KEKERASAN TERHADAP PEKERJA ANAK JALANAN DI KOTA METRO

(1)

ABSTRAK

KEKERASAN TERHADAP PEKERJA ANAK JALANAN DI KOTA METRO

Oleh

HESTI HINDRIYANI

Penelitian pekerja anak jalanan di Kota Metro ini bertujuan untuk mengetahui penyebab anak bekerja, bentuk kekerasan yang dialami dan pelaku tindak kekerasan, alasan yang melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan, serta dampak tindak kekerasan bagi pekerja anak jalanan. Tipe penelitian ini adalah deskriptif dengan metodesurvey.Sampel penelitian ini berjumlah 50 anak jalanan yang dilakukan secara random. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara menyebar kuesioner, obsevasi, wawancara, dokumentasi, dan studi kepustakaan, sedangkan kegiatan analisis data dilakukan dengan cara analisis kuantitatif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penyebab anak bekerja adalah karena latar belakang ekonomi keluarga, adanya ajakan orang lain, merasa tidak nyaman berada di rumah, dan ingin belajar bekerja,. Bentuk kekerasan yang dialami pekerja anak jalanan adalah kekerasan fisik, seperti dipukul, dicubit, ditampar, dan ditendang, sedangkan dalam bentuk kekerasan psikis adalah dimaki, memperoleh pelabelan negatif, dimarahi, dan dibentak. Bentuk kekerasan

ekonomi yang dialami pekerja anak jalanan adalah uang hasil bekerja diambil secara paksa, upah yang tidak sesuai, dan jam kerja yang berlebihan. Sementara itu dalam bentuk kekerasan seksual yang dialami adalah diraba bagian sensitifnya dan pencabulan. Pelaku kekerasan yaitu preman, masyarakat, aparat keamanan, teman sebaya, dan orangtua. Alasan yang melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan yaitu pekerja anak jalanan tidak menuruti perintah, malas bekerja, melakukan kesalahan dalam bekerja, mengganggu aktivitas orang lain, berebut pelanggan, dorongan kebutuhan ekonomi, pendidikan rendah, disfungsi keluarga, keadaan yang dianggap lemah, dan pelaku dalam pengaruh obat-obatan dan alkohol. Akibat dari tindak kekerasan adalah anak mengalami luka ringan, mendapat label negatif, hilangnya kepercayaan diri, menganggap dirinya aib, menutup diri, mendapatkan upah yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang diselesaikan, tidak mendapatkan upah samasekali, kehilangan waktu belajar dan bermain, serta anak mengalami trauma.

Kata kunci: Pekerja anak jalanan, Disfungsi keluarga, Motivasi bekerja, Kekerasan Fisik, Kekerasan Psikis, Kekerasan Ekonomi, Kekerasan Seksual.


(2)

(3)

KEKERASAN TERHADAP PEKERJA ANAK JALANAN

DI KOTA METRO

Disusun oleh: Hesti Hindriyani

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG


(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Rumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Kegunaan Penelitian ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 17

A. Pengertian Kekerasan ... 17

B. Tinjauan tentang Anak Jalanan dan Pekerja Anak Jalanan ... 20

1. Pengertian Anak Jalanan ... 20

2. Faktor Penyebab Timbulnya dan Tumbuhnya Gejala Anak Jalanan... 23

3. Pengertian Pekerja Anak Jalanan ... 25

C. Tinjauan tentang Kekerasan terhadap Pekerja Anak Jalanan... 27

1. Bentuk Kekerasan terhadap Pekerja Anak Jalanan ... 27

2. Pelaku Tindak Kekerasan terhadap Pekerja Anak Jalanan... 28

3. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Kekerasan terhadap Pekerja Anak Jalanan ... 29

4. Dampak Kekerasan yang Dialami Pekerja Anak Jalanan ... 30


(6)

III. METODE PENELITIAN ... 34

A. Tipe Penelitian... 34

B. Metode Penelitian ... 34

C. Definisi Konseptual dan Oprasional Variabel ... 34

D. Lokasi Penelitian ... 36

E. Populasi ... 36

F. Sampel ... 37

G. Teknik Pengumpulan Data ... 38

H. Teknik Pengolahan Data ... 39

I. Teknik Analisis Data ... 40

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN... 41

A. Sejarah Singkat Kota Metro ... 41

B. Keadaan Geografis ... 46

1. Kondisi Tanah ... 46

2. Iklim ... 47

3. Penggunaan Lahan ... 47

C. Visi dan Misi Kota Metro ... 48

1. Visi ... 48

2. Misi ... 48

3. Pemerintahan... 49

D. Kependudukan... 49

E. Pendidikan ... 52

1. Angka Buta Huruf ... 52

2. Tingkat Pendidikan ... 53

3. Siswa Putus Sekolah ... 54

F. Ketenagakerjaan ... 55

1. Lapangan dan Status Pekerjaan ... 55

2. Upah atau Gaji... 56

G. Kesehatan ... 56

H. Kemiskinan ... 58

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 61

A. Karakteristik Anak Jalanan ... 61

1. Umur... 61

2. Jenis Kelamin ... 63

3. Jenis Pekerjaan ... 63

4. Alokasi Waktu Bekerja... 65

5. Lokasi Bekerja... 69

6. Pendapatan... 70

B. Penyebab Anak Bekerja... 71

1. Tujuan Bekerja ... 83


(7)

C. Kekerasan terhadap Anak Jalanan... 89

1. Kekerasan Fisik... 89

2. Kekerasan Psikis ... 92

3. Kekerasan Ekonomi ... 94

4. Kekerasan Seksual ... 96

D. Reaksi Masyarakat terhadap Tindak Kekerasan yang Dialami Pekerja Anak Jalanan ... 98

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 101

A. Kesimpulan... 101

B. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 106 LAMPIRAN


(8)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini. 1992.Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT Rineka Cipta. Jakarta.

Bambang, B.S. 1993.Meninos de Ruas dan Kemiskinan, Child Labour Corner Newsletter.Jakarta.

Bawengan, Gerson W. 1977.Penyidikan Perkara Pidana dan Tekhnik Interogasi. Pradnya Paramita. Jakarta.

BPS. 1998. Survey Kesejahteraan Nasional/ Susenas1998. Jakarta.

BPS. 2001.Survey Kesejahteraan Nasional / Susenas2001. Badan Pusat Statistik (BPS)

Jakarta.

BPS. 2009.Metro Dalam Angka. 2008. Badan Pusat Statistik (BPS). Kota Metro. Bungin, Burhan. 2001.Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitaif

dan Kualitatif. Airlangga University Press. Surabaya.

Chazawi, Adami. 2001.Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa.Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Dinas Sosial. 2008.Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Tahun 2008. Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Pemberdayaan Masyarakat Kota Metro. Metro.

Instruksi Walikota Metro. 2009.Petunjuk Teknis Pelaksanan Program Beras Untuk Rumah Tangga Miskin Kota Metro Tahun 2009. Pemerintah Kota Metro. Kota Metro.

Irwanto, Sutrisna R, Pardoen, Rahat Sitohang, Acas Hendratini, H.L.

Moeliono.1995.Pekerja Anak di Tiga Kota Besar: Jakarta, Surabaya, Medan.Unika Atma Jaya dan UNICEF. Jakarta.

LAdA. 2010.Data Kasus Dampingan Lembaga Advokasi Anak Tahun 2009. LAdA. Bandar Lampung.


(9)

Putranto, Pandji. 2000.Sosialisasi Undang No.1/2000 dan Undang-Undang No.20/1999 serta Realitas Permasalahannya. Disampaikan pada konferensi Nasional III Kesejahteraan Anak di Jakarta. 26-28 Oktober 2000.

Rahmat, Jalaluddin.1984.Metode Penelitian Komunikasi. Remjarosda Karya. Bandung.

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. 1995.Metode Penelitian Survai. PT Pustaka LP3ES. Jakarta.

Soedijar. 1989.Penelitian Profil Anak Jalanan di DKI Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial. Jakarta.

Sugiyono. 2001.Metode Penelitian Bisnis. Alfabeta Bandung.

Surbakti. 1997.Prosiding Lokakarya Persiapan Survei Anak Rawan, Studi Rintisan di Kotamadya Bandung.Jakarta. BPS dan UNICEF.

Syarwani, Abdullah. 1993.Peran dan Upaya Masyarakat dalam Menanggulangi Masalah Anak yang Terpaksa Bekerja. Jurnal Pembangunan

Kesejahteraan Sosial. Jurnal Nomor 6. Jakarta.

UNICEF. 1999.Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Windhu, I Marsana. 1992.Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta. Kanisius.

Situs Internet

Agus, Monang Lubis, dan Andi Noviriyanti. Mereka Memilih Hidup Di Jalan. www.yayasan kesejahteraan anak Indonesia. Diakses tanggal 5 Juli 2009.

BKSN.Anak Jalanan di Indonesia: Permasalahan dan Penanganannya. www.Badan Kesejahteraan Sosial Nasional. Diakses pada tanggal 12 Agustus 2009.

BPS. Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) dan Implementasinya : Tinjauan Wajah Anak Di Banten 2001.www.badan pusat statistik (BPS) Banten. Diakses tanggal 17 Juni 2009.

Departemen Sosial RI.Data Base Anak Jalanan Binaan Rumah Singgah di DKI Jakarta Tahun 2007/2008.www. Departmen sosial.go.id. Diakses tanggal 17 Juni 2009.


(10)

Departemen Sosial,Intervensi Psikososial. www.Departemen Sosial.go.id Diakses tanggal 17 Juni 2009.

Departemen Sosial.Provinsi LampungData Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial Tahun 2008. www.dinas sosial Lampung.com. Diakses pada tanggal 1 Agustus 2009.

Wordpress. Dampak Kekerasan Verbal Terhadap Anak.www. wordpress.com. Diakses pada tanggal 15 November 2009.

PsikologiDampak Kekerasan Verbal www.blogduniapsikologi.com.Diakses pada tanggal 3 November 2009.

Pemerintah Kota Metro. www. situs resmi pemerintah Kota Metro. Diakses tanggal 15 November 2009.

Mulyadi, Seto.Kekerasan Pada Anak.

www.kompas.com/kompas-cetak/0601/14/opini/2361025.htm. Diakses tanggal 30 Juni 2009.

Shalahudin, Odi.Kekerasan Terhadap Anak Jalanan. www.mitrawacanawrc.com, Diakses tanggal 20 Juni 2009.

Sirodjuddin, Ardan.Kekerasan Terhadap Anak. http://ardan sirodjuddin.blogspot.com. Diakses tanggal 1 Juli 2009.

Wikipedia.Pengertian Anak Jalanan.www.wikipediaBahasa Indonesia.Diakses tanggal 18 Agusus 2009.

Undang-Undang

Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tentang Konvensi Hak-Hak Anak (KHA). UUD 1945 pasal 28B ayat 2 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang No 1 Tahun 1951 tentang Pekerja Remaja.

Undang-Undang RI No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang RI No. 7 tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.


(11)

Skripsi

Andayani, Trisia. 2001. Kasus Tindak Kekerasan Terhadap Anak Jalanan. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Daliyanti, Dede. 2001.Karakteristik Anak-Anak yang Bekerja Sebagai Pedagang Koran di Kelurahan Durian Payung Kecamatan Tanjung Karang Pusat Kota Bandar Lampung.Universitas Lampung. Bandar lampung.

Malinda, Febrmarani. 2008.Tindak Kekerasan Orangtua Kepada Anak Dalam Keluarga Miskin.Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Simanjuntak, Rotua Apriliani. 2006.Faktor- Faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan Pada Anak.Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Jumlah Anak Jalanan berdasarkan Jenis Pekerjan dan Jenis Kelamin di DKI Jakarta Tahun 2007/2008... 4 2. Jumlah Anak Jalanan di Provinsi Lampung Tahun 2008... 5 3. Jumlah Pekerja Anak Jalanan Berdasarkan Jenis Pekerjaan dan

Jenis Kelamin di Bandar Lampung Tahun 2009... 6 4. Jumlah Pekerja Anak berdasarkan Tingkat Pendidikan

di DKI Jakarta Tahun 2007/2008... 7 5. Jumlah Anak Jalanan berdasarkan Tingkat Pendidikan

di Bandar Lampung Tahun 2009... 8 6. Jumlah Anak Jalanan yang Mengalami Tindak Kekerasan dan

Eksploitasi di DKI Jakarta Tahun 2007/2008 ... 10 7. Jumlah Anak Jalanan Korban Tindak Kekerasan di Bandar Lampung

Tahun 2009 ... 11 8. Jumlah Pekerja Anak Jalanan berdasarkan Jenis Pekerjaan

di Kota Metro Tahun 2009... 15 9. Luas Wilayah Administrasi Kota Metro Per Kelurahan dan

Jumlah Penduduk Tahun 2008 ... 45 10. Kondisi Tanah di Kota Metro Menurut Wilayah Kecamatan

Tahun 2009 ... 46 11. Jumlah Penduduk Kota Metro Menurut Kecamatan dan

Jenis Kelamin tahun 2008 ... 50 12. Jumlah Penduduk Kota Metro Menurut Kelompok Umur dan

Jenis Kelamin Tahun 2008... 51 13. Persentase Penduduk Kota Metro Umur 10 Tahun Keatas Menurut

Kepandaian Membaca dan Menulis Berdasarkan Jenis Kelamin

Tahun 2008 ... 53 14. Persentase Penduduk 10 Tahun Ke atas Menurut Pendidikan yang


(13)

Ditamatkan dan Jenis Kelamin, Tahun 2008 ... 54

15. Jumlah Penduduk Kota Metro yang Putus Sekolah Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Tahun 2006-2007 ... 55

16. Persentase Penduduk Kota Metro 10 Tahun Ke atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan dan Jenis Pekerjaan Tahun 2008 ... 56

17. Rata-rata Upah/Gaji Pekerja Sebulan Menurut Jenis Kelamin di Kota Metro Tahun 2008... 56

18. Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kota Metro Menurut Jenisnya Tahun 2008 ... 57

19. Data Rumah Tangga Miskin di Kota Metro Tahun 2009 ... 59

20. Kelompok Umur Anak Jalanan di Kota Metro Tahun 2009 ... 62

21. Jenis Kelamin Anak Jalanan di Kota Metro Tahun 2009 ... 63

22. Jenis Pekerjaan Anak Jalanan di Kota Metro Tahun 2009 ... 64

23. Lamanya Anak Jalanan di Kota Metro Bekerja dalam Satu Hari, Tahun 2009 ... 65

24. Rentang Waktu Anak Jalanan di Kota Metro dalam Bekerja Tahun 2009... 66

25. Lamanya Anak Jalanan di Kota Metro Bekerja dalam Satu Minggu, Tahun 2009 ... 67

26. Lamanya Anak Jalanan di Kota Metro Bekerja Di Jalanan Tahun 2009 ... 68

27. Lokasi Bekerja Anak Jalanan di Kota Metro Tahun 2009 ... 69

28. Pendapatan Perhari Anak Jalanan di Kota Metro Tahun 2009 ... 71

29. Motivasi Anak Jalanan di Kota Metro Untuk Bekerja Tahun 2009... 72

30. Orang yang Mempengaruhi Anak di Kota Metro Untuk Bekerja Tahun 2009 ... 77

31. Hubungan Anak Jalanan di Kota Metro dengan keluarganya, Tahun 2009 ... 77


(14)

Kelurganya Per hari, Tahun 2009 ... 80 33. Tujuan Anak Jalanan di Kota Metro Bekerja, Tahun 2009... 83 34. Alasan Anak Jalanan di Kota Metro Bekerja Di Jalanan,

Tahun 2009 ... 84 35. Jarak Tempat Tinggal Anak Jalanan di Kota Metro dengan

Tempat Kerjanya, Tahun 2009... 87 36. Bentuk Kekerasan Fisik yang Diterima Anak Jalanan

di Kota Metro Tahun 2009... 89 37. Alasan yang Melatarbelakangi Terjadinya Kekerasan Fisik Terhadap

Anak Jalanan di Kota Metro Tahun 2009 ... 90 38. Bentuk Kekerasan Psikis yang diterima Anak Jalanan

di Kota Metro Tahun 2009... 92 39. Alasan yang Melatarbelakangi Terjadinya Kekerasan Psikis

Terhadap Pekerja Anak Jalanan di Kota Metro Tahun 2009 ... 93 40. Pelaku Tindak Kekerasan Psikis Terhadap Pekerja Anak Jalanan

di Kota Metro Tahun 2009... 93 41. Akibat Tindak Kekerasan Psikis yang Dialami Pekerja Anak jalanan


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk akan selalu diiringi oleh bertambahnya kebutuhan. Pertumbuhan penduduk merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya pertambahan kebutuhan yang multiaspek, dimana seseorang tidak hanya cukup memiliki satu kebutuhan saja, akan tetapi mempunyai kebutuhan yang

beranekaragam. Kebutuhan-kebutuhan ini antara lain meliputi kebutuhan pangan, sandang, papan, lapangan kerja, dan pendidikan.

Namun pada kenyataannya, pemerataan pembangunan yang telah berlangsung selama ini belum dapat dirasakan sepenuhnya oleh seluruh lapisan masyarakat. Hal ini terlihat dari masih banyaknya ditemukan kelompok-kelompok penduduk tertentu, baik di kota maupun di desa, yang kehidupan ekonominya miskin. Kelompok-kelompok penduduk yang ekonominya tergolong miskin tersebut mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya, seperti kebutuhan dalam hal pendidikan anak-anaknya.

Pada masyarakat yang kurang mampu, yang bekerja sebagai petani, buruh tani, ataupun buruh bangunan, umumnya memiliki penghasilan yang kurang dan tidak menentu sehingga tidak mungkin mencukupi biaya pendidikan yang melebihi penghasilan yang diperoleh sehari-hari.


(16)

Hal ini terjadi sebagai akibat sulitnya persaingan untuk mendapatkan pekerjaan bagi orangtua yang hanya memiliki keterampilan dan pendidikan rendah sehingga mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Keadaan ekonomi orangtua yang kurang inilah yang menjadi salah satu sebab anak-anak berinisiatif untuk bekerja agar dapat membantu orangtuanya dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, dan dengan alasan karena faktor ekonomi inilah, para orangtua mengizinkan anaknya bekerja dikarenakan pendapatan orangtuanya sangat terbatas untuk dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya, baik pemenuhan kebutuhan pangan, sandang, bahkan pendidikan yang harus ditempuh oleh anak-anaknya.

Berdasarkansurveyyang dilaksanakan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia tahun 1984 mengenai anak yang bekerja, ditemukan bahwa ketidakmampuan orangtua untuk memenuhi kebutuhan anak dan untuk

membiayai anak merupakan faktor utama yang mendorong anak untuk bekerja (www.yayasan kesejahteraan anak Indonesia).

Pekerja anak sudah menjadi perhatian utama banyak negara selama hampir dua abad. Fenomena pekerja anak di Indonesia banyak berkaitan dengan tradisi atau budaya membantu orangtua, dengan anggapan bahwa memberi pekerjan pada anak-anak merupakan upaya untuk proses belajar menghargai kerja dan

tanggungjawab. Selain dapat melatih dan memperkenalkan kepada dunia kerja, mereka juga berharap dapat membantu mengurangi beban ekonomi keluarganya. Tetapi, disatu pihak ada juga orang yang sengaja melakukan eksploitasi tenaga anak-anak hanya untuk kepentingan pribadi ataupun kelompok semata. Hal ini


(17)

dapat dilihat dari adanya sindikat perdagangan anak, yang oleh beberapa orang, anak dipaksa untuk bekerja pada sektor informal yang dapat membahayakan keselamatan jiwa anak tersebut. Anak-anak tersebut biasanya didapatkan dengan cara paksaan seperti diculik dan dibujuk. Anak-anak yang pada dasarnya

merupakan seseorang yang belum dewasa dan belum mengerti tentang apa yang akan terjadi dengannya, terkadang begitu saja mengikuti keinginan dari orang dewasa, yang sebenarnya berniat buruk pada mereka. Tetapi ada juga anak yang sengaja dipekerjakan oleh orangtuanya pada sektor informal.

Dewasa ini fenomena munculnya anak-anak yang bekerja semakin

memprihatinkan saja, beberapa pekerjaan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut seperti menjadi pengamen, pengemis, pemulung, dan beberapa pekerjaan sektor informal lainnya. Terkadang pekerjaan yang mereka lakukan sangat

membahayakan jiwa dan keselamatan anak tersebut.

Berdasarkan laporan penelitian Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial mengenai anak jalanan di DKI Jakarta, terdapat 77% anak bekerja untuk membantu penghasilan orangtuanya yang rendah sehingga mereka terpaksa menjadi pekerja di jalanan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Dengan berkembangnya waktu, fenomena anak yang bekerja juga berkaitan dengan alasan ekonomi keluarga (kemiskinan) dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Keadaan orangtua yang tidak memiliki pekerjaan (pengangguran) serta tidak mampu lagi untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga, seringkali memaksa anak untuk ikut bekerja. Dilain pihak, biaya pendidikan yang relatif tinggi juga ikut memperkecil kesempatan anak untuk mengikuti pendidikan.


(18)

Tabel 1. Jumlah Anak Jalanan berdasarkan Jenis Pekerjaan dan Jenis Kelamin di DKI Jakarta tahun 2007/2008.

No Jenis Pekerjaan L % P % Jumlah %

1 Mengamen 240 18,39 135 10,34 375 28,74

2 Pedagang Koran/Majalah 53 4,06 14 1,07 67 5,13

3 Penyemir Sepatu 35 2,64 6 0,46 41 3,14

4 Tukang Parkir 36 2,76 5 0,38 41 3,14

5 Pedagang Asongan 120 9,20 46 3,52 166 12,72

6 Pengelap Kaca Mobil 19 1,46 4 0,31 23 1,76

7 Ojek Motor 37 2,84 - - 37 2,84

8 Ojek Sepeda 11 0,84 - - 11 0,84

9 Ojek Payung 36 2,76 33 2,53 69 5,29

10 Kernet 42 3,22 - - 42 3,22

11 Kuli Angkut Pasar 11 0,84 - - 11 0,84

12 Merampok/Copet 3 0,23 - - 3 0,23

13 Kupas Bawang - - 1 0,08 1 0,08

14 Tukang Topeng Monyet 28 2,15 - - 28 2,15

15 ESKA 0 0,00 7 0,54 7 0,54

16 Tukang Sampah/Pemulung 25 1,92 - - 25 1,92

17 Tidak Bekerja 136 10,42 222 17,01 358 27,43

Jumlah 832 63,75 473 36,25 1305 100,00

Sumber : Departemen Sosial.

Permasalahan pekerja anak di Indonesia merupakan permasalahan lama yang semakin kompleks dan berkembang dari waktu ke waktu. Fenomena pekerja anak jalanan juga merupakan fenomena global yang tidak hanya terdapat di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Namun demikian, permasalahan pekerja anak di tiap-tiap negara berbeda derajat kualitas dan kuantitasnya, sementara di sisi lain perangkat perlindungannya juga masih lemah (www.mitrawacanawrc. com).

Provinsi Lampung juga tak luput dari adanya fenomena anak jalanan yang jumlahnya cukup banyak, sebagian dari anak jalanan itupun berpeluang bekerja sebagai pekerja anak jalanan, seperti yang terlihat pada Tabel 2.


(19)

Tabel 2. Jumlah Anak Jalanan di Provinsi Lampung Tahun 2008.

No Wilayah Jumlah

1 Bandar Lampung 87

2 Metro 113

3 Lampung Selatan 358

4 Lampung Tengah 160

5 Lampung Timur 52

6 Lampung Utara 128

7 Lampung Barat 86

8 Tanggamus 297

9 Tulang Bawang 548

10 Way Kanan

-11 Pesawaran 57

Jumlah 1886

Sumber: Dinas Sosial Provinsi Lampung

Munculnya pekerja anak merupakan permasalahan sosial ekonomi yang cukup memprihatinkan karena idealnya sebelum usia 15 tahun mereka seharusnya hanya menimba ilmu pengetahuan dan tidak terbebani oleh pekerjan mencari nafkah. Diperkirakan pekerja anak di Indonesia di bawah usia 15 tahun, secara ekonomis aktif sekitar 2-4 juta (Konvensi Hak-Hak Anak, 2000). Hasil Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) Badan Pusat Statistik tahun 1998 memperlihatkan anak yang bekerja secara nasional berjumlah 2,8 juta. Kemudian pada tahun 2000, angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%, sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong rawan menjadi pekerja berjumlah 10,3 juta atau 17,6% dari populasi anak di Indonesia yang berjumlah 58,7 juta. Jika dilihat dari tingkat pendidikannya, anak yang bekerja tersebut ternyata hanya 1% yang lulus SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), 53% tamat SD (Sekolah Dasar), dan 46% tidak atau belum tamat SD

(www.depsos.go.id). Dari data Susenas tahun 2001 diketahui bahwa penduduk yang berumur 5-14 tahun yang bekerja sebanyak 260.375 orang. Angka tersebut bila dilihat dari jenis kelamin, maka anak laki-laki lebih banyak dibanding dengan


(20)

anak perempuan, anak laki-laki bekerja sebanyak 151.188 orang, sementara anak perempuan berumur 5-14 tahun yang bekerja sebanyak 109.187 orang (BPS, 2001).

Berdasarkan penelitian ILO tahun 2005, terdapat 4,18 juta anak usia sekolah di Indonesia yang putus sekolah dan menjadi pekerja. Meningkatnya anak-anak memasuki pasar kerja disebabkan oleh keadaan, dimana anak-anak tersebut terpaksa melakukannya karena orangtua tidak sanggup untuk membiayai sekolah, terutama rumahtangga miskin. Dengan demikian bekerja bagi anak-anak

merupakan hal yang wajar, bahkan telah membudaya pada masyarakat kita. Tetapi yang menjadi masalah adalah sebagian orangtua memberikan pekerjaan yang berada di luar kemampuan anak-anak sehingga anak-anak kehilangan kesempatan untuk belajar. Di wilayah Bandar Lampung, jumlah anak jalanan berdasarkan jenis pekerjaan dan jenis kelaminnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah PekerjaAnak Jalanan Berdasarkan Jenis Pekerjaan dan Jenis Kelamin di Bandar Lampung Tahun 2009.

No Jenis Pekerjaan L % P % Jumlah %

1 Mengamen 11 34,38 - - 11 34,4

2 Penyemir Sepatu 5 15,62 - - 5 15,6

3 ESKA - - 2 6,25 2 6,25

4 Tukang Sampah/Pemulung 13 40,63 1 3,12 14 43,75

Jumlah 29 90,63 3 9,37 32 100,00

Sumber : Lembaga Advokasi Anak (LAdA).

Anak-anak yang pada dasarnya merupakan seseorang yang belum mengerti tentang apa yang akan terjadi dengan dirinya, terkadang begitu saja mengikuti keinginan dari orang dewasa, yang sebenarnya berniat buruk pada mereka. Tetapi ada juga anak yang sengaja dipekerjakan oleh orangtuanya pada sektor informal, seperti menjadi pengamen, pemulung, dan beberapa jenis pekerjaan lainnya.


(21)

Terkadang pekerjaan yang mereka lakukan sangat membahayakan jiwa dan keselamatan anak tersebut.

Berdasarkan data Departemen Sosial pada tahun 2007/2008, diketahui bahwa sebagian besar pekerja anak hanya dapat memperoleh pendidikan sampai pada jenjang Sekolah Dasar, yaitu sebesar 35,55%, tetapi yang lebih memprihatinkan lagi adalah sebagian dari pekerja anak tersebut tidak dapat melanjutkan

pendidikan di Sekolah Dasar, yaitu sebesar 24,98%. Hal ini terlihat pada Tabel 4, yang menunjukkan tingkat pendidikan pekerja anak di wilayah DKI Jakarta.

Tabel 4. Jumlah Pekerja Anak berdasarkan Tingkat Pendidikan di DKI Jakarta Tahun 2007/2008.

No Kategori L % P % Jumlah %

1 Tidak Sekolah 39 2,99 25 1,92 64 4,90

2 DO SD 140 10,73 46 3,52 186 14,25

3 Lulus SD 159 12,18 146 11,19 305 23,37

4 DO SLTP 97 7,43 60 4,60 157 12,03

5 Lulus SLTP 134 10,27 90 6,90 224 17,16

6 DO SLTA 45 3,45 20 1,53 65 4,98

7 Lulus SLTA 58 4,44 34 2,61 92 7,05

8 Kejar Paket A 44 3,37 23 1,76 67 5,13

9 Kejar Paket B 68 5,21 23 1,76 91 6,97

10 Kejar Paket C 48 3,68 6 0,46 54 4,14

Jumlah 832 63,75 473 36,25 1305 100,00 Sumber : Departemen Sosial.

Isu sentral tentang pekerja anak bukanlah pada jumlahnya itu sendiri, melainkan pada kemungkinan timbulnya konsekuensi negatif dari usia yang terlalu dini untuk bekerja, sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan anak. Meskipun dari segi budaya terdapat kelompok masyarakat yang telah lama mengenal tradisi memperkerjakan anak untuk membantu orangtua atau “mengirim” anak semasa usia dini bekerja untuk membantu sanak saudaranya


(22)

untuk belajar bertangungjawab, namun saat ini banyak anak terpaksa bekerja bukan karena budaya (www.bpsbanten 2001).

Pekerja anak menjadi keprihatinan bersama, saat ini mereka bukan hanya menjadi simbol dari modernisasi ataupun kemajuan industri, tetapi merupakan

permasalahan yang kompleks di dalamnya. Waktu yang semestinya digunakan untuk belajar dan bermain, tetapi akhirnya digunakan untuk bekerja. Akibatnya selain anak menjadi kelelahan, mereka juga kehilangan masa-masa indahnya sebagai anak-anak, yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan kepribadiannya kelak setelah dewasa. Jumlah anak jalanan dampingan LAdA di wilayah Bandar Lampung yang masih mengenyam pendidikan SD sebanyak 10 orang, SLTP sebanyak 1 orang, dan tidak bersekolah sebanyak 19 orang. Hal ini sungguh ironis, karena sebagian dari mereka sudah tidak bersekolah dan menggantungkan hidupnya di jalanan.

Tabel 5. Jumlah Anak Jalanan berdasarkan Tingkat Pendidikan di Bandar Lampung Tahun 2009.

No Kategori L % P % Jumlah %

1 Tidak Sekolah 19 59,38 - - 19 59,38

2 SD 9 28,13 1 3,12 10 31,25

3 SLTP 1 3,12 2 6,25 3 9,37

Jumlah 29 90,63 3 9,37 32 100,00

Sumber: Lembaga Advokasi Anak (LAdA).

Tempat yang baik untuk seorang anak adalah di rumah dan di sekolah karena jalanan bukanlah tempat yang baik untuk tumbuh kembang seorang anak. Di jalanan tempat kerjanya, mereka sering mendapatkan perlakuan yang jauh dari keadilan. Mereka juga mendapatkan perlakuan yang sangat kejam dengan berbagai bentuknya, seperti kekerasan seksual(sexual abuse), kekerasan verbal


(23)

(verbal abuse), kekerasan fisik (phsycal abuse), dan kekerasan seksual (sexual abuse). Bagi sebagian anak yang bekerja di jalanan, empat jenis kekerasan tersebut seringkali dialami sekaligus, padahal dengan satu jenis kekerasan saja, seorang anak dipastikan sudah akan mengalami gangguan psikologis karena perlakuan itu akan terekam sepanjang hidupnya. Secara teoritis, semua jenis gangguan mental (mental disorder) yang dialami anak selalu ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima ketika masih kecil. Tetapi, hingga saat ini belum ada semacam kontrol sosial atas tindakan kekerasan terhadap anak yang hidupnya di jalanan.

Jalanan merupakan tempat kerja yang kejam dan membahayakan bagi kehidupan anak-anak. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang mengada-ada, karena berbagai pengalaman buruk dipastikan pernah dialami anak-anak. Kasus kekerasan yang mengerikan dan merendahkan martabat anak sebagai manusia sering dialami oleh pekerja anak jalanan, bahkan lebih ironisnya terkadang sampai menghilangkan nyawa anak (Unicef, 1999).

Hal ini terlihat pada Tabel 6 yang menunjukkan jumlah anak jalanan yang mengalami tindakan kekerasan, yang sebagian besar merupakan eksploitasi ekonomi. Anak dituntut bekerja untuk membantu mencukupi kehidupan keluarganya, yang pada akhirnya memunculkan kekerasan di lingkungan kerja atau di jalan.

Fenomena kekerasan pada pekerja anak jalanan sudah merupakan problem sosial. Tereksposnya berita kriminalitas melalui program televisi dan media massa mengenai kekerasan pada pekerja anak semakin meningkat. Ini bukan sekedar


(24)

memprihatinkan, melainkan menyedihkan, bahkan mengerikan karena tidak jarang dijumpai pekerja anak harus kehilangan nyawanya. Bentuk kekerasan yang terjadi pada anak cakupannya sangat luas karena tidak hanya menimpa anak pada usia menginjak remaja, tetapi juga balita dan batita.

Tabel 6. Jumlah Anak Jalanan yang Mengalami Tindak Kekerasan dan Eksploitasi di DKI Jakarta Tahun 2007/2008.

No Kategori L % P % Jumlah %

1 Kekerasan dalam

Rumah Tangga 43 11,53 24 6,43 67 17,96

2 Kekerasan di Lingkungan Kerja/Jalan

42 11,29 23 6,17 65 17,43

3 Kekerasan di Sekolah 11 2,95 5 1,34 16 4,29

4 Eksploitasi Seksual 3 0,8 14 3,75 17 4,56

5 Eksploitasi Ekonomi 114 30,56 80 21,45 194 52,01

6 Traffiking 14 3,75 - - 14 3,75

Jumlah 227 60,88 146 39,14 373 100,00

Sumber : Departemen Sosial.

Secara umum, pekerja anak jalanan yang menjadi korban dari tindak kekerasan sebetulnya tidak dibatasi oleh perbedaan jenis kelamin, artinya baik laki-laki maupun perempuan, keduanya berpotensial dan merupakan sasaran yang mudah bagi pelaku kekerasan. Meski korban kekerasan terhadap pekerja anak

kebanyakan menimpa anak yang berjenis kelamin laki-laki, namun tetap saja anak perempuan lebih rentan menjadi korban kekerasan, terutama kekerasan seksual. Dibandingkan anak laki-laki, secara fisik anak perempuan memang lebih rentan, lebih lemah, lebih tergantung pada orang lain, dan lebih mudah dikuasai atau dibujuk oleh pelaku. Dalam komunitas yang mengedepankan nilai-nilai patriakhis (laki-laki lebih tinggi posisinya daripada perempuan), posisi anak perempuan biasanya ditempatkan sebagai warga kelas dua, hak-hak anak perempuan seolah


(25)

terpasung dan harus selalu mengalah kepada laki-laki, sehingga tanpa sadar merekapun menjadi sasaran dan korban pertama dari tindak kekerasan, khususnya tindak kekerasan seksual.

Di wilayah Kota Bandar Lampung tindak kekerasan yang dialami pekerja anak dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, dan kekerasan seksual. Kekerasan fisik seperti dicubit, dijambak, dikejar-kejar, dipukul dengan tangan atau alat, dan ditendang/dijejak. Sedangkan kekerasan psikis yaitu kekerasan yang bersifat psikologis, yang banyak diterima adalah ejekan dan hinaan, dimaki, memperoleh ancaman, diperas, dan diusir. Stigma terhadap pekerja anak termasuk tindakan kekerasan psikis, misalnya label sebagai anak nakal dan liar, sedangkan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sering dialami seperti digoda oleh orang dewasa.

Tabel 7. Jumlah Pekerja Anak Jalanan Korban Tindak Kekerasan di Bandar Lampung Tahun 2009

Para pelaku tindak kekerasan sebagian besar adalah dari pekerja anak jalanan itu sendiri, selain itu pelaku kekerasan juga dari orangtua anak dan saudaranya, preman, teman sepermainan, dan masyarakat. Menghadapi kekerasan tersebut, sebagian anak meresponnya dengan diam saja, menangis, mengomel, melarikan

No. Tindak kekerasan Jumlah %

1. Penganiayaan 10 40

2. Pencabulan 4 16

3. Pemerkosaan 4 16

4. Trafficking 1 4

5. Sodomi 6 24

Jumlah 25 100


(26)

diri, atau membalas jika yang melakukan kekerasan adalah pekerja anak yang usianya masih sebaya.

Pekerja anak jalanan yang menjadi korban kekerasan ini, umumnya tidak mampu melakukan tindakan apapun, termasuk untuk melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya karena takut, malu, atau diancam oleh pelaku agar mereka tidak melapor, dan karena mereka belum mengerti apa-apa, walaupun Undang-Undang tentang Perlindungan Anak sudah ada.

Undang-Undang tentang Perlindungan Anak terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain UU No. 39 tahun1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU RI tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Keputusan Presiden No. 36 tahun 1990 tentang Konvensi Hak-Hak Anak (KHA), UU RI No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU RI No. 7 tahun 1984 tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan UUD 1945 pasal 28B ayat 2 tentang Hak Asasi Manusia yang menjelaskan bahwa: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Selain itu, di dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, juga ditetapkan sebuah pengecualiaan bagi anak-anak yang bekerja (berusia antara 13 sampai 15 tahun) untuk melakukan “pekerjaan ringan” sampai dengan tiga jam per hari, dengan syarat bahwa orangtua memberi izin, tidak mengganggu waktu sekolah, dan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial si anak. Undang-undang ini tidak mengandung ketentuan untuk


(27)

anak-anak berusia 16 sampai 17 tahun, baik menyangkut pekerjaan ringan maupun pekerjaan umum.

Aturan ini juga melarang siapapun untuk mempekerjakan dan melibatkan anak-anak dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak-anak, seperti perbudakan atau praktik-praktik yang serupa dengan perbudakan, pekerjaan-pekerjaan yang

memanfaatkan, meyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, pornografi atau perjudian; segala pekerjaan yang mempergunakan anak-anak untuk

menyediakan atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika; dan semua jenis pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.

Berdasarkan masalah di atas, penulis telah melakukan pengamatan di wilayah Kota Metro dan menemukan sejumlah pekerja anak yang mendapat perlakuan kekerasan, seperti kekerasan fisik maupun nonfisik. Pekerjaan anak-anak itupun beragam, dari yang bekerja sebagai pemulung, pengamen, pedagang koran, dan pedagang asongan. Fenomena ini dapat dijumpai di wilayah Kota Metro yaitu di areal pertokoan, di pinggir jalan, terminal, dan di taman parkir. Fenomena inilah yang menarik bagi penulis untuk dijadikan sebagai objek penelitian.

Alasan anak-anak tersebut tetap bekerja pada sektor informal atau di jalanan (menurut wawancara penulis dengan seorang anak yang bekerja sebagai

pengamen di taman parkir Kota Metro), adalah karena pendapatan orangtuanya sebagai buruh sangat sedikit dan tidak cukup untuk membiayai keluarganya, sementara ibunya sedang sakit-sakitan serta adik-adiknya masih kecil. Pendapatan yang diperolehnya per hari sekitar Rp. 5.000 sampai Rp. 10.000, dan karena itulah


(28)

akhirnya ia memutuskan untuk tetap bekerja sebagai pengamen dan terpaksa harus putus sekolah, walaupun di dalam lingkungan pekerjaannya seringkali

mendapatkan kekerasan baik fisik maupun nonfisik dari teman sebayanya yang juga bekerja sebagai pengamen ataupun dari orang dewasa (preman dan

masyarakat atau pengguna jalan).

Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah pekerja anak jalanan di Kota Metro sebanyak 113 orang (Disosnaker & PM, 2008). Anak-anak yang bekerja pada sektor informal sebagian besar berasal dari keluarga yang mempunyai jumlah tanggungan besar dengan tingkat pendapatan orangtua yang relatif rendah,

sehingga anak-anak terpaksa harus bekerja untuk membantu orangtuanya. Mereka bekerja pada pagi hari (bagi anak-anak yang bersekolah siang hari) dan siang hari (bagi anak-anak yang bersekolah pagi), bahkan sampai sore ataupun malam hari. Penghasilan yang diperoleh dari bekerja, biasanya akan dipergunakan untuk membiayai sekolahnya (bagi yang bersekolah) dan sisanya ada yang dihabiskan untuk keperluannya sendiri, dan ada juga yang diserahkan kepada orangtuanya. Jumlah pekerja anak di Kota Metro dapat dilihat pada Tabel 8.

Alasan penulis memilih pekerja anak sebagai objek penelitian dikarenakan di Kota Metro banyak terdapat anak-anak usia sekolah yang bekerja, terutama di jalanan. Mereka ada yang masih bersekolah, tetapi ada juga yang telah putus sekolah dikarenakan tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan pendidikan. Di dalam lingkungan pekerjaannya, mereka juga sering mendapat kekerasan fisik maupun nonfisik di tempatnya bekerja. Kekerasan ini bersifat terselubung, karena para pekerja anak tidak berani melaporkan kepada pihak yang berwenang, padahal


(29)

di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 dinyatakan bahwa anak-anak harus dilindungi hak asasinya dan harus terpenuhi hak-haknya sebagai anak yang sedang tumbuh dan berkembang.

Tabel 8. Jumlah Pekerja Anak Jalanan berdasarkan Jenis Pekerjaan di Kota Metro Tahun 2009.

No Jenis Pekerjaan Jumlah

1 Pemulung 26

2 Pedagang asongan 17

3 Pengamen 26

4 Pedagang koran 6

5 Penyemir sepatu 4

6 Tukang parkir 2

7 Memetik bawang 16

8 Pedagang kue 3

9 Pencuci piring 2

Jumlah 102

Sumber:Data Primer.

Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di atas dan didorong oleh rasa ingin tahu lebih jauh, maka penulis akan meneliti lebih lanjut tentang:“Kekerasan

terhadap Pekerja Anak Jalanan di Kota Metro”. B. Rumusan Masalah

Bertitiktolak dari latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini adalah:

1. Apa yang menyebabkan anak bekerja ?

2. Bentuk kekerasan seperti apa yang dialami oleh pekerja anak jalanan dan siapa pelakunya ?

3. Apa yang menyebabkan timbulnya tindak kekerasan terhadap pekerja anak jalanan ?


(30)

C. Tujuan penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menjelaskan penyebab anak bekerja.

2. Untuk menjelaskan bentuk kekerasan yang dialami oleh pekerja anak jalanan dan siapa pelakunya

3. Untuk menjelaskan alasan yang melatarbelakangi timbulnya tindak kekerasan terhadap pekerja anak jalanan

4. Untuk menjelaskan dampak kekerasan yang dialami oleh pekerja anak jalanan

D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah: 1. Kegunaan teoritis

Sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan sosial, khususnya ilmu yang mempelajari tentang pekerja anak sebagai bagian dari kajian Sosiologi. 2. Kegunaan praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumber penelitian yang lebih mendalam dan dalam ruang lingkup yang lebih luas, dan juga diharapkan dapat

bermanfat sebagai penambah wawasan serta memberi masukan kepada lembaga-lembaga yang terkait dan peduli terhadap permasalahan anak.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A . Pengertian Kekerasan

Kekerasan merupakan perlakuan menyimpang yang mengakibatkan luka dan menyakiti orang lain. Menurut Chawazi (2001) tindak kekerasan sama juga pengertiannya dengan penganiayaan, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain.

Kekerasan dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan“violence”. Secara

etimologis, kataviolencemerupakan gabungan dari kata“vis”yang berarti daya atau kekuatan dan“latus”yang berasal dari kata“ferre”yang berarti membawa. Jadi yang dimaksud denganviolenceadalah membawa kekuatan (Windu, 1992 ).

Saraswati (dalam Malinda, 2008) mengungkapkan, kekerasan adalah “bentuk tindakan yang dilakukan terhadap pihak lain, baik yang dilakukan oleh

perorangan maupun lebih dari seorang, yang dapat mengakibatkan penderitaan pada pihak lain. Kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu kekerasan fisik yang mengakibatkan kematian, dan kekerasan psikis yang tidak berakibat pada fisik korban, namun berakibat pada timbulnya trauma berkepanjangan pada diri korban”.


(32)

Kekerasan dalam pengertian yang sempit mengandung makna “serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau serangan penghancuran perasaan yang sangat keras, kejam, dan ganas atas diri atau sesuatu yang secara pontensial dimiliki seseorang” (Windu, 1992 ).

Menurut penjelasan pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (dalam Chazawi, 2001) penganiayaan atau tindak kekerasan adalah:

1. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan orang lain.

2. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan pada orang lain.

Menurut Siahaan (dalam Simanjuntak, 2006), kekerasan dapat diartikan sebagai “penggunaan kekuatanfisik untuk melukai manusia atau untuk merusak barang serta mencakup ancaman pemaksaan terhadap individu”.

Tindak kekerasan dapat dibagi dua (Andayani, 2001), yaitu: 1. Kekerasan yang dialami di lingkungan sosial

Kekerasan yang dialami anak pada lingkungan sosial ini kebanyakan merupakan penganiayaan atauchild abuse, yaitu perilaku-perilaku yang dilakukan orangtua atau orang dewasa terhadap anaknya dan dianggap tidak wajar. Definisi mengenaichild abuseini biasanya ditentukan oleh empat faktor, yaitu pertama intensitas perilaku atau tindakan, kedua efek yang ditimbulkan pada diri anak, ketiga penilaian terhadap perilaku atau tindakan tersebut, dan keempat, standar dimana penilaian itu dilakukan. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa pelaku penganiayaan terhadap anak adalah


(33)

orang-orang sakit. Ada juga yang menyatakan bahwa penganiayaan adalah hasil dari ketidakpuasan orangtua, kurangnya pengendalian diri, tidak adanya konsep diri yang kuat, dan merupakan proyeksi penganiayaan sewaktu kanak-kanak. Penganiayaan terhadap anak adalah hasil dari masyarakat itu sendiri dan bukan sifat-sifat dari individu. Walaupun demikian, tidak ada budaya yang memperbolehkan perilaku-perilaku atau tindakan-tindakan yang mengakibatkan luka atau trauma secara fisik.Child abuseatau perlakuan kejam terhadap anak, mulai dari pengabaian anak sampai pada pemerkosaan anak dan pembunuhan anak.

2. Kekerasan yang dialami dalam keluarga (Domestic Violence)

Kekerasan yang dialami dalam keluarga adalah kekerasan yang diterima anak dari orangtuanya, baik berupa kekerasan fisik atau mental. Pada umumnya kekerasan dalam keluarga yang diterima anak terjadi apabila ada

penyalahgunaan kekerasan oleh mereka yang merasa memiliki kekuasaan lebih.

Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan adalah perbuatan atau kegiatan yang dilakukan dengan sengaja atau sewenang-wenang, yang disertai ancaman atau tidak, yang menimbulkan penderitaan pada orang lain baik secara fisik ataupun mental dan merugikan orang lain.


(34)

B. Tinjauan tentang Anak Jalanan dan Pekerja Anak Jalanan 1. Pengertian Anak Jalanan

Istilah anak jalanan pertamakali diperkenalkan di Amerika Selatan, tepatnya di Brazilia, dengan namaMeninos de Ruasuntuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup di jalanan dan tidak memiliki tali ikatan dengan keluarga (Bambang, 1993). Namun di beberapa negara lainnya, istilah anak jalanan berbeda-beda, di Columbia mereka disebut“gamin”(urchinatau melarat) dan“chinches”(kutu kasur),“marginais”(kriminal atau marginal) di Rio De Jenairo,“pa’jaros frutero”(burung pemakan buah) di Peru,“polillas”(ngrengat) di Bolivia, “resistoleros”(perampok kecil) di Honduras,“bui doi”(anak dekil) di Vietnam, “saligoman”(anak menjijikkan) di Rwanda, atau“poussing”(anak ayam), “moustique”(nyamuk) di Camerron, dan“balados”(pengembara) di Zaire dan Congo. Istilah-istilah tersebut sebenarnya menggambarkan bagaimana posisi anak-anak jalanan ini dalam masyarakat.

Semua anak sebenarnya memiliki hak penghidupan yang layak, tidak terkecuali anak jalanan, namun ternyata realita berbicara lain, mayoritas dan bisa dikatakan semua anak jalanan terpinggirkan dalam segala aspek kehidupan.

Secara khusus, anak jalanan menurut PBB adalah anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain, atau beraktifitas lain. Anak jalanan tinggal di jalanan karena dicampakkan atau tercampakkan dari keluarga yang tidak mampu menanggung beban karena kemiskinan dan kehancuran keluarganya. Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong,


(35)

pemulung, tukang semir, pengais sampah, pengamen, dan pedagang koran. Tidak jarang anak jalanan menghadapi resiko kecelakaan lalu lintas, pemerasan,

perkelahian, dan kekerasan lain.

Soedijar (1989) dalam studinya menyatakan bahwa anak jalanan adalah anak usia antara 7 sampai 15 tahun yang bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya. Sedangkan Putranto (2002) dalam studi kualitatifnya

mendefinisikan anak jalanan sebagai anak yang berusia 6 sampai 15 tahun yang tidak bersekolah lagi dan tidak tinggal bersama orangtua mereka, dan bekerja seharian untuk memperoleh penghasilan di jalanan, persimpangan, dan tempat-tempat umum.

Secara garis besar, anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok (Surbakti, 1997): 1. Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi

sebagai pekerja di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orangtua mereka. Sebagian penghasilan pekerja anak pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat atau menyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti ditanggung dan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orangtuanya.

2. Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orangtuanya, tetapi frekuensi pertemuan

mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab, biasanya kekerasan, lari atau pergi dari rumah. Anak-anak pada


(36)

kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik, maupun seksual.

3. Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala resikonya. Salah satu ciri penting dari kategori ini adalah mereka merasakan kehidupan jalanan sejak masih bayi, bahkan sejak masih dalam kandungan. Kategori ini dengan mudah dapat ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar di sepanjang rel kereta api, dan pinggiran sungai, walaupun secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.

Menurut penelitian Departemen Sosial dan UNDP (BKSN, 2000), anak jalanan dikelompokkan dalam empat kategori:

1. Anak jalanan yang hidup di jalanan, dengan kriteria:

a. Putus hubungan atau lama tidak bertemu dengan orangtuanya b. Berada di jalanan untuk bekerja selama 8-10 jam.

c. Tidak bersekolah lagi

2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan, dengan kriteria: a. Berhubungan tidak teratur dengan orangtuanya. b. Berada di jalanan selama 8-16 jam

c. Umumnya bertempat tinggal di daerah kumuh d. Tidak lagi bersekolah

e. Pekerjaannya sebagai penjual koran, pedagang asongan, pemulung, penyemir sepatu, dan lain-lain


(37)

3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan, dengan kriteria: a. Bertemu teratur setiap hari dan tinggal dengan keluarganya b. Bekerja di jalanan selama 4-5 jam

c. Masih bersekolah

d. Pekerjaannya sebagai penjual koran, penyemir, pengamen, dll 4. Anak jalanan berusia di atas 16 tahun, dengan kriteria:

a. Tidak lagi berhubungan atau berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya.

b. Berada di jalanan selama 8-24 jam

c. Tidur di pinggir jalan atau rumah orangtua

d. Sudah tamat SD atau SLTP, namun tidak bersekolah lagi.

2. Faktor Penyebab Timbul dan Tumbuhnya Gejala Anak Jalanan. Ada tiga penyebab keberadaan anak jalanan (Depsos, 2001):

1. Tingkatmikro(immediate cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya tetapi juga bisa berdiri sendiri, yaitu:

a. Lari dari keluarga atau disuruh bekerja, baik karena masih sekolah atau telah putus sekolah, bermain-main, atau diajak teman.

b. Ditelantarkan orangtua, disebabkan karena ketidakmampuan orangtua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orangtua, salah perawatan, atau kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan dengan keluarga/tetangga, terpisah dari orangtua, sikap-sikap yang salah terhadap anak, dan keterbatasan orangtua dalam merawat anak yang mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik, psikologis, dan sosial.


(38)

2. Tingkatmesso(underlying cause) yaitu faktor yang ada di masyarakat, yaitu: a. Pada masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu

peningkatan keluarga, anak-anak diajarkan bekerja yang berakibatdrop outdari sekolah.

b. Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak-anak mengikuti kebiasaan itu.

c. Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon kriminal. 3. Tingkatmakro(basic causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur

masyarakat, yaitu:

a. Ekonomi, adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal keahlian dan ketimpangan desa dan kota yang mendorong urbanisasi.

b. Pendidikan, adalah biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang diskriminatif, dan ketentuan-ketentuan teknis dan birokratis yang mengalahkan kesempatan belajar.

c. Belum seragamnya unsur-unsur pemerintah dalam memandang anak, yakni anak sebagai kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan) dan pendekatan yang menganggap anak jalanan sebagai trouble makeratau pembuat masalah (security approach/pendekatan keamanan).

Selain faktor-faktor di atas, ada beberapa faktor pendorong dan faktor penarik yang menyebabkan seorang anak menjadi anak jalanan (BKSN, 2000), yaitu:


(39)

a. Faktor pendorong:

1. Keadaan ekonomi keluarga yang semakin dipersulit oleh besarnya kebutuhan yang ditanggung kepala keluarga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, maka anak-anak disuruh ataupun dengan sukarela membantu mengatasi kondisi ekonomi tersebut.

2. Ketidakserasian dalam keluarga sehingga anak-anak tidak betah tinggal di rumah atau anak lari dari keluarga.

3. Adanya kekerasan atau perlakuan salah dari orangtua terhadap anaknya sehingga anak lari dari rumah.

4. Kesulitan hidup di kampung yang mengakibatkan anak melakukan urbanisasi untuk mencari pekerjaan mengikuti orang dewasa.

b. Faktor Penarik:

1. Kehidupan jalanan yang menjanjikan, dimana anak mudah mendapatkan uang dan bisa bermain atau bergaul dengan bebas.

2. Diajak teman.

3. Adanya peluang di sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian.

3. Pengertian Pekerja Anak Jalanan

Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil. Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka dengan gaji yang kecil atau pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depannya (Wikipedia Bahasa Indonesia).


(40)

Pekerja anak atau anak yang bekerja atau anak-anak yang terpaksa bekerja disebut juga sebagai buruh anak. Sedangkan yang dimaksud dengan anak terpaksa bekerja adalah anak di bawah umur 15 tahun yang bekerja (Daliyanti, 2001).

Istilah-istilah anak yang terpaksa bekerja itu sendiri semula merupakan

terjemahan dari “Child Worker” atau “Street Children”yang diartikan sebagai kelompok anak-anak (usia 10-15 tahun) yang karena kondisi kehidupan keluarga atau lingkungannya mereka terpaksa bekerja (Syarwani, 1993).

Undang-Undang No 1/1951 membedakan antara pekerja remaja dengan pekerja anak. Pekerja remaja dapat diartikan mereka yang berusia antara 14-18 tahun. Undang-Undang juga ini melarang anak-anak untuk bekerja dan menetapkan bahwa anak-anak yang bekerja dan dipekerjakan berat dan berbahaya minimum harus berusia 18 tahun.

Kajian yang dilakukan Unicef-ILO tahun 1995 menyebutkan adanya tiga karakteristik pekerja anak jalanan, yaitupertama,pekerja jalanan (termasuk di dalamnya pengamen cilik, pedagang asongan, dan anak jalanan),keduapemulung dan para anak yang memungut berbagai sisa-sisa barang bekas (seperti di tempat sampah),ketigaburuh pasar yaitu anak-anak yang menawarkan jasa atau

tenaganya kepada mereka yang berbelanja di pasar atau di tempat-tempat keramaian (www.bps Banten).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pekerja anak jalanan adalah anak yang berusia sekitar 5-15 tahun yang bekerja pada sektor informal, khususnya di jalanan dan tempat-tempat umum lainnya.


(41)

C. Tinjauan tentang Kekerasan terhadap Pekerja Anak Jalanan

Kekerasan terhadap pekerja anak jalanan adalah tindakan kekerasan yang diterima anak-anak yang melakukan pekerjaan di suatu wilayah atau daerah usaha yang tidak resmi, yang sengaja diciptakan atau diusahakan sendiri dengan menerima upah. Di dalam lingkungan pekerjaannya, anak tersebut mengalami kekerasan yang mengakibatkan penderitaan fisik atau nonfisik akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang terhadapnya.

1. Bentuk kekerasan terhadap pekerja anak jalanan

Pekerja anak jalanan mengalami berbagai macam bentuk tindak kekerasan, yaitu: 1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah kekerasan yang dilakukan pelaku dengan

menggunakan salah satu anggota tubuh, misalnya dengan tangan ataupun kaki, dan juga dengan menggunakan benda tumpul maupun benda tajam yang dapat mengakibatkan cidera pada anak atau dapat menyebabkan anak tersebut mengalami cacat bahkan sampai meninggal.

2. Kekerasan psikis

Kekerasan psikologis atau emosional adalah kekerasan yang biasanya diawali dengan kekerasan secara verbal melalui kata-kata yang diucapkan kepada pekerja anak, baik berupa ancaman, caci maki, maupun mengintimidasi. Contoh dari tindak kekerasan secara psikologis antara lain yaitu membentak, memaki dengan kata-kata yang tidak pantas, dan memberi pelabelan negatif.


(42)

3. Kekerasan seksual

Kekerasan seksual adalah segala bentuk tindak kekerasan atau pelecahan ataupun pemaksaan kepada pekerja anak untuk melakukan hubungan intim. Contoh, pencabulan (memegang atau meraba daerah-daerah sensitif pekerja anak), pemerkosaan, dan pornografi terhadap pekerja anak jalanan.

4. Kekerasan ekonomi

Tindakan yang mengeksploitasi anak secara ekonomi, yaitu anak bekerja di bawah paksaan, ancaman atau bujuk rayu pihak lain, jam kerja yang panjang seperti orang dewasa, upah yang rendah dan tidak sesuai dengan asas

kemanusiaan.

2. Pelaku tindak kekerasan terhadap pekerja anak jalanan

Tindak kekerasan terhadap pekerja anak dilakukan oleh orang terdekat ataupun orang yang tidak mereka kenal, yaitu:

1. Aparat keamanan

Aparat keamanan yang melakukan razia terhadap pekerja anak jalanan karena mereka dianggap mengganggu kenyamanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat.

2. Teman sebaya

Teman sebaya pun berpotensi untuk melakukan kekerasan. Ini dapat terjadi dikarenakan mereka berebut sesuatu atupun saling menghina sehingga menimbulkan keributan dan juga pertengkaran diantara pekerja anak jalanan.


(43)

3. Preman

Premanberasal dari katafreeyang artinya bebas, danmanyang artinya laki-laki. Pengertianpreman(pelakunya) yang selanjutnya disebutpremanisme adalah faham kebebasan yang dianut untuk mendapatkan sesuatu dengan menghalalkan segala cara, dan keberadaan mereka seringkali bersifat dan berprilaku negatif yang meresahkan masyarakat sekitarnya.Premanseringkali menganggu kenyamanan anak jalanan, seperti meminta uang hasil bekerja anak jalanan, memerintahkan untuk melakukan sesuatu, dan apabila pekerja anak jalanan menolak maka parapremanakan melakukan kekerasan. 4. Orangtua

Seharusnya orangtua merupakan orang yang melindungi dan mengayomi anak-anaknya. Tetapi saat ini banyak orangtua yang tidak segan-segan melakukan kekerasan terhadap anaknya.

5. Pengguna jalan (masyarakat)

Pengguna jalan atau masyarakat sekitar terkadang merasa terganggu dengan adanya pekerja anak jalanan di tengah aktivitas mereka sehingga tidak segan-segan melakukan kekerasan, baik secara fisik ataupun psikologis untuk mengusir pekerja anak jalanan di sekitarnya.

3. Faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan terhadap pekerja anak jalanan

Berbagai macam faktor yang dapat memicu terjadinya tindak kekerasan terhadap pekerja anak jalanan, yaitu:


(44)

1. Tekanan ekonomi

Kenaikan harga barang-barang keburutuhan rumahtangga, biaya pendidikan yang mahal, dan akses pelayanan kesehatan yang minim semakin mempersulit kehidupan ekonomi masyarakat menengah kebawah. Hingga akhirnya,

ketidakberdayaan mereka dalam mengatasi kemiskinan dan tekanan hidup yang semakin meningkat itu, menyebabkan mereka mudah sekali meluapkan emosi, kemarahan dan kekecewaannya kepada orang terdekatnya yaitu anak. 2. Pelaku tindak kekerasan mempunyai sifat pemarah, frustrasi, dan kesalahan

yang dilakukan oleh korban, diantaranya karena pemalas, kurang cekatan dalam bekerja, membantah perintah, dan lain-lain serta tingkat pendidikan pelaku tindak kekerasan

3. Belum efektifnya hukum perlindungan anak meskipun Undang-Undang Perlindungan Anak sudah berlaku, tetapi kekerasan terhadap anak tidak juga menyurut.

4. Dampak kekerasan yang dialami pekerja anak jalanan

Kekerasan yang dialami pekerja anak jalanan berdampak pada fisik maupun psikologis anak tersebut.

a. Dampak fisik meliputi:

Terganggunya kesehatan anak, korban juga dapat mengalami luka ringan, cacat fisik seumur hidup, ataupun kehilangan nyawa.

b. Dampak psikologis

1. Dampak kekerasan verbal atau kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata yang menyakitkan. Kata-kata yang menyakitkan tersebut biasanya


(45)

bermakna melecehkan kemampuan anak, menganggap anak sebagai sumber kesialan, mengecilkan arti si anak, memberikan julukan negatif kepada anak, dan memberikan kesan bahwa si anak tidak diharapkan. Kekerasan memiliki dampak jangka panjang terhadap perasaan anak dan dapat mempengaruhi citra diri mereka. Berbagai bentuk ucapan yang bertujuan menyakiti anak akan berpengaruh kepadanya, baik dalam kehidupan saat ini maupun di masa yang akan datang. Kekerasan verbal terhadap anak akan menumbuhkan sakit hati hingga membuat mereka berpikir seperti yang kerap diucapkan oleh orang di sekitarnya. Jika mereka mengatakan anak tersebut bodoh atau jelek, maka dia akan menganggap dirinya demikian.

Meski dampaknya tidak terjadi secara langsung, namun melalui proses, ucapan-ucapan bernada menghina dan merendahkan itu akan direkam dalam pita memori anak. Semakin lama, maka akan bertambah berat dan membuat anak memiliki citra negatif. Anak yang sering mengalami kekerasan verbal di kemudian hari akan hilang rasa percaya dirinya. Bahkan hingga memicu kemarahannya dan merencanakan untuk

melakukan aksi balas dendam. Kekerasan verbal pada anak bisa berefek buruk hingga membuat mereka balas dendam pada teman atau orang terdekatnya. Kekerasan verbal pada anak akan berpengaruh terhadap caranya bergaul (www.wordpress.com)


(46)

2. Kekerasan seksual

Mengakibatkan kecenderungan korban menyalahkan diri, menutup diri, menghukum diri, menganggap dirinya aib, hilangnya kepercayaan diri, dan trauma.

D. Kerangka Berpikir

Setiap manusia mempunyai kebutuhan pokok yang harus dipenuhi, yaitu kebutuhan pangan, sandang, perumahan, serta kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, manusia harus bekerja dan berusaha. Oleh karena itu, bekerja sangat penting bagi semua orang, karena dengan hasil bekerja seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi keluarga miskin yang orangtuanya tidak dapat

memenuhi kebutuhan keluarganya, mereka merelakan anaknya untuk bekerja di jalanan.

Anak bekerja adalah salah satu bentuk strategi kelangsungan hidup rumahtangga, hal ini terjadi dalam masyarakat yang mengalami transisi ekonomi atau kelompok miskin, baik yang ada di perkotaan ataupun di pedesaan. Bila kondisi keluarga dalam kemiskinan, mereka akan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia, salah satu upaya untuk bertahan dalam kemiskinan adalah memanfaatkan tenaga keluarga yang salah satunya adalah anak.

Namun pada kenyataanya munculnya pekerja anak jalanan tidak hanya disebabkan karena faktor kemiskinan keluarga, tetapi juga karena lingkungan tempat tinggal (teman bermain), tingkat pendidikan yang rendah, tidak


(47)

terpenuhinya kesejahteraan anak di rumah (keluarga yang tidak harmonis), dan anak ingin belajar bekerja.

Permasalahan pekerja anak jalanan merupakan salah satu dimensi penelantaran hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. Selain itu juga pekerja anak jalanan tidak lepas dari adanya tindak kekerasan. Mereka selalu jadi orang yang dirugikan dalam masalah ini. Kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekat maupun orang yang tidak dikenal seringkali mewarnai kehidupan mereka di jalanan.

Indikasi terjadinya kekerasan terhadap pekerja anak jalanan dapat dilihat dari: 1. Adanya kekerasan ekonomi, seperti anak bekerja di bawah paksaan, ancaman,

atau bujuk rayu pihak lain, jam kerja yang panjang seperti orang dewasa, upah yang rendah dan tidak sesuai dengan asas kemanusiaan.

2. Adanya kekerasan fisik, seperti dipukul, ditendang, dan lain-lain.

3. Adanya kekerasan seksual, seperi eksploitasi secara seksual, prostitusi, dan pemerkosaan.

4. Kekerasan psikis, seperti dihina, dicaci, diremehkan, dan lain-lain.

Berbagai kekerasan yang dialami pekerja anak jalanan dapat menimbulkan dampak fisik (luka ringan hingga kehilangan nyawa) maupun psikis (anak menjadi pendiam hingga mengalami trauma), tetapi sayangnya pekerja anak jalanan yang mengalami tindak kekerasan tersebut takut dan malu melaporkan kepada pihak yang berwenang.


(48)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah deskriptif. Menurut Bungin (2001), penelitian deskriptif adalah tipe penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai pada penelitian ini adalah metode survey. Menurut Singarimbun (1995), penelitian survey adalah penelitian yang

mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok.

C. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel

Definisi konseptual merupakan batasan terhadap masalah-masalah atau variabel yang akan diteliti. Dalam prakteknya, definisi ini akan berfungsi sebagai pedoman dalam penelitian sehingga tujuan dan arahnya tidak menyimpang. Adapun


(49)

1. Pekerja anak jalanan, adalah seseorang yang berumur antara 7-15 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja di jalanan. Aspek yang diteliti di dalam penelitian ini yaitu:

a. Waktu yang dihabiskan di jalanan atau hidup di jalanan. b. Jenis pekerjaan anak jalanan.

c. Besarnya penghasilan. d. Tempat beraktifitas.

2. Penyebab anak bekerja di jalanan, adalah dorongan, keinginan, atau alasan sehingga anak melakukan kegiatan atau pekerjaan di jalanan. Adapun aspek yang diamati dari penyebab anak memutuskan bekerja di jalanan, antara lain: a. Latar belakang ekonomi keluarga.

b. Ada atau tidak adanya ajakan dari teman. c. Tingkat keharmonisan keluarga.

d. Ada atau tidak adanya keinginan untuk belajar bekerja.

3. Bentuk kekerasan terhadap pekerja anak jalanan, adalah bentuk tindak

kekerasan yang dialami pekerja anak jalanan. Aspek-aspek yang diamati yaitu: a. Jenis perlakuan kasar atau tindak kekerasan yang pernah dialami pekerja

anak jalanan.

b. Pelaku tindak kekerasan.

4. Alasan terjadinya tindak kekerasan terhadap pekerja anak jalanan, adalah latar belakang yang menyebabkan anak jalanan mendapatkan tindakan kekerasan. Aspek yang diamati, antara lain:

a. Ada atau tidak adanya permasalahan yang dialami di tempat kerja. b. Bentuk atau jenis masalah yang dihadapi anak jalanan.


(50)

c. Ada atau tidak adanya hubungan antara pelaku dan anak jalanan. d. Ada atau tidak adanya kontrol sosial.

e. Ada atau tidak adanya motivasi ekonomi.

5. Dampak kekerasan terhadap anak jalanan adalah akibat yang diterima dan dirasakan oleh pekerja anak jalanan dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang terhadapnya. Aspek yang diamati yaitu:

a. Ada tidaknya gangguan pertumbuhan fisik dan terganggunya kesehatan anak jalanan.

b. Kondisi emosional/psikologis anak jalanan.

D. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di wilayah Kecamatan Metro Pusat, yaitu di wilayah pertokoan atau pasar, perempatan jalan, taman parkir, dan terminal. Adapun alasan penentuan lokasi penelitian di empat wilayah tersebut dikarenakan: 1. Pertokoan atau pasar, taman parkir, perempatan jalan, dan terminal Kota

Metro merupakan tempat-tempat umum yang banyak dikunjungi masyarakat sehingga di tempat itu pula banyak ditemukan pekerja anak jalanan.

2. Pertimbangan waktu dan fasilitas lain yang dapat mempermudah penelitian ini dalam mengumpulkan data yang dibutuhkan.

E. Populasi

Menurut Bungin (2001), populasi adalah serumpun atau sekelompok objek yang menjadi sasaran dari suatu penelitian, sedangkan menurut Sugiyono (2001), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang


(51)

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Berdasarkan definisi tersebut, maka populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja anak jalanan di Kota Metro yang tercatat pada hasil survey pendahuluan (data primer) pada bulan November 2009, berjumlah 102 anak jalanan.

F. Sampel

Sampel adalah sebagian anggota yang diambil dari keseluruhan obyek yang akan diteliti serta dianggap mewakili seluruh populasi yang diambil dengan

menggunakan teknik tertentu (Arikunto, 1992).

Dalam menentukan banyaknya sampel penelitian terhadap populasi, digunakan rumus Yamane (dalam Jalaludin Rahmat, 1984) dengan rumus sebagai berikut:

n=

1 2

Nd

N

Keterangan :

n = banyaknya unit sampel N = banyaknya populasi

d2= taraf nyata (ditetapkan sebesar 0,1) 1 = bilangan konstanta

Berdasarkan rumus tersebut, diperoleh jumlah sampel sebagai berikut: n =

1 ) 1 , 0 ( 102

102 2

 n =

02 , 2 102


(52)

Karena bilangan 50,49 adalah bilangan pecahan, maka dibulatkan menjadi 50 sampel (n =50 orang).

Teknik yang digunakan dalam penentuan sampel ini adalahsimple random samplingyang ditentukan secara proposional, sedangkan prosedur yang digunakan untuk mengambilnya adalah dengan cara undian. Dengan demikian diharapkan semua pekerja anak jalanan mempunyai kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel yang mampu mewakili populasi. Dari 102 nama anak jalanan yang didapatkan secarasurvey, kemudian nama-nama tersebut ditulis nomor atau identitas lain dari setiap anggota populasi di selembar kertas, kemudian

mengambil dengan mata tertutup 50 buah kertas. Kemudian setelah didapatkan 50 nama yang akan dijadikan sampel, maka peneliti menemui kembali anak jalanan yang dijadikan sampel untuk memperoleh data yang diperlukan guna menunjang penelitian ini.

G. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Kuesioner

Dipergunakan untuk memperoleh data dengan cara memberikan daftar pertanyaan yang telah disediakan sedemikian rupa yang berkaitan dengan kekerasan terhadap pekerja anak jalanan.

2. Wawancara

Wawancara yaitu mengumpulkan data primer guna melengkapi data yang tidak terdapat pada kuesioner dengan jalan mewawancarai sumber-sumber


(53)

data dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan kekerasan terhadap pekerja anak jalanan di Kota Metro

3. Observasi

Teknik observasi digunakan untuk mengumpulkan data melalui pengamatan dan pencatatan secara langsung tentang objek yang menjadi topik kajian dalam penelitian ini, yaitu tentang kekerasan terhadap pekerja anak jalanan di Kota Metro. Observasi dalam penelitian ini adalah observasi non

partisipatoris, yaitu peneliti tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan para pekerja anak jalanan, tetapi hanya melakukan pengamatan saja.

4. Dokumentasi

Merupakan proses pengumpulan data melalui sumber-sumber tertulis, berupa laporan. Pengumpulan data dilakukan di instansi-instansi dan lembaga-lembaga yang memiliki catatan berupa dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan penelitian ini.

5. Studi kepustakaan

Data kepustakaan diperoleh dari buku-buku, majalah, surat kabar, dan jurnal serta melalui situs-situs internet.

H. Teknik Pengolahan Data

Setelah mengumpulkan data dari lapangan, maka tahap selanjutnya adalah mengadakan pengolahan data dengan tahap-tahap sebagai berikut:

1. Editing, yaitu proses pemeriksaan dan penyeleksian kembali kuesioner yang telah terkumpul dari lapangan, apakah kuesioner yang ada telah diisi atau dijawab dengan benar.


(54)

2. Koding, merupakan tahap dimana jawaban responden diklasifikasikan menurut jenis jawaban dengan jalan memberi kode bagi tiap-tiap data yang termasuk dalam ketegori yang sama.

3. Setelah melakukan pengkodingan, selanjutnya data diolah dan dianalisis dengan menggunakan bantuan program komputer. Dalam penelitian ini pengolahan data dilakukan dengan mempergunakan bantuan program pengolah data statistik, yaitu SPSS 13.0.

I. Teknik Analisis Data

Menurut Singarimbun dan Effendi (1987), analisis data adalah menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan sesuai dengan tipe penelitian yang digunakan. Analisis ini diambil dari data yang diperoleh dari hasil penyebaran kuesioner, wawancara, observasi, dan dokumentasi yang didapat dari penelitian. Setelah semua data diolah, data

kemudian disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan analisisnya. Di dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yang dibantu dengan tabel distribusi tunggal. Teknik analisis data dilakukan dengan cara

memasukkan data yang diperoleh dari lapangan ke dalam tabel distribusi tunggal, kemudian diinterprestasikan dengan menggunakan susunan kata (diperkuat oleh data hasil observasi di lokasi penelitian) dan kalimat bermakna secara sistematis sebagai jawaban atas permasalahan yang diteliti.


(55)

IV . GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Sejarah Singkat Kota Metro

Cikal bakal atauembrioKota Metro bermula dengan didatangkannya para kolonis oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1934 dan 1935. Pada zaman

Pemerintahan Belanda, Kota Metro masih merupakan hutan belantara yang merupakan bagian dari wilayah Marga Nuban, yang kemudian dibuka oleh para kolonis pada tahun 1936. Kemudian dibangunlah sebuah Induk Desa baru yang diberi nama Trimurjo. Daerah kolonisasi ini semula termasuk dalam Kawedanan Sukadana, yaitu Marga Unyi dan Buay Nuban. Berdasarkan Keputusan Rapat Dewan Marga tanggal 17 Mei 1937, daerah kolonisasi ini dipisahkan dari hubungan marga, dan pada hari Rabu 9 Juni 1937, nama desa Trimurjo diganti dengan nama Metro. Karena perkembangan penduduknya yang pesat, maka Metro dijadikan sebagai tempat kedudukan Asisten Wedana dan Pusat PemerintahOrder DistrictMetro. Kemudian terbentuklah Keasistenan Wedana Metro atau

Kecamatan Metro yang membawahi 17 desa, yaitu Metro, Ganjar Agung, Yosodadi, Hadimulyo, Banjarsari, Purwosari, Karangrejo, Mulyojati, Tejosari, Margorejo, Rejomulyo, Sumbersari, Kibang, Margototo, Margajaya,

Sumberagung, dan Purwosembodo. Asisten Wedana (Camat) yang pertama adalah Raden Mas Sudarto.


(56)

Pergantian nama Desa Trimurjo menjadi Metro didasarkan pada pertimbangan letak daerah kolonisasi, yaitu di tengah-tengah antara Adipuro (Trimurjo) dan Rancangpurwo (Pekalongan). Mengenai nama Metro, seorang kolonis

mengatakan barasal dari kata “Mitro” yang artinya keluarga, persaudaraan, atau kumpulan kawan-kawan. Adapula yang mengatakan Metro berasal dari“meterm” (bahasa Belanda) yang artinya “pusat ataucentrum”ataucentral, yang

maksudnya merupakan pusat/sentral kegiatan karena memang letaknya di tengah-tengah.

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Metro mempunyai artian ganda, yaitu:

Pertama: berarti suatu tempat yang merupakan kumpulan keluarga (kolonis) yang bersaudara atau terikat oleh tali persaudaraan.

Kedua: secara geografis Metro berarti letaknya berada di tengah-tengah

(pusat/centrum/central/meterm) antara Rancangpurwo (Pekalongan) yang dibuka tahun 1932 dengan Adipuro (Trimurjo) yang mulai dibuka tahun 1935.

Pada tahun 1981, 6 (enam) desa berubah statusnya menjadi Kelurahan. Para perangkat desanya pun diangkat menjadi pegawai negeri dan sebutan Kepala Desa berubah menjadi Lurah, dengan demikian kecamatan Metro terdiri dari 11

(sebelas) desa dan 6 (enam) kelurahan. Pada tahun 1986, wilayah Metro ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 34 Tahun 1986 tanggal 14 Agustus 1986 dan diresmikan pada tanggal 9 September 1987 oleh Menteri Dalam Negeri, yang saat itu dijabat oleh


(57)

Letjen TNI Soeparjo Rustam. Dengan peningkatan status administrasi ini, wilayah Metro justru menjadi lebih kecil dari wilayah Kecamatan Metro sebelumnya. Hal tersebut terjadi karena 5 desa yang terletak di seberang Way Sekampung dibentuk menjadi kecamatan tersendiri, yaitu Kecamatan Metro Kibang yang administrasi pemerintahannya dimasukkan ke dalam wilayah Pembantu Bupati Lampung Timur Wilayah Sukadana.

Kemudian desa/kelurahan yang lain ditata dalam 2 kecamatan baru, yaitu: 1. Kecamatan Metro Raya, yang membawahi 4 kelurahan, yaitu Kelurahan

Metro, Ganjar Agung, Yosodadi, Hadimulyo, dan 3 desa yaitu Banjarsari, Purwosari, Karangrejo, dengan pusat pemerintahan di Metro.

2. Kecamatan Bantul, yang membawahi 2 kelurahan yaitu Kelurahan Mulyojati, Kelurahan Tejosari, dan 3 desa yaitu Margorejo, Rejomulyo, dan Sumbersari, dengan pusat pemerintahan di Mulyojati.

Perkembangan daerah tersebut dari tahun ke tahun semakin pesat, dan karena kepesatan itu pulalah daerah ini berkembang menjadi kota kebanggaan warga Lampung Tengah dan menjadi kota yang asri, tertib, teratur, dan bersih serta pada sisi lain tingkat kesejahteraan warganya juga semakin meningkat.

Kondisi inilah yang mempercepat Kota Metro menjadi Daerah Otonom yang memang sejak lama diidamkan oleh seluruh masyarakat Lampung Tengah khususnya dan masyarakat Lampung pada umumnya. Keinginan untuk menjadikan Kota Metro sebagai Daerah Otonom bermula pada tahun 1968, kemudian berlanjut pada tahun 1970/1971 ketika panitia pemekaran Dati I


(58)

Propinsi Lampung merencanakan untuk memekarkan 4 Dati II (1 Kotamadya dan 3 Kabupaten) menjadi 10 Dati II (2 Kotamadya dan 8 Kabupaten).

Harapan yang diinginkan itu akhirnya terpenuhi pada tanggal 27 April 1999, yaitu dengan diresmikannya Kotamadya Dati II Metro berdasarkan UU No. 12 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Dati II Metro, dan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan DaerahNomenklatur,Kotamadya Metro dirubah lagi menjadi Kota Metro. Pada tanggal 11 Januari 2001, dilaksanakan peresmian perubahan status desa menjadi kelurahan dan penataan wilayah administrasi pemerintahan kecamatan, sekaligus dengan melantik 5 Camat baru.

Batas wilayah Kota Metro adalah sebagai berikut:

• Sebelah Utara, berbatasan dengan Kecamatan Punggur Kabupaten Lampung Tengah dan Kecamatan Pekalongan Kabupaten Lampung Timur.

• Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kecamatan Metro Kibang Kabupaten Lampung Timur.

• Sebelah Timur, berbatasan dengan Kecamatan Pekalongan dan Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur.

• Sebelah Barat, berbatasan dengan Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah.

Berikut ini disajikan tabel tentang luas wilayah administrasi, jumlah penduduk, dan kepadatan penduduk di Kota Metro pada tahun 2008.


(59)

Tabel 9. Luas Wilayah Administrasi Kota Metro Per Kelurahan dan Jumlah Penduduk Tahun 2008.

No Kecamatan Kelurahan Luas

Wilayah (Km)

Jumlah Penduduk

Kepadatan (jiwa/km2) 1 Metro Pusat 1. Metro

2. Imopuro

3. Hadimulyo Timur 4. Hadimulyo Barat 5. Yosomulyo Sub Total 2,28 1,19 3,37 1,50 3,37 11,71 47.981 4.097

2 Metro Utara 1. Banjarsari 2. Purwosari 3. Purwoasri 4. Karangrejo Sub Total 5,75 2,55 3,62 7,72 19,64 22.054 1.123

3 Metro Selatan 1. Rejomulyo 2. Margorejo 3. Margodadi

4. Sumbersari Bantul Sub Total 4,75 2,46 2,87 4,25 14,33 12.684 885

4 Metro Timur 1. 1. Iring Mulyo 2. 2. Yosodadi 3. 3. Yosorejo 4. 4. Tejosari 5. 5. Tejo Agung

Sub Total 1,89 3,36 1,22 3,76 1,55 11,78 30.593 2.597

5 Metro Barat 1. Mulyojati 2. Mulyosari 3. Ganjar Agung 4. Ganjarasri Sub Total 2,95 3,03 2,88 2,42 11,28 20.850 1.848

Jumlah 68,74 134.162 1.952

Sumber: BPS Kota Metro.

Dari Tabel 9 di atas dapat diketahui bahwa jumlah penduduk terbanyak berada pada Kecamatan Metro Pusat dengan jumlah penduduk 47.981 jiwa dan

kepadatan 4.097 jiwa/km2. Hal ini disebabkan wilayah Kecamatan Metro Pusat letaknya dekat dengan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian, sehingga letaknya yang strategis dapat menjadi daya tarik tersendiri. Sedangkan jumlah


(60)

penduduk terendah berada pada Kecamatan Metro Selatan dengan jumlah penduduk 12.684 jiwa, kepadatan penduduknya sejumlah 885 jiwa/km2.

B. Keadaan Geografis

Kota Metro yang berjarak 45 km dari Kota Bandar Lampung (Ibukota Provinsi Lampung) secara geografis terletak pada 5°6’-5°8’ LS dan 105°17’-105°19’ BT. Kota yang berpenduduk sekitar 152.827 jiwa dengan tingkat kepadatan 2.223 jiwa/km2 ini secara administratif terbagi dalam 5 (lima) wilayah kecamatan, yaitu Metro Pusat, Metro Barat, Metro Timur, Metro Selatan, dan Metro Utara, serta 22 kelurahan dengan total luas wilayah 68,74 km2 atau 6.874 ha.

1. Kondisi Tanah

Berdasarkan karakteristik topografinya, Kota Metro merupakan wilayah yang relatif datar dengan kemiringan <6°, tekstur tanah lempung dan liat berdebu, berstrukturgranularserta jenis tanahpodzolikmerah kuning dan sedikit berpasir. Sedangkan secara geologis, wilayah Kota Metro didominasi oleh batuan endapan gunung berapi jenisQw.

Tabel 10. Kondisi Tanah di Kota Metro menurut Wilayah Kecamatan, Tahun 2009.

No Kondisi Metro

Pusat Metro Barat Metro Timur Metro Selatan Metro Utara

1 Jenis Podzolik

merah Podzolik merah Podzolik merah Podzolik merah Podzolik merah 2 Permukaan Datar/rata Datar/rata Datar/rata Datar/rata Datar/rata 3 Ketinggian 48,07-54,95

dpl 54,49-57,32dpl 36,3-58,12 dpl 31,78-56,65 dpl 36,94-58,07 dpl Sumber: Situs Resmi Pemerintah Kota Metro.


(61)

2. Iklim

Wilayah Kota Metro yang berada di selatan garis khatulistiwa pada umumnya beriklimhumid tropisdengan kecepatan angin rata-rata 70 Km/hari. Ketinggian wilayah berkisar antara 25-60 m dari permukaan laut (dpl), suhu udara antara 26°C - 29°C, kelembaban udara 80% - 88%, dan rata-rata curah hujan pertahun 2.264 sampai dengan 2.868 mm (Sumber: Situs Resmi Pemerintah Kota Metro, 2009).

3. Penggunaan Lahan

Pola penggunaan lahan di Kota Metro secara garis besar dikelompokan ke dalam 2 kategori, yaitu lahan terbangun(build up area)dan tidak terbangun. Lahan terbangun terdiri dari kawasan pemukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial, fasilitas perdagangan dan jasa, sedangkan lahan tidak terbangun terdiri dari persawahan, perladangan, dan penggunaan lain-lain.

Kawasan tidak terbangun di Kota Metro didominasi oleh persawahan dengan sistem irigasi teknis yang mencapai 2.982,15 hektar atau 43,38% dari luas total wilayah. Selebihnya adalah lahan pekarangan seluas 1.198,68 hektar, tegalan 94,49 hektar, dan sawah non irigasi seluas 41,50 hektar (Sumber: Situs Resmi Pemerintah Kota Metro, 2009).


(62)

C. Visi dan Misi Kota Metro 1. Visi Kota Metro 2020

“Kota Metro sebagai Kota Perdagangan dan Agro Industri Kerakyatan menuju Kota Pendidikan untuk Terwujudnya Masyarakat yang Maju dan Sejahtera dengan Lingkungan yang Asri”.

2. Misi Kota Metro 2020

1. Mewujudkan Kota Metro sebagai pusat perdagangan.

2. Mendorong percepatan tumbuhnya industri rakyat yang berbasis pertanian dengan didukung oleh pasar, perbankan, lembaga penelitian dan

pengembangan, serta pusat pendidikan dan latihan.

3. Membangun percepatan peningkatan kualitas dan pertumbuhan kuantitas pendidikan yang bermanfaat bagi peningkatan sumberdaya manusia dan pertumbuhan ekonomi daerah.

4. Menciptakan keseimbangan pembangunan kota dengan memperhatikan kelestarian lingkungan sumberdaya alam untuk pembangunan yang berkelanjutan.

5. Meningkatkan fasilitas sosial danpublic utilitiesyang memadai. 6. Mewujudkan pemerintahan yang baik melalui reformasi konstitusi,

institusi, dan kultural.

7. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah untuk mendukung perkuatan ekonomi rakyat.


(1)

SANWACANA

Assalamu’alaikum…Wr…WB…

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skrisi ini yang merupakan syarat mencapai gelar sarjana Sosiologi. Skripsi ini berjudul “Kekerasan Terhadap Pekerja Anak Jalanan Di Kota Metro”.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, bimbingan maupun saran dan kritik dari berbagai pihak dan sebagai rasa syukur penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Benyamin, M.Si, selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta selaku dosen pembahas.

3. Bapak Drs. Abdul Syani, M.IP, selaku dosen pembimbing akademik.. 4. Bapak Drs. I Gede Sidemen, M.Si, selaku dosen pembimbing

5. Kedua orangtuaku, terimakasih atas segala doa dan dukungan moril maupun materil.

6. Kakak ku, terimakasih atas segala dukungan dan bantuannya.

7. Saudara serta kerabat yang telah membantu di dalam menyelesaikan skipsi ini

8. Sahabatku Hasanah Eka Lestari, Olyvia, Rosye. Terima kasih atas dukungannya selama ini.

9. Sahabatku yang selama 1 tahun ini, selalu bersama baik suka maupun duka, Septin dan Yanti (akhirnya kita selesai juga, Semangat).


(2)

11. Anak-anak Sos 06 Francis Simamora (Sakai), Danial, Armaeki, Agung, Dodi Hermanto, Yuni, Eli, Veranita, Silvi, Rumondang, Desi, Vivin, Rizki, Rian, Erwin, Raesha, Devana, Eriska, Mesi, Oktania, Jhon, Danu Daru, Tresia Atriana, Wulan, dan teman-teman belum ku sebut satu persatu. Terima kasih atas segala bantuannya selama ini.

12. Anak Sos 05 dan Sos 07.

Wassalamualaikum Wr....Wb...

Bandar La mpung, 2 4 Mei 20 10 Penuli s


(3)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap data yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Ada empat hal yang menjadi penyebab anak bekerja, yaitu latar belakang ekonomi keluarga, ajakan teman, merasa tidak nyaman berada di rumah, dan ingin belajar bekerja.

2. Kekerasan terhadap pekerja anak jalanan di Kota Metro dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik, kekerasan psikis (nonfisik), kekerasan ekonomi, dan kekerasan seksual.

a. Bentuk kekerasan fisik adalah pemukulan, cubitan, tamparan, dan tendangan. Pelaku kekerasan fisik yaitu orangtua, preman, masyarakat, teman sebaya, dan aparat keamanan.

b. Bentuk kekerasan psikis yang dialami pekerja anak jalanan di Kota Metro adalah dicacimaki, pelabelan negatif, dimarahi, dan dibentak. Pelaku kekerasan psikis yaitu preman, masyarakat, orangtua, dan teman sebaya. c. Bentuk kekerasan ekonomi yang dialami pekerja anak jalanan di Kota

Metro adalah uang hasil bekerja diambil secara paksa oleh orang lain, upah yang didapatkan tidak sesuai dengan pekerjaan, dan jam kerja yang berlebihan. Pelaku kekerasan ekonomi yaitu preman, orangtua, dan masyarakat.


(4)

d. Bentuk kekerasan seksual yang dialami pekerja anak jalanan di Kota Metro adalah diraba bagian sensitif dan tejadinya pencabulan. Pelaku kekerasan seksual adalah preman.

3. Alasan yang melatarbelakangi terjadinya tindak kekerasan terhadap anak jalanan di Kota Metro yaitu:

a. Alasan terjadinya tindak kekerasan fisik yaitu tidak menuruti perintah, melakukan kesalahan dalam bekerja, mengganggu aktivitas orang lain, malas bekerja, dan memperebutkan pelanggan

b. Alasan terjadinya tindak kekerasan psikis yaitu tidak menuruti perintah, melakukan kesalahan dalam bekerja, dianggap mengganggu aktivitas orang lain, malas bekerja, dan berebut pelanggan.

c. Alasan terjadinya tindak kekerasan ekonomi yaitu orang lain merasa tidak senang dengan pendapatan yang diperoleh anak jalanan, adanya dorongan kebutuhan ekonomi, dan adanya disfungsi keluarga.

d. Alasan terjadinya tindak kekerasan seksual yaitu posisi atau keadaan anak yang lemah dan pelaku dalam pengaruh penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol.

4. Dampak tindak kekerasan yang dialami anak jalanan yaitu:

a. Kekerasan fisik mengakibatkan anak jalanan terluka secara fisik.

b. Kekerasan psikis mengakibatkan anak jalanan mendapat pelabelan negatif, hilangnya kepercayaan diri, menutup diri, dan menganggap dirinya aib. c. Kekerasan ekonomi mengakibatkan anak jalanan mendapatkan upah tidak


(5)

samasekali, kehilangan waktu belajar dan bermain, serta mengalami gangguan fisik dan mental.

d. Kekerasan seksual mengakibatkan anak jalanan menjadi trauma, kehilangan kepercayaan diri, serta menutup diri.

B. Saran

Untuk menekan jumlah pekerja anak jalanan maka perlu dilakukan upaya pemerataan akses pelayanan pendidikan, kesehatan, hukum, dan transportasi kepada seluruh anak Indonesia. Selain itu, otonomi daerah hendaknya mampu mendorong pemerintah daerah membuka kesempatan kerja dalam upaya memperbaiki ekonomi keluarga.

Sementara bagi pemerintah Kota Metro diharapkan dapat memberikan jaminan kepastian hukum, misalnya dengan membuat Peraturan Daerah (Perda) khusus tentang pekerja anak, serta mendirikan rumah singgah yang diserahkan kepada pihak yang bertanggungjawab bukan pada pihak yang hanya mau mengambil keuntungan sendiri. Rumah singgah diharapkan dapat sebagai tempat menumbuh kembangkan kreativitas anak jalanan untuk hal-hal yang bersifat positif

(pendidikan nonformal ataupun keterampilan). Selanjutnya pihak berwajib juga harus dapat menindak tegas pelaku tindak kekerasan terhadap pekerja anak jalanan.

Sebaiknya orangtua tidak melakukan tindak kekerasan terhadap anak karena tindak kekerasan yang dialami dapat berakibat fatal terhadap kondisi fisik dan


(6)

mental anak. Terlebih tindak kekerasan tersebut dilakukan oleh orangtua, sehingga apabila anak berada pada situasi yang sama maka akan melakukan hal sama seperti yang dilakukan orangtua terhadap dirinya.

Kehidupan anak yang bekerja di jalanan dapat berakibat negatif bagi

perkembangan jiwa dan mentalnya. Karena itu, sebaiknya anak tidak diizinkan untuk bekerja, tetapi apabila anak terpaksa harus bekerja, sebaiknya tidak lebih dari 3 jam/hari, anak tidak dilibatkan dalam pekerjaan-pekerjaan yang dapat membahayakan keselamatan jiwanya, pendidikan formal anak harus tetap diutamakan, adanya kontrol sosial, serta adanya kepedulian masyarakat sekitar untuk segera melapor ke pihak berwajib bila terdapat hal-hal yang mencurigakan di lingkungannya berkaitan dengan tindak kekerasan terhadap pekerja anak jalanan.