KAJIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI ANGKUTAN UMUM DALAM PERSFEKTIF KRIMINOLOGI

(1)

ABSTRAK

KAJIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI ANGKUTAN UMUM DALAM PERSFEKTIF KRIMINOLOGI

Oleh

KAMAL PUTRA TAMRIN

Perkosaan di angkutan umum yang belakangan ini terjadi, sangat menghawatirkan, bukan hanya mempengaruhi si korban pelaku perkosaannya saja, bahkan masyarakat pengguna jasa angkutan umum pun terganggu dengan fenomena baru yang belakangan ini terjadi. Tindak pidana perkosaan di angkutan umum merupakan tindak kejahatan yang perlu dikaji dan dicari cara penyelesaiannya. Tindak pidana perkosaan ini dipicu oleh berbagai hal, mulai dari peran korban yang acapkali mendorong timbulnya tindak pidana perkosaan di angkutan umum, hingga peran pelaku dan aparat penegak hukum yang kurang antisipasif dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya tindak pidana perkosaan di angkutan umum. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah persfektif kriminologi terhadap faktor penyebab tindak pidana perkosaan di angkutan umum? (2) Bagaimanakah upaya penanggulangan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum?. (3) Apakah faktor penghambat dalam upaya penangulangan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum?.

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Responden penelitian terdiri dari anggota Kepolisian Resor Kota Bandar Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Tinggi Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa, Persfektif kriminologi terhadap faktor-faktor tindak pidana perkosaan di angkutan umum adalah masalah kejahatan khususnya tindak pidana perkosaan yang dilakukan di angkutan umum hakikatnya merupakan suatu komponen yang perlu diperhatikan dan atau dikaji.Faktor internal dan eksternal dari diri korban dalam tindak pidana perkosaan khususnya yang dilakukan di angkutan umum biasanya dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut : a) pakaian minim, b) prilaku yang mengundang hasrat lelaki untuk menggoda, c) kesalahan dalam memilih angkutan umum, d) waktu dalam


(2)

Kamal Putra Tamrin

menggunakan angkutan umum. Faktor internal dan eksternal dari pelaku dalam tindak pidana perkosaan di angkutan umum biasanya dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut : a) faktor lingkungan yang mendorong para sopir angkutan umum untuk melakukan tindak pidana, b) terpengaruh miniman keras, c) terpengaruh video porno, d) hasrat untuk melakukan hubungan seks yang tidak terkendali, e) pelaku biasanya adalah sopir tembak, f) kaca film yang terlalu gelap, g)sound system yang terlalu keras, h) kejiwaan/emosi pelaku yang tidak terkontrol. Upaya penaggulangan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum ini dilakukan dengan jalur penal dan non penal. Jalur penal lebih menekankan pada upaya refresif yaitu dengan cara menjatuhkan hukuman seberat-beratnya sesuai dengan apa yang dilakukan pelaku, agar menimbulkan efek jera serta memberikan sanksi pidana dan pencabutan izin oprasional bagi pemilik angkutan umum yang terlibat dalam tindak pidana. Upaya non penal lebih menekankan dalam hal pencegahan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum, upaya pencegahan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum adalah sebagai berikut: a) formulasisasi peraturan perundang-undangan terhadap delik perkosaan, b) peran orang tua dalam memperhatikan anaknya khususnya anak remaja perempuan yang biasa menggunakan fasilitas angkutan umum, c) razia berkesinambungan yang dilakukan aparat kepolisian terhadaap angkutan umum dan tempat-tempat yang merupakan titik rawan terjadinya tindak pidana, d) putusan yang setimpal akan berdampak preventif, e) pemberitaan dan penayangan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum dapat menumbuhkan kesadaran dan kehati-hatian masyarakat, f) angkutan kota akan dipasang stiker himbauan dan alamat pengaduan serata penyediaan ruang publik khusus perempuan. Faktor penghambat dalam upaya penanggulangan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum adalah sebagai berikut, a) faktor hukum yang belum memadai untuk menjatuhkan hukuman yang setimpal bagi pelaku tindak pidana perkosaan, b) langkah preventif yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang lamban, c) ketersediaan personil siaga kepolisian yang minim, d) pemahaman masyarakat yang terkesan tidak perduli terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum, e) tradisi masyarakat yang selalu menyalahkan peran korban yang dominan terhadap terjadinya tindak pidana perkosaan di angkutan umum.

Saran dalam penelitian ini adalah dengan ilmu bantu kriminologi yang mencari dan mengkaji sebab musabab terjadinya tindak pidana perkosaan di angkutan umum dapat lebih membantu dalam upaya pengendalian dan penanganan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum, dengan adanya kerjasama yang efektif dan efisien antara seluruh pihak terkait baik dengan cara penal atupun non penal diharapkan timbulnya rasa aman dan nyaman bagi masyarakat khususnya para pengguna fasilitas angkutan umum, dan diharapkan pula kepada seluruh lapisan masyarakat agar tidak memandang sebela mata terhadap kasus tindak pidana perkosaan di angkutan umum kedepan.


(3)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikuti:

1. Persfektif kriminologi terhadap faktor-faktor penyebab tindak pidana perkosaan di angkutan umum adalah faktor internal dan eksternal dari korban dan pelaku. Peran korban dalam tindak pidana perkosaan khususnya yang dilakukan di angkutan umum biasanya dipengaruhi oleh pakaian yang minim, prilaku yang mengundang hasrat lelaki untuk menggoda, kesalahan dalam memilih angkutan umum, waktu dalam menggunakan fasilitas angkutan umum. Tindak pidana perkosaan yang dilakukan di angkutan umum ini tidak semata-mata hanya dipengaruhi oleh peran korban yang berperan secara pasif maupun aktif, tetapi juga peran pelaku dan keadaan lingkungan merupakan faktor sebab terjadinya perkosaan di angkutan umum ini, seperti faktor lingkungan yang mendorong kuat para pengemudi angkutan umum untuk melakukan tindak pidana, terpengaruh minuman keras/beralkohol, terpengaruh video porno sehingga timbul hasrat untuk melakukan hubungan seks yang tak terkendali, biasanya pelaku merupakan sopir tembak yang tidak memiliki izin oprasional mengemudikan angkutan umum, kaca film yang digunakan terlalu gelap dansound systemyang yang disettingterlalu keras.


(4)

70

2. Upaya penanggulangan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum, sebagai berikut :

a. Upaya Penal

1) Refresif, yakni pelaku tindak pidana perkosaan di angkutan umum sebaiknya diberikan hukuman berat sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku.

2) Memberikan sanksi berupa pencabutan izin operasi/trayek kepada perusahaan dan pemilik angkutan umum yang terlibat dalam aksi kejahatan dan juga pemberian sanksi pidana oleh aparat pengak hukum.

b.Upaya Non Penal

1) Penataan perundang-undangan baru.

2) Peranan orang tua sebagai pengawas dan memberi nasehat kepada anaknya.

3) Razia berkesinambungan oleh aparat kepolisian.

4) Upaya proses percepatan putusan di pengadilan sehingga berdampak prevensi.

5) Bantuan media massa dalam upaya penayangan dan penyuluhan berita terkait kasus tindak pidana perkosaan di angkutan umum.

6) Angkutan umum dipasang stiker dan penyediaan ruang publik khusus wanita.


(5)

71

3. Faktor-faktor penghambat upaya penanggulangan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum terdiri dari :

a) Faktor Hukum

Penyelesain kasus tindak pidana perkosaan di angkutan umum mengalami kesulitan karena terhambat oleh peraturan hukum yang belum mengikuti perkembangan masyarakat sekarang.

b) Faktor Penegak Hukum

Secara kualitatif yaitu, minimnya kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) pada aparat penegak hukum dan secara kuantitatif, yaitu minimnya ketersediaan personel keamanan yang tersedia di lapangan.

c) Faktor Fasilitas

Sarana dan prasarana pendukung yang kurang memadai dalam upaya penanggulangan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum. d) Faktor Masyarakat

Kesadaran dan kehati-hatian masyarakat yang kurang terhadap akan bahayanya tindak perkosaan di angkutan umum.

e) Faktor Kebudayaan

Tradisidi masyarakat tindak pidana perkosaan hanya menitikberatkan kepada peran korban sebagai pemicu dari timbulnya tindak pidana perkosaan tersebut.


(6)

72

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Dengan bantuan kriminologi, yaitu ilmu yang mempelajari dan mengkaji mengenai sebab musabab dan cara menangani suatu kejahatan diharapkan dapat mengatasi dan meminimalisir terhadap kasus tindak pidana perkosaan di angkutan umum.

2. Adanya kerjasa sama antara pihak terkait dalam upaya penanggulangan tindak pidana perkosaan di angkutan umum. Melalui jalur penal dan non penal dan lebih menekankan pada upaya preventif sehingga dengan adanya upaya pencegahan yang dilakukan secara efisien dan efektif diaharapkan timbulnya rasa aman dan nyaman bagi masyarakat, khususnya para pengguna fasilitas angkutan umum dikemudian hari.

3. Upaya penanggulangan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum tidak serta-merta selalu berjalan lancar, banyak faktor penghambat dalam upaya penanggulangan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum tersebut. Dengan adanya kerjasama yang baik antar semua lapisan masyarakat, baik pihak-pihak berwenang, korban maupun pelaku dan masyarakat dalam memandang bahwa sangatlah serius dan menghawatirkan akan dampak terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum ini dan tidak memandang sebelah mata dan terkesan sinis diharapkan dapat meminimalisasikan faktor penghambat dalam upaya penanggulangan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum ini.


(7)

KAJIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI

ANGKUTAN UMUM DALAM PERSFEKTIF KRIMINOLOGI

(Skripsi)

Oleh

KAMAL PUTRA TAMRIN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(8)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 8

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA... 16

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana... 16

B. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan ... 26

C. Persfektif Tindak Pidana Perkosaan dalam Kriminologi ... 30

D. Viktimologi dan Ruang Lingkupnya... 33

III METODE PENELITIAN... 36

A. Pendekatan Masalah ... 36

B. Sumber dan Jenis Data ... 36

C. Penentuan Populasi dan Sempel... 37

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ... 38


(9)

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 41

A. Karakteristik Responden ... 41

B. Persfektif Kriminologi Terhadap Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Perkosaan di Angkutan Umum ... 42

C. Upaya Penanggulangan Terhadap Tindak Pidana Perkosaan di Angkutan Umum... 50

D. Faktor Penghambat dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Perkosaan di angkutan Umum... 62

V PENUTUP ... 69

A. Kesimpulan ... 69

B. Saran... 72

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(10)

DAFTAR PUSTAKA

Abar, A. Z & Tulus Subardjono. 1998.Perkosaan dalam Wacana Pers National, kerjasama PPK & Ford Foundation. Yogyakarta.

Anwar, Yesmil. 2010.Kriminologi, RefikaAditama. Bandung

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996

Arikunto, Suharsimi, 1998. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

BardaNawawiArif. 1996.MasalahKorbanKejahatan. Rajawali Pers. Jakarta. B. Simandjuntak.1981.Penanggulangan Kejahatan, Alumni, Bandung,

C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu SistemHukum Nasional, Bandung: Alumni, 1991: 24. hlm. 53.

Goesita, Arif. 1985.Victiminasi Kriminal Kekerasan. Akademika Presindo. Jakarta. Goesita, Arif. 1993.Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Jakarta Huijbers, Theo,Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1991: 24.

J.E. Sahetapy. 1987. Viktimologi Sebuah Bunga Rampai. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1998.

Kusumaatmadja, Mochtar, 1986, Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta.

Lawrence M. Friedman,American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily lives, New York: W.W. Norton & Company,


(11)

2

Maleong, Lexy J, 2005, Metode Penelitian Sosial: Edisi Revisi, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Marpuang, Laden.2008. KejahatanTerhadapKesusilaandanMasalahPrevensinya, SinarGrafika. Jakarta.

Moeljanto.1987.KitabUndang-UndangHukumPidana.BumiAksara. Jakarta. Moeljatno, 2003.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta Moeljanto, 1987.Asas-AsasHukumPidana.BinaAksara. Jakarta

Muhammad, Abdulkadir. 2008. HukumPengangkutanNiaga. Citra AdityaBakti. Bandung.

Muhammad, Abdul Kadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

P.A.F. Lamintang, dan C. Djisman Samosir, 1981. Delik-delik Khusus, Tarsito, Bandung

Reiff, Robert. 1987.The Invisible Victim. Basic Book inc. New York

Rahardjo, Satjipto,Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983.

Saleh, Roeslan,. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta. 1998.

Singarimbun, Masri dan Effendi. 1995. Metode Penelitian Survey. PT Pustaka LP3ES. Jakarta

Soekamto, Soerjono.1986.KriminologiSuatuPengantar. Ghalia Indonesia. Jakarta. Soekamto, Soerjono.1984. PengantarPenelitianHukum. Universitas Indonesia.

Jakarta.

Soekamto, Soerjono. 1986.Metode Penelitian Sosial. Bina Rupa Aksara. Jakarta. Soekamto, Soerjono.1986.KriminologiSuatuPengantar. Ghalia Indonesia. Jakarta. Suprapto. 1986.KejahatanTerhadapKesusilaan. Rajawali Pers. Jakarta

Waluyo, Bambang.2011. ViktimologiPerlindunganKorbandanSaksi, SinarGrafika. Jakarta.


(12)

3

Weber, Max dalam A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukumdan Perkembangan Sosial (Buku I), Jakarta: Sinar Harapan, 1988.

YayasanPenyelenggaraPenerjemah/Penafsirran Al-Qur’an DepartemenAgama. 1974. Surat Al-MaidahAyat 27-32. Al-Qur’an danTerjemahannya 30 Juz.

RancanganUndang-UndangKitabUndang-UndangHukumAcaraPidanatahun1993 ( RUU KUHP 1993 )

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

JurnalNasional, Ahmad Amrullah 7 Maret 2012 http:VIVAnews.com, 31 oktober 2011


(13)

KAJIAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN DI ANGKUTAN UMUM DALAM PERSFEKTIF KRIMINOLOGI

Oleh

KAMAL PUTRA TAMRIN

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(14)

Judul Skripsi :KAJIAN TERHADAP TINDAK PIDANA

PERKOSAAN DI ANGKUTAN UMUM DALAM PERSFEKTIF KRIMINOLOGI

Nama Mahasiswa :KAMAL PUTRA TAMRIN No. Pokok Mahasiswa :0812011199

Bagian :Hukum Pidana

Fakultas :Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP.19620817 198703 2 003

Firganefi, S.H., M.H. NIP. 19631217 198803 2 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana,

Diah Gustiniati, S.H., M.H. NIP.19620817 198703 2 003


(15)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :Diah Gustiniati, S.H., M.H. ………

Sekretaris/Anggota :Firganefi, S.H., M.H. ………

Penguji Utama :Maya Shafira, S.H., M.H. ………

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP. 19621109 198703 1 003


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Karang Bandar Lampung pada tanggal 22 November 1990, merupakan putra pertama dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Tamrin Manaf dan Ibu Onih Sutrisni

Penulis menempuh Pendidikan Sekolah Dasar Negeri 1 Bringin Raya Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2003, SMP Negeri 14 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2005, SMA Negeri 7 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008, pada tahun 2008 Penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNM-PTN. Pada tahun 2011, mengikuti kuliah kerja nyata (KKN) di Desa Gedung Ram Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Mesuji Lampung. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif dalam kegiatan kemahasiswaan di, dewan perwakilan mahasiswa (DPM) priode 2011/20112 dan himpunan mahasiswa pidana (HIMA PIDANA).


(17)

MOTTO

Minta tolonglah kamu (dalam jihad akbar ini) dengan melakukan salat dan sabar Sesungguhnya itu berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk

(Q.S. Al-Baqarah: 45)

Innallaha wa malikatahu yushalluna alannabi yaayyuhalladzina amanu shallu alaihi wa sallimu taslima(Q.S. Al-Ahzab : 56)

Salam oh salam seharum kasturi, BagiMu duhai kekasih yang mulia Demi Allah ku penuhi hatiku, Engkaulah tujuan cita-citaku Muliakan aku dengan cinta suciku, Berikan padaku tempat yang mulia

Akulah hambaMu duhai tercinta, Di dekatMu cintaku dan bahagiaku Ash-shidqu thuma niinah


(18)

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan Skripsi ini kepada:

Bapak dan Mamah tercinta Tamrin Manaf dan Onih Sutrisni yang telah membesarkanku, membimbingku

dan senantiasa mendoakan keberhasilanku

Adikku Ghaniy Arrasyd Tamrin dan Maullana Malik Tamrin yang kusayangi

Nenek dan kakekku di Bangka dan Subang Tersayang,

seluruh saudaraku ci Muis dan keluarga, Pa ngah dan Bu ngah, seluruh keluarga di Batu Rusa Bangka Belitung. Budhe ku tercinta, om Udin yang selalu memberi nasehat dan semangat, seluruh keluarga di Subang Jawa Barat yang telah lama

menantikan

keberhasilanku dan selalu menasehatiku agar menjadi lebih baik.

Nazra Fairusha Arrusyda yang telah luar biasa memberikan titik tersendiri dalam semangat ku , teman-teman baik ku di lapangan hijau, teman-teman angkatan 2008 yang selalu senantiasa memberikan semangat dan dorongan yang khusus

pada penulis, teman-teman masa kanak-kanakku yang sampai sekarang tetap berjuang bersama ku, serta keluarga Cendana Catur Tunggal yang telah

memberikan pelajaran berharga bagi penulis mengenai kebersamaan. THANK YOU TO


(19)

SAN WACANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, sebab hanya dengan kehendakNya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Kajian Terhadap Tindak Pidana Perkosaan di Angkutan Umum dalam Persfektif Kriminologi, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati, SH, MH., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembimbing I Skripsi, atas bimbingan dan saran yang diberikan selama proses penyusunan skripsi.

3. Ibu Firganefi, SH., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus Pembimbing II, atas bimbingan dan saran yang diberikan selama proses penyusunan skripsi.

4. Ibu Maya Shafira, SH, MH, selaku Penguji Utama, atas masukan dan saran yang diberikan selama proses penyusunan skripsi.


(20)

5. Ibu Dona Raisa M, SH., MH., selaku pembahas II, atas masukan yang di berikan selama proses penyusunan skripsi.

6. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi.

7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung: kayai basri, mbak Dian, mbak Lusi, mbak Sri, mbak Yani yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi.

8. Kepala Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung, yang telah memberikan izin dan memberikan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian. 9. Kepala Kejaksaan Tinggi Lampung dan Kepala Pengadilan Negeri Tanjung

Karang, yang telah memberikan izin dan memberikan bantuan kepada penulis selama pelaksanaan penelitian.

10. Sahabat-sahabatku: Si kembar Adi dan Ali, Perdy, Agung Atas dan Agung Bawah, Anto serta sahabat-sahabat ku di lapangan hijau, Amer, Wisnu, Enduk , Jarot, Onang, Ekul, Mudrik dan Ka Toing dan Pinan yang penulis anggap seperti orang tua sendiri terima kasih atas persahabatan, kebersamaan dan pelajaran yang luar biasa selama ini.

11. Seluruh Teman-teman Bagian Hukum Pidana: Herdy (Bebek), Kamil, Abdol, Febry, Boim, Jale, Alvo, Afandi, bang Fahrul, Andai Pohan genks, Wawaw, Sendro, Hendri, Ike, Wahbi, Ricky (Curot), XBB friends dll atas persahabatan dan kebersamaan selama menempuh studi serta dorongan dan motivasi yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini.


(21)

Penulis berdoa semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan akan mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Mei 2012 Penulis


(22)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Di koran atau majalah diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan

selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana perkosaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat.

Tindak pidana yang sering menimpa pada kaum perempuan adalah perkosaan. Setiap peristiwa perkosaan tidak serta merta terjadi begitu saja, melainkan hal itu tidak dapat dilihat sebagai suatu kasus yang berdiri sendiri. Sebab, tindak pidana perkosaan juga erat kaitannya dengan budaya dan struktur sosial sebuah masyarakat. Perkosaan selalu melibatkan dua belah pihak, yaitu pelaku dan korban, dan yang pasti lazimnya


(23)

2

Pada kasus perkosaan, setiap orang dapat menjadi pelaku perkosaan tanpa mengenal usia, status, pangkat, pendidikan, dan jabatan. Berdasarkan data usia pelaku tindak kejahatan perkosaan, dapat dikatakan bahwa pelaku perkosaan sesungguhnya tidak mengenal batas usia. Selama individu masih mempunyai daya seksual, dari anak-anak hingga kakek-kakek masih sangat mungkin untuk dapat melakukan tindak kejahatan perkosaan. Demikian pula dengan korban. Setiap perempuan dapat menjadi korban dari kasus perkosaan tanpa mengenal usia, kedudukan, pendidikan, dan status. ( Abar & Subardjono, 1998:34 ),

Perkosaan di angkutan umum yang belakangan ini sering terjadi, menjadi sangat menghawatirkan, bukan hanya mempengaruhi si korban pelaku perkosaannya saja, bahkan masyarakat yang sering menggunakan jasa angkutan umum pun terusik dengan fenomena baru yang belakangan ini terjadi. Kasus pemerkosaan di wilayah Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi akhir-akhir ini cukup meresahkan. Sementara itu, kasus pemerkosaan pada 2011 hingga pertengahan bulan September ini mencapai 40 kasus. Diperkirakan, jumlah ini meningkat jika tidak segera dilakukan upaya pencegahan. Umumnya tindak perkosaan di angkutan umum ini terjadi pada malam hari. ( http. VIVAnews.com, 15 Desember 2011 )

Para pelaku paling banyak melakukan aksinya di lingkungan perumahan, yakni mencapai 26 kasus. Lainnya, di jalan umum termasuk angkutan umum (4 kasus), kantor (1 kasus), keramaian (1 kasus), perumahan BTN (8 kasus), dan real estate (1 kasus). Sementara itu, wilayah yang paling rawan aksi pemerkosaan terletak di Kabupaten Tangerang mencapai 9 kasus. Lainnya, di Kabupaten Bekasi (7 kasus),


(24)

3

Tangerang Kota (5 kasus), Jakarta Barat (4 kasus), dan Jakarta Pusat (4 kasus). ( http:VIVAnews.com, 31 oktober 2011 ).

Pemerkosaan di angkutan umum yang baru-baru ini terjadi di daerah Depok, yang dialami oleh seorang pedagang sayur. Ia diperkosa dan ditelantarkan begitu saja setelah diperkosa di kawasan Cikeas, Jawa Barat. Kejadian ini merupakan salah satu contoh kasus tindak pidana perkosaan yang dilakukan di angkutan umum dan merupakan modus baru dalam kajian mengenai kejahatan yang berkembang dewasa ini. ( http: Tribunnews.com, 14 Desember 2011 )

Modus baru tindak pidana perkosaan di angkutan umum ini yang belakangan banyak diberitakan. Faktor kaca gelap dan sound system yang dipasang kencang-kencang itu juga menjadi peluang terjadinya perkosaan. Kejadian perkosaan di angkutan umum harus diselidiki tuntas, karena patut dicurigai bentuk baru teror kepada masyarakat. Kejadian ini harus menjadi evaluasi bagi seluruh pihak terkait khususnya Polri. Perlu dicari mengapa kejahatan semakin menghawatirkan. Tidak hanya serta-merta pelaku melakukan perkosaan tetapi juga diikuti serangkaiaan tindak pidana lainnya, seperti penganiayaan dan pencurian. Sehingga Polri bersama-sama masyarakat mencari solusinya.Pada dasarnya, rasa aman adalah hak semua warga negara khususnya para wanita. Kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak tersebut. Pemerkosaan beramai-ramai adalah perbuatan yang sangat tidak beradab. Para pelaku harus diganjar hukuman seberat-beratnya untuk memberi efek jera.


(25)

4

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman ( sanksi ) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana Perkosaan diartikan secara umum yaitu sebagai suatu timdakan criminal-seksual dimana pelaku memaksakan kehendaknya tanpa disetujui oleh korban. ( Moeljanto, 1987 )

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP: “Barangsiapa dengan kekerasan

atau dengan ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling

lama dua belas tahun”. Perumusan tersebut menerapkan beberapa kriteria untuk dapat menyebut suatu perbuatan sebagai tindak pidana perkosaan yaitu:

1. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

2. memaksa perempuan (berarti tidak ada persetujuan dari si korban) 3. yang bukan istrinya

4. untuk bersetubuh

Data dari laporan kasus di atas diharapkan dapat menggambarkan beberapa problematika yang dihadapi oleh korban yang mengalami tindak pidana perkosaan khususnya yang dilakukan di angkutan umum, yang disebabkan karena adanya kelemahan-kelemahan dalam upaya preventif dan revrentif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum khususnya pihak kepolisian. Faktor adanya kesempatan pelaku untuk melakukan tindak perkosaan dan juga si korban yang memberikan peluang sehingga timbulah niat pelaku, hal ini lah yang membuat tindak pidana perkosaan di


(26)

5

angkutan umum ini terjadi dan menjadi fenomena baru yang belakangan sering terjadi.

Kriminologi merupakan ilmu bantu untuk mencoba mengkaji dan mencari cara untuk menyelesaikan masalah kejahatan baru ini. Menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya, melakukan analisis ilmiah atas sebab musabab terjadinya kejahatan dan cara pengendalian kejahatan tersebut. Selain itu kriminologi juga memberikan pengetahauan mengenai kebijakan pidana ( criminal policy ) yang merupakan pengetahuan tentang pencegahan kejahatan yang juga meliputi usaha pencarian jalan keluar dalam memecahkan masalah mengenai suatu tindak pidana tertentu. (Soerjono Soekamto, 1985:12 )

Masalah kejahatan khususnya tindak pidana perkosaan hakikatnya merupakan suatu komponen yang perlu diperhatikan dan atuu dikaji. Lazimnya hanya memperhatikan dalam analisis kejahatan hanya komponen penjahat, undang-undang, dan penegak hukum serta intraksi antara ketiga komponen itu. Masalah konstelasi masyarakat dan faktor lainnya, kalaupun dikaji, lebih banyak disoroti oleh sosiologi dan kriminologi. Dalam hal ini komponen korban hampir terlupakan dalam analisis ilmiah. Suatu tindakan kejahatan (crime) mesti melibatkan dua pihak, yaitu si pelaku kejahatan (perpetrator) dan si korban (victim). Sebagai contoh kasus perkosaan (rape) baru dapat diproses oleh pengadilan apabila si korban melaporkan kejadian tersebut. Sejauh mana si korban mempersepsi kasus pemerkosaan itu sebagai suatu kejahatan


(27)

6

Uraian latar belakang diatas, merupakan faktor yang dijadikan alasan Penulis untuk melakukan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Kajian Terhadap Tindak Pidana Perkosaan Di Angkutan Umum Dalam Perspektif Kriminologi.”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengangkat permasalahan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah persfektif kriminologi terhadap faktor penyebab tindak pidana perkosaan di angkutan umum?

b. Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana perkosaan di angkutan umum?

c. Apakah faktor penghambat dalam upaya penanggulangan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Agar tidak terjadi peluasan dalam pembahasan sehingga memungkinkan penyimpangan dari judul, maka penulis membatasi ruang lingkup dalam penelitian ini terbatas pada hukum pidana materil dengan substansi kajian hukum pidana dan kriminologi terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum di wilayah hukum Bandar lampung tahun 2011-2012.


(28)

7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui persfektif kriminologi terhadap faktor-faktor penyebab tindak pidana perkosaan di angkutan umum.

b. Untuk mengetahui upaya penanggulangan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum.

c. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam upaya penanggulangan terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang diharapkan dari penelitian adalah sebagai berikut : a. Kegunaan secara teoritis

Secara teoritis ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan hukum pidana tentang tindak pidana perkosaan khususnya yang dilakukan di angkutan umum. Juga penelitian diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan informasi bagi dat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya dan sebagai bahan informasi pada penelitian selanjutnya.


(29)

8

b. Kegunaan secara praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada para praktisi hukum dan para hakim yang bertugas menangani perkara pidana dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan lainnya yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai pokok permasalahan yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh penulis (Soerjono Soekamto, 1984: 128).

Adapun yang menjadi kerangka teori dalam penelitian ini adalah: Pengaturan terhadap tindak pidana perkosaan diatur dalam KUHP, RUU KUHP, pengaturan lain tentang tindak pidana ini juga dilaksanakan dengan konsep pengkajian terhadap beberapa kasus yang sedang marak terjadi, khususnya terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan di angkutan umum. Pengkajian adalah suatu proses, cara penelaahan untuk menyelidiki secara mendalam dari suatu objek kajian. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001:491).

Kriminologi merupakan ilmu bantu untuk mencoba mengkaji penyebab dan mencari cara untuk menyelesaikan masalah kejahatan. Menyelidiki gejala kejahatan


(30)

seluas-9

luasnya, melakukan analisis ilmiah atas sebab musabab terjadinya kejahatan dan cara mengendalikan kejahatan tersebut. Teori tentang penyebab terjadinya tindak pidana perkosaan dalam kriminologi menurut Williams III dan Marilyn MacShane, teori mikro kriminologi yaitu teori yang menjawab mengapa seorang/kelompok orang dalam masyarakat melakukan kejahatan atau menjadi kriminal ( etiology criminal ). Teori ini lebih bertendensi pada pendekatan internal dan eksternal dari pelaku dan korban kejahatan. ( Yasmin Anwar, 2010:73 )

Dibutuhkan upaya-upaya dalam menanggulangi kejahatan tindak pidana perkosaan. G.P. Hoefnogels dengan teorinya, membagi dua cara upaya penanggulangan terhadap tindak pidana, yaitu dengan carapenal dan non penal. Dengan sarana hukum pidana yaitu sistem pemidanaan dan peradilan diupayakan dapat menyelesaikan masalah kejahatan tindak pidana perkosaan di angkutan umum ini. Sedangkan cara penanggulangan diluar hukum pidana yaitu dengan menekan upaya preventif. Upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan ini memerlukan pendekatan integral dikarenakan hukum pidana tidak akan mampu menjadi satu-satunya sarana dalam upaya penanggulangan kejahatan yang begitu komplek yang terjadi dimasyarakat. Penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan hanya bersifat Kurieren am Symptom dan bukan sebagai faktor yang menghilangkan sebab-sebab terjadinya kejahatan. Adanya sanksi pidana hanyalah berusaha mengatasi gejala atau akibat dari penyakit dan bukan sebagai obat (remidium) untuk mengatasi sebab-sebab terjadinya penyakit. ( Barda Nawawi Arif, 1996 )


(31)

10

Semestinya tindak pidana perkosaan khususnya yang terjadi belakangan ini yaitu tindak perkosaan yang dilakukan di angkutan umum perlu mendapatkan perhatian khusus agar secepatnya dapat ditanggulangi, namun upaya penanggulangan suatu tindak pidana khususnya tindak perkosaan ini tidak luput dari hambatan-hambatan, teori tentang faktor penghambat menurut (Soejono Soekamto, 1983:17) menjelaskan 5 (lima) faktor penghambat penegakan hukum suatu kaedah hukum benar-benar berfungsi, yaitu:

1. Kaedah hukum itu sendiri

Berlaku kaedah hukum dalam masyarakat ditinjau dari kaedah hukum itu sendiri, menurut teori-teori hukum harus memenuhi 3 ( tiga ) macam hal berlakunya kaedah hukum itu :

a. Berlaku secara yuridis, artinya hukum harus dibuat sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan sebagai syarat berlakunya suatu kaedah hukum.

b. Berlaku secar sosiologis, artinya kaedah hukum itu dapat berlaku secara efektif, baik karena dipaksakan oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh masyarakat ataupun berlaku dan diterima oleh masyarakat.

c. Berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilainyang tertinggi, jika hanya berlaku secara filosofis maka kaedah hukum tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan ( ius contituendum).


(32)

11

2. Penegak Hukum

Komponen yang bersifat struktural ini menunjukan adanya kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum. Lembaga-lembaga tersebut itu memiliki undang-undang tersendiri. Secara singkat dapat dikatakan bahwa komponen yang bersifat struktural ini memungkinkan kita untuk mengharapkan bagaimana suatu sistem hukum harus bekerja.

3. Fasilitas ( sarana )

Fasilitas dapat diartikan sebagai sarana penunjang yang bersifat fisik, yang berguna sebagai faktor pendukung untuk mencapai tujuan.

4. Masyarakat

Dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Bisa diartikan bahwa jika derajat kepatuhan warga masyarakat terhadap suatu peraturan tinggi, maka peraturan tersebut memang berfungsi.

5. Kebudayaan

Sebagai hasil karya, cipta, rasa, didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan menjadi pedoman tingkah lakunya.


(33)

12

2. Konseptual

Memahani istilah-istilah yang digunakan dalam membahas permasalahan yang ada pada skripsi ini, maka peneliti mengemukakan konsep-konsep arti dan istilah-istilah yang dipakai, antara lain sebagai berikut :

1) Hukum adalah seperangkat norma tentang apa yang benar dan apa yang salah, yang dibuat dan diakui eksistensinya oleh pemerintah yang dituangkan baik dalam aturan tertulis (peraturan) maupun yang tidak tertulis yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya secara keseluruhan dan dengan ancaman sanksi bagi pelanggar aturan tersebut (Achmad Ali, 2001: 18).

2) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar (Soerjono Soekamto, 1976: 97)

3) Perkosaan adalah perbuatan seksual yang diulakukan oleh seorang laki-laki atau beberapa orang laki-laki atas diri seorang wanita secara paksa dengan tindak kekerasan. ( Pasal 285 KUHP yang menyatakan :” Barang siapa dengan


(34)

13

kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.” )

4) Kriminologi adalah sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan selus-luasnya. Yang mempelajari kejahatan serta proses-proses formal dan informal dari kriminalisasi dan deskriminalisasi, situasi kejahatan penjahat masyarakat, sebab dan hubungan diantara sebab-sebab kejahatan, serta reaksi-reaksi masyarakat yang timbul dari kejahatan tersebut. (Soejono Soekamto, 1986:14)

5) Angkutan Umum menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkatan Jalan, pengangkutan darat diselenggarakan oleh Perusahaan Pengangkutan Umum, yang menyediakan jasa pengangkutan penumpang dan/atau barang dengan kendaraan umum di jalan. Kendaraan umum adalah setiap kendaraan bermotor yang disediakan untuk dipergunakan oleh umum dengan dipungut biaya. (Abdulkadir Muhammad, 2008:64)

Pengangkutan penumpang dengan kendaraan umum menggunakan kendaraan bermotor untuk penumpang. Pelayanan pengangkutan penumpang dengan kendaraan umum meliputi pengangkutan berikut ini :

a. Pengangkutan antarkota adalah pemindahan penumpang dari satu kota ke kota lain.


(35)

14

c. Pengangkutan pedesaan adalah pemindahan penumpang dalam atau antarwilayah pedesaan.

d. Pengangkutan lintas batas negara adalah pemindhan penumpang yang melalui lintas batas negara. (Abdulkadir Muhammad, 2008:65)

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan didalam pemahaman skripsi ini akan dibuat sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I. PENDAHULUAN

Membahas tentang Latar Belakang Masalah, Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan Pengertian Tindak Pidana, Unsur-unsur Tindak Pidana, Perkosaan dan Penanggulangan Kejahatan.

BAB III. METODE PENELITIAN

Berisikan Pendekatan Masalah, Jenis dan Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data dan Analisis Data.


(36)

15

BAB VI. HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN

Berisikan tentang hasil dari pengkajian mengenai analisis yuridis penanggulangan tindak pidana perkosaan yang dilakukan di angkutan umum.

BAB V. PENUTUP

Berisikan kesimpulan yang merupakan hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya yang merupakan jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian dan saran yang merupakan sumbangan pemikiran penulis sehubungan dengan hasil penelitian sebagai salah satu alternatif penyelesaian permasalahan demi perbaikan di masa mendatang.


(37)

(38)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan.

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar (Barda Nawawi Arief, 1996: 27).

Sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan


(39)

perundang-17 Satjipto Rahardjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan (Satjipto Rahardjo, 1983: 57).

Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat. (Satjipto Rahardjo, 1983: 57)

Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup (Satjipto Rahardjo, 1983: 57).


(40)

18 Sementara itu Satjipto Rahardjo membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan criteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Danketiga,unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial. Pada sisi lain, Jerome Frank juga berbicara tentang berbagai faktor yang turut terlibat dalam proses penegakan hukum. Beberapa faktor ini selain faktor kaidah-kaidah hukumnya, juga meliputi prasangka politik, ekonomi, moral serta simpati dan antipati pribadi (Satjipto Rahardjo, 1983: 57).

Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh

lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum (Theo Huijbers, 1991: 24: 144).


(41)

19 Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang-undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukumlaw as a tool of sosial engineeringdari Roscoe Pound,,atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi sebagai sarana untuk membantu perubahan masyarakat (Mochtar Kusumaatmadja, 1986: 90).

Arti terpenting dari adanya hukum pidana sebagai bagian dari sistem hukum yang berlaku di dalam suatu negara terletak pada tujuan hukum pidana itu sendiri yakni menciptakan tata tertib di dalam masyarakat sehingga kehidupan masyarakat dapat berlangsung dengan damai dan tenteram. Tujuan hukum pidana secara umum demikian ini, sebenarnya tidak banyak berbeda dengan tujuan yang ingin dicapai oleh bidang-bidang hukum lainnya. Perbedaannya terletak pada cara kerja hukum pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu bahwa upaya untuk mewujudkan tata tertib dan suasana damai ini oleh hukum pidana ditempuh melalui apa yang di dalam ilmu hukum pidana dikenal dengan istilah pemidanaan atau pemberian pidana.

Cara kerja hukum pidana dengan melakukan pemidanaan atau pemberian pidana ini mempunyai pengertian yang luas. Pemidanaan atau pemberian pidana mempunyai pengertian yang luas dalam arti bisa dibedakan menjadi dua pengertian, yakni (1) pemidanaan dalam arti abstrak (pemidanaan in abstracto), dan (2) pemidanaan dalam arti kongkrit (pemidanaanin concreto). Hukum pidana


(42)

20 menciptakan tata tertib di dalam masyarakat melalui pemberian pidana secara abstrak, artinya dengan ditetapkannya di dalam undang-undang perbuatan-perbuatan tertentu sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang disertai ancaman pidana, atau dengan ditetapkannya perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana di dalam undang-undang, maka diharapkan warga masyarakat akan mengerti dan menyesuaikan diri sehingga tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dilarang dan diancam pidana itu. , dengan diberlakukannya suatu undang-undang pidana yang baru di dalam masyarakat, diharapkan akan tercipta ketertiban di dalam masyarakat.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Suatu tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada umumnya memiliki dua unsur yakni unsur subjektif yaitu unsur yang melekat pada diri si pelaku dan unsur objektif yaitu unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan (Lamintang, 1981: 69).

Menurut Lamintang (1981: 21) unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah: 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolusatauculpa)

2. Maksud atauvoornemenpada suatu percobaan 3. Macam-macam maksud atauoogmerk

4. Merencanakan terlebih dahulu atauvoorbedachte raad 5. Perasaan takut atauvress


(43)

21 2. Kualitas dari si pelaku

3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

Menurut Marpaung (1988: 147) unsur tindak pidana yang terdiri dari dua unsur pokok, yakni:

Unsur pokok subjektif : 1. Sengaja (dolus) 2. Kealpaan (culpa)

Unsur pokok objektif : 1. Perbuatan manusia

2. Akibat (result) perbuatan manusia 3. Keadaan-keadaan

4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.

Kesalahan pelaku tindak pidana berupa dua macam yakni : 1. Kesengajaan (Opzet)

Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet. Kesengajaan ini mempunyai tiga macam jenis yaitu :

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan (Oogmerk)

Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana. b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian (Opzet Bij


(44)

22 Kesengajaan semacam ini ada apbila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan (Opzet Bij Mogelijkheids-Bewustzijn)

Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayingan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

2. Culpa

Arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu

pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi (Wirjono Prodjodikoro, 1996: 64).

Berdasarkan uraian di atas penulis berpendapat bahwa semua unsur tersebut merupakan satu kesatuan dalam suatu tindak pidana, satu unsur saja tidak ada akan menyebabkan tersangka tidak dapat dihukum. Sehingga penyidik harus cermat dalam meneliti tentang adanya unsur-unsur tindak pidana tersebut.

Pasal 1 angka (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHAP), penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang


(45)

23 KUHAP dapat disimpulkan penyidikan baru dimulai jika terdapat bukti permulaan yang cukup tentang telah terjadinya suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui penyidikan dilakukan oleh Pejabat Polisi Negara dan Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan dilakukan guna mengumpulkan bukti-bukti sehingga membuat terang Tindak Pidana yang terjadi. Hukum pidana menciptakan tata tertib atau ketertiban melalui pemidanaan dalam arti kongkrit, yakni bilamana setelah suatu undang-undang pidana dibuat dan diberlakukan ternyata ada orang yang melanggarnya, maka melalui proses peradilan pidana orang tersebut dijatuhi pidana. Tujuan penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu sendiri bermacam-macam bergantung pada teori-teori yang dianut di dalam sistem hukum pidana di suatu masa. Kendati demikian, tujuan akhir dari penjatuhan pidana atau pemberian pidana itu tetap di dalam koridor atau kerangka untuk mewujudkan tujuan hukum pidana. Ini berarti bahwa penjatuhan pidana atau pemberian pidana sebenarnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan hukum pidana.

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa kurang dapat ditanggulanginya masalah kejahatan karena hal-hal berikut:

1. Timbulnya jenis-jenis kejahatan dalam dimensi baru yang mengangkat dan berkembang sesual dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Jenis-jenis kejahatan tersebut tidak seluruhnya dapat terjangkau oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana


(46)

24 (KUHP) yang merupakan produk peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

2. Meningkatnya kualitas kejahatan baik dari segi pelaku dan modus operandi yang menggunakan peralatan dan teknologi canggih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal kemampuan aparat penegak hukum (khususnya Polri) terbatas baik dan segi kualitas sumber daya manusia, pembiayaan, serta sarana dan prasarananya, sehingga kurang dapat menanggulangi kejahatan secara intensif.

Kebijakan untuk menanggulang masalah-masalah kejahatan di atas dilakukan dengan mengadakan peraturan perundang-undangan di luar KUHP baik dalam bentuk undang-undang pidana maupun undang-undang administratif yang bersanksi pidana, sehingga di dalam merumuskan istilah kejahatan dikenal adanya istilah tindak pidana umum, tindak pidana khusus, dan tindak pidana tertentu. Sesuai dengan ketentuan Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) penanganan masing tindak pidana tersebut diselenggarakan oleh penyidik yang berbeda dengan hukum acara pidananya masing-masing.

Tindak pidana umum adalah tindak pidana kejahatan dan pelanggaran yang diatur di dalam KUHP yang penyidikannya dilakukan oleh Polri dengan menggunakan ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Tindak pidana khusus adalah tindak pidana di luar KUHP seperti Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Undang-Undang Bea Cukai, Undang-Undang-Undang-Undang


(47)

25 dan pejabat penyidik lain sesuai dengan ketentuan-ketentuan khusus hukum acara pidana bersangkutan. Sementara itu, tindak pidana tertentu adalah tindak pidana di luar KUHP yang tidak termasuk dalam tindak pidana khusus, seperti Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Keimigrasian, Peraturan Daerah, dan sebagainya.

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak (Saifudien, 2001: 76).

Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi :


(48)

26 kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”(Saifudien, 2001: 76).

Pertanggungjawaban yang akan dibahas adalah menyangkut tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan oleh si pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan. Namun dalam kenyataannya memastikan siapa si pembuatnya tidak mudah karena untuk menentukan siapakah yang bersalah harus sesuai dengan proses yang ada, yaitu sistem peradilan ,pidan berdasarkan KUHP.

B. Tindak Pidana Perkosaan

1. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan

Perkosaan menurut bahasa berasal dari kata perkasa yang berarti gagah, kuat, perkasa, kekerasan, dengan kekerasan dan lain sebagainya ( Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996:673 ). Jadi perkosaan adalah perbuatan memperkosa yang dilakukan dengan kekerasan.

Bambang Djoyo supeno, S.H, M.Hum, dalam makalahnya pada Diklat Viktimologi, Semarang, tahun 1997, mengemukakan pengertian korban perkosaan adalah seorang wanita yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dipaksa bersetubuh dengan orang lain diluar perkawinan. Menurut istilah prkosaan itu disamping berarti bersetubuh dengan paksaan terhadap seorang wanita yang bukan istrinya, juga berarti perkosaan terhadap hak asasi manusia ( Violation of Human Rights ), jadi yang dimaksud dengan perkosaan dalam definisi diatas


(49)

27 Secara yuridis definisi perkosaan itu dapat dilihat dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu :

“ Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang

perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia karena perkosaan diancam dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun”.

Suatu perbuatan dapat disebut sebagai perkosaan harus memenuhi unsur-unsur sebagai nerikut :

a. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; b. Memaksa seseorang perempuan;

c. Yang bukan istrinya; d. Untuk bersetubuh.

Pengertian korban perkosaan adalah : Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (objek). Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, sedangkan seorang laki-laki yang diperkosa oleh wanita, tidak termasuk dalam kajian pasal 285 KUHP, sehingga korban perkosaan itu harus memenuhi unsur.

2. Unsur-unsur Perkosaan

Suatu perbuatan baru dapat digolongkan sebagai tindak pidana, apabila perbuatan itu telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a. Kelakuan dan akibat;

b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; c. Keadaan tambahan yang beratkan pidana;


(50)

28 e. Unsur-unsur melawan hukum subjektif.

Unsur-unsur seperti halnya telah diketahui diatas, kemudian dihubungkan dengan ketentuan Pasal 285 KUHP maka dapat ditemukan suatu hubungan sebagai berikut :

1. Unsur kelakuan dan akibat (sebagai unsur lahir dari perbuatan pidana), dalam

pasal 285 KUHP ditemukan dalam atau pada kalimat “ … dengan kekerasan

atau ancaman kekerasan memaksa seseorang perempuan yang bukan istrinya

untuk bersetubuh dengan dia…”.

a. Kekerasan atau ancaman kekerasan, merupakan sarana untuk memaksa yang mengakibatkan perlawanan dari korban menjadi lemah atau karena ketakutan rerhadap paksaan tersebut sehingga ia tidak mampu untuk melawan.

b. Memaksa perempuan, dimana perbuatan memaksa harus berwujud kekerasan atau ancaman kekerasan dan termasuk juga adanya kemauan bersetubuh dari pelaku sedangkan korban tidak ada kemauan sama sekali. c. Yang bukan istrinya, yaitu apabila perempuan yang dipaksa adalah bukan

istri pelaku, dan tidak terikat pada tali perkawinan antara pelaku dan korban.

d. Untuk bersetubuh, suatu perbuatan baru bisa disebut sebagai perkosaan harus memiliki unsure bersetubuh.

2. Hal ikhwal yang menyertai perbuatan, hal ini tidak terdapat pada diri pelaku tetapi hanya ada pada korban. Hal ikhwal ini berupa :


(51)

29 b. Korban bukan istri pelaku.

c. Tidak berdayanya korban, dalam arti bahwa korban tidak dapat melakukan perlawanan terhadap pelaku.

3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana, dalam delik perkosaan keadaan itu berwujud dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Hal tersebut akan memberatkan pidana bagi pelaku. Keadaan tambahan itu juga terlihat dalam Pasal 291 ayat 2 KUHP, yaitu perkosaan yang mengakibatkan matinya korban.

4. Unsur melawan hukum yaitu objektif, unsur ini walaupun secara eksplisit tidak ditemukan dalam delik perkosaan, namun secara implisit sifat melawan hukum ini telah tercantum dalam rumusan delik.

5. Unsur melawan hukum yang subjektif, unsur ini biasanya terdapat dalam kata-kata barang siapa dengan sengaja dan seterusnya, namun dalam Pasal 285 KUHP kata-kata tersebut tidak ditemukan tetapi bukanlah berarti bahwa unsur melawan hukum ini tidak ada dalam delik tersebut, sebab unsur ini terletak dalam batin pelaku perbuatan yaitu berupa niat dan niat itu baru dianggap sebagai perbuatan melawan hukum apabila niat tersebut telah terwujud dalam perbuatan.

Unsur-unsur kejahatan secara umum kemudian dapat dihubungkan dengan ketentuan pada Pasal 285 KUHP tentang perkosaan. Jadi, terlihat antara keduanya menimbulkan suatu hubungan.


(52)

30 3. Bentuk-bentuk Perkosaan

Ketentuan yang ada dalam rancangan KUHP, bentuk perkosaan yang dicakup selain perkosaan yang selama ini dianut oleh para penegak hukum dan juga masyarakat adalah :

a. Persetubuhan dengan paksaan terhadap istri( martial rape ) b. Persetubuhan dengan anak dibawah umur( statutory rape ) c. Persetubuhan dengan tipu daya( deceitful rape )

Berkenaan dengan kategorisasi bentuk perkosaan, dapat pula dilihat pendapat peneliti asing. Setelah mempelajari lebih dari lima ratus orang pemerkosa yang dipidana, Grot dan Bimbaum ( Lembaga Advokasi Perempuan, Damar Lampung. 1999 : 11 ) mengidentifikasi tiga jenis perkosaan :

a. Anger rape, dalam hal ini serangan seksual menjadi sarana menyalurkan kemarahan atau keberangan yang melibatkan secara fisik yang berlebihan terhadap korban;

b. Power rape, terjadi apabila pelaku ingin menunjukan dominasinya terhadap korban;

c. Sadistic rape, adalah apoabila pelaku mengkombinasikan seksualitas dan agresi yang ditujukan pada keinginan psikotik untuk menyiksa atau menyakiti korban.

D. Persfektif Tindak Pidana perkosaan dalam Kriminologi 1. Pengertian dan Ruang Lingkup Kriminologi


(53)

31 a. Sosiologi hukum sebagai analisis sistematis atas kondisi-kondisi berkembangnya hhukum pidana serta penjelasan mengenai kebijaksanaan dan prosedur administrasi pradilan pidana;

b. Etiologi kejahatan sebagai usaha untuk melakukan analisis ilmiah atas sebab musabab kejahatan; dan

c. Penologi yang menaruh perhatian pada pengendalian kejahatan.

Beberapa definisi Kriminologi, bahwa kriminologi merupakan suatu ilmu dari suatu sub-displin dalm ilmu sosial, yang berbasis pendekatan-pendekatan dan pemikiran-pemikiran utama dalam sosiologi; studi sistemik dan akademik, serta universal dan ilmiah.

Kriminologi Klasik juga menyimpulkan bahwa yang menjadi fokus utama kajian kriminologi sebagai berikut :

1. Arti kejahatan; sifat dan luasnya kejahatan.

2. Mengapa orang berbuat jahat ( etiologi criminal/sebab-musabab orang melakukan kejahatan ).

3. Reformasi hukum pidana.

4. Bagaimana penjahat tersebut dicirikan oleh kriminologi. 5. Pembinaan penjahat ( penjatuhan sangsi ).

6. Bentuk kejahatan.

7. Akibat dari pelaku kejahatan.

8. Mencegah kejahatan agar tidak terulang.

Fokus utama kajian kriminologi diatas, merupakan kajiandalam kriminologi umum ( general criminology ) menempati suatu posisi sentral sebagai etiologi (


(54)

32 pengetahuan mengenai sebab musabab ); kejahatan dan kebijaksanaan pidana dan dukungan oleh pengetahuan lainnya, serta pengetahuan yang bertautan.

Tujuan kriminologi adalah untuk mengembangkan kesatuan dasar-dasar unsur-unsur dan terinci serta jenis-jenis pengetahuan lain tentang proses hukum, kejahatan dan reaksi terhadap kejahatan. (Soerjono Soekanto, 1981 : 8 )

2. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan secara Kriminologis

Secara kriminologis, tindak pidana perkosaan merupakan pelanggaran norma tingkah laku (violation of conducinorm). Conduct norm adalah norma yang telah ditentukan oleh kelompok social dimana individu ini merupakan anggota, jadi secara intrensik kejahatan perkosaan bukan hanya dilarang oleh hukum pidana tetapi juga dalam norma tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap merugikan walaupun tidak tercantum dalam hukum pidana. Tidak dapat dipungkiri adanya perbedaan antara pengertian yuridis dan kriminologis, antara pandangan hukum pidana dan pandangan masyaraakaat. Perbedaan ini merupakan karena situasi yang berubah dan dapat mempengaruhi perasaan masyarakat tentang apa yang merugikan (scadelijk), tidak pantas (onbehoorlijk), dan tidak dapat dibiarkan (ondulbarr). Tindakan yang demikian disebut kejahatan yang tidak sesuai dengan rasa susila masyarakat. ( Suprapto, 1986: 208 )


(55)

33 E. Viktimologi dan Ruang lingkupnya

1. Pengertian Korban

Korban merupakan suatu akibat yang timbul karena adanya sebab ( causa ) yang mendahuluinya. Mustahil akan terjadi suatu akibat tanpa adanya sebab yang menjadi dasar timbulnya akibat tersebut. Suatu tindak kejahatan ( crime ) mesti melibatkan dua pihak, yaitu si pelaku kejahatan ( preperator ) dan si korban ( victim ). Slanjutnya yang disebut korban disini terbatas pada korban kejahatan ( criminal victim ), karena korban alami tidak diliputi korban pidana. Adapun yang dimaksud dengan korban kejahatan adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani, material dan immaterial sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencari kepentingan sendiri atau orang lain yang bertentangtan dengan kepentingan dan hak asasi penderita. ( Arif Gosita, 1993 )

Tulisan ini ada tiga aspek yang berkaitan dengan si korban yang akan dibahas. Ketiga aspek itu adalah :

1. Peran si korban dalam peristiwa tindak kejahatan. 2. Keputusan si korban untuk melapor tindak kejahatan.

3. Pengaruh si korban terhadap berat ringannya putusan pengadilan.

2. Santunan Bagi Korban

Apabila ditelaah makna yang terkandung dalam istilah “ Viktimologi “ maka

interpretasi kita akan melayang pada permasalahan mengenai bagaimana pemberian santunan/ganti kerugian pada korban kejahatan.


(56)

34 Kejahatan adalah suatu fenomena sosial yang terjadi pada setiap waktu dan tempat. Kehadirannya di bumi ini dapat dianggap setua dengan umur manusia. (J.E. Sahetapy, 1987: 35 )

Al-qur’an ( 1974: 163-164 ), kejahatan, khususnya kejahatan yang bersifat kekerassan terhadap jiwa manusia, pertama kali dikenalkan di bumi ini oleh anak Adam, Qabil pada waktu Ia membunuh Habil, saudaranya sendiri. Demikian seterusnya kekerasan demi kekerasan didalam pelbagai bentuknya yang mengancam jiwa manusia hingga sekarang ini.

Terjadinya pelbagai tindak kejahatan dalam masyarakat merupakan suatu indikasi pula bahwa korban demi korban dari kejahatan itu juga terus berjatuhan dengan pelbagai bentuk kerugian yang tidak terelakan.

Jenis kerugian yang diderita korban, bukan saja dalam bentuk fisik, tetapi juga seperti biaya-biaya tang dibutuhkan untuk penyembuhan lika fisik serta kemunglkinan hilangnya pendapatan ataupun keuntungan yang mungkin diperoleh tetapi juga kerugian yang bersifat nonfisik yang susah bahkan mungkin tidak dapat dinilai denhganm uang. ( J.E. Sahetapy, 1987: 36 )

Hilangnya keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup dan kepercayaan diri karena kecemasan dan ketakutan dari baying-bayang kejahatan yang selalu menghantui, adalah salah satu dari sekian banyak kerugian nonfisik yang bisa timbul.


(57)

35 korban kejahatan seperti dikemukakan oleh Reiff ( 1979: 7 ), sebenarnya merupakan perpaduan dari berbagai usaha. Usaha-usaha tersebut meliputi usaha bidang kesejahteraan social, system palayanan kemanusiaan,dan peradilan pidana. Pemulihan penderitaan nonfisik dari korban tidak cukup hanya memberikan kepuasan materil tetapi juga hrus pula dibarengi dengan kepuasan immaterial seperti adanya jaminan dari pelaku kejahatan itu sendiri untu tidak lagi mengulangi perbuatan jahatnya kepada si korban.


(58)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian hukum normatif-empiris, yaitu penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan-ketentuan perundang-undangan (in abstraco) serta penerapannya pada peristiwa hukum (in concreto). Tipe penelitian hukumnya adalah deskriptif, yaitu memaparkan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis hasil penelitian dalam bentuk laporan penelitian sebagai karya ilmiah. (Abdulkadir Muhammad, 2004:201)

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari penelitian dalam hasil penelitian dengan beberapa pihak mengenai kajian terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum dalam persfektif kriminologi.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara menelaah peraturan perundang-undangan, bahan seminar, literatur-literatur dan dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas.


(59)

37

Selanjutnya data sekunder meliputi : 1. Bahan hukum primer, antara lain :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP )

b. Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP )

c. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkatan Jalan

d. Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tahun 1993 ( RUU KUHP 1993 )

2. Bahan hukum sekunder, yaitu doktrin-doktrin, pendapat para sarjana, bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer yang diperoleh dari studi kepustakaan.

3. Bahan hukum tersier, seperti literatur, makalah, kamus-kamus, dan lain-lain yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer maupun hukum sekunder.

C. Penentuan Populasi dan Sempel

Populasi adalah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga (Masri Singarimbun, 1987:152). Populasi dalam penulisan skripsi ini adalah Penyidik Kepolisian, Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, Jaksa, dan Hakim. Sampel adalah sebuah objek yang jumlahnya kurang dari populasi (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1987:152). Dalam menentukan sampel, metode yang digunakan ialah Purposive Proposional Sampling, yaitu metode pengambilan sampel berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penelitian, dimana


(60)

38

pemilihan responden disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah dapat mewakili populasi terhadap masalah yang diteliti. (Burhan Ashofa,1996:89)

Sesuai dengan metode pengambilan sampel, maka responden yang akan diteliti dalam pembahasan masalah ini adalah sebagai berikut:

1. Penyidik Kepolisian Polresta Bandar Lampung : 1 Orang

2. Jaksa Pada Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 Orang

3. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang

4. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila: 1 Orang

Jumlah : 4 Orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Proses dalam melakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder dipergunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi Pustaka

Terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku dan literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan membaca, mencatat, merangkum, untuk dianalisis lebih lanjut.


(61)

39

b. Studi Lapangan

Dilakukan untuk memperoleh data primer dengan menggunakan teknik wawancara langsung dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik data yang diperoleh dari studi pustaka maupun dokumen, data-data tersebut diolah dengan menggunakan metode :

a. Editing Data

Data yang dikumpulkan kemudian diperiksa untuk mengetahui apakah data yang dibutuhkan tersebut masih terdapat kekurangan-kekurangan dan sudah sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi Data

Data yang sudah terkumpul dikelompokan sesuai dengan bidang pokok bahasan agar mudah dalam menganalisis.

c. Sistematisasi Data

Data yang terkumpul disusun secara sistematis sesuai dengan pokok permasalahan konsep dan tujuan penelitian agar mudah dalam menganalisis data.

E. Analisis Data

Analisis terhadap hasil penelitian merupakan usaha untuk menemukan jawaban dari permasalahan. Dalam proses analisis ini rangkaian data yang tersusun secara sistematis dan menurut klasifikasinya dianalisis secara kualitatif dan diberi pengertian berdasarkan kata-kata yang sesuai dengan apa yang ada di lapangan


(62)

40

sehingga mudah dimengerti dan dipahami. Hasil analisa dilanjutkan dengan mengambil kesimpulan secara induktif, yaitu meneliti dari data dan fakta yang bersifat khusus kemudian dilanjutkan dengan mengambil kesimpulan secar umum.


(1)

35 korban kejahatan seperti dikemukakan oleh Reiff ( 1979: 7 ), sebenarnya merupakan perpaduan dari berbagai usaha. Usaha-usaha tersebut meliputi usaha bidang kesejahteraan social, system palayanan kemanusiaan,dan peradilan pidana. Pemulihan penderitaan nonfisik dari korban tidak cukup hanya memberikan kepuasan materil tetapi juga hrus pula dibarengi dengan kepuasan immaterial seperti adanya jaminan dari pelaku kejahatan itu sendiri untu tidak lagi mengulangi perbuatan jahatnya kepada si korban.


(2)

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian hukum normatif-empiris, yaitu penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan-ketentuan perundang-undangan (in abstraco) serta penerapannya pada peristiwa hukum (in concreto). Tipe penelitian hukumnya adalah deskriptif, yaitu memaparkan secara lengkap, rinci, jelas, dan sistematis hasil penelitian dalam bentuk laporan penelitian sebagai karya ilmiah. (Abdulkadir Muhammad, 2004:201)

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari penelitian dalam hasil penelitian dengan beberapa pihak mengenai kajian terhadap tindak pidana perkosaan di angkutan umum dalam persfektif kriminologi.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara menelaah peraturan perundang-undangan, bahan seminar, literatur-literatur dan dokumen-dokumen yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas.


(3)

37

Selanjutnya data sekunder meliputi : 1. Bahan hukum primer, antara lain :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP )

b. Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP )

c. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkatan Jalan

d. Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tahun 1993 ( RUU KUHP 1993 )

2. Bahan hukum sekunder, yaitu doktrin-doktrin, pendapat para sarjana, bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer yang diperoleh dari studi kepustakaan.

3. Bahan hukum tersier, seperti literatur, makalah, kamus-kamus, dan lain-lain yang memberikan penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer maupun hukum sekunder.

C. Penentuan Populasi dan Sempel

Populasi adalah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga (Masri Singarimbun, 1987:152). Populasi dalam penulisan skripsi ini adalah Penyidik Kepolisian, Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, Jaksa, dan Hakim. Sampel adalah sebuah objek yang jumlahnya kurang dari populasi (Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1987:152). Dalam menentukan sampel, metode yang digunakan ialah Purposive Proposional Sampling, yaitu metode pengambilan sampel berdasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan penelitian, dimana


(4)

pemilihan responden disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah dapat mewakili populasi terhadap masalah yang diteliti. (Burhan Ashofa,1996:89)

Sesuai dengan metode pengambilan sampel, maka responden yang akan diteliti dalam pembahasan masalah ini adalah sebagai berikut:

1. Penyidik Kepolisian Polresta Bandar Lampung : 1 Orang 2. Jaksa Pada Kejaksaan Tinggi Lampung : 1 Orang 3. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang 4. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila: 1 Orang Jumlah : 4 Orang D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Proses dalam melakukan pengumpulan data, baik data primer maupun data sekunder dipergunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi Pustaka

Terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku dan literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan membaca, mencatat, merangkum, untuk dianalisis lebih lanjut.


(5)

39

b. Studi Lapangan

Dilakukan untuk memperoleh data primer dengan menggunakan teknik wawancara langsung dengan responden yang telah direncanakan sebelumnya. 2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik data yang diperoleh dari studi pustaka maupun dokumen, data-data tersebut diolah dengan menggunakan metode :

a. Editing Data

Data yang dikumpulkan kemudian diperiksa untuk mengetahui apakah data yang dibutuhkan tersebut masih terdapat kekurangan-kekurangan dan sudah sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi Data

Data yang sudah terkumpul dikelompokan sesuai dengan bidang pokok bahasan agar mudah dalam menganalisis.

c. Sistematisasi Data

Data yang terkumpul disusun secara sistematis sesuai dengan pokok permasalahan konsep dan tujuan penelitian agar mudah dalam menganalisis data.

E. Analisis Data

Analisis terhadap hasil penelitian merupakan usaha untuk menemukan jawaban dari permasalahan. Dalam proses analisis ini rangkaian data yang tersusun secara sistematis dan menurut klasifikasinya dianalisis secara kualitatif dan diberi pengertian berdasarkan kata-kata yang sesuai dengan apa yang ada di lapangan


(6)

sehingga mudah dimengerti dan dipahami. Hasil analisa dilanjutkan dengan mengambil kesimpulan secara induktif, yaitu meneliti dari data dan fakta yang bersifat khusus kemudian dilanjutkan dengan mengambil kesimpulan secar umum.