BAB II KAJIAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA YANG MENGATUR TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM KAITAN DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN A. Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Tindak Pidana Perkosaan Dari Perspektif Pembaharuan Hukum Pid

  BAB II KAJIAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA YANG MENGATUR

TENTANG TINDAK PIDANA PERKOSAAN DALAM KAITAN

DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN A. Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) KUHP merumuskan perbuatan perkosaan (Rape) pada Pasal 285 yang

  bunyinya sebagai berikut: “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Berdasarkan pasal 291 ayat (2), jika pemerkosaan tersebut mengakibatkan matinya perempuan itu, ancaman menjadi lima belas tahun penjara.

   Tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP memiliki

  beberapa Unsur yaitu:

   1.

  Barangsiapa 2. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan 3. Memaksa 4. Seorang wanita bersetubuh dengan dia 5. Diluar perkawinan

  Walaupun didalam rumusannya, undang-undang tidak mensyaratkan keharusan adanya unsur kesengajaan pada diri pelaku dalam melakukan perbuatan yang dilarang didalam Pasal 285 KUHP, tetapi dengan dicantumkannya unsur 31 Leden Marpaung, 1997, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya,

  Jakarta, Penerbit Sinar Grafika, hlm.49 32 Ibid., hlm.52

  memaksa didalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja. Karena seperti yang telah kita ketahui tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP harus dilakukan dengan sengaja, dengan sendirinya unsur kesengajaan tersebut harus dibuktikan baik oleh penuntut umum maupun oleh hakim disidang pengadilan yang memeriksa dan mengadili perkara pelaku yang oleh penuntut umum telah

   didakwa melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP.

  Unsur obyektif pertama dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam

  Pasal 285 KUHP ialah unsur barangsiapa. Kata barangsiapa ini menunjukkan orang, yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, maka ia dapat disebut sebagai pelaku tindak

   pidana perkosaan tersebut.

  Unsur obyektif kedua dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Menurut Tirtaamidjaja, yang dimaksudkan dengan kekerasan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan kekuatan badan yang agak hebat. “Kekerasan atau ancaman kekerasan “ tersebut ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga berbuat lain tidaj memungkinkan baginya selain membiarkan

   dirinya untuk disetubuhi.

  33 34 P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Op.Cit, hlm.97 35 Ibid, hlm.98 Leden Marpaung, Log.Cit.,

  Menurut Hoge Raad dalam arrest-arrestnya masing-masing tanggal 5 Januari 1914, NJ 1914 halaman 397,W.9604 dan tanggal 18 Oktober 1915,NJ

  

  1915 halaman 1116, mengenai ancaman kekerasan tersebut disyaratkan yakni:

  a. bahwa ancaman itu harus diucapkan dalam suatu keadaan yang demikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kesan pada orang yang diancam, bahwa yang diancamkan itu benar-benar akan dapat merugikan kebebasan pribadinya.

  b. bahwa maksud pelaku memang telah ditujukan untuk menimbulkan kesan seperti itu.

  Orang belum dapat memperoleh penjelasan tentang apa sebenarnya Dari arrest-arrest Hoge Raad tersebut mengenai apa yang dimaksudkan dengan ancaman kekerasan atau ancaman akan memakai kekerasan, karena arrest-arrest tersebut hanya menjelaskan tentang caranya ancaman itu harus diucapkan. Karena kekerasan tidak hanya dapat dilakukan dengan memakai tenaga badan yang sifatnya tidak terlalu ringan, yakni seperti yang dikatakan oleh prof. Simons, melainkan juga dapat dilakukan dengan memakai sebuat alat, sehingga tidak diperlukan adanya pemakaian tenaga badan yang kuat, misalnya menembak dengan sepucuk senjata api, menjerat leher dengan seutas tali, menusuk dengan sebilah pisau dan lain-lainnya, maka mengancam akan memakai kekerasan itu harus diartikan sebagai suatu ancaman yang apabila yang diancam tidak bersedia memenuhi keinginan pelaku untuk mengadakan hubungan kelamin dengan 36 P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Op.Cit, hlm. 100 pelaku, maka ia akan melakukan sesuatu yang dapat berakibat merugikan bagi kebebasan, kesehatan, atau keselamatan nyawa orang yang diancam.

  Unsur ketiga dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah unsur memaksa. “memaksa” berarti di luar kehendak dari si wanita tersebut atau bertentangan dengan kehendak wanita itu. Satochid Kartanegara menyatakan

  

  antara lain: “Perbuatan memaksa ini haruslah ditafsirkan sebagai suatu perbuatan sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain.

  Perbuatan memaksa dapat dilakukan dengan perbuatan dan dapat juga dilakukan dengan ucapan. Perbuatan membuat seorang wanita menjadi terpaksa bersedia mengadakan hubungan kelamin, harus dimasukkan dalam pengertian memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin. Dalam hal ini kiranya sudah jelas bahwa keterpaksaan wanita tersebut harus merupakan akibat dari dipakainya kekerasan akan dipakainya ancaman akan memakai kekerasan oleh

   pelaku atau oleh salah seorang dari para pelaku.

  Unsur objektif keempat dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP ialah seorang wanita bersetubuh dengan dia. Kalau bukan wanita (dalam hal homoseks) maka tidak dapat diterapkan Pasal 285 KUHP ini. Perlu diketahui bahwa kejahatan terhadap kesusilaan, KUHP telah menyebutkan adanya berbagai wanita, masing-masing yakni: a. wanita yang belum mencapai usia dua belas tahun (Pasal 287 ayat (2) KUHP), wanita yang belum mencapai usia lima belas 37 38 Leden Marpaung, Log.Cit., P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Op.Cit., hlm. 101 tahun (Pasal 287 ayat (1) dan Pasal 290 angka 3 KUHP, wanita yang belum dapat

  

  dinikahi (Pasal 288 ayat (1) KUHP), dan wanita pada umumnya. Adapun yang dimaksud dalam Pasal 285 KUHP adalah wanita pada umumnya.

  Pengertian “Bersetubuh” menurut Tirtaamidjaja berarti persentuhan sebelah dalam dari kemaluan si laki-laki dan perempuan, yang pada umumnya dapat menimbulkan kehamilan. Pengertian bersetubuh diartikan bahwa penis telah

  

  penetrasi kedalam vagina. Bila ternyata pelaku tidak berhasil memasukkan penisnya kedalam vagina korban, misalnya karena korbannya telah memberikan perlawanan, maka pelaku dapat dipersalahkan karena telah melakukan suatu percobaan pemerkosaan yakni melanggar larangan yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1) jo. Pasal 285 KUHP, dan sesuai dengan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 53 ayat (2) KUHP, hakim dapat menjatuhkan pidana penajara selama-lamanya 8 tahun bagi pelaku yakni sesuai ketentuan pokok terberat yang

   diancamkan dalam Pasal 285 KUHP dikurangi sepertiganya.

  Hal ini berbeda dengan KUHP Norwegia. Beberapa ketentuan menarik

  

  dari ketentuan KUHP Norwegia ialah: a.

  Untuk dapat dikatakan ada perkosaan (rape) tidak perlu ada persetubuhan “(sexual intercourse”); cukup apabila memaksa 39 seseorang untuk melakukan hubungan tidak senonoh/perbuatan cabul 40 Ibid., 41 Leden Marpaung, Op.Cit.,hlm. 53 42 P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Op.Cit., hlm.103 Barda Nawawi Arief, 2006, Perbandingan Hukum Pidana ,Jakarta, Penerbit PT Raja

  Grafindo Persada, hlm. 178

  (“indecent relations”) . Dalam hal demikian ancaman pidananya berkisar antara 1-10 tahun penjara. Tetapi apabila “indecent relations” itu berupa “sexsual intercourse” maka pidananya diperberat yaitu dikenakan pidana minimal tidak kurang dari 3 tahun penjara (ps.192).

  Jadi, adanya “sexual intercourse” bukan syarat untuk adanya perkosaan, tetapi hanya sebagai alasan factor pemberat pidana.

  Apabila perkosaan berakibat luka-luka berat atau mati, minimal pidananya menjadi 4 tahun dan maksimumnya pidana penjara seumur hidup (dalam konsep KUHP minimalnya 5 tahun dan maksimumnya 15 tahun penjara).

  Unsur objektif kelima dari tindak pidana perkosaan yang diatur dalam

  Pasal 285 KUHP ialah unsur di luar perkawinan. Di luar perkawinan berarti bukan istrinya.

   Dari peraturan ini dapat ditarik beberapa pengertian sebagai berikut: a.

  Korban perkosaan harus seorang perempuan, tanpa batas umur.

  b.

  Korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Ini berarti tidak ada persetujuan dari korban mengenai niat dan tindakan si pelaku.

  c.

  Persetubuhan di luar perkawinan adalah tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan kekerasan atau ancaman terhadap perempuan 43 tersebut.

  Arif Gosita, Op.Cit., hlm. 339 Para feminis mengkritik KUHPidana. Seperti di negara-negara patriarki lainnya, KUHPidana Indonesia juga tidak menganggap perempuan sebagai manusia yang bermartabat, yaitu manusia yang punya individualitas seperti pria. Sebaliknya perempuan dianggap sebagai makhluk tubuh dan seksualitas belaka. Hal ini juga tampak pada pasal tentang perkosaan (Pasal 285 KUHP) yang mengisyaratkan korban harus bukan istri sendiri dan harus terjadi dalam bentuk hubungan seksual yang dalam keputusaan Hoograad (Mahkamah Agung Hindia Belanda) tanggal 5 Februari 1912 diartikan sebagai “penetrasi penis ke vagina”.

  Pasal perkosaan ini tidak dirumuskan dari perspektif korban (perempuan), misalnya dengan melihat apakah harga diri atau HAM perempuan sudah tercabik-

   cabik.

  Salah satu aspek yang digugat atau dipertanyakan eksistensinya oleh pemerhati dan lembaga advokasi masyarakat adalah aspek yuridis (KUHP), yang dinilainya punya kelemahan mendasar, sehingga sulit diharapkan dapat diimplementasikan secara maksimal guna menanggulangi pelaku kejahatan kekerasan seksual (perkosaan). KUHP Indonesia yang dijadikan acuan bagi kalangan praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual mengandung kekurangan secara substansial dalam hal melindungi korban kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang

   istimewa.

44 Sulistyowati Irianto, 2006, Perempuan dan Hukum:Menuju Hukum Yang

  Berperspektif Kesetaraan dan Keadilan , Jakarta, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, hlm.8-9 45 Abdul Wahid & Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual (Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), Bandung, Penerbit Refika Aditama,hlm. 109

  Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam Pasal 285 KUHP tersebut menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung oleh pelaku adalah dua belas tahun penjara, apabila mengakibatkan matinya perempuan diancam pidana penjara lima belas tahun. Hal ini adalah ancaman hukuman maksimal, dan bukan sanksi hukum yang sudah dibakukan harus ditetapkan begitu. Sanksi minimalnya tidak ada, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapapun lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang

   menjatuhkan vonis.

  R. Soesilo mengatakan bahwa yang diancam hukuman dalam Pasal 285 KUHP tentang perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengannya. Dari Pasal 285 ini juga dapat ditarik kesimpulan bahwa (a) korban perkosaan harus seorang wanita tanpa batas umur; (b) korban harus mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Hal ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak korban mengenai niat

   dan tindakan pelaku.

  Berdasarkan di atas jelaslah bahwa perkosaan itu dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan sehingga si korban pingsan atau tiada berdaya lagi untuk mengadakan perlawanan terhadap si pelaku sebelum maupun sesudah dia diperkosa. Apabila perbuatan itu dilakukan tanpa kekerasan atau ancaman kekerasan, maka perbuatan itu tidak dapat digolongkan kedalam 46 47 Ibid.

  Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy: pendekatan Integral Penal Policy dan Non

Penal Policy Dalam penanggulangan Kejahatan kekerasan , Medan, Penerbit Pustaka Bangsa Press, hlm.43 pengertian perkosaan tetapi kemungkinannya termasuk dalam pengertian persetubuhan suka sama suka.

  Rumusan pasal tentang larangan perkosaan tersebut dalam kenyataannya tidak relevan dengan makna perbuatan perkosaan itu sendiri. Dalam rumusan tersebut hanya perbuatan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa seorang wanita bersetubuh diluar perkawinan lah yang dikategorikan sebagai perkosaan. Perbuatan dengan kekerasan antau ancaman kekerasan untuk memaksa seorang wanita yang terikat perkawinan untuk melakukan persetubuhan, tidak dapat dikategorikan sebagai perkosaan, padahal pemaksaan atau kekerasan untuk melakukan persetubuhan seharusnya dikategorikan sebagai perbuatan yang dilarang, karena menafikan adanya penghargaan atas kemanusiaan seseorang yang paling esensial berupa adanya persetujuan untuk melakukan perbuatan yang teramat intim, baik itu diluar atau didalam perkawinan. Dengan merumuskan hal itu, Pasal 285 KUHP telah menyatakan bahwa perempuan yang telah terikat perkawinan tidak lagi memiliki hakekat kemanusiaan untuk melakukan

   persetujuan persetubuhan, atau tidak perlu lagi dimintai persetujuannya.

  Pasal 285 KUHP ini juga kurang mampu mengakomodir perlindungan para korban, karena perkosaan bisa saja terjadi tanpa adanya kekerasan atau ancaman kekerasan. Bagaimana kalau misalkan perkosaan itu tidak dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, namun dengan modus penipuan, seperti contoh kasus dibawah ini, apakah pelaku akan lepas dari jerat berdasarkan rumusan Pasal 285 KUHP tersebut? 48 Sulistyowati Irianto, Op.Cit ,hlm. 58

49 Contoh kasus:

  Perkosaan dilakukan dengan modus penyembuhan. Korban dibuat bingung dengan pemikiran tentang kondisi dirinya yang sakit secara fisik dan psikis. Perkataan pelaku yang dapat menyembuhkan korban membuat ia mau melakukan permintaan pelaku. Korban tidak mau menceritakan kejadian yang dialaminya kepada pihak keluarga dengan alasan tidak mau menambah beban keluarganya. Korban merasa pusing dan mual, bahkan muntah selama beberapa hari setelah kejadian tersebut. Akibatnya, Korban merasa kesakitan dan sadar bahwa apa yang terjadi pada dirinya bukanlah sebuah proses penyembuhan. Ia merasa jijik pada saat pelaku meraba alat kelaminnya. Setelah itu ia merasa menyesal, jijik, benci kepada pelaku, dan marah. Akan tetapi ia tidak berani mengungkapkan hal tersebut sehingga semua perasaan tersebut hanya dipendam sendiri dan untuk jangka panjang ia memiliki perasaan ketakutan jika teman kost tahu apa yang terjadi padanya. Korban mengalami pendarahan selama tiga hari. Korban merasa benci dan jijik apabila mengingat peristiwa tersebut serta melihat bekas-bekas gigitan di badannya. Setelah kejadian tersebut korban mengalami perasaan ingin muntah, mual dan tidak dapat diisi makanan pada pagi hari. Menurut teman-temannya jika tidur korban sering menceracau atau mengigau. Hal ini berlangsung kurang lebih selama satu bulan. Pada awalnya korban tidak ingin teman-teman kostnya tahu kecuali teman sekamarnya. Korban juga tidak memberitahu pihak keluarganya dengan alasan ia tidak ingin menambah masalah 49 Sumber : Jurnal Psikologi, Faturochman, 2001, Perkosaan, Dampak, Dan Alternatif

  Penyembuhannya,Yogyakarta,2001,http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/JURNAL%20%20Perkosaan,%

  20Dampak%20&%20Altenatif%20Penyembuhannya.pdf, diakses pada 05/03/2013, 10.36 Wib dan beban bagi keluarganya, terutama bagi ibu korban. Pada kasus ini, korban yang mengetahui kesulitan ekonomi yang dimiliki oleh keluarganya di luar Jawa lebih memilih tidak memberitahukan masalah yang dialaminya. Ia merasa lebih baik merahasiakan peristiwa yang dialaminya daripada menambah beban keluarga.

  Rumusan Pasal 285 KUHP tentunya tidak bisa menjerat pelaku tindak pidana perkosaan dalam kasus di atas, karena rumusan dalam Pasal 285 KUHP hanya merumuskan bahwa perkosaan itu dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, sedangkan dalam contoh di atas perkosaan dilakukan dengan modus penipuan, perempuan tersebut diperdaya dan diperkosa. Dalam konteks masyarakat saat ini, rumusan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP ini tentunya sangat ketinggalan zaman, karena kejahatan perkosaan saat ini mengalami perkembangan yang luar biasa baik modus operandi dan modelnya.

  Misalnya; bagaimana jika seandainya “perkosaan” itu terjadi tidak dalam bentuk persetubuhan (contohnya dengan memasukkan penis ke mulut dan anus atau memasukkan benda-benda lain ke vagina). Bagaimana jika perkosaan tersebut terjadi terhadap istri (marital rape)? tentunya pertanyaan ini juga tidak dapat dijawab oleh pengaturan tindak pidana perkosaan dalam Pasal 285 KUHP. Jika para penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) tetap mengacu pada Pasal 285 KUHP dalam menangani kasus-kasus perkosaan, maka kemungkinan akan banyak kasus perkosaan dan pemerkosa yang lepas dari jeratan hukum karena perbuatannya

   tersebut tidak termasuk dalam unsur-unsur Pasal 285 KUHP.

  Kita ketahui bahwa dalam penerapannya, melalui putusan-putusan pengadilan rumusan Pasal 285 KUHP tentang perkosaan ini hanya dapat diterapkan pada perbuatan memasukkan alat kelamin laki-laki kedalam alat kelamin perempuan, sehingga perbuatan memasukkan benda lain kedalam alat kelamin perempuan tidak dikategorikan sebagai atau diberikan sanksi seberat

   perbuatan perkosaan.

  Rumusan Pasal 285 KUHP ini hanya mendefinisikan bahwa perkosaan dilakukan hanya di luar perkawinan". Selain itu kata-kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum perkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan perkosaan akan tetapi masuk dalam kategori percabulan. Rumusan ini dinilai diskriminatif, dan ikut berperan serta dalam membakukan nilai yang berlaku di masyarakat berkenaan dengan harkat dan martabat wanita

  Berdasarkan Pasal 285 KUHP tidak termasuk perkosaan dalam rumah tangga atau suami memperkosa isterinya yang disebut marital rape. Ketentuan ini tidak melarang perkosaan terhadap isteri oleh suaminya. Kelemahan hukum pidana ditentukan pula karena usia KUHP yang sudah tua sebagai induk hukum pidana, permasalahannya, menyangkut nilai yang ada dibalik norma-norma hukum (KUHP), yang sudah barang tentu dilatarbelakangi budaya barat yang lebih kental nilai-nilai individualistisnya. Sementara itu, nilai-nilai masyarakat 50 Sumber:

  diakses pada 25/03/2013, 11.32 Wib 51 Sulistyowati Irianto, Logcit,

  kita lebih bersifat komunal, dan perkembangannya menuju nilai-nilai universal, khususnya nilai keadilan yang semestinya diwujudkan melalui hukum, termasuk

   keadilan jender.

  Ketentuan KUHP memang ada memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan secara implisit. Aspek ini terlihat melalui ketentuan Pasal 14c ayat (1) KUHP yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

  Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14 a kecuali dalam hal dijatuhkan pidana denda, bersama-sama dengan syarat umum, bahwa orang yang dipidana, hakim boleh mangadakn syarat khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagian saja, yang akan ditentukan pada perintah yang ditentukan pada itu juga, yang kurang pada masa percobaan itu. Logika konkret ketentuan di atas menyiratkan bahwa ada perlindungan abstrak atau tidak langsung yang diberikan undang-undang sebagai kebijakan formulatif kepada korban kejahatan. Perlindungan tersebut meliputi penjatuhan hukuman oleh hakim dengan penetapan syarat umum dan syarat khusus berupa ditentukan terpidana mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. Akan tetapi, ternyata aspek ini sifatnya abstrak atau perlindungan tidak langsung karena sifat syarat khusus tersebut berupa penggantian kerugian adalah fakultatif, bergantung kepada penilaian hakim. Oleh Karena itu, dengan asas keseimbangan

52 Rio Armanda Agustian, Peneliti Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial Universitas

  BangkaBelitungdiakses pada 25/03/2013, 11.29 Wib individu dan masyarakat (Asas monodualistik) seharusnya perlindungan terhadap

   korban kejahatan dalam KUHP sifatnya imperative.

  Hakikatnya, dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat menurut

  Pasal 14c KUHP hakim dapat menetapkan syarat khusus berupa mengganti kerugian akibat tindak pidana sehingga seolah-olah ganti rugi tersebut berfungsi sebagai pengganti pidana pokok. Barda Nawawi Arief menyebutkan penetapan ganti rugi ini jarang diterapkan dalam praktik karena mengandung beberapa

  

  kelemahan, antara lai a.

  Penetapan ganti rugi ini tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi yang berdiri sendiri disamping pidana pokok, ia hanya dapat menjatuhkan pidana bersyarat, jadi hanya sebagai syarat khusus untuk tidak menjalani pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana; b.

  Penetapan syarat khusus berupa ganti rugi ini pun hanya diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan.

  c.

  Syarat khusus berupa ganti rugi ini pun menurut KUHP hanya bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif.

  KUHP menunjukkan pengaturan mengenai korban yang tidak memadai, seperti ketentuan dalam Pasal 14c KUHP, Padahal, kerugian yang diderita korban sangat berat. Perempuan korban perkosaan menanggung beban mental yang lebih berat dibandingkan hukuman bagi pemerkosanya. Korban ada kemungkinan akan mengalami cacat seumur hidup dan menerima tekanan dari masyarakatnya. 53 54 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm.262

   Ibid ., Dampak lain menyangkut gangguan emosi sebagai beban psikologis dan berpengaruh secara psikis (misalnya schizoprenia) dan fisik (physiological

  

disorder ), ketakutan, tak adanya rasa aman, ketidakbahagiaan, merasa terbuang,

  cacat tubuh, serta kematian. Di samping itu, cemoohan dari masyarakat, perasaan tertekan merasa dirinya telah kotor dan berdosa. Ditambah lagi tekanan-tekanan yang timbul dari proses peradilan baik sebelum sidang, selama sidang, maupun setelah sidang semakin menderitakan korban. Begitu juga vonis yang ringan terhadap kasus perkosaan tidak memenuhi rasa keadilan korban dan keluarganya.

  Menurut asumsi Lilik Mulyadi ketentuan pasal 14a, b, dan c KUHP, bentuk syarat khusus berupa ganti kerugian bukan salah satu jenis pidana sebagaimana ketentuan Pasal 10 KUHP dan aspek ini tetap mengacu pada pelaku tindak pidana (offender Oriented) dan bukan pada korban tindak pidana (victim) yang lazimnya mengalami viktimisasi sekunder (secondary victimization), karena itu dengan titik tolak agar korban kejahatan tidak terasing lagi, bukan sebagai Cinderella dari hukum pidana maka penempatan pembayaran ganti rugi dan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf d,e Konsep RUU

   KUHP diharapkan korban tidak terasing lagi.

  Ketentuan Pasal 67 Konsep RUU KUHP Tahun 2006 berbunyi sebagai berikut: 1)

  Pidana tambahan terdiri atas: 55 Ibid., hlm.263

  a.

  Pencabutan hak tertentu; b.

  Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. Pengumuman putusan hakim d.

  Pembayaran ganti kerugian; dan e. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat

  2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.

  3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masayrakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.

  4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.

  Rumusan sanksi pidana dalam konsep RUU KUHP ini lebih baik bila dibandingkan daripada rumusan dalam KUHP saat ini, karena ada diatur mengenai ganti kerugian, pemenuhan kewajiban setempat.

  Mengenai rumusan tindak pidana perkosaan RUU KUHP 1999/2000 Direvisi 2004/2005 merumuskannya pada pasal 489 bunyinya sebagai berikut:

  1) dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling sedikit 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas tahun): a. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan diluar perkawinan , bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut; b. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan diluar perkawinan tanpa persetujuan perempuan tersebut; c. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan tersebut dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai ; d. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah; e. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia dibawah 14 (empat belas) tahun, dengan persetujuannya, atau f. laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

  2) Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan, jika dalam sebagaimana dimaksud dalam ayat (1); a.

  Laki-laki memasukkan alat kelaminnya kedalam anus atau mulut perempuan; atau b.

  Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya kedalam vagina atau anus perempuan. Bila kita lihat, rumusan sanksi pidana dalam konsep RUU KUHP ini memang jauh lebih tegas bila dibandingkan dengan rumusan dalam KUHP saat ini, karena ada diatur mengenai minimal pidana yang diterima si pelaku. Mengenai rumusan tindak pidana perkosaan juga sudah lebih diperluas, tidak hanya terbatas pada persetubuhan saja, namun dalam RUU KUHP ini juga belum dapat mengakomodir perlindungan korban, karena rumusannya tidak ada mengatur mengenai tindak pidana perkosaan dengan modus penipuan yang telah dibahas sebelumnya.

  KUHP tidak ada mengatur secara tegas mengenai perlindungan korban untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian yang dialaminya. Ganti rugi dalam KUHP hanya merupakan syarat untuk seseorang untuk tidak menjalani pidana (sebagai pidana bersyarat). Jadi apabila hakim menjatuhkan pemidanaan, bukan sebagai pidana bersyarat, maka hakim tidak dapat menjatuhkan pidana ganti

  

  rugi. Hal ini tentu saja sangat tidak adil bagi korban tindak pidana perkosaan yang sangat menderita baik secara materiil maupun immaterial. Perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Ganti rugi dalam Pasal 14c KUHP pada dasarnya tidak bersifat pidana, ia hanya sekedar syarat/pengganti untuk menghindari atau tidak menjalani pidana. Jadi tetap dilandasi latar belakang pemikiran/konsep pemidanaan yang berorientasi pada orang/pelaku tindak pidana (offender) tidak dilandasi pemidanaan yang berorintasi pada korban (‘victim”). Dengan demikian ganti rugi dalam pidana bersyarat menurut Pasal 14c KUHP tidak dapat disamakan dengan 56 Rena Yulia, Op.Cit., hlm.174

  “denda kompensasi” yang dibebankan kepada terpidana disamping pidana yang

   seharusnya dia terima.

  Sistem pemidanaan KUHP Indonesia tidak menyediakan pidana ganti rugi bagi korban perkosaan sehingga posisi wanita tetap berada di posisi yang

  

  tidak diuntungkan sebagai korban kejahatan. KUHP tidak mengandung pandangan yang memperhatikan korban. Apa yang sekarang dikenal dengan

  

  viktimisasi belum tertampung dalam KUHP. Penulis menyimpulkan bahwa pengaturan Tindak Perkosaan dalam KUHP belum memberikan perlindungan terhadap korban khususnya korban perkosaan yang kita ketahui sangat menderita.

B. Kajian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

  Sebagaimana kita ketahui bahwa, sejak tanggal 31 Desember 1981 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP dikenal sangat memperhatikan hak-hak seorang yang tersangkut tindak pidana, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, putusan pengadilan oleh hakim, hingga pelaksanaan putusan. Dalam proses peradilan pidana baik tersangka (offender) maupun korban kejahatan (victim of crime) menghendaki keadilan. Bagi tersangka menghendaki perkaranya diperiksa secara adil dengan mengindahkan hak-haknya serta aturan main yang telah ditentukan, namun bagi korban juga 57 Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan

  Pengembangan Hukum Pidana , Bandung, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 58 59 Dikdik & Elisatris, Op.Cit, hlm.30 Sulistyowati Irianto, Op.Cit., hlm. 172 menghendaki agar pelaku diadili dan kalau perlu dihukum seberat-beratnya, bahkan berharap adanya ganti rugi untuk memulihkan keadaan.

  KUHAP memang sudah ada merintis perlindungan korban secara individu, dengan tetap melakukan pembinaan kepada pelaku kejahatan. KUHAP juga memberi peluang kepada korban mengajukan gugatan ganti rugi melalui penggabungan perkara pidana melalui Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Seorang korban dari kejahatan dapat hadir dalam proses pemeriksaan perkara pidana dengan dua kualitas berbeda. Di satu sisi kehadiran korban dalam pemeriksaan perkara pidana berfungsi sebagai saksi guna dalam proses pemeriksaan, baik dalam tahap penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan dipersidangan pengadilan. Di sisi lain fungsi korban dalam proses perkara pidana adalah mengajukan gugatan ganti kerugian atas penderitaan dan kerugian yang dialami sebagai akibat kejahatan.

  Hak korban tindak pidana perkosaan dalam peradilan dikemas sangat minim, sedikit sekali pasal-pasal yang membahas tentang korban, pembahasannya pun tidak fokus terhadap eksistensi korban tindak pidana melainkan hanya sebagai warga negara biasa yang mempunyai hak yang sama dengan warga negara lain.

  Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang

  

  diberikan undang-undang kepada pelaku kejahatan. Walaupun kita mengetahui bahwa, derita yang dialami korban sudah dirasakan ketika terjadinya kejahatan, saat melapor tidak jarang pula korban masih mangalami penderitaan hingga 60 Rena Yulia, Op.Cit, hlm.103 proses persidangan. Trauma akibat akan menerima perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungannya. Hal ini berimplikasi pada enggannya korban untuk melapor kejadian yang dideritanya, karena semula laporan itu bertujuan untuk mengurangi beban masalah yang dideritanya, menjadi permasalahan baru baik berupa cemooh dari masyarakat maupun dari aparatur penegak hukum yang terkadang kurang responsip dan tidak bersahabat, belum lagi karena adanya intimidasi dari tersangka terhadap korban tindak pidana perkosaan.

  Praktek peradilan di Indonesia belum sepenuhnya memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap perempuan. Pada tahap pemeriksaan terhadap korban kejahatan perkosaan ini sering dilakukan dengan tidak memperhatikan hak-hak asasi korban, korban kerapkali posisinya hanya sebagai saksi yang semata-mata untuk membuktikan kesalahan pelaku/terdakwa . Sedangkan pada tahap penjatuhan putusan hukum, korban kembali dikecewakan karena putusan yang dijatuhkan pada pelaku cukup ringan atau jauh dari memperhatikan hak-hak asasi perempuan. Pihak korban masih dituntut untuk menceritakan kasus yang dialaminya, menceritakan kronologis peristiwa yang melecehkan dan mengupas ulang tragedi yang memalukan. Penderitaan korban perkosaan semakin bertambah ketika dalam proses peradilan korban hanya menjadi saksi, dalam hal ini menjadi saksi korban. Seolah-olah korban tidak dimanusiakan dan hanya merupakan saksi yang hanya penting untuk digunakan dalam memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku. Setelah selesai semua tahap penyidikan dan penyelidikan tersebut, setelah semua barang bukti terkumpul, dan pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Proses peradilan pun lebih focus pada pelaku, sehingga korban dengan sendirinya menjadi tidak mendapat perhatian lagi. Apa yang terjadi pada korbaan setelah perbuatan perkosaan menjadi tanggung jawab korban sendiri, baik itu pemulihan luka maupun penyembuhan traumatis akibat

   perkosaan merupakan tanggung jawab sendiri.

  Lidya Suryani W. dan Sri Wurdani menegaskan KUHAP kurang memberikan perhatian terhadap korban kejahatan khususnya korban korban kejahatan perkosaan sebagai pihak yang paling dirugikan yang juga membutuhkan perlindungan terhadap hak-haknya yang telah dilanggar. Seringkali terjadi, keterlibatan korban dalam sistem peradilan pidana hanya menambah rasa takut yang berkepanjangan, tidak berdaya dan kecewa karena tidak diberikan perlindungan yang cukup. Perjalanan penderitaan yang panjang dalam proses peradilan pidana, lebih banyak berakhir dengan kepedihan. Hukuman yang dijatuhkan hakim atas pelaku perkosaan terlampau ringan jika dibandingkan dengan trauma yang diakibatkan oleh perkosaan itu dalam hidup korban sepanjang hayat. Ancaman hukuman maksimal 12 tahun hanya menjadi sederetan kata-kata didalam KUHP, karena rata-rata hakim menjatuhkan pidana kepada pemerkosa berkosar 5 bulan hingga 2 tahun penjara. Penjatuhan pidana yang relatif ringan, sebagaimana yang sering kita dengar pada praktik peradilan selama ini dikhawatirkan akan membuat pelaku tak takut atau tak jera melakukan kejahatan perkosaan itu lagi dan juga tidak dapat dijadikan peredam makin maraknya kasus perkosaan. Korban dalam pemeriksaan penyidik misalnya lebih 61 Rena Yulia, Op.Cit., hlm. 19 sering diposisikan tidak jauh berbeda dengan tersangka, yang harus diperiksa (dimintai keterangan) dalam waktu berjam-jam. Pihak korban yang sudah tersiksa secara psikologis masih harus diperhadapkan dengan suasana yang kurang

  

  mendukung secara fisik maupun psikologisnya. Korban perkosaan sebagai saksi korban harus mengingat dan menceritakan kasus yang dialaminya didepan persidangan. Bagaimanakah mungkin seorang yang menderita akibat perkosaan tersebut dapat dengan mudah mengungkap kejadian yang dialaminya, sedangkan melihat dan mengingat pelaku pun sudah mengulangi penderitaannya.

  Mengenai ketentuan ganti rugi, ini dapat dikaji dalam ketentuan Pasal 98- 101 KUHAP. Pasal 98 ayat (1) KUHAP menyebutkan, bahwa: (1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan didalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. (2) permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.

  Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat- lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.

  Berdasarkan bunyi pasal tersebut terlihat bahwa orang yang menjadi korban tindak pidana, khususnya tindak pidana perkosaan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi atas kerugian yang ia alami. Namun demikian dalam kenyataan di lapangan jarang sekali bahkan sulit untuk dijumpai seorang korban tindak pidana perkosaan memanfaatkan pasal tersebut untuk mengajukan tuntutan ganti rugi sebagaimana tertuang dalam Pasal 98 KUHAP. Tindak pidana perkosaan 62 Abdul Wahid & M.Irfan, Op.Cit., hlm. 77 akan menimbulkan berbagai akibat baik berupa fisik, mental (psikologis) sosial, ekonomi dan lain-lain, bahkan secara psikologis korban mengalami trauma seumur hidupnya akibat perbuatan tindak pidana itu, hal ini merupakan suatu kerugian yang ia alami. Seperti halnya korban harus melapor ke Polisi, menanggung biaya pengobatan sendiri, kemudian setelah persidangan ia harus menjadi saksi yang harus menceritakan aib itu berulang-ulang sehingga korban akan mengalami trauma dan penderitaan yang berkepanjangan.

  Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 98 ayat (1) di atas, pembentuk undang-undang telah membuka kemungkinan adanya penggabungan perkara tindak pidana dengan gugatan perdata tentang ganti kerugian menurut sistem KUHAP. Penggabungan perkara pidana dengan gugatan ganti kerugian akan lebih memudahkan bagi orang lain termasuk si korban untuk berbuat sesuatu yang ia/mereka inginkan atas segala kerugian yang ia/mereka alami dan yang dideritanya. Perlindungan terhadap hak korban suatu tindak pidana ini diberikan dengan mempercepat proses untuk mendapat ganti rugi yang diderita, ialah dengan menggabungkan perkara pidananya dengan tuntutan untuk mendapat ganti rugi, yang pada hakekatnya adalah perkara perdata dan yang biasa diajukan melalui perkara perdata dan dengan demikian akan dihemat waktu dan biaya

  

  perkara. Seorang yang merasa dirugikan, mengajukan permintaan kepada ketua sidang yang sedang memeriksa perkara pidana yang dilakukan terdakwa yang mana mengakibatkan kerugian tersebut, untuk menggabungkan perkara gugatan 63 R.Soeparmono, 2003, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti

  Kerugian Dalam KUHAP , Bandung, Penerbit cv. Mandar Maju, hlm. 67

  

  ganti kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan. Akan tetapi, ternyata penggabungan gugatan ganti kerugian tersebut sifatnya terbatas hanya kerugian

   yang nyata-nyata diderita korban.

  Aspek ini secara implisit ditentukan Pasal 99 KUHAP, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 99

  (1) Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebgaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang terlah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut. (2) Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.

  (3) putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan hukum tetap, apabila putusan pidananya juga mendapat kekuatan hukum tetap.

  Akhir kalimat Pasal 99 ayat (1) KUHAP yang berbunyi hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut, dapat ditafsirkan sebagai kerugian yang sifatnya riil atau nyata saja. Sedangkan terhadap kerugian bersifat immaterial yang diderita korban dengan mengacu akhir kalimat Pasal 99 ayat (1) KUHAP karena masih memerlukan pembuktian relatif sulit, lama dan berbelit-belit tidak dapat diajukan dalam penggabungan gugatan

  64 Leden marpaung, 1997, proses tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi dalam hukum pidana , Jakarta, Grafindo persada, hlm.35 65 Lilik mulyadi, Op.Cit., hlm.265

  

  ganti kerugian akan tetapi harus melalui gugatan perkara biasa. Dengan kata lain gugatan ini hanya bisa diajukan melalui gugatan perkara perdata.

  Salah satu segi negatif sistem peradilan perdata adalah antara lain dalam hal penyelesaian ganti kerugian. Oleh karena dapat memakan waktu lama dan tinggi ongkosnya (biaya pengacara). Sehingga kerap kali menimbulkan kesulitan bagi mereka yang tidak mampu material, financial. Cara penuntutan ganti kerugian melalui peradilan perdata akhirnya tidak akan menguntungkan bagi korban yang tidak mampu financial. Sedangkan mereka inilah yang paling memerlukan bantuan setelah mengalami musibah, menajdi korban (mental, fisik,

  

  dan sosial) lagipula bagaimanakah seorang korban perkosaan yang sangat menderita secara fisik dan psikologis masih dapat berfikir untuk melakukan tuntutan ganti kerugian kepada pelaku? Bahkan untuk mengingat pelaku dan perbuatannya sudah menambah penderitaannya.

  Ketegasan tidak dapatnya penggabungan perkara perdata dengan perkara pidana yang menyangkut diluar kerugian materiil telah disebutkan M. Yahya

68 Harahap sebagai berikut:

  ……putusan hakim hanya terbatas tentang pengabulan yang menetapkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Hal ini berarti besarnya ganti kerugian hanyalah sebesar jumlah kerugian nyata atau kerugian materiil saja. diluar kerugian nyata, seperti kerugian yang bersifat immaterial tidak dapat diajukan dalam perkara. Seandainya 66 ganti kerugian immaterial diajukan oleh pihak yang dirugikan hakim 67 Ibid. 68 Arif Gosita, Op.Cit., hlm 225 M. Yahya Harahap, 2008, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:

  

Pemeriksaan sidang Pengadilan,Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.82 harus menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet onvankelijke) Ganti kerugian pada dasarnya meliputi kerugian material dan immaterial. Namun demikian dilihat dari ketentuan tersebut di atas yang dimaksud dengan ganti rugi adalah ganti rugi yang bersifat material. Apabila dikaitkan dengan pasal 99 ayat (2) KUHAP yakni hanya berupa biaya yang dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan sehingga tuntutan yang lain harus dinyatakan tidak diterima, dan harus diajukan dengan gugatan perdata biasa. Gugatan perkara perdata tersebut

  

  tidak merupakan perkara “ne bis in idem” Hal ini sama sekali tidak memberikan perlindungan bagi korban tindak pidana perkosaan, kita tahu bahwa korban tindak pidana perkosaan sangat dirugikan baik secara materiil terutama secara immaterial, ini berarti bahwa korban tidak bisa memperoleh ganti rugi atas kerugian immaterial yang dialaminya.

  Tujuan penggabungan gugatan ganti rugi ini adalah menyederhanakan proses perkara perdata yang timbul dari tindak pidana. Namun kerugian yang ditimbulkan hanya terbatas pada kerugian materiil saja, yaitu penggantian biaya yang telah dikeluarkan sikorban, tidak mencakup pada penggantian kerugian immaterial. Bila korban ingin mengajukan ganti rugi atas kerugian immateriil yang dialaminya, maka korban harus mengajukan gugatan perdata biasa yang kita ketahui bahwa mempunyai prosedur yang panjang. Tidaklah mudah bagi korban perkosaan yang menderita dan mengalami trauma berfikir untuk mengajukan

69 Hari sasangka & Lily Rosita, 2000, KUHAP Dengan komentar, Bandung, Penerbit Mandar Maju.

  gugatan akibat tindak perkosaan yang dialaminya. Sehingga pada praktiknya

   KUHAP belum dapat memenuhi kepentingan korban tindak pidana secara utuh.

  Menurut Soeparmono sistem dan lembaga penggabungan perkara gugatan ganti kerugian tersebut dalam pasal-pasalnya dalam KUHAP belum lah memuaskan. Adapun alasan-alasannya adalah seperti dibawah ini dan merupakan

  

  kelemahan dari KUHAP:

  a. Sistem penggabungan tersebut dirasakan belum mendekati hakekat tujuan ganti kerugian itu sendiri b. Tuntutan ganti kerugian oleh orang lain yang menderita langsung kerugian atau pihak korban untuk memperoleh jumlah besarnya ganti kerugian “dibatasi” hanya pada kerugian meteriil yang nyata-nyata dikeluarkan olh orang yang dirugikan langsung tersebut. Jadi KUHAP dalam ketentuan-ketentuannya membatasi hak.

  c. Untuk kerugian non-materiil, yaitu kerugian immateriil terpaksa harus mengajukan lagi dengan gugatan perkara biasa tersendiri, yang mungkin dapat memakan waktu lama.

  d. Menurut M.Yahya Harahap, SH, “Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP, jilid II, Bab penggabungan perkara gugatan ganti kerugian” dikatakan: kondisi seperti ini berarti sedikit banyak mengaburkan kembali maksud semula dari penggabungan itu sendiri, 70 yang bertujuan untuk menyederhanakan proses dan biaya ringan. 71 Lilik Mulyadi, Op.Cit., hlm.264 R. Soeparmono, Op.Cit, hlm.103 e. Adanya kendala dalam pelaksanaan masalah pembayaran ganti kerugian tersebut.

  f.

  Apabila pihak korban tetap menuntut ganti kerugian yang bersifat immateriil juga, hasilnya akan nihil, karena putusan selalu menyatakan: gugatan ganti kerugian immateriil tersebut dinayatakan tidak dapat diterima, kerena tidak berdasarkan hukum.

  g. Karena gugatan ganti kerugian pada perkara pidana hanya bersifat assessor.

  Kepentingan korban dalam penyelesaian perkara pada sistem peradilan pidana juga mempunyai aspek negatif. Dikatakan demikian karena melalui optic KUHAP perlindungan korban ternyata dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkretnya, korban belum mendapat perhatian secara proporsional atau perlindungan korban lebih banyak merupakan perlindungan tidak langsung. Aspek ini implisit melalui ketentuan Pasal 100 ayat (2) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:

  “Apabila dalam suatu perkara pidana yang tidak diajukan permintaan banding, maka ganti rugi tidak diperkenankan” Apabila dijabarkan, ketentuan Pasal 100 ayat (2) KUHAP telah membatasi

   korban dalam hal sebagai berikut.

  1. Ditinjau dari anasir prosesnya, tidak ada aturan atau pedoman yang harus dilakukan korban apabila merasa tidak puas atas putusan hakim 72 tentang besarnya ganti kerugian yang dijatuhkan. Konkretnya, korban

  Lilik mulyadi, Op.Cit, hlm. 266 tidak mempunyai proses langsung untuk melakukan upaya hukum banding. Karena itu berdasarkan Pasal 100 ayat (2) KUHAP maka permintaan banding putusan ganti kerugian baru dapat diajukan apabila perkara pidananya dilakukan upaya hukum banding.

  Konkretnya, jika korban berkeinginan untuk mengajukan banding, jalurnya hanya melalui penuntut umum yang belum tentu menyetujui kehendak korban dimaksud karena jalur tesebut bukan merupakan ketentuan undang-undang, melainkan berdasarkan pendekatan persuasive antara korban dengan penuntut umum sehingga dapat dikatakan bahwa perlindungan korban yang diberikan melalui ketentuan dimaksud belum sepenuhnya dapat menjamin kepentingan korban dalam upaya untuk mencari keadilan.

Dokumen yang terkait

Tindak Pidana Perkosaan Dari Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana

2 42 112

Tindak Pidana Pembunuhan Biasa dalam Bentuk Pokok Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan Hukum Pidana Islam

4 96 139

BAB II PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA MENGENAI ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Pengaturan Hukum Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Hukuman Kepada Anak Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Studi Putus

0 0 13

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ABORSI MENURUT PENGATURAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA - Perbandingan Tindak Pidana Aborsi Menurut Hukum Positif Di Indonesia Dan Hukum Islam

0 1 34

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN ORANGTUA TERHADAP ANAK KANDUNGNYA A. Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Analisis Hukum Pidana Dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Y

1 2 36

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perbandingan Tindak Pidana Perzinahan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dan Hukum Islam

0 2 23

BAB II PENGATURAN HUKUM POSITIF TERHADAP TINDAK PIDANA PERJUDIAN DI INDONESIA A. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana - Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Perjudian di Wilayah Kota Sibolga (Studi pada Polres Sibolg

1 1 25

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA HUBUNGAN SEKSUAL SEDARAH A. Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana - Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Tindak Pidana Hubungan Seksual Sedarah (Studi Kasus

0 0 20

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN A. Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/P

0 9 21

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) - Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Persetubuhan

0 20 33