PERKEMBANGAN KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PROVINSI LAMPUNG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA(2001 – 2012)
ABSTRACT
DEVELOPMENT OF INCOME INEQUALITY IN LAMPUNG
PROVINCE AND AFFECTING FACTORS
(2001 - 2012)
By
MARKUS TRIWAHYUDI
In an economic development are some of the indicators used to assess the success or failure of such development. Income inequality between regions is one of the indicators used to assess the success. Inter-regional income inequality itself is a measure used to describe the inequality in income from each region.
The purpose of this research was to determine the classification of each county/city in the province of Lampung based Typology Klassen and to determine how per capita income, investment, and unemployment affects income inequality in the Lampung Province in the period 2001 to 2012 were calculated based on the williamson index. The method used in this study is Ordinary Least Square or method of least squares.
From the results it can be concluded that income inequality between regions have occurred in the province of Lampung. This is evident from the results of the analysis indicate that the per capita income, investment, and unemployment, either partially or together, significantly affect income inequality in Lampung Province.
Keywords: Typology Klassen, Williamson Index, GDP Per Capita, Investment, Unemployment
(2)
ABSTRAK
PERKEMBANGAN KETIMPANGAN PENDAPATAN DI
PROVINSI LAMPUNG DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHINYA
(2001 – 2012)Oleh
MARKUS TRIWAHYUDI
Dalam sebuah pembangunan ekonomi terdapat beberapa indikator yang digunakan untuk menilai berhasil atau tidaknya pembangunan tersebut. Ketimpangan pendapatan antar wilayah merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan tersebut. Ketimpangan pendapatan antar wilayah itu sendiri merupakan sebuah ukuran yang digunakan untuk menggambarkan ketidakmerataan pendapatan dari masing-masing wilayah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui klasifikasi masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Lampung berdasarkan Tipologi Klassen serta untuk mengetahui bagaimana pendapatan per kapita, investasi, dan jumlah pengangguran berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Lampung pada periode 2001 hingga 2012 yang dihitung berdasarkan indeks williamson. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ordinary Least Square atau metode kuadrat terkecil.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ketimpangan pendapatan antar wilayah telah terjadi di Provinsi Lampung. Ini terbukti dari hasil analisis yang menunjukkan bahwa pendapatan per kapita, investasi, dan jumlah pengangguran, baik secara parsial atau bersama-sama, berpengaruh secara signifikan terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Lampung.
Kata Kunci : Tipologi Klassen, Indeks Williamson, PDRB Per Kapita, Investasi, Pengangguran
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 25 April 1990 di Kotamadya Metro, Lampung. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, dengan dua kakak yang bernama Alm. Andreas Budi Kuncoro dan Emilia Yusanti dari pasangan Alm. Matius Sugito dan Alm. Rosalia Titik Wahyuni.
Penulis mengawali pendidikan di TK Pertiwi Batanghari, Lampung Timur pada tahun1995 dan lulus pada tahun 1996. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan dasar di SD Negeri 1 Nambahdadi, Terbanggi Besar dan lulus pada tahun 2002. Kemudian penulis masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, yakni Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Seputih Mataram pada tahun 2002 dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di Sekolah Menengah Atas di SMA Xaverius Pringsewu dan lulus pada tahun 2008. Kemudian pada tahun 2009 penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung, Jurusan Ekonomi Pembangunan melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
(8)
MOTO
“Semakin tinggi sekolah harus semakin mengenal batas. Bukan semakin menghabiskan makanan orang lain.”
(Pramoedya Ananta Toer)
“Hidup bukan soal menang atau kalah, memaksa kaya atau dipaksa miskin, melainkan soal mencoba menjadi berguna atau tidak.”
(9)
Dengan penuh rasa syukur kepada Sang Pemberi Kehidupan dan dengan ketulusan hatiku, ku persembahkan karya kecilku ini kepada :
Almarhum Bapak, Ibu, dan Kakak lelakiku tercinta yang sudah tenang tertidur. Terima kasih atas waktu yang pernah kurasakan bersama kalian. Meski tak lama, namun masih kurasakan
begitu pekatnya kasih sayang kalian.
Kedua kakakku tercinta Emilia Yusanti dan Vincentius Roni Wijayanto yang rela menjadi pengganti kedua orang tuaku dalam memberikan dukungan moral dan materi dalam hidupku.
Terima kasih atas kasih sayang yang telah kalian berikan kepadaku.
Kekasihku Stephani Oktin Winanda Putri, terima kasih atas waktu-waktu yang sudah dan akan kita lalui.
Dan kepada seluruh sahabatku yang tidak mungkin saya sebutkan satu per satu namanya. Terima kasih atas cerita, cita, dan cinta yang telah kita lalui dan mungkin masih akan kita
(10)
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Sang Sumber Kehidupan atas limpahan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul ”Perkembangan Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Lampung dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 2001 – 2012).” Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Lampung.
Penulis telah banyak menerima bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan serta terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Satria Bangsawan, S.E, M.Si. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.
2. Bapak M.Husaini, S.E, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan dan Ibu Asih Murwiati, S.E, M.E selaku Sekertaris Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Lampung.
3. Bapak Dr.I Wayan Suparta, S.E., M.Si. selaku Pembimbing Utama yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, pengarahan, dan saran dalam proses penyusunan skripsi ini sejak awal hingga akhir kepada penulis.
(11)
ini.
5. Bapak Muhidin Sirat, S.E, M.P. selaku Penguji Utama yang telah memberikan saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak Tiara Dr. Syahfirin Abdulah, S.E., M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan perhatian dan pengarahan kepada penulis selama menjadi Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung.
7. Bapak dan ibu dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah membekali penulis dengan ilmu dan pengetahuan selama menjalani masa perkuliahan. 8. Kedua orang tuaku, Alm. Matius Sugito dan Alm. Rosalia Titik Wahyuni,
serta saudara kandungku Alm. A. Budi Kuncoro dan Emilia Yusanti, terima kasih atas semua kasih sayang yang telah kalian berikan dan terima kasih juga telah menjadi bagian yang indah dalam hidupku.
9. Pakde Jaman, Bude Ngatini, Om Cipto, Bulek Sita, Pakde Jadi, Bude Tatik, Dan Mas Roni yang selalu memberikan dukungan, kritik, dan kehangatan kepada penulis.
10. Semua sahabat SMA Xaverius Pringsewu yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu namanya. Terima kasih atas waktu-waktu yang pernah kita alami bersama.
11. Semua sahabatku di ekonomi pembangunan 2009 tanpa terkecuali, terima kasih atas cerita, canda, dan tawa kalian selama kurang lebih lima tahun
(12)
12. Keluarga besar Kos-kosan Yoben yang seringkali menghadirkan tawa dan kejengkelan selama empat tahun terkahir. Terima kasih atas kenang-kenangan indah yang takkan terlupa.
13. Sahabat-sahabat KKN Kali Pasir, Way Bungur, Lampung Timur. Terima kasih atas waktu yang hangat selama empat puluh hari kita melaksanakan kewajiban perkuliahan di sana.
14. Keluarga besar Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Cabang Bandar Lampung. Terima kasih atas pembelajaran terhadap proses dialektika yang sangat bermanfaat.
15. Kekasihku Stephani Oktin Winanda Putri yang selalu memberikan dukungan, kritik, dan kasih sayang.
16. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga Sang Sumber Kehidupan membalas semua kebaikan dan pengorbanan semua pihak yang disebutkan di atas. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan akan tetapi penulis berharap semoga karya ini berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Bandar Lampung, 20 November 2014 Penulis
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI… ... i
DAFTAR TABEL ... iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian... 7
D. Manfaat Penelitian... 8
E. Ruang Lingkup Penelitian ... 8
F. Kerangka Pemikiran ... 9
G. Hipotesis Penelitian ... 11
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12
A. Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) ... 12
1. Metode Langsung ... 13
2. Metode Tidak Langsung ... 14
B. Teori Pertumbuhan Ekonomi ... 15
C. Pengertian dan Konsep Ketimpangan ... 16
D. Penukuran Ketimpangan ... 19
1. Kurva Lorenz ... 19
2. Indeks Gini ... 20
3. Kriteria Bank Dunia ... 21
4. Indeks Williamson ... 21
5. Teori Kuznets ... 22
E. Definisi Ketenagakerjaan ... 23
F. Teori Ketenagakerjaan ... ... 26
1. Teori Klasik Adam Smith ... 26
(14)
3. Teori Keynes ... 26
4. Teori Harrod-Domar ... 28
G. Tingkat Pengangguran ... 28
H. Investasi ... ... 29
I. Hubungan Pendapatan Per Kapita dan Ketimpangan Pendapatan Wilayah ... ... 34
J. Hubungan Jumlah Pengangguran dan Ketimpangan Pendapatan Wilayah ... ... 35
K. Hubungan Investasi dan Ketimpangan Pendapatan Wilayah ... ... 35
III. METODE PENELITIAN ... 41
A. Jenis dan Sumber Data ... 41
B. Variabel Operasional ... 41
C. Metode Analisis Data ... 42
1. Analisis Tipologi Klassen ... 42
2. Analisis Indeks Williamson ... 44
3. Analisis Regresi ... 46
D. Pengujian Asumsi Klasik ... 47
1. Uji Normalitas ... 48
2. Uji Multikolinearitas ... 49
3. Uji Heteroskedastisitas ... 50
4. Uji Autokorelasi ... 50
E. Pengujian Hipotesis ... 51
1. Uji Parsial (Uji t) ... 51
2. Uji Keseluruhan (Uji F) ... 53
3. Koefisien Determinasi ... 54
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56
A. Gambaran Umum Provinsi Lampung ... 56
B. Analisis Data ... 59
1. Analisa Pertumbuhan Ekonomi dan Tipologi Klassen ... 59
2. Analisis Ketimpangan Ekonomi Regional ... 62
3. Analisis Reresi Berganda ... 63
C. Uji Asumsi Klasik ... 65
1. Deteksi Multikolinearitas ... 65
2. Hasil Uji Heteroskedastisitas ... 66
3. Hasil Uji Autokorelasi ... 67
4. Hasil Uji Normalitas ... 68
D. Uji Hipotesis ... 69
1. Hasil Uji Parsial (Uji t) ... 69
2. Hasil Uji Serempak (Uji F) dan Koefisien Determinasi ... 71
(15)
IV. SIMPULAN DAN SARAN... 79 A. Simpulan ... 79 B. Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(16)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. PDRB Per Kapita ADHK 2000 (2009 – 2012) ... 5
2. Penelitian Terdahulu ... 36
3. Luas Ibu Kota Kabupaten/Kota Di Provinsi Lampung ... 59
4. Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Lampung (2001 – 2012)... 60
5. Indeks Williamson di Provinsi Lampung (2001 – 2012) ... 63
6. Koefisien Regresi dari Perhitungan Regresi Parsial ... 65
7. Hasil Uji Heteoskedastisitas ... 66
(17)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka Pemikiran ... 11
2. Tipologi Klassen untuk Pengidentifikasian Daerah Tertinggal ... 43
3. Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung ... 61
(18)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Tabel Perhitungan Indeks Williamson di Provinsi
Lampung (2001 – 2012)……..………... L.1 2. Data Tipologi Klassen...………... L.2 3. Data Indeks Williamson, Pendapatan Per Kapita, Invesrtasi,
dan Jumlah Pengangguran...………. L.3 4. Hasil Estimasi Regresi Menggunakan OLS……….. L.4 5. Hasil Estimasi Regresi Parsial Antar Variabel
(19)
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tolok ukur keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari
pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar penduduk, antar daerah, dan antar sektor (Kuncoro, 2004). Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami pertumbuhan ekonomi cukup signifikan. Selama delapan tahun terakhir mulai dari tahun 2004 sampai 2011 pertumbuhan ekonomi Indonesia berdasarkan harga konstan tahun 2000 secara rata-rata berada pada angka 4,8 %. Angka tersebut bisa dikatakan cukup baik di tengah krisis yang terjadi di hampir berbagai belahan dunia pada tahun 2007 – 2008. Hal ini dianggap pemerintah sebagai sebuah prestasi tersendiri atas kinerja mereka dalam membuat dan menjalankan kebijakan perekonomiannya. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk terus mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara.
Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator ekonomi secara umum didefinisikan sebagai peningkatan dalam kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang-barang dan jasa. Dengan kata lain pertumbuhan ekonomi lebih merujuk pada perubahan yang bersifat kuantitatif
(20)
(quantitative change) dan biasanya diukur dengan menggunakan data Produk Domestik Bruto (GDP) atau perdapatan output per kapita. (Muana Nangan, 2001: 279). Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi merupakan perubahan kegiatan ekonomi dalam suatu wilayah dari tahun ke tahun.
Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi harus dibandingkan
pendapatan dari tahun ke tahun yang dihitung berdasarkan harga berlaku atau harga konstan, sehingga perubahan dalam nilai pendapatan hanya disebabkan oleh suatu perubahan dalam tingkat kegiatan ekonomi. Suatu perekonomian dikatakan mengalami suatu perubahan akan perkembangannya apabila tingkat kegiatan ekonomi adalah lebih tinggi daripada yang dicapai pada masa
sebelumnya. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk menunjukkkan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Terdapat variabel ekonomi lain di luar pertumbuhan ekonomi yang menjadi indikator dalam menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi suatu wilayah atau negara, yakni tingkat ketimpangan pendapatan antar wilayah di dalamnya. Ketimpangan pendapatan dalam sebuah proses pembangunan ekonomi adalah sebuah hal yang pasti terjadi dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah. Namun yang menjadi persoalan adalah bahwa perlu upaya-upaya tertentu dalam menekan tingkat ketimpangan yang ada sampai pada titik yang serendah mungkin.
(21)
Di samping fenomena pertumbuhan yang tidak merata, terdapat masalah lain yang juga memiliki pengaruh terhadap ketimpangan pendapatan antar
wilayah, yakni tingkat pengangguaran. Dalam penelitian (Akai dan sakata, 2005) dan (Lesman, 2006) menjelaskan bahwa tingkat pengangguran berhubungan positif dengan ketimpangan wilayah, dengan semakin tinggi tingkat pengangguran maka akan menambah ketimpangan wilayah.
Investasi juga merupakan faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah serta menekan ketimpangan antar wilayah. Investasi dibagi menjadi dua yaitu investasi yang dilakukan swasta (penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN)) dan investasi yang dilakukan pemerintah. Investasiyang merata mempunyai peranan penting untuk meningkatkan perekonomian suatu wilayah melalui penyerapan tenaga kerja pada wilayah tersebut dan menekan ketimpangan pendapatan yang terjadi. Namun di lain sisi, investasi juga dapat menyebabkan ketimpangan antar daerah menjadi semakin parah apabila investasi yang dilakukan terjadi tidak merata. Myrdal (1957) dalam Jhingan (2010) menyatakan bahwa permintaan yang meningkat di wilayah maju akan merangsang investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan menyebabkan putaran kedua investasi dan seterusnya. Lingkup investasi yang lebih baik pada sentra-sentra pengembangan dapat menciptakan kelangkaan modal di wilayah terbelakang.
(22)
Fenomena ketimpangan antar daerah di Indonesia sudah menarik banyak peneliti untuk melakukan kajian terkait permasalahan tersebut. Salah satunya adalah Sabda Imani Rubiarko (2013) yang melakukan penelitan untuk mengkaji apakah aglomerasi, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat ketimpangan di Provinsi Jawa Timur (2008 – 2012). Dari hasil penelitiannya tersebut diketahui bahwa aglomerasi dan tingkat pengangguran berpengaruh positif terhadap
ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Timur. Sementara itu pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh yang negatif terhadap tingkat ketimpangan pendapatan. Terakhir, tingkat pendidikan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Timur.
Secara teoritis meningkatnya kesenjangan antar daerah atau antar masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain: kurangnya pendidikan dan
keterampilan, tidak memiliki faktor produksi seperti tanah dan modal, tidak adanya akses terhadap permodalan dan pemasaran hasil produksi. Kekurangan tersebut akan menyebabkan rendahnya kemampuan berpoduksi, sehingga akan berakibat rendahnya pendapatan keluarga (Almasdi Syahza, 2003).
Provinsi Lampung yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia dan terletak di ujung selatan Pulau Sumatera juga tidak lepas dari permasalahan disparitas pendapatan. Penduduk Provinsi Lampung pada tahun 2010 berjumlah 7.608.405 jiwa dan dengan total pendapatan regional 38.305.277
(23)
milyar rupiah. Dengan pendapatan per kapita pada tahun 2010 sebesar 5.034.600 rupiah.
Salah satu misi Provinsi Lampung adalah membangun dan mengoptimalkan potensi perekonomian daerah dan ekonomi kerakyatan yang tangguh, unggul dan berdaya saing, namun sekali lagi masalah disparitas tetap menjadi permasalahan klasik yang dihadapi provinsi ini. Hal ini dapat diidentifikasi melalui pendapatan per kapita masyarakat pada 14 kabupaten/kota di Provinsi Lampung sebagai berikut:
Tabel 1. PDRB Per Kapita ADHK 2000 (2009 – 2012)
KABUPATEN/KOTA 2009 2010 2011 2012 Rata-rata LAMPUNG BARAT 3.559.641,30 3.602.722,84 3.587.813,66 3.562.110,14 3.578.071,99 TANGGAMUS 4.575.382,06 4.386.128,38 4.617.310,35 3.761.861,98 4.335.170,69 LAMPUNG SELATAN 4.359.525,29 4.765.976,97 4.271.706,28 4.441.041,20 4.459.562,44 LAMPUNG TIMUR 4.302.743,19 4.550.100,85 4.139.886,30 4.307.335,66 4.325.016,50 LAMPUNG TENGAH 4.920.486,88 5.320.494,59 5.566.177,70 4.815.660,68 5.155.704,96 LAMPUNG UTARA 5.610.424,58 5.764.752,99 4.586.528,43 4.837.354,68 5.199.765,17 WAY KANAN 3.654.770,89 3.470.810,25 3.622.155,13 3.317.626,03 3.516.340,58 TULANG BAWANG 5.087.415,88 5.683.164,87 5.712.134,65 4.728.694,88 5.302.852,57 PESAWARAN 3.660.239,05 4.165.567,19 4.404.779,03 3.310.729,46 3.885.328,68 PRINGSEWU 3.427.918,49 3.696.931,51 3.916.763,92 3.260.278,12 3.575.473,01 TULANG BAWANG
BARAT 5.725.342,21 6.015.305,70 4.731.195,76 4.755.900,91 5.306.936,15 MESUJI 6.008.820,94 6.674.461,18 7.006.813,27 4.388.286,56 6.019.595,49 BANDAR LAMPUNG 7.379.655,82 7.417.230,01 5.509.236,31 5.133.158,85 6.359.820,25 METRO 3.898.070,78 3.866.814,83 3.595.744,90 3.996.253,77 3.839.221,07
LAMPUNG 4.833.490,56 5.076.614,37 4.720.372,47 4.362.917,26 4.748.348,67
(24)
Pada tabel 1.1 di atas, dapat dilihat bahwa sejak tahun 2009 tingkat pendapatan per kapita masyarakat pada 14 kabupaten /kota di Provinsi Lampung mengalami fluktuasi dan secara rata-rata memiliki besaran yang berbeda. Jika mengacu pada pendapatan per kapita rata-rata dalam kurun waktu 2009 – 2012, maka Kota Bandar Lampung memiliki tingkat pendapatan per kapita tertinggi, kemudian diikuti oleh Kabupaten Mesuji, dan Tulang Bawang. Sementara untuk Kabupaten Pringsewu dan Lampung Barat secara rata-rata memiliki pendapatan per kapita terendah dibandingkan dengan 12 kabupaten/kota lainnya di Provinsi Lampung. Fakta tersebut merupakan indikasi awal bahwa memang telah terjadi ketimpangan pendapatan antar wilayah di Provinsi Lampung.
Beradasarkan pada uraian di atas, penelitian ini mengambil judul
“
Perkembangan Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Lampung
Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya (2001
– 2012).”B. Rumusan Masalah
Pemerintah (baik pusat maupun daerah) memiliki peran yang sangat penting dalam perencanaan dan pelakasanaan pembangunan ekonomi. Sebuah strategi perencanaan yang matang dan sesuai kebutuhan masyarakat sangat diperlukan dalam upaya pemerataan kesejahteraan masyarakat secara luas. Ini artinya ketimpangan pembangunan yang terjadi di antar wilayah kabupaten/kota di Indonesia harus dapat ditekan.
(25)
Begitu pula dengan ketimpangan yang terjadi di Provinsi Lampung. Pemerintah pusat maupun daerah memiliki peran yang sama dalam upaya pemerataan kesejahteraan masyarakat. Identifikasi terhadap peristiwa-peristiwa ekonomi yang terjadi mutlak dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan yang dirumuskan tidak salah sasaran.
Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana klasifikasi sepuluh kabupaten/kota di Provinsi Lampung menurut tipologi klassen?
2. Bagaimana pengaruh pendapatan per kapita terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Lampung?
3. Bagaimana pengaruh investasi terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Lampung?
4. Bagaimana pengaruh jumlah pengangguran terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Lampung?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diuraikan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui klasifikasi sepuluh kabupaten/kota di Provinsi Lampung menurut tipologi klassen .
(26)
2. Untuk mengetahui pengaruh pendapatan per kapita terhadap ketimpangan pendapatan antar wilayah di Provinsi Lampung.
3. Untuk mengetahui pengaruh investasi terhadap ketimpangan pendapatan antar wilayah di Provinsi Lampung.
4. Untuk mengetahui pengaruh tingkat pengangguran terhadap ketimpangan pendapatan antar wilayah di Provinsi Lampung.
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumber informasi kepada pemerintah, khususnya pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan.
2. Penelitian ini menjadi sumber pengetahuan dan informasi tentang seberapa besar pengaruh pendapatan per kapita, investasi, dan jumlah pengangguran terhadap ketimpangan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Lampung, sehingga dapat dijadikan referensi tambahan dalam merumuskan kebijakan terkait dengan menekan tingkat ketimpangan.
3. Sebagai bahan rujukan dan perbandingan bagi peneliti, mahasiswa dan dosen yang berminat melakukan penelitian dengan tema yang sama.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berupaya mengidentifikasi pengaruh yang terjadi antara pertumbuhan ekonomi, jumlah pengangguran, dan investasi (baik PMA maupun PMDN) terhadap tingkat ketimpangan pendapatan antar wilayah di
(27)
Provinsi Lampung. Namun sebelum itu, penilitian ini mencoba untuk mengklasifikasikan daerah kabupaten/kota di Provinsi Lampung sesuai
dengan Tipologi Klassen beserta identifikasi terkait tingkat ketimpangan yang terjadi di dalamnya. Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data sekunder dari tahun 2001 - 2012 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung.
F. Kerangka Pemikiran
Sesuai dengan latar belakang di atas bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah belum tentu menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Terdapat indikator lain yang perlu dikaji jika berbicara tingkat kesejahteraan masyarakat. Salah satu di antaranya adalah tingkat ketimpangan kesejahteraan antar wilayah yang terjadi.
Tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah tentu berbeda dengan yang lain. Selain dipengaruhi oleh perbedaan potensi daerahnya, ketimpangan yang terjadi juga dipengaruhi oleh strategi pembangunan yang dilakukan. Ketika setiap daerah mampu untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki daerahnya masing-masing, maka tingkat ketimpangan yang terjadi dapat ditekan seminim mungkin dan pemerataan kesejahteraan antar daerah dapat terwujud.
Penelitian ini dimulai dengan mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Provinsi Lampung. Kemudian dilanjutkan dengan
(28)
mengklasifikasikan 14 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Lampung ke dalam empat kelompok sesuai dengan Tipologi Klassen. Dari sini dapat diketahui wujud ketimpangan pendapatan yang terjadi di Provinsi Lampung berdasarkan tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita masyarakat.
Setelah mengetahui klasifikasi daerah yang didasarkan pada Tipologi Klassen, maka langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi tingkat ketimpangan yang terjadi antar daerah di Provinsi Lampung dengan menggunakan perhitungan indeks williamson. Dengan perhitungan ini dapat diketahui secara jelas seberapa besar tingkat ketimpangan pendapatan yang terjadi di Provinsi Lampung.
Dan langkah terakhir yang dilakukan adalah menganalisa pengaruh pendapatan per kapita, investasi, dan jumlah pengangguran terhadap ketimpangan pendapatan antar wilayah di Provinsi Lampung. Dalam
mengukur hubungan tersebut digunakan metode regresi linier (ordinary least square).
(29)
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
G. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, tinjauan pustaka dan berbagai hasil kajian empiris yang telah dilakukan peneliti-peneliti sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian untuk tujuan penelitian yang ketiga sebagai berikut:
a. Diduga pendapatan per kapita memiliki pengaruh negatif terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Lampung.
b. Diduga investasi memiliki pengaruh negatif terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Lampung
c. Diduga jumlah pengangguran memiliki pengaruh positif terhadap ketimpangan pendapatan di Provinsi Lampung.
EKONOMI REGIONAL
PENDAPATAN PER KAPITA
KETIMPANGAN PENDAPATAN DI
PROVINSI LAMPUNG
INVESTASI (PMA dan PMDN)
JUMLAH PENGANGGURAN
(30)
II. STUDI PUSTAKA
A. Produk Domestik Regional Bruto
Salah satu dasar yang digunakan untuk mengukur tingkat perekonomian suatu wilayah adalah dengan menggunakan besaran nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Nilai PDRB disajikan atas dasar harga berlaku (sesuai dengan pasar/transaksi pada tahun penghitungan) dan atas dasar harga konstan (harga pasar pada tahun tertentu).
Perubahan besaran PDRB atas dasar harga berlaku pada tahun penghitungan masih memuat akibat terjadinya inflasi/deflasi sehingga tidak memperlihatkan pertumbuhan atau perubahan PDRB secara riil. Sebaliknya, PDRB atas dasar harga konstan menggunakan harga pasar pada tahun tertentu, sehingga perubahan besaran PDRB sudah terlepas dari pengaruh inflasi/deflasi. Besar kecilnya PDRB yang dapat dihasilkan oleh suatu wilayah/daerah dipengaruhi oleh besarnya sumberdaya alam yang telah dimanfaatkan dan macamnya, jumlah dan mutu sumberdaya manusia, kebijaksanaan pemerintah, letak geografis serta tersedianya sarana dan prasarana. Dalam menghitung pendapatan regional, BPS (1995) memasukkan seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor/lapangan usaha yaang melakukan usahanya disuatu wilayah atau daerah, tanpa memperhatikan pemilik atas faktor
(31)
produksi. Dengan demikian, PDRB secara keseluruhan menunjukkan
kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan/balas jasa kepada faktor-faktor produksi yang ikut berpartisipasi dalam proses produksi di daerah tersebut. Penghitungan PDRB dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu:
1. Metode Langsung
Dalam menghitung PDRB dengan metode langsung, penghitungan didasarkan sepenuhnya kepada data daerah yang terpisah dari data nasional, sehingga hasil penghitungannya mencakup seluruh produk barang dan jasa yang
dihasilkan oleh daerah tersebut. Dalam metode ini PDRB dapat diukur dengan 3 (tiga) pendekatan, yaitu :
a. Pendekatan produksi
PDRB merupakan jumlah barang dan jasa terakhir yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di dalam suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu. Unit-unit produksi dimaksud secara garis besar dipilah-pilah menjadi 11 (sebelas) sektor, yaitu: (1) pertanian; (2) pertambangan dan galian; (3) industri pengolahan; (4) listrik, gas dan air minum; (5) bangunan; (6) perdagangan; (7) pengangkutan dan komunikasi; (8) bank dan lembaga keuangan lainnya; (9) sewa rumah; (10) pemerintahan; (11) jasa-jasa.
b. Pendekatan pendapatan
PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima faktor-faktor produksi yang turut serta dalam proses produksi disuatu wilayah dalam jangka waktu setahun. Balas jasa produksi tersebut meliputi upah dan gaji, sewa tanah,
(32)
bunga modal, dan keuntungan. Semuanya dihitung sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam hal ini mencakup juga penyusutan dan pajak-pajak tak langsung neto. Jumlah komponen pendapatan persektor disebut nilai tam bah bruto sektoral. Oleh sebab itu, PDRB menurut pendekatan pendapatan merupakan penjumlahan dari nilai tambah bruto seluruh sektor atau lapangan usaha.
c. Pendekatan pengeluaran
Menurut pendekatan ini PDRB adalah jumlah seluruh komponen permintaan akhir, meliputi (1) pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta yang tidak mencari keuntungan; (2) pembentukan modal tetap domestik bruto dan perubahan stok; (3) pengeluaran konsumsi pemerintah; (4) ekspor neto (yaitu ekspor dikurangi impor), dalam jangka waktu satu tahun.
2. Metode Tidak Langsung/Alokasi
Dalam melakukan perhitungan PDRB melalui metode tidak langsung/alokasi penghitung dilakukan dengan cara menghitung nilai tambah suatu kelompok kegiatan ekonomi dengan mengalokasikan nilai tambah nasional kedalam masing-masing kegiatan ekonomi pada tingkat regional. Sebagai alokator digunakan indikator yang paling besar pengaruhnya atau erat kaitannya dengan produktivitas kegiatan ekonomi tersebut.
Penghitungan PDRB pada suatu wilayah/daerah dengan menggunakan metode langsung atau tidak langsung/alokasi sangat tergantung pada data yang
tersedia. Pada dasarnya, pemakaian kedua metode tersebut akan saling
(33)
mendorong peningkatan mutu atau kualitas data daerah, sedangkan penghitungan dengan metode tidak langsung merupakan koreksi dan pembanding bagi data daerah.
Dilihat dari penjelasan di atas, PDRB dari suatu wilayah lebih menunjukkan pada besaran produksi suatu daerah, bukan pendapatan yang sebenarnya diterima oleh penduduk di daerah yang bersangkutan. Walaupun demikian, PDRB merupakan data yang paling representatif dalam menunjukkan pendapatan dibandingkan dengan data-data lainnya.
B. Teori Pertumbuhan Ekonomi
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika jumlah produksi barang dan jasanya meningkat. Dalam dunia nyata, amat sulit untuk mencatat jumlah unit barang dan jasa yang dihasilkan selama periode tertentu. Kesulitan ini muncul bukan saja karena jenis barang dan jasa yang dihasilkan sangat beragam, tetapi satuan ukurannya pun berbeda. Karena itu angka yang digunakan untuk menaksir perubahan output adalah nilai moneternya (uang) yang tercermin dalam nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, nilai PDB yang digunakan adalah PDB berdasarkan harga konstan. Sebab, dengan menggunakan harga konstan, pengaruh perubahan harga telah dihilangkan, sehingga sekalipun angka yang muncul adalah nilai uang dari total output barang dan jasa, perubahan nilai PDB sekaligus menunjukkan perubahan jumlah kuantitas barang dan jasa yang dihasilkan selama periode tertentu.
(34)
Menurut Michael P Todaro (2004) terdapat tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa, antara lain :
1. Akomodasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan modal atau sumber daya manusia.
2. Pertumbuhan penduduk yang beberapa tahun selanjutnya akan memperbanyak akumlasi capital.
3. Kemajuan teknologi.
C. Pengertian dan Konsep Ketimpangan
Ketimpangan merupakan suatu fenomena yang terjadi hampir di lapisan negara di dunia, baik itu negara miskin, negara sedang berkembang, maupun negara maju, hanya yang membedakan dari semuanya itu yaitu besaran tingkat ketimpangan tersebut, karenanya ketimpangan itu tidak mungkin dihilangkan namun hanya dapat ditekan hingga batas yang dapat ditoleransi.
Dalam laporan Pembangunan Dunia tahun 2006, publikasi World Bank, dinyatakan bahwa ketimpangan (baik antar wilayah maupun antar negara) merupakan hal yang penting dalam pembangunan, karena ketimpangan mempengaruhi proses pembangunan jangka panjang. Dua saluran yang digunakan ketimpangan untuk mempengaruhi pembangunan dalam jangka panjang adalah melalui pengaruh- pengaruh kesempatan yang timpang ketika kondisi pasar tidak sempurna dan berbagai kosekuensi ketimpangan untuk
(35)
kualitas institusi yang dikembangkan oleh suatu masyarakat. Lebih lanjut, World Bank dalam laporannya tersebut menyatakan bahwa faktor- faktor geografis dan historis yang mendasari ketimpangan antar wilayah sangat kompleks dan tumpang tindih. Kemampuan mengelola sumber daya yang rendah dan jarak dari pasar yang jauh dapat menghambat proses pembangunan di kawasan-kawasan tertinggal. Dalam banyak kasus, perbedaan-perbedaan ekonomi itu disebabkan oleh relasi yang tidak setara dan sudah berlangsung lama, antara kawasan-kawasan yang maju dengan yang tertinggal, serta kelemahan institusional pada waktu sebelumnya.
Myrdal (1957) dalam Jhingan (2004) menerangkan ketimpangan antar daerah dengan membangun teori keterbelakangan dan pembangunan ekonominya disekitar ide ketimpangan regional pada taraf nasional dan internasional. Untuk menjelaskan hal itu, Myrdal menggunakan ide spread effect dan
backwash effect sebagai bentuk pengaruh penjalaran dari pusat pertumbuhan ke daerah sekitar.
Spread effect didefinisikan sebagai suatu pengaruh yang menguntungkan (favorable effect), yang mencakup aliran kegiatan-kegiatan investasi dari pusat pertumbuhan ke wilayah sekitar. Backwash effect didefinisikan sebagai
pengaruh yang merugikan (infavorable effect) yang mencakup aliran manusia dari wilayah sekitar termasuk aliran modal ke wilayah inti, sehingga
mengakibatkan berkurangnya modal pembangunan bagi wilayah pinggiran yang sebenarnya diperlukan untuk dapat mengimbangi perkembangan wilayah
(36)
inti. Lebih lanjut, Myrdal mengemukakan ketimpangan regional terjadi akibat besarnya pengaruh backwash effect dibandingkan dengan spread effect di negara-negara terbelakang. Perbedaan kemajuan wilayah berarti tidak samanya kemampuan untuk bertumbuh sehingga yang timbul adalah
terjadinya ketidakmerataan antar daerah. Sehubungan dengan hal ini, muncul pendapat dan studi-studi empiris yang menempatkan pemerataan dan
pertumbuhan pada satu posisi yang dikotonomis.
Kuznets (1957) dalam Tambunan (2003) mengemukakan suatu hipotesis yang terkenal dengan sebutan “Hipotesis U terbalik”. Hipotesis ini dihasilkan melalui suatu kajian empiris terhadap pola pertumbuhan sejumlah negara didunia, pada tahap awal pertumbuhan ekonomi terdapat trade-off antara pertumbuhan dan pemerataan. Pola ini disebabkan karena pertumbuhan pada tahap awal pembangunan cenderung dipusatkan pada sektor modern
perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga kerja. Ketimpangan membesar karena kesenjangan antar sektor modern dan tradisional meningkat. Peningkatan tersebut terjadi karena perkembangan disektor modern lebih cepat dibandingkan dengan sektor tradisional. Akan tetapi dalam jangka panjang , pada saat kondisi ekonomi mencapai tingkat kedewasaan (maturity) dan dengan asumsi mekanisme pasar bebas serta mobilitas semua faktor-faktor produksi antar negara tanpa sedikitpun
rintangan atau distorsi, maka perbedaan dalam laju pertumbuhan output antar negara akan cenderung mengecil bersamaan dengan tingkat pendapatan
(37)
perkapita dan laju pertumbuhan rata-rata-nya yang semakin tinggi di setiap negara, yang akhirnya menghilangkan kesenjangan.
Salah satu kajian yang menguatkan hipotesis Kuznet tersebut dilakukan oleh Williamson (1965) dalam Tambunan (2003). Williamson untuk pertama kalinya menyelidiki masalah ketimpangan antar daerah dengan membobot perhitungan coeffisient of variation (CV) dengan jumlah penduduk menurut wilayah. Dalam studinya ia menemukan bahwa dalam tahap awal
pembangunan ekonomi disparitas dalam distribusi pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang pada awalnya sudah relatif maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur, dan SDM. Kemudian dalam tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan.
D. Pengukuran Ketimpangan
Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnya pembagian hasil pembangunan suatu negara dikalangan penduduknya.
Terdapat berbagai kriteria atau tolok ukur untuk menilai kemerataan distribusi yang dimaksud, diantaranya yaitu:
1. Kurva Lorenz
Kurva Lorenz mengggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di kalangan lapisan-lapisan penduduk secara kumulatif pula. Kurva ini terletak
(38)
disebuah bujur sangkar yang disisi tegaknya melambangkan persentase kumulatif pendapatan nasional, sedangkan sisi dasarnya mewakili persentase kumulatif penduduk. Kurvanya sendiri ditempatkan pada diagonal utama bujur sangkar tersebut. Kurva Lorenz yang semakin dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan nasional semakin timpang atau tidak merata.
2. Indeks Gini
Gini atau lengkapnya Corrado Gini merumuskan suatu ukuran untuk
menghitung tingkat ketimpangan pendapatan personal secara agregatif yang diterima diatas tingkat tertentu. Hasil temuannya sering disebut sebagai gini coeffisient atau indeks gini.
Koefisien gini adalah suatu koefisien yang berkisar dari angka 0 hingga 1, yang menjelaskan kadar kemerataan pendapatan. Koefisien yang semakin mendekati 0 berarti distribusi pendapatan semakin merata, sebaliknya koefisien yang semakin mendekati 1 berarti distribusi pendapatan semakin timpang. Angka rasio Gini dapat ditaksir secara visual langsung dari kurva Lorenz, yaitu perbandingan luas area yang terletak diantara kurva Lorenz dan diagonal terhadap luas area segitiga OBC. Semakin melengkung kurva Lorenz, akan semakin luas yang dibagi rasio Gini-nya akan semakin besar, menyiratkan distribusi pendapatan yang semakin timpang.
Todaro (1981) memberikan batasan, bahwa negara-negara yang
(39)
Sedang negara-negara yang ketimpangannya relatif rendah (merata), koefisien Gini-nya terletak antara 0,2-0,35.
3. Kriteria Bank Dunia
Bank Dunia yang bekerjasama dengan Institute of Development Studies
menentukan kriteria tentang penggolongan distribusi pendapatan, apakah dalam keadaan ketimpangan yang parah, sedang, atau ringan. Kriteria tersebut menunjukkan bahwa:
a. Jika 40 persen penduduk suatu negara berpendapatan terendah memperoleh sekitar kurang 12 persen jumlah pendapatan negara tersebut maka hal ini termasuk kedalam ketimpangan yang tinggi. b. Kelompok kedua adalah 40 persen dari jumlah penduduk yang
berpendapatan terendah, tetapi hanya menerima antara 12-17 persen dari seluruh pendapatan negara. Golongan ini masih dapat dikatakan sebagai keadaan dengan ketimpangan yang sedang.
c. Jika golongan penduduk yang 40 persen tersebut memperoleh lebih dari 17 persen dari total pendapatan negaranya, maka tingkat ketimpangannya termasuk rendah.
4. Indeks Williamson
Indeks Williamson ini diperkenalkan oleh Jeffry G Williamson (1965), penghitungan nilai ini didasarkan pada indeks variasi (CV) dan Williamson memodifikasi perhitungan ini dengan menimbangnya dengan proporsi
penduduk wilayah. Berbeda halnya dengan indeks gini yang menghitung nilai distribusi pendapatan seluruh rumah tangga dalam suatu daerah atau negara,
(40)
indeks Williamson ini dapat melihat besarnya ketimpangan distribusi
pendapatan antar daerah dalam sebuah wilayah. Semakin besar angka indeks Williamson ini maka semakin besar pula tingkat ketimpangan yang terjadi.
5. Teori Kuznets
Kuznets dalam analisisnya mengenai pola sejarah pertumbuhan negara-negara maju, menyatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, sedangkan pada tahap selanjutnya cenderung membaik.
Argumen tradisional dalam analisisnya mengenai pembangunan ekonomi jarang sekali menyinggung hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, namun sebagian besar teorinya menyatakan bahwa distribusi pendapatan yang sangat tidak merata diperlukan untuk
menggalakkan pertumbuhan yang cepat. Apabila ketidakadilan merupakan sesuatu yang diperlukan dalam proses pertumbuhan maksimal dan apabila pertumbuhan jangka panjang diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup penduduk melalui ”tetesan” proses persaingan dan sistem ekonomi campuran, maka perhatian langsung mengenai pemberantasan kemiskinan merupakan suatu usaha besar tersendiri. Dasar argumen ekonomi yang mengizinkan ketidakmerataan pendapatan adalah bahwa pendapatan perseorangan dan perusahaan yang tinggi merupakan kondisi yang diperlukan bagi
perkembangan. Dalam model Harrod-Domar, yaitu andaikata golongan kaya menabung dan menginvestasikan sebagian keuntungannya, sementara
golongan miskin membelanjakan semua pendapatannya berupa barang-narang konsumsi dan laju pertumbuhan GNP langsung berkaitan dengan proporsi
(41)
pendapatan nasional yang ditabung, maka perekonomian akan ditandai oleh distribusi pendapatan yang sangat tidak merata.
E.Definisi Ketenagakerjaan
Secara umum tenaga kerja (manpower) atau penduduk usia kerja (UK) diartikan sebagai penduduk dalam usia kerja (berusia 15 tahun keatas) atau jumlah seluruh penduduk dalam suatu negara yang dapat memproduksi barang dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga mereka, dan jika mereka mau berpartisipasi dalam aktivitas tersebut. Menurut Dumairy tenaga kerja adalah penduduk yang berumur pada batas usia kerja, dimana batas usia kerja setiap negara berbeda-beda (Dumairy, 1996).
Hal serupa juga dinyatakan Simanjuntak (2001) yang menjelaskan bahwa tenaga kerja adalah penduduk yang sudah atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan dan melakukan kegiatan lain seperti bersekolah atau
mengurus rumah tangga dengan batasan umur 15 tahun. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Sitanggang dan Nachrowi (2004) yang menyatakan bahwa tenaga kerja adalah sebagian dari keseluruhan penduduk yang secara potensial dapat menghasilkan barang dan jasa.
Hanya sebagian kecil penduduk Indonesia yang memiliki tunjangan di hari tua yaitu pegawai negeri dan sebagian kecil pegawai perusahaan swasta. Untuk golongan inipun, pendapatan yang mereka terima tidak mencukupi kebutuhan
(42)
mereka sehari-hari. Oleh sebab itu mereka yang telah mencapai usaha pensiun biasanya tetap masih harus bekerja sehingga mereka tetap digolongkan
sebagai tenaga kerja (Payaman Simanjuntak, 2001).
Pada statistik Indonesia sejak tahun 1971 batas usia kerja adalah seseorang yang sudah berumur 10 tahun atau lebih, namun sesuai dengan Konversi ILO (International Labor Organization) semenjak dilaksanakan Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) tahun 2001 batas usia kerja yang semula 10 tahun atau lebih dirubah menjadi 15 tahun atau lebih. Konsep tersebut membagi penduduk menjadi dua kelompok yaitu penduduk usia kerja dan penduduk bukan usia kerja.
Angkatan kerja (labor force) adalah penduduk yang belum bekerja namun siap untuk berkerja atau sedang mencari pekerjaan pada tingkat upah yang berlaku (Suparmoko, 2002). Dalam hal ini adalah penduduk yang kegiatan utamanya selama seminggu yang lalu bekerja (K), atau sedang mencari pekerjaan (MP). Untuk kategori bekerja apabila minimum bekerjaselama 1 jam selama seminggu yang lalu untuk kegiatan produktif sebelum pencacahan dilakukan. Sedangkan mencari pekerjaan adalah seseorang yang kegiatan utamanya sedang mencari pekerjaan, atau sementara sedang mencari
pekerjaan dan belum bekerja minimal 1 jam selama seminggu yang lalu. Jadi angkatan kerja dapat diformulasikan melalui persamaan identitas
sebagaiberikut: AK = K + MP. Penjumlahan angka-angka angkatan kerja dalambahasa ekonomi disebut sebagai penawaran angkatan kerja (labour
(43)
supply).Sedangkan penduduk yang berstatus sebagai pekerja atau tenaga kerja termasuk ke dalam sisi permintaan (labour demand). Bukan Angkatan Kerja (unlabour force), adalah penduduk yang berusia kerja (15 tahun ke atas) yang tidak bekerja, tidak mempunyai pekerjaan, dan sedang mencari kerja, yaitu : orang-orang yang kegiatannya sekolah (pelajar,mahasiswa), mengurus rumah tangga serta menerima pendapatan tapi bukan merupakan imbalan langsung atas jasa kerjanya (pensiunan,penderita cacat yang independen). Jadi jumlah usia kerja (UK) apabila dilihat melalui persamaan identitas adalah sebagai berikut:
UK = AK +BAK
Tingkat pengangguran (unemployment rate), adalah angka yang menunjukkan berapa banyak dari jumlah angkatan kerja sedang aktif mencari pekerjaan, yaitu membandingkan jumlah orang yang mencari pekerjaan dengan jumlah angkatan kerja. Tingkat pengangguran (TP) dapat dirumuskan sebagai berikut:
TP= MP/AKx 100%.
Tingkat Pengangguran Alamiah (natural rate of unemployment)adalah keadaan yang menunjukkan adanya tingkat pengangguran rata-rata yang berfluktasi. Tingkat Pengangguran alamiah bisa dipandang sebagai tingkat pengangguran yang mempengaruhi gravitasi perekonomian dalam jangka panjang, dengan adanya ketidaksempurnaan pasar tenaga kerja yang menyulitkan pekerja dari proses perolehan pekerjaaan dengan segera.
(44)
F. Teori Ketenagakerjaan 1. Teori Klasik Adam Smith
Adam Smith (1729-1790) merupakan tokoh utama dari aliran ekonomi yang kemudian dikenal sebagai aliran klasik. Dalam hal ini teori klasik Adam Smith juga melihat bahwa alokasi sumber daya manusia yang efektif adalah pemula pertumbuhan ekonomi. Setelah ekonomi tumbuh, akumulasi modal (fisik) baru mulai dibutuhkan untuk menjaga agar ekonomi tumbuh. Dengan kata lain alokasi sumber daya manusia yang efektif merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi.
2. Teori Klasik J.B. Say
Jean Baptise Say (1767-1832) mengatakan bahwa setiap penawaran akan menciptakan permintaannya sendiri (supply creates its own demand).
Pendapat Say ini disebut Hukum Say (Say’s Law). Hukum Say didasarkan pada asumsi bahwa nilai produksi selalu sama dengan pendapatan. Tiap ada produksi akan ada pendapatan, yang besarnya sama dengan nilai produksi tadi. Dengan demikian dalam keadaan keseimbangan, produksi cenderung
menciptakan permintaannya sendiri akan produksi barang yang bersangkutan. Berdasarkan asumsi seperti ini ia menganggap bahwa peningkatan produksi akan selalu diiringi oleh peningkatan pendapatan, yang akhirnya akan diiringi pula oleh peningkatan permintaan.
3. Teori Keynes
John Maynard Keynes (1883-1946) berpendapat bahwa dalam kenyataan pasar tenaga kerja tidak bekerja sesuai dengan pandangan klasik. Dimanapun
(45)
para pekerja mempunyai semacam serikat kerja (labor union) yang akan berusaha memperjuangkan kepentingan buruh dari penurunan tingkat upah. Menurut Keynes, kegiatan perekonomian tergantung pada segi permintaan, yaitu tergantung kepada perbelanjaan atau pengeluaran agregat yang dilakukan perekonomian pada suatu waktu tertentu. Diartikan dengan pengeluaran agregat adalah pengeluaran yang dilakukan untuk membeli barang dan jasa yang dihasilkan oleh sesuatu perekonomian dalam suatu periode tertentu, dan hanya bisa diukur untuk suatu tahun tertentu.
Semakin besar pembelanjaan agregat (permintaan agregat) yang dilakukan dalam perekonomian, semakin tinggi tingkat kegiatan ekonomi dan
kesempatan kerja yang dicapai. Permintaan agregat yang wujudnya tidak selalu mencapai tingkat permintaan yang diperlukan untuk mencapai tingkat kesempatan kerja penuh. Oleh sebab itu, pengangguran akan selalu berlaku. Untuk mengatasinya, pemerintah perlu memengaruhi permintaan agregat. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa terdapat hubungan antara output nasional dan kesempatan kerja nasional. Apabila pertumbuhan ekonomi mengalami kenaikan maka kesempatan kerja mengalami kenaikan. Sebaliknya,
pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan maka kesempatan kerja pun akan mengalami penurunan.
Pandangan mainstream economy terhadap permintaan tenaga kerja adalah sebagaimana permintaan terhadap faktor produksinya, dianggap sebagai permintaan turunan (derived demand), yaitu penurunan dari fungsi perusahaan. Meskipun fungsi perusahaan cukup bervariasi, meliputi
(46)
memaksimumkan keuntungan, memaksimumkan penjualan atau perilaku untuk memberikan kepuasan kepada konsumen, namun maksimisasi keuntungan sering dijadikan dasar analisis dalam menentukan penggunaan tenaga kerja.
Mempertimbangkan hal tersebut (maksimisasi keuntungan), dan dengan asumsi perusaha beroperasi dalam sistem pasar persaingan, maka perusahaan cenderung untuk mempekerjakan tenaga kerja dengan tingkat upah sama dengan nilai produk marginal tenaga kerja (ValueMarginal Product of Labor, VMPL). VMPL menunjukkan tingkat upah maskimum yang mau dibayarkan oleh perusahaan agar keuntungan perusahaan maksimum.
4. Teori Harrord-Domar
Teori Harod-domar (1946) dikenal sebagai teori pertumbuhan. Menurut teori ini investasi tidak hanya menciptakan permintaan, tapi juga memperbesar kapasitas produksi. Kapasitas produksi yang membesar membutuhkan
permintaan yang lebih besar pula agar produksi tidak menurun. Jika kapasitas yang membesar tidak diikuti dengan permintaan yang besar, surplus akan muncul dan disusul penurunan jumlah produksi.
G. Tingkat Pengangguran
Dalam standar pengertian yang sudah ditentukan secara internasional, yang dimaksudkan dengan pengangguran adalah seseorang yang sudah digolongkan dalam angkatan kerja yang secara aktif sedang mencari pekerjaan pada suatu tingkat upah tertentu, tetapi tidak dapat memperoleh pekerjaan yang
(47)
diinginkannya. Menurut definisi BPS, (2011) pengangguran yaitu bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah pernah bekerja) atau sedang mempersiapkan suatu usah, mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Tingkat pengangguran menurut BPS dihitung dengan Cara:
Tinggkat pengangguran thi = X 100%
Oleh sebab itu, menurut Sadono Sukirno (2000) pengangguran biasanya dibedakan atas 3 jenis berdasarkan keadaan yang menyebabkannya, antara lain:
1. Pengangguran friksional, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh tindakan seseorang pekerja untuk meninggalkan kerjanya dan mencari kerja yang lebih baik atau sesuai dengan keinginannya.
2. Pengangguran struktural, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh adanya perubahan struktur dalam perekonomian.
3. Pengangguran konjungtur, yaitu pengangguran yang disebabkan oleh kelebihan pengangguran alamiah dan berlaku sebagai akibat pengurangan dalam permintaan agregat.
H.Investasi
Investasi merupakan salah satu indikator penting di dalam kaitannya dengan pendapatan nasional. Hubungan antara investasi dan pendapatan nasional itu
(48)
sedemikian pentingnya, sehingga dapatlah dimengerti mengapa dalam semua teori ekonomi makro investasi di bahas dalam bagian tersendiri.
Teori konvensional (klasik) tentang investasi pada pokoknya didasarkan atas teori produktivitas batas (marginal productive) dari faktor produksi modal (kapital). Berdasarkan teori ini besarnya modal yang akan di investasikan dalam proses produksi ditentukan oleh produktivitas marginalnya
dibandingkan dengan tingkat bunga, sehingga investasi itu akan terus dilakukan bilamana produktivitas batas dari investasi masih lebih tinggi dari pada tingkat bunga yang akan diterima. Investasi akan dijalankan bilamana pendapatan dari investasi itu (prospected yield) lebih besar dari tingkat bunga. Bila hendak membandingkan antara pendapatan dari investasi dengan suku bunga maka tidak boleh dilupakan bahwa barang-barang modal umumnya mempunyai penggunaan yang panjang dan tidak hanya sekali pakai, sehingga pendapatan dari investasi (yang akan dibandingkan dengan bunga) adalah terdiri dari jumlah-jumlah pendapatan yang akan diterima setiap akhir tahun, selama penggunaan barang modal itu dalam produksi (umur ekonomis), jumlah pendapatan tiap-tiap tahun selanjutnya dibandingkan dengan tingkat bunga yang berlaku sekarang. Investasi dalam suatu barang modal adalah
menguntungkan bilamana biaya (ongkos) plus bunga lebih kecil dari hasil pendapatan yang diharapkan dari investasi itu. Dengan demikian unsur-unsur yang diperhitungkan dalam penentuan investasi adalah : (1) tingkat ongkos biaya atas barang modal; (2) tingkat bunga; dan (3) tingginya hasil pendapatan
(49)
yang diterima. Berubahnya salah satu dari ketiga faktor di atas, akan mengakibatkan berubahnya perhitungan profitabilitas.
Menurut pandangan dari JM. Keynes, masalah investasi, baik penentuan jumlah maupun kesempatan untuk melakukan investasi didasarkan atas konsep Marginal Effeciency of Investment (MEI). Dengan mendasarkan atas konsep pemikiran tersebut investasi akan dilaksanakan apabila MEI masih lebih tinggi daripada tingkat bunga. Secara grafis MEI itu digambarkan sebagai suatu skedul yang menurun, skedul ini menggambarkan jumlah investasi yang akan terlaksana pada setiap tingkat bunga. Menurunnya tingkat skedul MEI ini antara lain disebabkan oleh dua hal, yaitu :
1. Bahwa semakin banyak jumlah investasi yang terlaksana dalam masyarakat, makin rendah Efisiensi Marginal Investasi itu.
2. Semakin banyak investasi dilakukan, maka ongkos dan barang modal (asset) menjadi lebih tinggi.
Investasi yang sering dikenal dengan istilah penanaman modal. Kegiatan investasi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat meningkatkan perekonomian guna memperbesar dan meningkatkan tingkat produksi dalam suatu usaha dan meningkatkan kesempatan kerja. Dengan demikian istilah investasi dapat diartikan sebagai pengeluaran atau
pembelanjaan penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang modal dan perlengkapan produksi untuk menambah
(50)
kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian (Sukirno, 2001).
Menurut (Suparmoko, 1993) memberikan arti investasi sebagai pengeluaran atau pembelanjaan penanam-penanam modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam perekonomian.
Secara garis besar investasi dapat digolongkan menjadi tiga (Sukirno, 2001) yaitu antara lain.
1. Autonomous investment, yaitu investasi yang tidak dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, misalnya investasi pada rehabilitasi prasarana jalan dan irigasi. Investasi jenis ini biasanya lebih banyak dilakukan oleh sektor pemerintah, karena investasi ini akan menyangkut banyak aspek sosial budaya yang ada di masyarakat.
2. Induced investment, yaitu macam investasi yang mempunyai kaitan dengan tingkat pendapatan, misalnya adanya kenaikan pendapatan yang ada pada masyarakat di suatu tempat atau negara menyebabkan kenaikan kebutuhan barang tertentu. Kenaikan atau pertambahan permintaan terhadap barang sudah tentu akan mendorong untuk melakukan investasi.
3. Investasi yang sifatnya dipengaruhi oleh adanya kenaikan tingkat bunga uang atas modal yang berlaku di masyarakat.
(51)
Dari ketiga investasi yang digolongkan menurut (Sukirno, 2005) investasi di Provinsi Lampung cenderung lebih dominan pada kelompok Induced
Investment yaitu investasi yang mempunyai kaitan dengan tingkat pendapatan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya masyarakat Lampung menanamkan modalnya hanya untuk mereka yang memiliki pendapatan yang lebih, misalnya investor berinvestasi pada perusahaan-perusahaan yang berkembang di
Lampung. Keuntungan investasi di suatu industri akan menarik investor lain untuk berinvestasi karena menginginkan keuntungan. Oleh karena itu, investor dapat memperkirakan keuntungan dari investasi yang akan dilakukannya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah investasi (Deliarnov, 1995) yaitu antara lain sebagai berikut:
1. Inovasi dan Teknologi
Adanya temuan-temuan baru menyebabkan cara-cara berproduksi lama menjadi tidak efisien. Untuk itu perusahaan-perusahaan perlu menemukan investasi untuk membeli peralatan mesin-mesin yang canggih.
2. Tingkat Perekonomian
Makin banyak aktivitas perekonomian makin besar pendapatan nasional dan makin banyak bagian pendapatan yang dapat ditabung, yang pada gilirannya akan diinvestasikan pada suatu usaha yang menguntungkan.
3. Tingkat Keuntungan Perusahaan
Makin besar tingkat keuntungan perusahaan, maka makin banyak bagian laba yang dapat ditahan dan dapat digunakan untuk tujuan investasi.
(52)
4. Situasi Politik
Jika situasi politik aman dan pemerintah banyak memberikan kemudahan-kemudahan bagi perusahaan, maka tingkat investasi akan tinggi. Salah satu kegiatan investasi yang dapat diketahui adalah penanaman modal,
penanaman modal dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Untuk investasi swasta di Indonesia yang dilakukan dengan kemudahan fasilitas berupa PMA dan PMDN.
I. Hubungan Pendapatan Per Kapita dan Ketimpangan Pendapatan Wilayah
Simon Kuznets (1995) dalam Kuncoro (2006) membuat hipotesis adanya kurva U terbalik (inverted U curve) bahwa mula-mula ketika pembangunan dimulai, distribusi pendapatan akan makin tidak merata, namun setelah mencapai suatu tingkat pembangunan tertentu, distribusi pendapatan makin merata.
Simon Kuznets mengatakan bahwa tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk, dan tahap selanjutnya, distribusi pendapatannya akan membaik, namun pada suatu waktu akan terjadi
peningkatan disparitas lagi dan akhirnya menurun lagi. Kuznets menyimpulkan bahwa dalam jangka pendek ada korelasi positif antara pertumbuhan
pendapatan perkapita dengan disparitas pendapatan.Namun dalam jangka panjang hubungan keduanya menjadi korelasi yang negatif.
(53)
J. Hubungan Jumlah Pengangguran dan Ketimpangan Pendapatan Wilayah Ketimpangan wilayah disebabkan juga karena adanya perbedaan kondisi demografi yang cukup besar antar wilayah. Menurut Syafrizal (2008), kondisi demografis dalam suatu wilayah meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur dari kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan yang dimiliki masyarakat daerah yang bersangkutan. Kondisi demografis berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat dalam suatu daerah. Kondisi demografis yang baik cenderung meningkat produktivitas kerja, sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Tingkat pengangguran yang inggi berpengaruh terhadap tingkat produktivitas suatu wialayah, akan menyebabkan produktivitas suatu wilayah tidak optimal sehingga pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut tertinggal dengan wilayah yang lain. Melihat kondisi demografis dari sisi tingkat pengangguran di suatu daerah, menurut Lesman (2006), tingkat pengangguran yang tinggi akan menyebabkan ketimpangan yang tinggi pula.
K.Hubungan Investasi dengan Ketimpangan Pendapatan Wilayah
Investasi termasuk didalamnya penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) merupakan faktor penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, menurut Myrdal (1957) dalam Jhingan (2010) investasi cenderung mengurangi ketimpangan regional. Permintaan yang meningkat di wilayah yang membutuhkan akan merangsang investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan menyebabkan putaran kedua investasi dan seterusnya.
(54)
Tabel 2. Penelitian Terdahulu
No. Judul dan Penulis (1)
Variabel (2)
Alat Analisis (3) 1. Analisis Ketimpangan
Pendapatan Antar Provinsi Di Sumatera (Yeniwati, 2013)
Indeks Williamson Investasi
Aglomerasi
Sumber daya alam
Indeks Wlliamson Analisis Regresi Data
Panel
Hasil :
Berdasarkan hasil estimasi investasi (X1), aglomerasi (X2) dan sumber daya alam (X3) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan ekonomi. Investasi mempunyai dampak yang negative terhadap ketimpangan ekonomi, artinya jika investasi naik maka ketimpangan ekonomi akan turun dengan. Sedangkan aglomerasi memberikan efek yang positif terhadap ketimpangan ekonomi, artinya jika aglomerasi meningkat maka ketimpangan ekonomi akan meningkat atau dengan kata lain terjadi penurunan dalam pemerataan hasil pembangunan ekonomi. Sementara itu, dilihat dari sumber daya alam yang memberikan pengaruh yang negative terhadap ketimpangan ekonomi, artinya jika sumber daya alam meningkat maka ketimpangan ekonomi akan menurun.
2. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan
Ketimpangan Pendapatan Antar
Kecamatan di Kabupaten Gianyar (N. P. M. Eka Raswita dan M. S. Utama, 2011)
Ketimpangan Pendapatan
Pendapatan Per Kapita
Pertumbuhan Ekonomi
Analisis Tipologi Klassen
Indeks Williamson Analisis Regresi Data
Panel
(55)
Dari hasil analisis dan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pengklasifikasian kabupaten/kota berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan PDRB perkapita di Kabupaten Gianyar memakai alat analisis Tipologi Klassen dengan pendekatan daerah menunjukkan Kecamatan di Kabupaten Gianyar terbagi menjadi empat klasifikasi yang ada. Pada Periode 1993-2009 Sebanyak empat Kecamatan yaitu Kecamatan Sukawati, Blahbatuh, Gianyar, Tegallang berada pada kuadran IV. Kecamatan Payangan berada pada kuadran III dan Kecamatan Tampaksiring berada pada Kuadran II (kedua) yakni daerah maju tapi tertekan. Kecamatan Ubud berada pada Kuadaran I (pertama) yakni daerah cepat maju dan cepat tumbuh.
Ketimpangan yang terjadi di Kabupaten Gianyar periode 1993-2000 antar kecamatan pada periode tersebut mengalami peningkatan. Rata-rata angka Indeks Williamson di kabupaten Gianyar periode penelitian adalah sebesar 0,300. Kurva hubungan antara Indeks Willliamson dengan pendapatan per kapita menunjukkan bentuk U terbalik, dapat dikatakan hipotesis Kuznets berlaku di Kabupaten Gianyar pada periode penelitian (1993 -2009).
3. Analisis Perbandingan
Disparitas Ekonomi Antar Kecamatan di Kabupaten Klaten Sebelum dan Sesudah Krisis Ekonomi tahun 1998
(Agung Prihantoro, 2005)
PDRB Tenaga Kerja
Tipologi Klassen Indeks Williamson Analisis
Kesenjangan Relatif
Hasil :
Kriteria pertumbuhan ekonomi Kabupaten Klaten sebelum krisis ekonomi 1998 termasuk tinggi dan sesudah termasuk sedang.
Berdasarkan Analisis Tipologi Daerah sebelum krisis Kecamatan Ceper termasuk kategori tipologi daerah I diantara kecamatan yang lain.
Menurut Indeks Williamson sebelum krisis ekonomi 1998 teertinggi adalah Kecamatan Ceper sebesar 0,147 dan sesudah krisis tertinggi adalah Kecamatan Klaten Tengah sebesar 0,348. Rata – rata Indeks Williamson sesudah krisis lebih besar dari sesudah
(56)
krisis.
Berdasar Analisis Kesenjangan Relatif 10 kecamatan berpendapatan terendah dengan rata – rata indeks kesenjangan relatif 40% untuk kecamatan berpendapatan rendah.
4. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Tingkat Ketimpangan
Pendapatan Antar Propinsi Di Indonesia (Halida Fatimah, 2007)
Ketimpangan ekonomi antar
Wilayah
PAD
Transfer Fiskal
Derajat Desentralisasi Fiskal
Indeks Williamson OLS
Hasil :
Masih tingginya tingkat ketimpangan pendapatan antar propinsi di Indonesia,
mengindikasikan masih belum cukup upaya-upaya pemerintah dalam menekan tingkat ketimpangan yang terjadi selama ini. Diperlukan kajiankajian yang lebih mendalam lagi sehingga arah kebijakan untuk mengatasi masalah ketimpangan ini bisa tepat sasaran.
Tidak terbuktinya transfer fiskal dalam menurunkan tingkat ketimpangan transfer fiskal, maka perlu ditinjau ulang tentang pola transfer yang selama ini digunakan (formula). Disamping itu, tetap perlu adanya fungsi pengawasan dari pemerintah pusat tentang penggunaan anggaran daerah terlebih terkait adanya penyimpanan DAU di SBI. Kedua hal ini diduga sebagai faktor yang cukup kuat mengapa tujuan transfer fiskal tersebut tidak tercapai.
Melihat peranan PAD dalam membentuk tingkat kemandirian fiskal pemerintah
daerah juga dalam menekan tingkat ketimpangan yang terjadi. Maka pemerintah daerah harus secara bijak dan arif dalam menggali sumbersumber PAD ini, jangan
sampai gagasan ”autonomy” terdistorsi menjadipendekatan ”automoney”. Sehingga dapat menimbulkan inefisiensi dalam iklim investasi pemerintah setempat, yaitu dengan diterbitkannya berbagai perda tentang pajak dan retribusi.
(57)
5. Fizcal Decentralization and Regional Disparity : Evidence From Cross Section and Panel Data – 23 OECD Countries (Christian Lesman, 2009)
Ketimpangan Ekonomi antar
Wilayah
Indeks Desentralisasi Pajak
Indeks Desentralisasi
Pendapatan yang Disesuaikan
GDP Per Kapita
Ordinary Least Square
Koefisien Gini Koefisien Variasi
(CV)
Hasil :
Regresi cross section menunjukkan bahwa negara-negara dengan derajat
desentralisasi yang tinggi memperlihatkan kesenjangan antar negara yang cukup rendah. Dan regresei panel telah menunjukkan bahwa peningkatan menyebabkan penurunann disparitas dalam negara. Secara umum, hasil menunjukkan bahwa desentralisasi tidak berbahaya bagi pemerataan antar negara, dan bukan sebaliknya.
Namun demikian, ada perbedaan yang cukup besar antara konsep desentralisasi alternatif. Analisis cross-section menunjukkan bahwa de jure kebijakan
desentralisasi politik tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap ketimpangan regional, sedangkan efek de facto kebijakan desentralisasi mencerminkan desentralisasi fiskal adalah negatif signifikan. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa itu bukan desentralisasi politik tetapi
(58)
III. METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data kuantitatif dengan rentang waktu dari tahun 2001 – 2012. Tipe data yang digunakan adalah data runtut waktu (time series) yang meliputi data PDRB, investasi, jumlah
pengangguran, dan jumlah penduduk. Sementara itu menurut sumbernya, data yang digunakan adalah data sekunder . Data sekunder merupakan data
penelitian yang diperoleh dari pihak kedua. Dalam penelitian ini data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung.
B. Variabel Operasional
Definisi operasional adalah defenisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yang didefinisikan yang dapat diamati (diobservasi). Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1989) memberi batasan tentang defenisi operasional adalah : “definisi operasional merupakan unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel atau dengan kata lain defenisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu
(59)
variabel”. Dalam penelitian ini definisi operasional dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut :
1. Variabel Terikat / Dependen
Variabel terikat (Dependen) merupakan variabel yang nilainya tergantung pada nilai variabel lain yang merupakan konsekuensi dari perubahan yang terjadi pada variabel bebas. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah ketimpangan wilayah antar kabupaten / kota di Provinsi Lampung.
Ketimpangan wilayah di sini diukur dengan menggunakan Indeks Williamson.
2. Variabel Bebas / Independen
Variabel bebas (Independen) merupakan variabel yang nilainya berpengaruh terhadap variabel lain. Variabel bebas dalam penelitian ini terdiri dari : a. Pendapatan Per Kapita
Pendapatan per kapita merupakan rata-rata pendapatan yang dihasilkan masyarakat dalam suatu wilayah. Pendapatan per kapita diukur dengan membagi total PDRB dengan jumlah penduduk. Dalam hal ini PDRB yang digunakan adalah PDRB atas dasar harga konstan 2000.
Pendapatan Per Kapita = PDRB ADHK 2000 Jumlah Penduduk
b. Pengangguran
Menurut definisi BPS, (2011) pengangguran yaitu bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah pernah bekerja)
(60)
atau sedang mempersiapkan suatu usah, mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.
c. Investasi
Investasi merupakan penanaman modal yang dilakukan oleh pihak domestik (PMDN) maupun pihak asing (PMA) yang terdiri dari perseorangan
maupun lembaga di wilayah Republik Indonesia. Variabel investasi yang dimaksud dalam penelitian merupakan investasi riil yang terdiri dari realisasi PMA dan PMDN di Provinsi Lampung dikurangi dengan tingkat inflasi.
Investasi Riil = Realisasi Investasi (PMA+PMDN) - Inflasi
C. Metode Analisis Data
1. Analisis Tipologi Klassen
Alat analisis Klassen Typology (Tipologi Klassen) merupakan suatu teknik sederhana yang digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah. Kriteria yang digunakan untuk membagi daerah kabupaten/kota berdasarkan Tipologi Klassen dalam penelitian kali ini adalah sebagai berikut:
(61)
Gambar 2. Tipologi Klassen untuk Pengidentifikasian Daerah Tertinggal
1) Daerah tipe I cepat-maju dan cepat-tumbuh, yaitu daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata Provinsi Lampung.
2) Daerah tipe II maju tapi tertekan, yaitu daerah yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Lampung.
3) Daerah tipe III berkembang cepat, yaitu daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat pendapatan per kapita lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Lampung.
4) Daerah tipe IV relatif tertinggal, yaitu daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih rendah dibanding rata-rata Provinsi Lampung.
Tingkat pertumbuhan pendapatan daerah dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan pendapatan provinsi
Tingkat pendapatan daerah dibandingkan dengan tingkat pendapatan provinsi
Y1 > y Y1 < y
R1 > r
R1 < r
Tipe I Daerah cepat-maju
dan cepat-tumbuh
Tipe II Daerah maju tapi
tertekan Tipe III Daerah berkembang cepat Tipe IV Daerah tertinggal
(62)
Dikatakan tinggi apabila indikator di suatu kabupaten/kota lebih tinggi dibandingkan rata-rata seluruh kabupaten/kota di Provinsi Lampung dan digolongkan rendah apabila indikator di suatu kabupaten/kota lebih rendah dibandingkan rata-rata seluruh kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Daerah-daerah yang termasuk kategori relatif tertinggal ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang rendah, tingkat pendapatan yang rendah, dan tingkat pengangguran yang tinggi sehingga daerah-daerah seperti ini tidak mampu bersaing dengan daerah-daerah lainnya dan tidak berperan dalam pertumbuhan ekonomi nasional (Arsyad, 2010).
Menurut Klassen, daerah tertinggal kurang dapat berpartisipasi dalam
pembangunan ekonomi nasional. Daerah-daerah tersebut tidak dapat bersaing dengan daerah-daerah lainnya paling tidak dalam satu cabang industri.
2. Indeks Williamson
Salah satu indikator yang biasa dan dianggap cukup representatif untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan antar daerah adalah indeks ketimpangan daerah yang dikemukakan Jeffrey G. Williamson (1965). Williamson mengemukakan model Vw (indeks tertimbang terhadap jumlah penduduk) dan Vuw (tidak tertimbang) untuk mengukur tingkat pendapatan perkapita suatu negara pada waktu tertentu (Arsyad, 2010).
Berikut ini adalah formulasi dari indeks ketimpangan daerah yang dikemukakan oleh Williamson :
(63)
Iw =
Keterangan :
Iw = Indeks Williamson
fi = Jumlah penduduk kabupaten/kota ke-i (jiwa) n = Jumlah penduduk Lampung (jiwa)
Yi = PDRB per kapita kabupaten/kota ke-i (Rupiah) Y = PDRB per kapita Provinsi Lampung (Rupiah)
HT. Oshima (Sutawijaya, 2004) menetapkan sebuah kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah ketimpangan dalam masyarakat ada pada
ketimpangan taraf rendah, sedang, atau tinggi.Kriteria yang digunakan untuk menentukan tingkat ketimpangan taraf rendah, sedang atau tinggi. Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Ketimpangan taraf rendah, bila indeks ketimpangan kurang dari 0,35
b. Ketimpangan taraf sedang, bila indeks ketimpangan antara 0,35 – 0,50
c. Ketimpangan taraf tinggi, bila indeks ketimpangan lebih dari 0,50
Secara ilmu Statistik, indeks ini sebenarnya adalah coefficient of variation yang lazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan. Indeks Williamson
menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita sebagai data dasar.
(64)
3. Analisis Regresi
Metode terakhir yang dipakai adalah metode Ordinary Least Square (OLS), yang merupakan teknik analisa regresi yang bertujuan untuk meminimumkan kuadrat kesalahan ei sehingga nilai regresinya akan mendekati nilai yang sesungguhnya.
Beberapa asumsi OLS adalah :
a. Hubungan antara Y (variabel terikat) dan X (variabel bebas) adalah linier dalam parameter.
b. Variabel X adalah variabel tidak stokastik yang nilainya tetap. Nilai X adalah tetap untuk berbagai observasi yang berulang-ulang.
c. Nilai harapan (expected value) atau rata-rata dari variabel gangguan ei adalah nol.
d. Varian dari variabel gangguan ei adalah sama (homoskedastisitas). e. Tidak ada serial korelasi antara gangguan ei atau gangguan ei atau
gangguan ei tidak saling berhubungan dengan ei yang lain. f. Variabel gangguan ei berdistribusi normal.
Metode OLS ini akan menghasilkan estimator yang mempunyai sifat tidak bias, linier dan mempunyai varian yang minimum (Best Linier Unbiassed Estimators = BLUE).
Berdasarkan referensi penelitian terkait dengan ketimpangan pendapatan antar wilayah maka model estimasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
(65)
IW = f (PPKβ1, Iβ2, JPβ3)
Kemudian model ditransformasikan ke dalam bentuk persamaan linier sebagai berikut :
LOG(IWi) = LOG(β0) + β1 LOG (PPKi)+ β2 LOG(Ii)+ β3 LOG(JPi)+ et Dimana :
IW : Ketimpangan pendapatan antar wilayah di Provinsi Lampung tahun ke i
PPK : Pendapatan per kapita di Provinsi Lampung tahun ke i
I : Jumlah investasi riil tahun ke i
JP : Pengangguran di Provinsi Lampung tahun ke i
β0 : Konstanta pada tahun ke i β1,β2,β3, : Koefisien regresi
et : Error Term
D. Pengujian Asumsi Klasik
Ada beberapa masalah yang akan terjadi dalam model regresi linier dimana secara statistik permasalahan tersebut dapat mengganggu model yang telah ditentukan, bahkan dapat menyesatkan kesimpulan yang diambil dari persamaan yang terbentuk , untuk itu perlu melakukan uji penyimpangan klasik yang terdiri dari :
(66)
1. Uji Multikolinieritas
Multikolinieritas adalah kondisi adanya hubungan linier antar variabel independen. Karena melibatkan beberapa variabel independen, maka multikolinieritas tidak akan terjadi pada persamaan regresi sederhana.
Uji Multikolinieritas bertujuan untuk menguji ada tidaknya hubungan yang sempurna atau tidak sempurna diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan. Multikolinieritas dapat dideteksi menggunakan metode Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai VIF semakin membesar maka diduga ada masalah multikolinieritas. Sebagai aturan, jika nilai VIF melebihi angka 10, maka dapat dikatakan terjadi masalah multikolinieritas. Sebaliknya, jika VIF di bawah angka 10, maka tidak terjadi masalah multikolinieritas. . Berikut adalah rumus perhitungan VIF :
VIF =
Sebelum melakukan perhitungan VIF harus terlebih dahulu dilakukan regresi parsial dari regresi antara variabel independen dengan variabel independen yang lain untuk mendapatkan nilai koefisien determinasinya. lebih besar dari semua r2 maka ini menunjukan tidak terdapatnya multikolinier pada model persamaan yang diuji.
2. Uji Heteroskedastisitas
Heterokedastisitas atau varians tak sama adalah kejadian dimana meskipun tingkat variabel dependen (Y) naik seiring dengan naiknya tingkat variabel
(67)
independen (X), namun varians dari variabel dependen tidak tetap sama di semua tingkat variabel independen.
Uji Heteroskedastisitas dilakukan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual pengamatan satu ke
pengamatan lain. Dalam penelitian ini uji heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan metode White. Uji White menggunakan residual kuadrat sebagai variabel dependen, dan variabel independennya terdiri atas variabel independen yang sudah ada, ditambah dengan kuadrat variabel independen, ditambah lagi dengan perkalian variabel independen.
Kriteria pengujian yang digunakan adalah dengan membandingkan besar nilai x2
- hitung (Obs*R-squared) dengan nilai x2
- tabel (chi square) sebagai berikut:
a. Jika nilai x2
- hitung < nilai x2
- tabel, maka dapat dikatakan tidak terdapat masalah heteroskedestisitas.
b. Jika nilai x2
- hitung > nilai x2
- tabel, maka dapat dikatakan terdapat masalah heteroskedastisitas.
3. Uji Autokorelasi
Autokorelasi adalah adanya hubungan antara residual satu observasi dengan residual observasi lainnya. Autokorelasi dapat terjadi apabila kesalahan penganggu suatu periode korelasi dengan kesalahan pengganggu periode sebelumnya.
(68)
Uji Autokorelasi dilakukan untuk mengetahui apakah terjadi hubungan korelasi kesalahan pengganggu antar periode waktu. Dalam penelitian ini digunakan metode Breusch- Godfrey atau yang biasa dikenal juga dengan metode LM (Langrange Multiplier). Kriteria pengujian yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Jika nilai Obs*R-squared > nilai X²- tabelatau nilai Probability Obs*Rsquared < 0.05, maka terjadi autokorelasi.
b. Jika nilai Obs*R-squared < nilai X²-tabel atau nilai Probability Obs*Rsquared > 0.05, maka tidak terjadi autokorelasi.
4. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui kenormalan eror term dan variabel-variabel baik variabel bebas maupun terikat, apakah data sudah menyebar secara normal.
Dalam penelitian ini menggunakan metode Jarque-Bera. Metode Jarque-Bera adalah uji statistik untuk mengetahui apakah data berdistribusi normal. Uji ini mengukur perbedaan skewness dan kurtosis data dan dibandingkan dengan apabila datanya bersifat normal.
Jika residual terdistribusi secara secara normal maka diharapkan nilai statistik JB akan sama dengan nol. Kriteria pengujiannya adalah sebagai berikut :
a. Jika nilai JB-hitung < X2 tabel, maka dapat dikatakan data berdistribusi normal.
(1)
79
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan klasifikasi tipologi klassen, Kabupaten Lampung Tengah,
Lampung Utara, Tulang Bawang Barat, Mesuji, dan Bandar Lampung tergolong dalam daerah cepat maju dan cepat bertumbuh. Metro, Pesawaran, dan Pringsewu masuk dalam kategori daerah maju tapi tertekan. Kabupaten Tulang Bawang masuk dalam kategori daerah berkembang cepat. Sementara itu, lima kabupaten lainnya yakni, Kabupaten Lampung Timur, Lampung Selatan, Lampung Barat, Way Kanan, dan Tanggamus masuk dalam kategori daerah yang tertinggal.
2. Pendapatan per kapita berpengaruh positif dan signifikan terhadap
ketimpangan pendapatan antar wilayah di Provinsi Lampung. Hal ini berarti pendapatan per kapita pada awal masa pembangunan justru
memperparah tingkat ketimpangan pendapatan antar wilayah yang terjadi di Provinsi Lampung.
3. Jumlah pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap
ketimpangan pendapatan antar wilayahdi Provinsi Lampung. Ini menunjukkan bahwa jumlah pengangguran yang tinggi akan
(2)
80
meningkatkan ktimpangan pendapatan antar wilayah di Provinsi Lampung, demikian sebaliknya.
4. Investasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan
pendapatan antar wilayah di Provinsi Lampung. Hal ini menandakan investasi berperan dalam mengurangi tingkat ketimpangan yang terjadi di Provinsi Lampung.
5. Variabel pendapatan per kapita, investasi, dan jumlah pengangguran
secara bersama-sama berpengaruh terhadap ketimpangan pendapatan antar wilayah di Provinsi Lampung. Hal ini dapat dilihat dari nilai F hitung
yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95%.
6. Koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 0,642917. Hal ini berarti
64.29% tingkat ketimpangan pendapatan antar wilayah di Provinsi
Lampung dapat dijelaskan oleh variabel penentu dalam model, sedangkan sisanya 35.71% dijelaskan oleh variabel lain di luar model.
B. Saran
1. Hasil penelitian menunjukan pendapatan per kapita, investasi, dan jumlah penganguran yang terbukti signifikan mempengaruhi disparitas
pendapatan, sehingga pemerintah Provinsi Lampung beserta
kabupaten/kota terkait dapat membuat kebijakan yang bersangkutan dengan ketiga variabel tersebut unutk menekan ketimpangan antar wilayah yang terjadi. Seperti perbaikan infrastruktur jalan dan fasilitas umum
(3)
81
lainnya untuk meningkatkan daya tarik investor di setiap daerah sehingga dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja, produktivitas, dan daya beli masyarakat yang akhirnya akan menekan disparitas pendapatan.
2. Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menambah variabel yang akan diteliti. Sehingga variabel yang diteliti nantinya mampu menjelaskan secara baik faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi disparitas
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Agus Widarjono. 2007. Ekonometrika Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan Bisnis. Edisi Kedua, Cetakan Kesatu. Yogyakarta : Ekonisia Fakultas Ekonomi UII.
Akai dan Sakata, 2005. Fiscal Decentralization, Commitment and Regionality: Evidence From State Level Cross Sectional Data for The United States, DIRJE Discussion Paper,diakses 10 Maret 2010.
Arsyad, Lincolin. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN.
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN.
Deliarnov. 1995. Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
Idrus, Muhamad. 2007. Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Yogyakarta : UII Press.
Jhingan, M. L. 2012. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Rajawali Press.
Kuncoro, M. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Yogyakarta: Erlangga.
Matitaputty, Shandy J. 2010. Analisis Pengaruh Faktor Aglomerasi Industri Manufaktur Terhadap Hubungan Antara Pertumbuhan Dengan
Ketimpangan Regional antar Kabupaten / Kota Di Jawa Tengah tahun 1994 – 2007. Skripsi Ekonomi Pembangunan.
(5)
Muana, Nanga. 2001. Makro Ekonomi, Masalah dan Kebijakan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Paham Ginting dan Syafrizal Helmi Situmorang, 2008. Analisis Data Penelitian, Penerbit USU Press, Medan.
Raswita, N.P.M. Eka dan Utama, M. Suyana. 2011. Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan antar Kecamatan di Kabupaten Gianyar. Jurnal Ekonomi Pembangunan. Denpasar : FE – Universitas Udayana.
Richardson, H. W. 1991. Dasar-dasar Ilmu Ekonomi Regional. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI.
Rubiarko, Sabda Imani. 2013. Analisis Faktor—faktor yang Mempengaruhi Dispaaritas Pendapatan di Jawa Timur Tahun 2008-2011. Skripsi Ekonomi Pembangunan.
Sukirno, Sadono. 2001, Pengantar Teori Mikroekonomi; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sukirno, Sadono. 2005. Mikroekonomi Teori Pengantar. Edisi Ketiga. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.
Simanjuntak, Payaman. 2001. Pengantar Ekonomi SDM, LPFE UI. Jakarta.
Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi. Padang : Baduose Media. Syahza, Almasdi. 2003. Rancangan Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Pedesaan Berbasis Agribisnis di Daerah Riau. Jurnal Pembangunan Pedesaan, Volume 3 Nomor 2 November 2003. Purwokerto : Universitas Jenderal Soedirman.
Tarigan, Robinson, 2003. Ekonomi Regional, Medan: Bumi Aksara.
Todaro, M. P. 1999. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga. Jilid 1, Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
(6)
Todaro, Michael dan Smith, Stephen, C. 2006. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1, Edisi Kesembilan. Jakarta: Erlangga.
Tambunan, Tulus T. H. 2001, Transformasi Ekonomi di Indonesia : Teori dan Temuan Empiris. Jakarta : Salemba Empat.
Tambunan, Tulus T.H. 2003. Perkembangan Sektor Pertanian di Indonesia, Beberapa Isu Penting. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Yeniwati. 2013. Ketimpangan Ekonomi Antar Provinsi di Sumatera. Jurnal Kajian Ekonomi, Volume II. Padang : FE Universitas Negeri Padang.