DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA WARGA NEGARA ASING (Studi Putusan MA Nomor:1599 K/Pid.Sus/2012)

(1)

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

WARGA NEGARA ASING

(Studi Putusan MA Nomor:1599 K/Pid.Sus/2012)

Oleh :

DESTRY FIANICA

Penyalahgunaan narkoba yang marak terjadi belakangan ini tidak hanya dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI), namun juga oleh Warga Negara Asing (WNA). Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika mengatur sanksi pidana mati yang mengakibatkan timbulnya polemik yang mengatakan bahwa pidana mati tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan ada juga yang mengatakan bahwa pidana mati masih perlu diterapkan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan narkotika. Permasalahan pada penelitian berikut adalah Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika oleh Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor: 1599 K/ Pid.Sus/2012) ? Apakah Putusan Nomor 1599 K/ Pid.Sus/2012 yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana narkotika sudah tepat dan memenuhi rasa keadilan?

Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tangerang, hakim Pengadilan Tinggi Provinsi Banten dan Kalangan Akademisi Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan.

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika oleh warga Negara asing adalah berdasarkan aspek yuridis yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, dan barang bukti . Aspek non yuridis dipergunakan untuk mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan yaitu terdakwa secara sah bersalah membawa narkotika dari negaranya sehingga berpotensi merusak kehidupan seluruh warga Negara


(2)

lakukan. Selain itu juga hakim dalam memutus mengacu pada teori retributive (teori absolut atau teori pembalasan).Penjatuhan pidana mati dilihat dari segi masyarakat sudah memenuhi rasa keadilan karena narkotika yang dibawa oleh terdakwa adalah narkotika golongan 1 seberat 6500 gram dan berpotensi merusak generasi bangsa sehingga penjatuhan pidana mati layak dijatuhkan untuk terdakwa, tetapi bagi terdakwa pidana mati belum memenuhi rasa keadilan. Terdakwa merupakan kurir serta peran terdakwa cukup ringan dibandingkan dengan Bandar narkotika selain itu terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana.


(3)

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA

WARGA NEGARA ASING

(Studi Putusan MA Nomor:1599 K/Pid.Sus/2012)

Oleh

DESTRY FIANICA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2015


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kalibalangan pada tanggal 2 Desember 1992. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara buah hati dari pasangan Ibu Betty Ita Asmara dan Bapak Indra Gunawan.

Penulis menempuh jenjang pendidikan pertama kali pada taman kanak-kanak (TK) Islam Alina pada tahun 1998. Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2005. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 14 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 7 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2011.

Pada tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Pada tahun 2014 penulis melaksanakan mata Kuliah Kerja Nyata (KKN) Periode I di Desa Tajimalela, Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Kemudian pada tahun 2015 penulis menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(7)

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang telah memberikan kesempatan sehingga

dapat ku selesaikan sebuah karya ilmiah ini dan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW yang selalu kita harapkan Syafaatnya di hari akhir kelak. Aku

persembahkan karya ini kepada:

Kedua orang tuaku:

Ayahanda Indra Gunawan dan Ibunda Betty Ita Asmara

yang selalu mencintai, menyayangi mengasihi serta mendoakanku dengan tulus sebagai penyemangat dalam hidupku

Serta untuk kakakku dan adikku Yuli Indriati dan M. Affan Rizki yang

senantiasa memberikan dukungan kepada ku sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan

Untuk sahabat dan teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan dukungan dan motivasi serta menemaniku dalam suka maupun duka dalam

mencapai keberhasilanku.

Almamaterku tercinta


(8)

Kamu Telah Selesai (Dari Satu Urusan) Kerjakanlah Dengan Sumgguh-Sungguh (Urusan) Lain. Dan Hanya Kepada Tuhanmulah Hendak Kamu

Berharap

(QS.S. Alam-nasyroh 6-8)

Belajarlah Dari Sebuah Masalah, Sesungguhnya Allah Akan Mendewasaknmu


(9)

Puji syukur ku persembahkan atas kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yeng telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: “Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor : 1599K/Pid.Sus/2012)”. Skripsi ini sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna mengingat keterbatasan penulis. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Sugeng P. Harianto Selaku Rektor Universitas Lampung;

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung;

4. Ibu Firganefi, S.H.,M.H. Selaku Sekertaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung:


(10)

memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini;

6. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah memberikan saran, arahan, dan bimbingan serta nasehat kepada penulis dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini;

7. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah banyak memberikan saran dan masukan yang sangat berharga kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

8. Bapak Deni Achmad, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang telah memberikan saran, kritik dan arahan kepada penulis dalam perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini;

9. Ibu Martha Riananda, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberi bimbingan akademik, bantuan dan saran kepada penulis selama ini; 10. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, khususnya

di Bagian Hukum Pidana yang telah banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan (hukum pidana) kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

11. Seluruh Bapak/Ibu Karyawan di Fakultas Hukum Universitas Lampung; 12. Seluruh narasumber Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H., Bapak Lief Sofijullah,

S.H., M.H., Bapak Manahan Sitompul, S.H.,M.H., yang telah meluangkan waktu untuk memberikan informasi berkaitan dengan penulisan skripsi ini. 13. Ayahanda Indra Gunawan dan Ibunda Betty Ita Asmara tercinta. Terima kasih


(11)

dunia dan akhirat Amiin.

14. Kakakku Yuli Indriati dan Adikku M.Affan Rizky yang telah memberikan semangat serta do’a untuk kelancaran dalam penulisan skripsi ini dan seluruh keluarga besarku yang telah menantikan kelulusanku.

15. Sepupuku yang gendut Rhohima Putri yang selalu menemaniku dan memberikan semangat untuk skripsi.

16. Sahabat-sahabatku tercinta: Erza Cechelya, Farah Zatalini, Noni Ana Duianti, Gevi Ratianda Bralinza, Friska Annisa, Yulia Dwiyanti, Rika Lusiana. Serta seluruh teman-teman FH Unila 2011 yang lainnya terima kasih banyak atas kebersamaan kita selama ini dan terima kasih atas semangat, motivasi kalian, tanpa kalian semua tidak akan berkesan. Semoga kita semua dapat menggapai kesuksesan di Dunia dan Akhirat Amin Ya Rabbal Alamin.

17. Keluarga dan teman-teman baruku semasa KKN: Desa Tajimalela Uwan, Cici, Tata Dina, Kk Pendi Kordes, Abang Angga Item, Pais, Mba Endah, Dewi Muslimah, Dian. terima kasih telah memberikan pengalaman yang baru, kebersamaan dan kenangan yang amat berarti bersama kalian.

18. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, teman-teman di Bagian Hukum Pidana dan seluruh teman-teman Angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas perhatian dan bantuan yang telah diberikan selama masa pendidikan.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua dan pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang


(12)

semua serta semoga tali silaurahmi diantara kita tetap erat dan kita dipertemukan kembali dalam keridhoan-Nya. Aamiin Allahumma Ya Rabbal’alamin.

Bandar Lampung, maret 2015 Penulis,


(13)

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tindak Pidana ... 17

1. Pengertian Tindak Pidana... 17

2. Jenis-jenis Sanksi Pidana... 22

B. Tinjauan Mengenai Pemidanaan ... 23

C. Tindak Pidana Narkotika... 26

1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika... 26

2. Narkotika dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia ... 28

3. Penggolongan Narkotika ... 32

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan ... 34

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 40

B. Sumber dan Jenis Data ... 41

C. Penentuan Narasumber... 42

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data... 43


(14)

B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Mati

terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Oleh Warga Negara Asing... 49 C. Keadilan dalam Penerapan Sanksi Pidana Mati Bagi Pelaku

Tindak Pidana Narkotika Putusan No. 1599 K/Pid.Sus/2012 ... 57

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 63 B. Saran ... 64


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin komplek seiring dengan perkembangan zaman yang begitu pesat membuat manusia melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhannya. Tentu tidak semua cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat dibenarkan, salah satunya adalah dengan melakukan kejahatan yang bertentangan dengan norma masyarakat. Berbagai bentuk kejahatan semakin berkembang. Salah satunya yakni kejahatan narkoba, yang saat ini menjaditrenddi seluruh lapisan dunia tidak terkecuali di Indonesia.1

Meskipun narkoba sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkoba secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa.

1

M. Dody Sutrisna Dkk,Pertanggungjawaban Pidana Penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan Oleh Warga Negara Asing, Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Diakses dari www.ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article Pada tanggal 27 Oktober 2014 Pukul 19.03 WIB.


(16)

Penyalahgunaan narkoba adalah suatu bentuk penggunaan narkoba tanpa hak dan melawan hukum. Penyalahgunaan narkoba yang marak terjadi belakangan ini tidak hanya dilakukan oleh Warga Negara Indonesia (WNI), namun juga oleh Warga Negara Asing (WNA). WNA yang terlibat tidak hanya berasal dari satu negara saja namun berasal dari berbagai negara yang berbeda dengan modus serta tujuan yang berbeda.

Penyalahgunaan narkoba berkaitan erat dengan peredaran gelap sebagai bagian dari dunia tindak pidana internasional. Mafia perdagangan gelap memasok narkoba agar orang memiliki ketergantungan sehingga jumlah supply meningkat. Terjalinnya hubungan antara pengedar/bandar dengan korban membuat korban sulit melepaskan diri dari pengedar/bandar, bahkan tidak jarang korban juga terlibat peredaran gelap karena meningkatnya kebutuhan dan ketergantungan mereka akan narkoba.2

Undang-Undang Narkoba yang terdiri dari Undang-Undang Psikotropika No.5 Tahun 1997 dan Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009 mengatur

penyalahgunaan narkoba yang melibatkan WNA serta bentuk

pertangunggjawabannya. Keberadaan Undang-Undang Narkotika merupakan dasar bagi penegakan hukum dalam rangka untuk menjamin ketersediaan obat guna kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, serta kesehatan, dan juga untuk mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.3

2

Lydia Harlina Martono dan Satya Joewana, Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarganya,Jakarta: Balai Pustaka, 2006, hlm. 1.

3

Surachman Andi Hamzah,Kejahatan Narkotika dan Psikotropika, Jakarta: PT. Karya Unipress, 1994, hlm. 83.


(17)

Undang-undang ini juga memuat suatu hukuman yang menimbulkan polemik yaitu pidana mati, polemik ini mengatakan bahwa pidana mati tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan ada juga yang mengatakan bahwa pidana mati masih perlu diterapkan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan narkotika.

Penjatuhan pidana mati terhadap subjek tindak pidana narkotika serta efek jera yang ditimbulkan dari vonis mati oleh pengadilan tetap dilakukan bahkan tidak saja berlaku bagi WNI namun juga terhadap WNA, seperti pada kasus dimana seorang WNA Kebangsaan Inggris yang bernama Gareth Dane Cashmore bersalah melakukan tindak pidana “Percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika, tanpa hak atau melawan hukum, menawarkan untuk dijual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan Narkotika Golongan I bukan tanaman beratnya melebihi 5 gram” (Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009 jo. Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2009).

Penulis menemukan beberapa permasalahan yang menarik dalam pokok perkara Putusan Kasasi Nomor 1599 K/Pid.Sus/2012 tersebut. Di dalam putusan tersebut, pada awalnya yakni di dalam Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1861/PID.Sus/2011/PN.TNG, Gareth Dane Cashmore sebagai terdakwa telah dijatuhi Pidana Seumur Hidup. Namun, setelah diajukan banding yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Penasehat Hukum Terdakwa ke Pengadilan Tinggi Banten, hakim mengadili dalam Putusan Nomor 67/PID/2012/PT.BTN dengan menghukum terdakwa dengan Pidana Mati. Kemudian dilakukan upaya


(18)

hukum kasasi ke Mahkamah Agung oleh Terdakwa Gareth Dane Cashmore, namun Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Gareth Dane Cashmore.

Jaksa Penuntut Umum di dalam memori bandingnya mengemukakan keberatan-keberatan yang pada pokoknya sebagai berikut:

(1) Bahwa ancaman pidana terhadap kasus perkara ini sebagaimana diatur dalam Pasal 114 ayat (2) UU RI No. 35 Tahun 2009 adalah dengan pidana mati. Sedangkan Pengadilan Negeri Tangerang menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan lamanya Seumur Hidup, sedangkan perbuatan Terdakwa adalah perbuatan yang jelas melanggar undang-undang, sehingga Putusan tersebut dirasakan tidak mencerminkan keadilan ditengah-tengah masyarakat: (2) Bahwa penjatuhan hukuman yang relative ringan tidak membawa dampak

tangkal di tengah-tengah masyarakat serta membuat jera bagi pelaku kejahatan serupa.

Jaksa Penuntut Umum banding dan menuntut “Pidana Mati” sesuai Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika:

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).


(19)

Setelah menjalani proses persidangan, majelis hakim Pengadilan Tinggi dalam amar putusannya Nomor 67/PID/2012/PT.BTN menghukum Terdakwa Gareth Dane Cashmore seorang WNA Inggris tersebut dalam amar putusannya mengatakan “menghukum terdakwa oleh karena itu dengan Pidana Mati”. Dalam amar putusan tersebut yang menjadi masalah yakni didasari bahwa penerapan pidana mati tidak sesuai dengan paham Pancasila yang selalu menjunjung tinggi rasa prikemanusiaan yang adil dan beradab.4

Hukuman pidana mati juga diperdebatkan akibat adanya Amandemen Kedua Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa "hak untuk hidup, dan hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.5 Akan tetapi, di Indonesia sendiri sudah ada produk hukum yang mengatur mengenai sanksi pidana mati dan sudah beberapa yang diterapkan.

Produk hukum yang memuat sanksi pidana mati dan sudah diterapkan di Indonesia yaitu pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun, pada kasus ini penulis kurang sependapat terhadap sanksi pidana mati yang dijatuhkan oleh pelaku tindak piana narkotika tersebut. Sehingga penulis ingin mencari tahu dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana mati dalam Putusan Kasasi Nomor 1599 K/Pid.Sus/2012 dimana sebelumnya dalam Putusan Pengadilan Negeri Tangerang Nomor 1861/PID.Sus/2011/PN.TNG, Terdakwa dijatuhi pidana

4

Putusan Nomor Nomor 67/PID/2012/PT.BTN, hlm 30

5

http://internasional.kompas.com/read/2012/10/10/20353083/Hukuman.Mati.Langgar.Konstitusi Diakses pada tanggal 12 November 2014 Pukul 17.00 WIB.


(20)

seumur hidup, dan saat diajukan banding dalam Putusan Nomor 67/PID/2012/PT.BTN Terdakwa dijatuhi hukuman pidana mati.

Berkenaan dengan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti dengan menganalisis putusan tersebut dan menuangkannya ke dalam sebuah skripsi yang berjudul : “Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana Mati terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor: 1599 K/ Pid.Sus/2012)”

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup A. Permasalahan

Berdasarkan uraian dan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika oleh Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor: 1599 K/ Pid.Sus/2012) ? 2. Apakah Putusan Nomor 1599 K/ Pid.Sus/2012 yang dijatuhkan kepada

pelaku tindak pidana narkotika sudah tepat dan memenuhi rasa keadilan?

B. Ruang Lingkup

Ruang lingkup di dalam penelitian ini yaitu hukum pidana dengan kekhususan yang berkaitan dengan penjatuhan pidana mati kepada pelaku tindak pidana narkotika oleh Warga Negara Asing (WNA) berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanggerang dan Pengadilan Tinggi Banten dalam kurun waktu tahun 2014.


(21)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk:

a. Mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika oleh Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor: 1599 K/ Pid.Sus/2012)

b. Mengetahui apakah Putusan Nomor 1599 K/ Pid.Sus/2012 yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana narkotika sudah tepat dan memenuhi rasa keadilan.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:

a. Kegunaan Teoritis

Hasil skripsi ini diharapkan memberikan sumbangsih pemikiran dikalangan akademisi, kalangan pembuat undang-undang serta kalangan yang menggeluti di bidang hukum terutama mengenai pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman serta upaya pencegahan bagi pengguna narkotika bagi semua pihak yang terkait di dalam menegakan hukum. Khususnya penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika .


(22)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya berguna untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.6

Untuk mengetahui tentang dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika Warga Negara Asing (WNA) penulis mengungkapkan dengan teori-teori sebagai berikut:

a. Teori Tujuan Pemidanaan

Pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam mengidentifikasi tujuan pemidanaan, konsep bertolak dari keseimbangan 2 (dua) sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan atau pembinaan individu pelaku tindak pidana.

Dalam pasal 10 KUHP menyebutkan ada 2 ( dua ) jenis pidana yaitu : a. Jenis pidana pokok meliputi :

1. pidana mati 2. pidana penjara 3. pidana kurungan 4. pidana denda

b. Jenis pidana tambahan meliputi : 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim

6

Soerjono Soekanto,Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegak Hukum, Jakarta, Bumi Aksara:1983,hlm.25


(23)

Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yaitu :7 1. Teori Retributive (teori absolut atau teori pembalasan )

Menurut pandangan teori ini, pidana haruslah disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan, karena tujuan pemidanaan menurut mereka adalah memberikan penderitaan yang setimpal dengan tindak pidana yang telah dilakukan.

2. Teori Utilitarian atau Teori Tujuan

Menurut pandangan teori ini, pemidian ini harus dilihat dari segi manfaatnya, artinya pemidanaan tidak semata-mata dilihat hanya sebagai pembalasan belaka melainkan harus dilihat pula manfaatnya bagi terpidana di masa yang akan datang. Teori ini melihat dasar pembenaran pemidanaan itu ke depan, yakni pada perbaikan para pelanggar hukum di masa yang akan datang.

3. Teori Gabungan

Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang akan diharapkan akan menunjang tercapainya tujuan tersebut, atas dasar itu kemudian baru dapat ditetapkan cara, sarana, atau tindakan apa yang akan digunakan.

b. Teori Dasar Pertimbangan Hukum Hakim

Keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan bukan semata-mata peranan hakim sendiri untuk memutuskan, tetapi hakim meyakini bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan didukung oleh alat bukti yang sah

7

Tri Andrisman,asas-asas dan dasar aturan umum hukum pidana Indonesia, Bandar lampung, universitas lampoon, 2011, hlm.82.


(24)

menurut Undang-undang. Adapun hakim akan mempertimbangkan hal-hal yang bersifat yuridis dan non-yuridis :

1. Yuridis yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, dan barang bukti.

2. Non-yuridis dipergunakan untuk mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan ataupun meringankan pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa

Terdapat pula beberapa teori pendekatan yang dapat digunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan suatu perkara yaitu:

1. Teori keseimbangan

Teori keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

2. Teori Pendekatan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi, dalam menjatuhkan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana.

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin


(25)

konsistensi dari putusan hakim.Pendekatan kailmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara,hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau insting sesemata-mata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus di putusnya.

4. Teori Pendekatan pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang di hadapinya setiap hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagai mana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban, maupun masyarakat.

5. TeoriRatio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang lebih relevan dengan pokok perkara yang di sengketaka sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan.

6. Teori Kebijaksanaan

Teori kebijaksanaan mempunyai beberapa tujuan yaitu sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dari suatu kejahatan, sebagai upaya perlindungan terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana, untuk memupuk solidaritas antara keluarga dengan masyarakat dalam rangka membina,


(26)

memelihara dan mendidik pelaku tindak pidana anak, serta sebagai pencegahan umum kasus.8

b. Konsep Teori Keadilan

Keadilan pada dasarnya sifatnya adalah abstrak, dan hanya bisa dirasakan dengan akal dan pikiran serta rasionalitas dari setiap individu atau masyarakat. Keadilan tidak berbentuk dan tidak dapat dilihat namun pelaksanaannya dapat kita lihat dalam perspektif pencarian keadilan. Berikut pandangan ahli tentang keadilan :9

1. Hans Kelsen, menurutnya keadilan tentu saja digunakan dalam hukum, dari segi kecocokan dengan hukum positif terutama kecocokan dengan undang-undang. Ia menggangap sesuatu yang adil hanya mengungkapkan nilai kecocokan relative dengan sebuah norma 'adil' hanya kata lain dari 'benar'.

2. Aristoteles, mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Selanjutnya, membagi keadilan menjadi dua bentuk yaitu; pertama, keadilan distributif, adalah keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang menjamin, mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan seranganserangan ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan menstabilkan kembali dengan cara mengembalikan milik korban yang bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang.

Keadilan mencerminkan bagaimana seseorang melihat tentang hakikat manusia dan bagaimana seseorang memperlakukan manusia. Begitu pula hakim mempunyai kebebasan sepenuhnya untuk menentukan jenis pidana dan tinggi rendahnya suatu pidana, hakim mempunyai kebebasan untuk bergerak pada batas minimum dan maksimum, pidana yang diatur dalam Undang-undang untuk tiaptiap tindak pidana.10 Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara

8

Ahmad Rifai,Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 105-112.

9

http://hadisiti.blogspot.com/2012/11/teori-keadilan-menurut-para-ahli.htmlDiakses pada tanggal 14 November 2014 Pukul 19.05 WIB.

10


(27)

pidana, seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Dimana dalam pertimbangan-pertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu untuk menegakkan hukum (kepastian hukum) dan memberikan keadilan.11

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti.12 Definisi yang berkaitan dengan judul penulisan ini dapat diartikan sebagai berikut, diantaranya adalah:

a. Dasar pertimbangan hakim adalah dasar pemikiran-pemikiran atau pendapat hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan pelaku.13

b. Pidana mati adalah jenis pidana pokok terberat yang diatur dalam Pasal 10 KUHP yang pelaksanaannya berupa perampasan kehidupan seseorang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.14

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.15

11

Nanda Agung Dewantara,Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani Suatu Masalah Perkara Pidana,Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1987, hlm. 50.

12

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,Jakarta: UI Press, 2007, hlm 132.

13

Undang-undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

14

Teguh prtasetyo,hukum pidana,Jakarta,PT Raja Grafindo Persada,2011,hlm.117

15

Satjipto Rahardjo, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, 1998, hlm. 82.


(28)

d. Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.16

e. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis yang dapat menyebabkan penurunan dan perubahankesadraan hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangnya rasa nyeri , dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagai terlampir dalam undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.17

f. Warga Negara Asing (WNA) adalah orang atau badan hukum asing yang berstatus kewarganegaraan asing dan tidak pernah mengajukan permohonan sehingga ia tidak pernah ditetapkan menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) dan/atau Badan Hukum Indonesia, serta tidak disebabkan karena kehilangan Kewarganegaraan Indonesia menurut ketentuan Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia.18

E. Sistematika Penulisan

Sistematika ini memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

16

Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press, 2009, hlm.105.

17

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

18

Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm 235


(29)

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang menguraikan latar belakang masalah dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian umum dari pokok bahasan yang memuat tinjauan umum mengenai pengertian penegrtian narkotika tentang sumber-sumber hukum narkotika.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang membahas suatu masalah yang menggunakan metode ilmiah secara sistematis, yang meliputi pendekatan masalah, sumber, jenis data, prosedur pengumpulan dan pengelolaan. Sehingga dengan demikian memerlukan suatu motode yang jelas dan efektif agar hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat di pertanggungjawabkan.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan penjelasan dan pembahasaan yang mengemukakan hasil penelitian mengenai ketentuan hukum yang mengatur mengenai sanksi pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Warga Negara Asing serta dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika oleh Warga Negara Asing (Studi Putusan Nomor: 1599 K/ Pid.Sus/2012).

V. PENUTUP

Dalam bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan saran-saran dari penulis yang merupakan terobosan


(30)

penyelesaiaan yang berguna dan dapat menambah wawasan hukum khususnya hukum pidana.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Ada beberapa macam istilah tindak pidana yang dipergunakan dalam buku-buku yang dikarang oleh para pakar hukum pidana Indonesia sejak zaman dahulu hingga sekarang. Pada dasarnya semua istilah itu merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “strafbaar feit” yang berarti delik, peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal yang diancam dengan hukum, perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum dan tindak pidana.1 Istilah Tindak Pidana atau strafbaarfeit atau perbuatan pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, barangsiapa melanggar larangan tersebut.2 Adapun beberapa tokoh yang memiliki perbedaan pendapat tentang peristilahan “strafbaarfeit” atau tindak pidana, antara lain :

1) Simons

Tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan

1

Tri Andrisman,Op.Cit.,hlm. 69.

2

Adam Chazawi,Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 71


(32)

atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.3

2) J.Bauman

Perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.4

3) Moeljatno

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut.5

4) Van Hattum

Perkataan “Strafbaar” itu berarti “voor sraaf in aanmerking komend” atau “straaf verdienend” yang juga mempunyai arti sebagai pantas untuk dihukum, sehingga perkataan“strafbaar feit” seperti yang telah digunakan oleh pembentuk undang-undang di dalam kitab undang-undang hukum pidana itu secara “eliptis” haruslah diartikan sebagai suatu “tindakan, yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum” atau suatu “feit terzake van hetwelk een persoon strafbaar is”.6

Unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut:7 1. Perbuatan (manusia);

2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil); dan

3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materiil). 3

Tongat,Op.Cit., hlm.105.

4

Ibid.,hlm.106.

5

Adam Chazawi,Pelajaran Hukum Pidana Bagian I,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.45

6http://hadisiti.blogspot.com/2012/11/teori-keadilan-menurut-para-ahli.html diakses pada Tanggal 23 November 2014 Pukul 23.44 WIB

7

Tri Andrisman, Hukum Pidana: Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia,


(33)

Sejatinya ”pidana” hanyalah sebuah “alat “ yaitu alat untuk mencapai tujuan pemidanaan.8Pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman.9 Pemidanaan atau pengenaan pidana berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di dalam masyarakat, terutama apabila menyangkut kepentingan benda hukum yang paling berharga bagi kehidupan di masyarakat, yaitu nyawa dan kemerdekaan atau kebebasan.

Menurut Sudarto, Pidana tidak hanya enak dirasa pada waktu dijalani, tetapi sesudah orang yang dikenai itu masih merasakan akibatknya berupa ‘cap’ oleh

masyarakat, bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap ini dalam ilmu pengetahuan

disebut ‘stigma’. Jadi orang tersebut mendapat stigma, dan kalau ini tidak hilang,

maka ia seolah-olah dipidana seumur hidup.10

Pemberian pidana dalam arti umum merupakan bidang dari pembentuk undang-undang karena asas legalitas, yang berasal dari zaman Aungklarung, yang singkatannya berbunyi : nullum crimen, nulla peona, sine praevia lege (poenali). Jadi untuk mengenakan poena atau pidana diperlukan undang-undang (pidana) terlebih dahulu. Pembentuk Undang-Undanglah yang menetapakan peraturan tentang pidananya, tidak hanya tentang crimen atau delictumnya, ialah tentang perbuatan mana yang dapat dikenakan pidana.

8

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005, hlm .98.

9

Djoko Prakoso dan Nurwachid,Studi tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hlm. 13.

10


(34)

Menurut R Soesilo, yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.11Sedangkan menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam bukunya kamus hukum, “pidana” adalah “hukuman”.12 Pada hakekatnya sejarah hukum pidana adalah sejarah dari pidana dan pemidanaan yang senantiasa mempunyai hubungan erat dengan masalah tindak pidana.13

Masalah tindak pidana merupakan masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk masyarakat. Di mana ada masyarakat, di situ ada tindak pidana. Tindak pidana selalu bertalian erat dengan nilai, struktur dan masyarakat itu sendiri. Sehingga apapun upaya manusia untuk menghapuskannya, tindak pidana tidak mungkin tuntas karena tindak pidana memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya dapat dikurangi atau diminimalisir intensitasnya.

Mardjono Reksodiputro, menjelaskan bahwa tindak pidana sama sekali tidak dapat dihapus dalam masyarakat, melainkan hanya dapat dihapuskan sampai pada batas-batas toleransi. Hal ini disebabkan karena tidak semua kebutuhan manusia dapat dipenuhi secara sempurna. Disamping itu, manusia juga cenderung memiliki kepentingan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain, sehingga bukan tidak mungkin berangkat dari perbedaan kepentingan tersebut justru muncul berbagai pertentangan yang bersifat prinsipil. Namun demikian, tindak pidana juga tidak dapat dibiarkan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat karena

11

R. Soesilo,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal demi Pasal ,Bogor: Politea, 1994, hlm. 35.

12

Subekti dan Tjitrosoedibio,Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1980, hlm. 83.

13


(35)

dapat menimbulkan kerusakan dan gangguan pada ketertiban sosial. Dengan demikian sebelum menggunakan pidana sebagai alat, diperlukan permahaman terhadap alat itu sendiri. Pemahaman terhadap pidana sebagai alat merupakan hal yang sangat penting untuk membantu memahami apakah dengan alat tersebut tujuan yang telah ditentukan dapat dicapai.

Sudarto berpendapat yang dimaksud dengan pidana ialah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.14 Bila dilihat dari filosofinya, hukuman mempunyai arti yang sangat beragam. R. Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah “pidana” dan ia merumuskan bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan tidak enak (sangsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.15 Feurbach menyatakan, bahwa hukuman harus dapat mempertakutkan orang supaya jangan berbuat jahat.16

Secara umum istilah pidana sering kali diartikan sama dengan istilah hukuman. Tetapi kedua istilah tersebut sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda. Menurut penulis, pembedaan antara kedua istilah di atas perlu diperhatikan, oleh karena penggunaannya sering dirancukan. Hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang. Sedang pidana merupakan pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai pengertian khusus, masih juga ada

14

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 2.

15

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996, hlm. 35.

16


(36)

persamaannya dengan pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan.17

2. Jenis-jenis Sanksi Pidana

Pada waktu Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie mulai berlaku di Indonesia berdasarkan Koninjklijk Besluit tanggal 15 Oktober 1915 Nomor 33, Staatsblad tahun 1915 Nomor 732 Nomor 732 jo Staatsblad tahun 1917 Nomor 497 dan Nomor 645, hukum pidana di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1918 hanya mengenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Wetboek van Strafrechts voor Nederland Indie berdasarkan Pasal VI Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, namanya diubah menjadi Kitab Undang-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Pasal 10 KUHP dikenal dua jenis pidana, yaitu pidana pokok yang terdiri dari :

(1) Pidana mati; (2) Pidana penjara; (3) Pidana kurungan;

(4) Pidana denda (oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 ditambah dengan pidana tutupan).

Adapun pidana tambahan terdiri dari : (1) Pencabutan hak-hak tertentu;

(2) Perampasan barang-barang tertentu; dan (3) Pengumuman putusan hakim.

Jenis-jenis pidana seperti yang termuat didalam Pasal 10 KUHP telah dirumuskan dengan tidak terlepas dari keadaan masyarakat yang ada pada saat KUHP

17

Andi Hamzah, Stelsel Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: PT. Pradya Paramita, 1993, hlm. 1.


(37)

dibentuk. Dengan demikian memang tidak berlebihan jika dalam penyusunan rancangan KUHP baru Indonesia yang akan menggantikan KUHP yang berasal dari WvS, perlu dilakukan peninjauan ulang mengenai jenis pidana untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi yang berkembang saat ini. Salah satu macam dari jenis pidana pokok yang perlu mendapat perhatian adalah pidana mati yang sudah sejak lama selalu menjadi kontroversi.

B. Tinjauan Mengenai Pemidanaan

L.H.S Hullsman pernah mengemukakan bahwa system pemidanaan (the sentencing system)adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and punishment).18 Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga sesorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundan-undangan mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.

Barda nawawi arief bertolak dari pengertian diatas menyatakan apabila aturan-aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang

18

Barda Nawawi Arief,Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm.129


(38)

perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.

Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum pidana substantif tersebut terdiri dari aturan umum ( general rules ) dan aturan khusus (special rules) aturan umum terdapat di dalam KUHP Buku I dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam undang-undang khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.19

Pada dasarnya penjatuhan pidana atau pemidanaan dibagi atas tiga teori, yaitu : 1.Teori Retributiveatau Teori Pembalasan

Teori retributive atau teori pembalasan ini menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk :

a. Tujuan pidana dalah semata-mata untuk pembalasan.

b. Pembalasana adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahtraan masyarakat. c. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana.

d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar

e. Pidana melihat ke belakang, merupakan pelecehan murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.20

19

Ibid,hlm.135

20

Muladi dan Barda Nawawi Arief,Teori-Teori dan kebijakan pidana,Bandung, Alumni, 1998, hlm.17


(39)

2. Teori Utilitarian atau Teori Tujuan

Teori utilitarian menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk : a. Pencegahan (prevention)

b. Pencegahan bukan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia.

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipermasalahkan kepada pelaku saja ( misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana.

d. Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan.

e. Pidana melihat ke muka ( bersifat prospektif ) pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahtraan masyarakat.21

3. Teori Gabungan

Ide dasar dari teori gabungan ini, pada jalan pikiran bahwa pidana itu hendaknya merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyaraka, yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan dan keadaan si pembuatnya

Aliran gabungan ini berusaha untuk memuaskan semua penganut teori pembalasan maupun tujuan. Untuk perbuatan jahat keinginan masyarakat untuk membalas dendam direspon, yaitu dengan dijatuhi pidana penjara terhadap penjahat/narapidana, namun teori tujuan pun pendapatnya diikuti yaitu terhadap

21


(40)

penjahat/narapidana diadakan pembinaan, agar sekeluarnya dari penjara tidak melakukan tindak pidana lagi.22

C. Tindak Pidana Narkotika

1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukannya.23

Dasar Hukum Tindak Pidana Narkotika adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Menurut Pasal 1 Ayat (1) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa peredaran adalah setiap atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan. Pasal 1 Ayat (6) Undang-Undang Nomor 35 Tahun

22

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum,Jakarta, Bumi Aksara, 1983, hlm 83

23

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1986.


(41)

2009 tentang Narkotika menjelaskan bahwa perdagangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka pembelian dan/atau penjualan, termasuk penawaran untuk menjual narkotika, dan kegiatan lain berkenaan dengan pemindahtanganan narkotika dengan memperoleh imbalan.

Istilah yang sebenarnya lebih tepat digunakan untuk kelompok zat yang dapat mempengaruhi system kerja otak ini adalah NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif) karena istilah ini lebih mengacu pada istilah yang digunakan dalam Undang- Undang Narkotika dan Psikotropika. Narkoba atau lebih tepatnya Napza adalah obat, bahan dan zat yang bukan termasuk jenis makanan. Oleh sebab itu jika kelompok zat ini dikonsumsi oleh manusia baik dengan cara dihirup, dihisap, ditelan, atau disuntikkan maka ia akan mempengaruhi susunan saraf pusat (otak) dan akan menyebabkan ketergantungan. Akibatnya, system kerja otak dan fungsi vital organ tubuh lain seperti jantung, pernafasan, peredaran darah dan lain-lain akan berubah meningkat pada saat mengkonsumsi dan akan menurun pada saat tidak dikonsumsi (menjadi tidak teratur).24

Perkataan Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu “narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Sebagian orang berpendapat bahwa narkotika berasal dari kata “narcissus” yang berarti sejenis tumbuha-tumbuhan yang mempunyai bungan yang dapat menyebabkan orang menjadi tidak sadarkan diri.25 Sebelum lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Narkotika, di Indonesia belum

24

Lydia Harlina Martono dan Satya Joewana,Op.Cit., hlm. 5.

25

Hari Sasangka,Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003. hlm. 35.


(42)

dibedakan secara jelas antara narkotika dan psikotropika sehingga seringkali dikelompokkan menjadi satu.

M. Ridha Ma’roef menyebutkan bahwa narkotika ada dua macam yaitu narkotika alam dan narkotika sintetis. Yang termasuk dalam kategori narkotika alam adalah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein dan cocaine. Narkotika ala mini termasuk dalam pengertian narkotika secara sempit sedangkan narkotika sitetis adalah pengertian narkotika secara luas dan termasuk didalamnya adalah Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.26

Golongan Obat yang sering disalahgunakan secara klinik dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu :

a. Obat Narkotik seperti candu, morphine, heroin dan sebagainya. b. Obat Hallusinogen seperti ganja, LSD, mescaline dan sebagainya.

c. Obat Depresan seperti obat tidur (hynotika), obat pereda (sedativa) dan oba penenang (tranquillizer).

d. Obat Stimulant seperti amfetamine, phenmetrazine.

2. Narkotika dalam Pengaturan Perundang-undangan Indonesia

Perundang-undangan yang mengatur tentang narkotika dapat dibagi menjadi beberpa tahap yaitu :

1). Masa berlakunya berbagai Ordonantie Regie

Pada masa ini pengaturan tentang narkotika tidak seragam karena setiap wilayah mempunyai Ordonantie Regie masingmasing seperti Bali Regie Ordonantie, Jawa Regie ordonantie, Riau Regie Ordonantie, Aceh Regie Ordonantie, Borneo Regie

26


(43)

Ordonantie, Celebes Regie Ordonantie, Tapanuli Regie ordonantie, Ambon Regie Ordonantie dan Timor Regie Ordonantie. Dari berbagai macam Regie Ordonantie tersebut, Bali Regie Ordonantie merupakan aturan tertua yang dimuat dalam Stbl 1872 No. 76. Disamping itu narkotika juga diatur dalam :

a). Morphine Regie Ordonantie Stbl 1911 No. 373, Stbl 1911 No. 484 dan No. 485;

b). Ookust Regie Ordonantie Stbl 1911 No. 494 dan 644, Stbl 1912 No. 255; c). Westkust Regie Ordonantie Stbl 1914 No.562, Stbl 1915 No. 245;

d). Bepalingen Opium Premien Stbl 1916 No. 630.

2). Berlakunya Verdovende Midellen Ordonantie (Stbl 1927 Nomor 278 jo Nomor 536)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 131 I.S peraturan tentang Obat Bius Nederland Indie disesuaikan dengan peraturan obat bius yang berlaku di Belanda (asas konkordansi). Gubernur Jenderal dengan persetujuan Raad Van Indie mengeluarkan Stbl 1927 No. 278 jo No. 536 tentang Verdovende Midellen Ordonantie yang diterjemahkan dengan Undang Obat Bius. Undang-Undang ini bertujuan untuk menyatukan pengaturan mengenai candu dan obat-obat bius lainnya yang tersebar dalam berbagai ordonantie. Di dalam Undang-Undang ini juga dilakukan perubahan serta mempertimbangkan kembali beberpa hal tertentu yang telah diatur dalam peraturan sebelumnya. Verdovende Midellen Ordonantie Stbl 1927 No. 278 jo No. 536 tanggal 12 Mei 1927 dan mulai berlaku pada 1 Januari 1928. Ketentuan Undang- Undang ini kemudian menarik 44 Perundang-undangan sebelumnya guna mewujudkan unifikasi hukum pengaturan narkotika di Hindia Belanda.


(44)

3) . Berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika;

Undang-Undang ini mengatur secara lebih luas mengenai narkotika dengan memuat ancaman pidana yang lebih berat dari aturan sebelumnya. Undang-Undang No. 9 tahun 1976 ini diberlakukan pada tanggal 26 Juli 1976 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI No. 3086. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah sebagai berikut :

a. Mengatur jenis-jenis narkotika secara lebih terinci;

b. Pidananya sepadan dengan jenis-jenis narkotika yang digunakan;

c. Mengatur tentang pelayanan kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasinya; d. Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika meliputi penanaman,

peracikan, produksi, perdagangan, lalu-lintas pengangkutan serta penggunaan narkotika;

e. Acara pidananya bersifat khusus;

f. Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran tindak pidana narkotika;

g. Mengatur kerja sama internasional dalam penanggulangan narkotika;

h. Materi pidananya banyak yang menyimapng dari KUHP dan ancaman pidana yang lebih berat.

Latar belakang digantinya Verdovende Midellen Ordonantie Stbl 1927 No. 278 jo No. 536 dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 ini dapat dilihat pada penjelasan UU No. 9 Tahun 1976, diantaranya adalah hal-hal yang menjadi pertimbangan sehubungan dengan perkembangan sarana perhubungan modern baik darat, laut maupun udara yang berdampak pada cepatnya penyebaran perdagangan gelap narkotika di Indonesia.


(45)

4). Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.

Undang-Undang ini berlaku pada tanggal 1 September 1997 dan dimuat dalam Lembaran negara RI Tahun 1997 No. 3698. adapun yang menjadi latar belakang diundangkannya UU No. 22 Tahun 1997 ini yaitu apeningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Tindak pidana narkotika pada umumnya tidak dilakukan secara perorangan dan berdiri sendiri melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara mantap, rapi dan rahasia. Disamping itu tindak pidana narkoba yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil tindak pidana narkoba. Perkembangan kualitas tindak pidana narkoba tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia.

Selain itu mengingat bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 dengan mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-undang No. 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ini mempunyai cakupan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan peraturan yang pernah ada sebelumnya baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun ancaman pidanaan yang diperberat.


(46)

3. Penggolongan Narkotika

Dalam Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang narkotika dalam pasal 2 ayat (2) disebutkan, bahwa narkotika digolongkan menjadi 3 golongan, antara lain : 1). Narkotika Golongan I

Adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Yang termasuk narkotika golongan I ada 26 macam. Yang popular disalahgunakan adalah tanaman Genus Cannabis dan kokaina. Cannabisdi Indonesia dikenal dengan namaganja atau biasa disebut anak muda jaman sekarang cimeng, Sedangkan untuk Kokainaadalah bubuk putih yang diambil dari daun pohon koka dan menjadi perangsang yang hebat.

Jenis-jenis narkotika golongan I seperti tersebut diatas dilarang untuk diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi kecuali dalam jumlah terbatas untuk kepentingan tertentu. Hal ini diatur pada pasal 9 ayat 1 Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika :

Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan dengan pengawasan yang ketat dari Menteri Kesehatan.” Dalam hal penyaluran narkotika golongan I ini hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat-obatan tertentu dan/atau pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan untuk kepntingan pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 37 Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika.


(47)

2). Narkotika golongan II

Menurut pasal 2 ayat (2) huruf b, narkotika golongan ini adalah narkotika yang berkhsasiat dalam pengobatan dan digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Jenis narkotika golongan II yang paling populer digunakan adalah jenis heroinyang merupakan keturunan dari morfin. Heroin dibuat dari pengeringan ampas bunga opium yang mempunyai kandungan morfindan banyak digunakan dalam pengobatan batuk dan diare. Ada juga heroin jenis sintetis yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit disebut pelhipidinedan methafone. Heroin dengan kadar lebih rendah dikenal dengan sebutan putauw.

Putauw merupakan jenis narkotika yang paling sering disalahgunakan. Sifat putauw ini adalah paling berat dan paling berbahaya. Putauw menggunakan bahan dasar heroindengan kelas rendah dengan kualitas buruk dan sangat cepat menyebabkan terjadinya kecanduan. Jenis heroin yang juga sering disalahgunakan adalah jenis dynamite yang berkualitas tinggi sedangkan brown atau Mexican adalah jenis heroinyang kualitasnya lebih rendah dari heroin putih atau putauw.

3). Narkotika golongan III

Narkotika golongan III sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 2 ayat (2) huruf c Undang-undang No.22 tahun 1997 tentang Narkotika adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan dalam ketergantungan. Kegunaan narkotika ini adalah sama dengan narkotika


(48)

golongan II yaitu untuk pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara memproduksi dan menyalurkannya yang diatur dalam satu ketentuan yang sama dengan narkotika golongan II. Salah satu narkotika golongan II yang sangat populer adalah kodein. Kodein ini ditemukan pada opium mentah sebagai kotoran dari sejumlah morfin.

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

Fungsi hakim berbeda dengan pejabat-pejabat lain, ia harus benar-benar menguasai hukum sesuai dengan system yang dianut Indonesia dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Hakim harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasehat hukum untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula penuntut umum. Semua itu dimaksudkan untuk menemukan kebenaran materiil dan pada akhirnya hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya.27

1. Pengertian Dasar Pertimbangan Hakim

BAB IX Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 dan pasal 25 menjamin adanya suatu kekuasaan kehakiman yang bebas, serta penjelasan pada Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No.48 Tahun 2009, yaitu Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

27


(49)

Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa: dalam sidang pemusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan.28

Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap pemeriksaan melalui proses acara pidana, keputusan hakim haruslah selalu didasarkan atas surat pelimpahan perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa. Selain itu keputusan hakim juga harus tidak boleh terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan hasil sidang pengadilan. Memproses untuk menentukan bersalah tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, hal ini semata-mata dibawah kekuasaan kehakiman, artinya hanya jajaran departemen inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang datang untuk diadili.

Sejalan dengan tugas hakim yakni kemampuan untuk menumbuhkan putusan-putusan atau yang dapat diterima masyarakat. Apalagi terhadap penjatuhan putusan bebas yang memang banyak memerlukan argumentasi konkrit dan pasti, kiranya pantaslah status hakim sebagaimana ditentukan Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelanggarakan negara hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum dan keadilan berdasarkan hukum Indonesia.

28

Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Tehnik Penyusunan dan Permasalahannya.Bandung: Citra Adtya Bakti, 2010, hlm. 55


(50)

Dasar pertimbangan hakim harus berdasarkan pada keterangan saksi-saksi, barang bukti, keterangan terdakawa, dan alat bukti surat dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, serta unsur-unsur pasal tindak pidana yang disangkakan kepada terdakwa. Karena putusan yang dibuktikan adalah sesuai dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Selain itu juga dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap terdakwa harus berdasarkan keterangan ahli (surat visum et repertum), barang bukti yang diperlihatkan di persidangan, pada saat persidangan terdakwa berprilaku sopan, terdakwa belum pernah di hukum, terdakwa mengakui semua perbuatannya dan apa yang diutarakan oleh terdakwa atau saksi benar adanya tanpa adanya paksaan dari pihak manapun.

2. Bentuk-Bentuk Putusan Hakim

Berdasarkan pada teori dan praktik peradilan maka putusan hakim itu adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara.29

Berkaitan pada penjelasan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa putusan hakim pada hakikatnya merupakan:30

1. Putusan yang diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum. Putusan hakim menjadi sah dan mempunyai kekuatan hukum

29

Ibidhlm.121.

30


(51)

maka haruslah diucapkan dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum.

2. Putusan dijatuhkan oleh hakim setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan sah.

3. Berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntuan hukum.

4. Putusan hakim dibuat dalam bentuk tertulis. Persyaratan bentuk tertulis ini tercermin dalam ketentuan pasal 200 KUHAP bahwa “ surat keputusan ditandatangani oleh Hakim dan Panitera seketika setelah putusan itu diucapkan”. Bentuk tertulis ini dimaksudkan agar putusan dapat diserahkan kepada pihak yang berkepentingan, dikirim ke Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung Republik Indonesia apabila satu pihak akan melakukan upaya hukum banding atau kasasi, bahkan publikasi, dan sebagai arsip untuk dilampirkan dalam berkas perkara.

5. Putusan Hakim dibuat dengan tujuan untuk menyelesaikan perkara pidana. Apabila Hakim telah mengucapkan putusan, secara formal perkara pidana tersebut pada tingkat Pengadilan Negeri telah selesai.

Putusan Hakim/ pengadilan dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu : a. Putusan Akhir

Putusan akhir ini dalam praktiknya disebut dengan istilah “putusan” atau “einds vonnis” dan merupakan jenis putusan yang bersifat materiil. Putusan ini dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir dipersidangan


(52)

sampai dengan pokok perkara selesai diperiksa (Pasal 182 Ayat (3) dan (8), serta Pasal 199 KUHAP ).

Secara teoritik dan praktik putusan akhir ini dapat berupa : a. Putusan bebas (Vrijspraak/acquittal)

Pasal 191 Ayat (1) KUHAP:”Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di siding, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

b. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (Onslag van alle Rechtsvervolving).

Pasal 191 Ayat (2) KUHAP:”Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Perbandingan antara putusan bebas dan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain ditinjau dari segi pembuktian dan ditinjau dari segi penuntutan. Sedangkan pada putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan bukan merupakan perbuatan tindak pidana.

c. Putusan pemidanaan (Veroordeling)

Pasal 193 Ayat 1 KUHAP : “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.


(53)

Bentuk putusan yang bukan akhir dapat berupa penetapan atau putusan sela (tussen-vonnis). Putusan jenis ini ada dalam ketentuan Pasal 148 dan Pasal 156 Ayat (1) KUHAP. Putusan yang bukan putusan akhir berupa :

1. Penetapan yang menentukan “ tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu perkara”(verklaring van onbevoegheid ).

2. Putusan yang menyatakan dakwaan jaksa/penuntut umum batal demi hukum (nietig van rechtswg/mull and void), hal ini diatur oleh ketentuan Pasal 143 Ayat (3) KUHAP.

3. Putusan yang berisikan dakwaan jaksa/penuntut umum tidak dapat diterima(niet ontvandelijk) sebagaimana ketentuan Pasal 156 Ayat (1) KUHAP.


(54)

III. METODE PENELITIAN

Untuk memecahkan masalah guna memberikan petunjuk pada permasalahan yang akan di bahas dan dapat di pertanggung jawabkan kebenaranya maka dalam penelitian ini di perlukan metode tertentu. Adapun metode penelitian penelitian yang digunakan dalam kerangka penulisan ini adalah :

A. Pendekatan Masalah

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, penelitian yuridis normatif yaitu pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama atau mempergunakan data sekunder yang diantaranya adalah dengan mempelajari dan menelaah perundang-undangan, asas-asas, mempelajari kaedah hukum, teori-teori, doktrin-doktrin. Pendekatan ini dikenal dengan nama pendekatan kepustakaan atau studi dokumentasi. Sedangkan pendekatan yuridis empiris yaitu meneliti perundang-undangan dan kepustakaan di bidang hukum yang berkaitan dengan masalah diatas. Kemudian penelitian hukum empiris dilakukan dengan memperoleh data dari data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari Pengadilan Negeri sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian lapangan, yang dilakukan baik melalui pengamatan dan wawancara. Penelitian hukum sebagai penelitian empiris dapat direalisasikan


(55)

kepada penelitian terhadap efektivitas hukum yang berlaku ataupun penelitian terhadap identifikasi hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sudut sumbernya dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka.1Adapun didalam mendapatkan data atau jawaban yang tepat didalam membahas skripsi ini, serta sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan didalam penelitian ini maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Data Primer

Data primer adalah data empiris yang diperoleh langsung dari sumber data2 dan metode pengumpulan data primer dengan cara, yaitu dengan wawancara yang dilakukan kepada Hakim Pengadilan Tinggi Banten serta wawancara terhadap dosen fakultas hukum universitas lampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan bahan-bahan hukum, jenis data sekunder yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, terdapat dalam peraturan perundang-undangan: 1. Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk 1

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,Op.Cit.,hlm. 11.

2


(56)

Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisis serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas didalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi, petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain berupa kamus besar bahasa Indonesia, media masa, artikel, makalah, naskah, paper, jurnal, internet, yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah pihak-pihak yang dijadikan sumber informasi didalam suatu penelitian dan memiliki pengetahuan serta informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Narasumber dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


(57)

1. Hakim Pada Pengadilan Negeri Tangerang : 1 orang 2. Hakim Pada Pengadilan Tinggi Banten : 1 orang 3. Dosen Bangian Hukum Pidana Fakultas : 1 orang

Hukum Universitas Lampung

Jumlah : 3 orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data.

1. Metode pengumpulan Data.

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara yaitu:

a. Studi Kepustakaan (library research), merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, mengutip dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, buku-buku, media masa dan bahan hukum tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. b. Studi lapangan, yaitu pengumpulan data yang dilakukan untuk

memperoleh data primer dengan menggunakan teknik wawancara terbuka kepada responden, materi-materi yang akan dipertanyakan telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh penulis sebagai pedoman, metode ini digunakan agar responden bebas memberi jawaban–jawaban dalam bentuk uraian-uraian


(58)

2. Pengolahan Data

Data yang diperoleh baik dari hasil studi kepustakaan dan wawancara selanjutnya diolah dengan menggunakan metode:

a. Seleksi data, yaitu data yang diperoleh diperiksa dan diteliti mengenai kelengkapan, kejelasan, kebenaran, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data yang telah diseleksi dengan mempertimbangkan jenis dan hubungannya guna mengetahui tempat masing-masing data.

c. Sistematisasi data adalah penyusunan data secara sistematis sesuai dengan pokok bahasa sehingga memudahkan menganalisis data.

Tahap-tahap pengolahan data tersebut bertujuan untuk mempermudah dalam menganalisis serta mempermudah menarik kesimpulan.

E. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif, komprehensif, dan lengkap. Analisis kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman secara induktif3 Sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai keefiktivitasan pemidanaan, sehinga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang akan diteliti. Dari hasil efektivitas tersebut dapat dilanjutkan dengan metode penarikan kesimpulan secara induktif, yaitu cara berpikir dalam menarik kesimpulan yang didasarkan fakta-fakta yang

3


(59)

bersifat khusus, kemudian dilanjutkan dalam pengambilan kesimpulan yang bersifat umum, serta dapat diajukan saran-saran.


(60)

V. PENUTUP

A.Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik Simpulan sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika oleh warga Negara asing adalah berdasarkan aspek yuridis yaitu keterangan saksi antara lain petugas Bea dan Cukai di Bandara Soekarno Hatta, keterangan ahli di bidang narkotika yaitu BNN, keterangan terdakwa Gareth Dane Cashmore, dan barang bukti berupa narkotika golongan 1 seberat 6500 gram. Aspek non yuridis dipergunakan untuk mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan ataupun meringankan pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa. Selain itu juga hakim dalam memutus mengacu pada teori retributive (teori absolut atau teori pembalasan).

2. Penjatuhan pidana mati dilihat dari segi masyarakat sudah memenuhi rasa keadilan karena narkotika yang dibawa oleh terdakwa adalah narkotika golongan 1 seberat 6500 gram dan berpotensi merusak generasi bangsa sehingga penjatuhan pidana mati layak dijatuhkan untuk terdakwa, tetapi bagi terdakwa pidana mati belum memenuhi rasa keadilan. Terdakwa merupakan


(61)

kurir serta peran terdakwa cukup ringan dibandingkan dengan Bandar narkotika selain itu terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Pada perkara pidana narkotika dimana pelakunya akan dijatuhi hukuman pidana mati, seharusnya hakim lebih cermat dalam menghadapi ini, tidak lagi terjadi perbedaan penjatuhan hukuman di pengadilan negeri yang sebelumnya menjatuhkan hukuman pidana seumur hidup kemudian pengadilan tinggi dan mahkamah agung menjatuhkan hukuman pidana mati karena hanya pidana matilah yang cocok untuk tindak pidana penyalahgunaan narkotika, narkotika juga merupakan kejahatan luar biasa sehingga penanganan terhadap kejahatan narkotika harus dengan cara yang luar biasa pula.

2. seharusnya hakim dalam menjatuhkan putusan harus melihat sisi keadilan bagi terdakwa maupun masyarakat, agar tidak ada yang merasa dirugikan atau merasa tidak adil terhadap putusan hakim. Dalam perkara pidana narkotika dimana pelaku akan dijatuhkan pidana mati memang adil bagi masyarakat dan tidak adil bagi terdakwa, tetapi narkotika merupakan kejahatan luar biasa karena berpotensi merusak generasi bangsa sehingga pidana mati dirasa adil untuk terdakwa.


(1)

✠ ✡

bersifat khusus, kemudian dilanjutkan dalam pengambilan kesimpulan yang bersifat umum, serta dapat diajukan saran-saran.


(2)

63

V. PENUTUP

A.Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat ditarik Simpulan sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika oleh warga Negara asing adalah berdasarkan aspek yuridis yaitu keterangan saksi antara lain petugas Bea dan Cukai di Bandara Soekarno Hatta, keterangan ahli di bidang narkotika yaitu BNN, keterangan terdakwa Gareth Dane Cashmore, dan barang bukti berupa narkotika golongan 1 seberat 6500 gram. Aspek non yuridis dipergunakan untuk mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan ataupun meringankan pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa. Selain itu juga hakim dalam memutus mengacu pada teori retributive (teori absolut atau teori pembalasan).

2. Penjatuhan pidana mati dilihat dari segi masyarakat sudah memenuhi rasa keadilan karena narkotika yang dibawa oleh terdakwa adalah narkotika golongan 1 seberat 6500 gram dan berpotensi merusak generasi bangsa sehingga penjatuhan pidana mati layak dijatuhkan untuk terdakwa, tetapi bagi terdakwa pidana mati belum memenuhi rasa keadilan. Terdakwa merupakan


(3)

64

kurir serta peran terdakwa cukup ringan dibandingkan dengan Bandar narkotika selain itu terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Pada perkara pidana narkotika dimana pelakunya akan dijatuhi hukuman pidana mati, seharusnya hakim lebih cermat dalam menghadapi ini, tidak lagi terjadi perbedaan penjatuhan hukuman di pengadilan negeri yang sebelumnya menjatuhkan hukuman pidana seumur hidup kemudian pengadilan tinggi dan mahkamah agung menjatuhkan hukuman pidana mati karena hanya pidana matilah yang cocok untuk tindak pidana penyalahgunaan narkotika, narkotika juga merupakan kejahatan luar biasa sehingga penanganan terhadap kejahatan narkotika harus dengan cara yang luar biasa pula.

2. seharusnya hakim dalam menjatuhkan putusan harus melihat sisi keadilan bagi terdakwa maupun masyarakat, agar tidak ada yang merasa dirugikan atau merasa tidak adil terhadap putusan hakim. Dalam perkara pidana narkotika dimana pelaku akan dijatuhkan pidana mati memang adil bagi masyarakat dan tidak adil bagi terdakwa, tetapi narkotika merupakan kejahatan luar biasa karena berpotensi merusak generasi bangsa sehingga pidana mati dirasa adil untuk terdakwa.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Andrisman, Tri. 2011. Hukum Pidana: Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung. Arief, Barda Nawawi. 2005. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung:

Citra Aditya Bakti.

Chazawi, Adam. 2002. Pelajaran Hukum Pidana bagian I. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Dewantara, Nanda Agung. 1987.Masalah Kebebasan Hakim dalam Menangani Suatu Masalah Perkara Pidana,Jakarta: Aksara Persada Indonesia.

Friedrich, Carl Joachim. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis Bandung: Nuansa dan Nusamedia.

Hamzah, Andi. 1993. Stelsel Pidana dan Pemidanaan di Indonesia. Jakarta: PT. Pradya Paramita.

---. 1994. Kejahatan Narkotika dan Psikotropika. Jakarta: PT. Karya Unipress.

---. 1996.Hukum Acara Pidana Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika.

---.1986. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Martono, Lydia Harlina dan Satya Joewana. 2006.Membantu Pemulihan Pecandu Narkoba dan Keluarganya.Jakarta: Balai Pustaka.

Mertokusumo, Sudikno. 1993.Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 2.


(5)

Mulyadi, Lilik. 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Tehnik Penyusunan dan Permasalahannya. Bandung: Citra Adtya Bakti.

Prakoso, Djoko dan Nurwachid. 1983. Studi tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum.

R. Soesilo, 1996.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia Bogor, hlm. 35.

Rifai, Ahmad. 2011. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif.Jakarta: Sinar Grafika.

Sasangka, Hari. 2003. Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegak Hukum. Jakarta: Bumi Aksara.

---. 2007.Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta: UI-Pres.

Soesilo, R. 1994. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal,Bogor: Politea.

Subekti dan Tjitrosoedibio. 1980.Kamus Hukum. Jakarta : Pradnya Paramita. Sudarto. 1973.Masalah-Masalah Hukum.Semarang: Fakultas Hukum Undip. ---. 1986.Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

---. 1986.Kapita Selekta Hukum Pidana.Bandung: Alumni

Tongat. 2009. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan.Malang: UMM Press.

B. Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946joUndang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


(6)

C. Internet

www.ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article

http://internasional.kompas.com/read/2012/10/10/20353083/Hukuman.Mati.Lang gar.Konstitusi

http://hadisiti.blogspot.com/2012/11/teori-keadilan-menurut-para-ahli.html http://digilib.unila.ac.id

http://areiinlander.blogspot.com/2010/11/hukum-pidana-mati-dalam-perspektif-ham.htm