Peran Bahasa Daerah Sebagai Sarana Pemba

Peran Bahasa Daerah Sebagai Sarana Pembangunan
Berwawasan Kerakyatan dan Penawar
Dampak Negatif Globalisasi1
Mashadi Said2
Farid Thalib3
A. Banri, E4.

Abstrak
Pembangunan yang berwawasan kerakyatan, yang bertujuan
menyejahterakan masyarakat, memerlukan sarana ampuh untuk
mewujudkan tujuan itu. Bahasa daerah sebagai salah satu modal besar
bangsa memegang peran penting untuk mempercepat keberhasilan
pembangunan. Makalah ini bertujuan mendeskripsikan peran aktif bahasa
daerah sebagai sarana pembangunan yang berwawasan kerakyatan. Peran
bahasa daerah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sebagai sarana efektif
komunikasi pembangunan berwawasan kerakyatan dan penawar dampak
negatif globalisasi. Pertama, bahasa daerah sebagai sarana komunikasi
pembangunan masyarakat. Sejak beberapa dekade terakhir ini, khususnya
ketika bangsa-bangsa di dunia memasuki era globalisasi, kaum terpelajar
yang menjadi agen pembangunan sangat gemar menggunakan istilah yang
sangat asing di telinga masyarakat awam dalam mengomunikasikan pesanpesan pembangunan. Misalnya, banyak penyuluh pertanian gemar

menggunakan istilah ‗intensifikasi‘ dan ‗ekstensifikasi‘ lahan pertanian;
dokter atau sarjana kesehatan masyarakat menggunakan istilah ‗lahir
prematur‘, ‗nutrisi‘, dll. Masyarakat pengguna bahasa daerah yang lebih
memahami dan menjiwai bahasa daerahnya hanya dapat mengagumi
kehebatan sang sarjana, sementara pesan pembangunan tidak
terkomunikasikan. Bila pesan pembangunan hendak dipahami dengan baik
oleh masyarakat, maka pemberdayaan bahasa daerah mutlak diperlukan.
Para agen pembangunan harus menggunakan bahasa daerah yang
digunakan masyarakat pemangku kepentingan. Kedua, pengaruh era
globalisasi dan dampak pengiringnya telah mengakibatkan tercerabutnya
masyarakat dari kearifan budayanya sendiri. Kearifan budaya sendiri
mulai diskeptiskan bahkan cenderung ditinggalkan. Dalam keadaan yang
mengancam ini, kearifan lokal yang diperlukan dalam pembangunan yang
berwawasan kemasyarakatan perlu diangkat ke permukaan untuk
dijadikan sebagai pedoman dan penawar dampak negatif globalisasi.
Kata Kunci: peran bahasa daerah, pembangunan berwawasan kerakyatan, penawar
dampak negatif globalisasi, kearifan lokal

1


Disajikan pada Kongres Internasional Bahasa-Bahasa Daerah Sulawesi Tenggara, tanggal 18-20 Juli 2010.
Mashadi Said adalah dosen pada Program Magister Sastra, Universitas Gunadarma, Jakarta.
3
Farid Thalib adalah dosen pada Program Doktor Teknologi Informasi, Universitas Gunadarma, Jakarta.
4
A. Banri, E. adalah guru Bimbingan dan Konseling SMA Negeri 109, Jakarta.
2

1

Pendahuluan
Dampak tekanan arus globalisasi telah melanda bangsa-bangsa yang sedang
berkembang dan telah menimbulkan perubahan yang semakin cepat dan luas dalam berbagai
wilayah kehidupan, termasuk dalam bidang kebahasaan. Pertama, mari kita cermati pengaruh
bahasa Inggris yang sedang mewarnai penggunaan bahasa Indonesia saat ini. Misalnya,
dalam sebuah tabloid ibu kota yang terbit tanggal 15 Juni 2010, dijumpai bahasa Indonesia
seperti ini:
―Mispersepsi dan misinterpretasi ini tentunya merugikan negara-negara Islam di
dunia termasuk Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia,
di sisi lain nilai-nilai moderasi yang ada dan tumbuh berkembang di Indonesia belum

sepenuhnya.‖
Dalam kutipan di atas, ada 4 kata asing yang digunakan oleh penulis, yaitu
mispersepsi, misinterpretasi, mayoritas, dan moderasi. Keempat kata tersebut merupakan
kata serapan yang kemungkinan besar sangat sulit dipahami masyarakat awam sebagai
sasaran utama pembangunan nasional. Kata mispersepsi adalah dua gabungan dua morfem:
‗mis-‗ dan ‗persepsi.‘ Kedua morfem itu berasal dari bahasa Inggris. Morfem bebas
‗persepsi‘ telah diserap ke dalam bahasa Indonesia yang berarti ‗kesan‘, ‗tanggapan‘,
‗pemahaman‘, ‗pengertian‘ (Endarmoko, 2007; Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008), tetapi
morfem terikat ‗mis-‗ adalah awalan yang berasal dari bahasa Inggris yang bermakna ‗salah‘.
Morfem ini belum resmi diserap ke dalam bahasa Indonesia. Begitu pula kata
‗misinterpretasi‘ dan ‗moderasi‘ sama sekali sangat asing di telinga masyarakat awam.
Akibatnya, kelompok sasaran yang tidak mengetahui bahasa Inggris pasti akan kewalahan
memahaminya. Pertanyaan kita sekarang adalah: Mengapa penulis tersebut tidak
menggunakan kata bahasa Indonesia yang lebih mudah dipahami oleh pembaca. Selanjutnya,
mari kita tilik sejenak foto di bawah ini:

Foto oleh A. Banri, Juni, 2010

Pada foto di atas, terpampang di depan mata kita


―Jawa Timur Park‖:

Taman belajar dan rekreasi. Perhatikan kata ―park‖ yang berasal dari bahasa Inggris
2

yang sesungguhnya ada bahasa Indonesianya, yaitu ‗taman‘. Perhatikan pula struktur
bahasanya yang mengikuti struktur bahasa Inggris, yaitu hukum ―M + D‖. Pertanyaan kita
sekarang adalah ―mengapa pengambil kebijakan tidak menggunakan kosa kata dan struktur
bahasa Indonesia?‖ Padahal kalau dibuat ―Taman belajar dan bersantai Jawa Timur‖
akan lebih muda dipahami dan akan lebih melekat di hati para pengunjung? Apakah
pengambil kebijakan bangga memamerkan kekayaan budaya orang asing, ketimbang
kekayaan budaya sendiri? Apakah pengambil kebijakan ingin menunjukkan bahwa mereka
―mengglobal‖, atau ―menginternasional‖ sementara mereka menindas kebudayaan sendiri?
Banyak pertanyaan yang bisa muncul dari situasi seperti ini. Namun, jawaban atas semua
pertanyaan itu adalah sebagian masyarakat kita, khususnya para pengambil kebijakan dan
agen perubahan, secara tidak sadar telah bertindak ceroboh yang justru melecehkan dan
meremehkan budaya sendiri atau karena kurangnya kepercayaan diri bangsa kita?
Selanjutnya, banyak fakta yang menunjukkan ketidakpercayaan diri bangsa dalam
bidang kebahasaan. Di Jakarta, misalnya, proyek bis lintas-jakarta diberi nama ―transjakarta‖
untuk nama bisnya dan ‖busway‖ untuk nama jalurnya. Bahkan ada kecenderungan

masyarakat Jakarta mengatakan ―mari kita naik busway‖. Jadi, mereka bukannya naik dan
menggunakan bis, tetapi naik ke ―jalur bis‖ dan berkendara dengan ―jalur bis‖ (Said &
Thalib, 2008).
Singkatnya, keadaan ini merupakan pertanda bahwa sebagai bangsa yang berdaulat
yang memiliki kekayaan bahasa nasional dan bahasa-bahasa daerah yang tersebar di seluruh
nusantara mulai dibaikan dan identitas sebagai bangsa mulai terancam.

Pembangunan berwawasan kerakyatan
Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa tujuan pembangunan nasional adalah
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Namun, tujuan
pembangunan nasional yang telah didengungkan selama 65 tahun belum mampu mengangkat
derajat masyarakat Indonesia secara merata. Kesenjangan sosial antara pemilik modal besar
dengan sektor informal masih menganga demikian lebar. Ekonomi Pancasila yang
diharapkan memberikan perlindungan kepada masyarakat, khususnya sektor informal,
ternyata gagal total. Pasar tradisional yang menjadi penyangga kehidupan masyarakat umum
mulai terusik dengan hadirnya pasar swalayan di mana-mana. Warung-warung tradisional
yang dijalankan oleh pemilik modal kecil tersungkur dengan tidak terkendalinya pasar
swalayan waralaba milik pemodal besar yang masuk ke gang-gang. Inilah yang menjadi
kegusaran Berger, Berger, dan Kellner (1973) serta Poole (1991) yang berargumentasi bahwa

masyarakat modern dewasa ini sedang dilanda suatu penyakit moral dengan citranya yang
menonjol, yaitu berupa rasionalitas ilmiah teknologis yang mengutamakan efesiensi dan
efektivitas untuk mencapai tujuan. Bertindak rasional dalam pengertian yang dominan (bagi
kapitalis) adalah mengejar keuntungan demi kepentingan diri sendiri.

3

Terlepas dari kebijakan ekonomi global yang lebih berpihak pada kaum kapitalis,
peran para agen pembangunan di lapangan masih sangat menentukan. Konsep pembangunan
sebagai kegiatan terencana dan sistematis yang dilakukan untuk mengubah bentuk kehidupan
lama ke bentuk kehidupan baru yang lebih berkualitas harus dapat diwujudkan dengan baik.
Untuk mewujudkan kehidupan yang lebih berkualitas pada suatu masyarakat, model
pembangunan mutakhir yang dapat digunakan adalah paradigma pembangunan ―berbasis
lokal‖ yang berwawasan kemasyarakatan. Paradigma ini mengandung makna bahwa program
pembangunan yang dilaksanakan di wilayah tertentu hendaknya memanfaatkan potensi
setempat yang tersedia. Potensi itu dapat berupa benda, misalnya, dalam bentuk sumber daya
alam (tanah, hutan, mineral, laut, sungai, flora, dan fauna) atau berupa bukan benda,
misalnya sumber daya manusia dan kebudayaan (nilai, norma, kepercayaan, gagasan)
masyarakat setempat (Mansoben, 2010).
Di samping potensi lokal yang disebutkan di atas, potensi lokal yang sering

terlupakan adalah sarana komunikasi pembangunan, yaitu bahasa. Masyarakat, sebagai
sasaran pembangunan sering tidak menangkap pesan-pesan pembangunan secara
komprehensif karena mereka tidak memahami bahasa yang digunakan oleh para agen
pembangunan (penyampai pesan). Ketidakpahaman masyarakat awam atas pesan
pembangunan bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, agen pembangunan yang terdidik di
kota atau yang berasal dari latar belakang bahasa yang berbeda menggunakan bahasa
Indonesia yang sama sekali asing di telinga para anggota masyarakat sasaran pembangunan.
Bahasa Indonesia yang digunakan penuh dengan istilah asing yang menyebabkan pesan yang
hendak disampaikan tidak tersampaikan dengan baik. Misalnya, ‗intensifikasi‘,
‗ekstensifikasi‘, ‗nutrisi‘, ‗mayoritas‘, ‗intrusi‘, ‗drainase‘, ‗destinasi‘, ‗total‘, ‗kontribusi‘,
‗akuntabel‘, ‗first line‘, ‗second line‘, ‗front liner‘, ‗opini‘, ‗way of thinking‘, ‗way of life‘,
‗kredibel‘, ‗good governance‘ dan banyak lagi istilah yang benar-benar semakin menjauhkan
masyarakat sasaran pembangunan dari pemahaman yang seharusnya. Kedua, agen
pembangunan enggan mempelajari dan menggunakan bahasa daerah masyarakat sasaran.
Dalam suatu kesempatan memberi kuliah di Universitas Indonesia, Ibu Mutia Hatta, mantan
menteri Pemberdayaan Perempuan, bercerita seperti ini: ada agen pembangunan di Irian Jaya
mengalami kesulitan menyampaikan pesan kepada masyarakat karena mereka tidak
menguasai bahasa lokal5. Ini menunjukkan bahwa bahasa daerah sebagai sarana untuk
menyampaikan pesan-pesan pembangunan ke masyarakat harus mendapat tempat istimewa.
Dengan demikian, agar pesan pembangunan dapat terpahami dengan baik oleh

masyarakat sasaran pembangunan di daerah, bahasa masyarakat sasaran harus digunakan
oleh penganjur pembangunan. Penganjur pembangunan tidak boleh bangga dan puas dengan
banyaknya istilah asing yang digunakannya, tetapi ia patut berbangga dan puas karena karena
pesan pembangunan dapat terpahami dengan baik.

5

Sumber informasi: A. Nur faizah, mahasiswi pada jurusan Antropologi Sosial, Universitas Indonesia.

4

Bahasa Daerah sebagai Sarana Komunikasi Efektif
Dalam berbagai sumber dijelaskan bahwa komunikasi efektif adalah komunikasi yang
mampu menghasilkan perubahan sikap pada orang yg terlibat dalam komunikasi. Dalam teori
komunikasi, salah satu unsur penting dari 4 unsur—pesan, penyampai pesan, media, dan
penerima pesan—yang terlibat dalam suatu komunikasi adalah media, yaitu bahasa yang
digunakan. Artinya, bila pesan yang disampaikan diharapkan dipahami dengan baik oleh
penerima pesan, maka syarat berikut haruslah menjadi perhatian.
a. Sarana komunikasi haruslah menggunakan bahasa yang dipahami masyarakat
sasaran;

b. Bahasa yang digunakan haruslah jelas;
c. Kosa kata yang digunakan akrab dengan masyarakat sasaran;
d. tercapainya pengertian antara penyampai pesan dan masyarakat sasaran.
Bila kita bersepakat bahwa bahasa merupakan salah satu syarat berhasilgunanya
komunikasi, maka agen pembangunan dituntut untuk menguasai bahasa yang digunakan oleh
masyarakat sasaran. Bila masyarakat sasaran pembangunan hanya mampu memahami bahasa
daerah, maka agen pembangunan harus bisa menggunakan bahasa yang digunakan
masyarakat sasaran. Model komunikasi seperti ini telah lama digunakan oleh para penganjur
agama yang bila hendak memasuki daerah tertentu, mereka berusaha mempelajari bahasa
yang digunakan masyarakat bersangkutan dan berusaha melebur dengan budaya setempat.
Model lain yang dapat digunakan adalah putra daerah—yang menguasai bahasa daerah—
yang potensial dibina dan dididik untuk menjadi agen pembangunan yang nantinya akan
memanfaatkan bahasa daerahnya secara efektif dalam komunikasi pembangunan.

Kearifan dalam Bahasa Daerah
Berbicara soal bahasa tidak hanya dapat dipandang sebagai sarana komunikasi, tetapi
juga mengandung pesan moral, kebijaksanaan, pengetahuan setempat, atau kecerdasan
setempat yang sering disebut sebagai kearifan lokal. Banyak kecerdasan setempat sulit
diungkapkan dalam bahasa lain karena terkait dengan simbol-simbol lokal. Mari kita cermati
syair Bugis yang mengandung pesan moral tentang pentingnya setiap individu untuk selalu

mawas diri agar selalu memperbaiki niat dalam bertindak dan bersikap jujur dalam segala
aspek kehidupan.
/duai kuala sappo/
/unganna panasae/
/belo kanukue/

(dua kujadikan perisai
bunga nangka
hiasan kuku)
Maksud syair tersebut adalah sebagai berikut.
5

1) ―Dua hal yang kujadikan perisai‖. Perisai adalah pelindung, pembatas, penjaga diri,
pemawas diri. Jadi, ungkapan itu berarti ―ada dua hal yang saya jadikan pemawas
diri‖.
2) ―Bunga nangka‖, atau bahasa Bugis ―unganna panasae” atau bunga ―panasa i”
sinonim dengan kata ―lĕmpu.‖ Dalam bahasa Indonesia, ―Lĕmpu” berarti ―jujur‖ atau
―kejujuran‖. Jadi, ungkapan itu bermakna ―kejujuran‖.
3) ―Belo kanuku (hiasan kuku, pemerah kuku)‖, tetapi dalam aksara Bugis:
dapat diucapkan dengan /paccing/ yang berarti bersih atau tidak ternoda. Jadi, ―belo

kanuku‖ bermakna ‗kesucian.‘
Dengan demikian, syair di atas mengandung pesan bahwa ada dua unsur pokok yang
menjadi prinsip dalam kehidupan, yaitu berhati bersih, berpikir, bersikap, dan bertindak jujur
dalam mengarungi kehidupan. Kejujuran dan kesucian merupakan dua hal yang jika selalu
hadir dalam kehidupan setiap orang, maka kehidupan akan lebih baik (Said, 2007). Bertindak
jujur disertai dengan niat baik merupakan unsur penting dalam kehidupan.
Pasal 32 UUD 1945 menyatakan: "Pemerintah memajukan kebudayaan nasional
Indonesia." Ini berarti bahwa masalah kebudayaan nasional adalah masalah kenegaraan,
sehingga perlu ditangani secara sungguh-sungguh oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia
guna membentuk suatu kebudayaan nasional modern. Memajukan kebudayaan nasional
tersebut adalah melestarikan kearifan lokal bangsa. Melestarikan kearifan lokal bangsa,
bukan merupakan usaha untuk menghantarkan kembali bangsa kita ke masa silam, melainkan
untuk merevitalisasinya untuk dijadikan sebagai perisai dalam tantangan kehidupan global.
Menurut Said (2008), etos kebudayaan setiap etnik merupakan inti kebudayaan suku
bangsa yang berkualitas tinggi, dinamis, dan menggambarkan identitas masyarakat
pendukungnya yang menjadi modal dasar bagi pembangunan kebudayaan nasional Indonesia.
Adapun syarat dalam penyeleksian etos kebudayaan etnik tersebut adalah: (1) mencerminkan
kualitas, martabat, dan peradaban bangsa dan (2) komunikatif, yaitu dapat dihayati oleh
pendukung kebudayaan etnik lainnya. Mari kita cermati syair Bugis yang mengandung
kearifan Bugis yang tetap relevan dengan perkembangan zaman:
Rusa’ taro arung, tĕnrusa’ taro adĕ’
Rusa’ taro adĕ’, tĕnrusa’ taro anang
Rusa’ taro anang, tĕnrusa’ taro to maega
(Batal ketetapan Raja, tidak batal ketetapan adĕ’
Batal ketetapan Adat, tidak batal ketetapan Kaum
Batal ketetapan Kaum, tidak batal ketetapan orang banyak)
Dalam syair itu, tergambar dengan jelas bahwa kedudukan rakyat amat besar dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Rakyat berarti segalanya bagi suatu negara.
Penguasa hanyalah merupakan segelintir kecil manusia yang mendapat mandat untuk
mengurus administrasi, keamanaan, dan pelaksanaan pemerintahan negara. Selanjutnya,

6

kepemimpinan dengan sistem itu disebut dalam kearifan Bugis sebagai kepemimpinan ‘dari
bawah‘ yang dalam ungkapan Lontara’6 disebut:
‘Mangngĕllĕ pasang massolompawo‘
(Bagaikan air pasang yang tak terbendung).
Kearifan itu mengisyaratkan bahwa konsep kepemimpinan yang ideal adalah kepemimpinan
‘rakyat‘. Rakyat memiliki kedudukan penting dalam kehidupan bernegara. Cermati pula
kearifan Jawa berikut ini yang menunjukkan betapa pentingnya setiap individu untuk berbuat
yang terbaik, baik terhadap diri sendiri, keluarga, sesama manusia, maupun pada lingkungan:
Memayu hayuning pribadi;
Memayu hayuning kaluarga;
Memayu hayuning sasomo;
Memayu hayuning bawana.
(Berbuat baiklah terhadap diri sendiri;
Berbuat baiklah terhadap keluarga;
Berbuat baiklah terhadap sesama manusia;
Berbuat baiklah terhadap alam semesta)
Namun, dalam kehidupan sehari-hari, tampak dengan jelas di depan mata kita bahwa
bangsa Indonesia sedang mengalami keterasingan dari etos kebudayaannya sendiri. Ada
kecenderungan bahwa mereka hanyut dan silau oleh kemajuan kehidupan material sebagai
dampak negatif dunia kapitalis-monopoli yang menganut prinsip bahwa pelaku pembangunan
adalah ―aku‖, bukan ―aku dan Anda‖, yaitu ―Kita‖: ―keuntungan adalah milikku sendiri.‖
Berbagai kasus, khususnya penyelewengan keuangan negara, telah merebak dan menjadi
biasa dalam kehidupan kenegaraan kita, sehingga bangsa kita, bukannya unggul dalam
bidang prestasi yang membanggakan, tetapi unggul dalam ―perampokan.‖7 Keadaan yang
sangat memprihatinkan ini seharusnya mengusik setiap individu bangsa Indonesia, mulai dari
pemimpin tertinggi sampai pada masyarakat awam untuk kembali pada hakikat kehidupan
bernegara, yaitu terciptanya masyarakat yang damai dan sejahtera yang mendapat rida Tuhan.
Peran kearifan lokal dalam menata kehidupan kenegaraan tidak perlu dipertanyakan lagi.
Misalnya, Jepang dengan semangat ―On”, “Giri”, dan ―Gimu” yang dimotori oleh semangat
etos Bushido telah berhasil mengangkat derajat, harkat, dan martabat bangsa Jepang yang
disegani masyarakat dunia. Kekuatan yang mendorong bangsa Jepang untuk meraih
kemajuan itu, bukannya merupakan adopsi dari etos budaya luar, melainkan merupakan etos
budaya asli bangsa Jepang sendiri.
Kenyataan tersebut merupakan suatu bukti bahwa keunggulan dan ketinggian martabat
bangsa tidaklah harus dilakukan dengan hanya meniru kebudayaan dari luar, melainkan dapat
juga dilakukan dengan merevitalisasi kekayaan budaya sendiri. Hal ini dapat dilakukan
melalui penggalian kembali kearifan lokal yang merupakan etos kebudayaan asli bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, bisa jadi tingginya tingkat pengadopsian budaya asing yang
melanda masyarakat Indonesia dewasa ini disebabkan oleh masih kurangnya informasi,
6

Lo tara’ adalah adalah askah klasik Bugis yang mengandung kearifan lokal.
Pera poka adalah istilah untuk korupsi yang dipinjam dari M. Jusuf Kalla dalam menanggapi kasus bank
Century.

7

7

pemahaman, dan penghayatan terhadap kecerdasan lokal budaya sendiri. Kebudayaan asli
bangsa Indonesia yang tersebar di seluruh persada nusantara, sesungguhnya masih sangat
sesuai dengan perkembangan zaman (up-to-date) dan perlu diramu dalam diri bangsa
Indonesia, sehingga bangsa Indonesia diharapkan tidak hanya mampu menampakkan ciri
kepribadiannya yang khas, tetapi juga mampu menunjukkan keunggulan dan ketinggian
harkat dan martabat bangsa. Menurut Magnis-Suseno (2003), tercapainya pembangunan
dalam bidang kebudayaan nasional tercermin dalam meningkatnya peradaban, harkat dan
martabat manusia Indonesia, jati diri, dan kepribadian bangsa yang kuat.

Simpulan dan Saran
Dampak negatif globalisasi telah menampakkan coraknya dalam berbagai wilayah
kehidupan. Generasi muda Indonesia mulai terasing dari budayanya sendiri. Mereka mulai
menyangsikan identitas dirinya sebagai bangsa. Kebanggaan sebagai bangsa yang
berperadaban tampaknya menyusut setiap hari. Dunia global dengan media komunikasi yang
demikian canggihnya telah memungkinkan individu dari belahan dunia lain
mengomunikasikan pesannya dalam waktu yang sangat cepat. Ngugi Wa Thiong‘o, seorang
penulis asal Kenya, menengarai bahwa dunia Barat, khususnya Amerika Serikat sedang
melemparkan bom budaya terhadap masyarakat dunia. Mereka telah berusaha
menghancurkan tradisi dan bahasa pribumi, sehingga bangsa-bangsa tersebut kebingungan
dalam upaya mencari identitas budayanya sendiri. Selanjutnya, dia berpendapat bahwa
budaya asing yang berkuasa di berbagai bangsa dulu dipaksakan melalui penjajahan dan kini
dilakukan dengan modus operandi yang berbeda, yaitu atas nama globalisasi8.
Bahasa daerah yang di dalamnya terdapat kearifan dan nilai yang masih relevan
dengan kehidupan mengakar di masyarakat harus diangkat ke permukaan, sehingga kekayaan
peradaban bangsa yang tak pernah lekang dalam percaturan globalisasi dapat direvitalisasi
untuk menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari dan sekaligus sebagai penawar dampak
negatif globalisasi.

Daftar Pustaka
Astuti, S.I. (2010). Pendidikan holistik dan kontekstual dalam mengatasi krisis karakter di
Indonesia. Jurnal Kependidikan.Edisi Khusus, Tahun XXIX, 41-58.
Berger, P. L., Berger, B., dan Kellner, H. Pikiran Kembara : Modernisasi dan Kesadaran
Manusia. Terjemahan oleh A. Widyartaya. (1992). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus besar bahasa Indonesia . Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Endarmoko, E. (2008). Tesaurus bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
8

http://indonesian.irib.ir/index.php/politik/63-sosial/4476-seni-budaya-dan-globalisasi-di-milleniumketiga.html

8

Magnis-Suseno, F. (2003). Etika Jawa: sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup
Jawa . Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama.
Mansoben, J.R .(2010). Kebudayaan dan pembangunan dalam kerangka Otonomi khusus.
Simposium Nasional Papua: Menuju Pembangunan Berbasis Masyarakat yang
Berkelanjutan. Kerjasama FISIP Universitas Indonesia, Jakarta dan FISIP Universitas
Cenderawasih, Jayapura di Jakarta pada tanggal 7 – 9 April 2010. Diakses pada tanggal
28 Juni 2010 dari http://www.fisip.ui.ac.id/papua/images/oziodownload/mansoben.pdf
Poole, R. Moralitas dan Modernitas: Di Bawah Bayang-bayang Nihilisme. Terjemahan oleh
F.B. Hardiman. (1993). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Said, M. (2007). Konsep jati diri manusia Bugis: sebuah telaah falsafi tentang kearifan
Bugis. Ciputat: Churia Press.
Said, M. dan Thalib, F. (2008). Model pemertahanan budaya nusantara dalam era globalisasi:
membaur atau melebur? Prosiding Seminar antara bangsa dialek-dialek Austronesia di
Nusantara III. Jabatan bahasa Melayu dan Linguistik, Fakulti Sastera dan Sains Sosial,
Brunei Darussalam, 24-26 Januari 2008.

9