Kebijaksanaan Pemerintah PEMANTAPAN PERAN BAHASA DAERAH 1

2 beberapa kelas Sekolah Dasar SD? Tidak adakah semacam cara untuk lebih menggalakkan kegiatan berbahasa daerah dalam peristiwa-peristiwa kedaerahan? Makalah ini membahas masalah-masalah itu untuk memperoleh jalan keluar dari berbagai hal. Antara lain menyangkut sikap pemilik bahasa daerah untuk tidak perlu lagi menggunakan bahasa daerahnya dengan alasan bahasa Indonesia sudah dikuasai oleh segenap lapisan masyarakat. Sehubungan dengan merosotnya penggunaan bahasa daerah itu, perlu diperoleh informasi terutama dari Kandepdiknas tindakan apa yang dapat dilakukan untuk “memaksa” rakyat menggunakan bahasa daerah di dalam keluarga. Tentu saja sebagai bahan pembahasan di dalam makalah ini penulis lebih banyak mengarahkan sorotannya pada bahasa Jawa. Dasar pegangannya ialah bahasa daerah ini merupakan bahasa daerah yang besar jumlah penuturnya yang ternyata berada pada situasi yang tidak menguntungkan. Diharapkan dengan sorotan ini bahasa-bahasa daerah lainnya pun ikut terimbas untuk mendapat perhatian.

2. Kebijaksanaan Pemerintah

Menurut pengakuan mantan Kepala Kandepdiknas Kotamadia Surakarta, Drs. H. Prodjosoeminto, S.H., M.M. kepada penulis beberapa waktu yang lalu, pelajaran Bahasa Jawa di SD hanya sebagai materi muatan lokal mulok. Kedudukannya rupanya sama halnya dengan pelajaran Kesenian. Jika keadaannya yang demikian ini dibiarkan saja, pelajaran Bahasa Jawa dan tentunya juga bahasa-bahasa daerah pada umumnya tidak akan terangkat kedudukannya sebagai bahasa daerah yang harus dipertahankan hidupnya sebagai sakaguru budaya bangsa. Keadaannya diperparah lagi karena banyak keluarga Jawa yang tidak menggunakan lagi bahasa Jawa sebagai bahasa keluarga. Kakandepdiknas juga menyatakan keprihatinannya karena anak-anak zaman sekarang tidak suka berbahasa Jawa. Mereka lebih suka berbahasa Indonesia. Upaya mengangkat citra bahasa Jawa menyangkut perombakan kurikulum yang harus dilakukan, katanya tegas-tegas. 3 Di dalam buku Program Pengajaran Bahasa Jawa Sekolah Dasar PPBSD yang diterbitkan oleh Bidang Pendidikan Dasar Kanwil Depdikbud Propinsi Jawa Tengah 1994 terdapat tiga tujuan pengajaran bahasa Jawa masing-masing untuk kelas IV, V, dan VI yang memiliki napas yang sama. Ketiga tujuan itu ialah: a siswa mampu mengemukakan perasaan dan gagasan untuk berbagai keperluan dalam berbagai situasi dengan tata cara dan sopan santun, b siswa mampu mengemukakan gagasan dan pengalaman yang sama dengan cara yang berbeda-beda, dan c siswa mampu berbicara untuk berbagai kesempatan berbicara, memberi sambutan, berpidato dengan cara sopan santun untuk berbagai keperluan. Ketiga tujuan di atas menyangkut masalah kemampuan siswa mengutarakan gagasan, baik secara lisan maupun tertulis. Untuk menggiring siswa ke arah itu, siswa sudah dibekali sarana-sarananya, yaitu kosa kata yang didapat mereka dari pelajaran membaca, membaca buku, dan dari pelajaran kosa kata itu sendiri. Akan tetapi, penguasaan kosa kata saja tidak cukup untuk menjadikan siswa mampu berbahasa Jawa. Hal penting yang perlu dikuasai juga oleh siswa ialah kemampuan ber-unggah-ungguh atau menggunakan ‘tingkat-tingkat tutur’ speech levels, yakni memakai ragam-ragam ngoko ‘biasa’, krama ‘halus’, dan krama inggil ‘halus sekali’. Pengajaran tingkat-tingkat tutur ini penting sekali dilakukan mengingat anak-anak Jawa zaman sekarang kurang sekali penguasaannya akan ketiga ragam itu. Di samping penggunaan ragam-ragam baur campur kode dan bentuk-bentuk baur, tidak jarang mereka menghormati dirinya sendiri dengan menggunakan ragam krama inggil yang tidak pada tempatnya seperti penggunaan kata sare ‘tidur’ mestinya tilem pada kalimat Kula boten saget sare ‘Saya tidak dapat tidur’. Di lingkungan masyarakat Jawa kebiasaan ber-unggah-ungguh waktu berbahasa Jawa menyangkut masalah cara berbahasa anak terhadap orangtua atau sebaliknya, antara teman sebaya, antara orang biasa dan orang berkedudukan, dan sebagainya. Setiap orang Jawa diharapkan memahami tingkat-tingkat tutur itu 4 sehingga di dalam percakapan mereka mengetahui kapan harus berbahasa ngoko dan kapan pula harus berbahasa krama dan krama inggil. Selanjutnya, unggah- ungguh ini erat kaitannya dengan sopan santun anak, artinya jika anak pandai menggunakan tingkat-tingkat tutur, dapat dipastikan bahwa kesopanannya di dalam pergaulan terjaga dengan baik Hardjoprawiro, “Budaya ‘Pakewuh’ Tak Menunjang Pemasyarakatan Bahasa Indonesia Baku”, Kompas, 28 Oktober 1993: 4. Sayangnya, kebanyakan orangtua Jawa zaman sekarang lebih suka mendidik anaknya menggunakan bahasa Indonesia. Ini tampak di kota-kota besar di Jawa, yang kehidupan sehari-harinya lebih banyak diwarnai penggunaan bahasa Indonesia. Nasionalisme memang segera terbentuk pada pribadi sang anak. Akan tetapi, dengan perikeadaan demikian mereka sebenarnya kehilangan momen penting untuk membiasakan sopan santun lewat pembiasaan ber-unggah-ungguh. Anda boleh tidak sependapat dengan penulis karena Anda lebih mengutamakan pendidikan kebangsaan sejak usia dini tersebut. Akan tetapi, harus diingat bahwa pendidikan budi pekerti dan sopan santun lebih baik diutamakan terlebih dahulu. Bahasa nasional dan bahkan bahasa asing sekalipun akan dapat diberikan pada tataran berikutnya. Bukankah hipotesis usia kritis critical age hypothesis menunjukkan bahwa anak-anak usia antara 1 dan 11 tahun permulaan pubertas mempunyai penguasaan bahasa secara native, artinya mereka mampu belajar dan menguasai bahasa-bahasa asing dengan aksen-aksen seperti penutur asli bahasa yang dipelajarinya? Hardjoprawiro, “Belajar Bahasa dalam Usia Kritis”, Kompas, 5 November 1997: 5. Bukanlah rahasia lagi adanya kenyataan bahwa pemakaian bahasa Jawa dewasa ini di masyarakat di Jawa Tengah dan Jawa Timur betul-betul memprihatinkan. Akan tetapi, ini merupakan akibat logis dari mekarnya penggunaan bahasa nasional. Menghadapi kenyataan demikian, guru-guru bahasa Jawa tentunya tidak boleh berpangku tangan. Setidak-tidaknya lewat pengajaran para pengajar hendaknya dapat menunjukkan bentuk-bentuk mana yang baku dan mana yang tidak. Kepada siswa sekurang-kurangnya dapat ditunjukkan 5 pengungkapan mana yang sesuai dengan tingkat-tingkat tutur bahasa Jawa dan mana yang tidak. Di dalam penelitian penulis mengenai bahasa Jawa ragam tulis baik di Surabaya Membeludaknya Jumlah Kata-kata Jawindo: Dibendung atau Dibiarkan? 1984 maupun di Surakarta Beberapa Penyimpangan dalam Pemakaian Bahasa Jawa di Surakarta, 1986 terdapat kenyataan betapa membeludaknya pemakaian bentuk-bentuk baur seperti: ngajarna mestinya mulang, diprakosa mestinya dirodhapeksa, ngingatna mestinya ngelingake, dikerjakna mestinya digarapditandangi, dan banyak lagi yang lain yang menimbulkan kesan bahwa generasi sekarang lebih suka menyerap kosa kata bahasa nasional daripada menggunakan kosa kata bahasa Jawa. Jalan pintas memang lebih cepat sampainya. Bentuk-bentuk baur demikian, yakni gabungan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia, memang sulit dibendung. Kecenderungan untuk berbahasa praktis biasanya mewarnai pembicaraan dengan aneka bentuk baur, yang jelas bukan bentuk bahasa Jawa baku. Para pendidiklah yang menjadi ujung tombak dalam hal ini. Berbekalkan PPBJSD dan buku-buku pelajaran serta niat dan kemauan yang teguh sebagai senjatanya, mereka harus berada di garis paling depan untuk membina siswa- siswanya mencapai kesadaran yang tinggi untuk memahami bentuk-bentuk dan ragam-ragam baku dalam bahasa Jawa. Suasana tradisional kedaerahan yang menyajikan dialog-dialog dalam upacara perhelatan, misalnya, dan juga tontonan wayang kulit, wayang orang, dan ketoprak diharapkan mampu menarik minat generasi muda sekarang untuk melestarikan penggunaan bahasa Jawa ragam baku lengkap dengan ketepatan unggah-ungguh-nya. Jika PPBJSD yang ada sekarang ini belum memiliki arah yang jelas, kekurangannya terletak pada minimnya butir-butir yang membawa siswa mampu menguasai tingkat-tingkat tutur itu. Seharusnya sejak dibicarakannya materi kosa kata guru harus sudah mengarahkan visinya yang paling dalam pada pembiasaan memahami ragam-ragam bahasa Jawa. 6

3. Pemantapan Peran Bahasa Daerah