSU, Kawaroe M, Aziz A. 2009. Struktur Komunitas Moluska Pada Padang
Lamun di Teluk Gilimanuk, TN. Bali Barat. SEMNASKAN VI. FPIK - UB. Malang.
El-Hady  HA,  Daboor  SM,  Ghoniemy  AE.  2007.  Nutritive  and  antimicrobial profiles  of  some  seagrasses  from  Bardawil  Lake,  Egypt.  Egyptian  Journal
Of Aquatic Research, Vol 333; 103 – 110.
Elfahmi,  Sodiro  I,  Ruslan  K.  1997.  Telaah  fitokimia  dan  uji  hayati  pendahuluan lamun Enhalus accorides L. F. Royle. [tesis]. Bandung: Sekolah Farmasi,
Institut Teknologi Bandung. Fahmi S, Dewi CSU, Salami H. 2010.  Struktur Komunitas dan Biomassa Lamun
di  Perairan  Pulau  Belitung.  Makalah  Ilmiah.  PIT  ISOI  VII.  Hotel  Santika, Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka-Belitung. 6
– 7 Oktober 2010. Feliatra. 1999. Identifikasi bakteri patogen Vibrio sp. di perairan Nongsa Batam
Propinsi Riau. Jurnal Natur Indonesia, Vol 111; 28 – 33.
Harbone  JB.    1987.    Metode  Fitokimia. Padmawinata  K,  Soediro  I,  penerjemah. Bandung: ITB.  Terjemahan dari: Phytochemical Methods.
Hentzer M, Riedl K, Rasmussen TB, Heydorn A, Anderson JB, Parsek MR, Rice SA, Eberl L, Molin S, Hoiby N, Kjelleberg S, Givskov M. 2002. Inhibition
of  quorum  sensing  in  Pseudomonas  aeruginosa  biofilm  bacteria  by  a halogenated furanone compound. Microbiology 148. 87
– 102. Hikmah  A.  2011.  Isolasi  dan  identifikasi  bakteri  Vibrio  cholera  pada  kerang  di
tempat pelelangan ikan TPI wilayah sidoarjo. Unpublish artikel. Surabaya: Fakultas Kedokteran Hewan, UNAIR.
Hillman K, Walker DJ, Larkum AWD, dan McComb AJ. 1989. Productivity and nutrient limitation of seagrasses. Di dalam:  Larkum AW, McComb AJ, dan
Shepherd  SA  eds.  Biology  of  Seagrasses.  Netherland:  Elsevier  Science Publishers.
Jawet  E.  1998.  Obat-obatan  kemoteuratika.  Staf  Dosen  Fakultas  Kedokteran UNSRI, penerjemah;  Katzung, BG, edtitor. Jakarta: Farmakologi Dasar dan
Klinik. Terjemahan dari: Basic and Clinical Pharcology. Jensen PR, Jenlins KM, Porter D, Fenical W. 1998. Evidence that a new antibiotic
flavone  glycoside  chemically  defends  the  seagrass  Thalassia  testudinum against zoosporic fungi. AEM, Vol 644; 1490
– 1496.
79
Kawaroe  M,  Jaya  I.  2004.  Pemetaan  Bioekologi  Padang  Lamun  Seagrass  di Kepulauan  Seribu,  Jakarta  Utara.  Laporan.  Lembaga  Penelitian  dan
Pengabdian Kepada Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Khopkar SM.  2003.  Konsep Dasar Kimia Analitik.  Jakarta: UI
– Press. Kiswara  W,  Azkab  MH,  Purnomo  LH.  1997.    Komposisi  Jenis  dan  Sebaran
Lamun  di  Kawasan  Cina  Selatan.  Di  dalam  Suyarso,  editor.  1997.  Atlas Oseanologi  Laut  Cina  Selatan.  Jakarta.  Lembaga  Ilmu  Pengetahuan
Indonesia – Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi.
Lakshmi  V,  Goel  AK,  Srivastava  MN,  Kulshreshta  DK,  Raghubir  R.  2006. Bioactivity  of  marine  organism:  part  IX
–  screening  of  some  marine  flora from Indian Coasts. IJEB, Vol 44; 137
– 141. Loomis TA. 1978. Essential of Toxicology. London: Henry Kimpton Publisher.
Lumban-Toruan,  LN.  2011.  Pendugaan  Kualitas  Ekosistem  Terumbu  Karang  Di
Kepulauan  Seribu  Dengan  Menggunakan  Proporsi  Foraminifera  Bentik Sebagai  Bioindikator.  [tesis].  Bogor:  Sekolah  Pasca  Sarjana,  Institut
Pertanian Bogor.
Maabuat PV, Sampekalo J, Simbala HEI. 2012. Keanekaragaman lamun di pesisir Pantai Molas, Kecamatan Bunaken, Kota Manado. J. Bios Logos. Vol 21:
20 – 27.
Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2000. Brock biology of microorganisms. Ed ke-9. USA: Prentice Hall, Inc.
Mardesyawati  A,  Anggraeni  K.  2009.  Persen  Penutupan  dan  Jenis  Lamun  di kepulauan  Seribu.  Di  dalam  Estradivari,  Setyawan  E,  Yusri  S,  editor.
Terumbu  Karang  Jakarta:  Pengamatan  Jangka  Panjang  Terumbu  Karang Kepulauan Seribu 2003
– 2007. Jakarta. Yayasan TERANGI. Markham  KR.  1988.  Cara  Mengidentifikasi  Flavonoid.  Kosasih  P,  penerjemah.
Bandung: Institut Teknologi Bandung. Mayavu  P,  Sugesh  S,  Ravindran  VJ.  2009.  Antibacterial  activity  of  seagrass
species againts biofilm forming bacteria research. JM, Vol 48; 314-319. Meyer  BN,  Ferigni  NR,  Putnam  JE,  Jacobsen  LB,  Nicholas  DE,  Laughlin  JL.
1982.  Brine  shrimp:  a  convenient  general  bioassay  for  active  plant constituents.  Planta medica, Vol 453; 31
– 34.
Prabhakaran S, Rajaram R, Balasubramanian V, Mathivanan K. 2012. Antifouling potential  of  extracts  from  seaweeds,  seagrasses,  and  mangroves  againts
primary  biofilm  forming  bacteria.  Asian  Pacific  Journal  of  Tropical Biomedicine, S316
– S322. Phillips  RC  dan  Menez  EG.  1988.  Seagrasses.  Washington  DC:  Smithsonian
Institution Press. Qi  Shi-Hua,  Si  Zhang,  Pei-Yuan  Qian,  Bin-Gui  Wang.  2008.  Antifeedant,
antibacterial,  and  antilarval  compounds  from  the  South  China  Seagrass Enhalus acoroides. In Press. Botanica Marina, Vol 51.
Raja-Kannan  RR,  Arumugam  R,  Meenakhshi  S,  Anantharaman  P.  2010.  Thin layer  chromatography  analysis  of  antioxidant  constituents  from  seagrasses
of Gulf of mannar biosphere reserve, South India. IJCRGG. Vol 23; 1526 – 1530.
Ramage  G,  Walle  KV,  Wickes  BL,  Lopez-Ribot  JL.  2001.  Characteristics  of biofilm  formation  by  Candida  albicans.  Rev  Iberon  Micol,  Vol  18;  163
– 170 .
Riguera  R.  1997.  Isolating  bioactive  compound  from  marine  organism.    J  Mar Biotechnol, Vol 52; 187
– 193. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung: ITB Press.
Sabdono  A,  Radjasa  OK.  2006.  Antifouling  activity  of  bacteria  associated  with
soft  coral  Sarcophyton  sp.  against  marine  biofilm  forming  bacteria. COASTDEV,  Vol 101; 55 -62.
Sabdono  A.  2007.  Pengaruh  ekstrak  antifouling  bakteri  karang  Pelagiobacter variabilis  strain  USP3.37  terhadap  penempelan  bernakel  di  Perairan  Pantai
Teluk Awur, Jepara. Ilmu Kelautan, Vol 121; 18-23. Scheuer HS. 1994. Produk Alami Lautan. Semarang: IKIP Semarang Press.
Schlegel HG dan Schmidt K. 1994. Mikrobiologi Umum. Baskara, T, Penerjemah.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Selvin  J,  Lipton  AP.  2002.    Development  of  a  rapid  “mollusk  foot  adherence
bioassay”  for  detecting  potent  antifouling  bioactive  compounds.  Current science, Vol. 836; 735
– 737. Setyati  WA,  Subagiyo  S,  Ridlo  A.  2005.  Potensi  berbagai  jenis  lamun  sebagai
sumber  makanan  kesehatan:  Analisis  Proximat.  Indonesian  Journal  of Marine Sciences. Vol 210.
81
Soedharma  D,  Effendi  H,  Kawaroe  M.  2009.  Fragmentasi  buatan  karang  lunak Sinularia  dura,  Lobophytum  strictum,  dan  Sarcophyton  roseum  di  pulau
pramuka,  kepulauan  seribu.  [Laporan  Akhir  -  Riset  Insentif  Terapan]. Lembaga  Penelitian  dan  Pengabdian  Kepada  Masyarakat.  Institut  Pertanian
Bogor.
Soedharma D, Fauzan A. 1996. Imposex pada Neogastropoda Thais sp. sebagai akibat  kontiminasi  tributylin  Senyawa  Sn  dari  cat  pelapis  kapal  di  sekitar
Pelabuhan  Ratu  Jawa  Barat.  Jurnal  Ilmu  Ilmu  Periaran  dan  Perikanan Indonesia, Vol 41; 45
– 53. Tamat  SR,  Wikanta  T,  Maulina  LS.  2007.  Aktivitas  antioksidan  dan  toksisitas
senyawa  bioaktif  dari  ekstrak  rumput  laut  hijau  Ulfa  reticulata  Forsskal. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol 51: 31
– 36. Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of the Indonesian
Seas. Part II. Chapter 13 – 23. Periplus Edition HK Ltd.
Triyulianti  I.  2009.  Bioaktivitas  ekstrak  karang  lunak  Sinularia  sp.  dan Lobophytum  sp.  hasil  fragmentasi  di  Perairan  Pulau  Pramuka,  Kepulauan
Seribu, DKI Jakarta. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Vickery  ML,  B.  Vickery.  1981.  Secondary  plant  Methabolism.  London:  The Macmilan Press.
Vu  B,  Chen  M,  Crawford  RJ,  Ivanasa  EP.  2009.  Bacterial  ekstracellular polysaccharydes  involved  in  biofilm  formation.  Molecules,  Vol  14;  2535
– 2554.
Wahl M. 1989. Review Marine Epibiosis. I. Fouling and Antifouling: Some Basic Aspect. MEPS, Vol 58; 175
– 189. Waters  CM,  Lu  W,  Rabinowitz  JD,  BL.  Bassler  JD.  2008.  Quorum  sensing
controls biofilm formation in Vibrio cholerae trhough modulation of cyclic Di-GMP levels and repression of vpsT. JB, Vol 197.
Waycott  M,  McMahoon  K,  Mellors  J,  Calladine  A,  Kleine  D.  2004.    A  Guide Tropical  Seagrasses  of    The  Indo-West  Pacific.    Townsville:  James  Cook
University.
Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi
.
Jakarta: Gramedia.
Yildiz  FH,  Visick  KL. 2009.  Vibrio biofilms: Somuch the same  yet so different. Trends in Microbiology, Vol 173.
Yusuff  M,  Zulkifli  SZ,  Ismail  A.  2011.  Imposex  study  on  Thais  tuberose  from port  and  non-port  areas  along  the  west  coast  of  Penisular  Malaysia.
EKOMAR, Vol 2: 1 – 9.
83
LAMPIRAN
Lampiran 1.  Hasil uji anova dua arah data rendemen ekstrak lamun
Anova: Two-Factor With Replication
SUMMARY E.a
T.h Total
Count 3
3 6
Sum 0.484275
0.4801 5
0.9644 25
Average 0.161425
0.1600 5
0.1607 38
Variance 0.001315
876 0.0002
54 0.0006
29 0.036275
0.0159 5
Count 3
3 6
Sum 4.0698
4.4919 75
8.5617 75
Average 1.3566
1.4973 25
1.4269 63
Variance 0.003369
803 0.0073
23 0.0102
18 0.05805
0.0855 75
Total Count
6 6
Sum 4.554075
4.9721 25
Average 0.759012
5 0.8286
88 Variance
0.430407 255
0.5395 22
ANOVA Source of Variation
SS Df
MS F
P- value
F crit Sample
4.809977 252
1 4.8099
77 1568.9
19 1.81E-
10 5.3176
55 Columns
0.014563 817
1 0.0145
64 4.7504
28 0.0609
05 5.3176
55 Interaction
0.015144 307
1 0.0151
44 4.9397
73 0.0569
54 5.3176
55 Within
0.024526 323
8 0.0030
66 Total
4.864211 699
11
85
Lampiran 2.  Data jumlah Artemia salina yang mati, setelah uji toksisitas dengan empat konsentrasi
Pelarut n- heksana Ekstrak lamun jenis Thalassia hemprichii
Konsentrasi ppm ulangan 1
ulangan 2 ulangan 3
rata rata 10
2 1
1 1
100 3
2 2
2 500
3 4
4 4
1000 7
7 6
7 Ekstrak lamun jenis Enhalus acoroides
Konsentrasi ppm ulangan 1
ulangan 2 ulangan 3
rata rata 10
2 1
100 1
2 4
2 500
2 3
5 3
1000 7
4 4
5 Pelarut Metanol
Ekstrak lamun jenis Thalassia hemprichii Konsentrasi ppm
ulangan 1 ulangan 2
ulangan 3 rata rata
10 2
2 6
3 100
4 3
6 4
500 6
5 6
6 1000
6 6
8 7
Ekstrak lamun jenis Enhalus acoroides Konsentrasi ppm
ulangan 1 ulangan 2
ulangan 3 rata rata
10 4
6 7
6 100
5 5
8 6
500 7
6 7
7 1000
8 8
8 8
Lampiran 3.  Tabel Probit
87
Lampiran 4.  Contoh Perhitungan LC
50
Ekstrak metanol
Konsentrasi ppm
Log Konsentrasi
Persen Mortalitas
Probit LC50
ppm
T. hemprichii 10
1 33,33
4,56 165,45
100 2
43,33 4,82
500 2,7
56,67 5,15
1000 3
66,67 5,41
Pada ekstrak dengan konsentrasi 100 ppm Persen mortalitas
= Jumlah artemia yang mati  x 100
Jumlah populasi =
410 x 100 =
43,33 Dari grafik hubungan antara log konsentrasi sumbu x dengan nilai probit
sumbu y didapatkan persamaan Y = 0,407x + 4,097 Penentuan LC50 Konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian sebesar 50
50 nilai probit y = 5 dilihat dari table probit lampiran 2 Y
= 0,407x + 4,097 5
= 0,407x + 4,097 x
= 5 – 4,097  0,4097
x = 2,204
anti log dari x  = 2,204 LC50
= x = 165,45
Lampiran  5.    Hasil  pengukukuran  diameter  zona  hambat  ekstrak  Enhalus acoroides  dan  Thalassia  hemprichii  konsentrasi  20  mgml
terhadap biofilm
Lamun Diameter Zona Hambat mm
Ekstrak n - heksana Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 - 3
T. hemprichii 1
0,5 1
0,67 0,17
E. acoroides 1
0,5 1
0,5 0,5
0,83 0,33
Ekstrak metanol Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 – 3
T. hemprichii 0,5
2 1
0,5 1,17
0,17 E. acoroides
0,5 3
1 0,5
0,5 0,5
0,67 1,33
89
Lampiran  6.    Hasil  pengukukuran  diameter  zona  hambat  ekstrak  Enhalus acoroides  dan  Thalassia  hemprichii  konsentrasi  200  mgml
terhadap biofilm
Lamun 200mgml Diameter Zona Hambat mm
Ekstrak n - heksana Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 - 3
T. hemprichii 4
2 6
1 4
2 4,67
1,67
E. acoroides 4
2 5
3 5
3 5
2,67
Ekstrak metanol Bakteri
Vibrio 4 - 3 Bakteri
Vibrio 15 – 3
T. hemprichii 5
2 4
3 2
3 3,67
2,67
E. acoroides 4
2 6
1 4
1 4,67
1,33
5
ABSTRACT
CITRA  SATRYA  UTAMA  DEWI.  Potential  Bioactive  of
Enhalus  acoroides and
Thalassia  hemprichii  for  BIOANTIFOULING  in  Pramuka  Island,  DKI Jakarta.  Under  direction  of  DEDI  SOEDHARMA  and  MUJIZAT
KAWAROE. Biochemically, seagrass has natural antifouling compounds potential to substitute
harmful  compund  of  TBT  tributhyl  tin  in  the  antifouling  paint.  The  aim  of  this study was to explore potential seagrass as bioantifouling materials.  Particulary
of  Thalassia  hemprichii  and  Enhalus  acoroides  extraction  was  performed  using two solvents: methanol polar and n-hexane non-polar. The results showed that
extracts  of  Thalassia  hemprichii  and  Enhalus  acoroides  contains  flavonoids,  a chemical  compound  potential  as  bioantifouling.  Based  on  toxicity  tests  using
Brain Shrimp Lethal Toxic BSLT method, methanol extract of Enhalus acoroides was  more  toxic  5.74  ppm  than  n-hexane  extract  1309.42  ppm.  Biofilm
inhibitory activity assay showed that inhibition performance seagrass extract 200 mgml were weak 1.00 mm to moderate 5.33mm.
Key words: seagrass; bioantifouling; TBT; biofilm inhibitory activity assay
7
RINGKASAN
CITRA  SATRYA  UTAMA  DEWI.  Potensi  Lamun  Jenis
Enhalus  acoroides dan
Thalassia  hemprichii  Dari  Pulau  Pramuka,  DKI  Jakarta  Sebagai Bioantifouling.  Dibimbing  oleh  DEDI  SOEDHARMA  dan  MUJIZAT
KAWAROE. Lamun
seagrass merupakan
satu-satunya tumbuhan
berbunga Angiospermae  yang  memiliki  kemampuan  beradaptasi  untuk  hidup  di  laut.
Keragaman  jenis  lamun  di  Kepulauan  Seribu  dilaporkan  ada  delapan  jenis,  yaitu Enhalus  acoroides,  Thalassia  hemprichii,  Cymodocea  serrulata,  Cymodocea
rotundata,  Halophila  ovalis,  Halophila  minor,  Syringodium  isoetifolium,  dan Halodule  uninervis  Mardesyawati  dan  Anggraeni  2009.    Sejak  dekade  terakhir
beragam  penelitian  bioteknologi  telah  mulai  dilakukan  untuk  mengeksplorasi lamun, guna mengetahui potensi bahan bioaktif yang terkandung di dalamnya.  Qi
et al. 2008 melakukan pengujian terhadap lamun jenis Enhalus acoroides  yang hasilnya  menunjukkan  bahwa  jenis  tersebut  mengandung  bahan  aktif  potensial
untuk  menghambat  proses  penempelan  larva  antilarva  Bugula  neritina  pada bagian  daunnya,  serta  menghambat  proses  predasi  daun  antifeedant  oleh
Spodoptera litura.
Potensi  lamun  sebagai  antifeedant  dan  anti-larva  menimbulkan  dugaan bahwa  lamun  dapat  digunakan  sebagai  bahan  baku  subtitusi  senyawa  kimia
tributyl tin TBT, yang umum digunakan sebagai campuran cat  antifouling.  Cat antifouling  tersebut  umum  digunakan  untuk  mengatasi  masalah  organisme
penempel  biofouling,  namun  tidak  ramah  lingkungan,  sehingga  mengakibatkan dampak  negatif  pada  ekosistem  Darmayanti  1994.    Salah  satu  contoh  dampak
negatif pada ekosistem, adalah indikasi terganggunya organ reproduksi imposex pada  Thais  sp.  yang  ditemukan  di  Perairan  Pelabuhan  Ratu  Soedharma  dan
Fauzan  1996  dan  di  Pantai  Barat  Semenanjung  Malaysia  Yusuf  et  al.  2011. Sejak  17  September  2008,  Organisasi  Maritim  Internasional  IMO  melarang
pemakaian cat dengan campuran TBT untuk cat kapal, oleh karena itu pencarian bahan  antifouling  yang  ramah  lingkungan  bioantifouling,  khususnya  yang
berasal dari lamun dibutuhkan.
Tujuan  dari  penelitian  ini  adalah  1  menganalisis  kandungan  golongan senyawa bioaktif lamun; 2 menganalisis toksisitas bahan bioaktif lamun; dan 3
menganalisis potensi lamun sebagai penghambat biofouling bioantifouling. Berdasarkan  penelitian  yang  telah  dilakukan,  diketahui  bahwa  rendemen
yang  dihasilkan  oleh  lamun  jenis  Enhalus  acoroides  dan  Thalassia  hemprichii meningkat  seiring  dengan  kepolaran  pelarut.    Nilai  rendemen  kedua  jenis  lamun
yang  diekstraksi  dengan  pelarut  polar  methanol  lebih  tinggi  jika  dibandingkan dengan  yang  diekstraksi  dengan  pelarut  non  polar  n
–heksana,  artinya  Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii mengandung senyawa polar lebih banyak dari
pada senyawa non polar. Hasil  uji  fitokimia,  menunjukkan  bahwa  ekstrak  metanol  dari  Enhalus
acoroides  mengandung  senyawa  alkaloid,  flavonoid,  benedict,  dan  ninhidrin. Ekstrak  metanol  lamun  jenis  Thalassia  hemprichii  diketahui  mengandung
senyawa  golongan  alkaloid,  steroid,  flavonoid,  benedict  dan  ninhidrin.    Uji
fitokimia  yang  dilakukan  terhadap  ekstrak  n –heksana  dari  Enhalus  acoroides
menunjukkan  bahwa  ekstrak  tersebut  mengandung  senyawa  pada  golongan flavonoid  dan  gula  pereduksi,  sementara  uji  yang  dilakukan  terhadap  ekstrak
Thalassia hemprichii menunjukkan ketersediaan senyawa bioaktif pada golongan alkaloid, steroid, flavonoid, dan gula pereduksi.
Berdasarkan  uji  toksisitas  terhadap  organisme  uji  Artemia,  diketahui bahwa  Enhalus  acoroides  yang  diekstrak  dengan  menggunakan  metanol
mengandung  bahan  bioaktif  sangat  toksik,  yaitu  5,74  ppm,  sementara  ekstrak  n- heksana  dari  jenis  yang  sama  tingkat  toksisitasnya  sangat  rendah  tidak  toksik,
yaitu 1309,42 ppm.
Hasil  uji  aktivitas  hambat  ekstrak  lamun terhadap  bakteri  biofilm  terpilih jenis  Vibrio  spp.  dengan  konsentrsai  200  mgml  menunjukkan  ekstrak  Thalassia
hemprichii  yang  diujikan  terhadap  bakteri  Vibrio  4-3  MA  membentuk  zona hambat  terbesar,  yaitu  5.33  mm.    Nilai  zona  hambat  tersebut  termasuk  dalam
golongan aktivitas sedang.
29
1.  PENDAHULUAN
1.1.    Latar Belakang
Lamun seagrass
merupakan satu-satunya
tumbuhan berbunga
Angiospermae  yang  memiliki  kemampuan  beradaptasi  untuk  hidup  di  laut. Keragaman  jenis  lamun  di  Kepulauan  Seribu  dilaporkan  ada  delapan  jenis,  yaitu
Enhalus  acoroides,  Thalassia  hemprichii,  Cymodocea  serrulata,  Cymodocea rotundata,  Halophila  ovalis,  Halophila  minor,  Syringodium  isoetifolium,  dan
Halodule  uninervis  Mardesyawati  dan  Anggraeni  2009.    Sejak  dekade  terakhir beragam  penelitian  bioteknologi  telah  mulai  dilakukan  untuk  mengeksplorasi
lamun, guna mengetahui potensi bahan bioaktif yang terkandung di dalamnya.  Qi et al. 2008 melakukan pengujian terhadap lamun jenis  Enhalus acoroides  yang
hasilnya  menunjukkan  mengandung  bahan  aktif  potensial  untuk  menghambat proses penempelan larva antilarva gastropoda jenis Bugula neritina pada bagian
daunnya,  serta  menghambat  proses  predasi  daun  antifeedant  oleh  Spodoptera litura.
Potensi  lamun  sebagai  antifeedant  dan  antilarva  menimbulkan  dugaan bahwa  lamun  dapat  digunakan  sebagai  bahan  baku  subtitusi  senyawa  kimia
tributyl tin TBT, yang umum digunakan sebagai campuran cat  antifouling.  Cat antifouling  tersebut  umum  digunakan  untuk  mengatasi  masalah  organisme
penempel  biofouling,  namun  tidak  ramah  lingkungan,  sehingga  mengakibatkan dampak  negatif  pada  ekosistem  Darmayanti  1994.    Salah  satu  contoh  dampak
negatif pada ekosistem, adalah indikasi terganggunya organ reproduksi imposex pada  Thais  sp.  yang  ditemukan  di  Perairan  Pelabuhan  Ratu  Soedharma  dan
Fauzan  1996,  dan  di  Pantai  Barat  Semenanjung  Malaysia  Yusuf  et  al.  2011. Sejak  17  September  2008,  Organisasi  Maritim  Internasional  IMO  melarang
pemakaian cat dengan campuran TBT untuk cat kapal, oleh karena itu pencarian bahan  antifouling  yang  ramah  lingkungan  bioantifouling,  khususnya  yang
berasal dari lamun dibutuhkan. 1.2.
Rumusan Masalah
Biofouling merupakan suatu istilah bagi organisme yang hidup menempel pada setiap substrat padat yang diletakkan di laut.  Proses penempelan organisme
diawali  dengan  keberadaan  material  organik  yang  memicu  adanya  penempelan mikrofouling,
kemudian diikuti
dengan penempelan
larva organisme
makrofouling.    Organisme  mikrofouling  umumnya  terdiri  dari  bakteri  dan  jamur biofilm  serta  diatom  peryphyton,  sementara  makrofouling  umumnya  berasal
dari golongan alga dan larva avertebrata. Perlahan  namun  pasti,  biofouling  akan  menimbulkan  masalah  pada
material  substrat  padat  tersebut,  sehingga  mengakibatkan  kerugian  bagi  industri maritim.    Laju  penempelan  biofouling  pada  substrat  kayu  lebih  cepat  jika
dibandingkan  dengan  substrat  fiber,  karena  permukaan  kayu  lebih  kasar  jika dibandingkan dengan fiber, sehingga materi organik lebih mudah menempel pada
permukaan kayu.  Pada umumnya, biofouling yang menempel pada substrat fiber hanya jenis mikrofouling saja, sehingga dapat diatasi dengan pencucian sarana dan
prasarana sementara biofouling yang menempel pada substrat kayu lebih beragam, yaitu  mikrofouling  dan  makrofouling,  sehingga  harus  diatasi  dengan  pencucian
dan pengerokan. Masalah  yang  ditimbulkan  akibat  biofouling  ini  pada  awalnya  diatasi
dengan  penggunaan  cat  yang  dicampur  dengan  senyawa  TBT  tributhyl  tin  dan unsur logam berat lain, seperti Selenium Sn, Timbal Pb.  Cat dengan tambahan
TBT  dan  logam  berat  ini  pada  awalnya  banyak  digunakan  untuk  mengatasi masalah  biofouling  pada  industri  maritim,  dan  semakin  berkembang
penggunaannya  pada  Tahun  1970.    Aplikasi  cat  dengan  tambahan  senyawa  TBT ternyata  berdampak  negatif  pada  lingkungan  perairan,  sehingga  mendorong
Oganisasi Maritim Internasional IMO melarang pemakaian bahan tersebut untuk cat  kapal  yang  secara  efektif  dimulai  17  September  2008.  Oleh  karena  itu
pencarian  bahan  antifouling  non-toksik  yang  ramah  lingkungan  bioantifouling sangat dibutuhkan saat ini.
Lamun  seagrass  merupakan  salah  satu  organisme  laut  yang  diduga potensial  sebagai  bahan  bioantifouling,  bahkan  Zoostera  marina  dan  Thalassia
testudinum  diketahui  mengandung  senyawa  murni  golongan  flavonoid,  yang potensial  menghambat  pertumbuhan  jamur  pembentuk  biofilm.    Potensi
penghambat  pertumbuhan  biofilm  diduga  juga  dapat  diisolasi  dari  lamun  jenis Thalassia hemprichii dan Enhalus accoroides yang tumbuh di Indonesia, terutama
31
di  Kepulauan  Seribu,  DKI –  Jakarta,  sehingga  pada  penelitian  ini  perlu  dikaji
lebih lanjut mengenai golongan senyawa yang terkandung di dalam ekstrak kasar contoh lamun serta potensi senyawa bioaktif lamun sebagai bioantifouling.
1.3.  Tujuan dan sasaran
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1 Menganalisis  kandungan  golongan  senyawa  bioaktif  yang  diekstrak  dari
Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii; 2
Menganalisis  toksisitas  bahan  bioaktif  yang  diekstrak  dari  Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii; dan
3 Menganalisis  potensi  bioantifouling  dari  ekstrak  Enhalus  acoroides  dan
Thalassia hemprichii. Sasaran dari penelitian ini adalah diperolehnya informasi jenis lamun yang
potensial  dan  jenis  pelarut  yang  efektif  digunakan  sebagai  bioantifouling  dari Pulau Pramuka, DKI Jakarta.
33
2.  TINJAUAN PUSTAKA
2.1.    Lamun Lamun
yang  umum  disebut  sebagai  “samo-samo”  oleh  masyarakat  lokal Kepulauan  Seribu  diketahui  memiliki  akar,  batang,  daun,  bunga  dan  buah  sejati
seperti  tumbuhan  monokotil  lain  di  darat.    Lamun  dapat  hidup  membentuk hamparan  luas  yang  biasa  disebut  dengan  padang  lamun.    Padang  lamun
berdasarkan  komposisi  jenis  penyusunnya  dapat  dibagi  menjadi  dua  macam, yaitu:  padang  lamun  homogen,  yang  terdiri  dari  satu  spesies,  dan  padang  lamun
heterogen yang tersusun lebih dari satu spesies. Lamun dapat hidup, tumbuh dan  berkembang biak dengan baik di habitat
perairan  laut  dangkal,  estuaria  dengan  kadar  garam  tinggi,  serta  di  daerah  yang selalu  mendapat  genangan  air  ketika  surut.    Waycott  et  al.  2004  memaparkan
pada  dasarnya  cahaya  matahari  dan  masukan  nutrien  merupakan  faktor  utama yang membatasi sebaran dan habitat hidup lamun.  Waycott et al. 2004 membagi
habitat hidup lamun di wilayah tropis menjadi empat bagian, yaitu: river estuary, coastal,  deep  water,  dan  reef.    Empat  habitat  unik  lamun  tropis  tersebut  dapat
dilustrasikan seperti pada Gambar 1:
Gambar 1 Empat habitat unik bagi lamun tropis Jumlah jenis lamun  yang telah ditemukan di dunia hingga saat ini adalah
58  jenis,  yang  termasuk  ke  dalam  12  marga.    Sembilan  marga  lamun  yang ditemukan,  tergolong  dalam  Famili  Potamogetonaceae,  dan  tiga  marga  lamun
yang lainnya masuk dalam Famili Hydrocharitaceae. Sebaran geografik lamun di
Sumber: Waycot et.al. 2004
dunia dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu di daerah tropis dan sub tropis. Den  Hartog  dan  Kuo  2006  memaparkan  bahwa  di  daerah  tropis  terdapat  tujuh
marga  lamun  yang  umum  ditemukan,  yaitu  Halodule,  Cymodocea,  Syringodium, Thalassodendron,  Enhalus,  Thalassia,  dan  Halophila,  sedangkan  di  daerah  sub
tropis  ditemukan  dua  marga  yang  umum  yaitu,  Zostera  dan  Posidonia.    Tiga marga yang lain, Heterozostera dan Amphibolis hanya ditemukan di perairan sub
tropis belahan bumi selatan, sedangkan Phyllospadix hanya ditemukan di perairan Pasifik utara.
Keragaman  jenis  lamun  di  Indonesia  cukup  banyak,  lamun  yang  telah ditemukan hingga saat ini ada 12 jenis yang termasuk ke dalam tujuh marga yaitu:
Enhalus,  Halophila,  Thalassia,  Cymodocea,  Halodule,  Syringodium,  dan Thalassodendron  Tomascik  et  al.  1997.    Kiswara  et  al.  1997  memaparkan
bahwa  jenis  lamun  yang  ditemukan  di  perairan  Indonesia  bagian  timur  lebih banyak jika dibandingkan dengan di Indonesia bagian barat.  Di Indonesia bagian
timur dapat ditemukan 12 jenis lamun, sedangkan di Indonesia bagian barat hanya sembilan  jenis  lamun,  bahkan  lamun  jenis  Thalassodendron  ciliatum
penyebarannya terbatas hanya di Indonesia bagian timur. Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau pulau kecil yang tersebar di
bagian  utara  DKI  Jakarta.    Mardesyawati  dan  Anggraeni  2009  melaporkan bahwa jenis lamun di Kepulauan Seribu terdiri dari Enhalus acoroides, Thalassia
hemprichii,  Cymodocea  serrulata,  Cymodocea  rotundata,  Halophila  ovalis, Halophila  minor,  Syringodium  isoetifolium,  dan  Halodule  uninervis.    Pada
penelitian lain di Kepulauan Seribu, diketahui bahwa jenis lamun  yang memiliki penyebaran luas di Kepulauan Seribu adalah Thalassia hemprichii Kawaroe dan
Jaya 2004. Penelitian  penelitian  yang  dilakukan  di  ekosistem  lamun  selama  ini
menunjukkan bahwa lamun memiliki peranan sebagai 1 produsen primer di laut dangkal; 2 habitat hidup biota; 3 perangkap sedimen; dan 4 pendaur zat hara
Azkab  1999.    Ekosistem  lamun  telah  lama  diketahui  memiliki  peranan  penting dalam memberikan tempat perlindungan bagi organisme penempel yang hidup di
batang  dan  daun  lamun,  selain  itu  ekosistem  lamun  juga  menyediakan  makanan
35
serta  menjadi  daerah  asuhan  bagi  ikan  ikan  herbivora  dan  organisme  herbivora lainnya Kikuchi dan Peres 1977 in Azkab 1999.
2.2.    Potensi Bioaktif Lamun Seiring  dengan  berkembangnya  ilmu  pengetahuan,  kajian  dan  penelitian
dengan  menggunakan  lamun  sebagai  objek  penelitian  mulai  merambah  pada bidang bioteknologi dan bioprospecting.  Eksplorasi senyawa bioaktif dan potensi
lamun  mulai  dilakukan  pada  beberapa  dekade  terakhir,  tidak  hanya  di  negara maju, eksplorasi ini juga dilakukan di Indonesia.
Enhalus  acoroides  merupakan  salah  satu  jenis  lamun  tropis  dengan morfologi yang besar, Elfahmi 1997 melakukan penelitian dengan menggunakan
jenis  lamun  tersebut,  hasilnya  menunjukkan  bahwa  Enhalus  acoroides mengandung  senyawa  golongan  triterpenoid,  steroid,  tannin,  dan  flavonoid.
Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa ekstrak n-heksan dari Enhalus acoroides mengandung senyawa stigmasta-3,5-diena-7-on atau sakarostenon yang
bercampur  dengan  asam  palminat,  ekstrak  etil  asetat  dari  Enhalus  acoroides mengandung senyawa  stigmat,5-22-dien-3-ol, dan ekstrak methanol dari  Enhalus
acoroides mengandung senyawa 5,7,3,4-tetrahidroksi glikosida flavon dan 5,7,3- trihidroksiglikosida flavon.
Qi  et  al.  2008  memaparkan  bahwa  Enhalus  acoroides    yang  dikoleksi dari Cina, dan diekstrak dengan etanol diketahui mengandung 11 senyawa murni
yang tergolong dalam golongan flavonoid dan steroid.  Beberapa senyawa murni yang  tergolong  kedalam  golongan  flavonoid  tersebut  diduga  memiliki  potensi
sebagai antifouling karena terbukti toksik bagi larva-larva biota penempel, Bugula neritina  Qi  et  al.,  2008.    Enhalus  acoroides  juga  dilaporkan  mengandung
senyawa bioaktif golongan fenolik yang cenderung potensial sebagai antioksidan Raja-Kannan et al. 2010.
Thalassia  testudinum  yang  dikoleksi  dari  Kepulauan  Bahama,  dilaporkan memiliki  senyawa  bioaktif  dengan  potensi  sebagai  bahan  baku  antibiotik  alami
Jensen  et  al.  1998.    Jensen  et  al.  1998  melaporkan  bahwa  senyawa  bioaktif terus diisolasi dan diilusidasi dengan metode HPLC menghasilkan senyawa murni
flavones  glycoside  liteolin  7-O- β-Dglucopyransyl-2-sulfate Gambar 2, senyawa
ini  diketahui  termasuk  kedalam  golongan  flavonoid.    Senyawa  tersebut  menurut
Jensen  et  al.  1998  juga  mampu  menghambat  pertumbuhan  mikroorganisme penempel, jamur jenis Schizichytrium aggregatum.
Gambar  2    Senyawa  murni  hasil  purifikasi  dan  ilusidasi  lamun  jenis  Thalassia testudinum, flavones glycoside liteolin 7-O-
β-glucopyransyl-2-sulfate
Thalassia  hemprichii  yang  dikoleksi  dari  Pamban,  Tamil  Madu,  India diketahui  mengandung  senyawa  bioaktif  potensial  sebagai  antibakteri,  antifungi,
antiprotozoa,  antiviral,  antifertility,  dan  yang  bahan  obat-obatan  yang berpengaruh pada sistim cardiovascular Laksmi et al. 2006.  Raja-Kannan et al.
2010 memaparkan  Thalassia hemprichii juga memiliki potensi bioaktif sebagai antioksidan dan mengandung senyawa golongan fenolik.
Syringodium isoetifolium merupakan salah satu jenis lamun yang dianalisis komponen  bioaktifnya  oleh  Raja-Kannan  2010,  dan  hasil  analisisnya
menunjukkan  lamun  tersebut  mengandung  senyawa  fenolik,  serta  potensial sebagai  bahan  antioksidan.    Lakshmi  et  al.  2006  melaporkan  Syringodium
isoetifolium  dari  wilayah  India,  potensial  sebagai  antibaktetri,  karena  mampu menghambat  bakteri  Stapilococcus  aureus,  Escheria  coli,  Streptococcus  fecalis,
Pseudomonas  aeruginosa.    Lamun  dengan  bentuk  seperti  lidi  ini  juga  memliki potensi sebagai antijamur dan antivirus Lakshmi et al. 2006.
Zostera  marina,  Cymodocea  nodosa,  dan  Ruppia  cirrhosa  merupakan jenis  lamun  yang  tidak  lazim  ditemui  di  daerah  tropis,  namun  ketiga  lamun
tersebut  juga  telah  dikaji  potensi  bioaktifnya.    Zostera  marina  dilaporkan mengandung  senyawa  aromatik  zosteric  acid,  yaitu  senyawa  murni  yang
Sumber:  Jensen et al. 1998
37
dipurifikasi dari ekstrak methanol Zostera marina Zimmerman et al. 1997 dalam Arlyza  2007.    Cymodocea  nodosa  dan  Ruppia  cirrhosa,  kedua  jenis  lamun
tersebut  dilaporkan  oleh  El-Hady  et  al.  2007  memiliki  ekstrak  metanol  yang potensial sebagai antibakteri dan antifungi.
2.3 .    Senyawa Antifouling
Cat yang mengandung TBT terbukti mampu mengatasi masalah biofouling di  laut,  namun  ternyata  solusi  praktis  ini  berdampak  negatif  pada  lingkungan  di
sekitarnya Darmayanti 1994.  Salah satu contoh dampak negatif pada ekosistem, adalah indikasi terjadinya imposex pada organisme uji, Thais sp.  Soedharma dan
Fauzan 1996; Yusuf et al. 2011, sehingga muncul larangan untuk menggunakan cat tersebut sejak Tahun 2008 Delauney et al. 2009.
Penelitian  bioprospeksi  kelautan  untuk  mendeteksi  bahan  aktif  alami antifouling di Australia, sudah dikembangkan sejak tahun 1995.  Senyawa bioaktif
yang  digunakan  berasal  dari  organisme  laut  jenis  alga  dan  spons.    Jenis  alga Delisea  pulchra  diketahui  mengandung  senyawa  furanones,  yaitu  senyawa  non
polar halogen yang mampu mengurangi jumlah populasi teritip Wetherbee 2004 dalam  Arlyza  2007.    Anonimus  1995  dalam  Arlyza  2007  mengemukakan
lactone  dan  furanon  merupakan  komponen  yang  berperan  sebagai  antifouling, yaitu berupa gugusan oksigen kecil yang mengandung cincin hidroksil.
Bahaya  dan  larangan  penggunaan  cat  antifouling  dengan  campuran  TBT dan logam berat di Indonesia menjadi pemicu bagi para peneliti untuk melakukan
kajian dan penelitian awal guna menemukan senyawa bioaktif  antifouling namun ramah lingkungan bioantifouling.  Sabdono dan Radjasa 2006 mengisolasi dan
mengkultur  bakteri  yang  berasosiasi  dengan  Sarcophyton  sp.  kemudian melakukan uji bioaktif senyawa yang dihasilkan, hasilnya bakteri asosiasi tersebut
memiliki  potensi  untuk  menghambat  aktivitas  bakteri  biofilm.    Pada  penelitian yang  lain,  Sabdono  2007  memaparkan  bahwa  bakteri  Pelagiobacter  variabilis
mengandung  senyawa  bioaktif  yang  potensial  menghambat  aktivitas  bakteri biofilm dan juga terbukti mampu menghambat penempelan bernakel pada kayu uji
yang direndam di laut selama satu bulan. Spons  jenis  Callyspongia  pulvinata  diketahui  mengandung  senyawa
bioaktif  yang  mampu  menghambat  pertumbuhan  Nitzchia  paleaceae  dan  cacing
tabung Hydroides elegans, potensi antifouling ini juga dimiliki oleh spons jenis yang lain, yaitu Dendrila nigra, Axinella donai, dan Clathria gorgonoides Selvin
dan Lipton 2002. Bakteri  yang  hidup  di  laut  ataupun  yang  hidup  bersimbiosis  simbion
dengan  organisme  makro,  juga  memiliki  potensi  sebagai  penghasil  senyawa bioaktif antifouling.  Pseudmonas sp. merupakan salah satu bakteri yang diisolasi
dari air laut permukaan, potensial sebagai antifouling karena mampu menghambat pertumbuhan  spora  Ulfa  lactuca  Burgess  et  al.  2003.    Pseudoalteromonas
tunicata adalah  bakteri  yang  diisolasi  dari  tunicate  Ciona  intestinalis,  bakteri ini mengandung  senyawa  aktif  sebagai  antifouling  yang  mampu  menghambat
pertumbuhan spora alga, bakteri, jamur dan diatom.
2.4. Biofouling
Biofouling  merupakan  istilah  umum  yang  digunakan  untuk  semua  jenis organisme  laut  yang  hidup  menempel  pada  permukaan  substrat,  organisme
penempel pada umumnya menempel hanya pada  substrat yang disukainya Wahl 1989.    Organisme  penempel  atau  yang  biasa  disebut  biofouling  ini  akan
menempel  pada  semua  benda  padat  yang  terendam  di  laut,  terutama  yang  tidak dilapisi oleh lapisan antifouling.  Benda
–benda padat tersebut dapat berupa bahan kayu, besi atau logam, fiber, dan beton.
Proses  penempelan  organisme  laut  pada  substrat  keras  ini  dapat  dibagi menjadi  lima  tahapan  Delauney  et  al.  2009,  yaitu:  1  Terjadinya  proses
turbulensi  massa  air  yang  mengakibatkan  adanya  adsorbsi  bahan  organik  dan inorganik  pada  permukaan  substrat;  2  Bahan  organik  dan  inorganik  yang
teradsorbsi  di  permukaan  substrat  tersebut  mengandung  sel  mikroba,  baik  itu bakteri ataupun jamur, serta mampu menjadi media yang  baik untuk pertumbuhan
mikrobakteri  tersebut;  3  Pertumbuhan  mikroba  yang  terus  berkembang  akan membentuk  koloni  sehingga  terbentuklah  lapisan  biofilm;  4  Lapisan  biofilm
yang terbentuk akan memicu adanya penempelan spora alga dan larva organisme bentik;  5  Pada  fase  inilah  larva  dan  spora  akan  berkembang  dengan  pesat
sehingga  permukaan  substrat  akan  penuh  ditempeli  oleh  biofouling.    Ilustrasi proses  penempelan  biofouling  pada  substrat  padat  di  laut  dapat  dilihat  pada
Gambar 3.
39
Gambar 3  Proses penempelan biofouling pada substrat padat di laut Biofouling dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu  mikrofouling dan
makrofouling.    Boesono  2008  menjelaskan  bahwa  organisme  penempel  pada substrat  kayu  jati  dan  kayu  bangkirai  yang  direndam  di  laut  selama  2  bulan
didominasi  oleh  makrofouling,  yaitu  organisme  filum  crustacea  dan  moluska, seperti  Balanus,  Bankia,  dan  Ligia.    Mikrofouling  pada  umumnya  merupakan
susunan koloni bakteri, jamur, diatom, cyanobacter, dan jenis uniseluler alga yang lainnya.    Koloni  diatom,  cyanobacter,  dan  uniseluler  alga  biasa  disebut  sebagai
peryphyton, sementara koloni jamur dan bakteri umum disebut sebagai biofilm.
2.4.1. Makrofouling
Makrofouling  oleh  Callow  dan  Callow  2002  dibedakan  menjadi  dua macam, yaitu makrofouling lunak dan keras.  Makrofouling lunak contohnya soft
coral, spons, anemon, tunikata, dan hydroid, sementara contoh yang keras adalah bernakel, kerang, dan cacing tabung.
Kerang  hijau  menempel  pada  substrat  dengan  bantuan  senyawa  yang disekresikan  oleh  tubuhnya.    Senyawa  tersebut  lengket  seperti  lem,  disebut
sebagai  protein  dyhidroxypenylalanine  yang  masuk  pada  golongan  polipeptida Callow  dan  Callow  2002.    Bernakel,  juga  mampu  mensekresikan  senyawa
dengan  sifat  yang  sama,  namun  diketahui  sebagai  senyawa  hydrophobic  protein Callow  dan  Callow  2002.    Larva  bernakel  cyprid  memiliki  cambuk  dan
berenang bebas, kemudian akan memilih lokasi yang baik untuk melekat dengan
Sumber : Abarzua dan  Jakubowski 1995
menggunakan  antennules.    Salah  satu  bagian  organ  larva,  yang  umum  disebut antennules  tersebut  menghasilkan  cairan  untuk  menandai  lokasi  lalu  kemudian
menempel.    Callow  dan  Callow  2002  memaparkan  Enthemorpha,  merupakan salah  satu  jenis  golongan  makroalga  yang  menempel  pada  substrat  dilaut  sejak
fase spora.  Spora makroalga tersebut memiliki cambuk yang dapat dimanfaatkan sebagai  alat  untuk  menempel  pada  substrat,  karena  mengeluarkan  glycoprotein,
yaitu senyawa yang disekresikan dari bagian apparatus golgi spora alga.
2.4.2. Mikrofouling
Mikrofouling  merupakan  susunan  koloni  bakteri,  jamur,  diatom, cyanobacter, dan jenis uniseluler alga yang lainnya.  Koloni diatom, cyanobacter,
dan uniseluler alga biasa disebut sebagai peryphyton, sementara koloni jamur dan bakteri  umum  disebut  sebagai  biofilm.   Biofilm  pada  umumnya  didominasi  oleh
bakteri  yang  memiliki  kemampuan  untuk  menempel  pada  substrat  keras  di  laut. Penempelan biofilm pada permukaan substrat di laut juga melewati beberapa fase,
yaitu 1 pelekatan bakteri yang bersifat planktonik di permukaan substrat, dengan menggunakan  bulu  atau  cambuknya  flagel;  2  pembentukan  koloni  sederhana
antara  bakteri  bakteri  sejenis;  3  pembentukan  koloni  bakteri  biofilm  yang semakin  besar  dan  kondisi  individu  bakteri  lebih  matang  Armitage  2005.
Tahapan penempelan bakteri biofilm tersebut ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4  Tahapan penempelan bakteri biofilm pada substrat di laut Proses  awal  pelekatan  biofilm  pada  substrat  keras  dipengaruhi  oleh  dua
hal,  yaitu  1  sifat  fisika  bahan  sehingga  terjadi  reaksi  kohesi  dan  adhesi morfologi  bakteri  dengan  struktur  substrat;  2  respon  fisiologis  bekteri  terhadap
Sumber :  Amirtage 2005
41
nutrisi  yang  tersedia  Czaczyk  dan  Myszka  2007.    Respon  fisiologis  tersebut berupa sekresi Ekstracelluler Polysakaruda Substance EPS oleh bakteri melalui
satu  atau  dua  katub  memanjang  yang  terdapat  di  bagian  ujung  tubuhnya.    EPS telah diketahui sebagai penyusun utama koloni bakteri biofilm, yang mengandung
protein, nukleid acid, lipid, dan hampir 97 polysakarida Vu et al. 2009.  Vu et al.  2009  memaparkan  setiap  bakteri  penyusun  biofilm  memiliki  kemampuan
untuk  mensekresikan  EPS  yang  berbeda  berdasarkan  komposisi  dan  sifat kimianya.    Asam  kolanat  merupakan  salah  satu  jenis  EPS  fleksibel  yang
diproduksi  oleh  bakteri  biofilm  Pseudomonas  aeruginosa,  sementara  Vibrio cholera  diketahui  mensekresikan  EPS  berupa  senyawa  galaktoglukan  Vu  et  al.
2009. Salah  satu  faktor  yang  berpengaruh  dalam  proses  koloni  bakteri  biofilm,
selain  EPS  adalah  adanya  quorum  sensing.    Quorum  sensing  merupakan mekanisme  komunikasi  antar  sel  yang  dimiliki  bakteri  untuk  memastikan
kecukupan jumlah sel sebelum melakukan respon biologi tertentu Hentzer  et al. 2002.  Hentzer et al. 2002 memaparkan quorum sensing setiap sel bakteri dapat
bersamaan menghasilkan molekul sinyal, sehingga bakteri dengan molekul sinyal yang sama dapat saling mendekat, kemudian membentuk koloni dan  membentuk
biofilm. Vibrio  spp.  adalah  jenis  bakteri  yang  bersifat  halofil,  sehingga  umum
ditemukan  di  laut  dan  merupakan  salah  satu  jenis  bakteri  biofilm  yang  mampu menghasilkan EPS.  Bakteri ini dapat hidup optimal pada salinitas 20-40 ppm, pH
4-9, serta bersifat anaerobik fakultatif Hikmah 2011.  Toleransi terhadap selang salinitas  yang  lebar  tersebut,  membuat  Vibrio  spp.  menjadi  jenis  bakteri
kosmopolitan di laut. Vibrio  spp.  diketahui  sebagai  bakteri  gram  negatif,  dengan  bentuk  sel
batang, dan ukuran sekitar 2-3 µm, serta bergerak dengan menggunakan cambuk di salah satu ujung selnya Feliatra 1999.  Vibrio diketahui memiliki kemampuan
menghasilkan  biofilm,  dan  kemampuan  tersebut  dipengaruhi  oleh  struktur morfologi  sel  dan  komponen  regulator  sel  Yildiz  and  Visick  2009.    Morfologi
sel  yang  mempengaruhi,  adalah  keberadaan  dan  fungsi  flagel,  pili  serta kemampuan  sintetis  EPS,  sedangkan  komponen  regulator  sel,  meliputi  quorum
sensing dan sinyal C-di-GMP Yildiz and Visick 2009.  Yildiz and Visick 2009 mengungkapkan,  keberadaan  flagel  dan  pili  membantu  pergerakan  bakteri  untuk
membentuk koloni antar bakteri, flagel dan pili kemudian membantu koloni untuk menemukan  substrat  yang  cocok  untuk  menempel.    Pada  saat  koloni  bakteri
tersebut  menempel  di  permukaan,  flagel  dan  pili  lepas,  kemudian  bakteri  mulai membentuk biofilm.
Komunikasi  antar  bakteri  terjadi  dengan  mekanisme  quorum  sensing, sehingga terjadi sekresi enzim yang mendeteksi autoinduncer sesama jenis Vibrio
Waters  et  al.  2008.   Vibrio cholera  mengandung  enzim  yang  dihasilkan  ketika mekanisme  quorum  sensing  terjadi  adalah  CAI-1,  5-3-hydroxytridecan-1-one
dan AL-2, 25,45-metyl 2,3,4 –tetrahydroxy tetrahydrofuranborate Waters et al.
2008.  Waters et al. 2008 juga menjelaskan, protein 3’ 5’ cyclic diguanylic acid
c-di-GMP  merupakan  salah  satu  komponen  yang  membantu  komunikasi intraseluler, yang membawa pesan mengenai kondisi lingkungan disekitar sel.  C-
di-GMP  pada  Vibrio  diketahui  mampu  memicu  peningkatan  densitas  sel  dalam koloni, serta mengontrol pembentukan biofilm.
2.5.    Ekstraksi Senyawa Bioaktif
Ekstraksi  merupakan  salah  satu  proses  pemisahan  satu  atau  lebih komponen  senyawa  dari  sumbernya,  agar  diperoleh  komponen  dari  suatu  bahan
yang diinginkan.  Khopkar 2003 menyebutkan bahwa ada beberapa  faktor yang mempengaruhi  ekstraksi,  yaitu:  lama  ekstraksi,  suhu,  dan  jenis  pelarut  yang
digunakan.  Jenis pelarut yang digunakan juga harus diperhatikan titik didih, sifat korosif, sifat toksik dan daya melarutkannya.
Berdasarkan jenis pelarutnya, ekstraksi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:  aqueos  phase,  dengan  menggunakan  air  dan  organic  phase  dengan
menggunakan  pelarut  organik.    Berdasarkan  metode  kerjanya,  ekstraksi  dapat dibagi  menjadi  tiga  macam,  yaitu:  1  Penekanan  mekanik;  2  Menggunakan
pelarut; 3 Pemanasan.  Selama proses maserasi, pelarut akan menembus dinding sel  sehingga  senyawa  bioaktif  akan  larut,  proses  osmoregulasi  kemudian  akan
terjadi.    Larutan  pekat  di  dalam  sel  akan  didesak  keluar  terus  menerus  sampai keseimbangan konsentrasi larutan di dalam dan di luar sel terjadi.
43
Tahapan yang dilakukan pada saat proses ekstraksi, adalah penghancuran bahan,  perendaman  dengan  pelarut,  penyaringan  dan  pemisahan.    Penghancuran
bertujuan  agar  dapat  mempermudah  pengadukan,  dan  kontak  bahan  dengan pelarutnya  pada  saat  proses  perendaman.  Bahan  kemudian  direndam  dalam
pelarut, seperti n-heksana non polar, etil asetat semi polar, dan metanol polar, proses  perendaman  ini  disebut  dengan  maserasi.  Prinsip  pelarutan  yang  dipakai
pada  metode  ini  adalah  like  dissolve  like  artinya  pelarut  polar  akan  melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar.
Tahap  pemisahan  yang  terdiri  dari  penyaringan  dan  evaporasi.    Untuk memisahkan  pelarut  dengan  senyawa  bioaktif    yang  terikat  dilakukan  evaporasi,
sehingga  pelarutnya  akan  menguap  dan  diperoleh  senyawa  hasil  ekstraksi  yang dihasilkan Khopkar 2003.
Harbone  1987  menjelaskan  bahwa  hasil  ekstrak  yang  diperoleh bergantung  pada  beberapa  faktor,  yaitu  kondisi  alamiah  senyawa,  metode
ekstraksi  yang  digunakan,  ukuran  partikel  sampel,  lama  waktu  ekstrak,  kondisi dan  waktu  penyimpanan  dan  perbandingan  jumlah  pelarut  terhadap  jumlah
sampel.    Komponen  aktif  dari  senyawa  yang  diekstrak  sangat  bergantung  pada kepolaran  pelarutnya,  misalnya  senyawa  yang  terikat  pada  pelarut  polar  antara
lain alkaloid, asam amino, polihidrosisteroid, dan saponin Riguera 1997
2.6.    Uji Fitokimia
Uji  fitokimia  merupakan  uji  yang  dilakukan  untuk  mengetahui  aneka golongan  senyawa  organik  yang  dihasilkan  oleh  organime  sebagai  bentuk
metabolit  sekunder.    Tujuan  dan  manfaat  dari  melakukan  uji  fitokimia  adalah untuk  menentukan  ciri  senyawa  aktif  penyebab  efek  racun  atau  efek  yang
bermanfaat,  yang  ditujukan  oleh  ekstrak  kasar  bila  diuji  dengan  sistem  biologi Harborne 1987.
a Alkaloid
Alkaloid  pada  umumnya  mencakup  senyawa  bersifat  basa  yang mengandung  satu  atau  lebih  atom  nitrogen,  biasanya  dalam  gabungan,  sebagai
bagian dari sitem siklik.  Alkaloid biasanya tanpa warna, seringkali bersifat tropis aktif,  kebanyakan  berbentuk  kristal  tetapi  hanya  sedikit  yang  berupa  cairan
missal  nikotina  pada  suhu  kamar.    Alkaloid  merupakan  turunan  yang  paling
umum  dari  asam  amino.    Secara  kimia,  alkaloid  merupakan  suatu  golongan heterogen Harborne 1987.
b Steroid
Steroid  adalah  senyawa  yang  kerangka  karbonnya  berasal  dari  enam satuan  isoprena  dan  secara  biosintesis  diturunkan  dari  hidrokarbon  C30  asiklik,
yaitu  skualena.  Senyawa  ini  berstruktur  siklik  yang  rumit,  kebanyakan  berupa alkohol, aldehid  atau asam  karboksilat.    Steroid  dapat  dipilah  menjadi  sekurang-
kurangnya  empat  senyawa,  yaitu  triterpenoid,  steroid,  saponin,  dan  glikosida jantung.  Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah
fitosterol  yang  terdiri  dari  sitosterol,  stigmasterol,  dan  kaempsterol  Harborne 1987.    Steroid  dapat  diklasifikasikan menjadi  steroid  dengan  atom  karbon  tidak
lebih dari 21, seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung, dan vitamin D.  Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena, yaitu lanosterol dan
sikloartenol.    Senyawa  steroid  dapat  digunakan  sebagai  bahan  dasar  pembuatan obat Harborne 1987.
c Flavonoid
Menurut strukturnya, semua flavonoid merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat pada tumbuhan Primula.  Flavonoid dapat diekstraksi dengan
etanol 70 dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak  bumi.    Flavonoid  ini  berupa  senyawa  fenol,  oleh  karena  itu  warnanya
berubah  bila  ditambah  basa  atau  amoniak  Harborne  1987.    Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu menunjukkan pita
serapan  pada  daerah  spektrum  UV  dan  spektrum  tampak.    Flavonoid  terdapat dalam  tumbuhan,  terikat  pada  gula  sebagai  glikosida  dan  aglikon  flavonoid.
Harbone  1987  menyatakan  golongan  senyawa  flavonoid  terdiri  dari  sepuluh kelas,  yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon,  glikoflavon, biflavanol,
khalkon, auron, flavonon dan isoflavon.
d Saponin
Saponin  merupakan  senyawa  aktif  permukaan  dan  bersifat  seperti  sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa.  Pembentukan
busa  yang  baik  sewaktu  mengekstraksi  tumbuhan  atau  sewaktu  memekatkan
45
ekstrak  tumbuhan  merupakan  bukti  terpercaya  akan  adanya  saponin.    Saponin jauh lebih polar dari pada sapogenin karena ikatan glikosidanya Harborne 1987.
e Karbohidrat
Karbohidrat  berguna  untuk  mencegah  timbulnya  ketosis,  pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu
metabolisme  lemak  dan  protein  dalam  tubuh.  Karbohidrat  dibentuk  dari  reaksi CO
2
dan H
2
O dengan bantuan sinar matahari melalui proses fotosintesis dalam sel tanaman  yang  berklorofil.    Karbohidrat  dalat  dikelompokkan  menjadi
monosakarida, oligosakarida dan polisakarida.  Monosakarida merupakan molekul yang  terdiri  dari  lima  atau  enam  atom  C,  sedangkan  oligosakarida  merupakan
polimer  dari  2-10  monosakarida  dan  pula  umumnya  polisakarida  merupakan polimer  yang  terdiri  lebih  dari  10  monomer  polisakarida  Winarno  1997.
Karbohidrat  dengan  zat  tertentu  akan  menghasilkan  warna  tertentu  yang  dapat digunakan  untuk  analisa  kualitatif.  Bila  karbohidrat  direaksikan  dengan  larutan
naftol  dalam  alkohol,  kemudian  ditambahkan  H
2
SO
4
pekat  secara  hati-hati,  pada batas akan terbentuk furfural yang berwarna ungu. Reaksi ini disebut Molisch dan
merupakan reaksi umum bagi karbohidrat Winarno 1997.
f Gula pereduksi
Sifat  pereduksi  dari  suatu  molekul  gula  ditentukan  oleh  ada  tidaknya gugus  hidroksil  OH  bebas  yang  reaktif.    Gugus  hidroksil  yang  reaktif  pada
glukosa aldosa biasanya terletak pada karbon nomor satu anomerik, sedangkan pada fruktosa ketosa terletak pada karbon nomor dua.  Sukrosa tidak mempunyai
gugus  OH  bebas  yang  reaktif  karena  keduanya  sudah  saling  terikat,  sedangkan laktosa  mempunyai  OH  bebas  pada  atom  C  nomor  1  pada  gugus  glukosanya
Winarno 1997.  Gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan  Benedict  dan  Fehling  reduksi  Cu2+  menjadi  Cu+  dan  pereaksi  Tollens
reduksi Ag+ menjadi Ag.  Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis untuk mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes.
g Peptida
Dua asam amino berikatan melalui suatu ikatan peptida -CONH- dengan melepas  sebuah  molekul  air.  Reaksi  keseimbangan  ini  cenderung  untuk  berjalan
ke  arah  hidrolisis  daripada  sintesis.  Pembentukan  ikatan  tersebut  memerlukan
banyak  energi,  sedangkan  untuk  hidrolisis  tidak  memerlukan  energi.  Gugus karboksil  suatu  asam  amino  berkaitan  dengan  gugus  amino  dari  molekul  asam
amino  lain  menghasilkan  suatu  dipeptida  dengan  melepaskan  molekul  air. Dipeptida  masih  mempunyai  gugus  amino  dan  karboksil  bebas  sehingga  dapat
bereaksi  dengan  dipeptida-dipeptida  lainnya  membentuk  peptida  dan  akhirnya membentuk molekul protein Winarno 1997.
h Asam amino
Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali,  atau enzim maka akan dihasilkan  campuran  asam-asam  amino.  Sebuah  asam  amino  terdiri  dari  sebuah
gugus  amino,  sebuah  gugus  karboksil,  sebuah  atom  hidrogen  dan  gugus  R  yang terikat pada atom C, yang dikenal sebagai karbon alfa, serta  rantai cabang gugus
R.  Semua asam amino berkonfigurasi alfa dan hanya konfigurasi l, kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam amino  L  yang merupakan
komponen  protein  Winarno  1997.    Ninhidrin  adalah  peraksi  yang  digunakan secara luas untuk mengukur asam amino secara kuantitatif.
2.7.
Uji Toksisitas
BSLT Brain Shrimp Lethal Toxic merupakan salah satu uji yang banyak dilakukan  untuk  menguji  bahan-bahan  yang  bersifat  sitotoksik  uji  toksisitas,
dengan  menggunakan  larva  udang  Artemia  salina  Leach.    Metode  ini  pada umumnya digunakan untuk penapisan awal senyawa aktif yang terkandung dalam
ekstrak  tanaman  karena  murah,  cepat  dan  mudah,  dan  dapat  dipercaya.    Artemia yang digunakan sebagai bahan uji dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu stadia
larva dan stadia dewasa.  Stadia larva yang paling umum digunakan adalah larva 24-48 jam setelah menetas.  Konsentrasi letal untuk kematian 50 setelah 6 jam
perlakuan  akut  LC
50
atau  konsentrasi  letal  untuk  kematian  50  setelah  24  jam perlakuan  kronik  LC
50
dapat  diartikan  sebagai  ukuran  toksisitas  kandungan racun suatu bahan Meyer et al. 1982.  Tingkat toksisitas suatu bahan aktif dapat
dilihat pada Tabel 1. Artemia  salina merupakan  jenis  udang  planktonik  dengan  toleransi  kadar
garam yang luas, antara 15 – 300 per mil, suhu antara 26 – 31
C, dan pH perairan antara  7,3
–  8,4  Djarijah  2006.    Selang  toleransi  Artemia  salina  yang  luas terhadap  salinitas  menyebabkan  udang  ini  umum  disebut  sebagai  brine  shrimp.
47
Artemia  merkembang  biak  dengan  cara  bertelur,  dan  setiap  individu  bersifat biseksual.    Usia  Artemia  dapat  mencapai  enam  bulan  180  hari,  dan  dikatakan
dewasa ketika mencapai usia 141 hari.  Artemia betina yang sudah dewasa dapat bertelur  sebanyak  50  hingga  300  telur  setiap  kali  bertelur,  dan  mereka  bertelur
setiap  4 – 5 hari sekali.  Telur-telur Artemia dapat disimpan dalam suhu ruang,
dan  ditetaskan  jika  dibutuhkan,  telur  tersebut  akan  menetas  menjadi  naupli  pada kurun waktu 24
– 36 jam. Artemia  salina  dipilih  sebagai  obyek  uji  toksisitas  yang  efektif  dan
sederhana  dalam  ilmu  biologi  dan  toksikologi  Meyer  et  al.  1982,  karena kemudahan  dalam  menetaskan  telur  menjadi  larva,  pertumbuhan  yang  cepat  dari
larva serta mudah dalam mempertahankan populasi dalam kondisi laboratorium. Tabel 1  Kategori toksisitas bahan
Kategori LC
50
µgml
Sangat toksik 30
Toksik 30
– 1000 Tidak toksik
1000 Sumber: Meyer et al. 1982
2.8.    Uji
Bioantifouling
Uji  bioantifouling  dilakukan  secara  invitro,  dengan  mengamati  aktivitas hambat  ekstrak  lamun  terhadap  bakteri  pembentuk  biofilm.    Uji  aktifitas  hambat
dilakukan  untuk  mengetahui  kemampuan  dari  suatu  senyawa  bioaktif  guna menghambat  pertumbuhan  mikroorganisme  yang  diuji  Schlegel  dan  Schmidt
1994.    Pengujian  ini  dapat  dilakukan  dengan  2  metode,  yaitu  teknik  tabung pengenceran  tube  dilution  technique  dan  metode  difusi  agar  agar  diffusion
method.    Aktivitas  antimikroba  dilakukan  dengan  mengukur  diameter hambatannya,  yaitu daerah bening  yang terbentuk di sekitar kertas cakram.  Bell
1984 menjelaskan bahwa suatu senyawa dikatakan memiliki aktivitas antibakteri apabila  diameter  hambatan  yang  terbentuk  lebih  besar  atau  sama  dengan  6mm.
Aktivitas  antibakteri  dari  suatu  senyawa  dikatakan  tinggi  jika  memiliki konsentrasi penghambat kecil, namun diameter hambatnya besar.
David  dan  Strout  1971  memaparkan  ketentuan  kekuatan  antibiotik- antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat,
daerah  hambatan  10-20  mm  kuat,  daerah  hambatan  5-10  mm  sedang,  dan daerah  hambatan  kurang  5  mm  lemah.    Faktor  yang  mempengaruhi  ukuran
daerah  penghambatan,  yaitu  sensitivitas  organisme,  medium  kultur,  kondisi inkubasi, dan kecepatan difusi agar. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan
difusi  agar,  yaitu  konsentrasi  mikroorganisme,  komposisi  media,  suhu  inkubasi, dan waktu inkubasi Schlegel dan Schmidt 1994.
49
3.  METODOLOGI
3.1.  Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian  ini  diawali  dengan  melakukan  koleksi  contoh  lamun  segar  di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Gambar 5.
Gambar 5  Lokasi koleksi contoh lamun di Pulau Pramuka, DKI Jakarta Contoh lamun segar yang diperoleh kemudian dikeringkan alami, dijemur
dibawah  sinar  matahari  kemudian  diekstraksi  di  Laboratorium  Kering,  Bagian Hidrobiologi  Laut,  Departemen  Ilmu  dan  Teknologi  Kelautan,  FPIK
–  IPB. Ekstrak  lamun  kemudian  diuji,  meliputi  uji  fitokimia,  uji  toksisitas  dengan
menggunakan metode  Brain Shrimp Lethal Toxic  BSLT, dan uji bioantifouling dengan  mekanisme  aktivitas  hambat  bakteri.    Uji  fitokimia  dilakukan  di
Laboratorium  Mikrobiologi,  Departemen  Teknologi  Hasil  Perairan  FPIK –  IPB,
dan  uji  bioantifouling  dilakukan  di  Laboratorium  mikrobiologi  Pusat  Penelitian Oseanografi  P2O
–  LIPI,  sementara  uji  toksisitas  dengan  metode  BSLT dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA
– IPB. Proses  pengambilan  contoh  lamun  segar,  ekstraksi  dan  evaporasi,  serta
pelaksanaan  uji  fitokimia  dilakukan  sejak  Maret –  April  2011,  sementara
pelaksanaan  uji  toksisitas  serta  uji  bioantifouling  dilakukan  pada  April –  Mei
2012.    Selama  selang  waktu  tersebut,  ekstrak  kasar  contoh  lamun  disimpan didalam botol vial dan diletakkan didalam freezer.
3.2.  Alat dan Bahan
Alat dan bahan  yang dibutuhkan dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian  besar  Tabel  2,  yaitu  alat  dan  bahan  untuk  pengambilan  contoh  lamun,
untuk  ekstraksi,  dan  perlakuan  uji.    Perlakuan  uji  yang  dilakukan  meliputi  uji fitokimia, uji toksisitas, dan uji bioantifouling.
Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian
Tahapan Alat
Bahan 1. Pengambilan contoh lamun
Masker Snorkel
Plastik Pisau selam
2. Ekstraksi bahan bioaktif
Alat gelas Contoh lamun
Evaporator Methanol
shaker bath n - heksana
Kertas saring Whatman Timbangan
3. Uji Fitokimia
a.  alkaloid Tabung reaksi, Pipet, Gelas
piala asam sulfat 2N
pereaksi meyer pereaksi dragendorf
pereaksi wagner b.  Steroid
Tabung reaksi, Pipet, Gelas piala
klorofom anhidrida asetat
asam sulfat pekat c.  Flavonoid
Tabung reaksi, Pipet, Gelas piala
magnesium amil alkohol
alkohol d.  Saponin
Tabung reaksi, Pipet, Gelas piala
HCL 2N e.  Molish
Tabung reaksi, Pipet, Gelas piala
Asam sulfat pekat Pereaksi molisch
f. Benedict Tabung reaksi, Pipet, Gelas
piala Pereaksi benedict
g. Biuret Tabung reaksi, Pipet, Gelas
piala Pereaksi biuret
h. Ninhidrin Larutan ninhidrin
51
Tabel 2 Lanjutan Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian
Tahapan Alat
Bahan
4. Uji toksisitas BSLT
Aerator Ekstrak sampel
Lampu Telur Artemia
salina Pipet volumetric
Air laut steril WheelTabung reaksi
5. Uji aktivitas hambat biofilm
antimikrofouling
Hotplate Biakan bakteri
biofilm Tabung reaksi
Marine Agar Kapas
Aquades Alumunium foil
TCBS Agar Autoklaf
Gelas ukur Sudip
Jarum ose Inkubator
Bunsen Cawan petri
Referigrator Vortex
Paper disc
3.3.  Metode Penelitian
Penelitian  ini  dilakukan  dalam  beberapa  tahap,  yaitu  koleksi  contoh lamun, ekstraksi contoh lamun, uji fitokimia, uji toksisitas dengan metode BSLT,
dan  uji  bioantifouling.    Tahapan  penelitian  yang  dilakukan  dapat  dilihat  pada Gambar 6.
3.3.1.   Koleksi Contoh Lamun Proses koleksi dan preparasi contoh lamun ditampilkan dalam bentuk foto
pada  Gambar  7.    Metode  koleksi  contoh lamun  pada  penelitian ini  diadopsi  dari El-Hady et al. 2007 dan Jensen et al. 1998.  El-Hady et al. 2007 memaparkan
teknik  penanganan  contoh  daun  lamun  segar  diambil  langsung  dari  habitatnya, kemudian dibersihkan dari organisme penempel epifit, setelah bersih dari  epifit
daun  lamun  dikeringkan  alami  sampai  berat  daun  lamun  menjadi  konstan  dan ditimbang dengan berat 50  gram.  Contoh daun lamun ini diambil sebanyak tiga
kali ulangan pada setiap spesiesnya.
Tahapan Keluaran
Gambar 6  Skema tahapan penelitian
Gambar 7  Proses koleksi dan persiapan contoh lamun
KOLEKSI CONTOH LAMUN
Ekstraksi bioaktif lamun dengan metode bertingkat
Uji Fitokimia
Uji Toksisitas dengan metode BSLT
Uji Bioantifouling, dilakukan secara invitro terhadap bakteri
Contoh lamun yang digunakan sebagai bahan ekstraksi
1.  Rendemen ekstrak lamun 2.  Informasi jenis pelarut yang efisien
Kandungan golongan senyawa kimia dalam ekstrak kasar lamun
1.  Nilai LC
50
dari ekstrak kasar lamun 2.  Informasi jenis ektsrak yang bersifat
toksik 1.  Diameter zona hambat
2.  Informasi jenis ekstrak yang potensial sebagai bioantifouling
53
3.3.2.   Ekstraksi komponen bioaktif contoh lamun
Proses  ekstraksi  contoh  lamun  yang  dilakukan  selama  penelitian  dapat dilihat  pada  Gambar  8.    Contoh  lamun  yang  telah  siap  diekstraksi,  ditimbang
masing  masing  seberat  50gram,  kemudian  direndam  pelarut  non  polar,  n-hexana 75  ml  dengan  perbandingan  1:1,5  bv  di  dalam  botol  kaca,  lalu  dimaserasi
selama 24 jam El-Hady et al.  2007; Jensen et al. 1998.  Larutan contoh lamun kemudian difiltrasi dengan menggunakan kertas saring.  Filtrat contoh lamun yang
terisisa  kemudian  direndam  kembali  dengan  pelarut  polar,  methanol  75  ml dengan  perbandingan  1:1,5  bv  di  dalam  botol  kaca, lalu  dimaserasi  selama  24
jam.  Setelah 24 jam, larutan contoh lamun difiltrasi dengan menggunakan kertas saring.
Larutan  contoh  lamun  hasil  filtrasi  kemudian  dievaporasi  dengan menggunakan  Rotary  evaporator  yang  diaplikasikan  pada  suhu  50
C,  sehingga diperoleh  ekstrak  kasar  lamun  dalam  bentuk  pasta.    Pasta  ekstrak  kasar  lamun
kemudian ditimbang agar dapat diketahui prosentase rendemen yang diperoleh.
Gambar 8  Proses ekstraksi dan hasil ekstraksi lamun
3.3.3.   Uji Fitokimia ekstrak contoh lamun
Uji  fitokimia  merupakan  salah  satu  uji  kualitatif  untuk  mengetahui golongan senyawa yang tekandung dalam suatu organisme.  Rangkaian proses uji
fitokimia  selama  penelitian  ditampilkan  pada  Gambar  9.    Ada  delapan  golongan senyawa yang akan diuji pada tahap ini, yaitu:
a Alkaloid.    Sejumlah  ekstrak  dilarutkan  ke  dalam  beberapa  tetes  asam
sulfat  2N,  kemudian  diuji  dengan  tiga  pereaksi  alkaloid,  yaitu  meyer, dragendorf, dan wagner.  Uji ini positif jika terbentuk endapan warna putih
pada larutan yang ditambahkan pereaksi meyer, endapan coklat pada yang
ditambahkan pereaksi dragendorf, dan endapan merah hingga jingga pada yang ditambahkan pereaksi wagner.
b Steroid.  Sejumlah ekstrak dilarutkan ke dalam 2 ml kloroform, kemudian
ditambahkan  10  tetes  anhidrida  asetat  dan  3  tetes  asam  sulfat  pekat.    Uji ini  positif  jika  larutan  yang  dihasilkan  membentuk  warna  merah  di  awal
kemudian berubah menjadi biru atau hijau di akhir pengujian. c
Flavonoid.    Sejumlah  ekstrak  ditambahkan  bubuk  magnesium  Mg sebanyak  0,1  mg,  kemudian  ditambahkan  larutan  amil  alcohol  sebanyak
0,4  ml,  selanjutnya  ditambahkan  kembali  alkohol  sebanyak  4  ml  dan dikocok.    Uji  flavonoid  positif  jika  larutan  membentuk  lapisan  amil
alkohol dengan warna merah, kuning, atau jingga. d
Saponin.    Sejumlah  ekstrak  dilarutkan  dengan  akuades  kemudian dipanaskan,  jika  muncul  busa  dan  bertahan  hingga  30  menit  maka  uji
dilanjutkan dengan menambahkan 1 tetes HCl 2N.  Uji saponin positif jika larutan mampu mempertahankan busa.
e Molisch.  Sejumlah ekstrak lamun dilarutkan dengan akuades, lalu diambil
1  ml  dan  ditambahkan  2  tetes  pereaksi  molisch  serta  1  ml  larutan  asam sulfat  H
2
SO
4
pekat.    Uji  ini  positif  jika  ditandai  dengan  terbentuknya kompleks warna ungu diantara dua lapisan.
f Benedict.  Sejumlah ekstrak lamun dilarutkan dengan akuades, kemudian
diambil  delapan  tetes  dan  dimasukkan  ke  dalam  5  ml  pereaksi  benedict, lalu  dididihkan  selama  lima  menit.    Uji  benedict  positif  jika  larutan
membentuk  warna  hijau,  kuning,  atau  membentuk  endapan  warna  merah bata.
g Biuret.  Uji ini dilakukan untuk mengetahui keberadaan senyawa peptida.
Sejumlah ekstrak lamun yang dilarutkan dengan akuades diambil sebanyak 1  ml,  kemudian  ditambahkan  4  ml  pereaksi  biuret,  lalu  dikocok.    Uji  ini
positif jika larutan membentuk warna ungu. h
Ninhidrin.    Uji  ninhidrin  dilakukan  untuk  mengetahui  keberadaan golongan senyawa asam amino.  Sejumlah ekstrak lamun yang dilarutkan
dengan  akuades  diambil  2  ml,  kemudian  ditambahkan  beberapa  tetes
55
pereaksi  ninhidrin  0,1  dan  dipanaskan selama  10  menit.    Uji ini  positif jika terbentuk larutan dengan warna biru.
Gambar 9 Proses kegiatan uji fitokimia
3.3.4.   Uji toksisitas
Uji toksisitas ini dilakukan dengan mengadopsi dan memodifikasi metode uji  toksisitas  dengan  menggunakan  larva  Artemia  salina  Meyer  et  al.  1982.
Larva Artemia salina ini dipelihara pada air laut yang telah difilter selama 24 jam pada suhu 28
C, kemudian setiap 10 larva dipindahkan ke dalam masing-masing wheel    yang  telah  diisi  air  laut  hasil  filtrasi  sebanyak  2  ml.    Untuk  menguji
toksisitas  ekstrak  kasar  lamun,  ekstrak  diencerkan  menggunakan  air  steril aquades  hingga  konsentrasi  10  ppm,  100  ppm,  500  ppm,  dan  1000  ppm,
kemudian  diteteskan  kedalam  masing  masing  wheel  yang  telah  diisi  Artemia. Sebagai kontrol digunakan satu wheel tambahan tanpa penambahan ekstrak kasar
lamun,  setelah  24  jam,  masing  masing  wheel  kembali  diamati,  dihitung,  dan dicatat jumlah larva yang hidup.  Data yang digunakan dalam perhitungan BSLT
adalah  data  Artemia  yang  mati,  kemudian  data  tersebut  dikonversi  kedalam bilangan  logaritma  dari  Tabel  Probit  Lampiran  2.    Perolehan  nilai  dari  Tabel
Probit  dan  nilai  konsentrasi  ekstrak  yang  digunakan  kemudian  dimasukan  ke dalam  persamaan  regresi,  sehingga  diperoleh  nilai  konsentrasi  LC
50
.    Ilustrasi proses uji toksisitas pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10  Proses kegiatan uji toksisitas
3.3.5.   Uji bioantifouling
Uji  bioantifouling  dilakukan  secara  invitro,  dengan  mengamati  aktivitas hambat ekstrak lamun terhadap bakteri pembentuk  biofilm.  Uji aktivitas hambat
biofilm ini diawali dengan melakukan selekesi bakteri uji, seperti yang dipaparkan dalam  Gambar  11.    Bakteri  pembentuk  biofilm  yang  digunakan  adalah  genus
Vibrio, hal ini mengacu pada hasil penelitian Mayavu et al. 2009 dan Yildiz and Visick 2009 yang menyatakan Vibrio spp. adalah bakteri pembentuk biofilm dan
dapat  memicu  pembentukan  fouling.  Bakteri  Vibrio  spp.  yang  digunakan  dalam penelitian  diseleksi  dari  isolat  bakteri  koleksi  Laboratorium  Mikrobiologi  P2O
– LIPI.  Seleksi bakteri dilakukan untuk mendapatkan bakteri Vibrio sp.  pembentuk
biofilm tertinggi dengan menggunakan metode Biofilm Formation Assay Ramage et  al.  2001.    Isolat  bakteri  pembentuk  biofilm  terpilih  kemudian  diremajakan
kembali  dalam  media  Marine  agar,  berikutnya  dikultur  pada  media  selektif Thiosulfat Citrate Bile Sucrose TCBS untuk mendapatkan genus Vibrio Feliatra
1999, proses ini dapat dilihat pada Gambar 12.
57
Gambar 11  Alur skematik seleksi bakteri uji Uji  aktivitas  hambat  biofilm  ini  menggunakan  metode  difusi  agar  yang
diadopsi dari Jensen et al. 1998 dan El-Hady et al.  2007, yaitu bakteri terpilih dikulturkan  pada  media  marine  agar  dan  diletakkan  pada  masing  masing  cawan
petri,  kemudian  didiamkan  selama  1  jam  pada  suhu  28 C.    Pada  saat  yang
bersamaan, kertas cakram yang telah disiapkan dicelupkan kedalam ekstrak lamun dengan konsentrasi 200 mgml dan 20mgml, kemudian didiamkan selama 1 jam
agar  pelarut  menguap.    Kertas  cakram  yang  sudah  dicelupkan  diletakan  pada media  agar  yang  telah  disebar  bakteri  biofilm  terpilih,  kemudian  diinkubasi
selama  18-24  jam  pada  suhu  37 C.    Aktivitas  hambat  ekstrak  lamun  diukur
berdasarkan  diameter  zona  bening  yang  terbentuk.    Proses  uji  aktivitas  hambat biofilm selama penelitian ini ditampilkan pada Gambar 13.
Isolat bakteri pembentuk biofilm, koleksi Laboratorium
mikrobiologi P2O LIPI
Seleksi isolat bakteri Vibrio spp. dengan menggunakan
media agar selektif TCBS
2 isolat bakteri uji  Vibrio spp.
Identifikasi awal bakteri, dengan metode pewarnaan
gram +-
Gambar 12  Proses mendapatkan bakteri terpilih
Gambar 13  Proses uji aktivitas hambat biofilm 3.4.  Analisis Data
Data  rendemen  hasil  ekstraksi  lamun  dianalisis  dengan  menggunakan  uji anova dua arah, kemudian dilanjutkan dengan uji F, untuk mengetahui faktor yang
berpengaruh  terhadap  hasil  ekstraksi.    Hasil  uji  fitokimia,  berupa  golongan senyawa yang terkandung dalam ekstrak lamun dianalisis secara deskriptif.  Data
hasil  uji  toksisitas  BSLT  dianalisis  dengan  menggunakan  analisis  regresi,  untuk mengetahui  keeratan  hubungan  antara  mortalitas  Artemia  salina  dengan  log
konsentrasi  ekstrak  lamun  yang  diberikan.    Hasil  uji  anti  bakteri  biofilm bioantifouling  berupa  nilai  diameter  zona  hambat  bakteri  biofilm  dianalisis
secara deskriptif.
59
4.  HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.     Koleksi Contoh Lamun
Koleksi  contoh  lamun  yang  diambil  adalah  jenis  Enhalus  acoroides  dan Thalassia  hemprichii  Gambar  14.    Kedua  jenis  lamun  tersebut  dapat
diklasifikasikan Waycott et al. 2004 sebagai berikut: Kingdom  :  Plantae
Divisio  :  Magnoliophyta Angiospermae Class   :   Liliopsida
Sub-class  :  Alismatidae Order       :  Alismatales
Family  :  Hydrocharitaceae Genus  :  Thalassia
Spesies  :  Thalassia hemprichii Genus  :  Enhalus
Spesies  :  Enhalus acoroides Enhalus  acoroides  merupakan  jenis  lamun  yang  mudah  dikenali,  karena
memiliki  morfologi  daun  yang  besar,  lebar,  dan  keras.    Pertumbuhan  daun Enhalus acoroides sangat unik karena langsung dari rhizoma yang tebal dan keras
dengan garis garis hitam.  Thalassia hemprichii memiliki ciri khusus berupa ujung daun  yang  membundar  dengan  bercak  merah,  dan  memiliki  pertumbuhan  daun
tidak langsung dari akarnya, namun dari stem vertikal Waycott et al. 2004.
Gambar 14 Foto lamun A Enhalus acoroides dan B Thalassia   hemprichii.
A B
Kedua  jenis  lamun  ini  dipilih  karena  telah  terbukti  pada  penelitian sebelumnya  mengandung  senyawa  bioaktif  El-Hady  et  al.  2007;  Elfahmi  et  al.
1997; Jensen et al. 1998;  Lakshmi  et al. 2006; Raja-Kanan et al. 2010; Qi et al. 2008; Mayavu et al. 2009, sehingga diduga memiliki potensi lebih besar sebagai
bioantifouling.    Alasan  lain  penyebab  digunakannya  Enhalus  acoroides  dan Thalassia  hemprichii  dalam  penelitian,  karena  distribusi  kedua  jenis  lamun
tersebut  di  Indonesia  sangat  luas.    Enhalus  acoroides  dan  Thalassia  hemprichii dapat  ditemui  di  perairan  Indonesia,  seperti  Pulau  Belitung  Fahmi  et  al.  2010,
Kepulauan  Seribu  Mardesyawati  dan  Anggraeni  2009,  Teluk  Gilimanuk,  Bali Dewi et al. 2008, dan Pantai Molas, Manado Maabuat et al. 2012.
Pertumbuhan  dan  perkembangbiakan  lamun  dipengaruhi  oleh  kondisi kualitas  perairan,  seperti  suhu,  salinitas,  dan  nutrien.    Madigan  et  al.  2000
memaparkan  produksi  senyawa  metabolit  sekunder  organisme  merupakan  salah satu  mekanisme  pertahanan  diri  yang  meningkat  produksinya  seiring  dengan
tekanan lingkungan yang terjadi disekitarnya. Data  kualitas  air  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  diperoleh  dari
Lumban-Toruan  2011,  meliputi  suhu,  salinitas,  pH,  DO,  fosfat,  nitrat  dan ammonia, hasil analisis parameter tersebut menunjukkan nilai yang masih berada
dalam kisaran nilai baku mutu kualitas perairan untuk biota laut menurut Kepmen – LH 51 Tahun 2004 Tabel 3.
Tabel 3  Hasil analisis kualitas perairan Pulau Pramuka, DKI Jakarta Maret 2011
No Parameter
Satuan Pramuka Barat
Pramuka Timur Baku Mutu
1 Suhu
o
C 29,5
29,5 28 - 30
2 Salinitas
ppm 34,2
34,3 33 - 34
3 pH
8 8,1
7 – 8,5
4 DO
mgL 10
8,8 5
6 Fosfat PO4
mgL 0,17
0,015 7
Nitrat NO3 mgL
0,02 0,02
0,008 8
Amonia NH3 mgL
0,07 0,22
0,3
Sumber : Lumban-Toruan 2011
Keterangan : Baku mutu berdasarkan Kepmen - LH 51 Tahun 2004 untuk biota laut
61
Suhu  perairan  Pulau  Pramuka  pada  saat  pengambilan  contoh  air,  adalah 29.5
o
C  Tabel  3,  kondisi  ini  masih  tergolong  baik  untuk  lingkungan  hidup lamun.    Philips  dan  Menez  1988  memaparkan  bahwa  lamun  akan  tumbuh
optimal pada air laut dengan suhu 28 – 30
o
C.  Salinitas perairan di sisi barat dan timur  Pulau  Pramuka,  adalah  34.2  ppm  dan  34.3  ppm,  nilai  ini  masih  berada
dalam  selang  toleransi  pertumbuhan  dan  perkembangan  lamun.    Lamun  akan tumbuh  dan  berkembang  dengan  optimal  pada  perairan  dengan  salinitas  24
– 35 ppm Hilman et al. 1989.
Derajat  keasaman  pH  di  sisi  barat  dan  timur  perairan  Pulau  Pramuka pada  Maret  2011,  adalah  8  dan  8.1,  nilai  ini  tergolong  baik  untuk  pertumbuhan
lamun.    Hal  ini  karena  lamun  akan  tumbuh  dan  berkembang  dengan  baik  pada peraian dengan pH 7.3
– 9.0 Burrell dan Schubell 1977. Hasil  analisis  diatas  diambil  pada  Maret  2011,  bulan  ini  termasuk  pada
musim  peralihan.    Walaupun  data  kualitas  perairan  yang  diperoleh  hanya mewakili  satu  musim  saja,  data  tersebut  masih  dapat  digunakan,  karena  kondisi
kualitas  fisika  dan  kimia  perairan  di  Pulau  Pramuka  pada  ketiga  musim  yang berbeda  timur,  barat,  dan  peralihan  menurut  Triyulianti  2009  tidak  berbeda
nyata.  Analisis kualitas air diatas menunjukkan bahwa kualitas perairan di Pulau Pramuka pada saat pengambilan contoh lamun dalam kondisi yang baik dan tidak
memberikan tekanan lingkungan terhadap lamun.
4.2.     Senyawa Bioaktif Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii
Berat  basah  contoh  Enhalus  acoroides  yang  dikeringkan  dan  digunakan dalam  penelitian  akan  menyusut  hingga  31,6±
0,04
,  sementara  Thalassia hemprichii  menyusut  hingga  95,5±
0,016
.    Rendemen  yang  dihasilkan  oleh lamun  jenis  Enhalus  acoroides  dan  Thalassia  hemprichii  hasil  penelitian  akan
meningkat seiring dengan kepolaran pelarut. Jumlah  rendemen  ekstrak  kedua  jenis  lamun  yang  diekstraksi  dengan
pelarut  metanol  lebih  tinggi  jika  dibandingkan  dengan  yang  diekstraksi  dengan pelarut  n-heksana  Tabel  4.    Hal  ini  menunjukkan  Enhalus  acoroides  dan
Thalassia hemprichii yang dikoleksi dari Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta  mengandung  senyawa  bioaktif  bersifat  polar  lebih  banyak  daripada  yang
bersifat non polar.  Tingginya potensi ikatan hidrogen yang terbentuk pada pelarut metanol,  menyebabkan  zat  bioaktif  yang  terkandung  dalam  Enhalus  acoroides
dan  Thalassia  hemprichii  lebih  mudah  larut  didalamnya,  sehingga  lebih  banyak zat bioaktif yang diperoleh dari proses ekstraksi.
Tabel 4 Berat ekstrak kasar Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii
Spesies Berat Contoh
g Berat ekstrak g
Ekstrak Metanol
Ekstrak n –
heksana
Enhalus acoroides n=3 50
1,36±0,058 0,16±0,04
Thalassia hemprichii n=3
50 1,50±0,086
0,16±0,016
Nilai  berat  yang  disajikan  pada  Tabel  4  digunakan  untuk  menghitung rendemen,  yaitu  perbandingan  nilai  berat  ekstrak  yang  dihasilkan  dengan  berat
awal  contoh  daun  lamun  kering  dalam  persen  .    Rendemen  ekstrak  kasar lamun  jenis  Enhalus  acoroides,  dengan  pelarut  n-heksana  adalah  0,32,
sedangkan dengan pelarut metanol adalah 2,71.  Rendemen ekstrak kasar lamun jenis  Thalassia  hemprichii  dengan  pelarut  n-heksana  adalah  0,32,  sementara
dengan pelarut metanol adalah 2,99 Gambar 15. Nilai  rendemen  kedua  jenis  lamun  yang  diekstraksi  dengan  pelarut  polar
methanol lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang diekstraksi dengan pelarut non  polar  n-heksana.    Nilai  rendeman  hasil  penelitian  kemudian  dianalisis
dengan  melakukan  uji  anova  Lampiran  1,  dan  dilanjutkan  dengan  uji  F  untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap rendemen ekstrak.  Hasil  uji
F  yang  dilakukan,  menunjukkan  faktor  pelarut  memiliki  pengaruh  yang  nyata terhadap nilai rendemen, sedangkan jenis lamun tidak berpengaruh nyata terhadap
nilai rendemen.