IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

(1)

ABSTRAK

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

(UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

Oleh Arina Fersa

Sistem eletronik adalah sistem komputer yang mencakup perangkat keras lunak komputer, juga mencakup jaringan telekomunikasi dan system komunikasi elektronik, digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis, menampilkan, dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik. Berkaitan dengan itu perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Maka terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyberspace, yaitu pendekatan aspek hukum, aspek teknologi, serta aspek social budaya dan etika. Perkembangan pesat pemanfaatan jasa internet ternyata menimbulkan dampak negatif lainnya yaitu dalam bentuk perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang kemudian disebut dengan cybercrime, yang sering terjadi didalam masyarakat luas adalah penyalahgunaan kartu kredit, pembobolan rekening sesorang dan Hacking.

Berdasarkan hal di atas maka permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah apa sajakah perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana berdasarkan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008, apakah barang bukti elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan bagaimanakah ketentuan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan cybercrime.

Penelitian pada skripsi ini dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan yaitu Pendekatan Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris dengan lebih memfokuskan pada pendekatan Yuridis Normatif. Pendekatan secara Yuridis Normatif dilakukan dengan cara mempelajari perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan permasalahan. Secara operasional pendekatan ini dilakukan dengan studi kepustakaan atau studi literatur, sedangkan yuridis empiris dilakukan dengan studi lapangan melalui wawancara dengan responden seorang


(2)

penegak hukum dari Polda Lampung, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, dan dua orang akademisi Universitas Lampung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana berdasarkan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah yang tertera dalam Pasal 27-37 undang-undang ini, barang bukti elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 yaitu : Real Evidence, Hearsay Evidence, Derived Evidence, sedangkan ketentuan pidana yang dapat menjerat pelaku tindak pidana cybercrime yaitu : Kitab Undang Undang Hukum Pidana (Pasal 362, Pasal 378, Pasal 335, Pasal 311, Pasal 303, Pasal 282 dan 311, Pasal 378 dan 262, Pasal 406), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pasal 1 angka (8), Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 1 angka (1), Undang-Undang No 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Undang-Undang No 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi & Transaksi Elektronik.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka perlu untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang lebih spesifik dalam mengatur tentang tindak pidana dunia maya (Cybercrime), selain itu dalam hal Sumber Daya Manusia (SDM), masih banyak aparat penegak hukumnya belum siap bahkan tidak mampu (gagap teknologi) sehingga perlu adanya peningkatan dalam hal SDM ini dengan cara memberikan pelatihan kepada para penegak hukum oleh pakar/ahli yang memang berkompeten dalam masalah dunia maya.


(3)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Sistem eletronik adalah system computer yang mencakup perangkat keras lunak komputer , juga mencakup jaringan telekomunikasi dan system komunikasi elektronik, digunakan untuk menjelaskan keberadaan sistem informasi yang merupakan penerapan teknologi informasi yang berbasis jaringan telekomunikasi dan media elektronik yang berfungsi merancang, memproses, menganalisis, menampilkan, dan mengirimkan atau menyebarkan informasi elektronik.

Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga cyberspace, meskipun bersifat virtual namun dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum yang nyata. Kegiatan dalam cyberspace adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata, meskipun alat buktinya bersifat elektronik.

Berkaitan dengan itu perlu diperhatikan sisi keamanan dan kepastian hukum dalam pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi agar dapat berkembang secara optimal. Maka terdapat tiga pendekatan untuk menjaga keamanan di cyberspace, yaitu pendekatan aspek hukum, aspek teknologi, serta aspek social budaya dan etika.


(4)

Dengan dikeluarkan dan diberlakukannya pengaturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka pengelolaan, penggunaan, dan pemanfaatan informasi dan transaksi eletronik harus terus dikembangkan melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara aman utntuk mencegah penyalahgunaannya.

Perkembangan pesat pemanfaatan jasa internet ternyata menimbulkan dampak negative lainnya yaitu dalam bentuk perbuatan kejahatan dan pelanggaran yang kemudian disebut dengan cybercrime. Cybercrime yang sering terjadi didalam masyarakat luas adalah penyalahgunaan kartu kredit, pembobolan rekening sesorang dan Hacking. dan baru-baru ini terjadi kasus yang sempat menghebohkan dunia hukum adalah kasus yang dialami seorang ibu rumah tangga yang bernama Prita Mulyasari. Kasus tersebut bermulai karena Prita merasa kecewa oleh pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional, lalu Prita mengirimkan posting curahan hatinya (curhat) melalui media internet dan ajang social facebook.

Curhat di dunia maya yang akhirnya membawa Prita Mulyasari mendekam dalam penjara. Semula Prita hanya ingin menyampaikan keluhannya mengenai layanan kesehatan yang dialaminya. Layanan kesehatan itu sangat mengecewakannya sehingga beliau membuat posting email kepada teman-temannya melalui internet dan facebook. Rumah sakit yang dimaksud merasa difitnah oleh Prita dan telah melaporkan kepada pihak yang berwajib.


(5)

Oleh karena fitnah tersebut disebarkan melalui internet, pihak Kejaksaam Negeri Tanggerang menganggap Prita telah melanggar Pasal 27 Ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,

Adapun isi Pasal 27 Ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2008 adalah sebagai berikut : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Disamping Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2008, Prita juga telah dianggap melanggar ketentuan Pasal 310, 311 KUHP. Prita diancam hukuman kurungan 6 (enam) tahun dan denda Rp 1 miliar (satu miliar rupiah), Prita dijebloskan ke dalam penjara wanita di Tanggerang. (Niniek Suparni, SH, MH, Cyberspce, Problematika dan Antisipasi Pengaturannya; 143)

Didalam beberapa cybercrime terdapat beberapa tindak pidana yang tentunya dapat dipidanakan menurut KUHP. Perbuatan pidana yang digunakan untuk menjerat pelakunya didakwa adalah penipuan, kecurangan, pencurian, perusakan dan lainnya. Peristiwa diatas tentunya sangat menarik untuk dipahami oleh masyarakat luas, agar masyarakat dapat lebih memahami tentang tindak pidana di dunia cyber dan dapat lebih mengetahui hal-hal apa saja yang dapat menjerat pelaku-pelaku kejahatan tersebut.


(6)

B.Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Yang dijadikan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Apa sajakah perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana berdasarkan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 ?

b. Apakah barang bukti elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah ?

c. Bagaimanakah ketentuan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan cybercrime ?

2. Ruang Lingkup

Untuk membahas masalah tersebut, maka pokok bahasan dibatasi pada jenis – jenis perbuatan yang termasuk tindak pidana berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2008, Identifikasi barang bukti yang terjadi dalam tindak pidana tersebut dan sanksi pidana menurut UU Nomor 11 Tahun 2008.

C.Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan pokok bahasan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui apa sajakah perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana berdasarkan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008.

2. Mampu mendeskripsikan apakah barang bukti elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.


(7)

3. Mengetahui dan menganalisis Bagaimana ketentuan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan cybercrime.

2. Kegunaan Penulisan a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan Teoritis dari hasil penelitian ini untuk memberikan sumbangan pengetahuan bagi perkembangan disiplin ilmu hukum khususnya yang berada dalam tindak pidana cybercrime menurut Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

b. Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah sebagai acuan atau referensi bagi pendidikan ilmu hukum dan penelitian hukum lanjutan, sumber bacaan baru di bidang hukum khususnya mengenai tentang tindak pidana cybercrime menurur Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

D.Kerangka Teori dan Konseptual. 1. Kerangka Teori.

Kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dalam masyarakat secara konkret.

Menurut Moeljanto (Moeljanto, 1987:54), yang dimaksud dengan tindak pidana adalah :


(8)

“Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanski) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”

Menurut Simons, dalam merumuskan pengertian tindak pidana, beliau memberikan unsur – unsur tindak pidana sebagai berikut :

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat sesuatu atau tidak berbuat atau membiarkan);

2. Diancam dengan pidana 3. Melawan hukum

4. Dilakukan dengan kesalahan

5. Orang yang mampu bertanggung jawab (Sudarto, 1990: 40)

Rumusan unsur–unsur tindak pidana menurut Moeljanto sebagai berikut : 1. Perbuatan (manusia)

2. Yang memenuhi rumusan dalam undang – undang (ini merupakan syarat formil) dan

3. Bersifat melawan hukum.

Pada pasal 184 ayat (1) kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa :

Alat bukti yang sah ialah : 1. Keterangan saksi ; 2. Keterangan ahli ; 3. Surat ;


(9)

5. Keterangan terdakwa .

Pada pasal 5 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa :

(1)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

(3)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

(4)Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a) surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b) surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pertanggungjawaban pidana pada hakiktanya mengandung makna pencelaan pembuat (subjek hukum) atas tindak pidana yang telah dilakukannya. Artinya, secara objektif si pembuat telah melakukan tindak pidana menurut hukum yang berlaku (asas legalitas) dan secara subjektif si pembuat patut untuk dicela atau dopersalahkan/dipertanggungjawabkan


(10)

atas tindak pidana yang dilakukannya itu (asas culpabilitas/kesalahan) sehingga ia patut unutk dipidana.

2. Kerangka Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep – konsep yang merupakan kumpulan dari arti – arti yang terkait dengan istilah yang akan diteliti dan juga memberikan arah atau pedoman yang jelas dalam penelitian ini, maka perlu memahami definisi – definisi sebagai berikut :

a. Identifikasi diartikan sebagai proses psikologi yang terjadi dalam diri seseorang karena secara tidak sadar membayangkan dirinya seperti orang lain yang dikaguminya, lalu dia meniru tingkah laku orang tersebut. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

b. Tindak pidana diartikan sebagai suatu perbuatan yang sudah memenuhi unsur – unsur pelanggaran atau kejahatan. (Wirjono Prodjodikoro, 1980:1)

c. Undang – Undang diartikan sebagai ketentuan – ketentuan dan peraturan negara yang dibuat oleh pemerintah (menteri, badan eksekutif, dsb), disahkan oleh parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Legislatif, dsb), ditandatangani oleh kepala negara (Presiden, Kepala Pemerintahan, Raja) dan mempunyai kekuatan yang mengikat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)

d. Informasi diartikan sebagai Pemberitahuan, kabar atau berita. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)


(11)

e. Transaksi Elekronik diartikan sebagai perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. (Pasal 1 Ayat (2) UU No 11 Tahun 2008).

Lebih lanjut, Soerjono Soekanto (1984:124), berpendapat bahwa kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep – konsep khusus yang meruapakan kumpulan arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti, maka terdapat beberapa unsur yang kemudian akan di angkat sebagai istilah – istilah yang akan di gunakan dalam penulisan dengan tujuan membatasi agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam melakukan penelitian.

E. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan pendekatan pemikiran mengenai hal – hal apa saja yang menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini penulis menyusun sistematika penulisan dalam 5 bab, dimana masing – masing bab berhubungan satu sama lain, yaitu :

I. PENDAHULUAN

Bab ini akan membahas antara lain : latar belakang, pokok permasalahan, kerangka konsepsonial, sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan membahas antara lain, perbuatan yang termasuk dalam tindak pidana berdasarkan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008, apakah barang bukti elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, ketentuan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan cybercrime.


(12)

III. METODE PENELITIAN

Bab ini akan membahas mengenai metode yang digunakan dalam menyusun skripsi ini antara lain : Pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sample, metode pengumpulan dan

pengolahan data, analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas hasil penelitian dan pembahasan terhadap masalah yang ada dalam skripsi ini, yaitu antara lain perbuatan apa saja yang termasuk dalam tindak pidana berdasarkan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008, apakah barang bukti elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, dan apa saja ketentuan hukum pidana terhadap pelaku kejahatan cybercrime.

V. PENUTUP


(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perbuatan yang Termasuk dalam Tindak Pidana

Hukum pidana dalam arti objektif atau ius poenale yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan–larangan atau keharusan–keharusan dimana terhadap pelanggrannya diancam dengan hukum. Hukum pidana dapat dibagi dalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.

Hukum pidana materiil yang berisikan peraturan–peraturan tentang : 1. Perbuatan-perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman.

2. Siapa–siapa yang dapat dihukum, atau dengan perkataan lain mengatur pertanggung jawab terhadap hukum pidana

3. Hukuman apa yang dapat dujatuhkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang–undang atau juga disebut hukum peneteniair.

Hukum pidana formil, adalah sejumlah peraturan yang mengandung cara–cara Negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan hukuman. Hukum pidana materiil diatur dalam Undang–Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 45 s/d Pasal 52, sedangkan hukum pidana formil diatur dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Bab X tentang penyidiksn, Pasal 42 s/d Pasal 44.


(14)

Menilik sifatnya, hukum pidana juga merupakan hukum pidana umum (algemen ius commune) yakni hukum pidana yang berlaku untuk setiap orang. Disamping itu, terdapat hukum pidana khusus (byzonder ius special) seperti : hukum pidana militer, Undang – Undang Nomor 11 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berkaitan dengan kasus Prita Mulyasari, yang dikenakan dengan Pasal 27 (3) juncto Pasal 45 (1) UU Nomor 11 Tahun 2008, merupakan hukum pidana pokok yang berlaku, yang merupakan hukum pidana pokok yang berlaku, yang mengandung hukum pidana dan ditilik dari sudut sifatnya merupakan hukum dogamtis. Artinya, peraturan–peraturan yang berlaku itu hanya disusun dalam beberapa kata. Pembahasan kasus Prita Mulyasari dilihat dari elemen melawan hukum, elemen perbuatan yang disengaja, dan elemen akibat.

Simon menyatakan perbuatan yang dilarang harus memuat beberapa unsur yaitu : 1. Suatu perbuatan manusia (menselijk handelingen) termasuk mengabaikan (een

nalaten)

2. Perbuatan itu (yaitu perbuatan dan mengabaikan) dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang–undang

3. Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan, artinya dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut.

Tindak pidana (delict) berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Adapun unsur–unsur tindak pidana adalah sebagai berikut : 1. Dalam pandangan KUHP, yang menjadi subjek tindak pidana adalah seorang


(15)

2. Wujud dari perbuatan ini pertama–tama harus dilihat pada perumusan tindak pidana dalam pasal–pasal tertentu dari peraturan pidana. Perumusan ini dalam bahasa Belanda dinamakan delicts-omschrijving. Misalnya dalam tindak pidana “mencuri”, perbuatannya dirumuskan sebagai “mengambil barang”. 3. Tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu akibat tertentu dari

perbuatan si pelaku berupa kegiatan atas kepentingan orang lain, menandakan keharusan ada hubungan sebab musabab (causal verband) antara perbuatan si pelaku dan kerugian kepentingan tersebut.

4. Sifat penting dari tindak pidana ialah sifat melanggar hukum dari tindak pidana tersebut

5. Harus ada unsur kesalahan dari pelaku tindak pidana. Kesalahan ini berupa dua macam, yaitu kesengajaan (opzet) dan kurang berhati – hati (culpa). 6. Kebanyakan tindak pidana mempunyai unsure kesengajaan bukan unsur culpa.

Dan yang pantas mendapat hukuman pidana adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.

Suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum, dan dapat dikenakan sanksi pidana makan harus dipenuhi dua unsur yaitu unsur esensial dari kejahatan (physical element) dan sikap batin (mens rea).

Perumusan delik ada dua macam, yaitu delik formil dan delik materiil. Delik formil adalah delik yang dianggap telah sepenuhnya terlaksana, dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang. Sedangkan delik materiil adalah delik yang baru dianggap terlaksana penuh dengan timbulnya akibat yang dilarang.


(16)

Mengingat terhadap kasus yang dialami oleh Prita Mulysari yang telah dianggap telah melakukan pencemaran nama baik dan mendapatkan hukuman pidana dikarenakan telah melanggar Pasal 27 (3) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Adapun isi Pasal 45 dan Pasal 27 ayat (3) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 adalah sebagai berikut :

Pasal 45 ayat (1) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 :

(1) Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan /atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Mengacu pada Pasal 45 ayat (1) di atas, maka unsur perbuatan yang dilarang oleh undang–undang, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 27 Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 dibawah ini :

Pasal 27 ayat (3) Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 :

(3) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Unsur–unsur pasal diatas adalah : 1. Setiap orang

2. Dengan sengaja dan tanpa hak

3. Mendistribusikan, dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diakses informasi elektronik, dan/atau dokumen elektronik


(17)

4. Memiliki muatan melanggar kesusilaan, atau muatan perjudian, atau muatan penghinaan, dan/atau muatan pencemaran nama baik, atau muatan pemerasan, dan/atau pengancaman.

Pengertian setiap orang disini, selain ditafsirkan sebagai individu juga badan hukum yang berbadan hukum sesuai ketentuan perundang – undangan. Pengertian dengan sengaja dan tanpa hak, dapat ditafsirkan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang – undang dan tindakan melakukan yang diancam dengan hukuman. Perbuatan optimum yang dianggap mengandung sifat ketidakadilan dan berdasarkan sifatnya, yang patut dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undand – undang adalah mendistribusikan , menstransmisikan, membuat dapat diakses informasi elektronik atau dokumen eletronik, yang dapat menganggu sifat ketidakadilan tersebut.

Didalam pasal ini, tidak perlu dibuktikan akibat dari muatan melanggar kesusilaan, muatan perjudian, muatan penghinaan atau pencemaran nama baik, muatan pencemaran dan muatan pengancaman. Yang penting bahwa secara formal informasi elektronik dan dokumen elektronik telah mengandung muatan – muatan yang dilarang oleh undang – undang.

B.Barang Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti

Tujuan hukum acara pidana antara lain dapat dibaca pada Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP) yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman adalah sebagai berikut : “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran


(18)

materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa tersebut dapat dipersalahkan”(Andi Hamzah,1996: 7-8).

Proses pembuktian perkara pidana adalah untuk mencari tahu benar atau tidaknya telah terjadi peristiwa pidana dan mencari tahu apakah benar terdakwa yang bersalah. Pembuktian yang dimaksud harus dilakukan di sidang pengadilan untuk menguji kebenaran dari isi surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP alat-alat bukti yang sah adalah: a. keterangan saksi

b. keterangan ahli c. surat

d. petunjuk

e. keterangan terdakwa

a. Keterangan Saksi

Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Hal ini kecuali disertai mengenai suatu alat bukti yang berdiri sendiri-sendiri mengenai suatu kejadian


(19)

atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungan antara satu dan yang lainnya. Dengan demikian, dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

Sebagai warga negara yang baik adalah mengetahui hak dan kewajibannya. Salah satu kewajiban yang dibebankan hukum kepada setiap warga negara, ikut membela kepentingan umum dimana salah satu aspek pembelaan kepentingan umum, ikut ambil bagian dalam penyelesaian tindak pidana, apabila dalam penyelesaian itu dibutuhkan keterangannya (M. Yahya Harahap, 2002: 168). Bertitik tolak dari pemikiran di atas, menjadi landasan bagi pembuat undang-undang untuk menetapkan kesaksian sebagai “kewajiban” bagi setiap orang. Penegasan tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP sebagai berikut :

1. menjadi saksi adalah “kewajiban hukum”.

2. orang yang menolak memberi keterangan sebagai saksi dalam suatu sidang pengadilan, dapat dianggap sebagai penolakan terhadap kewajiban hukum yang dibebankan undang-undang kepadanya.

3. orang yang menolak kewajiban memberi keterangan sebagai saksi dalam sidang pengadilan, dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Berdasarkan ketentuan dan penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP tersebut, disimpulkan bahwa memberikan keterangan sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan adalah kewajiban bagi setiap orang. Pemeriksaan saksi yang hadir dalam persidangan bertujuan untuk mendengar


(20)

keterangan saksi tentang apa yang diketahui, dilihat, didengar, dan dialaminya sehubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa.

Tata cara pemeriksaan saksi menurut Yahya Harahap adalah sebagai berikut : 1. Saksi dipanggil dan diperiksa seorang demi seorang;

2. Memeriksa identitas saksi;

3. Saksi “wajib” mengucapkan sumpah;

4. Saksi memberikan keterangan apa yang diketahui, dilihat, didengar, dan dialaminya (M. Yahya Harahap, 2002: 172-174).

Permasalahan muncul ketika saksi tidak dapat hadir di persidangan untuk memberikan keterangan tentang apa yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Ada berbagai alasan yang dikemukakan oleh saksi untuk tidak hadir dalam proses pemeriksaan saksi di sidang pengadilan. Karena saksi tidak hadir dalam persidangan, maka keterangan dari saksi yang telah diberikan kepada penyidik dalam BAP penyidikan dibacakan di depan sidang pengadilan.

Kewajiban hukum (legal obligation) bagi setiap orang untuk menjadi saksi dalam perkara pidana yang dibarengi pula dengan kewajiban mengucapkan sumpah menurut agama yang dianutnya bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya tentang apa yang diketahui, dilihat, didengar, dan dialaminya sehubungan dengan perkara yang bersangkutan. Pengucapan sumpah atau janji merupakan kewajiban, tidak ada jalan lain bagi seorang saksi untuk menolak mengucapkannya, kecuali penolakan itu mempunyai alasan yang sah.


(21)

Berdasarkan Pasal 160 ayat (3) KUHAP sebelum memberikan keterangan, saksi diwajibkan mengucap sumpah atau janji menurut tata cara agamanya masing-masing. Orang tersebut akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Keteranagan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucap janji, tidak dapat di angap sebagai alat bukti yang sah. Tetapi, hanya merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.

Menurut Pasal 171 KUHAP ditambahkan pengecualian untuk memberikan kesaksian dibawah sumpah ialah :

1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin 2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.

Dalam penjelasan Pasal tersebut dikatakan anak yang belum berumur lima belas tahun, orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana. Dengan demikian, orang-orang yangtergolong demikian tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan. Hal ini disebabkan keterangannya dipergunakan sebagai petunjuk saja.

b. Keterangan Ahli

Menurut Andi Hamzah, Keterangan ahli didefinisikan sebagai pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari. Tentang suatu apa yang diminta pertimbangannya. Berdasarkan rumusan tersebut diketahui maksud keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah (dimiliki) seseorang.


(22)

Keterangan ahli diperlukan pada saat :

1. Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan. 2. Diminta dan diberikan di dalam persidangan.

Sama halnya dengan seorang saksi, menurut hukum, seorang saksi ahli yang dipanggil didepan pengadilan memiliki kewajiban untuk :

1. Menghadap atau dating kepersidangan, setelah dipanggil dengan patut menurut hukum.

2. Bersumpah atau mengucapkan janji sebelum mengemukakan keterangan (dapat menolak tetapi akan dikenai ketentuan khusus).

3. Memberikan keterangan yang benar

Pada dasarnya keterangan ahli dan keterangan ahli berbeda. Keterangan seorang saksi mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal tertentu. Selain itu, KUHAP membedakan keterangan seorang ahli persidangan sebagai alat bukti “keterang ahli” (Pasal 186 KUHAP) dan keterangan seorang ahli secara tertulis diluar sidang persidangan sebagai “alat bukti surat” (Pasal 187 butir c KUHAP

c. Alat Bukti Surat

Alat bukti surat diatur dalam Pasal 187 yang menyatakan surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah :

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan


(23)

tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas tentang keterangan itu.

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perUndang-Undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan.

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang dimintai secara resmi dan padanya.

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

KUHAP juga tidak mengatur ketentuan tersebut, sehingga diserahkan kepada hakim, pertimbangan dalam menilai alat bukti surat. Dalam hal ini hanya akta otentik yang dapat dipertimbangkan, sedangkan surat dibawah tangan seperti dala hukum perdata tidak dipergunakan lagi dalam hukum acara pidana.

d. Petunjuk

Berdasarkan Pasal 188 KUHAP adalah :

“Perbuatan kejadian atau keadaan yang karena, persesuaian, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana sendiri menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.”

Berbeda dengan alat bukti yang lain, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan keterangan terdakwa maka alat bukti petunjuk diperoleh dari keterangan


(24)

saksi, surat dan keterangan terdakwa. Pengertian diperoleh berarti alat bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti langsung. Oleh karena itu banyak yang menganggap alat bukti petunjuk bukan merupakan alat bukti.

e. Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Macamnya dapat berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun sebagian dari perbuatan atau keadaan. Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi.

Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan. Hal ini disebabkan pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat antara lain seperti mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan, mengaku ia bersalah

C. Ketentuan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Cybercrime

Dasar daripada adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidananya sipembuat adalah asas “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”

Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah :

1. melakukan perbuatan pidana 2. mampu bertanggung jawab


(25)

3. dengan kesengajaan atau kealpaan 4. tidak adanya alasan pemaaf

Kebijakan penanggulangan kejahatan (politik criminal), digunakan dua kebijakan, yaitu dengan menggunakan penal (menggunakan sanski pidana) dan dengan menggunakan kebijakan non-penal (menggunakan sanski administratif, sanski perdata, dan lain-lain). Berdasarkan hal tersebut maka diadakan pendekatan yang terpadu, baik keterpaduan antara politik criminal dan politik social maupun keterpaduan antara upaya penanggulangan kejahatan dengan “penal” dan “non-penal”.

Untuk penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal, tidal lain dasarmya adalah apa yang diatur di dalam KUHP, khususnya dalam Pasal 10 KUHP yang mengatur jenis-jenis hukuman. Disamping itu, penggunaan sanski pidana dapat juga dilakukan melalui oeraturan perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di dalamnya, sebagaimana yang dimaksud Pasal 103 KUHP.

Kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana. Sedangkan dengan menggunakan upaya non-penal, dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali di seluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari usaha-usaha non-penal adalah memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.


(26)

Kebijakan criminal yang dianut menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dapat dilihat dalam Pasal 27-Pasal 37,yang mengatur tentang perbuatan yang dilarang, atau perbuatan melanggar hukum dan dapat dikenakan sanski pidana.

Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktek perundang-undangan selama ini, yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia. Penggunaan hukum pidana dianggap sebagai hal yang wajar dan normal, seolah-olah eksistensinya tidak lagi dipersoalkan.

Permasalahannya adalah garis-garis kebijakan atau pendekatan yang bagaimanakah sebaiknya ditempuh dalam menggunakan hukum pidana tersebut. Hal ini dikemukan oleh Herbert L.Packer, yaitu :

1. Sanski pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di amsa yang akan dating, tanpa pidana.

2. Sanski pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan-kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya.

3. Sanski pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama, dan suatu ketika merupakan pengancam utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa.


(27)

Pendapat Packer tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan sanski pidana untuk menanggulangi kejahatan harus dilakukan dengan hati-hati, sebab bukan tidak mungkin penggunaan sanski pidana akan menjadi semacam “biumerang”, dalam arti justru akan menimbulkan bahaya dan meningkatkan jumlah kejahatan dalam masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian Widodo, sampai saat ini pengadilan Indonesia hanya menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda terhadap pelaku cybercrime. Dasar hukum yang digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang (UU) di luar KUHP, misalnya UU Telekomunikasi, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Perbankan (Widodo, 2006:344).

Meski Indonesia menduduki peringkat pertama dalam cybercrime pada tahun 2004, akan tetapi jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan tidaklah banyak. Ada beberapa sebab mengapa penanganan kasus cybercrime di Indonesia tidak memuaskan:

1. Cybercrime merupakan kejahatan dengan dimensi high-tech, dan aparat penegak hukum belum sepenuhnya memahami apa itu cybercrime. Dengan kata lain kondisi sumber daya manusia khususnya aparat penegak hukum masih lemah.

2. Ketersediaan dana atau anggaran untuk pelatihan SDM sangat minim sehingga institusi penegak hukum kesulitan untuk mengirimkan mereka mengikuti pelatihan baik di dalam maupun luar negeri.


(28)

3. Ketiadaan Laboratorium Forensik Komputer di Indonesia menyebabkan waktu dan biaya besar. Pada kasus Dani Firmansyah yang menghack situs KPU, Polri harus membawa harddisk ke Australia untuk meneliti jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh hacking tersebut.

4. Citra lembaga peradilan yang belum membaik, meski berbagai upaya telah dilakukan. Buruknya citra ini menyebabkan orang atau korban enggan untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.

5. Kesadaran hukum untuk melaporkan kasus ke kepolisian rendah. Hal ini dipicu oleh citra lembaga peradilan itu sendiri yang kurang baik, factor lain adalah korban tidak ingin kelemahan dalam sistem komputernya diketahui oleh umum, yang berarti akan mempengaruhi kinerja perusahaan dan web masternya.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Hal ini dilaksanakan melalui sistem peradilan pidana, yang terdiri dari subsistem kepolisian, subsistem kejaksaan, subsistem pengadian dan subsistem lembaga pemasyarakatan.


(29)

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian dilakukan dalam usaha untuk memperoleh data yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan kepada metode sistematika, dan pemikiran tertentu, dengan jalan menganalisisnya. Selain itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul.

A. Pendekatan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini peneliti menggunakan penelitian hukum normatif terapan. Penelitian hukum normatif terapan mempelajari kaedah hukum yaitu dengan mempelajari, menelaah peraturan perundang-undangan, azas-azas, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Pengkajian tersebut bertujuan untuk memastikan apakah hasil penerapan pada peristiwa hukum in concerto itu sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan kata lain, apakah ketentuan undang-undang telah dilaksanakan sebagaimana mestinya atau tidak, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan mencapai tujuannya atau tidak. Dalam hal ini perundang–undangan yang dikaji adalah Undang – Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan KUHP.


(30)

Soerjono Soekanto berpendapat penelitian hukum normatif terdiri dari: 1. Penelitian terhadap asas-asas hukum

2. Penelitian terhadap sistematika hukum 3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum 4. Penelitian sejarah hukum

5. Penelitian perbandingan hukum

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data adalah tempat dimana data tersebut diperoleh. Penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif yang mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat melalui studi kepustakaan (Mardalis, 2004 : 28).

Penyusunan skripsi ini menggunakan satu jenis data yaitu, data sekunder yang diperoleh dari dua macam data, yaitu studi kepustakaaan dan studi lapangan.

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer.

C.Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari unit analisis yang cirri-cirinya akan diduga. Sedangkan sample adalah sejumlah objek kurang dari populasi. (Masri Singarimbun, 1987 : 152-155)


(31)

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, Populasi yaitu jumlah keseluruhan dari unit analisa yang dapat diduga-duga. Populasi adalah sejumlah manusia yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik yang sama.

Populasi dalam penelitian ini adalah penegak hukum dan akademisi Unila dengan responden :.

Polisi : 1 org Jaksa Kejaksaan Negeri : 2 org Akademisi Unila : 2 org __________ + Jumlah : 5 org

Sedangkan sample dilakukan berdasarkan metode penentuan sample yang didasarkan pada pengetahuan dan pemahaman responden terhadap substansi informasi yang dinginkan oleh penulis.

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Pengumpulan Data a. Data sekunder

Dengan mempelajari berbagai macam bahan bantuan hukum, baik bahan hukum primer maupun sekunder, dengan melakukan kegiatan membaca, mengutip, menganalisis dan menyimpulkan.

b. Data Primer

Dengan melakukan wawancara dan pengamatan terhadap Akademisi yang erat kaitannya dengan tindak pidana cybercrime.


(32)

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul maka dilakukan pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut (Abdulkadir Muhammad, 2004 : 126) :

a. Pemeriksaan data (editing), yaitu :

Mengoreksi apakah data yang terkumpul sudah cukup lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai/relevan dengan masalah.

b. Penandaan Data (coding), yaitu :

Memberi catatan atau tanda yang menyatakan jenis sumber data (responden, buku, literatur, perundang-undangan, atau dokumen)

c. Rekonstruksi data (reconstructing), yaitu :

Menyusun ulang data secara teratur, berurutan, logis sehingga mudah dipahami dan diintreprestasikan.

d. Sistematisasi data (systematizing), yaitu :

Menempatkan data menurut kerangka sistematika bahasan berdasarkan urutan masalah, sehingga memudahkan analisis data.

E. Analisis Data

Tahapan selanjutnya setelah pengolahan data selesai dilakukan adalah analisis data. Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dipahami. Analisis data yang diperoleh dilakukan melalui analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah analisis dengan cara deskriptif analisis, yaitu dengan cara menguraikan data yang diperoleh dan menghubungkan satu dengan yang lain agar membentuk suatu kalimat yang tersusun secara sistematis, sedangkan dalam mengambil kesimpulan dan hasil analisis tersebut


(33)

penulis menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang dilaksanakan pada fakta-fakta yang bersifat khusus, yang kemudian dilanjutkan dengan pengambilan yang bersifat umum


(34)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

1. Polisi :

Nama : BRIPTU Yayan Sopiyan Umur : 26 Tahun

Jabatan : Anggota Krimsus Polda Lampung Pendidikan : SMA

2. Jaksa :

a. Nama : Hartono, S.H Umur : 46 Tahun

Jabatan : Jaksa Fungsionalis Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

Pendidikan : Sarjana Hukum (S1) b. Nama : Suyanto, S.H., M.H

Umur : 48 tahun

Jabatan : Kasi Pidsus Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Pendidikan : Magister Hukum (S2)


(35)

3. Akademisi Unila :

a. Nama : Syafruddin, S.H., M.H NIP : 19600207 198603 1 001 Umur : 49 Tahun

Jabatan : Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung Pendidikan : Magister Hukum (S2)

b. Nama : Prof. Dr. I Gede AB. Wiranata, S.H.,M.H NIP : 131804060

Umur : 47 Tahun

Jabatan : Ketua Bagian Jurusan Perdata Fakultas Hukum Unila Pendidikan : S3

B. Tindak Pidana yang Terdapat Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Menurut Hartono, tindak kejahatan di Internet merupakan perbuatan yang mempunyai pengetahuan dibidang internet yang mana kejahatan melalui internet merupakan kejahatan menggunakan fasilitas teknologi informasi dan tidak semua orang bisa melakukannya, pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya karena adanya niat dan kehendak, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang.

Dilihat dari perspektif hukum pidana, upaya penanggulangan cybercrime dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain aspek kebijakan kriminalisasi (formulasi


(36)

tindak pidana), aspek pertanggungjawaban pidana atau pemidanaan, dan aspek juridiksi.

Suyanto berpendapat pada dasarnya cybercrime meliputi semua tindak pidana yang berkenaan dengan informasi itu sendiri, serta sistem komunikasi yang merupakan sarana untuk penyampaian/pertukaran informasi itu kepada pihak lainnya.

Kebijakan penanggulangan cybercrime dengan hukum pidana termasuk bidang penal policy yang merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan. Dilihat dari sudur criminal policy, upaya penanggulangan kejahatan termasuk penanggulangan cybercrime, tidak dapat dilakukan semata-mata secara parsial dengan hukum pidana tetapi harus ditempuh pula dengan pendekatan integral.

Menurut Hartono, kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana.

Patut diketahui, kebijakan kriminalisasi harus memperhatikan harmonisasi internal dengan sistem hukum pidana atau aturan pemidanaan umum yang sedang berlaku saat ini. Sistem hukum pidana yang saat ini berlaku di Indonesia terdiri dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang ada di dalam KUHP dan UU khusus diluar KUHP. Keseluruhan peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana substansif itu terdiri dari aturan umum, Buku I KUHP dan aturan khusus, Buku II dan III KUHP dan dalam UU khusus di luar KUHP.

Aturan khusus ini umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum. UU ITE


(37)

adalah salah satu Undang-undang yang menyimpang dari ketentuan umum KUHP, terlihat dari materi muatan dan perumusan yang dilarang serta ketentuan pidana yang termuat didalamnya. Masalah perumusan sanksi pidana dan aturan pemidanaan dalam UU ITE tidak terlepas dari perumusan sanski berkaitan dengan jenis-jenis sanksi pidana, pelaksanaan pidana, dan ukuran atau jumlah lamanya pidana.

Perumusan perbuatan yang dilarang dalam UU ITE mencakup semua aktivitas yang merugikan sebagaimana dalam pasal 27-37, yaitu :

a. Mendistibusikan dan/atau menstranmisikan dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, memiliki muatan perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik serta pemerasan dan/atau pengancaman (Pasal 27 Ayat (1), (2), (3) dan (4) UU ITE).

b. Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik serta menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) (Pasal 28 Ayat (1) dan (2) UU ITE).

c. Mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakuti-nakuti yang ditujukan secara pribadi (Pasal 29 UU ITE).

d. Mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik orang lain dengan cara apa pun, dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan (Pasal 30 Ayat (1), (2) dan (3) UU ITE).


(38)

e. Melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, intersepsi atas transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat public dari, ke, dan di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan (Pasal 31 Ayat (1), (2),(3), dan (4) UU ITE).

f. Dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik public, memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik orang lain yang tidak berhak (Pasal 32 Ayat (1), (2) dan (3) UU ITE).

g. Melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektonik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektonik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya (Pasal 33 UU ITE).

h. Memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki :

1) Perangkat keras atau perangkat lunak komputer yang dirancang atau secara khusus dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai Pasal 33;

2) Sandi lewat komputer, kode akses, atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi dapat diakses dengan tujuan


(39)

memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 33 (Pasal 34 Ayat (1) dan (2) UU ITE).

i. Melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Inforamsi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik (Pasal 35 UU ITE).

j. Melakukan perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain (Pasal 36 UU ITE)

k. Melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 36 di luar wilayah Indonesia terhadap Sistem Elektonik yang berada di wilayah yurisdiksi Indonesia (Pasal 37 UU ITE).

UU ITE mengatur dua hal pokok yang berkaitan dengan penerapan sanksi pidana, agar hukum itu dipatuhi sekaligus ditakuti oleh setiap orang. Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh hukum. Sedangkan Pasal 45 sampai dengan Pasal 52 merupakan bentuk ancaman pidana yang dilanggar.

Ada hubungan yang signifikan antara ancaman pidana dengan perilaku yang dikehendaki oleh hukum. Setiap manusia dalam memanfaatkan dunia maya, dilakukan secara tertib, tidak merugikan kepentingan orang lain, karena efek samping ini tidak hanya terbatas pada wilayah Indonesia itu sendiri, akan tetapi juga memasuki dunia maya internasional.


(40)

Hukum akan memberikan efek terhadap sikap tindak seseorang, hal ini dapat diamati dari oerilaku melalui pancaindera, yang mencerminkan dari motivasi atau hasrat seseorang untuk bertindak dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Efek ini juga dapat dilihat dari perbandingan antara perilaku yang diatur oleh hukum, dengan yang tidak diatur, agar hukum itu mempunyai pengaruh terhadap sikap perilaku, diperlukan penciptaan kondisi-kondisi sehingga hukum dapat dikomunikasikan.

C. Barang Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti yang Sah

Kejahatan di bidang elektronik dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan alat elektronik (pada umumnya dengan menggunakan teknologi atau prasarana yang mendukung untuk melakukan kejahatan) dilakukan oleh seorang yang mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi.

Yayan Sopiyan berpendapat, untuk mengantisipasi si pelaku kejahatan di bidang kejahatan komputer, supaya mereka dapat terjaring dengan ketentuan mengenai kejahatan yang sesuai dengan apa yang mereka lakukan, dan tidak lagi dengan memakai hanya pasal-pasal yang ada dalam KUHP tetapi memakai pasal-pasal dalam Undang-undang lainnya agar lebih memberatkan pelaku.

Penegak hukum harus dapat membuktikan, agar pembuktian dengan alat elektronik ini dapat diterima sebagai alat bukti yang sah sebagaimana alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.


(41)

Pasal 184 ayat (1) KUHAP berisi : Alat bukti yang sah adalah : a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Mengacu kepada pendapat Yayan sopian tersebut apabila dihubungkan dengan pasal 184 KUHAP yang menjelaskan secara tegas beberapa alat-alat bukti yang dapat diajukan oleh para pihak yang berperkara di muka persidangan.

Sedangkan penjelasan Pasal 184 KUHAP dijelaskan ;

“Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup di dukung satu alat bukti yang sah”. Bertolak dari Pasal 184 dan penjelasannya tersebut, berarti kecuali pemeriksaan cepat, untuk mendukung keyakinan hakim diperlukan alat bukti lebih dari satu atau sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Untuk hal ini Pasal 183 KUHAP secara tegas dirumuskan bahwa” Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dengan demikian dalam KUHAP secara tegas memberikan legalitas bahwa di samping berdasarkan unsur keyakinan hakim, pembuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah adalah sangat diperlukan untuk mendukung unsur kesalahan dalam hal menentukan seseorang benar-benar terbukti melakukan tindak pidana atau tidak. Kemudian praktik yang berkembang, bahwa modus operandi kejahatan dibidang Cyber Crime tidak saja dilakukan dengan alat canggih tetapi kejahatan ini


(42)

benar-benar sulit menentukan secara cepat dan sederhana siapa sebagai pelaku tindak pidananya, ketika perangkat hukum dalam penegakan hukum pidana masih banyak memiliki keterbatasan. Fenomena hukum dalam upaya penanggulangan Cyber Crimes ini juga tampak memiliki kendala khususnya bila dikaitkan dengan sistem pembuktian menurut hukum pidana Indonesia, sebab sebagaimana dalam Pasal 184 KUHAP, bahwa alat-alat bukti mana secara legalitas tidak dapat diterapkan sebagai dasar pembuktian apabila kejahatan yang dilakukan dalam konteks “Cyber Crimes” secara nyata bukti-buktinya tidak mencocoki (tidak tergolong) rumusan alat bukti sebagai mana dikehendaki menurut KUHAP.

Menurut Suyanto, kemungkinan yang dapat dijadikan keterangan saksi ialah melalui hasil interaksi di dalam dunia cyber, seperti chatting dan e-mail antara pengguna internet, atau juga dapat melalui keterangan seorang administrator sistem komputer yang telah disertifikasi.

Menurut Syafruddin, surat adalah tanda baca yang mengandung pesan dari pembuat dan dipahami oleh penerima. Surat bisa dijadikan alat bukti yang sah dengan ketentuan hasil print out tersebut asli dan ada kaitannya dengan alat bukti yang lain.

Keterangan ahli menjadi signifikan penggunaannya jika jaksa mengajukan alat bukti elektronik untuk membuktikan kesalahan pelaku cybercrime. Peran keterangan ahli disini adalah untuk memberikan suatu penjelasan di dalam persidangan bahwa dokumen elektronik yang diajukan sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara umum. Hal ini diperlukan karena dalam praktiknya, para pelaku cybercrime dapat menghapus atau menyembunyikan aksi mereka agar tidak terdeteksi oleh aparat penegak hukum.


(43)

Merujuk pada terminology surat dalam kasus cybercrime mengalami perubahan dari bentuknya yang tertulis menjadi tidak tertulis dan bersifat on-line. Alat bukti surat dalam sistem komputer yang telah disertifikasi ada dua kategori , pertama bila sebuah sistem komputer yang telah disertifikasi oleh badan yang berwenang, maka hasil print out komputer dapat dipercaya keotentikannya. Kedua, bukti sertifikasi dari badan yang berwenang tersebut dapat dikategorikan sebagai alat bukti surat, karena dibuat oleh dan atau pejabat yang berwenang.

Jenis alat bukti surat lainnya dapat berupa bukti elektronik yang dapat dicetak atau print out dan surat yang terpampang dalam layar monitor sebuah jaringan komputer. Selama kedua bukti ini dikeluarkan/dibuat oleh yang berwenang dan sebuah sistem jaringan komputer tersebut dapat dipercaya, maka surat tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti surat sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP.

Mewujudkan suatu petunjuk dari bukti-bukti yang ditemukan dalam cybercrime akan sulit jika hanya mendasarkan pada keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa saja meskipun hal tersebut masih mungkin untuk diterapkan. Bisa saja apabila hakim dapat petunjuk yang diajukan di persidangan adalah bukti elektronik yang disertai keterangan ahli, maka petunjuk ini akan bersifat lebih kuat dan memberatkan terdakwa dibandingkan dengan petunjuk-petinjuk lain.

Dalam kasus cybercrime, keterangan terdakwa yang dibutuhkan terutama mengenai cara-cara pelaku melakukan perbuatannya, akibat yang ditimbulkan, informasi jaringan serta motivasinya. Keterangan terdakwa mengenai keemapt hal tersebut sifatnya adalah memberatkan terdakwa.


(44)

Dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia, terdapat beberapa doktrin pengelompokan alat bukti yang membagi alat-alat bukti ke dalam beberapa kategori, yaitu:

1. Oral Evindence

a. Perdata (keterangan saksi, pengakuan, dan sumpah)

b. Pidana (keterangan saksi, keterangan ahli, dan keterangan terdakwa) 2. Documentary Evidence\

a. Perdata (surat dan persangkaan) b. Pidana (surat dan petunjuk) 3. Material Evidence

a. Perdata (tidak dikenali)

b. Pidana (barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, barang yang merupakan hasil dari suatu tindak pidana, barang yang diperoleh dari suatu tindak pidana, dan informasi dalam arti khusus)

4. Electronic Evidence

a. Konsep pengelompokkan alat bukti menjadi alat bukti tertulis dan elektronim. Tidak dikenal di Indonesia.

b. Konsep tersebut terutama berkembang di negara-negara common law. c. Pengaturannya tidak melahirkan alat bukti baru, tetapi memperluas

cakupan alat bukti yang masuk kategori documentary evidence.

Lebih lanjut Suyanto menyatakan jika ada kejahatan atau persangkaan orang melakukan kejahatan di bidang elektronika maka dapat dipakai bukti petunjuk dan keterangan ahli sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1). Namun, apabila ingin


(45)

menghadirkan bukti dengan menggunakan alat elektronik, harus terlebih dahulu menyatakan bahwa hasil yang didapat benar-benar asli sesuai dengan yang sebenarnya atau si terdakwa lakukan.

Setiap apa yang dihasilkan dalam bidang elektronik, hendaknya mendapat pengesahan atau pengakuan dari pejabat yang berwenang, supaya apa yang dihasilkan benar sesuai dengan bentuk yang asli, sekalipun bentuk yang asli tersebut tidak dapat dihadirkan. Dengan menddunakan alat bukti petunjuk dan keterangan ahli sebagaimana tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP perlu diperjelas bahwa keterangan ahli yang dimaksud adalah orang yang benar-benar mengetahui dan mengerti tentang alat-alat bukti elektronik yang akan dihadirkan di persidangan untuk menguatkan bahwa si terdakwa benar-benar telah melakukan kejahatan di bidang elektronik.

Kejahatan terhadap komputer dan program komputer merupakan kejahatan yang sulit dibuktikan, karena dalam Pasal 184 KUHAP telah diberikan pembatasan berbagai alat bukti yang sah yang dapat digunakan sebagi dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan. Maka pembuktian kejahatan cyber terhadap komputer dan program komputer harus mengikuti ketentuan tersebut. Kini menjadi tugas Penuntut Umum untuk mengajukan alat-alat bukti tersebut di depan persidangan untuk memberikan keyakinan kepada hakim mengenai kesalahan terdakwa.

Dilihat dari hubungannya dengan perkembangan teknologi saat ini, alat bukti menurut KUHAP yang dapat digunakan dalam mengadili cybercrime adalah keterengan ahli, surat dan petunjuk. Ketiga alat bukti ini adalah alat-alat bukti


(46)

yang paling esensiiil memberi pembuktian yang maksimal sehubungan dengan kejahatan cyber yang semakin pesat perkembangannya. Tidak berarti keterangan saksi dan keterangan terdakwa bukan merupakan alat bukti yang penting, hanya saja kurang dapat memberikan pembuktian yang maksimal jika dibandingkan dengan ketiga alat bukti yang lain.

Mengenai alat-alat bukti dalam transaksi elektronik, Michael Chissik dan Alistair Kelman menyatakan ada tiga tipe pembuktian yang dibuat oleh komputer, yaitu : 1. Real Evidence

Meliputi kalkulasi-kalkulasi atau analisa-analisa yang dibuat oleh komputer itu sendiri melalui pengaplikasian software dan penerima informasi dari device lain.

2. Hearsay Evidence

Termasuk dalam hearsay evidence adalah dokumen-dokumen data yang diproduksi pleh komputer yang merupakan salinan dari informasi yang diberikan oleh manusia kepada komputer.

3. Derived Evidence

Adalah informasi yang mengkombinasikan antara bukti nyata dengan informasi yang diberikan oleh manusia ke komputer dengan tujuan unutk membentuk sebuah data yang tergabung.

Hartono menjelaskan dalam menghadapi kendala mengenai alat bukti perlu diupayakan jalan keluar dengan mengoptimalkan sarana hukum yang tersedia. Optimalisasi sarana hukum tersebut antara lain :


(47)

a. Dalam hal alat-alat bukti yang ada belum memenuhi aturan yang ada, maka alat bukti elektronik seperti rekaman secara hasil facsimile atau fotokopi dapat dijadikan petunjuk.

b. Apabila alat bukti tersebut ditunjang dengan keterangan ahli di bidangnya, misalnya ahli pita suara atau ahli lainnya yang menyatakan keaslian rekaman tersebut maka dapat dijadikan bukti yang sah.

Dalam sistem pembuktian terdapat macam-macam sistem atau teori pembuktian. Sistem atau teori pembuktian adalah:

1. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif. Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut Undang-undang disebut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif. Artinya jika tidak terbukti suatu perbuatan sesuai alat-alat bukti yang disebut undang-undang, maka keyakinan hakim diabaikan. 2. Sistem atau teori pembuktian berdasar undang-undang secara negative

Teori ini menyandarkan bahwa hakim dalam mengambil keputusan tentang salah satu atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan hakim sendiri.

3. Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim melulu.

Berdasarkan teori ini, di dalam menjatuhkan putusannya Hakim tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan putusannya tidaklah menjadi masalah, karena ia dapat menyimpulkan dari alat bukti yang ada dalam persidangan atau mengabaikan alat bukti yang ada dalam persidangan.


(48)

4. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakin atas alas an yang logis.

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannnya, keyakinan mana didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu alasan-alasan yang logis. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebutkan alasan-alasan keyakinannya.

Hartono menjelaskan hukum pidana menganggap bahwa pembuktian merupakan bagian yang sangat esensial untuk menentukan nasib seseorang terdakwa. Bersalah atau tidaknya seorang terdakwa sebagaimana yang didakwakan dalam surat dakwaan ditentukan pada proses pembuktiannya.

Dengan kata lain Hartono menjelaskan pembuktian merupakan suatu upaya untuk membuktikan kebenaran dari isi dakwaan yang disampaikan oleh para jaksa penuntut umu, yang kegunaannya untuk memperoleh kebenaran sejati terhadap: 1. Perbuatan-perbuatan manakah yang dianggap terbukti menurut pemeriksaan

persidangan.

2. Apakah telah terbukti bahwa terdakwa berslah atas perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya.

3. Tindak pidana apakah yang dilakukan sehubungan dengan perbuatan-perbuatan yang didakwakan kepadanya.

4. Hukuman apakah yang harus dijatuhkan kepada terdakwa bukan pekerjaan mudah.


(49)

Prof. Gede berpendapat Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah memperlebar pengertian alat bukti, yaitu apapun yang keluar dari sebuah perangkat alat elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti.

D. Ketentuan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Kejahatan Cybercrime

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia telah memberikan pengaturan yang jelas mengenai batas-batas berlakunya aturan perundang-undangan hukum pidana. Hal ini diatur dalam Bab I buku Kesatu KitabUndang-Undang Hukum Pidana yang terdiri dari Sembilan pasal mulai dari Pasal 1 sampai dengan Pasal 9. Berkenaan dengan pengaturan tersebut, Moeljatno mengemukakan bahwa dari sudut Negara ada dua kemungkinan pendirian, yaitu :

Pertama, perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi di dalam wilayah Negara, baik dilakukan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang asing (asas territorial).

Kedua, perundang-undangan hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga Negara, dimana saja, juga di luar wilayah Negara (asas personal), yang juga dinamakan prinsip nasional yang aktif.

Dari pernyataan tersebut diatas terlihat jelas bahwa pada hakikatnya untuk beberapa kasus yang melibatkan aspek asing di dalamnya (pelaku, tempat terjadinya, dan sebagainya). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah dapat diberlakukan sekalipun sifatnya masih terbatas, artinya belum dapat diterapkan untuk semua jenis kejahatan transnasional. Ada dua hal yang menyebabkan


(50)

pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana daya jangkaunya bersifat terbatas, yaitu :

1. Keterbatasan pengaturan mengenai jenis-jenis tindak pidana, hal ini sangat wajar terjadi mengingat “suasana” yang mempengaruhi pada saat penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita sangat jauh berbeda degan kondisi sekarang yang sarat dengan kemajuan teknologi informasi.

2. Keterbatasan dalam pengaturan mengenai pelaku tindak pidana, dalam era teknologi informasi seperti sekarang ini penentuan siapa yang dapat dikualifikasikan sebagai pelaku tindak pidana telah lebih kompleks sifatnya.

Berdasarkan hasil penelitian Widodo, sampai saat ini pengadilan Indonesia hanya menjatuhkan pidana penjara dan pidana denda terhadap pelaku cybercrime. Dasar hukum yang digunakan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan Undang-Undang (UU) di luar KUHP, misalnya UU Telekomunikasi, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Perbankan (Widodo, 2006:344). Secara teoretik, penjatuhan jenis pidana penjara dan pidana denda tersebut tersebut dapat mengundang perdebatan, karena selama ini pidana penjara dianggap sebagai pidana yang kurang efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan, meskipun mempunyai efek pencegahan umum (deterence effect) cukup andal. Bahkan Sudarto (1981:90) menegaskan bahwa sejak dahulu sampai saat ini efektivitas pidana penjara diragukan. Roger Hood (1967:73) mengemukakan bahwa “Most studies show that lengthy institutional sentences are no more successful than shorter alternatives”. Selain keraguan tersebut, pelaku cybercrime mempunyai karakteristik dan motivasi yang unik sehingga belum tentu sesuai


(51)

dengan karakteristik pidana penjara (Widodo, 2006:253) sehingga aneh jika hanya dijatuhi pidana penjara dan dibina di Lembaga Pemasyarakatan.

Saat ini, Indonesia belum memiliki undang - undang khusus cyber law yang mengatur mengenai cybercrime Tetapi, terdapat beberapa hukum positif lain yang berlaku umum dan dapat dikenakan bagi para pelaku cybercrime terutama untuk kasus-kasus yang menggunakan komputer sebagai sarana, antara lain :

a. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)

Dalam upaya menangani kasus-kasus yang terjadi para penyidik melakukan analogi atau perumpamaan dan persamaaan terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP. Pasal-pasal didalam KUHP biasanya digunakan lebih dari satu Pasal karena melibatkan beberapa perbuatan sekaligus pasal - pasal yang dapat dikenakan dalam KUHP pada cybercrime antara lain :

1. Pasal 362 KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu kredit milik orang lain walaupun tidak secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan software card generator di Internet untuk melakukan transaksi di e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang dikirimkan, kemudian penjual yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena pemilik kartu bukanlah orang yang melakukan transaksi.

2. Pasal 378 KUHP dapat dikenakan untuk penipuan dengan seolah olah menawarkan dan menjual suatu produk atau barang dengan memasang iklan di salah satu website sehingga orang tertarik untuk membelinya lalu mengirimkan uang kepada pemasang iklan. Tetapi, pada kenyataannya, barang tersebut tidak ada. Hal tersebut diketahui setelah uang dikirimkan


(52)

dan barang yang dipesankan tidak datang sehingga pembeli tersebut menjadi tertipu.

3. Pasal 335 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pengancaman dan pemerasan yang dilakukan melalui e-mail yang dikirimkan oleh pelaku untuk memaksa korban melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelaku dan jika tidak dilaksanakan akan membawa dampak yang membahayakan. Hal ini biasanya dilakukan karena pelaku biasanya mengetahui rahasia korban.

4. Pasal 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus pencemaran nama baik dengan menggunakan media Internet. Modusnya adalah pelaku menyebarkan email kepada teman-teman korban tentang suatu cerita yang tidak benar atau mengirimkan email ke suatu mailing list sehingga banyak orang mengetahui cerita tersebut.

5. Pasal 303 KUHP dapat dikenakan untuk menjerat permainan judi yang dilakukan secara online di Internet dengan penyelenggara dari Indonesia. 6. Pasal 282 KUHP dapat dikenakan untuk penyebaran pornografi maupun

website porno yang banyak beredar dan mudah diakses di Internet. Walaupun berbahasa Indonesia, sangat sulit sekali untuk menindak pelakunya karena mereka melakukan pendaftaran domain tersebut diluar negeri dimana pornografi yang menampilkan orang dewasa bukan merupakan hal yang ilegal.

7. Pasal 282 dan 311 KUHP dapat dikenakan untuk kasus penyebaran foto atau film pribadi seseorang yang vulgar di Internet , misalnya kasus-kasus video porno para mahasiswa.


(53)

8. Pasal 378 dan 262 KUHP dapat dikenakan pada kasus carding, karena pelaku melakukan penipuan seolah-olah ingin membeli suatu barang dan membayar dengan kartu kreditnya yang nomor kartu kreditnya merupakan curian.

9. Pasal 406 KUHP dapat dikenakan pada kasus deface atau hacking yang membuat sistem milik orang lain, seperti website atau program menjadi tidak berfungsi atau dapat digunakan sebagaimana mestinya

b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Menurut Pasal 1 angka (8) Undang - Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, program komputer adalah sekumpulan intruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema ataupun bentuk lain yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam merancang intruksi-intruksi tersebut. Hak cipta untuk program komputer berlaku selama 50 tahun (Pasal 30). Harga program komputer/ software yang sangat mahal bagi warga negara Indonesia merupakan peluang yang cukup menjanjikan bagi para pelaku bisnis guna menggandakan serta menjual software bajakan dengan harga yang sangat murah.

Misalnya, program anti virus seharga $ 50 dapat dibeli dengan harga Rp20.000,00. Penjualan dengan harga sangat murah dibandingkan dengan software asli tersebut menghasilkan keuntungan yang sangat besar bagi pelaku sebab modal yang dikeluarkan tidak lebih dari Rp 5.000,00 perkeping.


(54)

Maraknya pembajakan software di Indonesia yang terkesan “dimaklumi” tentunya sangat merugikan pemilik hak cipta. Tindakan pembajakan program komputer tersebut juga merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (3) yaitu “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) “.

c. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Menurut Pasal 1 angka (1) Undang - Undang No 36 Tahun 1999, Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dan setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Dari definisi tersebut, maka Internet dan segala fasilitas yang dimilikinya merupakan salah satu bentuk alat komunikasi karena dapat mengirimkan dan menerima setiap informasi dalam bentuk gambar, suara maupun film dengan sistem elektromagnetik. Penyalahgunaan Internet yang mengganggu ketertiban umum atau pribadi dapat dikenakan sanksi dengan menggunakan Undang- Undang ini, terutama bagi para hacker yang masuk ke sistem jaringan milik orang lain sebagaimana diatur pada Pasal 22, yaitu Setiap orang dilarang melakukan perbuatan tanpa hak, tidak sah, atau memanipulasi:

1. Akses ke jaringan telekomunikasi 2. Akses ke jasa telekomunikasi


(55)

Apabila anda melakukan hal tersebut seperti yang pernah terjadi pada website KPU www.kpu.go.id, maka dapat dikenakan Pasal 50 yang berbunyi “Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”

d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan media lainnya (alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau ditransformasikan. Misalnya Compact Disk - Read Only Memory (CD - ROM), dan Write - Once -Read - Many (WORM), yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang tersebut sebagai alat bukti yang sah.

e. Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang yang paling ampuh bagi seorang penyidik untuk mendapatkan informasi mengenai tersangka yang melakukan penipuan melalui Internet, karena tidak memerlukan prosedur birokrasi yang panjang dan memakan waktu yang lama, sebab penipuan merupakan salah satu jenis tindak pidana yang termasuk dalam pencucian uang (Pasal 2 Ayat (1) Huruf q). Penyidik dapat meminta kepada bank yang menerima transfer untuk memberikan identitas dan data perbankan yang


(56)

dimiliki oleh tersangka tanpa harus mengikuti peraturan sesuai dengan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan. Dalam Undang-Undang Perbankan identitas dan data perbankan merupakan bagian dari kerahasiaan bank sehingga apabila penyidik membutuhkan informasi dan data tersebut, prosedur yang harus dilakukan adalah engirimkan surat dari Kapolda ke Kapolri untuk diteruskan ke Gubernur Bank Indonesia. Prosedur tersebut memakan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan data dan informasi yang diinginkan. Dalam Undang-Undang Pencucian Uang proses tersebut lebih cepat karena Kapolda cukup mengirimkan surat kepada Pemimpin Bank Indonesia di daerah tersebut dengan tembusan kepada Kapolri dan Gubernur Bank Indonesia, sehingga data dan informasi yang dibutuhkan lebih cepat didapat dan memudahkan proses penyelidikan terhadap pelaku, karena data yang diberikan oleh pihak bank, berbentuk: aplikasi pendaftaran, jumlah rekening masuk dan keluar serta kapan dan dimana dilakukan transaksi maka penyidik dapat menelusuri keberadaan pelaku berdasarkan data– data tersebut. Undang-Undang ini juga mengatur mengenai alat bukti elektronik atau digital evidence sesuai dengan Pasal 38 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

f. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Selain Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, Undang-Undang ini mengatur mengenai alat bukti elektronik sesuai dengan Pasal 27 huruf b yaitu alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan


(57)

secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Digital evidence atau alat bukti elektronik sangatlah berperan dalam penyelidikan kasus terorisme, karena saat ini komunikasi antara para pelaku di lapangan dengan pimpinan atau aktor intelektualnya dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas di Internet untuk menerima perintah atau menyampaikan kondisi di lapangan karena para pelaku mengetahui pelacakan terhadap Internet lebih sulit dibandingkan pelacakan melalui handphone. Fasilitas yang sering digunakan adalah e-mail dan chat room selain mencari informasi dengan menggunakan search engine serta melakukan propaganda melalui bulletin board atau mailing list.

g. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi & Transaksi Elektronik

Undang-undang ini, yang telah disahkan dan diundangkan pada tanggal 21 April 2008, walaupun sampai dengan hari ini belum ada sebuah PP yang mengatur mengenai teknis pelaksanaannya, namun diharapkan dapat menjadi sebuah undang-undang cyber atau cyberlaw guna menjerat pelaku-pelaku cybercrime yang tidak bertanggungjawab dan menjadi sebuah payung hukum bagi masyarakat pengguna teknologi informasi guna mencapai sebuah kepastian hukum.


(1)

MOTTO

You were not born a winner and you were not born a loser. You are what you make yourself be.

(Arina Fersa)

Life is like music, it must be composed by ear, feeling and insting, not by rule (Samuel Butler)

Life is the game that must be played. (Edwin Arlington)


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, 3 Oktober 1988. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Hi. Arbarino.B.,S,H dan Ibu Hj. Herdina Farial.,S,H

Pada tahun 1993 penulis mengawali jenjang pendidikan di Taman Kanak-Kanak (TK) Budi Bhakti Persit Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 1994. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Kartika II-5 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2003, dan Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 10 Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2006.

Tahun 2006 penulis tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan mengambil bagian Hukum Pidana. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif berorganisasi internal kampus pada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM FH) Unila periode 2008-2009. Penulis mengikuti Praktik Kerja Lapangan Hukum (PKLH) studi banding di Jakarta dan Bandung pada tahun 2009.


(3)

SANWACANA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Kemudian shalawat beriring salam penulis panjatkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW sebagai pengemban risalah islam dengan mewarisi ilmu kepada umatnya yang telah tersebar kepada seluruh pelosok dunia.

Adapun judul skripsi ini adalah Identifikasi Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penulis sangat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan semua pihak baik secara material dan spiritual. Oleh karena itu perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Bapak Hi. Adius Semenguk, S.H.,M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati , S.H.,M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung yang telah memberikan arahan dan membantu selama penulis menjalankan studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Bapak Tri Andrisman, S.H.,M.H. selaku sekertaris Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Perdata Universitas Lampung;

4. Ibu Diah Gustiniati, S.H.,M.H selaku Pembimbing I atas segala petunjuk, arahan dan bimbingan serta nasehat dalam proses penyelesaian skripsi ini;


(4)

5. Bapak Tri Andrisman, S.H.,M.H. selaku Pembimbing II atas arahan dan masukan selama penulis melakukan penulisan skripsi ini;

6. Ibu Firganeffi, S.H.,M.H. selaku Pembahas I yang telah memberikan masukan saran dan kritikannya dalam penyusunan skripsi ini;

7. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H.,M.H. selaku Pembahas II yang telah memberikan masukan saran dan kritikannya dalam penyusunan skripsi ini; 8. Bapak Eko Raharjo, S.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah

membantu dan memberikan arahan kepada penulis dalam menjalankan studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

9. Bapak dan ibu PD I, PD II, PD III serta seluruh staf bagian akademik, bagian kemahasiswaan, bagian tata usaha Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah banyak membantu penulis selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung;

10.Bapak dan ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang selama ini terus membimbing penulis dari awal hingga akhir dalam menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

11.Bapak Syafruddin.,S,H.,M,H dan Prof.Dr.I Gede A.B.Wiranata, S.H., M.H. selaku responden, yang telah memberikan arahan dan bantuan dalam penyusunan skripsi ini;

12.Kedua Orang Tuaku Mama dan Papa yang telah membesarkan aku sehingga aku dapat menyelesaikan studi hingga jenjang S-1 dan kepada kakakku M.Rinaldo.,S,iKOM;

13. Kedua nenekku yang senantiasa selalu bertanya ”Kapan selesai kuliah?” Embah dan Nyonya dan juga Uyut, semoga Embah, Nyonya dan Uyut selalu


(5)

dilindungi Allah SWT dan diberikan kesehatan sehingga nanti dapat merasakan kesuksesan aku.

14.Para orang tua Abik, Abi, Mami, Bunda, Abah, Ibu, Ayah, Ina, Amma, Tut, dan Maksu. Kepada Adik-adik Gabby, Eza, Ezi, Adel, Ai, Rafly, Sasha, Aura,Rayya terimakasih telah memberika doa dan dukungannya.

15.Angga Yustian yang telah banyak membantu baik dari dukungan moril dan tenaga sehingga skripsi ini dapat terselesaikan;

16.Sahabat-sahabatku Irene, Ime, Dindul, Jesika, Ning, Inong, Ucay, Gema, Giri, Qq Gendut, Pandu (semoga secepatnya kalian semua bisa menyusul menjadi sarjana berikutnya) dan Kede (Ditha.,S.SoS);

17.Sahabat-Sahabatku dikampus, para pensiunan pejabat BEM dan DPM 2008-2009 yang beralih profesi jadi pengusaha cafe world Aziza, Ledi, Rida, Winny, Bogel, Dian, Christine, Elvina;

18.Sahabat-sahabat SMAku Ale, Cunay, Ijan, Acong, Anski, Dina dan juga kepada teman-temanku yang telah membantu dan memberikan saran Mijoy, Itul, Iko, Pey.

19.Kawan-kawan angkatan 2006 Aceng, Lukman, Sarah, Mochi, Putri, Nia, Muli, Karina, Esa, Jack, Puja, Uli, serta seluruh angkata 2006 yang telah bersama-sama melewati masa-masa ospek, kuliah berbersama-sama dan ujian berbersama-sama (good luck for all)

20.Kawan-kawan angkatan 2004, 2005, 2007 (Ajus, Bobby, Madha, Pupa, Ayang, Ari, Kemal, Intan, Ajeng, Edo, Ray, Iam, Komeng, Sona, dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu), 2008 dan 2009 terimakasih telah memberikan banyak pengalaman tentang arti pentingnya kebersamaan.


(6)

Dengan segala kekurangan dan keterbatasan ilmu yang dimiliki, penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, kepada Allah SWT penulis memanjatkan doa semoga Allah berkenaan menerima hasil karya ini sebagai amal ibadah penulis dan bermanfaat bagi mereka yang membacanya.

Bandar Lampung, Februari 2010 Penulis