DATA ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

(1)

DATA ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG

INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

SKRIPSI

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan oleh :

Nama : RAHMAT RAMADHAN Nim : 20110610153

Bagian : PIDANA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN

Bismillahirrahmanirrahim

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Rahmat Ramadhan

NIM : 20110610153

Judul Skripsi : DATA ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Dengan ini menyatakan bahwa penulisan skripsi ini berdasarkan hasil penelitian, pemikiran dan penerapan dari diri saya sendiri. Jika terdapat karya orang lain, maka saya akan mencantumkan sumber yang jelas. Apabila dikemudian hari terdapat pernyataan yang tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Demikian pernyataan ini saya buat sebenar-benarnya tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.

Yogyakarta, 3 Januari 2017


(3)

MOTTO

If You Fail To Plan, You Are Planning To Fail (Rahmat Ramadhan)

Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan lain). Dan hanya kepada

tuhanmulah engkau berharap (Q.S Al-Insyirah, 6-8)

As you Cannot do what you want, Want what you can do (Leonardo da Vinci) “Orang yang berprestasi jarang berdiam diri dan menungu sesuatu terjadi,

Orang itu bergerak dan mengerjakan sesuatu” (Andrea Verrocchio)


(4)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan menucapkan syukur Alhamdulillah berkat rahmat serta izin dari Allah S.W.T ku persembahkan karya kecilku ini untuk orang-orang yang saya sayangi kepada :

1. Keluargaku Bapak dan Ibu tercinta, Bapak Suparmin Latief dan Ibu Sherlifa, motivator terbesarku dalam hidup yang tak pernah jemu mendoakan dan menyayangi diriku atas semua pengorbanan dan kesabaran mengantarku hingga ke Perguruan tinggi.

2. Kakak kandungku drg. Purwanti Nancy dan Suaminya kakak drg. Ferry Yudha yang selalu memberikan support, menceramahi, serta selalu memberikan support agar selalu menyelesaikan studiku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, dan Hidayahnya yang telah membuat bumi sebagai hamparan yang luas, dan langit sebagai atapnya. Shalawat serta salam kita panjatkan atas junjungan Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari jurang kenistaan menuju bukit yang terang benerang hingga saat ini. Berkat izin Allah SWT penulis mampu

menyusun skripsi ini yang berjudul “DATA ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG NO.11 TAHUN 2008 TENTANG IMFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK” untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana strata 1 pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Selesainya skripsi ini berkat bantuan serta bimbingan yang tulus dan ikhlas dari beberapa pihak. Dan tidak mengurangi rasa hormat dan terima kasih, secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam dalamnya kepada :

1. Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.Hum. Selaku dosen pembimbing skripsi I dan selaku dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah memberi kesempatan penulis untuk menulis skripsi.

2. Mukhtar Zuhdy,S.H., M.H. Selaku dosen pembimbing skrispsi II atas segala saran dan kritik yang bermanfaat selama membimbing penulis. Tak lupa pula juga atas kesediaanya untuk mendidik, memberikan arahan dan


(6)

dukungan-dukungan dalam memberikan masukan kepada penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Seluruh karyawan dan staff Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Bapak Maman, Pak Ardhani, Pak Dirman, Pak Heru, Pak Djoko, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan semuanya yang telah membantu dan memberikan informasi selama saya kuliah dan menyusun skripsi di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 4. Kepada semua dosen fakultas hukum yang tidak lelah memberikan ilmu dan

mengajari saya selama ini.

5. Keluargaku tersayang Bapak Suparmin Latief dan Ibu Sherlifa, Kakakku Purwanti Nancy dan kakak iparku Muhammad Ferry Yudha.

6. Saudaraku Annisya Pricilia Kartika, Reizsa Yoan Kartika, Farah Fadillah Ulfa, dan Rizki Ramadhan.

7. Pacarku yang selalu sabar dan bawel Dini Yuniyanti SH yang selalu mendoakan, dan ceramahnya untuk selalu memberikan support agar dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Untuk keluarga kontrakan barokah II Kholis Arrohman,Rahmanda hasibuan,Rhendy Hermanto, Aziz Yuliansyah, Abdul, Joni, Sadam, dan Tyo 9. Untuk sahabat SMAku Andika Anggiriawan, Magestha Hikma Putra, Gaga Candra Pradipta, Nurul Innayah, Ichak Baskoro, Faisya Ayu, Leonita Agustina, Retno Intan dan yang tak bisa kusebutkan satu persatu.


(7)

10.Sahabat-sahabat seperjuangan dalam menyelesaikan skripsi dan selalu memberi support Andrae Sutrisno, Raga, Isa Diandra, Thony Duta, Danu Panji beserta istrinya Windi Arya.

11.Untuk Keluarga besar Travellaw yang terlebih dahulu meningalkan saya dengan cepat setelah Wisuda, Ani Widi Astuti, Riska Wijayanti, Rinna Masitoh, Fikri, Yoyok, Ika Lusiati, Ayu Afiatul Kamala, Jamilatul Maulidiya, Septine Yuspita Widia, Muchtar Beby, Dian Solihatun.

12.Untuk seluruh sahabat Travellaw yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Yang akan selalu merindukan kebersamaan kita selama ini, Traveling, Camping, Touring dan kegiatan lainnya.

13.Untuk Warga Dusun Kaliadem, Desa Kepuharjo, Cangkringan Merapi dan Mentor motor Trail saya Mas Eko yang membuat saya menyukai olahraga motor trail.

14.Teman teman selama kuliah yang saya rindukan, Ibnu, Tarina, Bulan, Rahmi harahap, Erlita wandani, Renita, Arie Suryawiata,Naseha Elkarima,Mia Elvina, Novelya Niken, dan yang tak bisa kusebutkan satu persatu.

15.Sahabat NDOBOS CREW, Ahmad, pak de Cholis, Adi Setya, Aziz Nuzula, Guntur, Hifzan, Khairul Anwar, Syafaat, dan mereka yang tak bisa saya sebutkan satu persatu.

16.Sahabat sahabat KKN 30 dan Warga Kalakijo, Pajangan, Bantul yang telah menjadi keluarga serta memberikan pengalaman selama ini.


(8)

17.Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu baik materiil maupun non materiil sehingga skripsi ini dapat Tersusun.

Yogyakarta, 3 Januari 2017 Penulis,


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ... Error! Bookmark not defined.

LEMBAR PENGESAHAN ... Error! Bookmark not defined.

PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN ... 1

MOTTO ... 2

HALAMAN PERSEMBAHAN ... 3

KATA PENGANTAR ... 4

ABSTRAK ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR ISI ... 8

BAB I PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined.

A. Latar Belakang Masalah ... Error! Bookmark not defined.

B. Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined.

C. Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

D. Tinjauan Pustaka ... Error! Bookmark not defined.

E. Metode Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

F. Sistematika Penulisan Skripsi ... Error! Bookmark not defined.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DATA ELEKTRONIK... Error! Bookmark

not defined.

A. Pengertian Data Elektronik ... Error! Bookmark not defined.

B. Klasifikasi Bukti Elektronik ... Error! Bookmark not defined.

C. Pengaturan Mengenai data Elektronik ... Error! Bookmark not defined.

BAB IIIError! Bookmark not defined. PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK

DALAM PERKARA PIDANA ... Error! Bookmark not defined.

A. Pengertian pembuktian ... Error! Bookmark not defined.

B. Sistem pembuktian... Error! Bookmark not defined.

C. Alat-alat bukti menurut KUHAP ... Error! Bookmark not defined.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS ... Error! Bookmark not defined.

A. Penerapan Pembuktian Data Elektronik Sebagai Alat Bukti Elektronik Dalam

Perkara Pidana Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi

Dan Transaksi Elektronik ... Error! Bookmark not defined.

B. Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik ... Error! Bookmark not defined.

BAB V PENUTUP ... Error! Bookmark not defined.


(10)

B. Saran ... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined.

A. Buku-Buku ... Error! Bookmark not defined.

B. Peraturan Perundang-undangan ... Error! Bookmark not defined.


(11)

ABSTRAK

Penulisan skripsi ini dilatar belakangi oleh sulitnya lembaga hukum seperti pengadilan dalam hal melaksanakan pembuktian perkara pidana yang berhubungan dengan Data Elektronik. Karena mengingat bahwa sarana dan prasarana yang dimiki oleh lembaga hukum kita belum cukup memenuhi standar kelayakan di lembaga-lembaga hukum di Indonesia maupun mengatasi permasalahan yang ada yang berkaitan dengan Data Elektronik. Tujuan penulisan skripsi ini untuk dapat mengetahui bagaimana penerapan pembuktian data elektronik sebagai alat bukti elektronik dalam perkara pidana menurut undang-undang no. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik dan bagaimana kekuatan alat bukti elektronik dalam undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik data elektronik yang dimaksud dengan data elektronik menurut undang-undang nomor 11 tahun 2008.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian dengan jenis penelitian normatif. Dalam penulisan skripsi ini, penelitan normatif dilakukan dengan cara meneliti asas-asas hukum pidana dan asas-asas hukum acara pidana. Dalam penelitian ini dilakukan dengan meneliti penerapan hukum terhadap perkara pidana yang berhubungan dengan Data elektronik dan kemudian metode analisis penelitian menggunakan metode deskriptif, metode analisis yang digunakan untuk memaparkan suatu fenomena secara rinci dan jelas.

Data elektronik yang dimaksud menurut undang-undang tentang Informasi Transaksi Elektronik adalah alat bukti yang memiliki Informasi Elektronik atau Dokumen Elektronik yang hasil dari cetak (hard copy) dari perkara pidana yang berhubungan dengan Data Elektronik. Penemuan hukum merupakan kegiatan utama dari hakim dalam melaksanakan undang-undang apabila terjadi peristiwa kongkrit. Dalam penafsiran hukum bukti elektronik ke dalam bentuk barang bukti atau alat bukti surat maupu petunjuk ini menggunakan metode penemuan hukum interpretasi Ekstensif.

Pembuktian data elektronik sebagai alat bukti elektronik dalam perkara pidana menurut UU ITE tidak lepas dari keberadaan alat bukti pada KUHAP. Kekuatan alat bukti elektronik dalam UU ITE dapat dikatakan sebagai perluasan dari alat bukti surat atau petunjuk, yang merupakan alat bukti yang sah dan dapat dihadirkan di persidangan setelah hakim melakukan penemuan hukum dan menyatakan bahwa bukti elektronik merupakan alat bukti yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum serta memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem pembuktian era teknologi informasi sekarang ini mengahadapi tantangan besar yang memerlukan penanganan serius, khususnya dalam kaitan dengan upaya pemberantasan kejahatan di dunia maya (cyber Crime).1Khususnya di Indonesia perkembangan teknologi informasi semakin pesat dan pengunaannya pun semakin banyak tetapi perkembangan ini tidak diimbangi dengan perkembangan produk hukumnya. Data atau informasi elektronik kemudian diolah dan di proses dalam satu sistem elektronik dalam bentuk digital. Dengan kemajuan informasi yang pesat, diiringi dengan terjadinya perikatan antara pihak yang dilakukan dengan pertukaran informasi untuk melakukan transaksi perdagangan secara elektronik di ruang lingkup dunia maya.

Transaksi elektronik sering disebut sebagai “online contract” yang sebenarnya adalah transaksi yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking) dari sistem informasi berbasiskan komputer (computer-based

information system) dengan sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan

jasa telekomunikasi (telecommunication-based), yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global internet.2 Kerap timbul dampak negatif dari

1 Didik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom, 2005, Cyber law-Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung, Refika Aditama, Hlm 97.

2

Edmon Makarim, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta,Rajagrafindo Persada, Hlm 223.


(13)

perkembangan teknologi informasi tersebut, salah satu contohnya yaitu seperti pencemaran nama baik melalui dunia maya atau sosial media. Secara teknis, informasi dan/atau sistem informasi itu sendiri sangat rentan untuk tidak berjalan sesuai sebagaimana seharusnya atau malfunction, dapat diubah–ubah ataupun diterobos oleh pihak lain. Untuk melindungi kerahasiaannya, diperlukan keamanan data, keamanan komputer serta jaringannya.

Berbagai jenis media berbasis teknologi sebagai saluran informasi dan komunikasi seakan tidak mau kalah untuk melakukan inovasi-inovasi yang menawarkan banyak fasilitas penunjang aktifitas manusia. Komputer dan internet adalah media yang sangat populer dan paling banyak menarik perhatian masyakarakat sekarang ini. Dengan sebuah komputer yang tersambung dengan jaringan internet, aktifitas manusia dibidang yang terkait dengan komputer seperti di bidang perdagangan, industri, maupun pemerintahan dapat dilakukan secara cepat, mudah, praktis, dan tanpa batas.

Diberbagai negara, akses internet secara bebas dapat dengan mudah untuk didapatkan. Dengan biaya yang terjangkau, pengguna internet bukan saja dari golongan menegah keatas, namun juga telah merambah hingga golongan menegah kebawah. Siapapun dapat mengakes internet tanpa terkecuali. Sistem pengoprasian internet yang dengan mudahnya dijalankan menjadi faktor pendorong dekatnya terknologi internet dengan masyarat luas kini.

Pertumbuhan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat mendorong pula munculnya kejahatan didalamnya. Kejahatan dibidang teknologi informasi dan komunikasi khusunya kejahatan yang terkait


(14)

dengan internet ini biasa disebut dengan kejahatan mayantara atau dalam bahasa inggrisnya Cyber Crime. Cyber Crime merupakan suatu ancaman yang timbul dimana seseorang mempunyai akses illegal ke dalam jaringan komputer, merusak jaringan, mengubah suatu tampilan dengan tampilan lain yang merugikan banyak pihak dan pencemaran nama baik oleh beberapa orang. Disinilah lahirnya perilaku-perilaku menyimpang dengan memanfaatkan teknologi yang lebih canggih sebagai alat untuk mencapai tujuan, dengan melakukan kejahatan.

Latar belakang munculnya kejahatan mayantara ini mayoritas didorong dengan motif lain seperti motif politik, ekonomi atau kriminal yang berpotensial menimbulkan kerugian bahkan perang informasi. Para pelaku kejahatan mayantara dapat melirik celah yang memungkinkan melakukan kejahatan tersebut denga aman dan terlepas dari jeratan hukum. Kejahatan mayantara menjadi peluang bagi pelaku untuk melakukan tindak pidana mayantara serta minimnya aturan hukum yang detil yang mengatur tindak pidana mayantara. Aturan yg mengatur tentang kejahatan mayantara di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Banyak kejahatan konvensional yang dilakukan dengan modus operandi yang sangat canggih, dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan.3 Kegiatan perbankan yang memiliki potensi

kejahatan di dunia maya antara lain yaitu layanan online shoping yang memberikan fasilitas pembayaran melalui kartu kredit (Credit Card Fraud). Terdapat kejahatan

3

Krisnawati, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, , Jakarta, Pena Pundi Aksara, Hlm 3.


(15)

dunia maya yang berhubungan dengan nama domain. Nama domain (domain name) digunakan untuk mengidentifikasi perusahaan dan merk dagang. Namun banyak orang yang mencoba menarik keuntungan dengan mendaftarkan domain nama perusahaan orang lain dan kemudian menjualnya dengan harga yang lebih mahal. Pekerjaan ini mirip dengan calo karcis. Istilah yang sering digunakan adalah cybersquatting.

Kasus klikbca merupakan kasus domain name yang memanfaatkan kesalahan ketik yang mungkin dilakukan oleh nasabah. Steven Haryanto membeli domain-domain yang serupa www.klikbca.com dimana isi dari tiap situs palsu tersebut sangat mirip dengan situs asli BCA. Kunci dari keberhasilan dari kasus ini adalah apabila terjadi salah ketik oleh nasabah. Berdasarkan hal ini, kasus klikbca.com merupakan “typosquatting”.4 Dengan adanya penyalahgunaan didalam transaksi

elektronik tersebut karena terbentuk dari suatu proses elektronik, akan menyebabkan objeknya berubah, barang menjadi data elektronik dan alat buktinya pun bersifat elektronik.

Mengacu pada ketentuan hukum positif di Indonesia, ada beberapa peraturan Perundang-undangan yang telah mengatur mengenai alat bukti elektronik (digital

evidence) sebagai alat bukti yang sah dimuka pengadilan. Salah satu contohnya

yaitu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang. Terhadap tindak pidana yang telah memiliki aturan hukum yang mengatur mengenai alat bukti elektronik (digital evidence) bukanlah suatu masalah. Namun, bagi perbuatan

4

Hukum online____, klikbca.com typosquatting atau phishing?, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4936/klikbca.com-typosquatting-atau-phishing?


(16)

melanggar hukum yang belum memiliki aturan hukum khusus mengenai bukti elektronik sebagai alat bukti dalam elektronik sebagai alat bukti yang sah dimuka pengadilan, oleh karena itu diperlukan kecakapan aparat penegak hukum untuk melihat dan menerjemahkan bukti elektronik yang ada menjadi alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai alat bukti yang sah di muka pengadilan.

Mengingat bahwa pada asasnya, hakim tidak dapat menolak setiap perkara yang diajukan ke persidangan dengan dalil yang tidak ada dasar hukumnya. Berdasarkan uraian diatas, penulis memilih judul skripsi yaitu: “Data Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perkara Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana Penerapan Pembuktian Data Elektronik sebagai alat bukti elektronik dalam perkara pidana menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

2. Bagaimana kekuatan alat bukti elektronik dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

C. Tujuan Penelitian

Dari latar belakang dan rumusan masalah yang diajukan, maka tujuan penelitian dari penulisan skripsi ini adalah untuk :


(17)

1. Untuk mengetahui penerapan Data Elektronik sebagai alat bukti elektronik dalam pemeriksaan perkara pidana menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.

2. Untuk mengetahui kekuatan alat bukti elektronik dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik.

D. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan umum tentang data elektronik

Dalam pengertian informasi, kita harus mengetahui terlebih dahulu akar dari informasi tersebut yaitu, data. Menurut Turban, Rainer dan Potter “Data are raw facts or elementary description of things, events, activities, and transactions that are captured, recorded,stored, and classified, but not organized to convey any

specific meanning”. Data ialah gambaran dasar, fakta-fakta awal yang belum

terperinci dari perihal, peristiwa, kegiatan, dan transaksi yang ditangkap, direkam dan disimpan.5

Pengertian informasi menurut Turban, Rainer dan Potter, “information is a collection of facts organized in some manner so that they are meaningful to a recipient, for example, if we include costumer names with bank ballances, we would

have useful information.” “Contoh informasi ialah saldo rekening bank yang

disertai dengan identitas pemegang rekening”.6 Dengan kata lain, informasi

5 Turban,Rainer, dan Potter., Introduction to Information Technology “Edmon Makarim. Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta,Rajagrafindo Persada, Hlm. 31 (terjemahan bebas penulis)


(18)

bersumber dari data yang telah diproses. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi elektronik, ataupun tanda tangan elektronik.

Data/Informasi yang telah diolah oleh sistem informasi secara elektronik tersebut, akan tersimpan didalam suatu media tertentu, yang dinamakan dokumen elektronik. Sistem penyimpanan data dan/atau informasi elektronik yang berbasikan komputer dinamakan Databases dan data yang dikomunikasikan melalui media telekomunikasi dinamakan Data Messages. Apabila kita merujuk pada Keppres No.8 Tahiun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (“UUDP”), dapat kita cermati pengertian Dokumen Perusahaan adalah data, catatan, dan atau keterangan yang dibuat dan/atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya baik tertulis diatas kertas atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar. Adapun yang menarik dari keberadaan Undang-Undang Pokok Kearsipan dan Dokumen perusahaan diatas ialah terbukanya pemahaman mengenai keberadaan suatu informasi Yang tersimpan secara elektronik (arsip elektronik).

Definisi mengenai kejahatan komputer atas penyalahgunaan komputer dibagi dua bidang utama. Pertama, penggunaan komputer sebagai alat untuk melakukan kejahatan, seperti pencurian. Kedua, komputer tersebut merupakan objek atau sasaran dari tindak kejahatan tersebut, seperti sabotase yang menyebabkan komputer tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, pencurian data atau pencemaran nama baik.


(19)

Menurut Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya ”

Ketentuan di atas adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Untuk dapat menjatuhkan hukuman diisyaratkan terpenuhi dua syarat yaitu :

a. Alat bukti yang sah (wettige bewijsmiddelen). b. Keyakinan hakim (overtuiging des rechters).

Disebut pertama dan kedua satu sama lain berhubungan sedemikian rupa, dalam arti bahwa yang disebut terakhir adalah dilahirkan dari yang pertama. Sesuai dengan ini, kita juga mengatakan adanya keyakinan yang sah (wettige overtuiging), atau keyakinan yang diperoleh dari alat-alat bukti yang sah (wettige

bewijsmiddelen).

Hanya satu bukti saja, umpama dengan keterangan sorang saksi, tidak memperoleh bukti yang sah, tetapi harus dengan keterangan beberapa alat bukti. Dengan demikian kata-kata “alat-alat bukti yang sah” mempunyai kekuatan dalam arti yang sama dengan “bukti yang sah”. Selain bukti yang demikian diperlukan juga keyakinan hakim yang harus diperoleh atau ditimbulkan dari “alat-alat bukti yang sah”

Yang dimaksud dengan alat bukti yang sah dapat dilihat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, ialah sebagai berikut :


(20)

a. Keterangan saksi;

Pada umumnya, setiap orang dapat menjadi saksi dimuka persidangan. Terkecuali menjadi saksi yang tercantum dalam Pasal 186 KUHAP, yaitu :

1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

3) Suami atau istri terdakwa meskipun telah bercerai atau bersama-sama sebagai terdakwa.

b. Keterangan ahli;

Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan yang kedua setelah keterangan saksi oleh Pasal 183 KUHAP. Didalam Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan saksi seorang ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Tidak diberikan penjelasan yang khusus mengenai apa yang dimaksud dengan keterangan ahli menurut KUHAP.


(21)

Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat-alat bukti secara limitatif, didalam Pasal 187 diuraikan tentang alat bukti sarat yang terdiri dari 4 butir

d. Petunjuk;

Petunjuk merupakan alat bukti keempat yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 188 ayat (1) disebutkan pengertian petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian dan keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, yang menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya

e. Keterangan terdakwa.

Pengertian keterangan terdakwa tercantum dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendri. Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang di dakwakan kepadanya. Keterangan teerdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa dia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melaikan harus disertai dengan alat bukti yang lain.


(22)

3. Tinjauan umum tentang pembuktian dalam perkara pidana

Menurut Pitlo, “pembuktian adalah, suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya”.7 Pembuktian

tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana.8

Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian, dapat diuraikan sebgai berikut :9

a. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar (bewijsgronden) b. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan

gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau

(bewijsmiddelen)

c. Penguaraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepda hakim disidang pengadilan (bewijsvoering)

d. Kekuatan pembuktian dalam masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan (bewijskracht)

e. Beban pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan di muka sidang pengadilan (bewijslast)

7 Edmon Makarim, Op.Cit, Hlm. 417

8 Andi Hamzah, 2005, hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 245 9 Bambang Poernomo, 2006, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, Jogjakarta,


(23)

f. Bukti minimum yang diperlukan Dalam pembuktian untuk mengikat kebebassan hakim (bewijsminimum)

Pada dasarnya pembuktian dilakukan sejak adanya suatu peristiwa hukum. Apabila ada unsur-unsur pidana atau bukti awal telah terjadinya tindak pidana barulah dari proses tersebut dilakukan penyidikan , dan dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dalam Pasal 1 angka 13, penyidikan ialah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat kejelasan tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. “menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.”10 E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif. Penelitian normatif adalah penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin(ajaran)11. Penelitian ini dilakukan dengan

mengumpulkan bahan hukum, baik primer, sekunder ataupun tersier.

2. Sumber Data

10 M. Yahya Harahap, Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika, Hlm. 273

11 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad 2009. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Hlm. 34


(24)

Dalam jenis penelitian hukum normatif diperlukan bahan hukum yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, dan bahan non hukum.

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat seperti : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 ,Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001,,Undang-Undang-,Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

b. Bahan hukum sekunder yaitu kajian teoritis yang berupa pendapat hukum, ajaran (doktrin), dan teori hukum sebagai penunjang bahan hukum primer yang didapat dari hasil penelitian, buku teks, rancangan undang-undang, dan jurnal.

c. Bahan hukum tersier atau bahan non hukum adalah bahan penelitian yang menjelaskan bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus atau ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.

3. Narasumber

Penulis melakukan wawancara dengan beberapa narasumber yang dianggap kompeten dengan permasalahan yang diteliti. Narasumber adalah orang yang ahli dibidangnya yang berkaitan dengan informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan cara mengajukan pertanyaan langsung. Dalam hal ini narasumber yang di wawancarai adalah bapak Ayun Kristiyanto S.H hakim di pengadilan negeri Sleman Yogyakarta.


(25)

Data sekunder yang dilakukan dalam penelitian ini diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka. Studi pustaka akan dihimpun dari semua peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen hukum dan buku-buku serta jurnal imiah yang berkaitan dengan permasalahan.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.yaitu data sekunder berupa Teknik analisis data yang akan digunakan dalam menggambarkan gejala-gejala di lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti kemudian dihubungkan dengan bahan-bahan hukum sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan, guna memperoleh pemahaman yang lebih jelas dalam menjawab permasalahan yang diajukan.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Bab I pendahuluan, pada bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan metode penelitian.

Bab II tinjauan umum berkaian dengan data elektronik sebagai alat bukti dalam perkara pidana. Bab ini akan membahas tentang pengertian tentang data elektronik, klasifikasi bukti elektronik, dan peraturan mengenai data elektronik.

Bab III berkaitan dengan Pembuktian Data Elektronik dalam perkara pidana, bab ini membahas tentang teori pembuktian, jenis-jenis alat alat buktii menurut KUHAP, pengertian barang bukti, dan Unsur Pembuktian yang Menimbulkan Keyakinan Hakim dalam memutuskan suatu perkara


(26)

Bab IV dalam bab ini akan dibahas mengenai hasil penelitian dan analisis yang dimaksud dengan Data Elektronik menurut Undang-Undang tentang Informasi Teknologi Elektronik No. 11 tahun 2008 dan dan juga pernerapan Data Elektronik

Bab V dalam bab ini akan berisi kesimpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya dan berisi saran-saran yang diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna dan bermanfaat.


(27)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI DATA ELEKTRONIK

A. Pengertian Data Elektronik

Menurut Turban, Rainer dan Potter, “data are raw facts or elementary description of things, event, activities and transaction are the captured, recorded, stored and classified, but not organized to convey any specific meaning. Example

of data would include bank ballances”. ”Data ialah gambaran dasar, fakta-fakta

awal yang belum terperinci dari perihal, peristiwa, kegiatan dan transaksi yang ditangkap, direkam, disimpan dan terklarifikasi tapi tidak terorganisir untuk dapat menyatakan arti khusus apapun. Contoh data ialah catatan saldo rekening bank. 1

Pengertian informasi menurut Turban, Rainer dan Potter, “information is a collection of facts organized in some manner so that they are meaningful to a recipient, for example, if we include costumer names with bank ballances, we would

have useful information.” Informasi ialah kumpulan dari fakta (data) yang

terorganisir dalam suatu bentuk atau. Contoh informasi ialah saldo rekening bank yang disertai dengan identitas pemegang rekening. 2

Dengan kata lain, informasi bersumber dari data yang telah diproses. Informasi elektronik dapat berupa catatan elektronik, dan atau dokumen elektronik, surat elektronik, atau tanda tangan elektronik. Suatu data/informasi yang telah

1 Turban, Rainer, dan Potter. Loc.Cit. 2Ibid, Hlm 31


(28)

diolah oleh sistem informasi secara elektronik tersebut akan tersimpan didalam sautu media tertentu secara elektronik, yang dinamakan dokumen elektronik.

Sistem penyimpanan data/atau informasi elektronik yang berbasiskan komputer dinamakan Database dan data yang dikomunikasikan melalui media telekomunikasi dinamakan Data Messages. Data Messages inilah yang menjadi landasan utama terbentuknya suatu kontrak elektronik, baik dalam hubungan dengan kesepakatan mengenai persyaratan-persyaratan dan ketentuan-ketentuan kontrak elektronik, bik dalam hubungannya dengan kesepakatan mengenai persyaratan-persyaratan dan ketentuan-ketentuan kontrak (terms and conditions) ataupun yang berkaitan dengan substansi kontrak itu sendiri.3

Sejauh ini telah ada beberapa teknik yang ditawarkan dan dianggap cukup mampu untuk memberikan jaminan keautentikan dan integritas dari suatu data

messages. Teknik yang dimakasud ialah teknik kriptografi (cryptography) yaitu

sautu teknik pengamanan serta penjaminan keautentikan data yang terdiri dari dua proses, yaitu yang pertama enkripsi (encryption : proses yang dilakukan untuk membuat suatu data menjadi tidak terbaca oleh pihak yang tidak berhak karena data-data tersebut telah dikonversikan kedalam bahasa sansi atau kode-kode tertentu) dan yang kedua deskripsi (descryption) yang merupakan kebalikan dari enkripsi, yaitu proses menjadikan informasi atau data yang telah di-enkrpsi tersebut menjadi dapat terbaca oleh pihak yang berhak. “Dalam metode kriptografi konvensional, enkrisi dan deskripsi biasanya dilakukan dengan menggunakan

3 M. Arsyad Sanusi, 2005, Hukum dan Teknologi Informasi, Jakarta,Tim Kemas Buku, Hlm.


(29)

pasangan kunci tertentu yang disebut dengan kunci pribadi yang bersifat personal dan rahasia (private key) dan kunci umum (public key)”.4

B. Klasifikasi Bukti Elektronik

Menurut Hakim Mohammed Chawki dari Computer Crime Research Centre mengklasifikasikan bukti elektronik menjadi dalam tiga kategori, yaitu :”5

1. Real or Physical Evidence (Bukti nyata atau Fisik) yang terdiri dari

benda-benda yang nyata atau berwujud yang dapat dilihat dan disentuh. Dalam undang-undang ITE Nomor 11 Tahun 2008 Pasal 5 ayat (1) menyebutkan :

a.) Informasi Elektronik dan/atau dokumen Elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah

1.) Testamentary Evidence

Atau juga disebut Hearsay Evidence(Bukti Desas Desus) dimana kesaksian saksi dapat diberikan selama persidangan, didasarkan pada pengamatan pribadi atau pengalaman dari ahli yang dapat diberikan selama dalam persidangan. Peranan dari keterangan ahli sesuai dengan peraturan dalam undang-undang No.8 Tahun 1981 KUHAP, bahwa keterangan ahli dinilai sebgai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian jika keterangan yang diberikan tentang suatu hal berdasarkan keahlian khusus dalam bidang yang dimilikinya dan

4 M. Arsyad Sanusi, Op.Cit, Hlm 205

5 Judge Mohammed Chawki, 10 Maret 2004, Source : Computer Crime Research Centre,

“The Digital Evidence in The Information Era”, http://www.crime-research.org/articles/chawki1,


(30)

berupa keterangan menurut pengetahuannya secara murni.6 Perkembangan ilmu dan teknologi sedikit banyak membawa dampak terhadap kualitas metode kejahatan, memaksa kita untuk mengimbanginya dengan kualits metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian.7

2.) Circumstantial Evidence(Bukti-bukti)

Pengertian dari Circumstantial Evidence atau bukti-bukti adalah yang didasarkan pada komentar, atau pengamatan dari realitas yang cenderung untuk mendukung kesimpulan, tetapi tidak untuk membuktikannya.

C. Pengaturan Mengenai data Elektronik

1. Pengaturan data elektronik dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

a. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang ini berisi tujuh poin penting yang merevisi UU ITE, terutama melalui UU baru ini Pemerintah juga berwenang memutus akses dan/atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap informasi elektronik yang bermuatan melanggar hukum. UU baru ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat,

6 M Yahya Harahap, Op.Cit, Hlm.301 7Ibid. Hlm. 297


(31)

sehingga mereka dapat lebih cerdas dan beretika dalam menggunakan Internet. Dengan demikian konten berunsur SARA, radikalisme, dan pornografi dapat diminimalisir.

Awalnya UU ITE disusun untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia melalui ekonomi dijital dan perdagangan di dunia maya (e-commerce) di Indonesia. Kemudian di tengah perjalanan terjadi banyak polemik dan kasus yang menimbulkan pro kontra terhadap pasal-pasal di UU ITE, terutama terkait dengan penggunaan media sosial. Pasal-pasal tersebut dianggap mengancam kebebasan berekspresi pengguna Internet.

Beberapa perubahan di UU ITE yang baru yaitu sebagai berikut:8 1. Untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan

mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 ayat (3), dilakukan 3 (tiga) perubahan sebagai berikut:

a. Menambahkan penjelasan atas istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik”. Mendistribusikan adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Eletronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui Sistem Elektronik. Mentransmisikan adalah mengirimkan Informasi

8

Ristekdikti, 2016, Undang-Undang No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE, http://www.kopertis12.or.id/2016/12/26/undang-undang-nomor-19-tahun-2016-tentang-perubahan-uu-ite.html, diakses tanggal 06 Januari 2017.


(32)

Elektronik dan/atau Dokumen Eletronik yang ditujukan kepada satu pihak lain melalui Sistem Elektronik. Membuat dapat diakses adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui Sistem Elektronik yang menyebabkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik.

b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum.

c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.

2. Menurunkan ancaman pidana pada 2 (dua) ketentuan pada pasal 29 sebagai berikut:

a. Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi paling lama 4 (tahun) dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.

b. Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun menjadi paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.


(33)

3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 (dua) ketentuan sebagai berikut:

a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang-Undang. b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan

ayat (2) mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.

4. Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:

a. Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

b. Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1×24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):

a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi;

b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.


(34)

6. Menambahkan ketentuan mengenai “right to be forgotten” atau “hak untuk dilupakan” pada ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:

a. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

b. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.

7. Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik (Memberikan landasan yang kuat bagi pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif di internet) dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:

a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang; b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau

memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.


(35)

b. Undang-Undang Nomor 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tanggal 24 Maret 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Pemerintah berusaha untuk mengatur pengakuan atas mikrofilm dan media alat penyimpan informasi yang bukan kertas dan mempunyai tingkat pengamanan yang dapat menjamin keaslian dokumen yang dialihkan atau di transformasikan.

c. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantassan Tindak Pidana Korupsi

Berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 26 A, adanya perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Tetapi, menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2001, bukti petunjuk juga dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa Informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu tidak terbatas pada data penghubung elektronik, surat elektronik, telegram, faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yan tertuang diatas kertas, benda fisik maupun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik,yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.


(36)

d. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang

Dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang perdagangan orang ini mengatur mengenai alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:

1) Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

2) Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan apa atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada :

a) Tulisan, suara atau gambar;

b) Peta, rancangan, foto atau sejenisnya;

c) Huruf, tanda, angka, simbol yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.


(37)

BAB III

PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK DALAM PERKARA

PIDANA

A. Pengertian pembuktian

Menurut Pirlo yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu cara yang dilakukam oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya1.Menurut Subekti, yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang ddikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan2.

Adapun enam butir pokok yang menjadi alat ukur dalam teori pembuktian, dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Dasar pembuktian yang tersimpul dalam pertimbangan keputusan pengadilan untuk memperoleh fakta-fakta yang benar

2. Alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh hakim untuk mendapatkan gambaran mengenai terjadinya perbuatan pidana yang sudah lampau. 3. Penguraian bagaimana cara menyampaikan alat-alat bukti kepada

hakim di siding pengadilan

4. Kekuatan pembuktian dalam , masing-masing alat-alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan

1 Pirlo dikutip oleh Edmon makarim, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta,

Rajagrafindo Persada, Hlm. 417


(38)

5. Pembuktian yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan tentang dakwaan dimuka sidang pengadilan

6. Bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim

Dalam hukum pembuktian dikenal istilah notoire feiten notorious (generally

known) yang berarti setiap hal yang “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu

dibuktikan dalam pemeriksaan siding pengadilan.3 Dalam hal ini tercantu, dalam

Pasal 184 ayat (2) yang berbunyi, “hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan”. Menurut Yahya Harahap, mengenai pengertian “hal yang secara umum sudah diketahui ditinjau dari segi hukum sudah diketahui” ditinjau dari segi hukum, tiada lain dari pada “perihal” atau “keadaan tertentu”, yang sudah demikian mestinya atau kesimpulan atau resultan yang menumbulkan akibat yang pasti demikian”.4

Proses pembuktian merupakan hal yang sangat penting dalam suatu peradilan, karena merupakan pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara. Hasil pembuktian menjadi salah satu faktor penentu bagi sebuah putusan hakim, begitu pula dalam perkara pidana yang terjadi atau dilakukan melalui dan atau menggunakan media teknologi informasi atau dikenal dengan sebutan cybercrime, proses pembuktian menjadi penentu bagi seorang Terbukti atau tidaknya perbuatan terdakwa sebagai perbuatan pidana dan terbukti atau tidaknya unsur kesalahan terdakwa, sangat ditentukan oleh hasil pembuktian dalam perkara tersebut.

3 M. Yahya Harahap, op. cit, Hlm. 276 4Ibid


(39)

Sistem pembuktian dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat bukti yang ada belum memuat mengenai alat bukti elektronik. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP jenis alat bukti ada lima yaitu, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Kenyataan saat ini banyak sekali muncul kejahatan yang berkaitan dengan dunia maya yang menggunakan bukti elektronik untuk mengungkap proses pembuktian perkara pidana.

B. Sistem pembuktian

Pembuktian dimulai sejak adanya suatu peristiwa hukum apabila ada unsur-unsur pidana (bukti awal telah terjadinya tindak pidana), dari proses tersebut dilakukan penyelidakan (serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam undang undang ini), dan dalam Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian dalam Pasal 1 angka 13 penyelidikan ialah seragkaian tindakan penyidik dalama hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti ini untuk mencari serta mengumpukan bukti yang dengan demikian bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.5 Ilmu pengetahuan hukum, mengenai empat system pembuktian, yang akan diuraikan sebagai berikut:


(40)

1. Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Belaka (Conviction in Time)

Suatu sistem pembuktian yang bersifat subjektif, yakni untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa hanya berdasarkan keyakinan hakim semata. Putusan hakim tidak didasarkan kepada alat-alat bukti yang diatur oleh undang-undang, hakim hanya mengikuti hati nurani saja. Keyakinan hakim dapat diperoleh dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam siding pengadilan. Hakim dapat juga mengabaikan hasil pemeriksaan alat-alat butki itu, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. System ini seolah-olah menyerahkan nasib terdakwa kepada keyakinan hakim sepenuhnya. Menurut Yahya Harahap, keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.6Menurut Andi Hamzah, sistem pembuktian ini dianut oleh peradilan jury di Perancis. “praktek peradilan jury di perancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan yang aneh.”7 “Wirjono Prodjodikoro mengatakanbahwa system pembuktian ini pernah

dianut di Indonesia., yaitu pada pengadilan distrik dan kabupaten, Sistem ini memungkinkan hakim menyebur apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalkan keterangan dukun.”8

2. Sistem Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie)

6Ibid, Hlm 277

7 Andi Hamzah, op. cit, Hlm. 230-231

8 Muhammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2004, Hukum Acara Pidana dalam teori dan praktek,Jakarta, Ghalia Indonesia, Hlm. 104


(41)

Suatu sistem pembuktian yang berkembang pada zaman pertengahan yang ditunjukan untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa garus berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.9 Sistem ini berbanding terbalik dengan Conviction in Time, dimana keyakinan hakim disampingkan dalam sistem ini. Menurut sistem ini, undang-undang menetapkan secara limitative alat-alat bukti yang mana yang boleh dipakai hakim. Jika alat-alat bukti tersebut telah dipakai secara sah seperti yang ditetapkan oleh undang-undang, hakim harus menetapkan keadaan sah terbukti, meskipun hakim ternyata berkeyakinan bahwa yang harus dianggap terbukti itu tidak benar. Menurut D. Simmon, sistem ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim dengan peraturan pembuktian yang keras. “sistem ini disebut juga dengan teori sistem pembuktian formal

(formele bewijstheorie).”10 “Teori ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk

dianut di Indonesia, karena bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagipula keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.” 11

3. Sistem Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Atas Alasan yang Logis (La Conviction Raisonee)

9 Edmon Makarim, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta, Rajagrafindo Persada, Hlm.

421

10 Andi Hamzah, op. cit, Hlm. 247 11 ibid


(42)

Menurut sistem pembuktian ini, hakim dapat menghukum seseorang terdakwa apabila ia telah meyakini bahwa perbuatan yang berssangkutan terbukti kebenarannya dengan keyakinan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan yang berdasarkan atas suatu rangkaian pemikiran (logika), hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan yang menjadi dasar keyakinannya atas kesalahan terdakwa12. Sistem pembuktian ini mengakui adanya alat bukti tertentu tetapi tidak ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang.

4. Sistem pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief wettelijk Bewijstheorie)

Sistem pembuktian ini merupakan gabungan antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata. Hasil penggabungan ini dapat dirumuskan “salah tidaknya seseorang terdakwa ditentukan oleh hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.” “sistem pembuktian menurut undang-undang secara negative ini merupakan suatu keseimbangan antara sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim.”13 Dalam sistem atau teori

pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara negatif ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda, yaitu pada peraturan perundang-undangan dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim ini bersumber pada peraturan undang-undang14.

5. Sistem Pembuktian yang diterapkan di Indonesia

12 Edmon Makarim, Op.Cit, Hlm. 422 13 M. Yahya Harahap, Op.Cit, Hlm. 278


(43)

Dalam perkara pidana di Indonesia pengaturan masalah sistem pembuktian sesungguhnya sangatlah jelas. Sistem ini mengaatur suatu proses terjadi dan bekerjanya alat bukti untuk selanjutnya dilakukan suatu persesuaian dengan perbuatan materiil yang dilakukan oleh terdakwa, untuk pada akhirnya ditarik kesimpulan mengenai terbukti atau tidaknya melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya.

Kegiatan pembuktian ini diharapkan memperoleh kebenaran secara hukum, karena kebenaran yang mutlak sangat sulit untuk ditemukan dalam proses untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak melalui pikiran yang logis terhadap fakta-fakta yang terang dalam hubungan dengan perkara pidana. Oleh karena itu hakim harus hati-hati, cermat dan matang dalam menilai dan mempertibangkan maslaah pembuktian.

Sistem pembuktian yang dianut di KUHAP adalah sistem pembuktian negatif berdasarkan undang-undang. Pasal 183 KUHAP menjelaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila ia dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi. Dari Ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa “keyakinan hakim” mempunyai fungsi yang lebih dominan dibanding dengan keberadaan alat-alat bukti yang sah. Meskipun tampak dominan, namun hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa hanya berdasarkan pada keyakinan saja karena keyakinan hakim harus didasarkan dan lahir dari keberadaan alat-alat bukti yang sah dalam jumlah yang cukup.15


(44)

Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Yang dinilai sebagai alat bukti dan dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian diluar jenis alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 ayat (1), tidak mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian yang mengikat.

Sedangkan yang dimaksud dengan dua alat bukti yang sah haruslah memperhatikan urutan alat bukti menurut Pasal 184 Ayat (1) KUHAP yaitu :

a. Keterangan saksi; b. Keterangan Ahli; c. Bukti surat; d. Bukti petunjuk; e. Keterangan terdakwa.

Pasal 185 KUHAP menyatakan bahwa Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan disidang pengadilan. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah perbuatan yang dilakukan didakwakan kepadanya. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan ahli. Keterangan


(45)

dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti yang kedua setelah keterangan saksi oleh Pasal 183 KUHAP. Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Tidak diberikan penjelasan yang khusus mengenai apa yang dimaksud dengan keterangan ahli menurut KUHAP.

Alat bukti surat dijelaskan dalam Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.


(46)

Petunjuk merupakan salah satu alat bukti yang disebutkan didalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 188 KUHAP disebutkan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk bisa diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Keterangan terdakwa tercantum dalam Pasal 189 KUHAP yang menjelaskan bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

C. Alat-alat bukti menurut KUHAP

Dalam kasus pidana yang terkait dengan data elektronik, proses penegakan hukum tidak begitu saja dilepaskan dengan dalih kesulitan pada proses pembuktian. Apalagi jika terhadap perbuatan pidana tersebut telah dapat dikenakan delik-delik


(47)

konvensional yang ketentuannya jelas dan tegas. Upaya yang dapat ditempuh adalah penelusuran bukti-bukti yang berkaitan dengan perbuatan pelaku pidana melalui jalur KUHAP. Artinya, disini kita tetap menggunakan alat bukti berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Kesalahan pelaku dapat terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Alat-alat bukti ini harus mampu membuktikan telah terjadi suatu perbuatan dan pembuktian adanya akibat dari perbuatan pidana.

1. Keterangan Saksi

Yang dimaksud dengan saksi, menurut Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. 16

Testimonium De Auditu adalah keterangan yang diberikan oleh saksi terkait suatu peristiwa, bukan berdasarkan penglihatan maupun pendengaran langsung, melainkan mendengar dari orang lain yang disebut juga dengan kesaksian tidak langsung.17

Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukanlah saksi) merupakan asas yang menolak kesaksian dari satu orang saksi saja. Dalam hukum acara perdata dan acara pidana, keterangan seorang saksi saja tanpa dukungan alat bukti lain tidak boleh

16 Hukum online, 2014, Hak dan Kewajiban Saksi dalam Perkara Pidana, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5394538dd600b/hak-dan-kewajiban-saksi-dalam-perkara-pidana, diakses pada tanggal 15 Agustus 2016.

17 Fath Ar-Rizq, Kekuatan Pembuktian Kesaksian Testimonium De Auditu Dalam Perkara Perdata, http://www.fathurrizqi.com/2013/10/kekuatan-pembuktian-kesaksian.html. diakses pada tanggal 15 Agustus 2016


(48)

dipercaya atau tidak dapat digunakan sebagai dasar bahwa dalil gugatan secara keseluruhan terbukti. Prinsip ini secara tegas dianut oleh KUHAP dalam pembuktian [Pasal 185 ayat (2)].18

Pada umumnya, setiap orang dapat menjadi saksi di muka persidangan. Terkecuali menjadi saksi tercantum dalam Pasal 168 KUHAP. Yaitu :

1) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

2) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai tedakwa, saudara ibu atau saudara bapak, mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

3) Suami atau istri terdakwa meskipun telah bercerai yang bersama-sama sebgai terdakwa.

Disamping karena hubungan keluarga atau semenda, juga ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi. Contoh orang yang harus menyimpan rahasia jabatannya seperti seorang dokter yang harus merahasiakan penyakit yang diderita pasiennya. Sedangkan yang dimaksud karena martabatnya dapat

18

Luthfi Widagdo Eddyono, Unus Testis Nullus Testis,

http://luthfiwe.blogspot.co.id/2011/03/unus-testis-nullus-testis.html. diakses pada tanggal 15 Agustus 2016


(49)

mengundurkan diri adalah mengenai hal yang dipercayakan dapat mengundurkan diri adalah mengenai hal yang dipercayakan kepada mereka, misalnya pastor agama katolik yang berhubungan dengan kerahasiaan orang-orang yang melakukan pengakuan dosa kepada pastor tersebut. Menurut Pasal 170 KUHAP diatas mengatakan “dapat minta dibebaskan apabila mereka bersedia menjadi saksi”, Apabila mereka bersedia menjadi saksi, dapat diperiksa oleh hakim. “oleh karena itu, pengecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia jabatan atau karena martabatnya merupakan pengecualian relatif”.19

2. Keterangan Ahli

Definisi keterangan ahli menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Dalam perkara pidana, keterangan ahli diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana salah satunya adalah keterangan ahli. Lebih lanjut Pasal 186 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.20

19 Andi Hamzah, Op.Cit, Hlm. 258 20

Hukum online, 2013, Syarat dan Dasar Hukum Keterangan Ahli dalam PerkaraPidana,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52770db2b956d/syarat-dan-dasar-hukum-keterangan-ahli-dalam-perkara-pidana. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2016


(50)

Keterangan ahli menjadi signifikan penggunaannya jika jaksa mengajukan alat bukti elektronik untuk membuktikan kesalahan pelaku pidana. Peran keteranan ahli di sini adalah untuk memberikan suatu penjelasan di dalam persidangan bahwa dokumen/data elektronik yang diajukan adalah sah dan dapat dipertanggung jawabkan secara hukum. Hal ini diperlukan karena terkadang dalam praktiknya, para pelaku pidana terkait dengan data elektronik dapat menghapus atau menyembunyikan aksi mereka agar tidak terdeteksi oleh aparat penegak hukum.

Keterangan saksi ini melibatkan ahli-ahli dalam berbgai bidang antara lain ahli dalam teknologi informasi, mendesain internet, program-program jaringan komputer. Kombinasi dari fakta-fakta yang didapat dari laboratorium forensik dan opini para keterangan saksi diharapkan dapat membantu para penyidik dalam proses penyidikan. Dimana produk hasil penyidikan tersebut dapat diterima oleh jaksa penuntut umum dan hakim.

Peranan seorang ahli dalam data elektonik merupakan suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi mengingat pembuktian dengan alat bukti elektonik masih sangat riskan penggunaannya di depan sidang pengadilan. Disinilah pentingnya kedudukan seorang ahli, yaitu untuk memberikan keyakinan kepada hakim.

3. Bukti Surat

Surat adalah alat bukti yang penting dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus pidana yang berkaitan dengan data elektronik. Penyelidik dan penyidik dapat menggunakan “Surat” untuk membuat terang kasus ini. Dengan didukung oleh keterangan saksi, surat menjadi alat bukti yang sah, dapat diterima


(51)

dan dapat memberatkan pelaku kasus pidana yang berhubungan dengan data elektronik di pengadilan.

Alat bukti surat dijelaskan dalam Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.

Menurut Prof.A.Pitlo surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda baca.21 Jenis-jenis surat tercantum

dalam Pasal 187 KUHAP sebagai alat bukti yang sah dipersidangan. Pasal 187 butir (a) dan (b) diatas menyebutkan tentang akta otentik, berupa berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh pejabat umum, seperti notaris, paspor, surat izin mengemudi (SIM), kartu tanda penduduk (KTP), akta lahir, dan sebagainya. Pasal 187 butir (c), misalnya keterangan ahli berupa laporan atau visum et repertum, kematian seseorang karena diracun, dan sebagainya. Pasal 187 butir (d) disebut juga surat atau akta dibawah tangan.22

21 Muhammad Taufik dan Suharsil, 2004, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek,

Jakarta, Ghalia Indonesia, Hlm 127


(52)

Tujuan visum et repertum sebagai laporan yang dibuat terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik dengan memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban pembunuhan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana pembunuhan.

Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et

repertum. Menurut pengertiannya visum et repertum diartikan sebagai laporan

tertulis untuk kepentingan peradilan atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.23

Visum et Repertum sebagai pengganti sepenuhnya dari barang bukti yang

diperiksa, pada hakekatnya visum et repertum mempunyai kedudukan yang sama dengan alat bukti lainnya. Oleh karena itum visum et repertum mempunyai kekuatan pembuktian yang sah. Dengan kata lain visum et repertum adalah alat bukti surat yang sah, yang dapat meyakinkan hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa terhadap perbuatannya.

Visum et repertum mempunyai kekuatan sebagai alat bukti sebab yang dimuat

dalam pemberitaannya merupakan kesaksian tertulis tentang semua hal atau keadaan yang dilihat dan ditemukan pada waktu melakukan pemeriksaan, jadi sama

23 H.M. Soedjatmiko, 2001, Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas


(53)

halnya dengan seseorang yang melihat dan menyaksikan sendiri. Sedangkan kesimpulan dalam visum et repertum dibuat untuk memudahkan hakim atau jaksa untuk mengetahui tentang apa yang diperiksa. Kesimpulan harus dibuat dengan logis agar dapat diterima oleh hakim atau jaksa, tetapi jika kesimpulannya tidak logis hakim atau jaksa dapat menolak hasil visum et repertum serta menentukan jalan sendiri.

Merujuk pada terminologinya. “surat” dalam kasus pidana yang berkaitan dengan data elektronik mengalami perubahan dari bentuknya yang tertulis menjadi tidak tertulis dan bersifat on-line. Alat bukti surat dalam sistem komputer yang telah disertifikasi ada dua kategori. Pertama, bila sebuahn system komputer yang telah disertifikasi oleh badan yang berwenang, hasil print out komputer dapat dipercaya keotentikannya. Contoh recipt yang dikeluarkan oleh suatu bank dalam transaksi di mesin ATM. Alat bukti ini mempunyai kekuatan pembuktian meskipun dalam persidangan akan dibutuhkan keterangan lebih lanjut.

Kedua, bukti sertifikasi dari badan yang berwenang tersebut dapat di kategorikan sebgai alat bukti surat, karena diibuat oleh dan atau pejabat yang berwenang. Meskipun penggunaan kedua bukti surat ini mengalami kendala dari segi pengertian “pejabat yang berwenang” dimana didalam perundang-undangan yang dimakud dengan pejabat yang berwenang adalah notaris.

Jenis alat bukti surat lainnya dapat berupa bukti elektronik yang dicetak atau di print out dan surat yang terpampang dalam layar monitor sebuah jaringan computer. Selama kedua bukti ini dikeluarkan/dibuat oleh yang berwenang dan


(54)

sebuah system jaringan komputer tersebut dapat dipercaya, surat tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti sebgaimana yang ditentukan dalam KUHP.

4. Petunjuk

Petunjuk merupakan alat bukti keempat yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Dalam Pasal 18 ayat (1) disebutkan pengertian petunjuk, yaitu perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Alat bukti petunjuk baru diperlukan apabila alat bukti lainnya belum mencukupi batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Alat bukti petunjuk merupakan alat bukti yang bergantung pada alat bukti lainnya yakni alat bukti saksi, surat dan keterangan terdakwa. Alat bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti lain, namun hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk dan hakim bebas untuk menilai dan mempergunakannya dalam upaya pembuktian.24

Yahya Harahap mendefinisikan petunjuk dengan menambah beberapa kata, yakni petunjuk adalah suatu “isyarat” yang dapat “ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan” dimana isyarat tadi mempunyai “persesuaian” antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau


(55)

“mewujudkan” suatu petunjuk yang “membentuk kenyataan” terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.25

Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP dalam hal cara memperoleh alat bukti petunjuk, hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Apabila alat bukti yang menjadi sumber dari petunjuk tidak ada dalam persidangan pengadilan dengan sendirinya tidak aka nada alat bukti petunjuk. Nilai kekuatan pembuktian dari alat bukti petunjuk sama dengan alat bukti yang lain yaitu bebas. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Namun demikian, sebagaiman dikatakan Pasal 188 ayat (3), penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nurani.

Petunjuk sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, karena hakim tetap terikat pada batas minimum pembuktian sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP. Informasi dan/atau dokumen elektronik merupakan perluasan dari alat bukti surat sebagai bahan untuk dijadikan petunjuk bagi hakim dalam membuktikan suatu perkara.

Proses pembuktian di persidangan dalam perkara cybercrime harus tetap mendasarkan pada ketentuan pembuktian Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan perundang-undangan lainnya seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.


(56)

Dalam praktek peradilan, hakim-hakim kasus pidana yang menggunakan KUHAP sebagai dasar hukum yang seharusnya sudah melakukan trobosan dengan memasukkan alat bukti elektronik sebagai alat bukti, bukan bagian dari petunjuk lagi. Namun, masih ada hakim yang masih menganggap alat bukti elektronik sebagai petunjuk. Proses pembuktian pada perkara cybercrime ini tentu saja tetap dapat dilakukan dengan mengajukan bukti surat berupa informasi dan atau dokumen elektronik tersebut yang dapat dilaksanakan langsung di persidangan dengan menyampaikan hasil print out informasi atau dokumen elektronik itu atau hakim dapat langsung mengakses informasi atau dokumen elektronik yang bersangkutan.

5. Keterangan Terdakwa

Dalam Pasal 189 ayat (1) KUHAP ditentukan bahwa keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa lakukan, ketahui dan alami sendiri. Dalam kasus pidana terkait dengan data elektronik, keterangan terdakwa yang dibutuhkan terutama mengenai cara-cara pelaku melakukan perbuatannya, akibat yang ditimbulkan, informasi jaringan serta motivasinya. Keterangan terdakwa mengenai keempat hal tersebut sifatnya adalah memberatkan terdakwa.

Dalam hal ini seorang terdakwa akan diminta keterangannya dalam persidangan untuk menemukan bukti-bukti apakah terdakwa memang bersalah telah melakukan perbuatan pidana yang didakwakan atau tidak. Seorang terdakwa walaupun memberikan keterangan yang tidak sebenarnya pun tetap dilindungi, berbeda dengan seorang saksi yang apabila memberikan keterangan yang tidak benar dapat dikenakan sanksi pidana telah memberikan keterangan palsu.


(1)

dipersidangan. Dasar hukumnya ada di KUHAP Pasal 284 mengenai alat bukti dan undang-undang yang bersangkutan dan undang-undang yang bersifat khusus. Dalam Pasal 27 UU ITE, sebenarnya bukan Pencemaran nama baik melainkan membuat perbuatan tidak menyenangkan, perbuatan tidak menyenangkan itu harus ada sebab akibatnya dapat digolongkan kedalam perbuatan tidak menyenangkan.1

Berkenaan dengan hukum pembuktian dalam proses peradilan baik perkara pidana maupun perdata, akibat kemajuan teknologi khususnya teknologi informasi, ada suatu persoalan mengenai bagaimana kedudukan produk teknologi khususnya catatan elektronik, sebagai alat bukti, sebagai contoh penggunaan teleconference

dalam persidangan oleh beberapa kalangan dipandang sebagai terobosan hukum atau penemuan hukum karena pengguna teknologi ini belum diatur dalam KUHAP. Namun keresahan diatas nampaknya hilang karena sudah disahkannya undang-undang mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik yang menguatkan bahwa alat bukti elektronik adalah sah diajukan di persidangan.

1Hasil wawancara dengan bapak Ayun Kristiyanto S.H hakim di pengadilan negeri Sleman Yogyakarta


(2)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari bab-bab diatas, maka dapat disimpulkan:

1. Penerapan pembuktian data elektronik sebagai alat bukti elektronik dalam perkara pidana menurut UU ITE tidak lepas dari keberadaan alat bukti pada KUHAP. Keberadaan bukti elektronik yang belum diatur dalam KUHAP memaksa hakim melakukan penemuan hukum baru. Ketika bukti elektronik dihadirkan dalam persidangan, hakim sebagai aparat penegak hukum yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara diharapkan mampu melakukan interpretasi hukum mengenai bukti elektronik dengan melakukan penemuan hukum. Dalam interpretasi hukum hakim akan mengubah status bukti elektronik dengan melakukan generalisasi bukti elektronik. Generalisasi bukti elektronik adalah mengubah status bukti elektronik menjadi alat bukti surat atau petunjuk, yang merupakan alat bukti yang sah menurut hukum pidana Indonesia.

2. Kekuatan alat bukti elektronik dalam UU ITE dapat dikatakan sebagai perluasan dari alat bukti surat atau petunjuk, yang merupakan alat bukti yang sah dan dapat dihadirkan di persidangan setelah hakim melakukan penemuan hukum dan menyatakan bahwa bukti elektronik merupakan alat bukti yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum serta memiliki kekuatan hukum sebagai alat bukti. Untuk menilai keabsahan dari alat bukti tersebut,


(3)

hakim membutuhkan keterangan ahli, uji lab keabsahan bukti elektronik tersebut.

B. Saran

Berdasarkan Analisis di bab sebelumnya, penulis memberikan saran agar di dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 mempertegas alat bukti elektronik yang tidak merugikan orang lain terutama dalam hal mengungkapkan pendapat seseorang melalui media internet. Kemudian dalam kasus Molly Andriana agar tidak terulang lagi dikemudian hari kepada orang lain, agar jika ingin memberikan komentar lebih baik langsung berbicara secara langsung kepada orang tersebut secara privat dan jika tidak memiliki waktu bisa menggunakan media elektronik lainnya seperti SMS, telepon atau dengan email dengan tidak menyebarkan berita tersebut kepada tidak menimbulkan kalimat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ataupun untuk dipergunakan dalam pelanggaran kesusilaan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Andi Hamzah, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, Bambang Poernomo, 2006, Pokok-pokok Tata Cara Peradilan Indonesia, Liberty,

Jogjakarta.

Didik M. Arief Mansur dan Alisatris Gultom, 2005, Cyber law-Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung, Refika Aditama,

Edmon Makarim, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

H.M. Soedjatmiko, 2001, Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.

Krisnawati, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Jakarta, Pena Pundi Aksara.

Kuffal, 2008, Penerapan KUHAP Dalam Praktik, Umm Press, Malang.

M. Arsyad Sanusi, 2005, Hukum dan Teknologi Informasi, Jakarta, Tim Kemas Buku.

M. Yahya Harahap, Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta, Sinar Grafika.

Muhammad Taufik dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2009. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar.

Pirlo dikutip oleh Edmon Makarim, 2003, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta, Rajagrafindo Persada.


(5)

Turban,Rainer dan Potter., Introduction to Information Technology “Edmon Makarim. Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta, Rajagrafindo Persada. Wirjono Prodjodikoro dalam Andi Hamzah, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia,

Jakarta, Sinar Grafika.

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang perdagangan orang Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pencucian Uang Undang-Undang No.8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

C. Internet

Bung Pokrol, Hukum Online, klikbca.com typosquatting atau phishing , Rabu 08 Februari 2006, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4936/klikbca.com-typosquatting-atau-phishing, diakses pada 27 November 2014.

Fath Ar-Rizq, Kekuatan Pembuktian Kesaksian Testimonium De Auditu Dalam Perkara Perdata, http://www.fathurrizqi.com/2013/10/kekuatan-pembuktian-kesaksian.html. diakses pada tanggal 15 Agustus 2016


(6)

Hukum online, 2013, Syarat dan Dasar Hukum Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52770db2b956d/syarat-dan-dasar-hukum-keterangan-ahli-dalam-perkara-pidana. Diakses pada tanggal 15 Agustus 2016.

Hukum online, 2014, Hak dan Kewajiban Saksi dalam Perkara Pidana,

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5394538dd600b/hak-dan-kewajiban-saksi-dalam-perkara-pidana, diakses pada tanggal 15 Agustus 2016.

Judge Mohammed Chawki, : Computer Crime Research Centre, “The Digital

Evidence in The Information Era, 10 Maret 2004, http://www.crime-research.org/articles/chawki1Source diakses pada tanggal 9 September 2015.

Luthfi Widagdo Eddyono, Unus Testis Nullus Testis, http://luthfiwe.blogspot.co.id/2011/03/unus-testis-nullus-testis.html. diakses pada tanggal 15 Agustus 2016


Dokumen yang terkait

Hasil Penyadapan KPK Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

1 64 77

IMPLEMENTASI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK MENGENAI PEMBERLAKUAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH

0 12 114

IMPLEMENTASI PASAL 5 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK MENGENAI PEMBERLAKUAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI SAH

0 6 18

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

0 5 16

IDENTIFIKASI TINDAK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008)

1 12 77

Kedudukan Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti Di Pengadilan Setelah Berlakunya Undang Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

1 1 17

Bentuk Pengaturan Yang Tepat Terkait Pengakuan Dan Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Elektronik Sebagai Alat Bukti Baru Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

0 0 27

TINDAK PIDANA CYBER CRIME DALAM PERSPEKTIF UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK.

1 1 65

BAB II INFORMASI ELEKTRONIK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Pengertian Informasi Elektronik - Informasi yang Menyesatkan dalam Perdagangan Efek Tanpa Warkat Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

0 0 11

BAB II PENGATURAN PENGGUNAAN ALAT BUKTI BERUPA INFORMASI ELEKTRONIK SEBAGAI BUKTI DALAM TINDAK PIDANA KEJAHATAN MAYANTARA (CYBER CRIME) DALAM UNDANG- UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK A. Tinjauan Umum Tentang Penggunaan

0 1 45